Pulau jawa yang terlihat saat sekarang adalah akibat adanya pergerakan dua
lempeng yang bergerak saling mendekat dan mengalami tabrakan, dimana proses
tersebut relatif bergerak menyerong (oblique) antara lempeng samudra Hindia pada
bagian barat daya dan lempeng Benua Asia bagian tenggara (eurasian), dimana
lempeng samudra hindia akan menyusup ke lempeng eurasia. Pada zone subduksi
akan dihasilkan palung jawa (Java trench) dengan pergerakan relatif 7 cm/tahun.
Pada zone subduksi terdiri dari “Acctionary Complex ” yang materialnya secara
garis besar dari lantai samudra hindia pada busur muka Jawa. Adapun model
Konvergensi antara Lempeng India-Australia dengan Lempeng Eurasia
Menghasilkan Sistem Palung Busur yang diperlihatkan oleh Hall, 2005 dalam
Seubert dkk., 2008 (Gambar I.2).
Gambar I.1 Peta Gelogi Regional Jawa (Manur and Barraclough, 1994)
Gambar I.2 Model Konvergensi antara Lempeng India-Australia dengan Lempeng
Eurasia (Hall, 2005 dalam Seubert dkk., 2008)
Secara umum, ada tiga arah pola umum struktur yang menghasilkan tatanan geologi
Tersier di Pulau Jawa yang cukup rumit (Gambar I.3 dan Gambar I.4), yaitu:
1. Pola Meratus (Kapur-Paleosen) berarah Timur Laut –Barat Daya (NE-SW) di
bagian barat terekspresikan pada Sesar Cimandiri, di bagian tengah
terekspresikan dari pola penyebaran singkapan batuan pra- Tersier di daerah
Karang Sambung. Sedangkan di bagian timur ditunjukkan oleh sesar pembatas
Cekungan Pati, “Florence” timur, “Central Deep”. Cekungan Tuban dan juga
tercermin dari pola konfigurasi Tinggian Karimun Jawa, Tinggian Bawean dan
Tinggian Masalembo. Pola Meratus tampak lebih dominan terekspresikan di
bagian timur.
2. Pola Sunda (Eosen Akhir-Oligosen) berarah Utara-Selatan (N-S), di bagian
barat tampak lebih dominan sementara perkembangan ke arah timur tidak
terekspresikan. Ekspresi yang mencerminkan pola ini adalah pola sesar-sesar
pembatas Cekungan Asri, Cekungan Sunda dan Cekungan Arjuna. Pola Sunda
pada Umumnya berupa struktur regangan.
3. Pola Jawa (Oligosen-Sekarang) mendominasi struktur di daratan Pulau Jawa,
berarah Timur – Barat (E- W), bagian barat pola ini diwakili oleh sesar-sesar
naik seperti sesar Baribis sesar sungkup dan lipatan di Zona Bogor, Zona Serayu
Utara dan Zona Serayu Selatan dan sear-sear dalam Cekungan Bogor. Bagian
tengah tampak pola dari sesar-sesar yang terdapat pada zona Serayu Utara dan
Serayu Selatan. Bagian Timur ditunjukkan oleh arah Sesar Pegunungan
Kendeng yang berupa sesar naik, sesar sungkup dan lipatan Zona Kendeng,
Zona Sesar RMKS (Rembang-Madura-Kangean-Sakala).
Gambar I.3 Struktur regional jawa (Sribudiyani dkk, 2003 dalam Prasetyadi, 2007).
Gambar I.4 Arah pola struktur utama Pulau Jawa dan sekitarnya (modifikasi dari
Pulunggono dan Martjojo,1994).
Gambar I.6 (A) Paleotektonik bagian tepi timur Daratan Sunda pada Kapur Awal –
Kapur Akhir menurut Parkinson dkk, (1998); (B) Ilustrasi
perkembangan tektonik bagian tepi tenggara Daratan Sunda
pada Kapur Akhir menurut Wakita (2000); (C) Kerangka
tektonik menggambarkan perkembangan tektonik Asia
Tenggara mulai dari 70 ma sampai dengan 5 ma. Berpindahnya
zona konvergensi berarah timurlaut – baratdaya pada 70 – 35
ma akibat penyumbatan oleh tumbukan mikrokontinen Jawa
Timur menjadi arah timur – barat pada 35 – 20 ma, kemudian
zona subduksi bergerak semakin ke selatan pada 20 – 5 ma
(Sribudiyani dkk, 2003).
Model penyumbatan mikrokontinen saat ini lebih banyak diterima luas karena
menjelaskan dengan lebih meyakinkan perkembangan tektonik pada Zaman Kapur
sampai Tersier di Jawa, terutama di Jawa bagian timur berdasarkan data-data yang
lebih mutakhir. Namun, keterlibatan mikrokontinen dalam perkembangan tektonik
tersebut juga masih menyisakan banyak pertanyaan, terutama tentang mekanisme
dan waktunya yang masih belum jelas. Parkinson dkk., (1998) beranggapan bahwa
terlibatnya mikrokontinen terjadi pada akhir Kapur Awal, sedangkan Sribudiyani
et al., (2003) berpendapat bahwa peristiwa tumbukan mikrokontinen terjadi pada
Eosen Awal. Meskipun masih terdapat perbedaan, namun di dalam penyusunan
karyatulis ini evolusi tektonik Pulau Jawa akan menggunakan pendekatan konsep
model penyumbatan mikrokontinen karena konsep ini lebih lebih baru dan mudah
dipahami.
Komplek Lok Ulo, Jawa Tengah telah diketahui merupakan komplek batuan akresi
termasuk unit tektonik yang terbentuk oleh oceanic spreading, arc volcanism,
sedimentasi forearc dan oceanic, dan metamorfisme. Accretionary-collision
complexes mencakup batuan ultrabasa terserpentinisasi, basalt, chert, limestone,
siliceous shales, shales, breksi volkanik dan batuan metamorf high P-low T
(Parkinson dkk, 1998; Wakita, 2000). Batuan yang berumur Kapur di daerah
Karangsambung, menunjukkan bahwa pada zaman tersebut daerah Karangsambung
merupakan bagian dari zona subduksi Lempeng Samudera Hindia ke bawah
Daratan Sunda. Zona subduksi ini ke arah barat-baratdaya menerus ke daerah
Ciletuh di Jawa Barat dan ke arah timurlaut menerus ke daerah Pegunungan
Meratus dan Pulau Laut di Kalimantan Tenggara. Komplek Melange Luk Ulo di
daerah Karangsambung menunjukkan komplek akresi yang melibatkan stratigrafi
lempeng samudera (OPS) (Wakita dkk, 1994) dan bagian lempeng samudera yang
diwakili oleh Komplek ofiolit Karangsambung Utara, sedangkan di Bayat batuan
dasarnya tidak menunjukkan keterlibatan OPS.
Gambar I.8 Rekonstruksi skematis perkembangan tektonik Pulau Jawa pada Kapur
Akhir – Eosen Akhir (Sribudiyani dkk, 2003) menggambarkan
mikrokontinen pecahan dari Gondwana merapat ke zona suduksi
Karangsambung-Meratus menyebabkan terjadinya penyumbatan
sehingga subduksi berhenti dan berubah menjadi kolisi antara
mikrokontinen pastenoster dengan sundaland.
Gambar I.9 Rekonstruksi skematis penampang utara-selatan Jawa menunjukkan
adanya sumbatan mikrokontinen Jawa Timur yang merupakan bagian
dari Pastenoster. Sumbatan ini yang menyebabkan subduksi berhenti
dan berubah menjadi kolisi (Prasetyadi, 2007).
Fase regangan Eosen Tengah dicirikan oleh berkembangnya dua jenis cekungan
yang berbeda, yakni cekungan laut dalam di daerah Karangsambung dan cekungan
laut dangkal sampai transisi di daerah Nanggulan, Bayat dan Jawa Timur.
Nanggulan dan Bayat diinterpretasikan berada di daerah paparan tepi timur
mikrokontinen Jawa Timur dan berbatasan dengan cekungan yang dalam daerah
Karangsambung. Letak yang berbatasan dengan Cekungan Karangsambung ini
diindikasikan juga oleh struktur lipatan batuan Eosen di Nanggulan dan Bayat yang
berarah Meratus, yakni timurlaut- baratdaya. Struktur lipatan ini merupakan
inversi dari endapan yang mengisi struktur graben yang berarah sama. Struktur
graben dengan arah lain, yakni berarah barat-timur, diisi oleh endapan syn-rift
Formasi Pra-Ngimbang dan Ngimbang. Ke arah selatan, ke arah daerah yang
sekarang ditempati oleh Zona Kendeng, cekungan ini mendalam. Karena dalaman
berarah barat-timur ini terbentuk sejak pengendapan Formasi Pra-Ngimbang yang
berumur Paleosen maka secara genesa struktur graben barat- timur ini merupakan
struktur yang lebih tua dibandingkan dengan graben berarah timurlaut-baratdaya.
Akibat deformasi ini di daerah Cekungan Jawa Timur tidak jelas teramati karena
endapan Eosen Formasi Ngimbang disini pada umumnya selaras dengan endapan
Oligosen Formasi Kujung. Deformasi ini kemungkinan juga berkaitan dengan
pergerakan ke utara Benua Australia. Setelah matinya pusat pemekaran Wharton,
India dan Australia berada pada satu lempeng tunggal dan bersama-sama bergerak
ke utara. Pergerakan Australia ke utara menjadi lebih cepat dibanding ketika
Wharton Ridge masih aktif. Bertambahnya kecepatan ini meningkatkan laju
kecepatan penunjaman Lempeng Samudera Hindia di Palung Jawa dan mendorong
ke arah barat, sepanjang sesar mendatar yang keberadaannya diperkirakan pada
Mikrokontinen Jawa Timur sehingga terjadi tektonik kompresional di daerah
Karangsambung yang mengakibatkan terdeformasinya Formasi Karangsambung
serta terlipatnya Formasi Nanggulan dan Formasi Wungkal-Gamping di Bayat.
Gambar I.12 Rekonstruksi skematis penampang utara-selatan Jawa menunjukkan
terjadinya terdeformasinya Formasi Karangsambung serta
terlipatnya Formasi Nanggulan dan Formasi Wungkal-
Gamping di Bayat karena meningkatnya kecepatan
penunjaman Lempeng Samudera Hindia di Palung Jawa dan
mendorong ke arah barat (Prasetyadi, 2007).
Pada Oligosen, penurunan kecepatan gerak lempeng terjadi secara luas (Hall,
2002). Lempeng Australia yang bergerak ke arah utara berkurang kecepatannya dari
18 cm/th menjadi hanya 3 cm/th. Akibatnya, terjadi peningkatan sudut penunjaman
subduksi. Selama periode ini, terjadi pengangkatan secara umum di seluruh bagian
tenggara Sundaland. Erosi dan subsiden secara lokal di sepanjang jejak sesar yang
telah ada menghasilkan pengendapan laut di zona teresterial dan transisional. Pada
Oligosen Akhir sampai Miosen Tengah pergerakan ke utara India dan Australia
berkurang secara mencolok karena terjadinya benturan keras (hard collision) antara
India dengan Benua Asia membentuk Pegunungan Himalaya. Akibatnya laju
penunjaman Lempeng Samudera Hindia dipalung Sunda juga berkurang secara
drastis. Hard collision India menyebabkan efek maksimal tektonik ekstrusi
sehinggaberkembang fase kompresi di wilayah Asia Tenggara. Fasekompresi ini
menginversi sebagian besar endapan syn-rift Eosen.
Di selatan Jawa, kegiatan volkanik Oligosen menjadi tidak aktif dan mengalami
pengangkatan. Pengangkatan ini ditandai dengan pengendapan karbonat besar-
besaran seperti Formasi Wonosari di Jawa Tengah dan Formasi Punung di Jawa
Timur. Sedangkan di bagian utara dengan aktifnya inversi berkembang endapan
syn-inversi formasi-formasi Neogen di Zona Rembang dan Zona Kendeng. Selama
periode ini, inversi cekungan terjadi karena konvergensi Lempeng Indian
menghasilkan rezim tektonik kompresi di daerah “busur depan” Sumatra dan Jawa.
Sebaliknya, busur belakang merupakan subjek pergerakan strike-slip utara-selatan
yang dominan sepanjang sesar-sesar turun (horst dan graben) utara- selatan yang
telah ada.
Formasi Nanggulan di cekungan Jawa Timur Selatan terendapkan pada umur Eosen
Tengah (P14) hingga Eosen Atas (P15), kemudian terendapkan formasi Gamping
yang meluas hingga ke cekungan Jawa Timur Utara. Di cekungan Jawa Timur
Selatan formasi Ngimbang mengendap tidak selaras di atas Pre- Ngimbang.
Sementara di cekungan Jawa Barat terendapkan formasi Bayah yang merupakan
hasil subduksi periode Kapur yang membentuk pola Meratus. Setelah itu
pengendapan berhenti karena kembali mengalami pengangkatan hingga memasuki
fase post-rift pada umur Oligosen(P18).
Formasi Tapak terendapkan mulai dari Miosen Atas (N18) hingga Pliosen
(N21). Kemudian terjadi pengangkatan sehingga tidak ada pengendapan pada
awal Pleistosen hingga kemudian terbentuk formasi Notopuro dan gunungapi
saat ini.
Formasi Bulu terendapkan secara tidak selaras diatas formasi Ngrayong dengan
umur Miosen Tengah (N13-N14). Selanjutnya berturut-turut diendapkan
diatasnya secara selaras berumur Miosen Atas – Pliosen adalah formasi
Wonocolo (N14-N17), formasi Ledok (N17-N20) dan formasi Mundu (N20-
N21). Keempat formasi tersebut masuk ke dalam Kelompok Kawengan.
Formasi Ngrayong, Bulu dan Wonocolo menjari dengan Formasi Kerek di Jawa
Timur bagian tengah. Sedangkan Formasi Ledok dan Mundu menjari dengan
formasi Kalibeng.
Formasi Selorejo mengendap tidak selaras diatas formasi Mundu diikuti formasi
Tambakromo (Lidah) yang juga mengendap tidak selaras berumur Pleistosen.
Formasi Selorejo menjari dengan batugamping Klitik dan formasi Wunut.