Anda di halaman 1dari 23

Bab I Jawa

I.1 Tektonik Umum


Pulau Jawa berada di tepi tenggara Daratan Sunda (Sundaland). Pada Daratan
Sunda ini terdapat dua sistem gerak lempeng; Lempeng Laut Cina Selatan di utara
dan Lempeng Samudera Hindia di selatan. Lempeng Laut Cina Selatan (Eurasia)
bergerak ke tenggara sejak Oligosen (Longley, 1997), sedangkan Lempeng
Samudera Hindia yang berada di selatan bergerak ke utara sejak Mesozoikum dan
menunjam ke bawah sistem busur kepulauan Sumatra dan Jawa (Liu dkk., 1983).

Pulau jawa yang terlihat saat sekarang adalah akibat adanya pergerakan dua
lempeng yang bergerak saling mendekat dan mengalami tabrakan, dimana proses
tersebut relatif bergerak menyerong (oblique) antara lempeng samudra Hindia pada
bagian barat daya dan lempeng Benua Asia bagian tenggara (eurasian), dimana
lempeng samudra hindia akan menyusup ke lempeng eurasia. Pada zone subduksi
akan dihasilkan palung jawa (Java trench) dengan pergerakan relatif 7 cm/tahun.
Pada zone subduksi terdiri dari “Acctionary Complex ” yang materialnya secara
garis besar dari lantai samudra hindia pada busur muka Jawa. Adapun model
Konvergensi antara Lempeng India-Australia dengan Lempeng Eurasia
Menghasilkan Sistem Palung Busur yang diperlihatkan oleh Hall, 2005 dalam
Seubert dkk., 2008 (Gambar I.2).

Gambar I.1 Peta Gelogi Regional Jawa (Manur and Barraclough, 1994)
Gambar I.2 Model Konvergensi antara Lempeng India-Australia dengan Lempeng
Eurasia (Hall, 2005 dalam Seubert dkk., 2008)

I.2 Struktur-Struktur Umum Di Jawa


Perkembangan tektonik pulau Jawa dapat dipelajari dari pola-pola struktur geologi
dari waktu ke waktu. Struktur geologi yang ada di pulau Jawa memiliki pola-pola
yang teratur. Secara geologi pulau Jawa merupakan suatu kompleks sejarah
penurunan basin, pensesaran, perlipatan dan volkanisme di bawah pengaruh stress
regime yang berbeda-beda dari waktu kewaktu.

Secara umum, ada tiga arah pola umum struktur yang menghasilkan tatanan geologi
Tersier di Pulau Jawa yang cukup rumit (Gambar I.3 dan Gambar I.4), yaitu:
1. Pola Meratus (Kapur-Paleosen) berarah Timur Laut –Barat Daya (NE-SW) di
bagian barat terekspresikan pada Sesar Cimandiri, di bagian tengah
terekspresikan dari pola penyebaran singkapan batuan pra- Tersier di daerah
Karang Sambung. Sedangkan di bagian timur ditunjukkan oleh sesar pembatas
Cekungan Pati, “Florence” timur, “Central Deep”. Cekungan Tuban dan juga
tercermin dari pola konfigurasi Tinggian Karimun Jawa, Tinggian Bawean dan
Tinggian Masalembo. Pola Meratus tampak lebih dominan terekspresikan di
bagian timur.
2. Pola Sunda (Eosen Akhir-Oligosen) berarah Utara-Selatan (N-S), di bagian
barat tampak lebih dominan sementara perkembangan ke arah timur tidak
terekspresikan. Ekspresi yang mencerminkan pola ini adalah pola sesar-sesar
pembatas Cekungan Asri, Cekungan Sunda dan Cekungan Arjuna. Pola Sunda
pada Umumnya berupa struktur regangan.
3. Pola Jawa (Oligosen-Sekarang) mendominasi struktur di daratan Pulau Jawa,
berarah Timur – Barat (E- W), bagian barat pola ini diwakili oleh sesar-sesar
naik seperti sesar Baribis sesar sungkup dan lipatan di Zona Bogor, Zona Serayu
Utara dan Zona Serayu Selatan dan sear-sear dalam Cekungan Bogor. Bagian
tengah tampak pola dari sesar-sesar yang terdapat pada zona Serayu Utara dan
Serayu Selatan. Bagian Timur ditunjukkan oleh arah Sesar Pegunungan
Kendeng yang berupa sesar naik, sesar sungkup dan lipatan Zona Kendeng,
Zona Sesar RMKS (Rembang-Madura-Kangean-Sakala).

Gambar I.3 Struktur regional jawa (Sribudiyani dkk, 2003 dalam Prasetyadi, 2007).
Gambar I.4 Arah pola struktur utama Pulau Jawa dan sekitarnya (modifikasi dari
Pulunggono dan Martjojo,1994).

I.3 Model Evolusi Tektonik Jawa Menurut Beberapa Peneliti


Ada beberapa model evolusi tektonik yang dikemukakan untuk Pulau Jawa. Model
rotasi beralawanan arah jarum jam dikemukakan oleh Hall (1996, 2002) yang
memperkirakan posisi Sumatra–Jawa pada Paleogen berorientasi lebih berarah
utara–selatan (Gambar I.5). Sejak Eosen Awal sampai sekarang, Hall (1996)
beranggapan bahwa rotasi Kalimantan yang berlawanan arah jarum jam
dipengaruhi oleh pergerakan ke utara Benua Australia dan pergerakan ke barat
Lempeng Samudera Pasifik. Pada Neogen zona subduksi di selatan Jawa menjadi
berarah barat – timur dimana di bagian timur zona ini dipengaruhi oleh benturan
Benua Australia dengan busur kepulauan Banda. Menurut Soeria-Atmadja, dkk,
(1998) berdasarkan rekonstruksi jalur volkano-magmatik sejak Kapur hingga
Neogen, rotasi berlawanan arah jarum jam zona subduksi Meratus menjadi arah
timur – barat disebabkan oleh berkembangnya pemekaran di belakang busur.
Gambar I.5 Rotasi beralawanan arah jarum jam dalam evolusi tektonik Kepulauan
Indonesia mulai dari Eosen Awal (50 ma) sampai Miosen Akhir (10
ma) menurut Hall (1996).

Model mikrokontinen dikemukakan oleh Parkinson dkk, (1998), Wakita (2000),


dan Sribudiyani dkk, (2003), menginterpretasi bahwa zona subduksi arah Meratus
menjadi tidak aktif karena tersumbat oleh hadirnya fragmen kontinen (Gambar I.6).
Parkinson dkk, (1998) dan Wakita (2000) menafsirkan bahwa penyumbatan terjadi
pada akhir Kapur Awal di palung Karangsambung-Bantimala oleh sebuah
mikrokontinen. Mikrokontinen ini merupakan kumpulan dari Pulau Sumba,
Platform Pastenoster, komplek batuan Lolotoi_mutis di Timor dan Sulawesi bagian
barat yang kemudian terpisah-pisah pada Paleogen. Penyumbatan ini menyebabkan
terjadinya proses tumbukan yang menghasilkan eklogit dan batuan jadeit-
glaukofan-garnet- kuarsa yang merupakan batuan metamorf bertekanan
sangat tinggi di Karangsambung, pegunungan Meratus, dan Bantimala. Zona
subduksi kemudian berpindah ke selatan pada Kapur Akhir. Seiring dengan rotasi
berlawanan arah jarum jam dari Darata Sunda pada awal Tersier, zona subduksi ini
akhirnya menjadi berarah timur–barat (Sribudiyani dkk, 2003). Data seismik dan
pengeboran di Jawa Timur juga menafsirkan hadirnya mikrokontinen yang disebut
sebagai Lempeng mikro Jawa Timur sebagai penyebab berubahnya zona subduksi
arah Meratus (timurlaut–baratdaya) menjadi arah Jawa (timur–barat).

Gambar I.6 (A) Paleotektonik bagian tepi timur Daratan Sunda pada Kapur Awal –
Kapur Akhir menurut Parkinson dkk, (1998); (B) Ilustrasi
perkembangan tektonik bagian tepi tenggara Daratan Sunda
pada Kapur Akhir menurut Wakita (2000); (C) Kerangka
tektonik menggambarkan perkembangan tektonik Asia
Tenggara mulai dari 70 ma sampai dengan 5 ma. Berpindahnya
zona konvergensi berarah timurlaut – baratdaya pada 70 – 35
ma akibat penyumbatan oleh tumbukan mikrokontinen Jawa
Timur menjadi arah timur – barat pada 35 – 20 ma, kemudian
zona subduksi bergerak semakin ke selatan pada 20 – 5 ma
(Sribudiyani dkk, 2003).

Model penyumbatan mikrokontinen saat ini lebih banyak diterima luas karena
menjelaskan dengan lebih meyakinkan perkembangan tektonik pada Zaman Kapur
sampai Tersier di Jawa, terutama di Jawa bagian timur berdasarkan data-data yang
lebih mutakhir. Namun, keterlibatan mikrokontinen dalam perkembangan tektonik
tersebut juga masih menyisakan banyak pertanyaan, terutama tentang mekanisme
dan waktunya yang masih belum jelas. Parkinson dkk., (1998) beranggapan bahwa
terlibatnya mikrokontinen terjadi pada akhir Kapur Awal, sedangkan Sribudiyani
et al., (2003) berpendapat bahwa peristiwa tumbukan mikrokontinen terjadi pada
Eosen Awal. Meskipun masih terdapat perbedaan, namun di dalam penyusunan
karyatulis ini evolusi tektonik Pulau Jawa akan menggunakan pendekatan konsep
model penyumbatan mikrokontinen karena konsep ini lebih lebih baru dan mudah
dipahami.

Untuk mengenali mendukung konsep model tumbukan mikrokontinen, maka


dilakukan kajian mengenai karakter kerak di bawah Busur Pegunungan Selatan.
Kisaran komposisi batuan vulkanik di Busur Pegunungan Selatan adalah asam
hingga menengah berupa andesit hingga riolit dengan rata-rata kandungan SiO2
67%, beberapa tubuh intrusi yang tersingkap sebagai granodiorit. Batuan tersebut
lebih berkembang dibandingkan produk erupsi intermediet-basa dari gunungapai
saat ini yang mengindikasikannya sebagai hasil leburan subduksi primitif tanpa
interaksi kerak di atasnya. Perbedaan kimiawi dari produk Busur Pegunungan
Selatan dan Busur Sunda dijelaskan dengan beberapa cara antara lain kristal
fraksinasi magma lebih basa, interaksi magma lebih basa dengan kerak asam
dan peleburan sebagian dari kerak asam.

I.4 Evolusi Tektonik Jawa


I.4.1 Periode Subduksi Timurlaut–Baratdaya pada Sebelum Kapur serta
Kapur Akhir - Paleosen (Jalur Karangsambung-Meratus)
Fase tektonik awal terjadi pada Mesozoikum ketika pergerakan Lempeng Indo-
Australia ke arah timurlaut menghasilkan subduksi dibawah Microplate Sunda
sepanjang suture Karangsambung-Meratus (Gambar I.7). Aktivitas magmatik
Kapur Akhir dapat diikuti menerus dari Timurlaut Sumatra–Jawa- Kalimantan
Tenggara. Pembentukan cekungan depan busur (fore arc basin) berkembang di
daerah selatan Jawa Barat dan Serayu Selatan di Jawa Tengah.

Komplek Lok Ulo, Jawa Tengah telah diketahui merupakan komplek batuan akresi
termasuk unit tektonik yang terbentuk oleh oceanic spreading, arc volcanism,
sedimentasi forearc dan oceanic, dan metamorfisme. Accretionary-collision
complexes mencakup batuan ultrabasa terserpentinisasi, basalt, chert, limestone,
siliceous shales, shales, breksi volkanik dan batuan metamorf high P-low T
(Parkinson dkk, 1998; Wakita, 2000). Batuan yang berumur Kapur di daerah
Karangsambung, menunjukkan bahwa pada zaman tersebut daerah Karangsambung
merupakan bagian dari zona subduksi Lempeng Samudera Hindia ke bawah
Daratan Sunda. Zona subduksi ini ke arah barat-baratdaya menerus ke daerah
Ciletuh di Jawa Barat dan ke arah timurlaut menerus ke daerah Pegunungan
Meratus dan Pulau Laut di Kalimantan Tenggara. Komplek Melange Luk Ulo di
daerah Karangsambung menunjukkan komplek akresi yang melibatkan stratigrafi
lempeng samudera (OPS) (Wakita dkk, 1994) dan bagian lempeng samudera yang
diwakili oleh Komplek ofiolit Karangsambung Utara, sedangkan di Bayat batuan
dasarnya tidak menunjukkan keterlibatan OPS.

Gambar I.7 Rekonstruksi skematis perkembangan tektonik Pulau Jawa pada


Mesozoikum (Sribudiyani dkk, 2003) menggambarkan bahwa
subduksi berarah timurlaut-baratdaya yang menghasilkan jalur
subduksi dan gunungapi di sepanjang suture Karangsambung-
Meratus (Sribudiyani dkk, 2003 dalam Prasetyadi, 2007).

I.4.2 Periode Kolisi/tumbukan Mikrokontinen.


Mendekati Kapur Akhir – Awal Eosen, sebuah fragmen kontinen yang diduga
merupakan pecahan dari Gondwana di bagian selatan bergerak mendekati zona
subduksi Karangsambung- Meratus. Kehadiran allochthonous micro-continents
Gondwana di wilayah Asia Tenggara telah dilaporkan oleh banyak penulis.
Basement bersifat kontinental yang terletak di sebelah timur zona subduksi
Karangsambung- Meratus dan yang mengalasi Selat Makasar teridentifikasi di
Sumur Rubah-1 (Conoco, 1977 dalam IAGEO UPN, 2010) berupa granit pada
kedalaman 5056 kaki, sementara didekatnya Sumur Taka Talu-1 menembus
basement diorit. Docking (merapatnya) fragmen mikrokontinen pada bagian tepi
timur Sundaland menyebabkan matinya zona subduksi Karangsambung-Meratus
dan terangkatnya zona subduksi tersebut menghasilkan Pegunungan Meratus.

Gambar I.8 Rekonstruksi skematis perkembangan tektonik Pulau Jawa pada Kapur
Akhir – Eosen Akhir (Sribudiyani dkk, 2003) menggambarkan
mikrokontinen pecahan dari Gondwana merapat ke zona suduksi
Karangsambung-Meratus menyebabkan terjadinya penyumbatan
sehingga subduksi berhenti dan berubah menjadi kolisi antara
mikrokontinen pastenoster dengan sundaland.
Gambar I.9 Rekonstruksi skematis penampang utara-selatan Jawa menunjukkan
adanya sumbatan mikrokontinen Jawa Timur yang merupakan bagian
dari Pastenoster. Sumbatan ini yang menyebabkan subduksi berhenti
dan berubah menjadi kolisi (Prasetyadi, 2007).

Indikasi adanya batuan Paleosen di daerah Karangsambung terdapat pada


batulempung Kompleks Melange Luk Ulo (Asikin, 1974; Wakita dkk, 1994) dan
pada batulempung Komplek Larangan. Umur Paleosen sebagai umur termuda yang
ditunjukkan oleh batuan yang berasosiasi dengan Komplek Luk Ulo
diinterpretasikan sebagai umur berakhirnya subduksi di daerah Karangsambung. Di
Jawa Barat batuan yang hampir sama juga tersingkap di Selatan Ciletuh Bay dan
termasuk serpentinised peridotites, gabro, pillow basalt dan batuan metamorf
seperti quartzite dan amphibolite walaupun jarang dijumpai. Batupasir di Sungai
Cimadur dekat Bayah, mengandung mineral ultrabasic mengindikasikan adanya
batuan ofiolit di daratan. Collision fragmen kontinental Gondwana (Smyth dkk,
2007) yang mengakhiri subduksi pada Kapur Akhir sekarang menjadi bagian dari
basement Jawa Bagian Timur.
Gambar I.10 Rekonstruksi skematis penampang utara-selatan Jawa menunjukkan
perkembangan cekungan-cekungan baru yang dikontrol oleh
struktur lama (Prasetyadi, 2007).

Memasuki Kala Eosen, mengimbangi proses pengangkatan akibat berhentinya


subduksi di palung Karangsambung-Meratus, dalaman atau cekungan yang sudah
ada sejak Paleosen semakin berkembang sedangkan di tempat lain terbentuk
cekungan-cekungan baru yang dikontrol oleh struktur lama, yakni struktur berarah
timurlaut-baratdaya, yang searah dengan zona subduksi, dan berarah timur-barat,
sejajar dengan arah sebaran endapan Paleosen di bagian timur Cekungan Jawa
Timur.

Fase regangan Eosen Tengah dicirikan oleh berkembangnya dua jenis cekungan
yang berbeda, yakni cekungan laut dalam di daerah Karangsambung dan cekungan
laut dangkal sampai transisi di daerah Nanggulan, Bayat dan Jawa Timur.
Nanggulan dan Bayat diinterpretasikan berada di daerah paparan tepi timur
mikrokontinen Jawa Timur dan berbatasan dengan cekungan yang dalam daerah
Karangsambung. Letak yang berbatasan dengan Cekungan Karangsambung ini
diindikasikan juga oleh struktur lipatan batuan Eosen di Nanggulan dan Bayat yang
berarah Meratus, yakni timurlaut- baratdaya. Struktur lipatan ini merupakan
inversi dari endapan yang mengisi struktur graben yang berarah sama. Struktur
graben dengan arah lain, yakni berarah barat-timur, diisi oleh endapan syn-rift
Formasi Pra-Ngimbang dan Ngimbang. Ke arah selatan, ke arah daerah yang
sekarang ditempati oleh Zona Kendeng, cekungan ini mendalam. Karena dalaman
berarah barat-timur ini terbentuk sejak pengendapan Formasi Pra-Ngimbang yang
berumur Paleosen maka secara genesa struktur graben barat- timur ini merupakan
struktur yang lebih tua dibandingkan dengan graben berarah timurlaut-baratdaya.

Gambar I.11 Rekonstruksi skematis penampang utara-selatan Jawa menunjukkan


berkembangnya cekungan laut dalam di Karangsambung dan
cekungan laut dangkal sampai transisi di Nanggulan, Bayat, dan
Jawa Timur (Prasetyadi, 2007).

I.4.3 Periode Subduksi Timur – Barat (Jalur Jawa)


Sebagian besar bagian atas sedimen Eosen Akhir memiliki kontak tidak selaras
dengan satuan batuan di atasnya yang berumur Oligosen. Di daerah
Karangsambung batuan Oligosen diwakili oleh Formasi Totogan yang kontaknya
dengan satuan batuan lebih tua menunjukkan ada yang selaras dan tidak selaras. Di
daerah Karangsambung Selatan batas antara Formasi Karangsambung dan Formasi
Totogan sulit ditentukan dan diperkirakan berangsur, sedangkan ke arah utara
Formasi Totogan ada yang langsung kontak secara tidak selaras dengan batuan
dasar Komplek Melange Luk Ulo. Di daerah Nanggulan kontak ketidakselarasan
terdapat diantara Anggota Seputih yang berumur Eosen Akhir dengan satuan breksi
volkanik Formasi Kaligesing yang berumur Oligosen Tengah. Demikian pula di
daerah Bayat, bagian atas Formasi Wungkal- Gamping yang berumur Eosen Akhir,
tanda-tanda ketidakselarasan ditunjukkan oleh terdapatnya fragmen-fragmen
batuan Eosen di sekuen bagian bawah Formasi Kebobutak yang berumur Oligosen
Akhir. Ketidakselarasan di Nanggulan dan Bayat merupakan ketidakselarasan
menyudut yang diakibatkan oleh deformasi tektonik yang sama yang menyebabkan
terdeformasinya Formasi Karangsambung.

Akibat deformasi ini di daerah Cekungan Jawa Timur tidak jelas teramati karena
endapan Eosen Formasi Ngimbang disini pada umumnya selaras dengan endapan
Oligosen Formasi Kujung. Deformasi ini kemungkinan juga berkaitan dengan
pergerakan ke utara Benua Australia. Setelah matinya pusat pemekaran Wharton,
India dan Australia berada pada satu lempeng tunggal dan bersama-sama bergerak
ke utara. Pergerakan Australia ke utara menjadi lebih cepat dibanding ketika
Wharton Ridge masih aktif. Bertambahnya kecepatan ini meningkatkan laju
kecepatan penunjaman Lempeng Samudera Hindia di Palung Jawa dan mendorong
ke arah barat, sepanjang sesar mendatar yang keberadaannya diperkirakan pada
Mikrokontinen Jawa Timur sehingga terjadi tektonik kompresional di daerah
Karangsambung yang mengakibatkan terdeformasinya Formasi Karangsambung
serta terlipatnya Formasi Nanggulan dan Formasi Wungkal-Gamping di Bayat.
Gambar I.12 Rekonstruksi skematis penampang utara-selatan Jawa menunjukkan
terjadinya terdeformasinya Formasi Karangsambung serta
terlipatnya Formasi Nanggulan dan Formasi Wungkal-
Gamping di Bayat karena meningkatnya kecepatan
penunjaman Lempeng Samudera Hindia di Palung Jawa dan
mendorong ke arah barat (Prasetyadi, 2007).

Meningkatnya laju pergerakan ke utara Benua Australia diperkirakan masih


berlangsung sampai Oligosen Tengah. Peristiwa ini memicu aktifitas volkanisme
yang kemungkinan berkaitan erat dengan munculnya zona gunungapi utama di
bagian selatan Jawa (OAF=Old Andesite Formation) yang sekarang dikenal sebagai
Zona Pegunungan Selatan. Aktifitas volkanisme ini tidak menjangkau wilayah
Jawa bagian utara dimana pengendapan karbonat dan silisiklastik menerus di
daerah ini.
Gambar I.13 Rekonstruksi skematis perkembangan tektonik Pulau Jawa pada
Oligosen – Miosen Awal (Sribudiyani dkk, 2003) menggambarkan
pergerakan ke utara Lempeng India dan Australia yang bergerak
bersamaan dengan kecepatan yang tinggi sehingga terbentuk jalur
sub

Pada Oligosen, penurunan kecepatan gerak lempeng terjadi secara luas (Hall,
2002). Lempeng Australia yang bergerak ke arah utara berkurang kecepatannya dari
18 cm/th menjadi hanya 3 cm/th. Akibatnya, terjadi peningkatan sudut penunjaman
subduksi. Selama periode ini, terjadi pengangkatan secara umum di seluruh bagian
tenggara Sundaland. Erosi dan subsiden secara lokal di sepanjang jejak sesar yang
telah ada menghasilkan pengendapan laut di zona teresterial dan transisional. Pada
Oligosen Akhir sampai Miosen Tengah pergerakan ke utara India dan Australia
berkurang secara mencolok karena terjadinya benturan keras (hard collision) antara
India dengan Benua Asia membentuk Pegunungan Himalaya. Akibatnya laju
penunjaman Lempeng Samudera Hindia dipalung Sunda juga berkurang secara
drastis. Hard collision India menyebabkan efek maksimal tektonik ekstrusi
sehinggaberkembang fase kompresi di wilayah Asia Tenggara. Fasekompresi ini
menginversi sebagian besar endapan syn-rift Eosen.

Gambar I.14 Rekonstruksi skematis penampang utara-selatan Jawa menunjukkan


terbentuknya OAF di bagian selatan Jawa karena kecepatan
subduksi yang terus meningkat. (Prasetyadi, 2007).

Di selatan Jawa, kegiatan volkanik Oligosen menjadi tidak aktif dan mengalami
pengangkatan. Pengangkatan ini ditandai dengan pengendapan karbonat besar-
besaran seperti Formasi Wonosari di Jawa Tengah dan Formasi Punung di Jawa
Timur. Sedangkan di bagian utara dengan aktifnya inversi berkembang endapan
syn-inversi formasi-formasi Neogen di Zona Rembang dan Zona Kendeng. Selama
periode ini, inversi cekungan terjadi karena konvergensi Lempeng Indian
menghasilkan rezim tektonik kompresi di daerah “busur depan” Sumatra dan Jawa.
Sebaliknya, busur belakang merupakan subjek pergerakan strike-slip utara-selatan
yang dominan sepanjang sesar-sesar turun (horst dan graben) utara- selatan yang
telah ada.

Pada Miosen Tengah – Miosen Akhir terjadi pergeseran lempeng Indo-Australia ke


arah selatan, yang diikuti dengan kegiatan magmatik yang menerus di seluruh Pulau
Jawa. Di bagian utara Pulau Jawa mulai berkembang back-arc basin, yang
terbagi menjadi beberapa sub-basin, dipisahkan oleh tinggian basement, dan
dikontrol oleh blok sesar basement. Di bagian utara Jawa Barat orientasi sesar di
basement tetap utara-selatan, dimana di sebelah barat daya dan Jawa Tengah sistem
sesar berarah NE- SW dan NW-SE lebih terlihat.

Pengaktifan kembali sepanjang sesar tersebut menghasilkan mekanisme


transtension dan transpression yang berasosiasi dengan sedimentasi turbidit
dibagian yang mengalami penurunan. Namun demikian, di bagian paling timur
Jawa Timur, bagian basement dominan berarah timur- barat, sebagaimana secara
khusus dapat diamati dengan baik mengontrol Dalaman Kendeng dan juga Dalaman
Madura. Bagian basement berarah Timur – Barat merupakan bagian dari
fragmen benua yang mengalasi dan sebelumnya tertransport dari selatan dan
bertubrukan dengan Sundaland sepanjang Suture Meratus (NE-SW struktur).
Tektonik kompresi karena subduksi ke arah utara telah mengubah sesar basement
Barat – Timur menjadi pergerakan sesar mendatar, dalam perioda yang tidak terlalu
lama. Konfigurasi tipe cekungan yang c lain terbentuk di zona tumbukan yang
berarah NE-SE, parallel dengan arah suture. Arah orientasi ini dominan di sebelah
barat Jawa Timur. Kenaikan muka air laut selama periode ini, menghasilkan
pengendapan sedimen klastik di daerah rendahan, dan sembulan karbonat
(carbonate buildup) pada tinggian yang membatasinya.
Gambar I.15 Rekonstruksi skematis perkembangan tektonik Pulau Jawa pada
Miosen Tengah – Miosen Akhir (Sribudiyani dkk, 2003)
menggambarkan pergeseran zona subduksi ke arah selatan yang
diikuti dengan kegiatan magmatik di seluruh Pulau Jawa
(Sribudiyani dkk, 2003 dalam Prasetyadi, 2007).

I.5 Stratigrafi Jawa


Berdasarkan evolusi tektonik dan stratigrafi di Pulau Jawa, maka tektonistratigrafi
Pulau Jawa dari barat ke timur dapat dibagi menjadi pre-rift, syn-rift, dan post-rift.

I.5.1 Tahap Pre-rift


Pre-rift yang terjadi di pulau Jawa umumnya terjadi pada kala Pra Tersier, namun
di cekungan Jawa Barat Utara terjadi hingga umur Eosen Tengah (P11),
membentuk cekungan dengan basement bervariasi. Cekungan Jawa Barat Selatan,
cekungan Jawa Tengah Utara dan Selatan sedangkan cekungan Jawa Barat Utara
mempunyai basement batuan vulkanik Formasi Jatibarang.

I.5.2 Tahap Syn-rift


Syn-rift yang terbentuk di pulau Jawa terjadi mulai dari umur awal Eosen Tengah
(P10) hingga Oligosen (P17). Pada awal terbentuknya syn-rift tidak terjadi
pengendapan di atas basement karena terjadi pengangkatan. Hingga pada umur
Eosen Tengah di cekungan Jawa Timur Selatan terendapkan Formasi Wungkal
(P12-P13), pada cekungan Jawa Timur bagian tengah terendapkan formasi Bayat
(P12-P16) dan di cekungan Jawa Timur Utara terendapkan formasi pre-Ngimbang
(P12-P13). Kemudian di cekungan Jawa Tengah terendapkan formasi
Karangsambung mulai dari Eosen Tengah hingga Eosen Atas (P13- P16) yang
merupakan hasil dari subduksi periode Kapur.

Formasi Nanggulan di cekungan Jawa Timur Selatan terendapkan pada umur Eosen
Tengah (P14) hingga Eosen Atas (P15), kemudian terendapkan formasi Gamping
yang meluas hingga ke cekungan Jawa Timur Utara. Di cekungan Jawa Timur
Selatan formasi Ngimbang mengendap tidak selaras di atas Pre- Ngimbang.
Sementara di cekungan Jawa Barat terendapkan formasi Bayah yang merupakan
hasil subduksi periode Kapur yang membentuk pola Meratus. Setelah itu
pengendapan berhenti karena kembali mengalami pengangkatan hingga memasuki
fase post-rift pada umur Oligosen(P18).

I.5.3 Tahap Post-rift


Post-rift dimulai dari umur Oligosen (P18) hingga Pleistosen dengan pengendapan
sedimen yang cukup tebal di cekungan-cekungan Pulau Jawa, antara lain:
1. Cekungan Jawa Barat Utara
Pengendapan formasi Batuasih mengawali endapan post-rift di cekungan ini
yang kemudian diatasnya terendapkan formasi Talangakar di bagian utara pada
umur Oligosen (P18) hingga Miosen Bawah (N4). Sementara formasi
Rajamandala terbentuk di sebelah selatan pada umur Oligosen (P19) hingga
Miosen Bawah (N4).

Formasi Baturaja dengan litologi batugamping terbentuk selaras diatas formasi


Talangakar pada umur Miosen Bawah (N5-N8). Kemudian diatasnya
terendapkan secara selaras formasi Cibulakan pada umur Miosen Tengah (N9-
N14). Pada umur Miosen Atas terendapkan formasi Parigi (N15-N17). Formasi
Cisubuh terendapkan mulai dari Miosen Atas (N17) hingga Pliosen (N19) dan
diatasnya terendapkan formasi Kaliwangu berumur Pliosen (N20-N21).
Kemudian terjadi pengangkatan sehingga tidak ada pengendapan pada awal
Pleistosen hingga kemudian terbentuk formasi Tambakan dan gunungapi saat
ini.

2. Cekungan Jawa Barat Selatan


Formasi Jampang merupakan endapan post-rift pertama yang terbentuk di
cekungan ini dengan umur Oligosen (P18-P20). Kemudian terendapkan secara
selaras formasi Citarum di bagian selatan dengan umur Miosen Bawah (N4-
N7) sedangkan di bagian utara ditemukan formasi Saguling berumur Miosen
Bawah (N5-N8).

Pengendapan formasi Bantargadung dimulai pada umur Miosen Tengah (N9)


diikuti dengan pengendapan formasi Cinambo yang berakhir pada Miosen
Tengah (N14). Formasi Bantargadung dan Cinambo menjari dengan formasi
Cibulakan di cekungan Jawa Barat Utara.

Kemudian terendapkan secara selaras diatasnya formasi Cantayan berumur


Miosen Atas (N15- N17). Formasi Cisubuh terendapkan mulai dari Miosen Atas
(N17) hingga Pliosen (N19) dan diatasnya terendapkan formasi Kaliwangu
berumur Pliosen (N20-N21). Kemudian terjadi pengangkatan sehingga tidak
ada pengendapan pada awal Pleistosen hingga kemudian terbentuk formasi
Tambakan dan gunungapi saat ini.

3. Cekungan Jawa Tengah Utara


Formasi Totogan terendapkan pertama kali pada awal proses post-rift dengan
umur Oligosen (P18) sampai Miosen Bawah (N4). Formasi Pelang terendapkan
secara selaras diatas formasi Totogan dengan umur Miosen Bawah (N4-N8).
Kemudian diatasnya terendapkan formasi Penosogan pada umur Miosen
Tengah (N9) diikuti pengendapan formasi Halang yang berakhir pada Miosen
Atas (N15). Diatas Formasi Halang terendapkan pula formasi Parigi seperti
pada cekungan Jawa Barat Utara dengan umur yang sama.
Formasi Tapak terendapkan mulai dari Miosen Atas (N18) hingga Pliosen
(N21). Kemudian terjadi pengangkatan sehingga tidak ada pengendapan pada
awal Pleistosen hingga kemudian terbentuk formasi Notopuro dan gunungapi
saat ini.

4. Cekungan Jawa Tengah Selatan


Formasi Kebobutak adalah formasi yang pertama kali terendapkan pada awal
post-rift dengan umur Oligosen (P18-P20) kemudian diatasnya terendapkan
formasi Semilir berumur Oligosen (P20) hingga Miosen Bawah (N4). Kedua
formasi ini menjari dengan formasi Totogan.

Formasi Waturanda yang terendapkan diatas formasi Semilir menjari dengan


Formasi Pelang, berumur Miosen Bawah (N5-N8). Formasi Rambatan mulai
terendapkan pada umur Miosen Tengah (N9) melidah dengan formasi
Penosogan dan Halang, sedangkan formasi Kumbang melidah dengan formasi
Parigi hingga Miosen Atas (N17).

Formasi Tapak terendapkan mulai dari Miosen Atas (N18) hingga Pliosen
(N21). Kemudian terjadi pengangkatan sehingga tidak ada pengendapan pada
awal Pleistosen hingga kemudian terbentuk formasi Notopuro dan gunungapi
saat ini.

5. Cekungan Jawa Timur Utara


Formasi yang terbentuk di awal proses post-rift adalah formasi Kujung berumur
Oligosen (P18-P19), kemudian terendapkan secara selaras diatasnya formasi
Kranji berumur Oligosen (N19- N20) dan formasi Prupuh mengendap selaras
diatasnya dan berumur Miosen Bawah (N4). Ketiga formasi ini termasuk
dalam kelompok Kujung.

Selanjutnya yang mengendap selaras diatas Kelompok Kujung adalah


Kelompok Tuban. Kelompok ini terdiri dari dua formasi, yang berumur lebih
tua adalah Formasi Tawun berumur Miosen Bawah – Miosen Tengah (N5-N9).
Formasi ini menjari dengan formasi Pelang di Jawa Timur bagian tengah.
Formasi Ngrayong mengendap diatas formasi Tawun dengan tidak selaras
berumur Miosen Tengah (N9- N13).

Formasi Bulu terendapkan secara tidak selaras diatas formasi Ngrayong dengan
umur Miosen Tengah (N13-N14). Selanjutnya berturut-turut diendapkan
diatasnya secara selaras berumur Miosen Atas – Pliosen adalah formasi
Wonocolo (N14-N17), formasi Ledok (N17-N20) dan formasi Mundu (N20-
N21). Keempat formasi tersebut masuk ke dalam Kelompok Kawengan.
Formasi Ngrayong, Bulu dan Wonocolo menjari dengan Formasi Kerek di Jawa
Timur bagian tengah. Sedangkan Formasi Ledok dan Mundu menjari dengan
formasi Kalibeng.

Formasi Selorejo mengendap tidak selaras diatas formasi Mundu diikuti formasi
Tambakromo (Lidah) yang juga mengendap tidak selaras berumur Pleistosen.
Formasi Selorejo menjari dengan batugamping Klitik dan formasi Wunut.

6. Cekungan Jawa Timur Selatan


Pertama yang terendapkan setelah fase post-rift adalah formasi Kebobutak
berumur Oligosen (P18-P20), diikuti secara selaras formasi Nglanggran
berumur Miosen Bawah (N4-N8) dibagian selatan. Sedangkan di bagian utara
terendapkan formasi Semilir berumur Miosen Bawah (N5-N8). Formasi Semilir
tidak selaras dengan formasi Pelang di sebelah utara. Diatas Semilir
terendapkan secara tidak selaras formasi Jaten dan Sambipitu berumur Miosen
Tengah (N9-N11). Formasi Sambipitu menjari dengan formasi Kerek.

Diatas formasi Jaten diendapkan batugamping formasi Wonosari berumur


Miosen Tengah – Pliosen (N11-N21) yang menjari dengan formasi Kerek dan
Kepek. Dijumpai intrusi yang menerobos formasi Wonosari dan Kerek. Setelah
pengendapan formasi Wonosari terjadi pengangkatan sehingga pengendapan
terhenti pada umur Pleistosen. Setelah itu terbentuk endapan volkanik resen.
Gambar I.16 Korelasi dan Nomenklatur Stratigrafi di Pulau Jawa.

Anda mungkin juga menyukai