Anda di halaman 1dari 39

PROGRAM STUDI TEKNIK GEOLOGI, FITB - ITB

UJIAN AKHIR SEMESTER GEOTEKTONIK (GL-5211)


SENIN, 18 MEI 2009, PUKUL 07.00 09.00
Dr. Ir. Chalid Idham Abdullah
Soal:
1. Batuan Ofiolit tersingkap dengan baik dan penyebarannya cukup
luas di Pegunungan Meratus (Kalimantan Selatan dan Kalimantan
Timur) dan Sulawesi bagian Timur. Jelaskan proses terbentuknya
ofiolit tersebut, ditinjau dari konsep tektonik lempeng ?
Jawab :
Batuan Ofiolit adalah seri batuan mafik ultramafik yang berasosiasi
dengan kerak samudra. Ofiolit terbentuk pada daerah mid-oceanic
ridges, dengan sikuen stratigrafi berupa sedimen seperti rijang dan
black shale, sikuen ekstrusif seperti lava bantal basaltik, dyke,
gabro, peridotite (serpentinit), dan dunit.
Mekanisme naiknya ofiolit di atas kerak benua ini bisa dijelaskan
oleh gejala obduksi, yaitu naiknya lempeng-kerak samudra di atas
lempeng-kerak benua pada interaksi konvergen. Obduksi ini bisa
terjadi sebagai akibat tumbukan antar lempeng dengan kecepatan
tinggi.

Gambar 1. Model obduksi ofiolit


PROSES TERBENTUKNYA OFIOLIT DI

KALIMANTAN SELATAN

DAN TIMUR
Pada Kapur Akhir hingga Paleosen (80-60 Ma), terjadi subduksi
Lempeng Indo-Australia terhadap Sundaland di wilayah batas timur
Kalimantan (Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan). Proses
subduksi itu membawa Mikrokontinen Parstenoster Kangean yang
merupakan

pecahan

dari

Gondwana

sehingga

memunculkan

magmatisme di bagian timur Kalimantan akibat proses subduksi


yang menghasilkan zona melange di tempat pertemuan dua buah
lempeng tersebut.
Pada umur Paleosen Eosen Tengah (60-40 Ma), terjadi kolisi antara
Mikrokontinen

Parstenoster-Kangean

terhadap

Sundaland

yang

menyebabkan terjadinya tektonik kompresi sehingga terbentuklah


zona melange dan ofiolit yang tersingkap ke permukaan.
PROSES TERBENTUKNYA OFIOLIT DI
TIMUR

SULAWESI BAGIAN

Proses

subduksi

pada

bagian

timur

Sulawesi

berawal

dari

terbawanya Mikrokontinen Banggai-Sula (bagian dari Lempeng


Australia) pada umur Miosen Awal oleh Sesar Sorong menganan ke
arah

barat

yang

dipicu

oleh

perputaran

searah

jarum

jam

(clockwise) pada Philipine Sea Plate (PSP).


Pada umur Pliosen Akhir, terjadi kolisi antara Mikrokontinen BanggaiSula dengan Sulawesi bagian Timur yang menyebabkan terjadinya
suture yang menghasilkan kompleks molasse dan ofiolit.

Gambar 2. Perkembangan dari Meratus Range


(BPPKA, Pertamina, 1997)

Gambar 3. Perkembangan tektonik dari mikrokontinen Banggai-Sula


(Gerrard, et al., 1988).
2. Coba anda jelaskan tentang evolusi jalur-jalur magmatisme di Pulau
Jawa sejak Awal Tersier hingga Kuarter. Dan di mana letak
perbedaannya dengan pola dari jalur-jalur magmatisme di Pulau
Sumatera, (jawaban disertai sketsa / gambar) ?
Jawab :
Analisis evolusi jalur magmatisme di Pulau Jawa sejak awal
Tersier hingga Kuarter adalah sebagai berikut :
a. Pada Jaman Kapur Akhir jalur subduksi berarah barat daya timur
laut (SW NE), sehingga jalur magmatisme yang terbentuk juga
berarah SW NE. Pola struktur geologi yang terbentuk dikenal
dengan sebutan Pola Meratus (Pulunggono & Martodjojo, 1994).
Beberapa pola struktur geologi yang mewakili Pola

Meratus

antara lain : Sesar Kebumen Muria (Satyana, 2005), struktur


pada cekungan Zaitun dan Biliton (Pulunggono & Martodjojo,
1994).
b. Pada Jaman Tersier jalur subduksi berubah arah menjadi barat
timur yang menghasilkan jalur magmatisme juga berarah barat

timur. Jalur magmatisme pada Jaman tersier dikenal dengan


sebutan Old Andesit Formation (R.W. Van Bemmelen, 1949).
c. Pada Batas antara Jaman Tersier dan Kuarter jalur subduksi
berarah barat timur, namun lebih ke arah selatan dari jalur
subduksi Jaman Tersier, sehingga relatif mundur ke belakang, hal
ini dikenal dengan proses roll back dengan sudut penunjaman
lebih landai dibanding subduksi Jaman Tersier. Jalur magmatisme
yang terbentuk menghasilkan gunungapi kuarter aktif hingga kini
yang dikenal dengan gunungapi tipe C

yaitu gunungapi yang

pernah meletus sejak tahun 1600 (Direktorat Vulkanologi, 1982),


antara lain : di Jawa Barat (Gunung Gede, Tangkuban Parahu,
Papandayan, Galunggung, Guntur, Cereme, Salak), di Jawa Tengah
(Gunung Slamet, Merapi, Dieng, Muria) di Jawa Timur (Gunung
Bromo, Semeru, kelud, Arjuno, Welirang, Raung, Ijen). Evolusi jalur
magmatisme di Pulau Jawa ditampilkan pada gambar 3.

Gambar 3. Evolusi jalur penunjaman dan magmatisme Pulau Jawa


dan Sumatera
(Katili, 1978)
Perbedaan

antara

Jalur

magmatisme

di

Pulau

Jawa

apabila

dibandingkan dengan jalur magmatisme Pulau Sumatera

adalah

sebagai berikut :
Terdapat perbedaan arah jalur magmatisme pada zaman Tersier
di Pulau Sumatera dan Pulau Jawa. Pada Pulau Sumatera jalur
magmatisme berarah baratlaut tenggara (NW SE) akibat
subduksi menyerong, sedangkan di Pulau Jawa berarah barat
timur.

Dengan

keberadaan

Sesar

Besar

Sumatera

(Katili,

1978)

memotong jalur magmatisme Jaman Tersier di Pulau Sumatera


dan cekungan busur belakang, hal ini berpengaruh sebagai
cebakan mineralisasi di wilayah Sumatera, sehingga di wilayah
ini lebih berpotensi terdapat jalur mineralisasi, misalnya di Aceh,
Sumatera

Utara,

magmatisme

di

Bengkulu,
Pulau

Jawa

Lampung.
tidak

ada

Sedangkan
sesar

besar

jalur
yang

mengontrolnya.

Gambar 4. Penyebaran jalur gunungapi Kuarter di Jawa Barat, menurut


pembagian fisiografi (R.W. Van Bemmelen, 1949)

Gambar 4. Penyebaran jalur gunungapi Kuarter di Jawa Tengah dan Jawa


Timur,
menurut pembagian fisiografi (R.W. Van Bemmelen, 1949)

Gambar 5. Elemen tektonik Jaman Tersier di Pulau Sumatera

Gambar 5. Rekonstruksi pada 45 Ma


Deskripsi pada 45 Ma :
a. India mulai menyentuh Asia.
b. Terjadi peristiwa deformasi di benua asia, dimana pergeseran
terjadi melalui sesar-sesar mendatar yang berukuran raksasa :
Bagian tepi dari Asia Tenggara

bergeser ke tenggara,

termasuk sesar sumatra (semangko).


Bagian tepi timur asia bergeser ke arah timur.

Gambar 6. Pola Tektonik Sumatera


Deskripsi Pola Tektonik Sumatera :
Sebagai produk interaksi konvergen antara tepi benua asia
(tenggara) dengan lempeng Hindia Australia.
Kedudukannya yang serong terhadap arah interaksi menimbulkan
pola struktur

perpaduan antara bentuk palung-busur dan sesar

geser-mendatar ( strikr slip ).


Pola palung-busur membentuk jalur benioff dan jalur subduksi
yang lebar dengan deretan pulau-pulau sebelah barat sumatera
yang terdiri dari melange.

Pola sesar geser mendatar (strike slip) memotong seluruh pulau,


membentuk zona sesar yang komplek,

diselingi depresi dan

tinggian setempat.
3. Sejak dulu kita telah mengenal bahwa batas Daratan Sunda
(Sundaland) pada zaman Kapur mengikuti arah Meratus (Hamilton,
1979). Tetapi akhir-akhir ini beberapa peneliti mempunyai hipotesa
bahwa batas tersebut terletak lebih ke arah tenggara atau ke arah
timur (ke arah Sulawesi Selatan - Bantimala) ?
a.Coba

anda

jelaskan

pertimbangan

bagi

data
para

apa

saja

ahli

yang

kebumian

menjadi
dalam

mengemukakan hipotesa tentang batas Daratan Sunda.


Jawab :
Data yang menjadi pertimbangan utama bagi para ahli kebumian
dalam mengemukakan hipotesa mengenai batas daratan sunda
adalah data subduksi di bawah sundaland pada masa kapur akhir
sepanjang zona dari baratdaya Jawa hingga Pegunungan Meratus.
Subduksi menghasilkan kompleks akresi-kolisi termasuk satuan
tektonik yang terbentuk oleh oceanic spreading, busur vulkanik,
dan sedimentasi busur depan, serta metamorfisme. Batuan yang
dihasilkan antara lain batuan ultrabasa terserpentinisasi, basalt,
rijang, batugamping, silicieous shale, shale, breksi vulkanik, dan
batuan metamorf tekanan tinggi suhu rendah.
b.Jika hipotesa tersebut di atas adalah benar, coba anda
gambarkan atau sketsa penampang tektonik pada zaman
Kapur dari arah Tenggara ke arah Timur laut (melalui
Sulawesi Selatan, Selat Makassar, Pulau Laut dan Pulau
Kalimantan
Sebutkan

serta

juga

memotong

nama

Pegunungan

elemen-elemen

Meratus)

tektoniknya

masing-masing tempat pada penampang saudara ?


Jawab :

dari

Untuk membuktikan hipotesa diatas maka dibuktikan dengan Peta


Anomali Bouguer. Berdasarkan peta anomali bouguer, batas
sunda land termasuk dalam wilayah sulawesi barat, hal tersebut
menjelaskan

bahwa

wilayah

sulawesi

barat

dan

sundaland

memiliki densitas yang sama yang dimiliki oleh suatu karakter


kontinen. Sehingga batas pola meratus bergeser kearah lebih
timur. Hal tersebut secara geologi dapat dijelaskan oleh proses
amalgamasi.
Adapun yang menjadi elemen-elemen tektonik berupa :

Kontinen Eurasia,

Mikrokontinen Paternoster Sulawesi,

Mikrokontinen Paternoster Sulawesi.

Mikrokontinen serawak mensubduksi kalimantan utara, berkolisi


dan membentuk suture yang terdapat di central borneo range.
Subduksi paternoster ke kalimantan, kemudian mengalami kolisi,
mengangkat

ofiolit

pegunungan meratus.

yang

membentuk

suture

di

wilayah

Gambar 7. Batas kerak samudera dan batas kraton berdasarkan


Peta Anomali Bouguer skala 1 : 5.000.000 (sobari dkk, 1993)

Gambar 8. Rekontruksi tektonik pada umur kapur (Hall, 2009)


4. Sebagai akibat tumbukan pada zaman Tersier, struktur apakah yang
berkembang dibagian selatan kawasan Central range fold belt
di Irian Jaya.
Jawab :
Hampir keseluruhan elemen-elemen struktur geologi di Papua pada
saat sekarang ini termasuk ke dalam evolusi tektonik Kenozoik
(gambar 9). Evolusi tektonik Kenozoik merupakan hasil dari direct
convergence dan oblique convergence antara Indo-Australia dengan
Lempeng Pasifik (Hamillton, 1979; Dow et al., 1989). Pada Lempeng
Benua Australia di Papua terdapat fold dan thrust belt yang berumur
tersier akhir, yaitu Central Thrust Belt (Mobile Belt) dan Lengguru
Fold Belt.
Periode tektonik ini menyebabkan penyebaran sedimen klastik yang
luas dan tebal menindih group batuan karbonat dari Formasi
Batugamping New Guinea. Di wilayah Papua sedimen klastik ini
terdiri dari Formasi Klasaman, Steenkol dan Formasi Buru. Pada
bagian

utara

samudera.

Papua

Formasi

Makats

menindih

batuan

dasar

Kemudian pada saat akhir tersier, Papua Fold dan thrust belt
terangkat sedangkan subsidence dan sedimentasi terjadi pada
cekungan di dekatnya. Pengangkatan terjadi pada dua tahap
terpisah, dan zona yang mengalami tahapan dua kali telah
teridentifikasi di zona interaksi antara Central Thrust Belt dan
Lengguru Fold Belt. Central Thrust Belt memiliki trend barat-timur
yang memanjang sepanjang Papua hingga Papua New Guinea
(gambar 10). Lengguru Fold Belt terletak di sebelah barat Central
Thrust Belt dengan trend baratlaut-tenggara pada daerah leher
burung Papua.

Gambar 9. Elemen-elemen struktur geologi utama Papua

Gambar 10. Central Thrust Belt

Lengguru Fold Belt dan Central Thrust Belt bertemu pada sesar
Terera dan Aiduna di Aiduna Bay. Kedua belt tersebut diisi oleh
sedimen-sedimen Triassic. Jika sedimen Triassic di interpretasikan
sebagai endapan rift, maka Central Thrust Belt dan Lengguru Fold
Belt dapat didefinisikan sebagai rift Triassic yang terinversikan
(gambar 11). Dengan demikian perubahan trend dari barat-timur
Central Thrust Belt menjadi baratlaut-tenggara Lengguru Fold Belt
adalah hasil dari geometri awal rift system.

Gambar 11. Perkiraan Lokasi Triassic Rift (Hobson, 1997)

Lengguru Fold Belt pertama kali didefinisikan oleh Visser dan


Hermes (1962) yang merupakan komplek lipatan-lipatan dengan
trend baratlaut-tenggara. Lengguru Fold Belt terlihat terpotong oleh
Zona Sesar Terera-Aiduna sepanjang batas selatan. Batas timur
Lengguru Fold Belt dibatasi oleh Wandeman Ridge di sebelah
selatan dan oleh Sarera Bay di sebelah utara.
Central Thrust Belt terletak di sebelah selatan batuan metamorf dan
ophiolite, sehingga sepertinya struktur Central Thrust Belt dengan
arah barat-timur terbentuk ketika lempeng samudera terobduksi ke
Lempeng Benua Australia, kemudian menginversikan sesar-sesar
extensional

Triassic

dan

sedimen

pengisinya.

Pada

saat

itu

sepertinya bahwa lempeng Australia dan Pasifik mengalami direct


convergence daripada oblique convergence.
Saat

konvergensi

terbentuk

di

barat

Papua

(Miosen-Pliosen),

pecahan kontinen hasil dari rekahan pada akhir Kretasius dan


tanjung yang terbentuk berkolisi dengan Kepala Burung dan
membentuk sabuk lipatan Lengguru ketika konvergen Lempeng
Australia dan Pasifik berubah menjadi oblique convergence dan
terjadilah inverse dari sesar-sesar extensional berarah baratlauttenggara.
5. Fisiografi Kawasan Timur Indonesia (KTI) memperlihatkan posisi
Pulau Sumba yang unik pada cekungan muka busur. Umbgrove
(1949)

sudah

mensinyalir

adanya

problem

geodinamik

pulau

tersebut. Coba sebutkan apa permasalahannya ditinjau dari Teori


Tektonik Lempeng ?
Jawab :

Yang menjadi permasalahan pada Pulau Sumba ditinjau dari Teori


Tektonik Lempeng adalah dari segi

perubahan posisi, dimana

pulau sumba awalnya diangga masuk dalam deretan Sunda namun


pada saat ini posisinya berubah dimana letak forearc banda lebih
dekat dengan benua Australia. Hal itu juga dapat dilihat pada
evolusi tektonik regional Pulau Sumba seperti yang tampak di bawah
ini :
Tektonik Regional Pulau Sumba
a. Umur Akhir Kapur (80 66 Ma)
Selama akhir Cretaseus dan awal Paleogene, Sumba merupakan
bagian dari busur kepulauan oseanik yang merupakan bagian
pinggir

Daratan

Sunda,

khususnya

bagian

timur

Jawa,

SE

Kalimantan dan SW Sulawesi. Pernyataan ini didukung oleh data


stratigrafi,

sedimentologi

dan

paleomagnetik

Sumba,

yang

mengindikasikan bahwa Sumba berada dekat sekali dengan busur


vulkanik aktif ini pada masa akhir Cretaceus.

b.Umur Paleosen (65-53 Ma)


Pada kala Paleocene, Sumba masih menjadi bagian dari busur
kepulauan aktif. Pernyataan ini didukung oleh intrusi formasi
Tanadaro yang mewakili plutonik yang ekivalen dengan basal Al
yang tinggi, sama dengan yang ditemukan pada sepanjang busur
Aleutican modern.

Gambar 5.1. Rekonstruksi umur Paleosen


c. Umur Eosen (53-34 Ma)
Pada kala Eocene hingga sekitar awal Oligocen (31 Ma), Sumba
merupakan bagian sisa dari busur kepulauan.
Tumbukan

antara

menyebabkan

India

perubahan

dan
yang

batas

Eurasia

dramatis

di

pada

50

Tenggara

Ma
Asia.

Tumbukan India dan kontinen Eurasi menghasilkan tekanan


terhadap blok Indochina menuju tenggara di melalui system sesar
Red River sepanjang kurang lebih 700 km yang mengakibatkan
rotasi utama di tenggara Asia menjadi searah jarum jam.
Dampak dari kejadian diatas, terjadi ekstensi belakang busur di
wilayah daratan Sunda. Ekstensi ini diikuti rifting di Sumatera dan
Jawa serta pembukaan graben disepanjang bagian timur paparan
Sunda. Pada kala ini juga, bagian barat Sulawesi memisah (rifting)
dari Kalimantan sehingga menghasilkan cekungan Makassar.
Secara keseluruhan, terjadinya migrasi system busur ancestral ke
arah ESE merupakan akibat dari tumbukan India.

Gambar 5.2. Rekonstruksi umur Awal Eosen

Gambar 5.3. Rekonstruksi umur Akhir Eosen


d.Umur Oligosen hingga Awal Miosen (34 - 20 Ma)
Pada kala ini, terjadi tektonik ekstensi di bagian Tenggara Asia
sehingga Sumba menjadi bagian sisa dari busur kepulauan
oseanik pada 31 Ma. Hal ini diketahui dari stratigrafi Oligocene di
Sumba yaitu formasi Paumbapa yang didominasi batu gamping
berlapis dan reef. Hal yang sama berupa endapan karbonat laut
dangkal juga ditemukan di bagian Tenggara Asia selama kala ini
yakni dibagian timur Jawa, barat Sulawesi dan Kalimantan.

Gambar 5.4. Rekonstruksi umur Akhir Oligosen

Gambar 5.5. Rekonstruksi umur Awal Meosen


e. Umur Miosen hingga Pliosen
Pada Miocene Awal (18Ma) Sumba berada pada daerah yang
sekarang menjadi Alor dan Wetar yaitu pada 12LS (Fortuin et al.,
1997) pada satu blok yang kemudian akan menjadi bagian dari
Busur Banda. Pada 16 Ma blok Sumba bergeser dari area Alor dan
Wetar dengan kecepatan 50 mm/tahun ke arah Barat-Baratdaya
searah sesar strike-slip. Pergerakan ini membawa serta bagian
barat daya blok Sumba ke arah forearc dan menjauhi

daerah

yang kemudian menjadi Busur Volkanik Banda. Pecahnya Sumba

ini tercermin dari ketidakselarasan antara batuan busur paleogene


dan platform karbonat dan batuan neogene diatasnya, yang
sebagian besar merupakan volcaniclastic, endapan submarine
Formasi Kananggar.
Jika Sumba menerus dengan unit para-autochthon pada Timor
utara pada Awal Miocene (van der Werff et al, 1994), kedua
daerah tersebut tentunya telah terpisahkan pada 18 Ma dengan
fragmen Sumba bergerak

kea rah forearc. Sumba Ridge dan

basement yang menjadi dasar Cekungan Savu kemungkinan


merupakan pecahan Blok Sumba.
Bukti kunci untuk catatan waktu dari pergerakan Sumba ini
datang dari stratigraphy Formasi Kananggar (Fortuin et al, 1992,
1994, 1997). Umur sebelum 16 Ma merekam kejadian saat bagian
barat daya Blok Sumba telah bergeser cukup jauh dari busur
vulkanik yang kemudian muncul. Berpindahnya Blok Sumba
menjauh dari busur vulkanik yang baru terbentuk ini tercermin
dari kecepatan subsidence pada bagian timur Pulau Sumba. Hal
tersebut

diindikasikan

dengan

hilangnya

dengan

cepat

foraminifera ke bagian atas dari unit chalky marl dari Formasi


Kananggar.

Gambar 5.6. Rekonstruksi umur Akhir Meosen


f. Umur Pliosen hingga Recent
Berhentinya pergerakan Sumba menuju forearc selama miocene
ahir disertai juga oleh pemendekan dan pengangkatan pada
forearc Sumba. Sumba mengalami uplift yang menerus selama
Pliosen dan Kuarter dengan pergerakan rata-rata 0,65 mm/tahun.
(Fortuin et al., 1994).

Gambar 5.7. Rekonstruksi umur Pliosen

6. Dilihat

dari

posisi

geografi,

Pulau

Sumba

dan

Pulau

Timor

merupakan rangkaian pulau-pulau bagian selatan dari Provinsi Nusa


Tenggara Timur, tetapi dari tatanan geologinya sangat jauh berbeda.
Coba jelaskan di mana letak perbedaannya ditinjau dari tatanan
stratigrafi, struktur dan tektonik. Dan jelaskan juga secara singkat
(disertai sketsa / gambar) evolusi geodinamikdari Pulau Sumba sejak
umur Kapur hingga Kuarter.
Jawab :
P. Sumba merupakan fragmen dari island arc sedangkan pulau timor
merupakan mikro kontinen dari australia. letak perbedaannya dapat
ditinjau dari tatanan stratigrafi, struktur dan tektonik yang akan
dipaparkan berikut ini.
STRATIGRAFI PULAU TIMOR
Pada Kepulauan Timor (Gambar 6.1) secara regional stratigrafinya
terdiri

dari

Formasi

Maubisse

yang

memiliki

litologi

batuan

batugamping yang berumur Permian Bawah, dan batuan beku


ekstrusif yang dikenal sebagai batuan yang tertua di Timor Barat.
Kemudian terdapat Formasi Atahoc yang terdiri dari batupasir
arkose yang diperkirakan berumur Permian. Berikutnya terdapat
Formasi Cribas yang berumur Permian Awal terdiri dari batupasir,
lanau, serpih hitam dan batugamping bioklastik.Terdapat pula
Formasi Niof yang berumur Trias Tengah terdiri dari batuan
konglomerat batupasir, dan lanau, terakhir terdapat Formasi Aitutu
yang terdiri dari batugamping berumur Trias.

Gambar 6.1. Stratigrafi Kepulauan Timor (Audley-Charles, 1968)


EVOLUSI TEKTONIK DAN STRUKTUR TIMOR
Dalam pemodelan struktural yang terjadi di Kepulaun Timor diajukan
3 model utama dan 2 model tambahan oleh Richardson dan Blundell
(1996) (Gambar 6.2.), namun hanya 3 model utama saja yang
dibahas penulis antara lain:
1 Model overthrust berdasarkan geologi permukaan daerah Timor
diman allocthon terdapat sangat jelas (Audley-Charles and Harris,
dalam Darman Herman dan Hasan Sidi, 2000)
2 Model

Imbrikasi

berdasarkan

data

geologi

dan

geofisika

menginterpretasi Kepulauan Timor sebagai akumulasi material

3 Model rebound dimana Kerak kontinen Australia menyusup ke


daerah subduksi dekat Selat Wetar menghasilkan pengangkatan
Kepulauan Timor.
Namun, sebelumnya Richardson (Gambar 6.3) telah memberikan
gambaran awal mengenai proses collision di daerah busur banda.
Proses ini diawali proses subduksi antara kerak benua dari australia dan
kerak samudera, yang selanjutnya terjadi obduksi.

Gambar 6.2. Model Tektonik Evolusi yang diajukan Oleh Richardson dan
Blundell, 1996

Gambar 6.3. Model Tektonik Evolusi yang diajukan Oleh Richardson,


1994
STRATIGRAFI SUMBA
Stratigrafi akhir Cretaceus

diindikasikan oleh kompleks akresi

Meratus di SE Kalimantan dan sekuen Balangbaru flysch di bagian


Barat Sulawesi yang berkorelasi dengan formasi Lasipu di Sumba.
Sedimentologi diketahui dari analisa Formasi Lasipu di Sumba yang
didominasi oleh volcanic mudstones, sandstones, diamictites dan
endapan turbidit pada lingkungan depan busur dan diintrusi oleh
andesit dan dacitic dikes. Volcaniclastic turbidit dari formasi Lasipu ini
mengindikasikan bahwa sumbernya berasal dari busur kepulauan
oseanik.

Stratigrafi

pada

Paleocene

merupakan

intrusi

formasi

Tanadaro yang mewakili plutonik yang ekivalen dengan basal Al yang


tinggi, sama halnya dengan yang ditemukan pada sepanjang busur
Aleutican modern. Aktifitas magma di Sumba pada kala Paleocene
seumur dengan subduksi yang menghasilkan magma di Ujung
Pandang dan bagian selatan dataran Sunda yang diwakili oleh batuan
vulkanik calc-alkaline berumur 60 Ma. Stratigrafi Oligocene di Sumba
yaitu formasi Paumbapa yang didominasi batu gamping berlapis dan
reef. Dari Miocene hingga Pliocene terjadi ketidakselarasan antara
batuan busur paleogene dan platform karbonat dan batuan neogene
diatasnya, yang sebagian besar merupakan volcaniclastic, endapan
submarine Formasi Kananggar. Dari Pliocene hingga recent ditandai
kehadiran kembali foraminiferal chalk pada Formasi Kananggar,
mengindikasikan bahwa bagian dari Cekungan Savu, yaitu bagian
sedimen Kananggar, sedimen diendapkan diatas batas CCD.
TINJAUAN TEKTONIK DAN STRUKTUR SUMBA
Hamilton

(1979)

mengusulkan

bahwa

Sumba

merupakan

mikrokontinen dari tenggara Eurasia (Sundaland). Simanjuntak (1993)


mencatat kemiripan urut-urutan stratigrafi antara Late Cretaceous
sampai Miocene di Sumba dengan Baratdaya Sulawesi. E.Rutherford,
K.

Burke,

J.Lytwyn

menginterpretasikan

bahwa

Sumba

adalah

fragmen dari The Great Indonesian Volcanic Arc yang dekat dengan
lepas pantai dari Sundaland. Sumba merupakan fragmen dari Island
Arc (Aleutian-Type). Selama akhir Cretaseus dan awal Paleogene,
Sumba merupakan bagian dari busur kepulauan oseanik yang
merupakan bagian pinggir Daratan Sunda, khususnya bagian timur
Jawa, SE Kalimantan dan SW Sulawesi. Pada kala Paleocene, Sumba
masih menjadi bagian dari busur kepulauan aktif. Pada kala Eocene
hingga sekitar awal Oligocen (~31 Ma), Sumba merupakan bagian
sisa dari busur kepulauan. Pada kala oligoccen hingga Early Miocene

terjadi tektonik ekstensi di bagian Tenggara Asia sehingga Sumba


menjadi bagian sisa dari busur kepulauan oseanik. Pada Miocene Awal
(~18Ma) Sumba berada pada daerah yang sekarang menjadi Alor dan
Wetar yaitu pada ~12 0 LS (Fortuin et al., 1997) pada sutu blok yang
kemudian akan menjadi bagian dari Busur Banda. Pada ~16Ma blok
Sumba bergeser dari area Alor dan Wetar dengan kecepatan ~50
mm/tahun kearah Barat BaratDaya searah sesar strike-slip. Pada
kala ini, daerah Sumba mengalami

peregangan intra-arc yang

dimulai pada pertengahan Miocene yang kemudian diikuti oleh


subsidence yang terjadi dengan cepat pada pulau tersebut. Umur
sebelum ~16Ma merekam kejadian saat bagian barat daya Blok
Sumba telah bergeser cukup jauh dari busur vulkanik yang kemudian
muncul. Berpindahnya Blok Sumba menjauh dari busur vulkanik yang
baru terbentuk ini tercermin dari kecepatan subsidence pada bagian
timur Pulau Sumba. Berhentinya pergerakan Sumba menuju forearc
selama

miocene

akhir

disertai

pengangkatan pada forearc Sumba.

juga

oleh

pemendekan

dan

Gambar 6.4. Stratigrafi Pulau Timor

Gambar 6.5. Tektonostratigrafi Pulau Sumba

Gambar 6.6. Evolusi Geodinamik Pulau Sumba dari Kapur hingga


Kuarter
7. Cekungan Ombilin di Sumatera Barat disebut oleh beberapa ahli
kebumian sebagai cekungan antar gunung (inter mountain basin).

Coba anda ceritakan sejarah cekungan Ombilin ditinjau dari tatanan


struktur dan stratigrafi sejak umur Eosen sampai umur Pleistosen di
mana mulai diendapkannya Formasi Brani, Formasi Sawahlunto,
Formasi Sawahtambang dan Formasi Ombilin ?. (jawaban harus
disertai sketsa)
Jawab :
Cekungan Ombilin yang terdapat di Sumatera Barat disebut sebagai
cekungan antar gunung (inter mountain basin) karena Cekungan
Ombilin

mengalami

fase

tektonik

selama

umur

Tersier

diantaranya :
a. Fase tektonik pertama berlangsung ketidakselarasan antara
batuan dasar dengan Formasi Brani, berupa fase ekstensif yang
berarah baratlaut-tenggara sejak Paleosen. Pada fase tektonik ini
endapan kipas aluvial Formasi Brani mulai terbentuk bersamaan
dengan pembentukan Cekungan Ombilin. Sesar yang terbentuk
adalah Sesar Takung disebelah timur dan Sesar Silungkang di
sebelah barat dan merupakan batas cekungan. Di bagian tengah
cekungan terbentuk pula endapan rawa Formasi Sangkarewang
yang berupa perselingan batulempung, serpih dan batupasir.
b. Fase tektonik kedua berupa fase kompresif berarah utaraselatan, bertlangsung sejak Eosen menyebabkan struktur chevron
dan ketidakselarasan pada Formasi Sangkarewang. Selain itu
sesar yang sudah terbentuk reaktifasi sesar mendatar dan sesar
naik.
c. Fase tektonik ketiga berupa fase kompresif berarah timurlautbaratdaya

dan

pengendapan
berkelok

dari

Formasi

mengakibatkan
endapan

rawa

Sawahlunto.

perubahan
menjadi

Fase

ini

lingkungan

endapan

dibeberapa

sungai
tempat

dijumpai sesar minor berupa sesar naik yang terjadi bersamaan


saatpengandapan satuan batulempung, batupasir, dan batubara
Formasi Sawahlunto. Selain fase kompresif menghasilkan pula
fase ekstensif. Fase ekstensif ini berarah baratlaut-tenggara dan
menghasilkan daearah rendahan di sepanjang sungai berupa
endapan lakustrin dengan dijumpainya lapisan batubara yang
cukup tebal.
d. Fase tektonik keempat adalah fase kompresif berarah relatif
utara selatan yang menyebabkan ketidakselarasan antara Formasi
sawahlunto dan Formasi Sawahtambang (Oligosen Awal-Oligosen
Akhir), dan menjadikan perubahan lingkungan pengendapan dari
endapan sungai berkelok menjadi endapan sungai terannyam.
Dengan asumsi itu Cekungan Ombilin mengalami pengangkatan,
selain itu terjadi pula fase ekstensif yang mempunyai arah
baratlaut-tenggara. Pada fase ekstensif ini di beberapa tempat
terjadi daerah rendahan yang berupa lakustrin. Hal ini terjadi
karena dijumpai lapisan batubara di beberapa tempat yang
diinterpretasikan sebagai enbdapan lakustrin.
e. Fase tektonik kelima adalah fase ektensif yang berarah relatif
utara-selatan bersamaan dengan terbentuknya Sesar Tanjung
ampalu dan sesar-sesar yang berarah utara-selatan. Fase ini
berlangsung

sejak

Miosen

berubahnya

lingkungan

Awal

bersamaan

pengendapan

dari

pula

endapan

dengan
fluvial

menjadi endapan marin. Pada fase ini pusat pengendapan


cekungan ombilin berubah dari baratlaut ke arah tenggara
cekungan. Bagian sebelah baratlaut cekungan diisi oleh sedimensedimen yang berumur Paleogen dan dikenal sebagai Sub
Cekungan Talawi, sedangkan bagian tenggara cekungan diisi oleh
sedimen-sedimen yang berumur Neogen dan dikenal sebagai Sub

cekungan Sinamar. Selain fase ekstensif dijumpai pula fase


kompresiif berarah relatif timur-barat dan menghasilkan sesarsesar berarah timurlaut-baratdaya yaitu Sesar Ombilin, Sesar
Muario, dan Sesar Kuantan. Pada fase ini juga terjadi sesar-sesar
yang sudah terbentuk lebih awal mengalami reaktifasi.

Gambar 7.1. Kolom Stratigrafi Cekungan Ombilin Sumatra Tengah

Gambar 7.2. Peta Geologi Cekungan Ombilin, Sumatra Tengah

Anda mungkin juga menyukai