Anda di halaman 1dari 25

HUBUNGAN KEMIRINGAN LERENG DALAM DISTRIBUSI

KETEBALAN HORIZON LATERIT PADA ENDAPAN NIKEL LATERIT


AREA PT BINTANG DELAPAN MINERAL

PROPOSAL PENELITIAN
DIAJUKAN UNTUK MEMENUHI SEBAGIAN PERSYARATAN
MENCAPAI DERAJAT SARJANA (S1)

DIAJUKAN OLEH:
ROBIN
F1G1 12 068

PROGRAM STUDI TEKNIK GEOLOGI


FAKULTAS ILMU DAN TEKNOLOGI KEBUMIAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2016

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Endapan nikel laterit merupakan produk dari proses pelapukan lanjut pada
batuan ultramafik pembawa Ni-Silikat, umumnya terdapat pada daerah dengan
iklim tropis sampai dengan subtropis. Indonesia dikenal sebagai salah satu negara
utama penghasil bahan galian di dunia, termasuk nikel. Berdasarkan karakteristik
geologi dan tatanan tektoniknya, beberapa lokasi endapan nikel laterit yang
potensial di Indonesia umumnya tersebar di wilayah Indonesia bagian timur,
antara lain : Pomalaa (Sulawesi Tenggara), Sorowako (Sulawesi Selatan), Gebe
(Halmahera), Tanjung Buli (Halmahera), dan Tapunopaka (Sulawesi Tenggara).
Fokus utama dalam penelitian ini adalah identifikasi keberadaan profil
umum (zona) endapan laterit, yaitu zona top soil, zona limonit, zona saprolit
dan zona bedrock. Selanjutnya dilakukan analisis untuk mengetahui

pola

hubungan antar parameter utama yang mempengaruhi pembentukan endapan


nikel laterit khususnya morfologi (pola topografi), struktur lokal (dalam hal
ini rekahan), iklim, vegetasi dan yang tidak kalah pentingnya

adalah pola

hubungan kadar. Masing-masing parameter tersebut diperkirakan berkaitan erat


satu sama lain dan merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan, sehingga
dengan mempelajari pola hubungan antar elemen ini diharapkan dapat diketahui
kontrol utama pembentukan nikel laterit sehingga dapat dimanfaatkan dalam
kegiatan eksplorasi.

1.2 Rumusan Masalah


Permasalahan dalam penelitian ini yaitu Bagaimana hubungan kemiringan
lereng dan morfologi dalam distribusi ketebalan horizon laterit pada endapan nikel
laterit area PT Bintang Delapan Mineral Tbk.
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian yang akan dicapai yaitu untuk mengetahui hubungan
kemiringan lereng dan morfologi dalam distribusi ketebalan horizon laterit pada
endapan nikel laterit area PT Bintang Delapan Mineral Tbk.
1.4 Manfaat Penelitian
Berdasarkan uraian diatas maka manfaat penelitian ini yang dapat diperoleh
yaitu sebagai berikut :
1. Bagi keilmuan:
Dapat mengetahui hubungan kemiringan lereng dan morfologi dalam
distribusi ketebalan horizon laterit pada endapan nikel laterit area PT Bintang
Delapan Mineral Tbk.
2. Bagi perusahaan PT Bintang Delapan Mineral Tbk.
Mengetahui titik lokasi keberadaan bahan tambang yang mempunyai
potensi sebagai pengembangan dan perencanaan eksplorasi yang terarah.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Geologi Regional
Simandjuntak dalam Surono (2010), menjelaskan bahwa berdasarkan sifat
geologi regionalnya Pulau Sulawesi dan sekitarnya dapat dibagi menjadi beberapa
mandala geologi yakni salah satunya adalah mandala geologi Sulawesi Timur.
Mandala ini meliputi lengan Tenggara Sulawesi, Bagian Timur Sulawesi Tengah
dan Lengan Timur Sulawesi. Lengan Timur dan Lengan Tenggara Sulawesi
tersusun atas batuan malihan, batuan sedimen penutupnya dan ofiolit yang terjadi
dari hasil proses pengangkatan (Obduction) selama Miosen. Surono (2014)
menyebutkan bahwa jalur batuan malihan dan sedimen serta penutupnya tersebut
sebagai mintakat benua, sedangkan batuan ofiolitnya merupakan lajur ofiolit
Sulawesi Timur. Bagian Timur Sulawesi ini memanjang melalui ujung Timur
Lengan Timur, sisi Timur bagian Tengah, dan Lengan Tenggara Sulawesi.
2.1.1 Geomorfologi Regional
Secara morfologi, wilayah Kabupaten Morowali dapat dibagi menjadi 5
satuan morfologi, yaitu dataran, bergelombang, perbukitan, pegunungan dan
wilayah karst.
Satuan Morfologi Dataran. Satuan morfologi ini secara dominan meliputi
daerah pesisir pantai Bungku Barat dari Emea sampai Wosu yang secara umum
merupakan areal hunian dan persawahan/perkebunan. Sebagian satuan morfologi
dataran juga terdapat di Kecamatan Mori Atas, yaitu di sekitar Tomata. Termasuk
pula dalam morfologi dataran ini adalah dua kawasan di kabupaten Morowali, yaitu

bagian selatan Baturube dan bagian timur Kolonodale. Di bagian timur Kolonodale,
yaitu wilayah lembah luas di sekitar D. Tiu, morfologi dataran dengan fisik berupa
rawa/genangan yang cukup luas. Sedangkan di selatan Baturube, wilayah dataran
diselingi rawa mecakup wilayah yang luas yang sebagian merupakan kawasan
hutan mangrove.
Satuan Morfologi Bergelombang. Satuan morfologi ini, dengan
kenampakan utama bergelombang menyebar luas di bagian timur Kabupaten
Morowali, memanjang relatif timur-barat dari Lembontonara sampai Ensa.
Sebagian wilayah Kecamatan Lembo, yaitu Lembo bagian selatan juga ditandai
dengan morfologi bergelombang ini.
Satuan Morfologi Perbukitan. Satuan morfologi ini, dengan ketinggian
antara 160 600 m dpl, terdapat di bagian utara yaitu di Bungku Utara, bagian
tengah di sekitar Kolonodale dan Masara, di Bungku Barat tersebar relatif tenggarabaratlaut dari Wosu sampai Bungku Tengah. Bentukan morfologi ini berkaitan
dengan variasi jenis batuan penyusun morfologi, dimana salah satu indikasi beda
litologi adalah berubahnya bentang alam.
Satuan Morfologi Pegunungan. Satuan morfologi pegunungan merupakan
bagian terbesar morfologi yang terdapat di Kabupaten Morowali. Ketinggian satuan
ini berkisar antara 600 2.563 m dpl, yaitu G. Kayoga.
Wilayah-wilayah yang termasuk dalam satuan ini meliputi pegunungan
Wanaripalu, Pompangeo, Tometindo, Morokompa dan pegunungan Verbeek.
Pegunungan Wanaripalu yang terletak di bagian barat, pegunungan Pompangeo di
utara dan pegunungan Tometindo di bagian tengah Morowali berarah memanjang

relatif utara-selatan. Sedangkan pegunungan Morokompa dan Verbeek yang


terdapat di bagian tengah dan tenggara berarah relatif tenggara-barat laut.
Satuan Morfologi Karst. Satuan morfologi karst, dimana faktor utama
pembentuknya adalah batuan karbonat umumnya menempati bagian tengah dan
tenggara Kabupaten Morowali, Di bagian tengah, morfologi memanjang dari
Wawopada sampai perbukitan karst di sekitar Teluk Tomori, sedangkan di bagian
tenggara dijumpai setempat-setempat di barat Wosu sampai Nombo.
Wilayah karst ini dicirikan oleh permukaan yang kasar dan terpisah-pisah,
berlereng tajam dan menunjukkan sifat-sifat batuan karbonat yang berongga.
Pola Aliran dan Karakteristik Sungai
Sungai-sungai di Kabupaten Morowali bermuara di teluk-teluk yang secara
regional termasuk wilayah Teluk Tolo. Sungai-sungai terbesar adalah S. Laa, S.
Tiu, S. Tirogan, S. Karaopa, S. Lanona, S. Sumara dan S. Ipi. Penampang
morfologi sungai-sungai ini umumnya U. Sungai Sumara merupakan sungai yang
menunjukkan wilayah dataran banjir yang luas. Di samping pola aliran sungai
dominan yang berpola dendritik, juga pola-pola aliran sungai paralel dan
rektangular serta trelis dapat dianalisa berdasarkan pola morfologi pada rupabumi.
2.1.2. Stratigrafi Regional
Secara regional di wilayah Kabupaten Morowali terdapat dua mandala
geologi, yaitu Mandala Geologi Sulawesi Timur dan Mandala Geologi Banggai
Sula. Kedua mandala geologi ini bersama dengan Mandala Geologi Sulawesi Barat
besentuhan secara tektonik satu sama lain (Simanjuntak dkk, 1991).

Mandala Geologi Sulawesi Timur dicirikan oleh himpunan batuan


metamorf, ultrabasa, basa, dan batuan sedimen laut dalam. Mandala Geologi
Banggai-Sula dicirikan oleh batuan sedimen pinggiran benua klastik, sedimen yang
berumur Mesozoikum dan Tersier Awal.
Stratigrafi batuan wilayah ini disusun berdasarkan umur dari tua ke muda
sebagaii berikut.
1. Formasi Tokala
Di Kabupaten Morowali satuan ini terdapat di timur sampai dengan
tenggara, yaitu di sebelah barat Wosu yang memanjang ke arah tenggara sampai
dengan batas dengan Propinsi Sulawesi Tenggara. Formasi Tokala merupakan
bagian dari Mandala Geologi Banggai-Sula. Litologi yang menyusun formasi ini
terdiri dari batugamping, napal, batupasir, serpih, argilit, breksi dan konglomerat.
Berdasarkan kandungan fosil koral dan moluska, formasi ini diduga
berumur Trias Akhir. Hubungan dengan formasi diatasnya merupakan hubungan
tidak selaras. Tebal formasi diperkirakan lebih dari 500 m.
2. Formasi Tetambahu
Di Kabupaten Morowali satuan ini terdapat di sekitar Kolonodale, yaitu di
Giliana, Koya, P. Tokodimba dan pegunungan Towi. Formasi ini merupakan
bagian dari Mandala Geologi Banggai-Sula. Litologinya terdiri dari perselingan
batugamping, napal dan batupasir dengan sisipan gamping rijangan. Berdasarkan
kandungan fosilnya, Formasi Tetambahu diduga berumur Jura Akhir. Tebal satuan
diperkirakan sekitar 500 m.

3. Formasi Nanaka
Litologi satuan ini terdiri dari perselingan batupasir kuarsa dengan dengan
batupasir lempungan serta konglomerat pada bagian bawahnya. Formasi Nanaka
merupakan bagian dari Mandala Geologi Banggai Sula.
Di Kabupaten Morowali satuan ini terdapat pada pulau-pulau kecil di Teluk
Tomori sebelah timur Kolonodale. Umur satuan ini diperkirakan Jura, dengan
ketebalan satuan melebihi 500 m (Simanjuntak, 1991).
4. Formasi Masiku
Batuan penyusun formasi ini terdiri dari batusabak, serpih, filit, batupasir,
batugamping dengan buncah gamping rijangan. Di Kabupaten Morowali satuan ini
terdapat di daerah Bahombelu, Tinompo, Korowalelo dann Korompeli. Formasi
Masiku merupakan bagian dari Mandala Geologi Banggai-Sula. Fosil penunjuk
untuk Formasi ini tidak ditemukan. Diduga umur formasi adalah Jura Akhir dan
mempunyai ketebalan sekitar 500 m.
5. Batuan Ultrabasa
Batuan penyusun satuan ini terdiri dari harzburgit, lherzolit, wehrlit, dunit,
piroksenit, websterit dan serpentinit. Gabungan batuan ultrabasa dan basa dengan
sedimen pelagos Mesozoikum Formasi Matano merupakan tuntunan ofiolit yang
secara regional disebut Jalur Ofiolit Sulawesi Timur (Simanjuntak dkk, 1991).
Di kabupaten Morowali batuan ini termasuk kedalam Mandala Geologi
Sulawesi Timur dan merupakan penyusun dominan litologi di wilayah kabupaten.
Batuan tersingkap secara luas dan dapat dijumpai di semua kecamatan yang ada di

Kabupaten Morowali. Umur Batuan ultra basa ini diduga tidak lebih tua dari Kapur
Awal (Simanjuntak, 1986).
6. Kompleks Pompangeo
Litologinya adalah berbagai jenis sekis, genes, meta kuarsit, meta gamping,
marmer, filit, batusabak, grafit, serpentinit, basal malih dan gabro malih; setempat
terdapat breksi dan milonit.
Umur satuan ini belum dapat dipastikan, tetapi berdasarkan himpunan
batuan diduga berasal dari batuan sedimen pelagos yang lebih tua dari kapur. Umur
pemalihan juga tak diketahui, namun diduga tidak lebih tua dari Kapur Akhir.
Satuan ini tersebar luas di utara Kecamatan Mori Atas dan Kecamatan Lembo.
Tebal satuan sulit dipastikan, diduga ribuan meter.
Komplek Pompangeo yang terdapat di Mandala Geologi Sulawesi Timur ini
diperkirakan tertindih tak selaras oleh Formasi Matano, serta bersentuhan tektonik
dengan Formasi Tetambahu dan Formasi Lamusa; dan berupa sesar naik dengan
batuan granit, gunungapi Tersier dan Formasi Latimojong di bagian barat, serta
merupakan alas sedimen molasa Formasi Puna, Formasi Napu, Formasi Morowali
dan Formasi Tomata. Komplek ini disebut Metamorphic Rocks oleh De Roever
(1934) dan Sekis oleh Sukamto (1975).
7. Batugamping Marmeran
Litologi satuan ini terdiri dari marmer, batugamping terdaunkan dan
baugamping kristalin dan masih merupakan bagian dari Mandala Geologi Sulawesi
Timur.

Satuan ini menyebar cukup luas di daerah Mori Atas seperti di Ensa, Tomata
dan Peleru. Umumnya terdapat berupa singkapan-singkapan dalam batuan sekis
dan genes. Penyebaran satuan yang disusun oleh marmer secara jelas dapat diamati
di lokasi-lokasi selatan Tomata dan utara Peleru.
Umur satuan ini belum diketahui dengan pasti, tetapi diduga berasal dari
sedimen pelagos, yaitu kalsilutit yang berumur lebih tua dari Kapur.
8. Formasi Matano
Formasi ini termasuk bagian dari Mandala Geologi Sulawesi Timur, dengan
litologi satuan terdiri perselingan batugamping kalsilutit dengan rijang, bersisipan
batulempung napalan dan argilit. Akibat kegiatan tektonik yang berulang maka
semua batuan dalam satuan ini terlipat kuat, sebagian membentuk struktur antiklin
dan sinklin.
Di Kabupaten Morowali formasi tersebar sangat luas, hampir di semua
kecamatan. Penyebarannya antara lain daerah Tomata, Beteleme, Kolonodale dan
jalur pegunungan di sebelah barat Bungku Barat serta pegunungan di bagian barat
Bungku Selatan. Berdasarkan kandungan fosil dalam rijang dan batugamping,
diperkirakan umur formasi ini adalah Kapur Atas (Budiman, 1980).
9. Formasi Salodik
Litologi formasi ini berupa batugamping kalkarenit, kalsirudit, batugamping
terumbu, dan bersisipan napal dari marmer, batugamping terdaunkan dan
baugamping kristalin.
Di Kabupaten Morowali, satuan ini terdapat setempat di sebelah barat Bente
Kecamatan Bungku Tengah. Salah satu bentuk khas dari topografi satuan ini adalah

10

bentuk topografi karst dengan perbukian yang saling terpisah. Tebal formasi
diperkirakan sampai melebihi 1000 m, dengan umur formasi adalah EosenOligosen (Bison dkk, 1982).
10. Formasi Bongka
Gugusan batuan dalam formasi ini merupakan batuan sedimen klastika yang
diendapkan setelah tubrukan antara Mandala Banggai Sula dan Mandala Sulawesi
Timur yang terjadi pada kala Miosen Tengah dan dikelompokkan kedalam
Kelompok Molase Sulawesi, dimana Formasi Bongka termasuk salah satu
diantaranya.
Formasi Bongka terdiri dari konglomerat, batupasir, serpih, napal,
batugamping, tufa dan batubara yang terdapat di beberapa tempat berupa lensa di
bagian atas. Ciri utama satuan ini terhadap morfologi adalah bentuk morfologi
bergelombang. Di Kabupaten Morowali formasi ini menyebar luas di sebelah barat
wilayah Kecamatan Bungku Utara. Tebal satuan diperkirakan sekitar 750 m,
dengan umur Formasi Miosen Atas Pliosen.
11. Formasi Tomata
Litologi formasi ini terdiri dari batugamping, napal, batupasir tufaan dan
konglomerat, dan merupakan bagian dari Mandala Geologi Sulawesi Barat.
Penyebaran satuan di kabupaten Morowali sangat luas mencakup bagian
barat Morowali di Kecamatan Mori Atas sampai dengan daerah selatan Beteleme.
Penyebaran yang cukup luas juga terdapat di Bungku Barat dan Bungku Selatan.
Tebal satuan diperkirakan sekitar 500 m dengan umur formasi Pliosen (Budiman,
1981).

11

12. Formasi Larona


Litologi formasi ini terdiri dari konglomerat, batupasir, batulempung
dengan sisipan tufa, dan merupakan bagian dari Mandala Geologi Banggai Sula.
Penyebaran satuan tidak luas dan di Kabupaten Morowali hanya terdapat di
Pegunungan Morokompa di sebelah selatan Tompira Kecamatan Petasia. Tebal
satuan diperkirakan sekitar 500 m dengan umur formasi Miosen Akhir - Pliosen.
13. Aluvium
Litologinya adalah lumpur, lempung, lanau, pasir, kerikil dan kerakal;
berupa endapan sungai, rawa dan pantai. Sebaran utama adalah daerah pesisir pantai
yang memanjang dari Solonsa sampai Bungku dan di pesisir daerah Labota. Tebal
satuan beberapa meter sampai puluhan meter.
Satuan dan batuan litologi wilayah penelitian dirangkum dan ditabulasikan
dalam Tabel 2.1 berikut.

12

2.1.3. Struktur Regional


Struktur geologi wilayah penelitian sangat erat kaitannya dengan kerangka
tektonik Pulau Sulawesi yang merupakan persentuhan 3 mandala geologi, yakni
Mendala Geologi Sulawesi Timur, Mendala Geologi Sulawesi Barat dan Mandala
Geologi Banggai Sula.
Struktur geologi yang terdapat di wilayah ini adalah lipatan, kekar dan sesar.
Jenis sesar yang dapat dikenali berupa sesar sungkup, sesar turun dan sesar
mendatar. Adapun sesar yang dapat dikenal adalah sesar Morowali, dan sesar
Uekuli dan zone sesar sejajar di Bungku Barat. Sesar-sesar tersebut berarah
tenggara-baratlaut. Di Bungku juga terlihat beberapa sesar dengan dimensi yang
lebih kecil, dengan arah relatif sejajar dengan arah kedua sesar sungkup, yaitu
timurlaut baratdaya di bagian barat dan tenggara-baratlaut di bagian timur.
Lipatan yang terbentuk di daerah ini terdiri dari tiga jenis, yaitu lipatan
lemah dan terbuka, lipatan tertutup dan lipatan tumpang-tindih. Struktur geologi
lainnya yang sangat umum dan terdapat pada hampir semua batuan adalah struktur
kekar. Arah pengkekaran umumnya umumnya tidak beraturan, kecuali pada zonezone yang dekat dengan struktur utama.
2.2 Genesa Endapan Nikel Laterite
Ni dalam batuan utrabasa terdapat dalam mineral mafik. Umumnya pada
mineral Olivin, Orthopiroksen, Klinopiroksen. Kromit dan magnetit juga berisi
lebih sedikit Ni. Di dalam mineral mafik, nikel terdapat dalam jaringan mineral
olivin yang terbentuk pada proses kristalisasi awal. Masuknya Ni ke dalam mineral
olivin melalui proses magmatik. Olivin dapat mengandung 0,4 % NiO dan 0,322 %

13

Ni. Olivin merupakan mineral yang terbentuk pada temperatur tinggi sangat tidak
stabil di bawah kondisi atmosfer, sehingga saat terjadi pelapukan akan melepaskan
ion Ni yang terdapat dalam ikatan atomnya. Umumnya hidroksidasi dari beberapa
unsur kimia dijumpai berasosiasi dengan lingkungan laterit. Ion - ion yang
dilepaskan selama proses hidrolisis dari mineral - mineral mafik, ditetapkan sebagai
hidroksida Pada hidrosilikat nikel (mineral garnierit), nikel menggantikan atom Mg
dalam mineral serpentin, talk dan klorit. Anggota nikel murni tidak muncul secara
alami dan kebanyakan garnierit berisi (Ni, Mg) sebagai pengganti Mg (Waheed,
2002).
Boldt (1967), menyatakan bahwa proses pelapukan dimulai pada batuan
utrabasa (peridotit, dunit, serpentinit), dimana batuan ini banyak mengandung
mineral olivin, magnesium silikat dan besi silikat, yang pada umumnya
mengandung 0,30 % nikel. Batuan tersebut sangat mudah dipengaruhi oleh
pelapukan lateritik. Air tanah yang kaya CO2 berasal dari udara luar dan tumbuh
tumbuhan, akan menghancurkan olivin. Terjadi penguraian olivin, magnesium,
besi, nikel dan silika ke dalam larutan, cederung untuk membentuk suspensi koloid
dari partikel partikel silika yang submikroskopis. Di dalam larutan, besi akan
bersenyawa dengan oksida dan mengendapa sebagai ferri hidroksida. Akhirnya
endapan ini akan menghilangkan air dengan membentuk mineral mineral seperti
karat, yaitu hematit dan kobalt dalam jumlah kecil. Jadi, besi oksida mengendap
dekat dengan permukaan tanah.
Proses pelapukan dan pencucian yang terjadi, akan menyebabkan unsur Fe,
Cr, Al, Ni dan Co terkayakan di zona limonit dan terikat sebagai mineral mineral

14

oxida / hidroksida, seperti limonit, hematit, geotit dan sebagainya (Hasanudin,


1992). Selanjutnya pada proses pelapukan lebih lanjut magnesium (Mg), Silika (Si),
dan Nikel (Ni) akan tertinggal di dalam larutan selama air masih bersifat asam .
Tetapi jika dinetralisasi karena adanya reaksi dengan batuan dan tanah, maka zat
zat tersebut akan cendrung mengendap sebagai mineral hidrosilikat (Ni-magnesium
hidrosilicate) yang disebut mineral garnierit [(Ni,Mg)6Si4O10(OH)8] atau mineral
pembawa Ni (Boldt, 1967)
2.3 Profil endapan nikel laterit
Profil nikel laterit pada umumnya dibagi menjadi :
a. Zona limonite, zona ini umumnya berwarna merah hingga merah
kecoklatan, kaya akan besi bekurang lebih 20-50, strukturnya sangat halus
(clay). pada zona ini terdapat zona transisi yang merupakan peralihan
antara zona limonit dan zona saprolit umumnya berwarna merah,
mengandung mineral smectite (nontronit).
b. Zona saprolite, zona ini berwarna abu-abu hingga hijau kecoklatan.
mengandung mineral serpentin dan olivin, unsur Ni diatas 2%. berukuran
halus hingga boulder. Ukuran boulder ini biasanya merupakan bagian dari
proses pelapukan batuan induk (protolith) yang belum sempurna.
c. Bedrock zone, zona ini tidak dapat ditambang karena merupakan batuan
dasar (sourcesrock) yang tidak ekonomis.
2.4 Hubungan Kemiringan Lereng Dengan Profil Horizon Laterit
Pada kondisi kemiringan topografi berbeda akan terbentuk ketebalan endapan
yang berbeda-beda. Hal ini disebabkan

oleh kondisi lingkungan pembentukan

15

yang berbeda akibat perbedaan kemiringan topografi. Hubungan persen lereng


dengan ketebalan zona endapan laterit memperlihatkan bahwa ketebalan zona
limonit akan berbanding terbalik dengan kondisi kemiringan topografi. Hal ini
dikarenakan oleh aktivitas utama yang terjadi pada daerah dengan kemiringan
topografi terjal adalah pengikisan (erosi) sehingga unsur-unsur penyusun limonit
tidak akan terakumulasi melainkan tererosi sehingga zona limonit tidak akan
terbentuk. Kondisi yang sama terjadi pada LSOZ dan HSOZ dimana ketebalan
zona ini akan berbanding terbalik dengan kondisi kemiringan topografi.
Pembentukan masing-masing zona pada endapan nikel laterit berada pada
daerah dengan kemiringan lereng yang moderat. kemiringan lereng yang sangat
landai (0% - 35%) besar kemungkinan tidak akan terbentuk zona yang umum
terdapat pada endapan nikel laterit, walau tidak menutup kemungkinan
terbentuknya horizon. Artinya pada daerah dengan kemiringan lereng yang
berkisar antara 0% sampai 35% dapat terbentuk masing-masing zona namun
dapat pula tidak ditemukan adanya zona-zona umum yang berada pada endapan
nikel laterit. Sementara untuk daerah dengan kemiringan yang berkisar antara
18% sampai 52% maka sangat besar kemungkinan terbentuknya zona- zona yang
terdapat

pada endapan

nikel laterit. Sehingga untuk dapat menentukan

kemiringan topografi yang paling prospek sebagai tempat pembentukan endapan


nikel maka dilakukan dengan cara mengiriskan batasan kemiringan dimana zona
endapan nikel laterit tidak terbentuk dan kemiringan dimana zona endapan
nikel laterit akan terbentuk. Hal ini dilakukan sebagai solusi yang diambil
mengingat ditemukannya kenyataan bahwa pada kemiringan yang berkisar

16

antara 0% sampai 35% dapat terbentuk endapan nikel laterit, namun dapat pula
tidak ditemukan endapan nikel laterit. Sebagai hasil dari irisan ini maka
didapatkan suatu kemiringan topografi sebagai tempat yang paling ideal
untuk terbentuknya suatu endapan nikel laterit yakni pada kemiringan antara
35% sampai 52% (Syafrizal,2009 ).

17

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian lapangan dilaksanakan selama kurang lebih satu bulan. Secara
administrasi daerah penelitian bertempat PT. Bintang Delapan mineral, Kabupaten
Morowali, Propinsi Sulawesi Tengah.

Gambar 3.1 peta tunjuk lokasi penelitian ( simanjuntak 1933)


B. Jenis Penelitian
Jenis penelitan yaitu observasional (Sugiono,2012) dengan melakukan
pengamatan dan pengukuran secara langsung dilapangan untuk memperoleh data

18

yang diperlukan seperti data litologi, geomorfologi, dan struktur, serta sampel data
bor profil nikel laterit.
C. Bahan Atau Materi Penelitian
Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data
sekunder.
-

Data primer
Data primer yaitu data permukaan yang diperoleh dari hasil observasi dan

pengukuran langsung di Lapangan. Semua data yang dijumpai di lapangan, baik


data yang dilihat secara langsung berupa data geologi (geomorfologi, stratigrafi dan
struktur geologi) dan data batuan teralterasi maupun data yang diperoleh dengan
penelitian Laboratorium.
-

Data sekunder
Data sekunder yaitu data yang diperoleh dari peta geologi regional daerah

telitian dan sekitarnya sebagai referensi dalam penelitian dan bahan perbandingan
dalam menjawab tujuan penelitian.
D. Instrumen penelitian
Instrumen yang digunakan dalam penelitian tercantum pada tabel 1
Tabel 1. Instrumen yang digunakan dalam penelitian
No.

Nama

Fungsi

Peta Topografi skala 1:25.000 Area


PT. Bintang Delapan Mineral.

Peta dasar untuk melakukan orientasi medan dan


pengeplotan titik pengamatan di lapangan serta
mengetahui kondisi topografi.

Palu Geologi

Kompas Geologi

Menyampling/mengambil sampel batuan di


lapangan.
Melakukan orientasi medan, mengukur
kelerengan morfologi dan mengukur data struktur
baik struktur primer maupun sekunder serta

19

menentukan arah kemiringan batuan dan arah


penyebaranya.
Menentukan titik koordinat
Mengamati butiran dan komposisi penyusun
batuan yang tidak dapat dilihat secara kasat
mata.
Mengambil dokumentasi data lapangan.
Mencatat hasil pengamatan lapangan.

GPS (Global Positioning Sistem)

Loup 20 kali pembesaran

6
7

Kamera
Alat tulis menulis

Mistar dan Busur Derajat

Alat bantu dalam orientasi medan dan


menentukan titik koordinat pada peta.

Spidol Permanen

Menulis kantong sampel.

10

Tas Ransel

11

Clipboard

12

Buku Lapangan

Tempat mencatat data-data yang ada pada saat


melakukan observasi dan pengambilan data
lapangan.

13
14

Leptop
Kantong sampel

Mengolah data yang akan dianalisis.


Tempat menyimpan sampel batuan penelitian.

Menyimpan semua peralatan yang digunakan di


lapangan.
Alas peta topografi, menulis dan sebagai alat
bantu dalam melakukan pengukuran data-data di
Lapangan (strike/dip)

E. Prosedur Penelitian
Prosedur penelitian dibagi menjadi beberapa tahapan yaitu antara lain:
1. Tahapan persiapan
Tahap ini merupakan tahap awal dari suatu kegiatan penelitian sebelum
melakukan pengambilan data-data lapangan yang terdiri dari :
a. Studi pustaka
Sebelum kegiatan penelitian dilaksanakan, agar dapat mengetahui bagaimana
kondisi daerah penelitian secara umum yang dilakukan dengan cara
mengumpulkan informasi mengenai kondisi geologi daerah penelitian dan
informasi yang dikumpulkan melalui teori-teori yang berhubungan Hubungan

20

kemiringan lereng terhadap profil zona laterit


b. Persiapan peralatan lapangan
Persiapan kelengkapan peralatan lapangan yang akan dibawah dan digunakan di
dalam kegiatan penelitian di Lapangan, peralatan standar maupun peralatan
tambahan.
2. Tahapan penelitian lapangan
Tahap ini dilakukan di lokasi penelitian selama kurang lebih 1 bulan. Dalam
tahap ini, digunakan beberapa metode pengambilan data, antara lain :
a.

Penentuan dan pemplotan titik lokasi/stasiun pengamatan pada peta dasar,


sekala 1 : 25.000. Penentuan titik ini dapat dilakukan dengan metode orientasi
medan langsung dengan melihat kondisi sekitar dan memplotnya ke dalam peta
dasar, ataupun dengan menggunakan alat bantu berupa GPS.

b.

Pengamatan kondisi singkapan dihubungkan dengan batuan di sekitarnya,


dimensi penyebaran dan sifat-sifat megaskopis batuan tersebut.

c.

Pengamatan dan pengambilan data geomorfologi dan Struktur geologi.

d.

Pengambilan foto kondisi singkapan dengan menggunakan kamera.

e.

Pengambilan

conto

batuan

dengan

menggunakan

metode

sampling

dilakukan dengan cara chip sampling secara random terutama di bagian-bagian


satuan batuan yang terindikasi adanya ubahan larutan hidrotermal dan Conto
batuan yang diambil berukuran hand speciment dengan kondisi segar.
f.

Pengukuran data-data lapangan, meliputi pengukuran dimensi singkapan


(panjang dan lebar), tebal dan pengukuran data-data struktur (kekar, lipatan,
dll).

21

F. Pengolahan Data dan Analisis Hasi Penelitian


Analisis data yang di gunakan yaitu analisis data lapangan
-

Analisis Lapangan
1) Analisis Geomorfologi, didasarkan pada kenampakan morfologi lapangan,
relief, bentuk permukaan bumi seperti aliran sungai, soil, vegetasi, dan
kelerengan.
2) Analisis Struktur Geologi, dilakukan untuk mengetahui struktur geologi
yang terdapat pada daerah penelitian. Analisis data struktur lipatan dengan
menggunakan metode Busk (1929) sedangkan analisis data kekar
menggunakan Diagram kipas dan streonet.
3) Analisis morfometri untuk menentuan sudut dan presentase kelerengan
bentangalam dengan cara interpretasi garis kontur.
Rumus : Arctan = ((n-1)) x ik / jh x Sp)
Dimana:
n
ik
jh
Sp

(1)

= Kelerengan
= Jumlah Kontur
= Interval Kontur
= Jarak Horizontal
= Skala Peta

22

Desain Kerangka Berpikir


Hubungan Kemiringan Lereng Dalam Distribusi Ketebalan Horizon
Laterit Pada Endapan Nikel Laterit Area PT.Bintang Delapan Mineral
Mineral
Tujuan

Mengetahui hubungan kemiringan lereng dan morfologi dalam


distribusi ketebalan horizon laterit pada endapan nikel laterit
area PT.BDM
1.

Persiapan

Penelitian Lapangan

Pengolahan Data

1. Penentuan dan Pemplotan Titik Lokasi


2. Pengamatan Kondisi Singkapan
3. Pengambilan data Geologi (Litologi,
Geomorfologi dan Struktur Geologi)
4. Pengambilan Foto
5. Pengambilan Conto Batuan Fresh
Rock
6. Pengukuran Data-Data Lapangan

Hasil Penelitian

Peta Morfometri
Peta Kelerengan
Peta Geomorfologi

Hasil Analisis
Data
Peta Geologi
Peta Alterasi
Hubungan kemiringan
lereng dengan zonasi
distribusi endapan nikel
laterit.

Output

Proses

Pembuatan peta
morfometri

Studio
Analisis Geomorfologi

1.
2.
3.

Input

1. Studi Pustaka
2. Persiapan Peralatan Lapangan

Metode
Observasional

Gambar 13. Diagram desain kerangka berpikir

23

G. Jadwal Penelitian
Minggu

Minggu

Minggu

Minggu

Kegiatan

Studi Pustaka

Pengumpulan Data

Pengolahan dan Analisis


Data

Pembuatan skripsi

24

DAFTAR PUSTAKA
Boldt, J.R., 1967, The Winning of Nickel, The Hunter Rose Company, Longmans,
Canada.
M. Sompotan, Armstrong. 2012. Struktur Geologi Sulawesi. Perpustakaan sains
kebumian institusi teknologi bandung, 2012
Surono, 2010. Geologi Lengan Tenggara. Badan Geologi. Bandung
Surono, 2013, Geologi Lengan Tenggara Sulawesi, Pusat Penelitian dan
Pengembangan Geologi.
Syafrizal, M. Nur Heriawan, Sudarto Notosiswoyo, Komang Anggayana1 Jogi F.
Samosir, Hubungan Kemiringan Lereng Dan Morfologi Dalam
Distribusi Ketebalan Horizon Laterit Pada Endapan Nikel Laterit :
Studi Kasus Endapan Nikel Laterit Di Pulau Gee Dan Pulau Pakal,
Halmahera Timur, Maluku Utara. JTM Vol. XVI No. 3/2009
Waheed, 2006, Nickel Laterites - A Short Course On The Chemistry, Mineralogy
And Formation of Nickel Laterites, PT. Inco, Indonesia (Unpublished).

25

Anda mungkin juga menyukai