Anda di halaman 1dari 16

BAB 1

PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Geologi merupakan ilmu yang mempelajari tentang bumi, mengenai komposisinya,
struktur, sifat-sifat fisiknya, sejarah, proses pembetukannya serta mempelajari isi bumi mulai
dari kerak hingga ke inti bumi. Di Sumatera Selatan terdapat Universitas Sriwijaya yang
mempunai Program Studi Teknik Geologi (PSTG). Teknik Geologi Universitas Sriwijaya
didirikan pada tahun 2013 dan sekarang telah memasuki tahun ke-8. Pada tahun ke-8 angkatan
2020 sedang mempelajari mata kuliah mengenai Paleontologi. Mata kulia ini mempelajari
tentang fosil, pembentukan fosil dan menentukan umur fosil.
Paleontologi merupakan bagian ilmu yang mempelajari kehidupan prasejarah.
Paleontology adalah ilmu yang mempelajari jejak atau sisa-sisa kehidupan di masa lampau dalam
umur skala waktu geologi. Paleontology berasal dari kata paleo yang artinya masa lampau, onto
yang artinya kehidupan, dan logos yang artinya ilmu pengetahuan. Jadi secara umum
paleontology dapat diartikan sebagai ilmu mengenai fosil, sebab jejak kehidupan zaman purba
terekam dalam fosil. Paleontologi mencakup studi fosil untuk menentukan evolusi suatu
organisme dan lingkungannya (Paleoekologi). Paleontology dibagi menjadi dua yaitu
makropaleontologi dan mikropaleontologi, pembagian ini berdasarkan pada ukuran relative suatu
batuan atau studi lingkungan di masa lampau. Fosil merupakan organisme atau sisa organisme
termasuk jejaknya yang terawetkan secara ilmiah dan berumur kurang lebih 10.000 tahun.
Biasanya fosil hanya ditemukan dalam bentuk kerangka, tulang atau cangkang.
Di Sumatera Selatan, salah satu lokasi yang dapat di jadikan sebagai pengamatan fosil
adalah Kota Baturaja. Pada masa lampau, baturaja menginterpretasikan sebagai daerah laut. Hal
ini dibuktikan dengan banyaknya ditemukan fosil-fosil hewan laut seperti Filum Cnidaria. Pada
pulau Sumatera terdapat cekungan yang diakibatkan oleh aktivitas tektonik, cekungan ini disebut
sebagai Cekungan Sumatera. Cekungan Sumatera Selatan merupakan cekungan belakang busur
berumur Tersier yang terbentuk sebagai akibat adanya interaksi antara Paparan Sunda dan
Lempeng Samudera Hindia. Daerah cekungan ini meliputi daerah seluas 330 x 510 km2 yang
secara geografis terletak di bagian selatan Pulau Sumatera, menepati posisi dalam arah relative
barat laut-tenggara. Batas-batas cekungan ini adalah Paparan Sunda di sebelah timur, Bukit
Barisan di sebelah barat, Tinggian Lampung di sebelah selatan, dan penggunungan Tiga Puluh di
sebelah utara. Dalam cekungan ini terdapat Formasi Gumai dan Formasi Baturaja yang dapat
dijadikan sebagai tempat penelitian fosil mikro dan makro sesuai dengan kuliah Paleontologi.
I.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana kondisi geologi dari daerah yang akan diteliti?
2. Bagaimana sejarah geologi di daerah yang akan diteliti?
3. Jenis fosil apa saja yang dijumpai pada sampel batuan tersebut?
4. Bagaimana pengaplikasian foraminifera benthonik-planktonik pada geologi?
I.3 Maksud dan Tujuan
1. Praktikan mampu memahami dan mengetahui kondisi daerah yang di teliti.
2. Praktikan mampu menjelaskan atau mendeskripsikan sejarah geologi dari daerah
yang di teliti.
3. Praktikan dapat mendeskripsikan beberapa jenis fosil dari sampel batuan tersebut.
4. Praktikan diajarkan untuk mengaplikasikan foraminifera benthos-plankton yang
menjadi objek utama dalam paleontologi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II. 1 Geologi Regional
Pulau Sumatera memiliki orientasi barat laut yang terbentang pada ekstensi dari lempeng
Benua Eurasia. Pulau Sumatera memiliki luas area sekitar 435.000 km dihitung dari 1.650 km
dari banda aceh pada bagian utara menuju Tanjungkarang pada bagian selatan. Lebarnya
mencapai 100-200 km pada bagian utara dan sekitar 350 km pada bagian selatan. Pulau
Sumatera disebelah baratdaya Kontinen Sundaland dan merupakan jalur konvergensi antara
Lempeng Hindia-Australia yang menyusup di sebelah barat Sundaland / Lempeng Eurasia.
Konvergensi lempeng menghasilkan subduksi sepanjang Palung Sunda dan pergerakan lateral
menganan dari Sistem Sesar Sumatera ( Darma dan Sidi, 2000 ).
Trendline utama dari pulau ini cukup sederhana. Bagian belakangnya dibentuk oleh
Pegunungan Barisan yang berada sepanjang bagian barat. Daerah ini membagi pantai barat dan
timur. Lereng yang menuju Samudera Hindia biasanya curam yang menyebabkan sabuk bagian
barat biasanya berupa pegunungan dengan pengecualian 2 embayment pada Sumatera Utara
yang memiliki lebar 20 km. Sabuk bagian timur pada pulau ini di tutupi oleh perbukitan besar
dari Formasi Tersier dan dataran rendah alluvial. Pada diamond point di daerah Aceh, sabuk
rendah bagian timur memiliki lebar sekitar 30 km, lebarnya bertambah hingga 150 – 200 km
pada Sumatera Tengah dan Selatan.
Van Bemmelen membagi Pulau Sumatera menjadi 6 zona fisiografi yaitu :
1. Zona Jajaran Barisan
2. Zona Semongko
3. Zona Pegunungan Tiga Puluh
4. Zona Kepulauan Busur Luar
5. Zona Paparan Sunda
6. Zona Dataran Rendah dan Berbukit
Berdasarkan posisi geografisnya, daerah Sumatera Selatan termasuk ke dalam zona
Fisiografi Dataran Rendah dan Berbukit. Zona ini dicirikan oleh morfologi perbukitan homoklin
dan elevasi 40 – 80 m diatas permukaan laut dan tersebar luas dipantai timur Pulau Sumatera.
Daerah ini termasuk ke dalam Cekungan Sumatera Selatan. Cekungan Sumatera Selatan
merupakan cekungan belakang busur berumur Tersier yang terbentuk sebagai akibat adanya
interaksi antara Paparan Sunda dan Lempeng Samudera Hindia. Daerah cekungan ini meliputi
daerah seluas 330 x 510 km2 yang secara geografis terletak di bagian selatan Pulau Sumatera,
menempati posisi dalam arah relative barat laut- tenggara. Batas-batas cekungan ini adalah
Paparan Sunda di sebelah timur, Bukit Barisan di sebelah barat, Tinggian Lampung di sebelah
selatan dan Pegunungan Tiga Puluh di sebelah utara.
Gambar 1. Peta Cekungan Sumatera Selatan (Hutchinson,1996; Williams dkk., 1995;
Moulds, 1989; van Bemmelen, 1949).
Sumber : https://ptbudie.com/2011/10/12/kerangka-tektonik-cekungan-sumatera-selatan/
II.1.1 Fisiografi Cekungan Sumatera Selatan
Secara fisiografis Cekungan Sumatra Selatan merupakan cekungan Tersier
berarah Baratlaut-Tenggara, yang dibatasi Sesar Semangko dan Bukit Barisan di sebelah
Barat daya, Paparan Sunda di sebelah Timurlaut, Tinggian Lampung di sebelah Tenggara
yang memisahkan cekungan tersebut dengan Cekungan Sunda, serta Pegunungan Dua
Belas dan Pegunungan Tiga Puluh di sebelah Barat laut yang memisahkan Cekungan
Sumatra Selatan dengan Cekungan Sumatera Tengah. Blake (1989) menyebutkan bahwa
daerah Cekungan Sumatera Selatan merupakan cekungan busur belakang berumur
Tersier yang terbentuk sebagai akibat adanya interaksi antara Paparan Sunda (sebagai
bagian dari lempeng kontinen Asia) dan lempeng Samudera India. Daerah cekungan ini
meliputi daerah seluas 330 x 510 km2 , dimana sebelah Barat daya dibatasi oleh
singkapan Pra-Tersier Bukit Barisan, di sebelah Timur oleh Paparan Sunda (Sunda
Shield), sebelah Barat dibatasi oleh Pegunungan Tigapuluh dan ke arah Tenggara dibatasi
oleh Tinggian Lampung (Wisnu & Nazirman, 1997). Cekungan Sumatera Selatan meluas
ke daerah lepas pantai dan dianggap sebagai suatu cekungan foreland atau back-arc.
Cekungan ini juga merupakan cekungan yang menghasilkan hidrokarbon paling produktif
dalam tatanan cekungan belakang busur yang terbentuk di timur pantai Sumatera di
bagian Barat Indonesia.
II.1.2 Stratigrafi Regional Cekungan Sumatera Selatan
De Coster (1974), menjelaskan bahwa sedimen berumur Tersier di Cekungan
Sumatera Selatan diendapkan pada siklus transgresi dan regresi yang terjadi dari Paleosen
- Eosen sampai Pliosen - Pleistosen. Pengisian sedimen Tersier di dalam cekungan
dimulai pada umur Paleosen - Oligosen yang dicirikan oleh batuan sedimen klastik
kontinen yang mengandung tuf kemudian dilanjutkan oleh pengendapan sedimen pada
lingkungan pengendapan delta dan laut pada umur Oligosen Akhir sampai Miosen
Tengah. Proses siklus regresi yang mulai terjadi pada akhir Miosen Tengah dicirikan
dengan proses sedimentasi pada lingkungan laut dangkal dan laut dalam yang kemudian
secara berangsur berubah menjadi sedimentasi lingkungan delta dan darat. Siklus
sedimentasi selanjutnya diakhiri dengan pegendapan batuan berumur Pliosen - Pleistosen
yang dicirikan oleh batuan klastik tufaan akibat pengaruh proses orogenesis saat itu.
Batuan Pra-Tersier yang menyusun Cekungan Sumatera Selatan umumnya terdiri
dari batuan beku berumur Mesozoikum dan batuan metasedimen yang berumur
Paleozoikum dan Mesozoik (Ginger dan Fielding, 2005). Batuan dasar tertua di cekungan
ini diyakini berada di bagian Utara dan Timur cekungan yang merupakan bagian dari
Microplate Malacca. Di bagian Selatan cekungan, batuan dasar telah mengalami
deformasi yang merupakan bagian dari Microplate Mergui dan singkapanya dapat
ditemukan di sekitar Jalur Pegunungan Barisan. Morfologi batuan dasar Cekungan
Sumatera Selatan merupakan hasil dari pengaruh deformasi Kenozoikum dan selanjutnya
akan mengontrol konfigurasi pembentukan cekungan yang terjadi pada Eosen -
Oligosen. Ryacudu (2005) mengusulkan perubahan nomenklatur stratigrafi Paleogen di
Cekungan Sumatera Selatan yang disesuaikan dengan tektonostratigrafi dalam sistem rift,
sebagai berikut: Sikuen Pre-rift terdiri dari batuan dasar dan Formasi Kikim yang
tersusun oleh breksi vulkanik, konglomerat, tuf, dan batuan beku andesitik, Sikuen Syn-
rift terdiri atas batuan Kelompok Lahat yang tersusu oleh Formasi Lemat yang dicirikan
oleh litologi batupasir, tuf, konglomerat, dan serpih halus Formasi Benakat yang dalam
kondisi tertentu melibatkan Kelompok Telisa, Sikuen Post-rift terdiri dari Kelompok
Telisa yang tersusun oleh Formasi Tanjungbaru, Formasi Talang Akar, Formasi Baturaja,
dan Formasi Gumai.
Gambar 2. Batuan dasar umur Pra-Tersier dan Tersier di Cekungan Sumatra Selatan (Ginger dan
Fielding, 2005)
Sumber : https://ptbudie.com/2011/10/12/kerangka-tektonik-cekungan-sumatera-selatan/
Kamal dkk. (2005), membagi stratigrafi regional di Cekungan Sumatera Selatan menjadi
beberapa kelompok batuan sedimen Tersier yang disusun berdasarkan fasa tektonik yang
terjadi selama sedimentasi di dalam cekungan sebagai berikut :
1. Kelompok Pra Tersier
Formasi ini merupakan batuan dasar (basement rock) dari Cekungan Sumatra Selatan.
Tersusun atas batuan beku Mesozoikum, batuan metamorf Paleozoikum,
Mesozoikum, dan batuan karbonat yang termetamorfosa. Hasil dating di beberapa
tempat menunjukkan bahwa beberapa batuan berumur Kapur Akhir sampai Eosen
Awal. Batuan metamorf Paleozoikum-Mesozoikum dan batuan sedimen mengalami
perlipatan dan pensesaran akibat intrusi batuan beku selama episode orogenesa
Mesozoikum Tengah (Mid-Mesozoikum).
2. Formasi Lahat
Formasi Lahat yang tersusun oleh litologi batuan volkanik, breksi, dan material
laharik. Formasi Lahat meliputi beberapa nama yang dikenal sebelumnya sebagai
Kikim tuffs, Old Lemat¸ Kikim Sands, dan Old Andesite Formation (Marks, 1957 dan
de Coster, 1974). Formasi Lahat umumnya diendapkan secara tidak selaras di atas
batuan dasar dan diendapkan sebelum terjadi deformasi ekstensional pada Tersier
Awal. Batuan ini banyak ditemukan di daerah dengan morfologi berbentuk tinggian
dan tersebar di sekitar bagian Barat Daya Cekungan Sumatera Selatan.
3. Formasi Lemat
Kelompok batuan ini diendapkan pada umur Oligosen Awal di daerah dalaman atau
graben yang terbentuk akibat tektonik ekstensional pada Tersier Awal. Formasi
Lemat umumnya dicirikan oleh litologi perselingan batupasir darat, batulanau, dan
serpih yang di beberapa tempat mengandung material volkanik. Anggota Benakat (De
Coster, 1974) merupakan bagian dari Formasi Lemat yang tersusun oleh litologi
serpih argillaceous yang diendapkan pada lingkungan darat lakustrin. Anggota
Benakat diendapkan di bagian dalaman dari pusat cekungan dan mengalami
perubahan fasies menjadi batuan berbutir kasar dari Formasi Lemat itu sendiri.
4. Formasi Talang Akar Bawah
Formasi Talang Akar Bawah terbagi menjadi dua anggota, yaitu Anggota Transisi
(Transition Member/TRM) dan Anggota Gritsand (Gritsand Member/GRM). Anggota
Transisi tersusun oleh batuan klastik berbutir halus dengan sisipan batubara dan di
beberapa tempat ditemukan material pelletoid, yang mengindikasikan lingkungan
pengendapan transisi sampai laut dangkal. Anggota Gritsand tersusun oleh batupasir
berbutir kasar dan konglomerat. Anggota batuan ini diinterpretasikan sebagai suatu
sikuen progradasi sampai transgresi TRM dengan serpih yang menunjukkan pengaruh
lingkungan laut (Pertamina-BEICIP, 1985). Di bagian Barat Daya Daratan Sunda,
anggota batuan ini diendapkan pada lingkungan fluvial dan progradasi delta.
5. Formasi Talang Akar Atas
Formasi Talang Akar Atas tersusun oleh Anggota Basal Klastik (Basal Clastic
Member) dan Anggota Serpih Pendopo (Pendopo Shale Member). Secara stratigrafi
formasi ini diendapkan secara selaras di atas Formasi Talang Akar Bawah dan
memiliki kontak secara lateral dengan serpih laut Formasi Gumai. Anggota Basal
Klastik berumur Miosen Awal dan berada di bawah Formasi Baturaja yang umumnya
diendapkan di sekitar tinggian purba, seperti Tinggian Musi, Tinggian Palembang,
dan Tinggian Bangko. Anggota ini tersusun oleh batupasir berbutir kasar,
konglomerat, dan breksi yang berasal dari sumber lokal di sekitar area tinggian
tersebut. Formasi Talang Akar Atas mengalami perubahan fasies kea rah pusat
cekungan menjadi serpih Anggota Pendopo yang tersusun oleh litologi serpih, klastik
berbutir halus, dan sisipan karbonat. Anggota ini diendapkan pada lingkungan laut
dangkal dan tersebar luas di Cekungan Sumatera Selatan.
6. Formasi Baturaja
Formasi Baturaja didominasi oleh batuan karbonat reef. Berada pada lingkungan laut
dangkal yang bersih dan sedikit pengaruh klastik, Formasi Baturaja berkembang
dengan baik di sekitar tinggian purba. Formasi Baturaja berubah fasies secara lateral
kearah pusat cekungan menjadi serpih laut Formasi Gumai. Di bagian atas formasi ini
mengalami kontak dengan Formasi Gumai sedangkan di beberapa tempat batuan
karbonat Formasi Baturaja mempunyai kontak langsung dengan Anggota Batupasir
Telisa (Telisa Sandstone Member/TSM).
7. Formasi Telisa (Gumai)
Formasi Gumai terdiri dari Anggota Batupasir Laut Dalam Gumai (Gumai Deepwater
Sandstone Member/DWM) dan Anggota Batupasir Telisa (Telisa Sandstone
Member/TSM). DWM tersusun oleh litologi batupasir berbutir halus, batu lanau, dan
serpih yang diendapkan pada lingkungan Bathyal Atas atau laut dalam pada umur
Oligosen Akhir – Miosen Awal. Anggota ini dapat ditemukan di sekitar Sub Cekugan
Palembang Tengah dan di bagian selatan Dalaman Benakat (Benakat Gulley).
Anggota Batupasir Telisa (TSM) dicirikan oleh litologi batupasir sangat halus sampai
halus, argillaceous, mengandung mineral glaukonit, dengan porositas dan
permeabilitas yang buruk sampai sedang. Batupasir ini diendapkan pada lingkungan
laut dangkal (Argakoesoemah dkk., 2005). Singkapan batuan ini ditemukan di sekitar
area Lahat dan di bagian Barat Daya cekungan, yaitu Muara Dua dan bagian
cekungan, yaitu Merangin. Formasi Gumai sendiri didominasi oleh litologi serpih laut
dangkal sampai laut dalam dengan kandungan foraminifera yang melimpah yang
diendapkan pada umur Miosen Awal – Miosen Tengah.
8. Formasi Lower Palembang (Air Benakat)
Formasi Lower Palembang diendapkan selama awal fase siklus regresi. Komposisi
dari formasi ini terdiri dari batupasir glaukonitan, batulempung, batulanau, dan
batupasir yang mengandung unsur karbonatan. Pada bagian bawah dari Formasi
Lower Palembang kontak dengan Formasi Telisa. Ketebalan dari
formasi ini bervariasi dari 3300 – 5000 kaki (sekitar 1000 – 1500 m). Fauna-fauna
yang dijumpai pada Formasi Lower Palembang ini antara lain Orbulina
Universa d’Orbigny, Orbulina Suturalis Bronimann, Globigerinoides
Subquadratus Bronimann, Globigerina Venezuelana Hedberg, Globorotalia
Peripronda Blow & Banner, Globorotalia Venezuelana Hedberg, Globorotalia
Peripronda Blow & Banner, Globorotalia mayeri Cushman & Ellisor, yang
menunjukkan umur Miosen Tengah N12- N13. Formasi ini diendapkan di
lingkungan laut dangkal.
9. Formasi Middle Palembang (Muara Enim)
Batuan penyusun yang ada pada formasi ini berupa batupasir, batulempung, dan
lapisan batubara. Batas bawah dari Formasi Middle Palembang di bagian Selatan
cekungan berupa lapisan batubara yang biasanya digunakan sebagai marker. Jumlah
serta ketebalan lapisanlapisan batubara menurun dari selatan ke Utara pada
cekungan ini. Ketebalan formasi berkisar antara 1500–2500 kaki (sekitar 450-
750 m). De Coster (1974) menafsirkan formasi ini berumur Miosen Akhir sampai
Pliosen, berdasarkan kedudukan stratigrafinya. Formasi ini diendapkan pada
lingkungan laut dangkal sampai brackist (pada bagian dasar), delta plain dan
lingkungan non marine.
10. Formasi Upper Palembang (Kasai)
Formasi ini merupakan formasi yang paling muda di Cekungan Sumatra Selatan.
Formasi ini diendapkan selama orogenesa pada PlioPleistosen dan dihasilkan dari
proses erosi Pegunungan Barisan dan Tiga puluh. Komposisi dari formasi ini terdiri
dari batupasir tuffan, lempung, dan kerakal dan lapisan tipis batubara. Umur dari
formasi ini tidak dapat dipastikan, tetapi diduga Plio-Pleistosen. Lingkungan
pengendapannya darat.
Gambar 3. Kolom stratigrafi regional Cekungan Sumatera Selatan (De Coaster, 1974)
Sumber : https://ptbudie.com/2011/10/12/kerangka-tektonik-cekungan-sumatera-selatan/
II.1.3 Geologi Daerah Baturaja
Pada awalnya daerah Baturaja adalah daerah laut dangkal dengan kondisi air yang
jernih dan hangat. Kemudian karena terkena oleh pergerakan tektonik lempeng dalam
waktu geologi mengakibatkan laut dangkal ini terekspos keluar menjadi permukaan yang
baru, sedangkan pada bagian sumatera yang lain terbentang bukit barisan hingga baturaja.
Hal ini dapat dilihat saat ini dengan adanya pabrik semen yang ada di baturaja yang
digunakan sebagai bahan baku industry utama batu gamping. Batu gamping ini memiliki
ketebalan hingga mencapai 85 m yang hanya dapat terbentuk dan ditemukan pada daerah
lautan melalui proses karst. Karst adalah sebuah bentukan di permukaan bumi yang pada
umumnya dicirikan dengan adanya depresi tertutup (closed depression), drainase
permukaan, dan goa.
Daerah karst dapat juga terbentuk oleh proses cuaca, kegiatan hidrolik,
pergerakan tektonik, air dari pencairan salju, dan penggosongan batu cair (lava). Karena
proses dominan dari kasus tersebut adalah bukan pelarutan, kita dapat memilih untuk
penyebutan bentuk lahan yang cocok adalah pseudokarst (karst palsu). Secara regional
daerah cekungan sumatera selatan yang disusun oleh sedimen tersier yang terendapkan di
atas batuan pra-tersier. Hal ini sudah dibahas oleh Shell ijjinbouw (1978) dan Gafoer dkk
pada Peta Geologi Lembar Baturaja.
II.2 Pengenalan Foraminifera
Foraminifera merupakan kelompok hewan bersel satu (amoeba) termasuk dalam Filum
Protozoa dan Kelas Sarcodina yang hidup di laut atau marine. Foraminifera tidak
berflagella tapi mempunyai pesudopodia sebagai perpanjangan dari protoplasmanya dan
berfungsi untuk menangkap makanan, sebagai jangkar untuk menempel pada substrat dan
untuk berpindah tempat atau lokomosi. Hampir semua foraminifera hidup di lingkungan
laut yang berbeda-beda kondisinya dan hanya sebagian kecil yang diketahui hidup di air
tawar. Mulai dari lingkungan laut dangkal hingga laut dalam sampai batas CCD atau
Calcium Carbonate Compensation Depth.  Hampir sebagian besar foraminifera
merupakan benthonik foraminifera dan sisanya berupa
planktonik.hidup kumpulan foraminifera telah digunakan sebagai bioindikator dalam
lingkungan pesisir, termasuk indikator kesehatan terumbu karang. Karena kalsium
karbonat rentan terhadap pembubaran dalam kondisi
asam, Foraminifera dapat sangat dipengaruhi oleh perubahan iklim dan pengasaman laut.

Hewan ini mempunyai cangkang yang disebut dengan test yang umumnya terbuat dari
bahan kalkareus yang biasanya kalsium karbonat (CaCO3), bahan organik, silika atau
agglutinated yang berupa partikel sedimen asing disekitarnya yang tersemenkan. 
Cangkang foraminifera ada yang terdiri dari satu ruang (satu kamar) sampai yang terdiri
dari banyak ruang (banyak kamar) dan membuat struktur yang rumit, tapi hal inilah yang
membuat perbedaan dalam klasifikasi dan identifikasi foraminifera. Ukuran cangkang
yang bervariasi mulai dari kecil sekitar 1 mm sampai yang berukuran besar 1 cm (Larger
foram).  Lubang atau bukaan diantara kamar cangkang foraminifera sebagai tempat keluar
pseudopodia disebut dengan apertur.

Cangkang foraminifera yang bermacam-macam berguna untuk melindungi diri dari


pemangsa, sebagai pembatas dengan kondisi lingkungan yang kurang menguntungkan,
sebagai tempat untuk material yang dikeluarkan, sebagai alat bantu dalam reproduksi,
untuk memudahkan dalam perpindahan organisme dan sebagai alat bantu dalam
pertumbuhan sel.

Dalam studi laboratorium, siklus hidup foraminifera bentonik adalah hablo-


diplophasic.  satu generasi foraminifera adalah haploid dan generasi berikutnya adalah
diploid.  Foraminifera dengan kondisi haploid disebut gamonts, itu adalah hasil
pembelahan inti sel yang masing-masing menghasilkan sel gamet (sel kelamin tidak
dibedakan).  Penggabungan atau proses fusi dari dua sel gamet akan menghasilkan
individu yang bersifat diploid yang disebut skizon,  yang merupakan multinukleat dan
mereproduksi melalui mitosis. Setelah meiosis dan pembagian sitoplasma di sekitar
masing-masing inti, skizon menghasilkan gamonts baru. Pada foraminifera planktonik,
tidak ada dimorfisme dan mungkin ada reproduksi aseksual sesuai dengan daur hidup
foraminifera planktonik.

Faktor-faktor lingkungan (ekologi) yang mempengaruhi kehidupan dari foraminifera


antara lain adalah temperatur atau suhu lingkungan, salinitas atau kadar garam,
kedalaman, nutrisi atau bahan makanan, substrat, pH, trace elelemen, turbiditas atau
kekeruhan air, intensitas Cahaya, kadar oksigen, kadar CaCO3, kandungan zat organik
substrat, arus dan pasang  surut dan faktor-faktor ekologis yang lain.

Perhatian secara geologi terhadap foraminifera adalah fungsi produktivitas besar.  Hewan


ini hidup dalam kolom air secara keseluruhan. Konsentrasi populasi
foramninifera terbesar ditemukan pada kedalaman 10 sampai 50 meter.  Jumlah populasi
foraminifera hidup berkisar pada angka dari 1-200 per m2 dekat permukaan lautan.
Sekarang baik individu dan spesies foraminifera akan dijumpai secara lebih berlimpah di
perairan hangat. Beberapa ribu spesimen mungkin terkandung dalam satu gram sedimen.
Kumpulan foraminifera hidup/resen telah digunakan sebagai bioindikator dalam
lingkungan pantai, termasuk indikator kesehatan terumbu karang. Karena kalsium
karbonat rentan terhadap pelarutan dalam kondisi
asam, Foraminifera dapat sangat dipengaruhi oleh perubahan iklim
dan proses pengasaman laut.
Susunan kamar foraminifera dapat dibagi menjadi:
1. Planispiral yaitu sifatnya berputar pada satu bidang, semua kamar terlihat dan pandangan
serta jumlah kamar ventral dan dorsal sama.
2. Trochospiral yaitu sifat terputar tidak pada satu bidang, tidak semua kamar terlihat,
pandangan serta jumlah kamar ventral dan dorsal tidak sama.
3. Streptospiral yaitu sifat mula-mula trochospial, kemudian planispiral menutupi sebagian
atau seluruh kamar-kamar sebelumnya.

Adapun cara menghitung jumlah putaran pada cangkang foraminifera kita harus dapat
melihat dahulu arah putarannya, apakah searah jarum jam atau berlawanan, ini dapat
dilihat dari perkembangan kamarnya. Setelah itu ditentukan nomor urutan perkembangan
kamarnya mulai dari yang terkecil sampai yang terbesar. Barulah dapat ditarik garis yang
memotong kamar satu, kamar nomor dua, dan seterusnya hingga amar terakhir. Setelah
itu, hitung jumlah putarannya.
Bentuk test adalah bentuk keseluruhan dari cangkang foraminifera. Macam-macam test
foraminifera antara lain:

a. Globular (berbentuk bola bundar)


b. Disk (berbentuk seperti botol)
c. Cylindrical (berbentuk seperti batang)
d. Spiral
e. Stellate (berbentuk seperti bintang)
f. Cancellate
g. Lancelate (berbentuk seperti gada)
h. Conical (berbentuk kerucut)
i. Spherical
j. Discoidal (berbentuk seperti cakram)
k. Fusiform (bentuk kombinasi)
l. Biumbilicate (mempnyai 2 umbilicus)
m. Tabular (berbetuk seperti tabung)
n. Bifurcating (berbentuk seperti cabang)
o. Aborescent (berbentuk seperti pohon)
p. Radiate (bentuk radial)
q. Irregular (tidak teratur)
r. Hemispherical (bentuk setengah bola)
s. Zig-zag
t. Biconvex (cembung pada kedua sisi)
u. Flaring (seperti obor)
v. Spiroconvex (cembung pada sisi dorsal)
w. Umbiliconvex (cembung pada sisi ventral)
x. Lenticular biumbilicate (seperti ensa)
y. Palmate (seperti daun)
z. Arborescent (seperti pohon)

Bentuk kamar adalah bentuk masing-masing pembentuk test cangkang foraminifera.


macam-macam bentuk kamar, antara lain:
a. Spherical
b. Pyriform
c. Tabular
d. Angular truncate
e. Hemispherical
f. Globular
g. Angular rhomboid
h. Angular conical
i. Radial elongate
j. Ovate
k. Clavete
l. Tobuluspinate
m. Flatulose
n. Semicircular
o. Cylical
p. Neat

Cangkang foraminifera tersusun oleh dinding, kamar, proloculum, septa, suture, dan
aperture.

1. Kamar, merupakan bagian dalam foraminifera (ruang) dimana protoplasma berada.


2. Proloculum, merupakan kamar pertama pada cangkang foraminifera.
3. Septa, yakni bidang pada kamar yang dibatasi oleh suture. Biasanya terdapat lubang-
lubang halus berupa “foramen”. Saat pengamatan mikroskopis, epta dapat dilihat dari
luar test.
4. Suture, yaitu gairs pertemuan antara septa dengan dinding cangkang.
5. Aperture, merupakan lubang utama pada cangkang foraminifera yang berfungsi sebagai
mulut atau jaan keluarnya protolpasma.

Suture sangat penting dalam pengklasifikasian foraminifera, sebab kadang-kadang


foraminifera mempunyai suture yang sangat khas. Berikut ini macam-macam bentuk
suture:

a. Tertekan kuat/dalam, tertekan lemah (mlekuk), rata atau muncul di permukaan test.
b. Lurus, melengkung lemah, melengkung sedang atau melengkung kuat.
c. Suture mempunyai hiasan.

Berdasarkan komposisi kimia maupun material penyusunnya, test (cangkang)


Foraminifera dapat dikelompokkan menjadi, yaitu:

1. Dinding Khitin/Tektin, merupakan bentuk dinding yang paling primitif pada


foraminifera. Dinding ini tersusun oleh zat organik yang mempunyai zat tanduk,
fleksibel, dan transparan. Biasanya berwarna kuning dan tidak berpori (imperforate).
Foraminifera yang mempunyai bentuk dinding ini jarang yang ditemukan sebagai fosil,
kecuali golongan Allogromidae.
2. Dinding Aglutinin/Aranceous, merupakan test yang terbuat dari material-material asing
yang direkatkan satu sama lainnya dengan semen. Aranceous terdiri dari material asing
berupa pasir sedangkan Aglutinin terdiri dari material asing berupa lumpur, spong-
spikulae, beraneka ragam mika, dan lain-lain.
3. Dinding silikaan (siliceus), materialnya dihasilkan/berasal dari organisme itu sendiri atau
dapat juga merupakan material sekunder dalam pembentukannya.
4. Dinding gampingan, terbagi atas empat yaitu:
a. Dinding porselen, terbuat dari material gampingan, tidak berpori, terdiri dari Kristal-
kristal kalsit berukuran kriptokristalin dan mempunyai kenampakan seperti porselen
dengan warna buram atau putih.
b. Dinding gampingan hyaline, hampir kebanyakan dari foraminifera memunyai dinding
tipe ini. Tipe dinding ini merupakan dinding gampingan yang bersifat
bening/transparan dan umumnya berpori halus.
c. Dinding gampingan granular, dinding terdiri atas Kristal-kristal kalsit yang granular
tanpa adanya material asing atau semen
d. Dinding gampingan kompleks, merupakan dinding test yang umumya terdapat pada
golongan fusulinidae (foram besar), mempunyai beberapa lapisan yang digunakan
dalam membedakan tipe Fusulinidae dan Schagerinid.

Foraminifera planktonik memiliki susunan kamar Trocospiral, dengn jumlah kamar lebih
sedikit pada sisi ventral dibandingkan dengan sisi dorsalnya. Untuk susunan Planispiral
jumlah kamar antara sisi ventral dan sisi dorsalnya sama.

Aperture merupakan bagian penting pada test forminifera, karena merupakan lubang pada
kamar akhir tempat protoplasma organisme tersebut bergerak keluar masuk. Berikut ini
macam-macam aperture.
a. Primary aperture interiormarginal (aperture utama interior marginal):
1. Primary aperture interiormarginal umbilical: aperture utama interiormarginal yang
terletak pada daerah pusat putaran (umbilicus).
2. Primary aperture interiormarginal equatorial: aperture utama interiomarginal yang
terletak pada equator test. Cirinya adalah apabila dari samping terlihat simetri dan
dijumpai pada susunan planispiral
3. Primary aperture extra umbilical: aperture utama interiormarginal yang memanjang
dari pusat ke peri-peri.
b. Secondary aperture (aperture sekunder): lubang lain (tambahan) dari aperture utama dan
berukuran lebih kecil.
c. Accessory aperture (aperture aksesoris): aperture sekunder yang terletak pada struktur
aksesoris atau struktur tambahan.
Hasan atau ornament dapat juga dipakai sebagai penciri khas untuk genus atau spesies
tertentu. Berdasarkan letaknya, ornamen dibagi 5 yaitu:
a. Umbilicus
- Umbilical plug: umbilical yang mempunyai penutup
- Deeply umbilical: umbilical yang berlubang dalam
- Open umbilical: umbilical yang terbuka lebar
- Ventral umbo: umbilicus yang menonjol ke permukaan
b. Suture
- Bridge: bentuk seperti jembatan
- Limbate: bentuk suture yang menebal
- Retral processes: bentuk suture zig-zag
- Raisced bosses: bentuk tonjolan-tonjolan
c. Peri-peri
- Keel: lapisan tepi yang tipis dan bening
- Spine: lapisan yang menyerupai duri runcing
d. Aperture
- Tooth: menyerupai gigi
- Lip/rim: bentuk bibir aperture yang menebal
- Bulla: bentuk segienam teratur
- Tegilla: bentuk segienam tidak teratur
e. Permukaan test
- Punctuate: berbintik-bintik
- Smooth: mulus/licin
- Reticulate: mempunyai sarang lebah
- Pustulose: tonjolan-tonjolan bulat
- Cancallate: tonjolan-tonjolan memanjang.

BAB III

PEMBAHASAN
III.1 Pembahasan dan Hasil Analisa

III.1.1 Prosedur Pelaksanaan Analisa Mikrofosil

Analisa mikrofosil pada sampel ini mulai dengan tahap preparasi sampel, berikut

langkah – langkah untuk melakukan preparasi :

1. Sampel dihancurkan dengan cara di tumbuk menggunakan palu sampai


berukuran kerikil – batu pasir halus.
2. Kemudian sampel dicuci dengan air bersih agar bahan-bahan kotor lainnya
tidak ikut tercampur.
3. Setelah bersih, rendam sampel dengan campuran aquades dan peroksida
dengan perbandingan 2:3 dimana 2 itu aquades dan 3 itu peroksida
4. Perendaman sampel dilkukan selama 20-24 jam dan diaduk secara berkala
5. Setelah 20-24 jam sample dijemur dibawah sinar matahari atau disangrai agar
benar-benar kering.
III.1.2 Proses Pengayakan Sampel
Proses pengayakan sampel dilakukan untuk memisahkan sampel menjadi
beberapa ukuran.
III.1.3 Proses Pemisahan Sampel
Sampel dipisahkan menjadi ukuran 30,50,100 dan 200.
III.1.4 Proses Penelitian Sampel Mikrofosil
III.1.5 Identifikasi Fosil Pada Sampel Batuan
III.1.6 Hasil Penelitian Mikrofosil

BAB IV
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai