Anda di halaman 1dari 28

BAB II

TINJAUAN UMUM

2.1. Keadaan Umum

Ditinjau dari peta topografi yang mencakup daerah Bungku dan

sekitarnya, morfologi wilayah ini didominasi oleh perbukitan yang

memanjang berarah relatif barat laut – tenggara dan utara – selatan, yang

diduga merupakan lipatan–lipatan yang dipengaruhi oleh Sesar Matano di

sebelah utara dan Sesar Lasolo di bagian selatannya. Adanya bukit–bukit

soliter yang ditemukan, diperkirakan merupakan bagian dari lipatan–

lipatan yang tersesarkan. Pola pengairannya didominasi oleh pola

dendritik dan rektangular.

Satuan kelerengannya terbagi atas dataran landai di sepanjang

pantai timur Sulawesi, perbukitan bergelombang lemah – kuat, serta

perbukitan tertajam kuat di sekitar patahan.

Sumber : PT. Tanjung Putia

Gambar 2.1
Morfologi area PT. Tanjung Putia

2-1
2.1.1. Lokasi dan Kesampain Daerah

Secara administratif lokasi Izin Usaha Pertambangan Eksplorasi

PT. PT. Tanjung Putia berada pada desa Bahomakmur Kecamatan

Bahodopi Kabupaten Morowali Provinsi Sulawesi Tengah. Sedangkan

secara geografis terletak pada koordinat 121° 48’ 18.3” – 122° 7’ 59.1”

Bujur Timur dan 2° 43’ 0.4” – 2° 55’ 43.7” Lintang Selatan.

Lokasi PT. PT. Tanjung Putia dapat ditempuh dengan :

1. jalur darat menggunakan bus selama ± 14 jam dari Makassar ke

Sorowako kemudian jalur laut selama 45 menit dari Sorowako ke

Nuha (penyebrangan danau Matano).

2. Dilanjutkan menggunakan bus dari Desa Nuha ke kecamatan

Bahodopi selama ± 12 jam.

3. Jalur antara kecamatan Bahodopi dengan tempat daerah penelitian

yaitu PT. Tanjung putia, selaku kontraktor PT. BintangDelapan

mineral ± 5 km.

4. Bisa juga mengunakan pesawat terbang dari makassar – bungku

dengan jadwal penerbangan setiap hari kamis.

5. Sedangkan Bungku ke kecamatan bahodopi selama ±1.30 jam

2-2
Lokasi Penelitian

Sumber : PT. Tanjung putia

Gambar 2.2
Peta Lokasi Penelitian

2.1.2. Keadaan Geologi Penelitian

1. Geologi Regional Sulawesi

Setidaknya terdapat empat fase tektonik utama yang membentuk

arsitektur pulau ini, yaitu pada Periode Kapur Tengah, Kala Oligo–Miosen,

Kala Miosen Tengah dan Kala Awal Pliosen. Katili (1978), Sukamto

(1975), Hall (1996), Wilson dan Moss (1999), serta Nichols dan Moss

(1999) mendukung teori penunjaman berumur Eosen – Oligosen dengan

arah penunjaman ke barat, sedangkan Parkinson (1991,1996,1998) serta

Simanjuntak dan Barber (1996) menerima teori penunjaman berarah timur

(Villenevue,2001).

2-3
Sumber : Armstrong F. Sompotan, 2007

Gambar 2.3
Peta Geologi Regional Sulawesi

Berdasarkan keadaan tektoniknya, Pulau Sulawesi terbagi menjadi 4


bagian, yaitu:

a. Mandala Barat (West and North Sulawesi Volcano – Plutonic Arc),

merupakan jalur magmatik bagian timur Paparan Sunda yang tersusun

atas batuan vulkanik bermumur Cenozoic dan batuan pluton.

b. Mandala Tengah (Central Sulawesi Methamorphic Belt), merupakan

batuan malihan yang ditumpangi batuan bancuh sebagai bagian dari

blok Indoaustralia.

2-4
c. Mandala Timur (East Sulawesi Ophiolite Belt), berupa ofiolit yang

merupakan segmen dari kerak samudra berimbrikasi dan batuan

sedimen berumur Trias – Miosen. Mandala ini merupakan wilayah

dimana endapan nikel laterit biasa terbentuk.

d. Banggai-Sula dan Tukang besi Continental Fragment, merupakan

kepulauan paling timur, dimana Banggai Sula dan Tukang Besi adalah

pecahan benua yang berpindah ke barat karena strike-slip fault dari

New Guinea.

Batuan ofiolit yang berada pada Mandala Sulawesi Timur,

merupakan batuan pembawa nikel, sedangkan Mandala Banggai-Sula

dicirikan oleh endapan batas kontinen, dimana Formasi Tolaka

merupakan unit litologi tertua yang diendapkan pada zaman Trias hingga

Awal Yura pada lingkungan neritik hingga fluviatil. Pada Yura Akhir

diendapkan Formasi Nanaka pada lingkungan terestrial hingga laut

dangkal. Formasi Masiku diendapkan pada Yura Akhir hingga Kapur Awal

pada lingkungan neritik luar, sedangkan Formasi Soladik diendapkan

pada Eosen Akhir hingga Miosen Awal di lingkungan laut dangkal.

Mandala Sulawesi Timur tersusun atas Komplek Ultramafik yang

merupakan bagian dominan dari geologi regional Kabupaten Morowali dan

merupakan batuan tertua di mandala ini yang diendapkan pada Awal

Kapur. Pada Kapur Akhir diendapkan Formasi Matano di lingkungan laut

dalam, diteruskan oleh pengendapan Formasi Tomata yang merupakan

2-5
Post-Neogene Orogenic Clastic Sediment di lingkungan laut dangkal

hingga air tawar pada Miosen Akhir – Pliosen.

Tatanan stratigrafi regional daerah ini disusun oleh :

a) Kompleks Ultrabasa (PTUb)

Kompleks ultrabasa yang merupakan batuan tertua, disusun oleh

harzburgit, lherzolit, wehrlit, serpentinit, dunit, diabas dan gabro.

Batuan ini tersebar di bagian tengah dan umumnya menempati

perbukitan dan pegunungan yang memanjang baratlaut – tenggara.

Singkapannya dapat dijumpai pada beberapa tebing curam maupun

yang terkupas.

b) Formasi Salodik

Formasi ini disusun oleh kalsilutit, batu gamping pasiran, napal,

batu pasir dan rijang.

c) Formasi Tokala

Formasi Tokala terdiri atas perselingan batugamping klastik,

batupasir sela, wake, serpih, napal dan lempung pasiran dengan

sisipan argilit.

d) Formasi Tomata

Formasi Tomata tersusun oleh perselingan batupasir konglomerat,

batu lempung dan tuf dengan sisipan lignit. Sebarannya terutama di

bagian selatan dan barat daya. Satuan ini berumur Miosen – Pliosen.

e) Endapan Aluvial

2-6
Endapan ini merupakan endapan termuda, terdiri dari material

lepas berukuran lempung sampai kerakal yang merupakan hasil dari

rombakan batuan yang lebih tua, tersebar di sepanjang tepi pantai

timur dan sekitar tepi danau.

Struktur utama yang membentuk daerah ini adalah sesar dan

lipatan, dimana Sesar Matano sebagai sesar utama, sesar geser kiri

dengan arah barat laut - tenggara. Sesar ini diduga berhubungan dengan

Sesar Sorong, dimana keduanya merupakan satu sistem sesar jurus yang

mungkin telah terbentuk sejak Oligosen. Sesar yang juga mempunyai

pengaruh pada regional Sulawesi bagian timur dan tenggara adalah Sesar

Lasolo. Sejurus dengan Sesar Matano, Sesar Lasolo oleh beberapa

penulis disebut sebagai Sesar Hamilton, yaitu sesar geser kiri yang diduga

masih aktif hingga kini.

Lipatan yang berkembang dibagi menjadi 3 jenis yaitu; lipatan

terbuka, lipatan tertutup dan lipatan superimposed. Lipatan terbuka

berupa lipatan lemah yang mengakibatkan kemiringan lapisan tidak

melebihi 35º, lipatan ini berumur Miosen hingga Plistosen dan umumnya

mempunyai sumbu lipatan yang bergelombang dan berarah barat – timur

sampai barat laut – tenggara.

Lipatan tertutup berupa lipatan sedang dengan kemiringan lapisan

35º – tegak, bahkan di beberapa tempat lapisan ini mengalami

pembalikan. Perlipatan ini terbentuk pada Oligosen atau bahkan lebih tua.

2-7
Lipatan Superimposed merupakan lipatan yang terdapat pada

batuan-batuan Mesozoikum dengan sumbu lipatan berarah barat laut –

tenggara.

Sumber : PT. Tanjung Putia


Gambar 2.4.
Pola Struktur Regional Pulau Sulawesi

2.1.3 Morfologi Daerah Penelitian

Morfologi daerah penelitian dapat dibagi dalam dua kategori yaitu

perbukitan bergelombang sedang dan perbukitan terjal. Perbukitan terjal,

menempati bagian barat hingga ke selatan daerah penelitian, sedangkan

2-8
perbukitan bergelombang sedang menempati daerah bagian sisi timur

hingga daerah tenggara daerah penelitian. Kedua kategori morfologi

tersebut di atas hampir seluruhnya ditumbuhi oleh pepohonan kayu

berbatang besar hingga kecil.

Pola aliran sungai yang berkembang adalah pola pararel (paralis) di

bagian timur laut dimana dicirikan dengan aliran sungai yang bersumber

pada satu jenis aliran berbentuk memanjang relatif lurus dan lebar yang

menunjukkan kontrol struktur cukup kuat berupa sesar dengan batuan

yang relatif keras dan pada bagian barat daya, pola aliran sungai yang

berkembang adalah pola denditrik yang mencirikan bahwa secara umum

batuan yang menempati daerah tersebut  relatif homogen.

2.1.4 Stratigrafi Daerah Penelitian

Secara Regional Daerah Penelitian termasuk kedalam Formasi

Tomata dan Kompleks Ultramafik. Formasi Tomata terdiri dari:

Konglomerat, Batulempung, Batupasir dan Tuff sedangkan Kompleks

Ultramafik terdiri dari: Hazburgite, Lherzolite, Serpentinite, Dunite,

Diabas, dan Gabro.

Di daerah penelitian dapat di jumpai 2 (dua) jenis batuan yang

menjadi penyusun utama yaitu batuan beku dan batuan sedimen. Batuan

beku terdiri dari peridotit sedangkan batuan sedimen terdiri dari

konglomerat dan batu pasir.

Daerah penelitian terdiri dari 2 satuan batuan yaitu satuan batuan

peridotit dan konglomerat.

2-9
1. Satuan Peridotit

Satuan Peridotit merupakan satuan tertua yang tersingkap di

daerah penelitian. Satuan ini mempunyai penyebaran sekitar 45% dari

luas daerah penelitian. Penyebaran satuan ini menempati bagian Barat

daerah penelitian. Warna hijau gelap, warna lapuk coklat kemerahan,

coklat kekuningan, stuktur masif, tektur afanitik sampai fanerik, komposisi

mineral olivin, piroksen, serpentin dan lain-lain.

Sumber : PT Tanjung Putia

Gambar 2.5
Kenampakan satuan batuan peridotit

2. Satuan Konglomerat

Penamaan satuan konglomerat berdasarkan pengamatan di lapangan

tersusun oleh batuan konglomerat dengan sisipan batu pasir. Satuan ini

terendapkan secara tidak selaras di atas satuan peridotit, mempunyai

penyebaran sekitar 65% dari luas daerah penelitian. Penyebaran satuan

2-10
berada di bagian Timur daerah penelitian. Batuan konglomerat berwarna

abu-abu kekuningan dengan fragmen peridotit dan basalt, ukuran 2

sampai 20 cm, matrik berupa batu pasir sedangkan warna lapuk hitam

kecoklatan, merah kecoklatan, sortasi buruk dan kemas terbuka. Batu

pasir berwarna kuning kecoklatan, ukuran butir pasir sedang, struktur

berlapis

Sumber : PT.Tanjung Putia

2-11
Tabel 2.1
Kolom Stratigrafi

2.1.5 Struktur Geologi

Struktur geologi yang teramati di daerah penelitian berupa sesar.

Keberadaan sesar dapat di kenali pola-pola yang khas pada topografi,

seperti pola kelurusan sungai dan gawir serta indikasi yang ada pada jalur

sesar berupa breksiasi. Dari pengamatan di lapangan terdapat 1 (satu)

sesar yaitu sesar geser kanan dengan arah Baratdaya Timurlaut berada di

bagian Baratlaut daerah penelitian. Sesar ini dipengaruhi oleh gaya yang

bekerja dari Baratlaut dan Tenggara.

2.1.6 Iklim Dan Curah Hujan

Kecamatan Bahodopi, seperti Wilayah Indonesia pada umumnya,

mempunyai iklim tropis sehingga mengalami dua musim yaitu kemarau

dan musim hujan, dengan curah hujan antara 2,500 mm – 3,000 mm per

tahun dengan curah hujan tertinggi terjadi pada Bulan April dan curah

hujan terrendah terjadi pada Bulan September.

2.1.7 Sistem Penambangan

Berdasarkan bentuk dan karakteristik lapisan bijih nikel serta

lapisan penutupnya,sistem penambangan yang selama ini diterapakan

dan akan tetap diterapkan adalah sistem tambang terbuka (Open pit/ open

cut) dengan metode Mining Countour. Kegiatan penambangan yang

2-12
dilakukan secara umum adalah : pembersihan lahan (land clearing),

pengupasan tanah pucuk (top soil),pengupasan overburden dan

penggalian bijih nikel. Pada saat pembersihan lahan dan pengupasan

tanah pucuk, dilakukan penumpukan tanah pucuk disuatu tempat

sementara yang aman dari kegiatan penambagan agar nantinya dapat

dimanfaatkan kembali dalam pelaksanaan reklamasi.

Penambangan dimulai dengan mengupas lapisan penutup didaerah

sepanjang singkapan bijih nikel mengikuti garis kontur (contour mining)

pada batas tertentu,kemudian diikuti dengan penggalian lapisan bijih

nikel.Teknik penggalian bijih nikel bertahap dari elevasi yang paling tinggi

ke elevasi yang rendah sampai kedalam batas penambangannya akan

mengikuti sebaran lapisan Bijih nikel pada setiap pit yang akan ditambang.

Operasi penambangan terhadap bijih nikel yang dilakukan

meliputi:penggalian bebas, pemuatan dan pengangkutan ke Rom

stockpile.Sedangkan untuk lapisan penutup dilakukan operasi :

penggalian (gali bebas dan penggaruan), pemuatan serta pengangkutan

menuju ke outside dump atau backfilling. Secara umum lapisan penutup

pada tahun 2013 akan ditimbun di outside dump dan pada tahun

selanjutnya akan dilakukan backfilling. penimbunan ke outside dump pada

tahun tersebut karna belum mencukupinya daya tampung daerah yang

telah habis ditambang dengan cara tambang terbuka (mine out) terhadap

volume lapisan penutup yang harus dipindahkan.

2.2 Pengertian Perencanaan

2-13
Perencanaan adalah penentuan persyaratan dalan mencapai

sasaran kegiatan serta urutan teknik pelaksanaan berbagai macam

kegiatan untuk mencapai suatu tujuan dan sasaran yang diinginkan. Pada

dasarnya perencanaan dibagi atas 2 bagian utama, yaitu:

 Perencanaan strategis yang mengacu kepada sasaran secara

menyeluruh, strategi pencapaiannya serta penentuan cara, waktu, dan

biaya.

 Perencanaan operasional, menyangkut teknik pengerjaan dan

penggunaan sumber daya untuk mencapai sasaran.

Dari dasar perencanaan tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa

suatu perencanaan akan berjalan dengan menggunakan dua

pertimbangan yaitu pertimbangan ekonomis dan pertimbangan teknis.

Untuk merealisasikan perencanaan tersebut dibutuhkan suatu program-

program kegiatan yang sistematis berupa rancangan kegiatan yang dalam

perencanaan penambangan disebut rancangan teknis penambangan

Dalam merencanakan desain hal penting yang harus dilakukan

adalah pemilihan metode penambangan yang sesuai dengan kondisi

teknis dan ekonomis sumberdaya nikel laterite yang ada, sehinga jumlah

cadangan yang dapat ditambang akan dihitung dengan

mempertimbangkan hasil desain tambang.

Secara teknis pemilihan metode penambangan didasarkaan pada

pertimbangan hal-hal sebagai berikut :

1. Kedalaman lapisan

2-14
2. Ketebalan lapisan dan penyebarannya

3. Kondisi lapisan tanah penutup

4. Serta struktur geologi

Rancangan teknis ini sangat dibutuhkan karena merupakan

landasan dasar atau konsep dasar dalam pembukaan suatu tambang

khususnya tambang bijih nikel.

2.3 Cadangan Bijih.

Salah satu tahapan dalam mendesain pit penambangan adalah

mengetahui volume endapan bijih dan menghitung cadangannya. Untuk

setiap blok atau lubang bor harus dihitung kualitas dan kuantitasnya

dengan baik. Dengan menggunakan data hasil blok model dan

perhitungan cadangan maka desain pit penambangan dapat dibuat.

Penentuan jumlah cadangan atau jumlah sumberdaya mineral yang

memiliki nilai ekonomis atau akan ditambang adalah suatu hal yang

pertama harus dikaji, dihitung secara benar sesuai standar perhitungan

cadangan yang lazim/berlaku, karena akan berpengaruh terhadap

optimalisasi rencana usaha tambang, umur tambang dan hasil yang akan

di peroleh. Dalam hal penentuan cadangan, langkah yang diperlukan

antara lain:

 Memadai atau tidaknya kegiatan dan hasil eksplorasi.

 Kebenaran penyebaran dan kualitas cadangan berdasarkan korelasi

seluruh data eksplorasi seperti pemboran dan analisis conto.

2-15
 Kelayakan penentuan batas cadangan, seperti Cut Of Greade (COG),

Stripping Ratio (SR), kedalaman maksimum Penambangan, ketebalan

minimum dan sebagainya.

Penaksiran cadangan merupakan salah satu tugas terpenting dan

memiliki tanggung jawab yang berat dalam mengevaluasi suatu proyek

penambangan. Hasil dari penaksiran cadangan ini berupa suatu taksiran.

Seperti model yang kita buat adalah pendekatan dari realitas berdasarkan

data/informasi yang kita miliki, dan tentunya masih memiliki

ketidakpastian. Data utama yang diperlukan untuk menentukan taksiran

cadangan bijih dapat berupa data geologi, data kadar, data lokasi, peta

topografi.

Untuk menghitung tonase ore (ton) diperoleh dari hasil kali volume

ore (m3) dengan density batuan (ton/m3).

Tonase Ore = Volume x Density ................................................. (2.1)

Untuk menghitung tonase mineral yang terdapat di dalam ore

diperoleh dari hasil kali Tonase ore (ton) dengan Kadar rata – rata.

Tonase mineral = Tonase Ore x Krata-rata .................................. (2.2)

2.4 Pertimbangan Dasar Perencanaan Tambang

Dalam suatu perencanaan tambang, khususnya tambang bijih

terdapat dua pertimbangan dasar yang perlu diperhatikan, yaitu:

2.4.1 Pertimbangan Ekonomis

2-16
Pertimbangan ekonomis ini menyangkut ongkos. Data untuk

pertimbangan ekonomis dalam melakukan perencanaan tambang,yaitu:

 Nilai (value) dari endapan per ton nikel

 Ongkos produksi, yaitu ongkos yang diperlukan sampai mendapatkan

produk berupa bijih tembaga diluar ongkos stripping.

 Ongkos ”stripping of overburden” dengan terlebih dahulu mengetahui

“stripping ratio”nya.

 Keuntungan yang diharapkan dengan mengetahui “Economic Stripping

Ratio”.

 Kondisi pasar

2.4.2 Pertimbangan Teknis

Yang termasuk dalam data untuk pertimbangan teknis adalah:

 Menentukan “Ultimate Pit Slope (UPS)”

 Ukuran dan batas maksimum dari kedalaman tambang pada akhir

operasi

 Dimensi jenjang/bench

 Pemilihan sistem penirisan yang tergantung kondisi air tanah dan

curah hujan daerah penambangan.

 Kondisi geometrik jalan

2-17
 Pemilihan peralatan mekanis

 Kondisi geografi dan geologi

2.5 Dasar Pemilihan Sistem Penambangan

Dengan perkembangan teknologi, sistem penambangan dibagi

dalam tiga sistem penambangan yaitu:

 Tambang terbuka yaitu sistem penambangan yang seluruh kegiatan

penambangannya berhubungan langsung dengan udara luar.

 Tambang dalam yaitu sistem penambangan yang aktivitas

penambangannya dibawah permukaan atau di dalam tanah.

 Tambang bawah air (Under water Mining)

Dalam penentuan sistem penambangan yang akan digunakan ada

beberapa hal yang harus diperhatikan, diantaranya adalah:

● Letak kedalaman endapan apakah dekat dengan permukaan bumi

atau jauh dari permukaan.

● Pertimbangan ekonomis yang tujuannya untuk memperoleh

keuntungan yang maksimal dengan ”Mining Recovery” yang maksimal

dan relatif aman.

● Pertimbangan teknis

● Pertimbangan Teknologi.

Ketiga sistem penambangan yang telah disebutkan sebelumnya,

mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing serta sesuai

dengan karakteristik dari endapan yang akan ditambang. Khusus dalam

penelitian ini akan dibahas sistem penambangan secara tambang terbuka.

2-18
Pertimbangan – pertimbangan yang harus di perhatikan dalam

penentuan metode tambang terbuka:

 Kedalaman bahan galian; panjang, lebar, dan tebal dari bahan galian

menjadi dasar utama dalam memilih suatu metode tambang terbuka.

 Kemiringan bahan galian; kemiringan bahan galian yang besar sangat

berpengaruh terhadap pemilian metode.

 Keadaan topografi.

 Kadar/kualitas bahan galian .

 Harga bahan galian terhadap pasar.

 Striping ratio (SR).

 Cut of greade (COG).

Pada pemilihan sistem penambangan secara tambang terbuka ada

beberapa faktor yang berpengaruh terhadap pemilihan sistem

penambangan, yaitu :

2.5.1 Jumlah Tanah Penutup

Tanah penutup atau overburden yaitu tanah yang berada di atas

lapisan bijih. Sebelum pengambilan bijih, terlebih dahulu tanah

penutupnya harus dikupas. Jumlah dari tanah penutup harus diketahui

dengan jelas untuk menentukan nilai “Stripping Ratio”.

2.5.2 Jumlah Cadangan Bijih

Dari data hasil pemboran dan eksplorasi, dapat diketahui jumlah

cadangan bijih yang dapat ditambang (mineable). Dari jumlah bijih

tembaga hasil perhitungan cadangan tersebut terdapat standar

2-19
pengurangan yang digunakan oleh perusahaan sehinggga diperoleh

mining recovery.

Standar pengurangan tersebut dapat berupa:

- Geologi faktor

- Mining loss

- Dilution

2.5.2 Batas Penambangan (Pit Limit) dan Stripping ratio

Nisbah pengupasan didefinisikan sebagai nisbah dari jumlah

material penutup ( waste ) terhadap jumlah material bijih (ore). Pada

tambang bijih, nisbah ini biasanya dinyatakan dalam ton waste/ton ore. Di

tambang batubara sering dipakai m3 waste/ton batubara.

…............................................(2.3)

2.6 Perancangan Pit Penambangan (Pit Limit Design)

2.6.1 Sudut Lereng

 Geometri Jenjang

1. Geometri jenjang terdiri dari tinggi jenjang, sudut lereng jenjang

tunggal, dan lebar dari jenjang penangkap (catch bench).

Rancangan geoteknik jenjang biasanya dinyatakan dalam

bentuk parameter-parameter untuk ketiga aspek ini.

2-20
2. Tinggi jenjang : Biasanya alat muat yang digunakan harus

mampu pula mencapai pucuk atau bagian atas jenjang. Jika

tingkat produksi atau faktor lain mengharuskan ketinggian

jenjang tertentu, alat muat yang akan digunakan harus

disesuaikan pula ukurannya. Pada lokasi penelitian tinggi

jenjang yang digunakan yaitu 4 meter.

3. Sudut lereng jenjang : penggalian oleh alat gali mekanis seperti

loader atau shovel di permukaan jenjang pada umumnya akan

menghasilkan sudut lereng antara 60-65 derajat. Sudut lereng

yang lebih curam biasanya memerlukan peledakan pre-

splitting.

4. Lebar jenjang penangkap : ditentukan oleh pertimbangan

keamanan. Tujuannya adalah menangkap batu-batuan yang

jatuh. Perlu bulldozer kecil atau grader untuk membersihkan

catch bench ini secara berkala.

5. Di beberapa tambang terkadang digunakan konfigurasi multi-

jenjang (double/triple bench), pada umumnya untuk jenjang

yang tingginya 5-8 meter. Dalam hal ini jenjang perangkap

dibuat setiap dua atau tiga jenjang. Tujuannya adalah untuk

menerjalkan sudut lereng keseluruhan. Jenjang penangkap ini

biasanya dibuat lebih lebar dibandingkan untuk jenjang tunggal.

6. Dalam operasi di pit, pengontrolan sudut lereng biasa dilakukan

dengan menandai lokasi pucuk jenjang (cresf) yang diinginkan

2-21
menggunakan bendera kecil. Operator shovel diperintahkan

untuk menggali sampai mangkuknya mencapai lokasi bendera

tersebut. Lokasi lubang-lubang tembak dapat pula menjadi

pedoman.

2.7 Ukuran Jenjang (bench dimension)

Geometri jenjang mencakup seluruh aspek yang berhubungan

dengan kenampakan visual lereng, yaitu : orientasi lereng, kemiringan

lereng, tinggi lereng dan lebar bench. Orientasi lereng menentukan tipe

longsoran yang mungkin terjadi.

Secara umum jika suatu lereng mempunyai kemiringan yang tetap,

maka penambahan tinggi lereng akan mengakibatkan penurunan

kemantapan lereng yang bersangkutan karena berat lereng yang harus

ditahan oleh kekuatan geser tanah semakin besar.

Sehubungan dengan hal tersebut, penambahan tinggi lereng

memerlukan kemiringan lereng yang lebih kecil untuk menjaga agar lereng

tetap mantap. Lebar jenjang (bench) akan menentukan besarnya sudut

(kemiringan) lereng pada saat analisis kemantapan untuk lereng

keseluruhan. Semakin besar lebar jenjang, semakin kecil sudut lereng

keseluruhan.

Adapun untuk menghitung tinggi kritis jenjang dengan

pertimbangan keamanan, maka salah satu ahli mekanika yaitu Taylor

merumuskan sebagai berikut:

...........………....…………..…….. (2.4)

2-22
dimana :

Hc = Ketinggian kritis

c = kohesive Shearing Strength (ton/m2)

 = Sudut geser dalam

γ = Berat Jenis Material (ton/m3)

Sedangkan untuk perhitungan lebar jenjang, menurut L. Sheyyakov

(mining of mineral deposits), lebar jenjang tergantung pada metoda

penggalian dan kekerasan material yang ditambang.

Persamaannya untuk material keras adalah:

B = N + L + L1 + l2 ……………………………………… (2.5)

keterangan :

B = lebar jenjang, m

N = lebar yang dibutuhkan untuk broken material, m

L = jarak antara sisi jenjang dengan rel, 3 – 4 meter

L1 = lebar lori biasanya 1,75-3,00 meter / lebar alat angkut

L2 = jarak untuk menjaga agar tidak longsor, biasanya selebar

dump truck.

Disini tidak disediakan lebar untuk alat muat / gali karena dianggap

alat muat bekerja disamping broken material.

Menurut Young ( Elements of Mining ), geometri jenjang untuk pit

penambangan, yaitu:

2-23
a. Tinggi Jenjang.

- Untuk tambang bijih besi antara 20 – 40 ft.

- Untuk tambang bijih tembaga 30 – 70 ft

- Untuk limestone dapat sampai 200 ft.

b. Lebar jenjang: antara 50 – 250 ft

c. Kemiringan jenjang: antara 450 – 650

Menurut Hustrulid ( Open Pit Mine Planning and Design ), pada

tambang terbuka, masing – masing jenjang memiliki permukaan bagian

atas dan bagian bawah yan dipisahkan oleh jarak H yang disebut dengan

tinggi jenjang. Kemudian permukaan sub-vertikal yang tersingkap dan

disebut dengan muka jenjang. Semuanya itu diGambarkan dengan kaki

lereng (toe), puncak (crest) dan sudut muka jenjang (face angle). Sudut

muka jenjang ini dapat bervariasi tergantung dari karakteristik batuan,

orientasi jenjang dan peledakan. Pada batuan keras sudut ini bervariasi

antara 550 – 800.Bagian-bagian jenjang tersebut dapat digambarkan pada

Gambar 2.6.

2-24
Sumber Irwandy Arif dan Gatut S. Adisoma, 2002 hal IV-10

Gambar 2.6
Bagian – bagian Jenjang menurut Hustulid
Permukaan jenjang yang tersingkap paling bawah disebut jenjang

dasar (Bench Floor). Lebar jenjang ini adalah jarak antara crest dan toe

yang diukur sepanjang permukaan jenjang bagian atas. Lebar bank

adalah proyeksi horizontal dari muka jenjan. Terdapat beberapa tipe

jenjang.

Sumber : Irwandy Arif dan Gatut S. Adisoma, 2002.

Gambar 2.7 Penampang Jenjang Kerja

Jenjang kerja adalah suatu jenjang dimana dilakukan proses

penambangan lebar yang digali di jenjang kerja ini disebut cut. Lebar

jenjang kerja ( WB ) didefinisikan sebagai jarak dari crest pada jenjang

dasar ke posisi toe yang baru setelah cut digali (lihat Gambar 2.7).

Setelah cut dipindahkan maka akan terlihat sisanya adalah sebagai

jenjang pengaman atau jenjang penangkap ( cath bench ) dengan lebar

SB. Tujuan pembuatan jenjang penangkap ini adalah :

a. Untuk mengumpulkan material yang meluncur dari jenjang yang ada di

atasnya.

b. Untuk memberhentikan pergerakan boulder yang bergerak ke bawah.

2-25
Kedua fungsi tersebut dapat di gambarkan pada Gambar 2.8.

Sumber : Irwandy Arif dan Gatut S. Adisoma, 2002 hal IV-11

Gambar 2.8 Fungsi Jenjang Penangkap

Secara umum lebar dari jenjang penangkap adalah 2/3 dari tinggi

jenjang sedangkan pada akhir umur tambang lebar jenjang penangkap

kadang – kadang dikurangi sampai 1/3 dari tinggi jenjang. Kadang –

kadang jenjang ganda ( double benches ) ditinggalkan sepanjang final pit.

Sebagai tambahan pada jenjang penangkap, tumpukan material

bongkahan ( berm) biasanya sering terdapat sepanjang crest. Dengan

terdapatnya tumpukan tersebut maka akan terbentuk suatu saluran antara

tumpukan dan kaki lereng (toe ) untuk menangkap batuan yang jatuh (

falling rock ). Menurut Call (1986) bahwa geometri jenjang penangkap

direkomendasikan untuk didesain seperti pada Tabel 2.2 dan Gambar

2.8.

Tabel 2.2.

2-26
Dimensi Jejang penangkap ( Call, 1986 )

Bench height Impact Zone Berm height Berm widht


Minimu berm

widht ( m )
(m) (m) (m) (m)

15 3.5 1.5 4 7.5

30 4.5 2 5.5 10

45 5 3 8 13

Sumber : Irwandy Arif dan Gatut S. Adisoma, 2002 hal IV-13

Sumber : Irwandy Arif Dan Gatut S. Adisoma, 2002 Hal IV-12


Gambar 2.9
Geometri Jenjang Penangkap ( Call, 1986 )

Sumber : Perencanaan Tambang, Irwandy Arif dan Gatut S. Adisoma, 2002 hal IV-14

Gambar 2.10

2-27
Sudut Lereng Keseluruhan Dengan Adanya Ramp

Gambar di atas adalah suatu lereng yang terdiri dari 5 jenjang dan

1 ramp (Gambar 2.10) dimana sudut lerengnya dibuat dari garis yang

menghubungkan kaki lereng yang paling rendah sampai ke puncak lereng

yang paling tinggi sehingga kemiringan lereng keseluruhannya ( overall pit

slope ) dapat dihitung sebagai berikut:

.... ........

.....(2.6)

Dimana:

n = jumlah jenjang

2-28

Anda mungkin juga menyukai