Anda di halaman 1dari 17

Bab II Kerangka Geologi Regional

BAB II
KERANGKA GEOLOGI REGIONAL

2.1 FISIOGRAFI DAN GEOMORFOLOGI REGIONAL

Pulau Sulawesi mempunyai luas sekitar 172.000 km2, dan bila digabung
dengan pulau-pulau kecil di sekitarnya kira-kira 188.000 km2. Bentuknya
menyerupai huruf k dengan empat cabang atau lengan yang sempit, dipisahkan
oleh teluk-teluk yang dalam, dan menyatu di bagian tengah pulau.

Van Bemmelen (1949) membagi fisiografi daerah Sulawesi menjadi tujuh


bagian, yaitu Lengan Utara, Lengan Timur, Kepulauan Banggai, Lengan
Tenggara, Kepulauan Buton dan Pulau Tukang Besi, Lengan Selatan, dan
Sulawesi Tengah. Secara fisiografis tersebut Kabupaten Bonehau berada di
Sulawesi bagian tengah. Sulawesi Tengah merupakan pusat percabangan lengan-
lengan Sulawesi. Di sebelah timurlaut Sulawesi tengah dibatasi oleh garis
baratlaut-tenggara dari Dongala melalui Parigi dan Lemoro sampai Teluk Tomori.
Di sebelah tenggara dibatasi oleh garis baratdaya-timurlaut dari Majene melalui
Palopo ke Dongi di Teluk Tomori.

Pada peta geomorfologi lembar Mamuju (Ratman dan Atmawinata, 1993)


daerah penelitian terletak di daerah pegunungan. Daerah pegunungan ini
mendominasi peta lembar mamuju, hanya sebagian kecil yang berupa perbukitan
bergelombang dan dataran rendah (Gambar 2.1).

Daerah Pegunungan

Morfologi ini menempati hampir dua pertiga luas daerah yang dipetakan,
yaitu bagian tengah, utara, timurlaut, dan selatan. Daerah ini umumnya berlereng
terjal dan curam, puncak bukitnya berkisar dari 800 sampai 3.000 mdpl. Pola
aliran berkembang tidak mengikuti aliran tertentu, tetapi menyesuaikan keadaan
tanah bawahnya. Di banyak tempat terdapat air terjun, yang menunjukkan ciri

Geologi Daerah Pabettengan dan Sekitarnya, Kecamatan Bonehau,


Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat
6
Bab II Kerangka Geologi Regional

kemudaan daerah ini. Ciri lain berupa lembah yang sempit dan curam. Di sekitar
Barupu dan Panggala, terdapat suatu morfologi berpola aliran memencar. Lereng
bukit umumnya terjal dan membentuk ngarai.

Gambar 2.1 Peta geomorfologi lembar Mamuju (Ratman & Atmawinata, 1993)

Daerah perbukitan bergelombang

Morfologi ini terdapat di bagian baratdaya Lembar, yaitu antara Teluk


Lebani dan Teluk Mamuju. Tinggi perbukitan berkisar antara 500 sampai 600 m
di atas permukaan laut. Daerah ini berpola saliran meranting.

Daerah Dataran Rendah

Dataran rendah menempati bagian barat lembar peta, yaitu sepanjang


pantai mulai dari Kaluku sampai Babana (daerah S. Budongbudong). Morfologi
ini terbentuk di daerah muara sunggai besar, yaitu S. Budongbudong, S. Lumu, S.
Karama, dan S. Kaluku. Umumnya berpola aliran meranting (dendritik) dan
beberapa sungai bermeander.

Geologi Daerah Pabettengan dan Sekitarnya, Kecamatan Bonehau,


Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat
7
Bab II Kerangka Geologi Regional

2.2 TEKTONIK REGIONAL

Pulau Sulawesi terletak pada batas tenggara Paparan Sunda, inti benua
yang stabil dari Lempeng Eurasia tenggara (Hutchison, 1989 dalam Coffield dkk.,
1993). Pulau ini terbentuk di sepanjang zona tumbukan Neogen antara Lempeng
Eurasia dan fragmen mikro-kontinen yang berasal Lempeng Australia-India
(Hamilton, 1970 dalam Coffield dkk., 1993). Empat lengan Sulawesi membentuk
propinsi megatektonik yang berbeda. Lengan utara terdiri dari batuan busur
vulkanik yang berhubungan dengan subduksi Lempeng Laut Maluku ke arah
barat pada Paleogen Akhir sampai Neogen (Jezek dkk., 1981 dalam Coffield dkk.,
1993). Lengan timur dan tenggara terdiri dari batuan metamorf dan ofiolit yang
terobduksi selama Miosen (Smith dan Silver, 1991; Parkinson, 1991 dalam
Coffield dkk., 1993). Lengan selatan didominasi oleh batuan vulkanik dan
plutonik Miosen dan yang lebih muda membentuk jalur magmatik (Katili, 1978
dalam Coffield dkk., 1993)

Tatanan geologi dan perkembangan tektonik dari jaman Kapur sampai


Neogen untuk wilayah Sulawesi bagian Barat, mempunyai kesamaan dengan
Kalimantan Tenggara dan Jawa Tengah. Pada Kapur Akhir - Awal Tersier
(Paleosen), Sulawesi Selatan dan Tengah, masih merupakan bagian dari daratan
Kalimantan, sebagai bagian dari kepingan kerak-benua yang berasal dari benua
raksasa Gondwana di selatan yang bergerak ke utara bersama India dan Mergui,
yang kemudian bertumbukan dengan Jalur Subduksi Luh-Ulo - Meratus. Namun
ada juga yang berpendapat bahwa Sulawesi Bagian Barat dan Timur merupakan
busur kembar (volkanik dan non-volkanik) yang merupakan bagian dari satu
sistim interaksi konvergen dengan arah subduksi ke Barat. Dalam hal seperti ini,
maka Sulawesi bagian Barat merupakan busur magmatiknya seperti yang
digambarkan oleh Katili (1984).

Pola tektonik regional saat ini didominasi oleh sesar geser dan sesar anjak
(Gambar 2.2). Sesar Palu-Koro merupakan sesar geser mengiri, terbentang sejauh
750 km (Tjia, 1973). Arah pergerakan dari sesar ini berhubungan dengan Sistem

Geologi Daerah Pabettengan dan Sekitarnya, Kecamatan Bonehau,


Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat
8
Bab II Kerangka Geologi Regional

Sesar Sorong di Irian Jaya melalui Sesar Balantak, Sesar Matano-Buru Selatan. Di
selatan Sesar Palu-Koro bergabung dengan Sesar Lawanopo, Sesar Kolaka, dan
Sesar Kabanea (Simandjuntak, 1993a dalam Priadi, 2000). Sesar Anjak Batui
terjadi akibat tumbukan antara Platform Banggai-Sula dengan Jalur Ofiolit
Sulawesi bagian Timur saat Neogen (Simandjuntak, 1993a dalam Priadi, 2000).
Sesar ini membatasi jalur ofiolit pada hanging wall dari mikro-kontinen di foot
wall. Sesar Anjak Poso merupakan kontak struktur antara Busur Metamorf
Sulawesi tengah dan Busur Magmatik Sulawesi Barat (Bemmelen, 1949). Sesar
ini mengangkat metamorf tekanan tinggi dari kedalaman zona Benioff ke atas
busur magmatik pada saat Neogen.

2.2.1 Kerangka Tektonik Sulawesi

Berdasarkan tektonostratigrafinya, Calvert membagi Sulawesi menjadi 5


provinsi tektonik (Gambar 2.2), yaitu Busur Magmatik Sulawesi Utara, Busur
Plutono-Vulkanik Sulawesi Barat, Jalur Metamorf Sulawesi Tengah, Ofiolit
Sulawesi Timur, dan fragmen-fragmen mikrokontinen.

Poso
Thrust

Kolaka
Fault

Gambar 2.2 Tektono-stratigrafi Sulawesi (dimodifikasi Calvert & Hall 2003).

Geologi Daerah Pabettengan dan Sekitarnya, Kecamatan Bonehau,


Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat
9
Bab II Kerangka Geologi Regional

Busur Plutono-Vulkanik Sulawesi Barat dan Busur Magmatik Sulawesi Utara

Daerah ini dicirikan oleh batuan Tersier Pluto-volkanik berasosiasi dengan


sedimen berumur Tersier dan Kuarter (Sukamto, 1975 dalam Sukamto &
Simandjuntak, 1981). Sulawesi Utara mempunyai ciri-ciri busur volkanik dengan
batuan dasar “kerak-samudra”, sedangkan Sulawesi Barat justru memperlihatkan
kesamaan dengan unsur-unsur “kerak-benua”, yang terdiri dari batuan sedimen
berumur Kapur-Tersier yang terlipat kuat dan diterobos oleh batuan beku
granodiorit dan diorit. (Sukamto, 1978 dalam Sukamto & Simandjuntak, 1981).

Batuan plutonik terdiri dari batuan granitik – dioritik dari Miosen Akhir –
Pleistosen, batuan volkanik umumnya adalah kalk-alkalin dan sedikit batuan
alkali dengan kisaran umur dari Paleosen – Pleistosen, meskipun gunung api
masih aktif di bagian utara provinsi. Sedimen laut dan volkanoklastik terendapkan
secara berkala selama Paleosen – Holosen. Pada bagian selatan batuan Tersier
diendapkan di atas sikuen tebal dari “flysch” Kapur Akhir. Sedimen ini memiliki
ketebalan lebih dari 2000 m dan terletak di atas kompleks mélange (Sukamto,
1981). Endapan flysch terendapkan secara menerus dari Kapur Akhir hingga
Eosen pada bagian utara dan kemungkinan hadir sikuen sedimen yang diendapkan
pada cekungan depan busur.

Jalur Metamorf Sulawesi Tengah dan Ofiolit Sulawesi Timur

Daerah ini disusun oleh ofiolit yang berasosiasi dengan sedimen pelagic
Mesozoikum dan mélange pada bagian timur, dan batuan metamorf pada bagian
barat. Ofiolit secara luas terdiri dari dunit, harzburgit, lerzolit, werhlit, serpentinit
dan sedikit gabro, diabas, basaltt, dan diorit (Soeria-Atmaja dkk., 1972 dalam
Sukamto & Simandjuntak, 1981). Sikuen ini berkembang dengan baik di utara;
bagian tengah dan selatan ofiolit secara umum tidak lengkap atau kacau
(Simandjuntak, 1981 dalam Sukamto & Simandjuntak, 1981). Sedimen pelagic
terdiri dari karbonat, rijang radiolaria dan lempung merah yang terendapkan pada
Jura hingga Kapur Akhir. Batuan mélange tersingkap di bagian tengah tersusun

Geologi Daerah Pabettengan dan Sekitarnya, Kecamatan Bonehau,


Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat
10
Bab II Kerangka Geologi Regional

oleh blok ofiolit, sedimen pelagic dan metamorf, dalam matrik dari lempung
merah red scaly clay (Simandjuntak, 1980 dalam Sukamto & Simandjuntak,
1981). Batuan metamorf di bagian barat tersusun oleh bermacam jenis sekis,
dengan beraneka jenis dalam amfibol-epidot, glaukofan-lawsonit atau fasies
greenschist (de Roever, 1974 dalam Sukamto & Simandjuntak, 1981).

Fragmen-Fragmen Mikrokontinen

Fragmen-fragmen benua, meliputi Banggai-Sula dan Buton, dipercaya


berasal dari bagian utara lempeng Benua Australia (Pigram dkk, 1985 dalam
Priadi, 2000). Fragmen tersebut kemungkinan terpisah dari lempeng benua
Australia saat Jura dan bergeser ke arah baratlaut.

Fragmen benua ini dicirikan oleh komplek batuan dasar batuan metamorf
Karbon dan batuan plutonik Perm - Trias, yang terletak di bawah kontinen
Mesozoik yang berasal dari suksesi sedimen yang mengandung ammonites,
belemnites, dan pelecypods (Sukamto, 1974 dalam Sukamto & Simandjuntak,
1981). Sikuen batuan klastik kasar yang kemungkinan berumur Trias Akhir dan
ditindih secara selaras oleh klastik halus dari Jura dan batuan karbonatan Kapur.
Detritus granit dari provinsi ini tersebar hingga ke Jalur Ofiolit Sulawesi Timur

2.2.2 Perkembangan Tektonik Sulawesi

Perkembangan tektonik Sulawesi bagian barat dan timur sangat berkaitan


dengan perkembangan tektonik Banggai-Sula (Sukamto & Simandjuntak, 1981).
Perkembangan tektonik Sulawesi bagian barat juga berhubungan erat dengan
pemekaran selat Makkassar. Menurut Hall (2002 dalam Fraser dkk., 2003),
terdapat dua peristiwa penting pada Tersier di daerah ini. Pertama, rifting dan
pemekaran dasar laut pada Paleogen yang menciptakan ruang untuk pengendapan
material klastik yang berasal dari deroofing Kalimantan, dan yang kedua adalah
peristiwa kompresional yang dimulai sejak Miosen, menyebabkan perkembangan
Jalur Lipatan Sulawesi Barat (JLSB) selama Pliosen Awal (Gambar 2.3).

Geologi Daerah Pabettengan dan Sekitarnya, Kecamatan Bonehau,


Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat
11
Bab II Kerangka Geologi Regional

Kompresi ini masih aktif hingga sekarang, menyebabkan pemendekan yang


progresif pada Cekungan Makassar Utara.

Kapur Akhir

Selama Kapur Akhir sikuen tebal sedimen bertipe flysch diendapkan di


daerah yang luas di sepanjang Daerah Sulawesi Bagian Barat. Sedimen ini
ditindih oleh kompleks melange di bagian selatan dan kompleks batuan dasar
metamorf di bagian tengah dan utara. Sedimen umumnya berasosiasi dengan lava
dan piroklastik yang mengindikasikan bahwa batuan ini berasal dari busur
kepulauan vulkanik dan diendapkan di daerah cekungan depan busur (Sukamto &
Simandjuntak, 1981).

Pada saat yang sama, daerah sulawesi bagian timur berkembang sebagai
cekungan laut dalam, tempat sedimen pelagic diendapkan sejak zaman Jura di atas
batuan dasar ofiolit. Sangat mungkin jika cekungan laut dalam Kapur ini
dipisahkan oleh sebuah palung dari Daerah Sulawesi Bagian Barat. Palung
tersebut kemungkinan akibat subduksi ke arah barat, tempat Melange Wasuponda
berakumulasi (Simandjuntak, 1980 dalam Sukamto & Simandjuntak, 1981).
Subduksi ini menyebabkan terjadinya magmatisme di sepanjang Daerah Sulawesi
Bagian Barat. Batuan metamorf yang ada di Sulawesi bagian Barat diyakini
terjadi selama subduksi Kapur ini.

Daerah Banggai-Sula merupakan bagian dari paparan benua sejak


Mesozoikum Awal, dimana diendapkan klastik berumur Trias Akhir Akhir hingga
Kapur. Batuan dasar benua terdiri dari batuan metamorf zaman karbon dan
plutonik Permo-Trias (Sukamto & Simandjuntak, 1981).

Geologi Daerah Pabettengan dan Sekitarnya, Kecamatan Bonehau,


Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat
12
Bab II Kerangka Geologi Regional

Gambar 2.3 – Paleo-rekonstruksi Asia Tenggara (setelah Hall 2002 dalam Fraser dkk., 2003).

Geologi Daerah Pabettengan dan Sekitarnya, Kecamatan Bonehau,


Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat
13
Bab II Kerangka Geologi Regional

Paleogen

Perkembangan sedimen bertipe flysch di Sulawesi bagian barat berhenti di


bagian selatannya, sementara di bagian utara masih berlanjut hingga Eosen
(Formasi Tinombo, Sukamto, 1975a, 1975c dalam Sukamto & Simandjuntak,
1981). Gunungapi aktif setempat selama Paleosen di bagian selatan dan selama
Eosen di bagian tengah dan utara. Pengendapan batuan karbonat (Formasi Tonasa)
terjadi di daerah yang luas di selatan selama Eosen hingga Miosen yang
mengindikasikan bahwa bagian daerah tersebut adalah paparan yang stabil.

Sejak Paleosen, sulawesi bagian timur mengalami shoaling dan


diendapkan batuan karbonat air-dangkal (Formasi Lerea, Simandjuntak, 1981).
Pengendapan batuan karbonat di daerah ini berlanjut hingga Miosen Awal
(Formasi Takaluku).

Di bagian barat Banggai-Sula, sikuen tebal karbonat bersisipan klastik


diendapkan di daerah yang luas. Karbonat ini diendapkan sampai Miosen Tengah
(Sukamto & Simandjuntak, 1981).

Zona subduksi berkemiringan ke barat yang dimulai sejak zaman Kapur


menghasilkan vulkanik Tersier Awal di Daerah Sulawesi Bagian Barat, dan proses
shoaling laut di daerah Sulawesi Bagian Timur, begitu pula di Daerah Banggai-
Sula (Sukamto & Simandjuntak, 1981).

Geologi Daerah Pabettengan dan Sekitarnya, Kecamatan Bonehau,


Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat
14
Bab II Kerangka Geologi Regional

Figure 2.4 – Elemen tektonik Selat Makassar (Fraser dkk., 2003).

Di daerah Selat Makkassar terjadi peregangan kerak. Daerah Selat


Makassar bagian utara adalah bagian awal dari failed rift atau aulacogen, yang
terbentuk sebagai bagian selatan dari pusat pemekaran Laut Sulawesi (Gambar
2.4) (Schwan 1985 dalam Fraser dkk., 2003). Kombinasi guyot, kelurusan
gravitasi, fasies seismik, bersama dengan distribusi aliran panas yang dihasilkan
oleh Kacewicz dkk. (2002 dalam Fraser dkk., 2003), mendukung usulan pola
transform/ekstensional untuk peregangan kerak Eosen Tengah di laut dalam
Cekungan Makassar Utara (Gambar 2.5). Titik paling utara Selat Makassar yang
mengalami transform adalah Cekungan Muara dan Berau. Sumbu pemekaran
lantai samudera kemudian menyebar ke arah selatan. Mendekati Paternosfer
Platform sumbunya menyimpang ke arah timur dan kembali ke arah baratdaya
menuju Selat Makassar selatan.

Geologi Daerah Pabettengan dan Sekitarnya, Kecamatan Bonehau,


Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat
15
Bab II Kerangka Geologi Regional

Figure 2.5 – Pola spreading: 42-38Ma (Fraser dkk., 2003).

Peristiwa ekstensional awal tersebut, diikuti oleh urutan-urutan peristiwa


transgresi selama Eosen Tengah dan Akhir. Peristiwa transgresif ini mewakili
kombinasi peristiwa eustatik dan tektonik (Pieters dkk., 1999 dalam Fraser dkk.,
2003).

Perluasan yang menerus dan diikuti pembebanan pada Eosen Akhir


(menghasilkan peningkatan akomodasi ruang yang signifikan), kelimpahan
material benua berbutir halus diendapkan di daerah yang luas pada Cekungan
Makassar Utara, berlanjut hingga Oligosen dan Miosen Awal. Suksesi
batulempung tebal yang dihasilkan membentuk media yang mobile untuk thin-
skinned basal detachment di bawah bagian selatan dari Jalur Lipatan Sulawesi
Barat, yang mulai ada selama Pliosen Awal (Fraser dkk., 2003).

Geologi Daerah Pabettengan dan Sekitarnya, Kecamatan Bonehau,


Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat
16
Bab II Kerangka Geologi Regional

Neogen

Distribusi produk vulkanik yang luas menunjukkan terjadinya vulkanisme


yang kuat selama Miosen Tengah di Daerah Sulawesi Bagian Barat (Sukamto &
Simandjuntak, 1981). Batuan vulkanik yang awalnya diendapkan lingkungan
dasar laut dan kemudian setempat menjadi terestrial pada Pliosen. Vulkanisme
berhenti pada Kuarter Awal di selatan tetapi menerus sampai sekarang di bagian
utara. Menurut Yuwono (1987 dalam Priadi dkk., 1994) peristiwa magmatisme di
Sulawesi Barat selama 13 – 11 Ma berasal dari post-subductional melting dari
lempeng selama peristiwa subduksi sebelumnya

Magmatisme yang kuat di Daerah Sulawesi Bagian Barat selama Miosen


Tengah berkaitan dengan dengan proses tekanan batuan dalam Daerah sulawesi
Bagian Timur akibat gerakan benua-mikro Banggai-Sula ke arah barat (Sukamto
& Simandjuntak, 1981). Peristiwa tektonik ini mengangkat dan menganjak hampir
keseluruhan material di dalam Daerah Sulawesi Timur, batuan ofiolit teranjak dan
terimbrikasi dengan batuan yang berasosiasi termasuk melange. Pada bagian lain,
ofioit di bagian timur menyusup ke arah timur ke dalam sedimen Mesozoikum
dan Paleogen dari Daerah Banggai-Sula.

Selama pengangkatan seluruh daerah Sulawesi yang terjadi sejak Miosen


Tengah, sesar turun (block-faulting) terbentuk di berbagai tempat membentuk
cekungan-cekungan berbentuk graben. Saat Pliosen, seluruh area didominasi oleh
block faulting dan sesar utama seperti Sesar Palu-Koro (Tjia, 1973) tetap aktif.
Pergerakan epirogenic setelahnya membentuk morfologi Pulau Sulawesi yang
sekarang. Peristiwa tektonik ini menghasilkan cekungan laut dangkal dan sempit
di beberapa tempat dan beberapa cekungan darat terisolasi. Batuan klastik kasar
terendapkan di cekungan-cekungan ini dan membentuk Molasse Sulawesi.

Peristiwa tektonik Miosen Tengah juga membengkokkan daerah Sulawesi


bagian Barat seperti bentuk lengkungan yang sekarang dan menyingkapkan
batuan metamorf di bagian leher pulau.

Geologi Daerah Pabettengan dan Sekitarnya, Kecamatan Bonehau,


Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat
17
Bab II Kerangka Geologi Regional

Figure 2.6 – Jalur Lipatan Sulawesi Barat (Fraser dkk., 2003).

Jalur Lipatan Sulawesi Barat (JLSB, Gambar 2.6) terletak tepat di sebelah
barat Sesar Palu-Koro, sebuah transform kerak besar dekstral dan setelah itu
sinistral, yang pada awalnya terjadi akibat pemekaran Laut Sulawesi saat Eosen.
Kompresi yang menerus menghasilkan struktur-struktur berarah barat dari JLSB,
sementara material mikro-kontinen yang awalnya berasal dari Lempeng Australia
(“material Australoid”) bergerak ke arah barat selama Miosen bertumbukan
dengan JLSB. Pada Pliosen awal, bagian timur dari batas peri-rift dari Cekungan
Makassar Utara membentuk komponen dasar laut dari JLSB. Benua mikro
Australia ini yang pertama adalah Buton, kemudian diikuti Tukang Besi. Arah
vektor tumbukan ini pada awalnya adalah utara-barat laut (dengan perhitungan
sekarang), tumbukan selanjutnya lebih berarah baratlaut. Variasi ini cukup
signifikan, mengingat arah stress yang datang (dari timur dan selatan)
mempengaruhi arah displacement kompresi yang sudah ada di JLSB.

Geologi Daerah Pabettengan dan Sekitarnya, Kecamatan Bonehau,


Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat
18
Bab II Kerangka Geologi Regional

2.3 STRATIGRAFI REGIONAL

Berdasarkan Wahyono (2000 dalam Mangga dkk., 2004), geologi daerah


Bonehau dan sekitarnya didominasi oleh batuan beku dan metamorf, termasuk
batuan sedimen yang sedikit termetamorfkan (Gambar 2.7). Litologi
mengindikasikan adanya tektonik aktif di area ini.

Gambar 2.7. Peta Geologi regional (Wahyono, 2000 dalam Mangga dkk, 2004)

Batuan tertua di daerah penelitian adalah Formasi Latimojong, yang


berumur Kapur. Formasi ini terdiri dari batusabak, kuarsit, filit, batupasir malih,
batulanau malih dan pualam, setempat batulempung malih (Ratman &
Atmawinata, 1993). Formasi Latimojong ini terbentuk di lingkungan laut dalam
dan diendapkan tidak selaras di atas batuan dasar kompleks metamorf. Kompleks
Metamorf ini terdiri dari sekis mika, gneiss mika, filit, dan batusabak.

Menurut Djuri & Sudjatmiko (1975, dalam Sukamto & Simandjuntak,


1981), di Sulawesi bagian barat Formasi Latimojong merupakan sikuen flysch
yang berumur Kapur sampai Eosen . Pada Sulawesi barat bagian tengah, formasi

Geologi Daerah Pabettengan dan Sekitarnya, Kecamatan Bonehau,


Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat
19
Bab II Kerangka Geologi Regional

diendapkan selama Kapur Akhir, berupa perselingan arenit berketebalan beberapa


sentimeter hingga puluhan sentimeter dengan batuserpih. Ciri-ciri turbidit terlihat
pada batuan ini. Lava andesit dan konglomerat hadir sebagai sisipan atau lensa.
Beberapa batuan pada formasi ini telah terubah menjadi batusabak, filit, dan
kuarsit. Formasi ini memiliki ketebalan lebih dari 1000 m dan diintrusi oleh dyke
dan stock batuan basaltik hingga granitik (Sukamto & Simandjuntak, 1981). Fosil
dari zaman Kapur terdapat dalam bongkah yang diperkirakan berasal dari formasi
ini (Brouwer, 1934 dalam Sukamto & Simandjuntak, 1981).

Di atas Formasi Latimojong diendapkan Formasi Toraja (Tet) secara


tidak selaras. Menurut Ratman & Atmawinata (1993), formasi ini berumur Eosen
Tengah sampai Akhir. Komposisinya berupa perselingan batupasir kuarsa, serpih,
dan batulanau, bersisipan konglomerat kuarsa, batulempung karbonan,
batugamping, napal, batupasir hijau, batupasir gampingan dan batubara, setempat
dengan lapisan tipis resin dalam batulempung. Formasi Toraja mempunyai
Anggota Rantepao (Tetr) yang terdiri dari batugamping numulit yang berumur
Eosen Tengah – Akhir. Menurut Djuri & Sudjatmiko (1975 dalam Sukamto &
Simandjuntak, 1981) Formasi Toraja merupakan endapan laut dangkal, terdiri dari
perselingan batulempung merah dan quartzose arenite dengan sisipan
batugamping numulitik dan konglomerat. Pengendapannya menerus hingga
Oligosen. Coffield dkk (1993) berpendapat bahwa Formasi Toraja merupakan
endapan fluvial dan lacustrine dangkal.

Calvert dan Hall (2003) menaikkan status formasi Toraja menjadi Grup
Toraja, yang berumur Eosen Tengah hingga Oligosen Akhir. Grup ini terdiri dari
formasi Budungbudung dan Kalumpang. Formasi kalumpang merupakan batuan
sedimen laut marginal/ terrestrial yang terdiri dari sikuen shale, lapisan batubara
dan batupasir quartzose, diendapkan selama Eosen Tengah - Akhir. Formasi
Budungbudung diendapkan di lingkungan laut, berumur Eosen tengah hingga
Oligosen Akhir. Komposisinya berupa perselingan mudstone, batupasir quartzose,
batugamping dan sedikit konglomerat. Di sungai Karama Formasi Budungbudung

Geologi Daerah Pabettengan dan Sekitarnya, Kecamatan Bonehau,


Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat
20
Bab II Kerangka Geologi Regional

memiliki posisi yang sejajar secara lateral sekaligus berada di atas Formasi
Kalumpang.

Formasi Toraja tertindih tak selaras oleh Formasi Sekala dan Batuan
Gunungapi Talaya. Aktivitas vulkanik ini kemudian diikuti oleh kehadiran
Formasi Sekala (Tmps) pada Miosen Tengah - Pliosen, yang dibentuk oleh
batupasir hijau, grewake, napal, batulempung dan tuf, sisipan lava bersusunan
andesit-basalt. Formasi sekala berhubungan menjemari dengan Batuan Gunungapi
Talaya (Batuan Vulkanik Talaya, Tmtv) yang terdiri dari breksi gunungapi, tuf
dan lava bersusunan andesit-basal, dengan sisipan batupasir dan napal, setempat
batubara. Batuan gunungapi Talaya mempunyai Anggota Tuf Beropa (Tmb)
yang terdiri dari perselingan tuf dan batupasir tufaan, dengan sisipan breksi
vulkanik dan batupasir wake (Ratman & Atmawinata, 1993).

Batuan Gunungapi Talaya menjari dengan Batuan Gunungapi Adang


(Tma) yang terutama bersusunan leusit-basalt, dan berhubungan menjemari
dengan Formasi Mamuju (Tmm) yang berumur Miosen Akhir. Formasi Mamuju
terdiri atas napal, batupasir gampingan, napal tufaan, dan batugamping pasiran
bersisipan tuf. Formasi ini mempunyai Anggota Tapalang (Tmmt) yang terdiri
dari batu gamping koral, batugamping bioklastik, dan napal yang banyak
mengandung moluska. Formasi Lariang terdiri dari batupasir gampingan dan
mikaan, batulempung, bersisipan kalkarenit, konglomerat dan tuf, umurnya
Miosen Akhir – Pliosen Awal.

Endapan termuda adalah aluvium (Qal) yang terdiri dari endapan endapan
sungai, pantai, dan antar gunung.

Geologi Daerah Pabettengan dan Sekitarnya, Kecamatan Bonehau,


Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat
21
Bab II Kerangka Geologi Regional

Gambar 2.8. Stratigrafi regional daerah penelitian.

Geologi Daerah Pabettengan dan Sekitarnya, Kecamatan Bonehau,


Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat
22

Anda mungkin juga menyukai