Anda di halaman 1dari 32

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Geologi Sejarah Pulau Jawa

Pulau Jawa diperkirakan mulai terbentuk lebih dari 60 juta tahun yang lalu (Pra-

Tersier). Pada saat itu Pulau Jawa masih menjadi bagian dari sebuah Superbenua

Pangea. Susunan batuan dasar pada Pulau Jawa memiliki umur yang berbeda satu

dengan yang lainnya. Di Jawa bagian barat diperkirakan mulai terbentuk pada akhir

Zaman Kapur dan menjadi bagian dari Paparan Sunda, sementara Jawa bagian

timur berasal dari pecahan Benua Australia (East Java Microcontinent). Bagian

timur diperkirakan mulai bertabrakan dengan bagian barat sekitar 100-70 juta tahun

lalu hingga membentuk bentukan awal Pulau Jawa.

Gambar 2. Tumbukan Jawa Bagian Barat dan Jawa


Bagian Timur (Metcalfe, 1996)

FERRY DANIEL GOLAP | 410015150 3


Seiring berjalannya waktu, proses geologi berlangsung tanpa henti dan menyusun

beragam wujud roman muka bumi. Pengendapan pertama sendiri diperkirakan

terjadi antara 54 hingga 36 juta tahun lalu (Eosen) akibat adanya pergerakan

lempeng. Tersingkapnya konglomerat, batugamping, batupasir, serta batubara

menunjukkan ciri pengendapan sungai hingga laut dangkal pada saat itu. Kemudian

Pulau Jawa terkena tekanan kompresif dari arah selatan yang menyebabkan

lempeng samudera Indo-Australia yang bergerak ke arah utara menabrak lempeng

benua Eurasia dari sisi selatan.

Lempeng samudera yang memiliki masa jenis yang lebih tinggi mengalami

penunjaman dan menghasilkan jalur subduksi. Karena adanya subduksi terbentuk

palung laut, pegunungan baru, serta aktivitas vulkanik. Terjadi juga pelelehan

material lempeng samudera Indo-Australia yang menjadi magma dan menciptakan

jalur vulkanis yang sejajar dengan poros panjang Pulau Jawa.

Setelah terbentuk gugusan gunungapi purba sebagai jalur vulkanik, dari

Kala Oligosen Akhir- Miosen Awal terjadi rangkaian peristiwa vulkanisme yang

teramat dahsyat. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya penemuan singkapan

piroklastik dan sedimen vulkanik. Dari singkapan tersebut setidaknya dikenali dua

(2) hasil gunungapi purba yaitu Semilir dan Nglanggeran.

Kala Miosen Tengah-Pliosen Akhir, kegiatan magmatisme mulai berkurang

dan terjadi pengendapan secara menerus hingga sekarang. Pada Kala Miosen

Tengah juga mulai terjadi pelandaian kemiringan penunjaman lempeng samudera

Indo-Australia, sehingga proses pelelehan yang menghasilkan magma ikut bergeser

ke utara. Proses ini berlanjut hingga Pleistosen dan masih berlanjut hingga

FERRY DANIEL GOLAP | 410015150 4


sekarang. Pergerakan jalur vulkanik tersebut menonaktifkan semua gunungapi

purba karena suplai magma hasil pelelehan dibawah permukaan bumi bergeser ke

arah utara.

II.2 Tektonik Pulau Jawa

II.2.1 Tataan Tektonik Regional

Konfigurasi tektonik dan fisiografi Indonesia saat ini ditafsirkan terbentuk

sejak Akhir Neogen, sebagai akibat adanya interaksi antar tiga (3) lempeng utama,

yaitu lempeng Laut Filipina yang bergerak ke utara-baratlaut (UUB), lempeng

Indo-Australia yang bergerak ke arah utara-timurlaut (UUT), dan lempeng Eurasia

yang relatif diam atau bergerak sangat lambat ke arah tenggara (Minster dan Jordan,

1978).

Berdasarkan karakteristik geologi dan geofisikanya, wilayah Indonesia

dapat dibagi menjadi lima (5) daerah yang masing-masing memiliki kerak bumi

dengan asal-usul berbeda, yaitu : (1) bagian tenggara Eurasia atau disebut Kraton

Sunda yang merupakan kraton atau kerak benua di Sumatera, Jawa bagian barat,

dan Kalimantan, (2) lempeng samudera Filipina di sebelah timurlaut, (3) kerak

benua Australia yang meluas sampai daerah Papua, Paparan Sahul dan Paparan

Arafura, (4) lempeng Samudera Hindia di bagian baratdaya, dan (5) daerah transisi

yang merupakan wilayah interaksi antar lempeng pada saat ini. Daerah transisi ini

dengan kegiatan gunungapi dan kegempaan yang masih aktif dapat dijumpai di

Sumatera bagian barat, Jawa bagian selatan, Bali, Lombok, dan Busur Banda

sampai sebelah utara Papua, Sulawesi, serta Maluku hingga Mindano di Filipina

(Simanjuntak dan Barber, 1996).

FERRY DANIEL GOLAP | 410015150 5


Gambar 3. Peta Tektonik Asia Tenggara (Simanjuntak dan Barber, 1996).

II.2.2 Evolusi Tunjaman Indonesia Bagian Barat

Katili (1989) mengemukakan adanya evolusi lajur tunjaman di Indonesia

bagian barat sejak Kapur sampai sekarang (gambar 4). Perkembangan zona

tunjaman ini diduga berhubungan erat dengan perkembangan pola tektonik dan

struktur serta kegiatan kegunungapian di Indonesia bagian barat. Di Jawa dan

selatan Jawa tampak adanya tiga periode penunjaman, yaitu Kapur, Tersier dan

Resen. Keterdapatan batuan Kapur di Jawa yang diketahui sampai saat ini masih

sangat terbatas sebarannya, sehingga pengaruh periode tektonik ini terhadap

fisiografi dan pola tektonik atau struktur di Jawa kemungkinan tidak signifikan.

Sementara keberadaan batuan Tersier dan Kuarter (terutama batuan gunungapi)

tersebar luas di Pulau Jawa, sehingga pengaruh terhadap fisiografi dan struktur

dapat terlihat jelas.

FERRY DANIEL GOLAP | 410015150 6


Gambar 4. Perkembangan zona tunjaman Indonesia bagian barat (Katili,
1989)

1. Tektonik Pra-Neogen di Jawa

Sistem tunjaman moderen di Jawa mulai terbentuk tidak lebih muda dari

Akhir Oligosen. Singkapan batuan Pra-Neogen dijumpai sangat terbatas di

beberapa daerah di Jawa bagian tengah dan baratdaya sebagai bancuh

aneka-bahan berumur Kapur Akhir dan Awal Paleogen, serta batuan

sedimen di atasnya yang berumur Eosen Akhir sampai Oligosen. Batuan

sedimen tersebut terdiri atas klastika kuarsaan maupun karbonat air dangkal.

Bancuh berumur Kapur sampai Awal Paleogen mendominasi batuan

alas dalam suatu lajur lebar berarah timurlaut mulai dari Jawa, memotong

Laut Jawa, hingga Kalimantan bagian tenggara dimana banyak dijumpai

singkapannya. Bancuh ini mungkin berpasangan dengan batuan granitan

dan batuan gunungapi, yang menunjukkan umur Kapur dari analisis K-Ar,

FERRY DANIEL GOLAP | 410015150 7


yang tersebar luas di Kalimantan bagian baratlaut dan pada batuan alas di

Laut Jawa (Hamilton, 1989).

Pada Akhir Paleogen, Jawa bagian tengah, barat dan Laut Jawa

secara tektonik dan magmatik tidak aktif lagi alias stabil, dan menyatu

dengan subkontinen yang meliputi sebagian besar Sumatera dan seluruh

Semenanjung Malaya. Fisiografi di Laut Jawa membentuk pola kelurusan

morfologi dan struktur berarah timurlaut- baratdaya (Gambar 5), yang

disebut sebagai arah Meratus.

Gambar 5. Pola Struktur di Pulau Jawa dan sekitarnya


(Simandjuntak dan Barber, 1996)

2. Tektonik Neogen di Jawa

Di Jawa, batuan Tersier Tengah mengalami perlipatan terbuka, dengan

tingkat deformasi melemah ke arah menjauh dari pusat kegiatan

magmatisme. Struktur yang terbentuk berpola konsentris (Djuri, 1975) yang

FERRY DANIEL GOLAP | 410015150 8


diduga bahwa penyebab deformasi adalah pemekaran gravitasional dapur

magma (Hamilton,1989). Di Sumatera, batuan Tersier Tengah pra-

magmatik yang terletak di daerah lajur gunungapi moderen namun jauh dari

pusat-pusat magmatik setempat mempunyai kedudukan hampir horizontal

atau mempunyai kemiringan landai, dan menunjukkan penyesaran normal.

Konsep pemekaran gravitasional berkaitan dengan penebalan kerak

magmatik dapat diterapkan pula untuk Sumatera. Sesar normal, atau

deformasi non-kompresi, sering dijumpai pada bagian yang tua di busur

kepulauan oseanik yang dewasa (mature) (Hamilton, 1989).

Sejak Eosen Awal hingga Miosen Awal terjadi pemekaran Selat

Makassar sebagai akibat mendekatnya kerak benua Australia. Peristiwa ini

menyebabkan berkurangnya laju gerakan Indo-Australia sehingga terjadi

perubahan arah pola struktur/ tektonik dari baratdaya-timurlaut pada

Paleogen, menjadi berarah barat-timur (Sudradjat, 2007). Pada sistem

tunjaman (Gambar 3) tampak bahwa sistem tunjaman Tersier di Jawa yang

semula membelok kearah Meratus, pada Neogen sudah berarah barat-timur.

Pola struktur/ tektonik yang berarah barat-timur ini sering disebut arah

Jawa. Gambar 6 menunjukkan pola-pola kelurusan (struktur) di Pulau Jawa

dan sekitarnya, yang terdiri atas arah Meratus (baratdaya-timurlaut),arah

Sunda (utara-selatan) dan arah Jawa (barat-timur) (Pulunggono dan

Martodjojo, 1994).

FERRY DANIEL GOLAP | 410015150 9


Gambar 6. Tiga arah pola struktur (kelurusan) di Jawa dan
sekitarnya (Pulunggono dan Martodjojo, 1994)

II.2.3 Sistem Tunjaman Sunda

Bagian depan zona tunjaman di sepanjang Sumatera dan Jawa terdiri atas

beberapa bentukan tektonik yang melengkung dan konsentris yang menjadi ciri

yang berbeda dari tepian aktif benua dan busur kepulauan dewasa. Di selatan busur

Sunda dijumpai parit, kemudian ke arah utara dijumpai baji bancuh yang muncul

sebagai punggungan bawah laut. Di antara punggungan tersebut dan busur

magmatik dijumpai cekungan busur muka.

Di sepanjang segmen Sunda yang merupakan bagian dari sistem tunjaman

Birma-Banda, kerak samudera Hindia menunjam, membentuk sudut penunjaman

menengah sampai tinggi, di bawah sistem busur yang berubah searah jurus dari

kerak benua di Sumatera, kemudian peralihan di Jawa, sampai ke kerak samudera

di Bali dan Sumbawa (Hamilton, 1989). Dari beberapa periode penunjaman yang

terjadi di Pulau Jawa, maka kerangka tektoniknya secara vertikal dapat

digambarkan pada gambar 7.

1
FERRY DANIEL GOLAP | 410015150
0
Gambar 7. Penampang skematik kerangka tektonik memotong Pulau Jawa
bagian timur dan Kalimantan bagian barat, dikompilasi oleh
Katili (1989)

II.3 Fisiografi Pulau Jawa

II.3.1 Fisografi Jawa Barat

Fisiografi Pulau Jawa telah dikemukakan oleh Van Bemmelen, pada daerah

Jawa Barat telah digambarkan memiliki empat (4) zona yang dimulai dari selatan

ke utara, yaitu :

1. Zona Pegunungan Selatan

2. Zona Bandung

3. Zona Bogor

4. Zona Dataran Pantai Utara

1
FERRY DANIEL GOLAP | 410015150
1
Gambar 8. Fisiografi Jawa Barat (Van Bemmelen 1949)

II.3.2 Fisiografi Jawa Tengah

Pada daerah Jawa Tengah terdapat empat (4) pembagian zona yang dimulai

dari selatan ke utara, yaitu :

1. Dataran Pantai Selatan

2. Pegunungan Serayu Selatan

3. Pegunungan Serayu Utara

4. Dataran Pantai Utara

Gambar 9. Fisiografi Jawa Tengah (Van Bemmelen, 1949)

1
FERRY DANIEL GOLAP | 410015150
2
II.3.3 Fisiografi Jawa Timur

Pada Fisiografi Jawa Timur Van Bemmelen membaginya kedalam enam (6)

Zona Fisiografi dari selatan ke utara, yaitu :

1. Zona Pegunungan selatan

2. Jalur Solo

3. Jalur Kendeng

4. Depresi Randublatung

5. Jalur Rembang, dan

6. Masif G.Muria

Gambar 10. Fisiografi Jawa Timur

II.4 Stratigrafi Litologi Pulau Jawa

II.4.1 Stratigrafi Regional Jawa Barat

Stratigrafi daerah Jawa Barat berturut-turut dari tua ke muda adalah sebagai

berikut :

1. Batuan Dasar

Batuan dasar adalah batuan beku andesitik dan basaltik yang berumur Kapur

Atas dan batuan metamorf yang berumur Pra Tersier (Sinclair, et.al., 1980).
1
FERRY DANIEL GOLAP | 410015150
3
Lingkungan pengendapannya merupakan permukaan dengan sisa vegetasi

tropis yang lapuk (Koesoemadinata, 1980).

2. Formasi Jatibarang

Satuan ini merupakan endapan early synrift, terutama dijumpai di bagian

tengah dan timur dari Cekungan Jawa Barat Utara. Pada bagian barat

cekungan ini kenampakan Formasi Jatibarang tidak banyak ( sangat tipis)

dijumpai. Formasi ini terdiri dari tufa, breksi, aglomerat dan konglomerat

alas, formasi ini diendapkan pada fasies fluvial. Umur formasi ini adalah

Kala Eosen Akhir sampai Oligosen Awal, pada beberapa tempat di formasi

ini ditemukan minyak dan gas pada rekahan-rekahan tuff (Budiyani dkk,

1991).

3. Formasi Talang Akar

Pada fase syn rift berikutnya diendapkan Formasi Talang Akar secara tidak

selaras diatas Formasi Jatibarang. Pada awalnya berfasies fluvio-deltaic

sampai fasies marine. Litologi formasi ini diawali oleh perselingan sedimen

batupasir dengan serpih nonmarine dan diakhiri oleh perselingan antara

batugamping, serpih, dan batupasir dalam fasies marine. Pada akhir

sedimentasi, Formasi Talang Akar ditandai dengan berakhirnya sedimentasi

syn rift. Formasi ini diperkirakan berkembang cukup baik di daerah

Sukamandi dan sekitarnya. Adapun terendapkannya formasi ini terjadi dari

Kala Oligosen sampai dengan Miosen Awal.

4. Formasi Baturaja

1
FERRY DANIEL GOLAP | 410015150
4
Formasi ini terendapkan secara selaras diatas formasi talang akar.

Pengendapan Formasi Baturaja yang terdiri dari batugamping, baik yang

berupa paparan maupun yang berkembang sebagai reef buildup menandai

fase post rift yang secara regional menutupi seluruh sedimen klastik

Formasi Talang Akar di Cekungan Jawa Barat Utara. Perkembangan

batugamping terumbu umumnya dijumpai pada daerah tinggian. Namun,

sekarang diketahui sebagai daerah dalaman. Formasi ini terbentuk pada

Kala Miosen Awal-Miosen Tengah (terutama dari asosiasi foraminifera).

Lingkungan pembentuk formasi ini adalah kondisi laut dangkal, air cukup

jernih, sinar matahari yang cukup (terutama dari melimpahnya foraminifera

spriroclypens Sp).

5. Formasi Cibulakan Atas

Formasi ini terdiri dari perselingan antara serpih dengan batupasir dan

batugamping. Batugamping pada satuan ini umumnya merupakan

batugamping klastik serta batugamping terumbu yang berkembang secara

setempat atau dengan kata lain insitu. Batugamping ini dikenal sebagai Mid

Main Carbonate (MMC). Formasi ini diendapkan pada Kala Miosen Awal-

Miosen Akhir. Formasi ini dibagi menjadi tiga (3) anggota, yaitu :

a. Massive

Anggota ini diendapkan secara tidak selaras diatas Formasi Baturaja.

Litologi anggota ini adalah perselingan batulempung dengan

batupasir yang mempunyai ukuran butir dari halus-sedang. Pada

massive ini dijumpai kandungan hidrokarbon, terutama pada bagian

1
FERRY DANIEL GOLAP | 410015150
5
atas. Selain itu terdapat fosil foraminifera planktonik seperti

globigerina trilobus, foraminifera bentonik seperti amphistegina

(Arpandi dan Patmosukismo, 1975).

b. Main

Anggota Main terendapkan secara selaras diatas Anggota Massive.

Litologi penyusunnya adalah batulempung berselingan dengan

batupasir yang mempunyai ukuran butir halus-sedang (bersifat

glaukonit). Pada awal pembentukannya berkembang batugamping

dan juga blangket-blangket pasir, dimana pada bagian ini Anggota

Main terbagi lagi yang disebut dengan Mid Main Carbonate

(Budiyani dkk, 1991)

c. Pre Parigi

Anggota Pre Parigi terendapkan secara selaras diatas anggota Main.

Litologinya adalah perselingan batugamping dolomit, batupasir dan

batulanau. Anggota ini terbentuk pada Kala Miosen Tengah-Miosen

Akhir dan diendapkan pada lingkungan neritik tengah-neritik dalam

(Arpandi dan Patmosukismo, 1975), dengan dijumpainya fauna-

fauna laut dangkal dan juga kandungan batupasir glaukonit.

6. Formasi Parigi

Formasi ini terendapkan secara selaras diatas Formasi Cibulakan Atas.

Litologi penyusunnya sebagian besar adalah batugamping klastik maupun

batugamping terumbu. Pengendapan batugamping ini melampar ke seluruh

Cekungan Jawa Barat Utara. Lingkungan pengendapan formasi ini adalah

1
FERRY DANIEL GOLAP | 410015150
6
laut dangkal-neritik tengah (Arpandi dan Patmosukismo, 1975). Batas

bawah Formasi Parigi ditandai dengan perubahan berangsur dari batuan

fasies campuran klastika karbonat Formasi Cibulakan Atas menjadi batuan

karbonat Formasi Parigi. Formasi ini diendapkan pada Kala Miosen Akhir-

Pliosen.

7. Formasi Cisubuh

Formasi ini terendapkan secara selaras diatas Formasi Parigi. Litologi

penyusunnya adalah batulempung berselingan dengan batupasir dan serpih

gampingan. Umur formasi ini adalah dari Kala Miosen Akhir sampai

Pliosen-Pleistosen. Formasi diendapkan pada lingkungan laut dangkal yang

semakin ke atas menjadi lingkungan litoral-paralik (Arpandi dan

Patmosukismo, 1975).

Gambar 11. Stratigrafi Cekungan Jawa Barat Utara (Arpandi


dan Patmosukismo,1975)

1
FERRY DANIEL GOLAP | 410015150
7
II.4.2 Stratigrafi Regional Jawa Tengah

Urutan stratigrafi Jawa Tengah secara keseluruhan dapat diwakilkan oleh

stratigrafi pada daerah Karangsambung karena secara umum susunan litologi di

daerah Jawa Tengah telah mengalami beberapa fase tektonik yang menyebabkan

susunan stratigrafi menjadi tidak dapat disusun secara jelas dan stratigrafi di

Karangsambung secara regional dapat menjelaskan tentang bagaimana tatanan

stratigrafi di Jawa Tengah secara keseluruhan. Berikut adalah susunan stratigrafi di

daerah Karangsambung mulai dari batuan yang paling tua hingga termuda.

1. Batuan Pra-Tersier

Merupakan batuan tertua yang tersingkap di Zona Pegunungan Serayu

Selatan, mempunyai umur Kapur Tengah-Paleosen yang dikenal sebagai

kompleks Melange Luk Ulo (Sukendar Asikin, 1974 dalam Prasetyadi

2010). Kelompok batuan ini merupakan bagian dari kompleks Melange

yang terdiri dari graywacke, sekis, lava basal berstruktur bantal, gabro,

batugamping merah, rijang, lempung hitam yang bersifat serpihan dimana

semuanya merupakan campuran yang dikontrol oleh tektonik.

2. Formasi Karangsambung

Merupakan kumpulan endapan olisostrom, terjadi akibat pelongsoran gaya

berat dibawah permukaan laut, melibatkan endapan sedimen yang belum

terkompaksi yang berlangsung pada lereng parit dibawah pengaruh endapan

turbidit. Formasi ini merupakan sedimen pond dan diendapkan diatas

bancuh Luk Ulo, terdiri dari konglomerat polimik, lempung abu-abu, serpih,

1
FERRY DANIEL GOLAP | 410015150
8
dan beberapa lensa batugamping foraminifera besar. Hubungan tidak selaras

dengan batuan Pra-Tersier.

3. Formasi Totogan

Harloff (1933) dan Tija HD (1996) menamakan sebagai tufa napal,

sedangkan Suyanto dan Roksamil (1974) menyebutnya sebagai lempung

breksi. Litologi berupa breksi dengan komponen batulempung, batupasir,

batugamping, napal, dan tufa. Berumur Oligosen-Miosen Awal, dan

berkedudukan selaras diatas Formasi Karangsambung.

4. Formasi Waturanda

Formasi ini terdiri dari batupasir vulkanik dan breksi vulkanik yang

berumur Miosen Awal-Miosen Tengah yang berkedudukan selaras diatas

Formasi Totogan. Formasi ini memiliki anggota tuff, dimana Harloff (1933)

menyebutnya sebagai Eerste Merger Tuff Horizon.

5. Formasi Penosogan

Formasi ini terendapkan selaras diatas Formasi Waturanda, litologi tersusun

dari perselingan batupasir, batulempung, tufa, napal, dan kalkarenit.

Ketebalan formasi ini 1000 meter, memiliki umur Miosen Awal-Miosen

Tengah.

6. Formasi Halang

Formasi ini menindih selaras diatas Formasi Penosogan dengan litologi

terdiri dari perselingan batupasir, batulempung, napal, tufa dan sisipan

breksi. Merupakan kumpulan sedimen yang dipengaruhi oleh turbidit

bersifat distal sampai proksimal pada bagian bawah dan tengah kipas bawah

1
FERRY DANIEL GOLAP | 410015150
9
laut. Formasi ini memiliki umur Miosen Awal-Pliosen. Anggota Breksi

Halang, Sukendar Asikin menanamkan sebagai Formasi Breksi II dan

berjemari dengan Formasi Pesonogan. Namun Sukendar Asikin (1974)

meralat bahwasanya Anggota Breksi ini menjemari dengan Formasi Halang

( dalam Prasetyadi, 2010).

7. Formasi Peniron

Awalnya para peneliti terdahulu menamakan formasi ini sebagai Horizon

Breksi III. Formasi ini menindih selaras diatas Formasi Halang dan

merupakan sedimen turbidit termuda yang diendapkan di Zona Pegunungan

Serayu Selatan. Litologinya terdiri dari breksi aneka bahan dengan

komponen andesit, batulempung, batupasir dengan masadasar batupasir

sisipan tufa, batupasir, napal, dan batulempung.

8. Batuan Vulkanik Muda

Memiliki hubungan yang tidak selaras dengan semua batuan yang lebih tua

dibawahnya. Litologi terdiri dari breksi dengan sisipan batupasir tufan,

dengan komponen andesit dan batupasir yang merupakan bentukan aliran

lahar pada lingkungan darat. Berdasarkan ukuran komponen yang

membesar ke arah utara menunjukkan arah sumber di utara yaitu Gunung

Sumbing yang berumur Pleistosen ( dari berbagai sumber dalam Prasetyadi,

2010).

2
FERRY DANIEL GOLAP | 410015150
0
Gambar 12. Stratigrafi Jawa Tengah (modifikasi dari Asikin,
dkk. 1993)

II.4.3 Stratigrafi Regional Jawa Timur

Stratigrafi daerah Jawa Timur sendiri dibagi menjadi tiga (3), yaitu Zona

Rembang, Zona Kendeng, dan Zona Pegunungan Selatan. Berikut penjelasan dari

litologi penyusun Jawa Timur.

A. Zona Rembang

Menurut Sutarso dan Suyitno (1976), secara fisiografi daerah penelitian

termasuk dalam Zona Rembang yang merupakan bagian dari cekungan

sedimentasi Jawa Timur bagian utara ( East Java Geosyncline). Cekungan

ini terbentuk pada Oligosen Akhir yang berarah Timur-Barat hampir sejajar

dengan Pulau Jawa (Van Bemmelen, 1949). Menurut Koesoemadinata

(1978), cekungan Jawa Timur utara lebih merupakan geosinklin dengan

ketebalan sedimen Tersier mungkin melebihi 6000 meter. Suatu hal yang

khas dari cekungan Jawa Timur bagian utara berarah timur-barat dan terlihat

merupakan gejala tektonik Tersier Muda. Tiga (3) tahap orogenesa telah

2
FERRY DANIEL GOLAP | 410015150
1
dikenal berpengaruh terhadap pengendapan seri batuan Kenozoikum di

Indonesia (Van Bemmelen, 1949). (1) terjadi diantara interval Kapur Akhir-

Eosen Tengah, (2) pada Eosen Tengah (Intramiocene Orogeny) dan (3)

terjadi pada Pliosen-Pleistosen. Orogenesa yang terjadi pada Miosen

Tengah ditandai oleh peristiwa yang penting didalam distribusi sedimen dan

penyebaran flora dan fauna, terutama di daerah Indonesia bagian barat dan

juga menyebabkan terjadinya fase regresi (susut laut) yang terjadi dalam

waktu singkat di Jawa dan daerah Laut Jawa. Fase orogenesa Miosen

Tengah ditandai juga oleh hiatus di daerah Cepu dan dicirikan oleh

perubahan fasies yaitu dari fasies transgresi menjadi fasies regresi diseluruh

Zona Rembang. Selain hal tersebut diatas, fase orogenesa ini ditandai oleh

munculnya beberapa batuan dasar Pra-Tersier di daerah Pulau Jawa utara

(Van Bemmelen, 1949). Perbedaan yang mencolok perihal sifat litologi dari

endapan-endapan yang berada pada Zona Kendeng, Zona Rembang, dan

Paparan Laut Jawa yaitu sedimen. Zona Kendeng pada umumnya terisi oleh

endapan arus turbidit yang selalu mengandung batuan piroklastik dengan

selingan napal dan batuan karbonat serta merupakan endapan laut dalam.

Umumnya sedimen-sedimen tersebut terlipat kuat dan tersesar sungkup

kearah Utara, sedangkan Zona Rembang memperlihatkan batuan dengan

kadar pasir yang tinggi disamping meningkatnya kadar karbonat serta

menghilangnya endapan piroklastik. Sedimen-sedimen Zona Rembang

memberi kesan berupa endapan laut dangkal yang tidak jauh dari pantai

dengan kedalaman dasar laut yang tidak seragam. Hal ini disebabkan oleh

2
FERRY DANIEL GOLAP | 410015150
2
adanya sesar-sesar bongkah (block faulting) yang mengakibatkan

perubahan-perubahan fasies serta membentuk daerah tinggian atau

rendahan. Daerah lepas pantai Laut Jawa pada umumnya ditempati oleh

endapan paparan yang hampir seluruhnya terdiri dari endapan karbonat.

Zona Rembang menurut sistem tektonik dapat digolongkan kedalam

cekungan belakang busur (retro arc back arc) (Dickinson, 1974) yang terisi

oleh sedimen-sedimen berumur Kenozoikum yang tebal dan menerus mulai

dari Eosen hingga Pleistosen. Endapan berumur Eosen dapat diketahui dari

data sumur bor (Pringgoprawiro, 1983).

Lithostratigrafi Tersier di Cekungan Jawa Timur bagian utara

banyak diteliti oleh para pakar geologi diantaranya adalah Trooster (1937),

Van Bemmelen (1949), Marks (1957), Koesoemadinata (1969), dan Musliki

(1989) serta telah banyak mengalami perkembangan dalam susunan

stratigrafinya. Kerancuan tatanama Satuan Lithostratigrafi telah dibahas

secara rinci oleh Pringgoprawiro (1983) dimana susunan endapan sedimen

di Cekungan Jawa Timur bagian utara dimasukkan kedalam stratigrafi Zona

Rembang dengan urutan dari tua ke muda yaitu Formasi Ngimbang,

Formasi Kujung, Formasi Prupuh, Formasi Tuban, Formasi Tawun,

Formasi Bulu, Formasi Ledok, Formasi Mundu, Formasi Lidah dan endapan

yang termuda disebut sebagai endapan Undak Solo. Anggota Ngrayong oleh

Pringgoprawiro (1983) statusnya ditingkatkan menjadi Formasi Ngrayong

oleh Pringgoprawiro, 1983, Anggota Selorejo Formasi Mundu

(Pringgoprawiro, 1983) statusnya ditingkatkan menjadi Formasi Selorejo

2
FERRY DANIEL GOLAP | 410015150
3
oleh Pringgoprawiro (1985) serta Djuhaeni dan Martodjojo (1990).

Sedangkan Formasi Lidah mempunyai tiga anggota yaitu Anggota

Tambakromo, Anggota Malo (sepadan dengan Anggota Dander dari

Pringgoprawiro, 1983) dan Anggota Turi (Djuhaeni, 1995). Rincian

stratigrafi Cekungan Jawa Timur bagian Utara dari Zona Rembang yang

disusun oleh Harsono Pringgoprawiro (1983) terbagi menjadi lima belas

(15) satuan yaitu Batuan Pra-Ttersier, Formasi Ngimbang, Formasi Kujung,

Formasi Prupuh, Formasi Tuban, Formasi Tawun, Formasi Ngrayong,

Formasi Bulu, Formasi Wonocolo, Formasi Ledok, Formasi Mundu,

Formasi Selorejo, Formasi Paciran, Formasi Lidah, dan Undak Solo.

Pembahasan masing-masing satuan dari tua ke muda adalah sebagai berikut.

1. Formasi Tawun

Mempunyai kedudukan selaras diatas Formasi Tuban, dengan batas

Formasi Tawun yang dicirikan oleh batuan lunak (batulempung dan

napal). Bagian bawah dari Formasi Tawun, terdiri dari batulempung,

batugamping pasiran, batupasir dan lignit, sedangkan pada bagian

atasnya ( Anggota Ngrayong) terdiri dari batupasir yang kaya akan

moluska, lignit dan makin ke atas dijumpai pasir kuarsa yang

mengandung mika dan oksida besi. Penamaan Formasi Tawun diambil

dari Desa Tawun, yang dipakai pertama kali oleh Brouwer (1957).

Formasi Tawun memiliki penyebaran luas di Zona Rembang barat, dari

lokasi tipe hingga ke timur sampai Tuban dan Rengel, sedangkan ke

barat satuan batuan masih dapat ditemukan di selatan Pati. Lingkungan

2
FERRY DANIEL GOLAP | 410015150
4
pengendapan Formasi Tawun adalah paparan dangkal yang terlindung,

tidak terlalu jauh dari pantai dengan kedalaman 0-50 meter di daerah

tropis. Formasi Tawun merupakan reservoir minyak utama pada Zona

Rembang. Berdasarkan kandungan fosil yang ada, Formasi Tawun

diperkirakan berumur Miosen Awal bagian atas sampai Miosen Tengah.

2. Formasi Ngrayong

Mempunyai kedudukan selaras diatas Formasi Tawun. Formasi

Ngrayong disusun oleh batupasir kuarsa dengan perselingan

batulempung, lanau, lignit, dan batugamping bioklastik. Pada batupasir

kuarsanya kadang-kadang mengandung cangkang moluska laut.

Lingkungan pengendapan Formasi Ngrayong di daerah dangkal dekat

pantai yang makin ke atas lingkungannya makin littoral, lagoon, hingga

sublittoral pinggir. Tebal formasi Tawun mencapai 90 meter. Karena

terdiri dari pasir kuarsa maka Formasi Tawun merupakan batuan

reservoir minyak yang berpotensi pada Cekungan Jawa Timur bagian

utara. Berdasarkan kandungan fosil yang ada, Formasi Ngrayong

diperkirakan berumur Miosen Tengah.

3. Formasi Bulu

Berada secara selaras di atas Formasi Ngrayong. Formasi Bulu semula

dikenal dengan nama ‘Platen Complex’ dengan posisi stratigrafi terletak

selaras di atas Formasi Tawun dan Formasi Ngrayong. Ciri litologi dari

Formsi Bulu terdiri dari perselingan antara batugamping dengan

kalkarenit, kadang-kadang dijumpai adanya sisipan batulempung. Pada

2
FERRY DANIEL GOLAP | 410015150
5
batugamping pasiran berlapis tipis kadang-kadang memperlihatkan

struktur silang siur skala besar dan memperlihatkan adanya sisipan

napal. Pada batugamping pasiran memperlihatkan kandungan mineral

kuarsa mencapai 30%, foraminifera besar, ganggang, bryozoan, dan

echinoid. Formasi ini diendapkan pada lingkungan laut dangkal antara

50-100 meter. Tebal dari formasi ini mencapai 248 meter. Formasi Bulu

diperkirakan berumur Miosen Tengah bagian atas.

4. Formasi Wonocolo

Lokasi tipe Formasi Wonocolo tidak dikemukakan oleh Trooster

(1973), kemungkinan berasal dari Desa Wonocolo, 20 km timurlaut

Cepu. Formasi Wonocolo terletak secara selaras di atas Formasi Bulu,

terdiri atas napal pasiran dengan sisipan kalkarenit dan kadang-kadang

batulempung. Pada napal pasiran sering memperlihatkan struktur paralel

laminasi. Formasi Wonocolo diendapkan pada kondisi laut terbuka

dengan kedalaman antara 100-500 meter. Tebal dari formasi ini antara

89 meter sampai 339 meter. Formasi Wonocolo diperkirakan berumur

Miosen Akhir bagian bawah sampai Miosen Akhir bagian tengah.

5. Formasi Ledok

Formasi ini terdiri dari batulempung abu-abu, napal, batulanau

gampingan dengan sisipan-sisipan tipis batugamping, kadang terdapat

batupasir glaukonit. Satuan ini terletak tidak selaras di atas Formasi

Wonocolo dengan bagian bawah dicirikan oleh batupasir glaukonit

berwarna hijau. Diantara formasi Wonocolo dan Formasi Ledok

2
FERRY DANIEL GOLAP | 410015150
6
terdapat suatu rumpang stratigrafi, yang ditandai dengan hilangnya Zona

N15 dan bagian bawah Zona N16 karena erosi atau proses ketiadaan

pengendapan (non-deposition). Lingkungan pengendapan berkisar

antara neritik tengah sampai batial atas.

6. Formasi Mundu

Terdiri dari napal masif berwarna putih keabu-abuan, kaya akan

foraminifera planktonik. Formasi Mundu terletak selaras di atas Formasi

Ledok. Formasi ini diendapkan pada laut terbuka (neritik luar sampai

batial) dan berumur Miosen Akhir hingga Pliosen (N17-N21).

7. Anggota Selorejo Formasi Lidah

Terdiri dari selang-seling lapisan tipis batugamping dengan kalkarenit

yang kaya akan foraminifera plankton. Batuan ini diendapkan pada

Pliosen Akhir-Plistosen berkaitan dengan susut laut atau bersamaan

dengan perlipatan sedimen di Cekungan Jawa Timur bagian utara.

8. Formasi Lidah

Pada formasi ini terdapat batulempung abu-abu dan batulempung hitam

dengan sisipan batupasir yang mengandung moluska. Umur formasi ini

adalah Pliosen Akhir-Plistosen.

9. Formasi Paciran

Formasi ini terdiri dari batugamping masif dengan permukaan

berbentuk yang terjadi karena pengaruh pelapukan. Batugamping ini

bersifat dolomitan, pada umumnya berfasies terumbu dengan organisme

pembentuk terdiri dari koral, ganggang dan foraminifera. Umur formasi

2
FERRY DANIEL GOLAP | 410015150
7
ini tidak dapat dipastikan karena tidak mengandung fosil penunjuk.

Walaupun demikian, karena di peta geologi Lembar Jatirogo menindih

Formasi Mundu secara tidak selaras, umurnya diduga Pliosen-

Pleistosen.

10. Endapan Gunungapi Lasem

Endapan Gunungapi Lasem terdiri dari andesit, aglomerat, breksi, tuf

lapilli, tuf halus, dan lahar. Satuan batuan ini terbentuk oleh kegiatan

gunungapi Zaman Kuarter.

11. Endapan Gunungapi Muria

Formasi terdiri dari tuff, lahar, dan tuf pasiran. Umurnya diperkirakan

pada Zaman Kuarter.

B. Zona Kendeng

Menurut Pringgoprawiro (1983), maka secara stratigrafi Zona Kendeng

dapat dibagi menjadi unit-unit stratigrafi sebagai berikut.

1. Formasi Pelang

Formasi ini terdiri dari napal abu-abu yang masif sampai berlapis yang

kaya akan fosil dan batulempung abu-abu dengan sisipan batugamping

bioklastik. Lapisan ini diendapkan pada lingkungan neritik dan berumur

Oligosen Akhir-Miosen Awal.

2. Formasi Kerek

Pada formasi ini terdiri dari endapan turbidit dengan ketebalan 800

meter, sebagian besar terbentuk oleh lapisan yang menghalus dan

menipis ke atas dengan tipe struktur sedimen arus densitas. Litologinya

2
FERRY DANIEL GOLAP | 410015150
8
terdiri atas batupasir tufaan, batulempung, napal, dan batugamping.

Formasi ini berumur Miosen Awal-Miosen Akhir.

3. Formasi Kalibeng (Kalibeng Bawah)

Kalibeng Bawah terdiri dari napal abu-abu kehijauan yang kaya fosil

dengan sisipan tuf berlapis tipis. Sedimen ini diendapkan pada

lingkungan batial. Bagian atas dari Formasi Kalibeng (Anggota

Atasangin) terdiri atas perlapisan batupasir tufaan berukuran halus-

kasar, tuf putih, dan breksi vulkanik. Sedimen ini diendapkan oleh

mekanisme turbidit. Formasi ini berumur Miosen Akhir-Pliosen.

4. Formasi Sonde (Kalibeng Atas)

Sedangkan bagian bawah dari formasi ini (Anggota Klitik) didominasi

oleh perlapisan napal pasiran, batupasir gampingan, dan tuf. Sedangkan

bagian atasnya terdiri atas batugamping mengandung Balanus dan

grainstone. Formasi ini diendapkan di lingkungan laut dangkal dan

berumur Pliosen.

5. Formasi Pucangan

Formasi ini terdiri atas batupasir kasar-konglomeratan, batupasir,

batupasir tufaan, dan lempung hitam yang mengandung moluska air

tawar. Di Zona Kendeng bagian barat dan tengah, Formasi Pucangan

berkembang sebagai fasies daratan. Sedangkan di bagian timur Zona

Kendeng, Formasi Pucangan merupakan endapan laut dangkal. Formasi

ini berumur Pliosen Akhir-Pleistosen Awal.

6. Formasi Kabuh

2
FERRY DANIEL GOLAP | 410015150
9
Formasi ini terdiri dari perlapisan batupasir kasar dengan perlapisan

silang siur fosil vertebrata, lensa konglomerat, dan tuf. Di Zona

Kendeng bagian barat dan tengah, Formasi Kabuh diendapkan pada

lingkungan darat, sedangkan di Zona Kendeng bagian timur, Formasi

Kabuh mempunyai fasies yang berbeda-beda, fasies darat berangsur-

angsur berubah menjadi fasies laut yang makin ke atas berubah ke arah

batuan vulkanik yang diendapkan pada lingkungan pantai.

7. Formasi Notopuro

Formasi Notopuro terdiri dari endapan lahar, tuf dan batupasir tufaan

berumur Pleistosen yang diendapkan pada lingkungan darat.

C. Zona Pegunungan Selatan

1. Formasi Kebo Butak

Formasi ini secara umum terdiri dari konglomerat, batupasir, dan

batulempung yang menunjukkan kenampakan pengendapan arus turbid

maupun pengendapan gaya berat yang lain. Dibagian bawah oleh Bothe

disebut sebagai Anggota Kebo (Kebo Beds) yang tersusun atas

batupasir, batulanau dan batulempung yang khas menunjukkan struktur

turbidit dengan perselingan batupasir konglomeratan yang mengandung

klastika lempung. Bagian bawah anggota ini di terobos oleh sill batuan

beku.

Bagian atas dari formasi ini termasuk Anggota Butak yang tersusun atas

perulangan batupasir konglomeratan yang bergradasi menjadi lempung

atau lanau. Ketebalan rata-rata formasi ini kurang lebih 800 meter.

3
FERRY DANIEL GOLAP | 410015150
0
Urutan yang membentuk Formasi Kebo-Butak ini ditafsirkan terbentuk

pada lingkungan lower submarine fan dengan beberapa interupsi

pengendapan tipe mid fan yang terbentuk pada Oligosen Akhir (N2-N3).

2. Formasi Semilir

Secara umum formasi ini tersusun oleh batupasir dan batulanau yang

bersifat tufan, ringan, dan kadang-kadang diselingi oleh selaan breksi

vulkanik. Fragmen yang menyusun breksi maupun batupasir biasanya

berupa batuapung yang bersifat asam. Di lapangan biasanya dijumpai

perlapisan yang begitu baik, dan struktur yang mencirikan turbidit

banyak dijumpai. Langkanya kandungan fosil pada formasi ini

menunjukkan bahwa pengendapan berlangsung secara cepat atau berada

pada daerah yang sangat dalam, berada pada daerah ambang kompensasi

karbonat (CCD), sehingga fosil gampingan sudah mengalami korosi

sebelum mencapai dasar pengendapan.

Umur formasi ini diduga adalah Miosen Awal (N4) berdasarkan pada

keterdapatan Globigerinoides Primordius pada daerah yang bersifat

lempungan dari formasi ini, yaitu di dekat Anggota Butak Formasi

Kebo-Butak. Formasi ini tersingkap secara baik di wilayahnya, yaitu di

tebing gawir Baturagung dibawah puncak Semilir.

3. Formasi Nglanggeran

Formasi ini berbeda dengan formasi-formasi sebelumnya, yang

dicirikan dengan penyusun utamanya berupa breksi dengan penyusun

material vulkanik, tidak menunjukkan parlapisan yang baik dengan

3
FERRY DANIEL GOLAP | 410015150
1
ketebalan yang cukup besar, bagian yang terkasar dari breksinya hampir

seluruhnya tersusun oleh bongkah-bongkah lava andesit, sebagian besar

telah mengalami breksiasi.

Formasi ini ditafsirkan sebagai pengendapan dari aliran rombakan yang

berasal dari gunungapi bawah laut, dalam lingkungan laut, dan proses

pengendapan berjalan cepat, yaitu hanya selama Miosen Awal (N4).

Singkapan utama dari formasi ini adalah di Gunung Nglanggeran pada

Perbukitan Baturagung. Kontaknya dengan Formasi Semilir

dibawahnya merupakan kontak yang tajam. Hal inilah yang

mrnyebabkan mengapa Formasi Nglanggeran dianggap tidak selaras

diatas Formasi Semilir. Namun perlu diingat bahwa kontak yang tajam

itu biasa terjadi karena perbedaan mekanisme pengendapan dari energi

sedang atau rendah menjadi energi tinggi tanpa harus melewati kurun

waktu geologi yang cukup lama. Hal ini sangat biasa dalam proses

pengendapan akibat gaya berat. Van Gorsel (1987) menganggap bahwa

pengendapannya diibaratkan proses runtuhnya gunungapi seperti

Krakatau yang berada di lingkungan laut.

4. Formasi Sambipitu

Diatas Formasi Nglanggeran kembali terdapat formasi batuan yang

menunjukkan ciri-ciri turbidit, yaitu Formasi Sambipitu. Formasi ini

tersusun oleh batupasir yang bergradasi menjadi batulanau dan

batulempung. Di bagian bawah, batupasirnya masih menunjukkan sifat

vulkanik, sedang ke arah atas sifat vulkanik ini berubah menjadi

3
FERRY DANIEL GOLAP | 410015150
2
batupasir yang bersifat gampingan. Pada batupasir gampingan ini sering

dijumpai fragmen dari koral dan foraminifera besar yang berasal dari

lingkungan terumbu laut dangkal yang terseret masuk dalam lingkungan

yang lebih dalam akibat arus turbid. Ke arah atas, Formasi Sambipitu

berubah secara gradisional menjadi Formasi Wonosari (Anggota Oyo)

seperti singkapan yang terdapat di Sungai Widoro di dekat Bunder.

Formasi Sambipitu terbentuk selama Kala Miosen, yaitu kira-kira antara

N4-N8 atau NN2-NN5.

5. Formasi Oyo-Wonosari

Selaras di atas Formasi Sambipitu terdapat Formasi Oyo-Wonosari.

Formasi ini terutama terdiri dari batugamping dan napal. Penyebarannya

meluas hampir setengah bagian dari Pegunungan Selatan mamanjang ke

timur, membelok ke arah utara di sebelah Perbukitan Panggung hingga

mencapai bagian barat dari daerah depresi Wonogiri-Baturetno. Bagian

terbawah dari Formasi Oyo-Wonosari terutama tersusun dari

batugamping berlapis yang menunjukkan gejala turbidit karbonat yang

terendapkan pada kondisi laut yang lebih dalam, seperti yang terlihat

pada singkapan di dekat muara Sungai Widoro masuk ke Sungai Oyo.

Dilapangan batugamping ini terlihat sebagai batugamping berlapis,

menunjukkan sortasi butir dan pada bagian yang halus banyak dijumpai

fosil jejak tipe burial yang terdapat pada bidang permukaan perlapisan

ataupun memotong sejajar perlapisan. Batugamping kelompok ini

disebut sebagai Anggota Oyo dari Formasi Wonosari.

3
FERRY DANIEL GOLAP | 410015150
3
Ke arah lebih muda, Anggota Oyo ini bergradasi menjadi dua fasies

yang berbeda. Di daerah Wonosari, semakin ke selatan batugamping

semakin berubah menjadi batugamping terumbu yang berupa rudstone,

framestone, floatstone, bersifat lebih keras dan dinamakan sebagai

Anggota Wonosari dari Formasi Oyo-Wonosari (Bothe, 1929).

Sedangkan di baratdaya kota Wonosari batugamping terumbu ini

berubah menjadi batugamping berlapis yang bergradasi menjadi napal

yang disebut sebagai anggota Kepek dari Formasi Wonosari. Anggota

Kepek ini juga tersingkap di bagian timur, yaitu di daerah depresi

Wonogiri-Baturetno, di bawah endapan kuarter seperti yang terdapat di

daerah Eromoko. Secara keseluruhan, formasi ini terbentuk selama

Miosen Akhir (N9-N18).

Gambar 13. Stratigrafi komposit Jawa Timur (Prasetyadi, 2007),


dengan penambahan kurva eustasy global (Haq et
al., 1987)

3
FERRY DANIEL GOLAP | 410015150
4

Anda mungkin juga menyukai