Anda di halaman 1dari 220

Prosiding

PERTEMUAN ILMIAH NASIONAL TAHUNAN VII ISOI 2010

Hotel Santika dan Hotel Merkuri Pangkal Pinang, Bangka Belitung 6 7 Oktober 2010

Ketua Tim Editor:


Bisman Nababan

Tim Editor:
Augy Syahailatua, Bambang Yulianto, Dwi Djoko Setyono, Feliatra, Inneke Rumengan, Iskaq Iskandar, Iqbal Djawad, Johnson L. Gaol, Joko Santoso, Mulia Purba, Munasik, Mutiara Putri, Suhartati M. Natsir, Vincentius Siregar, Wahyu Pandoe, Zaenal Arifin

Penyunting Pelaksana:
Jafar Elly, Mukhammad Subkhan, Ratih Deswati, Sahat Tampubolon

Ikatan Sarjana Oseanologi Indonesia Jakarta, Februari 2011

Prosiding

Pertemuan Ilmiah Nasional Tahunan VII ISOI 2010


Hotel Santika dan Hotel Merkuri Pangkal Pinang, Bangka Belitung 6 7 Oktober 2010

Ketua Tim Editor: Bisman Nababan

Tim Editor: Augy Syahailatua, Bambang Yulianto, Dwi Djoko Eny Setyono, Feliatra, Inneke Rumengan, Iskaq Iskandar, Iqbal Djawad, Johnson L. Gaol, Joko Santoso, Mulia Purba, Munasik, Mutiara Putri, Suhartati M. Natsir, Vincentius Siregar, Wahyu Pandoe, Zaenal Arifin

2011
Diterbikan oleh: Ikatan Sarjana Oseanologi Indonesia (ISOI) Sekretariat d/a. Pusat Penelitian Oseanografi LIPI Jl. Pasir Putih I, Ancol Timur, Jakarta 14430

Nababan et al. (Editor). 2011. Prosiding Pertemuan Ilmiah Nasional Tahunan VII ISOI 2010, Hotel Santika dan Hotel Merkuri, Pangkal Pinang, 6 7 Oktober 2010, 205 h.

Foto kulit muka : Pantai Belitung, satelit, research vessel, CTD, coral reef, dan ikan kerapu. Keterangan foto : Foto memperlihatkan sebagian dari bidang ilmu yang diseminarkan. Tata letak : Mukhammad Subkhan

ISBN: 978-979-98802-7-7

Prosiding Pertemuan Ilmiah Nasional Tahunan VII ISOI 2010 Hotel Santika dan Hotel Merkuri, Pangkal Pinang, 6-7 Oktober 2010

KATA SAMBUTAN Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas rahmat-Nya sehingga Prosiding Pertemuan Ilmiah Nasional Tahunan VII ISOI 2010, Pangkal Pinang, 6-7 Oktober 2010 dapat terbit. Pertemuan Ilmiah Nasional Tahunan VII ISOI 2010 ini merupakan bagian dari salah satu kegiatan rutin tahunan ISOI dengan tema Sumberdaya Kelautan untuk Kemakmuran Bangsa. Pertemuan Ilmiah Nasional Tahunan ini merupakan semiinternational event mengingat pertemuan in dihadiri oleh beberapa pembicara kunci terkait pengembangan ilmu dan teknologi kelautan serta perikanan dari berbagai negara asing seperti Amerika Serikat, Jerman, Jepang, China, dan Taiwan. Pertemuan Ilmiah Nasional Tahunan VII ini dihadiri oleh berbagai pemangku kepentingan seperti instansi pemerintah, swasta, perguruan tinggi, pendidikan menengah, lembaga penelitian, lembaga swadaya masyarakat dan industri dari berbagai daerah Indonesia dan luar negeri. Makalah yang dipresentasikan dalam Pertemuan Ilmiah Nasioanl Tahunan VII ini terdiri dari sembilan bidang yaitu Sains Kebumian dan Atmosfer, Energi dan Sumberdaya Mineral, Kerentanan Lingkungan Pantai, Index SATAL dan ATSEA, Pelayaran Kebangsaan Ilmuwan Muda, Pengelolaan Perikanan, Perubahan Iklim dan Laut, Biodiversitas Terumbu Karang, Bioprospeksi Laut, Perlindungan Kesehatan Ekosistem Pantai, Pemetaan Sumbedaya Laut, Penginderaan Jauh Kelautan, dan Hidro-oseanografi. Seperti tahun sebelumnya, saya sebagai Ketua Umum ISOI sangat senang dan bangga pada penerbitan Prosiding ini karena paper yang diterbitkan disini telah melalui seleksi peer review oleh Tim Editor yang telah bekerja keras disela-sela kesibukannya untuk mereview paper yang masuk. Ucapan terima kasih disampaikan secara khusus kepada Gubernur Kepulauan Bangka Balitung Bapak Eko Maulana, Komda ISOI Bangka Belitung, Universitas Bangka Belitung, dan Dinas Perikanan dan Kelautan, Bangka Belitung yang telah membantu pelaksanaan PIT ISOI VII ini. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada Direktorat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Ditjen Dikti, Departemen Pendidikan Nasional yang telah menyediakan dana untuk penerbitan Prosiding ini. Penghargaan sebesar-besarnya juga saya sampaikan kepada Ketua and Anggota Tim Editor beserta staf pendukungnya yang telah bekerja keras untuk dapat menyelesaikan proses penerbitan Prosiding ini. Tidak lupa kami mengucapkan terima kasih kepada instansi pemerintah dan swasta yang telah turut serta membantu dalam penyelenggaraan Pertemuan Ilmiah Nasional Tahunan VII ini seperti Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, Kementerian Lingkungan Hidup, Bappenas, Ditjen Dikti-Kementerian Pendidikan Nasional, Badan Riset Kelautan dan Perikanan-Kementerian Kelautan dan Perikanan, BAKOSURTANAL, COREMAP II-Kementerian Kelautan dan Perikanan, BPPT, LIPI, UNDIP, ITB, IOC, Universitas Bangka Belitung, Yayasan KEHATI, Dishidros, Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral, dan SeaWorld Indonesia. Jakarta, Februari 2011

Prof. Dr. Ir. Indroyono Soesilo, M.Sc. Ketua Umum ISOI


iii

Prosidin ng Pertemuan Ilmiah Nasion nal Tahunan VII ISOI 2010 0 Hotel Santik ka dan Hotel Merkuri, M Pang gkal Pinang, 6-7 6 Oktober 2 2010

KAT TA PENGA ANTAR Pros siding Perte emuan Ilmi iah Nasiona al Tahunan VII ISOI 2010 2 ini me erupakan sa alah satu hasi il dari Perte emuan Ilmi iah Nasioan nl Tahunan VII ISOI 2010 2 yang diselenggar rakan di Pan ngkal Pinang g, tanggal 6-7 Oktober 2010. Pert temuan Ilm miah Nasion nal Tahuna an VII ISO OI 2010 ber rtema Sum mberdaya Kelautan K untu uk Kemakm muran Bangsa dan dih hadiri oleh berbagai b pem mangku kep pentingan baik b dari piha ak swasta maupun m dari pemerintah h. Pan nitia pelak ksana semi inar mene erima seba anyak 176 6 abstrak yang se emuanya dipr resentasikan n secara ora al dalam pe ertemuan ini. Dari 176 abstrak yan ng dipresen ntasikan, seba anyak 79 makalah m le engkap dite erima oleh Tim Edito or sampai batas waktu yang dite entukan. Me elalui peer group revie ew, makala ah tersebut di review d dan diseleksi untuk dapat diterbitk kan dalam Prosiding P m maupun Jurn nal Ilmu da an Teknolog gi Kelautan n Tropis. Sete elah melalu ui proses rev view dan se eleksi, dari 79 makala ah lengkap y yang direvi iew oleh Tim m Editor ma aka makalah h yang laya ak diterbitka an melalui perbaikan d dan saran dari d para revi iewer untuk k Prosiding sebanyak 27 2 judul da an untuk Ju urnal sebany yak 27 judu ul. Dari seju umlah 27 judul untuk k Prosiding masih ada a beberapa a perbaikan n paper yan ng tidak dim masukkan sam mpai batas waktu yang g ditentukan n. aku Ketua Tim Edito or, saya me engucapkan n terima ka asih banyak k dan peng ghargaan Sela sebe esar-besarny ya kepada anggota a Tim m Editor ya ang sudah bekerja b ker ras untuk mereview m mak kalah dibida angnya dan n memberik kan masuka an atau kom mentar untu uk perbaika an paper yang layak ma aupun tidak layak untu uk diterbitka an. Tidak lu upa saya uc capkan terim ma kasih kepada panitia a seminar yang tela ah memba antu dan bekerja b ke eras dalam proses m pr roses editing g, sampai proses p pener rbitan Prosi iding PIT VII V ISOI pengumpulan makalah, a kepada Jafar J Elly, Muhamma ad Subhan, Ratih De eswati, dan n Sahat ini khususnya Tam mpubolon. moga Prosid ding Pertem muan Tahuna an ISOI VI II 2010 ini dapat d mena ambah, mele engkapi, Sem dan memajukan n ilmu dan teknologi t d bidang per di rikanan dan n kelautan.

Bog gor, Februar ri 2011

man Nabab ban, Ph.D. Bism Ketu ua Tim Edi itor

iv

Prosiding Pertemuan Ilmiah Nasional Tahunan VII ISOI 2010 Hotel Santika dan Hotel Merkuri, Pangkal Pinang, 6-7 Oktober 2010

DAFTAR ISI Kata Sambutan ............................................................................................................. Kata Pengantar ............................................................................................................. Daftar Isi ...................................................................................................................... SAINS KEBUMIAN DAN ATMOSFER & ENERGI DAN SUMBERDAYA MINERAL Pola Pergerakan Arus Permukaan pada Musim Peralihan Barat-Timur di Perairan Spermonde. Abd. Rasyid J., Dadang A.Suriamihardja, Amiruddin dan Mukti Zainuddin ................................................................................................................... Ostracoda dalam Sedimen Dasar Laut di Sekitar Pulau Bangka. Kresna Tri Dewi ............................................................................................................................. PENGELOLAAN PERIKANAN Dinoflagellata Penyebab Ciguatera Fish Poisoning (CFP) di Perairan Pulau Belitung, Bangka Belitung. Riani Widiarti ................................................................ Perkembangan Pembenihan Ikan Laut di Bali. Suko Ismi .......................................... Reproductive Biology of Elongate Surgeon Fish Acanthurus mata. Joeharnani Tresnati ....................................................................................................................... Identifikasi Sistem Insentif Pengelolaan Sumberdaya di Laguna Segara Anakan. Siti Hajar Suryawati, Endriatmo Soetarto, Luky Adrianto dan Agus Heri Purnomo ...................................................................................................................... Merintis Pembenihan dan Pembesaran Rajungan (Portunus pelagicus) di Bangka Belitung. Sri Juwana dan Sujono ............................................................................. PERUBAHAN IKLIM DAN LAUT Pengaruh Meteorologi Maritim Indonesia terhadap Pola Iklim Monsunal pada Wilayah Pesisir. Atika Lubis, Iftitah Rohman Hukama dan Aurista Woro Pratiwi ......................................................................................................................... BIODIVERSITAS TERUMBU KARANG & BIOPROSPEKSI LAUT Kajian Kualitas Tepung Buah Mangrove (Avicennia marina) pada Lama Perebusan Berbeda. Titik Dwi Sulistiyati .................................................................................... PERLINDUNGAN KESEHATAN EKOSISTEM PANTAI Analisis Beban Pencemaran dari Air Buangan Tempat Pelelangan Ikan Cituis, Tangerang Yonik Meilawati Yustiani, Evi Aviatun dan Septian Dwi Putra ......... Distribusi Logam Berat Kadmium (Cd), Tembaga (Cu), Timbal (Pb) dan Seng (zn) dalam Zooplankton di Teluk Jakarta. Lestari, Nurul Fitriya dan Nila Ika Wijayanti .................................................................................................................... Kondisi Lingkungan di Perairan Laut Cina Selatan Ditinjau dari Aspek Bakteriologikal. Djoko Hadi Kunarso .......................................................................
v

iii iv v

1 10

17 25 31

36 51

76

86

94

103 111

Prosiding Pertemuan Ilmiah Nasional Tahunan VII ISOI 2010 Hotel Santika dan Hotel Merkuri, Pangkal Pinang, 6-7 Oktober 2010

EKOLOGI LAUT Distribusi dan Komposisi Jenis Lamun di Teluk Lampung. Muhammad Husni Azkab .......................................................................................................................... Kelimpahan Foraminifera Bentik Resen di Pulau Peteloran Timur, Kepulauan Seribu. Suhartati M. Natsir dan Mukhammad Subkhan ....................................... Sebaran Kelimpahan Sel Bakteri di Perairan Selat Malaka: Vertikal dan Horizontal. Ruyitno ........................................................................................................................ Komunitas Zooplankton di Perairan Berau, Kalimantan Timur. Nurul Fitriya ......... Pertumbuhan Rhizome Lamun Jenis Cymodocea rotundata dan Cymodocea serrulata pada Dua Kedalaman Berbeda di Pulau Pari, Kepulauan Seribu, Dki Jakarta. Mujizat Kawaroe, Fitriyah Anggraeni dan Wawan Kiswara .................. PEMETAAN SUMBERDAYA LAUT Pemetaan Geologi dan Geofisika Kelautan Bersistem Perairan Teluk Tomini, Sulawesi. Mustafa Hanafi .......................................................................................... Pemetaan Ekosistem Terumbu Karang Wilayah Kepulauan Bangka Belitung dengan Menggunakan Citra Landsat. Yatin Suwarno dan Ratna Sari Dewi ........... Pola Spasial Kedalaman Perairan di Teluk Bungus, Kota Padang. Yulius, H. Prihatno dan I. R. Suhelmi ....................................................................................... Analisa Spasial Tingkat Kerusakan Terumbu Karang terhadap Lokasi Permukiman di Menui Kepulauan, Kabupaten Morowali. Yoniar Hufan Ramadhani dan Anggoro Cahyo Fitrianto .......................................................................................... 166 175 186 124 132 142 150

157

194

vi

Prosiding Pertemuan Ilmiah Nasional Tahunan VII ISOI 2010 Hotel Santika dan Hotel Merkuri, Pangkal Pinang, 6-7 Oktober 2010

SAINS KEBUMIAN DAN ATMOSFER & ENERGI DAN SUMBERDAYA MINERAL

Rasyid et al.

POLA PERGERAKAN ARUS PERMUKAAN PADA MUSIM PERALIHAN BARAT-TIMUR DI PERAIRAN SPERMONDE SEA SURFACE CURRENT PATTERN AT TRANSITION SEASON IN SPERMONDE WATERS Abd. Rasyid J1), Dadang A.Suriamihardja2), Amiruddin3), Mukti Zainuddin4) 1 Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Unhas, Sekretaris ISOI Makassar 2 Fakultas MIPA Unhas, Ketua Dewan Pakar ISOI 3 Fakultas MIPA Unhas, Wakil Ketua ISOI Makassar 4 Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Unhas, Anggota ISOI Makassar
Abstract Indonesian waters in general are influenced by wind monsoon blowing in alternate direction in a year known as West monsoon and East monsoon. This monsoonal wind pattern induced surface current in Indonesia including Spermonde Archipelago waters. Spermonde Archipelago is a part of Makassar Strait which located the West Coast of South Sulawesi and consisted of several small islands. The objective of this study was to determine the pattern of surface water movement of each monsoon period especially the transition monsoon II in the Spermonde Archipelago. Both primary and secondary data were used in this study to determine the pattern of surface water movement at the study area. Primary data collection in the field was conducted from April to June 2009 (transition monsoon II period). The study result showed that wind pattern at study area was predominantly from west with maximum speed of 12 knot in April. At that speed, dominant current condition showed a different pattern during period of high tide and low tide. Surface current in the open sea moved from South with speed up to 0.60 m s-1 to the north with diminishing speed of 0.10 m s-1. While during low tide the surface current moving from north with speed up to 0.06 m s-1 to the south with the speed that Increase progressively to 0.33 m s-1. In May and June, the wind pattern was predominantly come from south with the speed up to 8 knot. At the speed, dominant surface current condition showed a different pattern between high tide and low tide. However, the surface current pattern during high and low tide was relatively similar in April. Keywords: Surface Current, transition Munsoon, Spermonde Waters Abstrak Perairan Indonesia secara umum dipengaruhi oleh angin Munson, bertiup pada arah yang berlawanan secara bergantian setiap tahun (Munson Barat dan Timur). Pola angin Munson ini mempengaruhi pergerakan arus permukaan di perairan Indonesia. Perairan Spermonde yang terletak di pantai barat bagian selatan Propinsi Sulawesi Selatan adalah kawasan perairan yang terdiri dari berbagai pulau dengan perairan yang relatif dangkal. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola pergerakan arus permukaan pada setiap Munson, khususnya pada munson peralihan II. Data yang digunakan terdiri atas data primer dan data skunder. Pengambilan data primer di lapangan selama 3 bulan (AprilJuni 2009 (munson peralihan II)). Pada bulan April, pola angin masih didominasi dari barat dengan kecepatan angin maksimum 12 knot. Di bawah pengaruh angin tersebut, kondisi arus dominan memperlihatkan perbedaan pola saat pasang dan saat surut. Pola arus permukaan saat air pasang di laut lepas bergerak dari selatan dengan kecepatan mencapai 0,60 meter/detik menuju ke utara dengan kecepatan yang semakin menurun yakni 0,10 meter/detik. Sedangkan pada saat air surut di laut lepas bergerak dari utara dengan kecepatan mencapai 0,06 meter/detik menuju ke selatan dengan kecepatan yang semakin meningkat yakni 0,33 meter/detik. Pada bulan Mei dan Juni, pola angin didominasi dari Selatan dengan kecepatan angin mencapai 8 knot. Pada bulan-bulan tersebut, kondisi arus masih dominan memperlihatkan perbedaan pola saat pasang dan saat surut, seperti pada bulan April. Key Kunci: Pergerakan Arus Permukaan, Munson Peralihan, Perairan Spermonde 1

Pola Pergerakan Arus Permukaan pada Musim Peralihan Barat-Timur di Perairan Spermonde

I. PENDAHULUAN Perairan Indonesia merupakan perairan penghubung antara Samudera Pasifik dengan Samudera Hindia, dan juga sangat dipengaruhi oleh iklim munson. Hal ini mengakibatkan sifat yang khas bagi perairan Indonesia. Dengan adanya karakter tersebut, perairan ini memiliki pola sirkulasi massa air yang berbeda dan bervariasi secara munsonan serta dipengaruhi oleh massa air Samudera Pasifik yang melintasi perairan Indonesia menuju Samudera Hindia melalui Arus Lintas Indonesia disebut Arlindo (Yusuf, 2007). Selat Makassar memegang peranan penting karena merupakan pintu gerbang utama jalur Arlindo. Secara umum Selat Makassar merupakan jalur lintasan di kawasan lintang rendah yang mentransfer panas, salinitas rendah dari Samudera Pasifik ke Samudera Hindia (Sprintall et al., 2000). Salah satu gugusan pulau-pulau yang terletak di Selat Makassar adalah kepulauan Spermonde. Perairan Kepulauan Spermonde merupakan peraian dangkal yang terletak di sebelah barat daya Sulawesi Selatan, terpisah sepenuhnya dari Paparan Sunda yang terletak di seberang Selat Makassar dan terdiri dari banyak pulau-pulau dan shelf banks. Perairan kepulauan Spermonde merupakan perairan yang mendapat pengaruh selain dari Selat Makassar, juga dari Laut Jawa dan Laut Flores. Kawasan perairan kepulauan ini meliputi bagian selatan Kabupaten Takalar, Kota Makassar, Kabupaten Pangkep, hingga Kabupaten Barru pada bagian utara pantai Barat Sulawesi Selatan. Volume massa air Arlindo pada kondisi normal rata-rata 10,5 juta m3/detik (Susanto et al., 2003). Massa air laut tadi bergerak dari Samudera Pasifik ke Samudera Hindia melewati selat-selat di perairan Indonesia seperti diperlihatkan pada Gambar 1. Kabupaten Pangkep yang merupakan salah satu kawasan dari gugusan kepulauan Spermonde terbentuk dari hasil proses sedimentasi dan aktivitas organisme. Arah arus tidak teratur, namun berdasarkan keadaan pasang surut, diketahui bahwa saat air mengalami pasang maka arah arus cenderung bergerak ke barat. Sedangkan pada saat surut arah arus bergerak menuju utara (PPTK, 2001).

Gambar 1. Pergerakan Volume Massa Air Arlindo (Susanto et al., 2003) Tujuan penelitian ini adalah untuk memetakan pola pergerakan arus permukaan pada munson peralihan barat-timur di perairan Spermonde.

Rasyid et al.

II. METODE PENELITIAN 2.1. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian adalah perairan Spermonde (Gambar 2) yang merupakan gugusan Kepulauan Spermonde yang memiliki lebar dari timur ke barat lebih kurang 40 km, dan dibagi dalam: - Zona terdekat; banyak dipengaruhi oleh daratan Sulawesi Selatan. - Zona tengah; berjarak kurang lebih 5 12,5 km dari pantai Makassar dengan banyak pulau di antaranya dan daerah-daerah yang dangkal (taka) - Zona terluar; berjarak kurang lebih 30 km dari daratan dan merupakan zona terumbu penghalang (barrier reefs).

Gambar 2. Lebar Gugusan Kepulauan Spermonde Data citra Modis yang digunakan adalah data akuisisi dari bulan Oktober 2007 sampai Juni 2009 (2 tahun). Pengambilan data lapangan selama 3 (tiga) bulan, yaitu pada bulan April Juni 2009. Data oseanografi diambil bersamaan dengan kegiatan penangkapan ikan dengan alat tangkap purse seine yang dilakukan pada malam hari. Data tersebut terdiri atas arah dan kecepatan arus, suhu permukaan, salinitas, kandungan klorofill, dan kedalaman. Lokasi penelitian pada daerah-daerah yang merupakan sentra atau basis (fishing base) ikan pelagis kecil di Perairan Spermonde, Kabupaten Pangkep. 2.2. Data Pola Arus Pola arus dibutuhkan untuk mengetahui sebaran aliran massa air yang akan mempengaruhi distribusi parameter oseanografi lainnya, sehingga dinamika oseanografi yang terjadi di perairan Spermonde pada setiap munson dapat digambarkan. Pengukuran secara langsung di lapangan dilakukan untuk mendapatkan data arus permukaan dengan menggunakan current meter. Untuk menggambarkan pola pergerakan arus permukaan untuk daerah yang luas, maka digunakan Surface Modelling System (SMS) dengan memasukkan beberapa parameter arah dan kecepatan angin, pasang surut, kedalaman. 2.3. Data Pasang Surut dan Angin Data sekunder tentang pasang surut dan angin merupakan salah satu hal yang dibutuhkan dalam penelitian ini. Hal ini berkaitan untuk mengetahui tipe pasang surut
3

Pola Pergerakan Arus Permukaan pada Musim Peralihan Barat-Timur di Perairan Spermonde

serta arah dan kecepatan angin pada daerah penelitian dan juga untuk meramalkan pola pergerakan massa air dimasa akan datang dengan menggunakan software Surface Modelling System (SMS). 2.4. Pemodelan Hidrodinamika dengan Modul RMA-2 Tujuan simulasi hidrodinamika ini adalah untuk mendapatkan besaran kecepatan dan arah arus. Pemodelan arus yang digunakan adalah dengan model numerik RMA2. RMA2 adalah sebuah modul dari SMS berupa model numerik elemen hingga (finite element) yang diintegralkan dalam arah vertikal (kedalaman perairan dapat dianggap konstan relatif terhadap dimensi horisontalnya), sehingga dapat dianggap sebagai masalah dua dimensi (2-D). Keutamaan dari modul RMA2 adalah mampu menghitung perubahan elevasi permukaan (fluktuasi pasut) perairan dan komponen kecepatan arus horisontal untuk aliran permukaan bebas sub-kritis dalam medan aliran 2-dimensi. Pada dasarnya RMA2 menyelesaikan masalah aliran turbulen persamaan Reynolds yang diturunkan dari persamaan Navier-Stokes. Pengaruh kekasaran diperhitungkan dengan koefisien Manning atau Chezy, Sebagai persamaan pengatur, RMA2 menggunakan persamaan konservasi massa dan momentum yang diintegrasikan terhadap kedalaman. III. HASIL DAN PEMBAHASAN Perairan Kepulauan Spermonde merupakan paparan yang terletak di sebelah luar Sulawesi Selatan, terpisah sepenuhnya dari Paparan Sunda yang terletak diseberang Selat Makassar, terdiri dari banyak pulau-pulau dan shelf banks. Kawasan perairan kepulauan ini terletak pada bagian selatan mulai dari Kabupaten Takalar, Kota Makassar, Kabupaten Pangkep, hingga Kabupaten Barru pada bagian utara pantai Barat Sulawesi Selatan. Kabupaten Pangkep yang merupakan salah satu kawasan dari gugusan kepulauan Spermonde terdiri dari 12 kecamatan yaitu sembilan kecamatan daratan dan tiga kecamatan Kepulauan. Sembilan kecamatan yang terletak di daratan adalah Kecamatan Balloci, Tondong Tallasa, Minasa Tene, Pangkajene, Bungoro, Labakkang, Marang, Segeri, Mandalle. Adapun kecamatan yang berada di kepulauan adalah Kecataman Liukang Tupabbiring, Liukang Tangngaya, dan Liukang Kalmas, dengan 112 pulau, 74 berpenghuni dengan jumlah penduduk 51.469 jiwa (34%). Luas Laut Kabupaten 2 Pangkep adalah 11.464,44 km dan luas pulau kecil 35.150 Ha. Panjang garis pantai 250 Km dan luas terumbu karang 36.000 Km2 dengan mayoritas pekerjaan adalah sebagai nelayan, (DKP Kabupaten Pangkep, Tahun 2007). 3.1. Munson Peralihan Barat-Timur Kepulauan Spermonde terletak di perairan Selat Makassar yang merupakan jalur Arus Lintas Indonesia dengan massa air yang bersumber dari Samudera Pasifik. Transport massa air dari Samudera Pasifik memasuki Selat Makassar melalui Laut Sulawesi, terestimasi berkisar antara 7.5 - 12,4 Sv (lSv = 1 Sverdrup = 106m3/det). Pola pergerakan dari massa air tersebut, secara permanen bergerak dari utara ke selatan ditemukan pada kedalaman rata-rata 100 350 db (Susanto et al., 2003). Namun pada arus permukaan, pengaruh Arlindo tidaklah dominan, karena adanya pengaruh pasang surut dan pola angin regional. Gordon (2005), menyebutkan bahwa arus permukaan di Selat Makassar dipengaruhi oleh faktor angin regional. Kondisi arus di peairan Spermonde dipengaruhi oleh angin dan pasang surut.
4

Rasyid et al.

Kepulauan Spermonde khususnya yang berada dalam lingkup wilayah administrasi Kabupaten Pangkep dan Kota Makassar merupakan kawasan yang memiliki kedalaman yang landai (kedalamannya kurang 50 m) dengan dijumpai sebaran pulau dan dangkalan-dangkalan terumbu dalam kawasan. Kedalaman dengan slope yang curam di bawah kedalaman 50 m telah berada di luar kawasan yakni di perairan bagian barat Pulau Langkai, mengarah ke Pulau Kapoposang hingga Pulau Suranti seperti dapat dilihat pada Gambar 3. Kondisi batimetri demikian, menyebabkan massa air dari laut lepas (laut dalam) dalam melewati kawasan Spermonde tidak terlepas dari peranan dinamika pasang surut dan angin di sekitar kawasan tersebut. Mahie dan Zakir (2008), melakukan pemodelan arus yang disebabkan oleh angin, memperlihatkan pola arus permukaan antara munson barat dan munson timur. Pola arus permukaan dominan dari arah Barat menuju ke timur dan tenggara saat munson Barat. Sementara di munson Timur, arus dari tenggara menuju barat laut dan utara.

Gambar 3. Peta Batimetri Perairan Spermonde Pada pemodelan simulasi arus perairan kepulauan Spermonde dalam setiap bulannya melalui Program SMS 8,1 modul RMA2 dengan memasukkan parameter pasang surut, serta arah dan kecepatan angin maksimum sebagai faktor pembangkit arus, memperlihatkan pola arus permukaan yang tidak sepenuhnya sama dengan hasil Mahie dan Zakir (2008), karena adanya tambahan parameter pasang surut dalam model yang dibuat. Adanya tiupan angin di permukaan perairan yang membangkitkan kecepatan arus, sehingga dapat mempengaruhi pola arus permukaan yang dibangkitkan oleh pasang surut. Pengaruh angin dan pasang surut tersebut, menimbulkan perbedaan pola arus permukaan antara munson barat , munson timur, dan munson peralihan. Munson peralihan, kondisi angin cukup berfluktuasi yang ditandai dengan pola angin yang berubah-ubah di bulan April, Mei, dan Juni dengan kecepatan angin berkisar pada 0,0 12 knot. Pada bulan April seperti pada Gambar 4, pola angin didominasi dari barat dengan kecepatan angin maksimum 12 knot. Pada kecepatan tersebut, kondisi arus dominan memperlihatkan perbedaan pola saat pasang dan saat surut. Pola arus permukaan saat air pasang di laut lepas dari selatan dengan kecepatan mencapai 0,60 meter/detik menuju ke utara dengan kecepatan yang semakin menurun yakni 0,10 meter/detik. Di perairan utara kepulauan Spermonde, kecepatan arus mencapai 0,19 meter/detik, dan berbelok ke timur menuju daratan pesisir. Sementara di bagian barat kepulauan Spermonde, arus berbelok menuju ke timur laut memasuki kepulauan Spermonde (Pulau Kapoposang dan Pulau Langkai) dengan kecepatan 0,09
5

Pola Pergerakan Arus Permukaan pada Musim Peralihan Barat-Timur di Perairan Spermonde

meter/detik, lalu menuju ke timur ketika melewati laut antara Pulau Sarappo dengan Pulau Pamanggangan. Di bagian selatan (pesisir dengan Pulau Kodingareng) terbentuk pola arus menuju ke utara (antara pulau Kodingareng dengan Pulau Lanyukkang) dengan kecepatan 0,09 meter/detik, dan pola arus ke timur laut menyusuri pantai (antara pesisir dengan Pulau Kodingareng) dengan kecepatan 0,05 meter/detik. Pertemuan pola-pola arus terjadi di perairan pesisir dengan Pulau Saugi dan Pulau Sagara yang cenderung menuju ke pantai dengan kecepatan mencapai 0,02 meter/detik. Pola arus permukaan saat air surut di laut lepas dari utara dengan kecepatan mencapai 0,06 meter/detik menuju ke selatan dengan kecepatan yang semakin meningkat yakni 0,33 meter/detik. Sedangkan di perairan bagian utara, terjadi arus ke timur lalu ke utara-timur laut ketika mendekati perairan pesisir dengan kecepatan mencapai 0,10 meter/detik. Di perairan dalam Kepulauan Spermonde terjadi pola arus yang berlawanan arah dengan pola arus saat pasang. Kecepatan arus lemah (sekitar 0,01 meter/detik) ketika melewati perairan pulau-pulau bagian tengah, dan menguat ketika melewati perairan pulau-pulau terluar dengan kecepatan 0,07 meter/detik. Sementara kecepatan arus di laut pesisir dengan pulau-pulau bagian dalam adalah 0,04 meter/detik.

Gambar 4. Pola Arus saat Pasang (1) dan saat Surut (2) di bulan April Sedangkan pada bulan Mei dan Juni seperti dapat dilihat pada Gambar 5, pola angin didominasi dari Selatan dengan kecepatan angin mencapai 8 knot. Pada kecepatan tersebut, kondisi arus dominan memperlihatkan perbedaan pola saat pasang dan saat surut yang relatif sama dengan bulan April. Pola arus permukaan saat air pasang cenderung tidak jauh berbeda dengan pola di bulan April, kecuali di perairan utara memperlihatkan pola yang berbeda yakni arus berbelok ke timur dengan kecepatan 0,04 meter/detik, dan memasuki perairan Pulau Samatellu dengan pesisir. Kecepatan arus dari selatan mencapai 0,20 meter/detik menuju ke utara dengan kecepatan yang semakin menurun yakni 0,03 meter/detik. Sementara di bagian barat kepulauan Spermonde (Pulau Kapoposang dengan Pulau Langkai) dengan kecepatan 0,08 meter/detik. Di bagian selatan (antara Pulau Kodingareng dengan Pulau
6

Rasyid et al.

Lanyukkang) dengan kecepatan 0,06 meter/detik, dan kecepatan arus antara pesisir dengan Pulau Kodingareng adalah 0,07 meter/detik. Pertemuan pola-pola arus terjadi di perairan pesisir dengan Pulau Saugi dan Pulau Karanrang dan cenderung menuju ke pantai dengan kecepatan mencapai 0,02 meter/detik. Pola arus permukaan saat air surut cenderung tidak jauh berbeda dengan pola di Bulan April. Arus dari utara dengan kecepatan mencapai 0,06 meter/detik menuju ke selatan dengan kecepatan yang semakin meningkat yakni 0,31 meter/detik, kecepatan arus di perairan bagian utara mencapai 0,02 meter/detik. Di perairan dalam Kepulauan Spermonde terjadi kecepatan arus lemah (sekitar 0,01 meter/detik) ketika melewati perairan pulau-pulau bagian tengah, dan menguat ketika melewati perairan pulau-pulau terluar dengan kecepatan 0,04 meter/detik. Sementara kecepatan arus di laut pesisir dengan pulau-pulau bagian dalam adalah 0,01 meter/detik. Pola arus permukaan saat air pasang cenderung tidak jauh berbeda dengan pola di bulan April, kecuali di perairan utara memperlihatkan pola yang berbeda yakni arus berbelok ke timur dengan kecepatan 0,04 meter/detik, dan memasuki perairan Pulau Samatellu dengan pesisir. Kecepatan arus dari selatan mencapai 0,20 meter/detik menuju ke utara dengan kecepatan yang semakin menurun yakni 0,03 meter/detik. Sementara di bagian barat kepulauan Spermonde (Pulau Kapoposang dengan Pulau Langkai) dengan kecepatan 0,08 meter/detik. Di bagian selatan (antara Pulau Kodingareng dengan Pulau Lanyukkang) dengan kecepatan 0,06 meter/detik, dan kecepatan arus antara pesisir dengan Pulau Kodingareng adalah 0,07 meter/detik. Pertemuan pola-pola arus terjadi di perairan pesisir dengan Pulau Saugi dan Pulau Karanrang dan cenderung menuju ke pantai dengan kecepatan mencapai 0,02 meter/detik. Pola arus permukaan saat air surut cenderung tidak jauh berbeda dengan pola di bulan April. Arus dari utara dengan kecepatan mencapai 0,06 meter/detik menuju ke selatan dengan kecepatan yang semakin meningkat yakni 0,31 meter/detik. Kecepatan arus di perairan bagian utara mencapai 0,02 meter/detik. Di perairan dalam Kepulauan Spermonde terjadi kecepatan arus lemah (sekitar 0,01 meter/detik) ketika melewati perairan pulau - pulau bagian tengah, dan menguat ketika melewati perairan pulau-pulau terluar dengan kecepatan 0,04 meter/detik. Sementara kecepatan arus di pesisir dengan pulau-pulau bagian dalam adalah 0,01 meter/detik.

Pola Pergerakan Arus Permukaan pada Musim Peralihan Barat-Timur di Perairan Spermonde

Gambar 5. Pola Arus saat Pasang (1) dan saat Surut (2) di bulan Mei

IV. KESIMPULAN Pada bulan April, pola angin didominasi dari barat dengan kecepatan angin maksimum 12 knot. Pada kecepatan tersebut, kondisi arus dominan memperlihatkan perbedaan pola saat pasang dan saat surut. Pola arus permukaan saat air pasang di laut lepas bergerak dari selatan dengan kecepatan mencapai 0,60 meter/detik menuju ke utara dengan kecepatan yang semakin menurun yakni 0,10 meter/detik. Sedangkan pada saat air surut di laut lepas bergerak dari utara dengan kecepatan mencapai 0,06 meter/detik menuju ke selatan dengan kecepatan yang semakin meningkat yakni 0,33 meter/detik. Pada bulan Mei dan Juni, pola angin didominasi dari selatan dengan kecepatan angin mencapai 8 knot. Pada kecepatan tersebut, kondisi arus dominan memperlihatkan perbedaan pola saat pasang dan saat surut, tetapi relatif sama pada bulan April. DAFTAR PUSTAKA DKP Kabupaten Pangkep. 2007. Data Base Potensi Kelautan dan Perikanan Wilayah Pesisir dan Kepulauan Kabupaten Pangkep. Pangkep. Gordon A. L. 2005. Oceanography Of The Indonesian Seas and Their Throughflow. Journal Oceanography, 10(4):1427. Mahie, G. dan M. Zakir. 2008. Pemodelan Numerik Sirkulasi Arus Tiga Dimensi di Prairan Kepulauan Spermonde Kabupaten Pangkep, Sul-Sel. Lembaga Penelitian Universitas Hasanuddin. Makassar.

Rasyid et al.

Pusat Penelitian Terumbu Karang. 2001. Penyusunan Rencana Induk dan Rencana Pengelolaan Pulau - pulau Kecil di Pangkep, Sulawesi Selatan. PPTK-Unhas. Sprintall, J., A.L. Gordon, R. Murtugudde, and R.D. Susanto. 2000. A Semiannual Indian Ocean forced Kelvin wave observed in the Indonesian seas in May 1997, Journal of Geophysical Research, 105 (C7):17217-17230. Susanto, A.R., R.C. Wajsowicz, A.L. Gordon, and A. Ffield. 2003. Estimating Transport in Makassar Strait. Deep-Sea Research Part II-Topical Studies in Oceanography, 50(12-13):2163-2181. Doi 10.1016/S0967-0645(03)00051-1 Yusuf. 2007. Dinamika Massa Air di Perairan Selat Makassar pada Bulan Juli 2005. Program Studi Ilmu Kelautan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Universitas Padjadjaran. Tidak dipublikasikan.

Ostracoda dalam Sedimen Dasar Laut di Sekitar Pulau Bangka

OSTRACODA DALAM SEDIMEN DASAR LAUT DI SEKITAR PULAU BANGKA

OSTRACODA FROM SURFICIAL SEDIMENTS OFF BANGKA ISLAND


Kresna Tri Dewi Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Kelautan Jl. Junjunan 236 Bandung-40174. Email: ktdewi2004@yahoo.com

Abstract Seafloor sediments compose of non-biogenic sediment (such as mineral) and biogenic particles. Biogenic particles consist of a variety of microorganism shells that were preserved in sediments such as foraminiferal test, radiolaria, pteropods, ostracods, etc. These shells provide any information related to environmental condition when they live based on various approaches such as abundance, diversity, morphological variation, ratio between adult and juvenile, chemical contents of shells and others. The purpose of this study was to identify ostracods among sediment particles of Bangka Island. A number of 20 surficial sediment samples that carried out by a gravity corer, were used for this study. A 0.063 mm sieve was used to separate the ostracod shells from the fine sediments. After washing, the remaining particles that leave on the sieve were then dried. The ostracods were identified by mounting on micropalaeontological slides (a cardboard rectangle 1x3) and then calculated the number of specimen of each species from each site. The result showed that there were 82 spesies of ostracoda dominated by Neomonocartina batavia and Cytherelloidea leroyi. The number of each site was between 1 and 35 species with diversity value index between 1.8 and 3.6. Keywords: ostracoda, surficial sediments, Bangka Island Abstrak Sedimen dasar laut terdiri dari pertikel sedimen non biogenik (mineral) dan biogenik. Partikel biogenik meliputi berbagai cangkang mikroorganisme tertentu yang terawetkan dalam sedimen seperti cangkang foraminifera, radiolaria, pteropoda, ostracoda dan lain-lain. Cangkang-cangkang tersebut dapat memberi informasi kondisi lingkungan sekitar pada saat hidupnya melalui berbagai pendekatan, seperti kelimpahan, keanekaragaman, variasi morfologi, perbandingan bentuk dewasa dan juvenil, kandungan kimiawi cangkang dan lain-lain. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui keberadaan cangkang ostracoda diantara partikel sedimen sekitar Pulau Bangka. Sebanyak 20 sampel sedimen dasar laut yang diambil menggunakan pemercontoh jatuh bebas. Sebuah ayakan berukuran 0.063 mm digunakan untuk memisahkan cangkang ostracoda dari sedimen halus. Setelah pengayakan, sisa partikel sedimen yang tertampung dalam ayakan kemudian dikeringkan. Selanjutnya ostracoda dipisahkan, diidentifikasi, dilekatkan dalam slide mikropaleontologi (karton persegi panjang berukuran 1x3). Selanjutnya dilakukan penghitungan jumlah spesimen dari setiap spesies dalam setiap stasiun. Diperoleh 82 spesies ostracoda yang didominasi oleh Neomonocartina batavia dan Cytherelloidea leroyi. Jumlah spesies setiap stasiun antara 1 dan 35 spesies dengan nilai indeks diversitas antara 1,8 dan 3,6. Kata Kunci: ostracoda, sedimen laut, Pulau Bangka I. PENDAHULUAN

Perairan sekitar Pulau Bangka merupakan bagian dari Paparan Sunda yang terletak diantara Pulau Bangka dan Sumatera. Perairan ini merupakan salah satu lokasi penyelidikan geologi dan geofisika bersistem dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Kelautan. Salah satu kegiatan adalah pengambilan sampel sedimen dasar laut disamping kegiatan lain seperti perekaman geologi dasar laut, pengukuran kedalaman dan
10

Dewi

lain-lain. Perolehan sampel sedimen tersebut kemudian digunakan untuk analisa mineralogi, sedimentologi, mikropaleontologi dan yang terkait dalam rangka menghasilkan berbagai peta tematik secara bersistem. Dalam bidang mikropaleontologi, sampel sedimen diperiksa untuk mengetahui adanya partikel biogenik yang ditemukan diantara partikel sedimen non biogenik (mineral dan fragmen batuan). Partikel biogenik berupa cangkang beberapa kelompok mikrofauna yang terawetkan diantara partikel sedimen seperti foraminifera ostracoda, radiolaria, pteropoda dan lain-lain. Penelitian mikrofauna, khususnya Foraminifera bentik dari perairan sekitar P. Bangka telah dilakukan oleh Hamijoyo (1981) dan menghasilkan sekitar 38 spesies yang didominasi oleh kehadiran Asterorotalia pulchella, Pseudorotalia schroeteriana, Bigenerina nodosaria, Ammonia connoida dan Operculina sp. Kemudian Rosmarini (1985) berhasil mengidentifikasi 90 jenis foraminifera bentik di perairan sekitar Selat Malaka. Adisaputra (1996 dan 1997) telah meneliti foraminifera dalam sedimen laut di sekitar Teluk Semangko dan Bangka Belitung. Kemudian, Hasil penelitian foraminifera oleh Gustiantini et al. (2005) diperoleh bahwa Subordo Rotaliina mendominasi daerah perairan sekitar Bakauheni. Dari data tersebut menunjukkan bahwa penelitian foraminifera telah banyak dilakukan dibandingkan dengan ostracoda. Hal ini terutama belum dilakukan di perairan sekitar P. Bangka, namun telah ada penelitian di bagian tengah Selat Malaka yang dilakukan oleh Whaltey dan Zhao (1987 dan 1988). Mereka berhasil mengindentifikasi 129 spesies Ostracoda termasuk 22 spesies baru. Hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa jenis dan jumlah spesies ostracoda dibatasi oleh faktor sedimen dasar laut yang banyak mengandung pasir kuarsa. Mostafawi (1992) dan Dewi et al. (1994) meneliti ostracoda dalam sedimen di Selat Karimata dan berbagai lokasi di sekitar Paparan Sunda namun belum difokuskan di perairan sekitar P. Bangka. Maksud dan tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui keberadaan cangkang ostracoda diantara partikel sedimen di sekitar Pulau Bangka. Data yang diperoleh diharapkan dapat melengkapi data yang telah dilakukan oleh peneliti sebelumnya. Data dan informasi mikrofauna Resen merupakan data dasar yang dapat digunakan sebagai acuan untuk merekonstruksi lingkungan purba. Selama itu, untuk melakukan interpretasi lingkungan pengendapan umumnya mengacu pada publikasi di luar wilayah nusantara yang berbeda lingkungan dengan perairan Indonesia, seperti jenis ostracoda di perairan dangkal dari wilayah tropis akan berbeda dengan daerah subtropis.
II. BAHAN DAN METODA

Daerah penelitian terletak di perairan sekitar P. Bangka (104030-2000 LS dan 106 30-104050' BT termasuk Lembar Peta 1113 yang meliputi Selat Bangka dan sedikit bagian timur dari P. Bangka (Gambar 1). Sebanyak 20 dari 40 sampel sedimen dasar laut telah terseleksi di daerah penelitian yang mewakili daerah penelitian. Lokasi pengambilan sampel sediment ditampilkan pada Tabel 1. Pengambilan sampel menggunakan pemercontoh jatuh bebas (gravity corer) dari Kapal Geomarin 1 pada tahun 1997. Bagian atas (top) dari perolehan sampel sedimen kemudian dikeringkan dan ditimbang. Selanjutnya direndam dan dicuci dalam ayakan berukuran 0.063 mm dengan bantuan air mengalir. Setelah pengayakan, sedimen hasil cucian kemudian dikeringkan dan digunakan untuk analisa mikrofauna. Selanjutnya ostracoda dipisahkan dari partikel sedimen dengan bantuan kuas basah dan mikroskop binokuler. Spesimen ostracoda disimpan dalam slide mikropaleontologi untuk diidentifikasi, dihitung jumlah spesimen dari setiap spesies dalam setiap stasiun.
0

11

Ostracoda dalam Sedimen Dasar Laut di Sekitar Pulau Bangka

. Gambar 1. Lokasi pengambilan sampel sediment di sekitar P. Bangka

Tabel 1. Informasi sampel sedimen untuk studi ostracoda (Silalahi et al., 2007)

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ostracoda ditemukan dalam semua sampel sedimen yang diperiksa kecuali pada tiga titik lokasi nomor 3, 16 dan 17. Ketiga lokasi ini mempunyai jenis sedimen yang didominasi oleh pasir. Secara mikroskopis pasir ini terdiri dari pasir kuarsa (Gambar 2). Dominasi pasir ini merupakan faktor pembatas mikrofauna termasuk ostracoda seperti yang ditemukan oleh Whatley dan Zhao (1987) di Selat Malaka.
12

Dewi

Gambar 2. Kenampakan partikel sedimen yang mendominasi titik lokasi 3, 16, dan 17. Hasil identifikasi diperoleh 82 spesies ostracoda dalam genera yang didominasi oleh Neomonocartina batavia dan Cytherelloidea leroyi. Keterdapatan setiap genus ostracoda dari setiap lokasi disajikan dalam Tabel 2. Jumlah spesies setiap stasiun antara 1 dan 35 spesies. Diperlihatkan bahwa ada spesies yang hanya hadir dalam satu titik lokasi yaitu Hemicytherura, Macrocypris, Parakrithella, Propontocythere, Propontocypris dan Psammocythere. Beberapa genera yang ditemukan cukup melimpah adalah Cytherella, Cytherelloidea, Keijella, Neomonoceratina, Pistocythereis, dan Phlyctenophora. Keberadaan spesimen ostracoda diantara partikel sedimen dalam jumlah sedang ditemukan dalam titik lokasi 7 (Gambar 3, kiri) dan dalam jumlah melimpah seperti ditemukan dalam lokasi 37 (Gambar 3, kanan). Secara umum keberadaan ostracoda di perairan sekitar Bangka menunjukkan gambaran yang bervariasi. Ada dua titik lokasi yang mempunyai kandungan ostracoda sangat melimpah lebih dari 50 spesimen di selatan Muntok (lokasi 5) dan sebelah timur P. Bangka (Gambar 4). Secara keseluruhan sebaran ostracoda menunjukkan bahwa keberadaan ostracoda di perairan sekitar timur P. Bangka lebih melimpah dibandingkan di perairan sekitar Selat Bangka. Hal ini diperlihatkan dari kandungan ostracoda di bagian timur umumnya lebih dari 25 sedimen. Sedangkan di perairan sekitar selat, kandungan ostracoda bervariasi dari tidak ditemukan ostracoda hingga sangat melimpah. Perbedaan kandungan ostracoda antara perairan sebelah timur dan selatan P. Bangka, kemungkinan berkaitan dengan faktorfaktor lingkungan setempat yang berbeda. Di perairan sekitar Selat Bangka, banyak dipengaruhi oleh pasokan melalui beberapa sungai seperti di Tanjung Katimabangko, Tanjung Kampek, Sekanah serta Tanjung Kayan.

13

Ostracoda dalam Sedimen Dasar Laut di Sekitar Pulau Bangka

Tabel 2. Jenis dan jumlah ostracoda dalam sedimen dasar laut sekitar P. Bangka

Gambar 3. Kenampakan kehadiran ostracoda dalam jumlah sedang (kiri) dan melimpah (kanan) Dengan demikian banyak faktor yang berkaitan dengan keberadaan ostracoda di sekitar P. Bangka. Di bagian tengah Selat Malaka, jenis sedimen merupakan faktor pembatas keberadaan ostracoda. Sedangkan di selat Bangka selain jenis sedimen juga kemungkinan berkaitan dengan sedimentasi yang terjadi di sekitar muara sungai. Selain itu hal yang menarik adalah ditemukannya Hemikrithe peterseni yang dipercaya sebagai spesies endemik di perairan sekitar India.
14

ostracoda

ostracoda

Dewi

Gambar 4. Sebaran ostracoda di daerah penelitian

IV. KESIMPULAN Dari penelitian ini diperoleh 82 spesies termasuk dalam 42 genera Ostracoda. Neomonoceratina bataviana dan Cytherelloidea leroyi merupakan jenis dominan dan tersebar cukup merata. Keterdapatan ostracoda lebih melimpah di bagian timur Pulau Bangka dibandingkan di bagian selat itu sendiri.. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih disampaikan kepada Tim Penyelidikan Geologi dan Geofisika PPGL dan Ibu Sumiyati atas bantuan dan kerjasamanya dalam pembuatan tulisan ini. DAFTAR PUSTAKA Adisaputra, M.K. 1996. Foraminifera Sedimen permukaan perairan Teluk Semangko dan lepas pantai sebelah barat Sumatera Selatan. Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI): 21-28. Adisaputra, M.K. 1997. Foraminifera Sedimen permukaan perairan selatan Bangka Belitung, Sumatera Selatan. Jurnal Geologi dan Sumber Daya Minera; VII (70): 210Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Ahli Geologi Indonesia. Dewi, K.T., C. Purwanto, dan M. Surachman. 1994. Keanekaragaman ostracoda pada sedimen permukaan dasar paparan Sunda. Dalam Setyawan et al., (eds). Prosiding Seminar Laut Nasional III, 29-31 Mei 2001, Jakarta, Ikatan Sarjana Oseanologi Indonesia, 13-21. Hamidjojo, P. 1981. Ekologi Foraminifera Bentonik di perairan sekitar Pulau Bangka. Skripsi pada Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada , 73 hal. (tidak diterbitkan).
15

Ostracoda dalam Sedimen Dasar Laut di Sekitar Pulau Bangka

Silalahi, I. Susilohadi, R. Zuraida, dan K.T. Dewi. 1997. Penyelidiakn Geologi dan Geofisika Kelautan Lembar Peta 1113 dan 1014 Bangka. Laporan Pusat Pengembangan Geologi Kelautan, tidak dipublikasikan). Gustiantini, L., K.T. Dewi, dan E. Usman. 2005. Foraminifera di perairan sekitar Bakauheni, Lampung (Selat Sunda Bagian Utara). Jurnal Geologi Kelautan 3(1): 10-18. Mostafawi, N. 1992. Rezente Ostracoden aus Dem Mittleren Sunda-Schelf, Zwischen der Malaiishen Halbinsel und Borneo (abstract in English). Senckenbergiana Lethaea 72, 129-168. Rosmarini. 1985. Ekologi foraminifera bentonik di perairan Selat Malaka. Skripsi pada Fakultas Biologi, Universitas Gadjah Mada , 241 hal. (tidak diterbitkan). Whatley, R.C. and Q. Zhao. 1987. Recent Ostracoda of the Malacca Straits. Revista Espanola de Micropaleontologia. 19(3):327-366. Whatley, R.C. and Q. Zhao. 1988. Recent Ostracoda of the Malacca Straits. Revista Espanola de Micropaleontologia, 20(1):5-37

16

Prosiding Pertemuan Ilmiah Nasional Tahunan VII ISOI 2010 Hotel Santika dan Hotel Merkuri, Pangkal Pinang, 6-7 Oktober 2010

PENGELOLAAN PERIKANAN

Widiarti

DINOFLAGELLATA PENYEBAB CIGUATERA FISH POISONING (CFP) DI PERAIRAN PULAU BELITUNG, BANGKA BELITUNG THE CIGUATERA FISH POISONING (CFP) DINOFLAGELLATES IN BELITUNG ISLAND WATERS, BANGKA BELITUNG Riani Widiarti Laboratorium Biologi Kelautan, Departemen Biologi FMIPA-Universitas Indonesia E-mail : rianiwid@yahoo.co.id
Abstract Research on the inventory, abundance, and species diversity of benthic dinoflagellates on macroalgae has already conducted on 5 8 April 2010, in four locations of Belitung waters i.e., Buyut Island, Sebongkok Island, Kelayang Cape, and Keran Island. The objective of the research was to obtained information on benthic dinoflagellates species and abundance in Belitung waters. If benthic dinoflagellates were found in high abundance population (blooms), than the waters should be monitored and the reef fish surrounding should be checked whether safe or not to be consumed. Four of ten dinoflagellates species found were Ciguatera Fish Poisoning (CFP) species i.e., Prorocentrum lima, P. concavum, Ostreopsis ovata, and Gambierdiscus toxicus. The highest abundance value was found in the reef flat of Kelayang Cape, Belitung Island, with cells amount reach up into 11.374 cells/liter macroalgae. This could be related to the condition of Kelayang Cape as an inhabited and tourism area, whereas human activities could cause water enrichment and coral reef destruction were higher compare to other locations. On the northern side of Belitung Island (Kelayang Cape and Keran Island waters), there were more toxic dinoflagellates species found (3 species) than the two other locations. The northern side of Belitung Island, which is an open water area, was more favorable location for the CFP benthic dinoflagellates. Key words : benthic dinoflagellates, Belitung island, Ciguatera Fish Poisoning. Abstrak Penelitian mengenai inventarisasi, kelimpahan, dan keanekaragaman jenis dinoflagellata bentik pada makroalga di perairan Pulau Belitung telah dilakukan pada tanggal 5 8 April 2010 di empat lokasi yaitu Pulau Buyut, Pulau Sebongkok, Tanjung Kelayang, dan Pulau Keran. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui jenis dan jumlah dinoflagellata bentik penyebab Ciguatera Fish Poisoning (CFP) di perairan Belitung. Apabila ditemukan jenis yang berpotensi toksik dalam jumlah melimpah (blooming), maka wilayah tersebut perlu dimonitor dan ikan-ikan karang yang ada perlu diwaspadai apakah aman untuk dikonsumsi atau tidak. Pada penelitian ini ditemukan 10 (sepuluh) jenis dinoflagellata, dimana 4 (empat) diantaranya merupakan jenis dinoflagelata bentik penyebab CFP yaitu Prorocentrum lima, P. concavum, Ostreopsis ovata, dan Gambierdiscus toxicus. Kelimpahan dinoflagellata tertinggi terdapat di rataan terumbu karang perairan Tanjung Kelayang, Pulau Belitung, dengan jumlah individu mencapai 11.374 sel/ liter makroalga. Hal tersebut dikarenakan daerah Tanjung Kelayang merupakan daerah berpenduduk dan daerah wisata, sehingga aktivitas manusia yang dapat menyebabkan pengkayaan nutrisi perairan atau perusakan terumbu karang lebih tinggi dibandingkan dengan ketiga lokasi lainnya. Pada perairan sebelah barat Pulau Belitung, dalam hal ini perairan Tanjung Kelayang dan Pulau Keran, ditemukan jumlah jenis dinoflagellata toksik yang lebih banyak (tiga jenis) dibandingkan dengan kedua lokasi penelitian lainnya. Lokasi di sebelah utara Pulau Belitung yang merupakan daerah perairan terbuka merupakan lokasi yang lebih disukai oleh jenis-jenis dinoflagellata bentik penyebab CFP. Kata Kunci : Ciguatera Fish Poisoning, dinoflagellata bentik, Pulau Belitung. 17

Dinoflagellata Penyebab Ciguatera Fish Poisoning (CFP) di Perairan Pulau Belitung, Bangka Belitung

I. PENDAHULUAN Beberapa jenis dinoflagellata, terutama yang hidup secara bentik, mampu menghasilkan senyawa toksik yaitu ciguatoksin yang dapat menyebabkan penyakit Ciguatera Fish Poisoning (CFP). CFP adalah gejala keracunan yang dialami oleh manusia maupun hewan mamalia lain, yang umumnya dialami setelah rnengkonsumsi berbagai macam ikan laut tropis yang berasosiasi dengan terumbu karang (de Sylva, 1994; Randall, 1958). Gejala dari CFP antara lain mempengaruhi: sistem gastrointestinal yaitu diare, mual, muntah, dan nyeri perut; sistem syaraf yaitu inversi panas dingin, sakit otot dan sendi, sensasi seperti tertusuk jarum, mati rasa pada bibir dan lidah, gatal-gatal, dan hipotensi (Ahmed & Calvert, 1991 dalam de Sylva, 1994). Ciguatoksin berasal dari jenis-jenis dinoflagellata bentik yaitu Gambierdiscus toxicus, Ostreopsis lenticularis, O siamesis, Prorocentrum lima, P. concavum, P. mexicanum, Amphidinium carterae, dan A. klebsii. Dinoflagellata tersebut tumbuh menempel pada berbagai substrat seperti makroalga, pecahan karang, dan sedimen (Steidinger & Baden, 1984). Widiarti & Nirmala (2008, unpublished) pernah menemukan jenis Prorocentrum spp. menempel pada lamun Enhalus acoroides di perairan Pulau Panggang, Kepulauan Seribu dengan jumlah individu mencapai 355 sel/10 cm2 daun lamun. Randall (1958) menemukan bahwa toksin ciguatera yang diproduksi oleh dinoflagellata bentik, awalnya dikonsumsi oleh ikan-ikan herbivora atau pemakan detritus yang kemudian pada akhirnya dikonsumsi oleh ikan karnivora (de Sylva, 1994). Pada tahun 1991, Ahmed & Calvert juga menyatakan bahwa ikan-ikan yang memakan makroalga yang ditempeli dinoflagellata tersebut akan menjadi toksik (lihat de Sylva, 1994). Toksin torsebut akan terakumulasi dan terbawa melalui rantai makanan, sehingga ikan predator terbesar dapat menjadi tempat penumpukan toksin terbanyak. Peningkatan kasus CFP di satu lokasi umumnya dapat disebabkan oleh: peningkatan suhu permukaan air laut akibat pemanasan global; eutrofikasi oleh aktivitas rnanusia, perubahan antropogenik seperti pengurukan, pengerukan, dan pengrusakan terumbu karang (de Sylva, 1994). Kerusakan terumbu karang, yang sebagian besar disebabkan oleh aktivitas manusia (seperti penambatan kapal, konstruksi, dan pembuangan limbah), berpotensi untuk menyediakan tempat tumbuh baru bagi bermacam makroalga yang merupakan substrat yeng disukai oleh dinoflagellata penyebab CFF (de Sylva, 1994). lndonesia terdiri dari ribuan pulau-pulau kecil yang dikelilingi oleh terumbu karang, seperti halnya Pulau Belitung. Deerah tersebut telah lama menerima tekanan dari aktivitas manusia, terutama akibat kegiatan pertambangan dan pariwisata, yang secara langsung dapat menyebabkan penurunan kondisi terumbu karang di beberapa wilayah perairan. Menurut Suharsono (1993), persentase tutupan karang batu di perairan sebelah barat Pulau Belitung adalah relatif rendah dengan kisaran antara 13 54%. Hal tersebut menyebabkan timbulnya dugaan bahwa dengan semakin menurunnya kondisi terumbu karang di perairan Pulau Belitung, maka akan semakin besar kemungkinan ditemukannya dinoflagellata penyebab CFP di perairan tersebut. Perairan Pulau Belitung merupakan wilayah perikanan yang potensial. Potensi sumber daya perikanan laut dengan produksi 5.858 ton per tahun, secara konsisten menjadi penyumbang ekonomi daerah Belitung (Kantor Statistik Kabupaten Belitung, 2001). Menurut Adrim dan Yahmantoro (1993), sedikitnya terdapat 29 jenis ikan konsumsi/ pangan yang mendiami perairan karang di Pulau Belitung, yang didominasi oleh kelompok Lutjanidae, Caesionidae, dan Labridae. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui jenis dan jumlah dinoflagellata bentik penyebab CFP di perairan Belitung.
18

Widiarti

Apabila ditemukan jenis yang berpotensi toksik dalam jumlah melimpah (blooming), maka ikan-ikan karang di wilayah tersebut perlu dimonitor dan diwaspadai apakah aman untuk dikonsumsi atau tidak. II. METODE PENELITIAN 2.1. Lokasi Pengambilan Sampel Lokasi pengambilan sampel makroalga adalah di perairan Pulau Belitung yaitu di Pulau Buyut, Pulau Sebongkok, Tanjung Kelayang Pulau Belitung, dan Pulau Keran (Gambar 1). Waktu pengambilan sampel adalah dari tanggal 5 hingga 8 April 2010, mulai dari pukul 9.00 15.00 WIB.

Gambar 1. Lokasi pengambilan sampel makroalga Keterangan : Pulau Buyut Pulau Sebongkok Tanjung Kelayang Pulau Keran

19

Dinoflagellata Penyebab Ciguatera Fish Poisoning (CFP) di Perairan Pulau Belitung, Bangka Belitung

2.2. Pengambilan Sampel dan Observasi Makroalga Sargassum spp. diambil secara acak di daerah rataan terumbu karang pada setiap lokasi pengambilan sampel. Thallus makroalga dipotong di dalam air dengan pisau, dan dimasukkan ke dalam botol plastik yang sudah berisi air laut. Selanjutnya makroalga dan air laut dalam botol plastik dikocok dengan kuat (Fukuyo, 1981; McCaffrey et.al., 1990) lalu diawetkan dalam 5% formalin/air laut. Air laut yang sudah dipisahkan dari makroalga selanjutnya disaring melalui saringan bertingkat 125 dan 20 m (Heil et.al., 1998). Saringan atas, dengan ukuran pori 125 m, digunakan untuk menyaring detritus rnaupun butiran pasir. Residu yang tertahan di dalam saringan bawah, kernudian dicuci dengan air laut yang sudah disaring. Selanjutnya 1 ml suspensi diteteskan dalam Sedgewick rafter cell, untuk kemudian diamati di bawah mikroskop cahaya dengan perbesaran 10 x 10. Kepadatan sel dinoflagellata dinyatakan dalam jumlah sel/ liter makroalga. 2.3. Pengukuran Parameter Lingkungan Parameter lingkungan juga diukur selama pengambilan sampel dilakukan, yaitu terhadap salinitas dengan refraktometer, dan suhu permukaan dengan thermometer. Pengukuran parameter lingkungan diperlukan sebagai data tambahan kondisi perairan di lokasi pengambilan sampel secara keseluruhan. III. HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian ini dirancang untuk meminimalisasi keragaman makroalga, dalam hal ini sebagai substrat tempat dinoflagellata bentik menempel, yaitu dengan membatasi jenis makroalga hanya pada Sargassum spp. Hal tersebut dikarenakan jenis makroalga tersebut ditemukan dalam jumlah yang lebih melimpah dibandingkan jenis lain pada rataan terumbu. Selain itu, Sargassum spp. merupakan makroalga yang rimbun dan memiliki banyak celah, dimana dinoflagellata bentik umumnya ditemukan berasosiasi dengan makroalga berdaun atau berfilamen, terutama pada jenis-jenis yang memiliki struktur dengan banyak celah (Bomber et.al., 1985; Steidinger & Baden, 1994). Widiarti (2022) telah menemukan dinoflagellata bentik yang menempel pada makroalga dari kelompok Phaeophyta, terutama Sargassum spp., di perairan Pulau Penjaliran Barat, Taman Nasional Kepulauan Seribu. Sepuluh jenis dinoflagellata telah ditemukan dalam penelitian ini, yaitu Ceratium biceps, C. furca, Gambierdiscus toxicus, Ostreopsis lenticularis, O. ovata, Prorocentrum concavum, P. emarginatum, P. maculosum, P. lima, dan Sinophysis microcephalus. Dari sepuluh jenis dinoflagellata tersebut, dua diantaranya merupakan jenis planktonik, yaitu Ceratium biceps dan C. furca. Kedua jenis tersebut kemungkinan sedang mengalami ledakan populasi (blooming) di perairan, atau tenggelam (sinking) dari permukaan ke kolom air di bawahnya dan kemudian menempel pada makroalga. Kelimpahan dinoflagellata tertinggi terdapat di rataan terumbu karang perairan Tanjung Kelayang, Pulau Belitung, dengan jumlah individu mencapai 11.374 sel/liter makroalga (Tabel 1). Hal tersebut dikarenakan daerah Tanjung Kelayang merupakan daerah berpenduduk dan daerah wisata, sehingga aktivitas manusia yang dapat menyebabkan pengkayaan nutrisi perairan atau perusakan terumbu karang lebih tinggi dibandingkan dengan ketiga lokasi lainnya. Sebaliknya, justru tidak ditemukan dinoflagellata pada sampel makroalga yang diambil di perairan Pulau Sebongkok. Hal tersebut dapat disebabkan oleh kondisi perairan Pulau Sebongkok yang relatif lebih dekat
20

Widiarti

dengan lokasi pelabuhan dan pemukiman padat penduduk di Pulau Belitung, sehingga perairan di daerah tersebut menerima beban pencemaran yang lebih tinggi dibandingkan ketiga lokasi penelitian lainnya. Pada Pulau Sebongkok hanya ditemukan jenis-jenis mikroalga dari kelompok diatom yaitu Asterionella japonica, Gyrosigma spp., Isthmia capensis, Nitzschia spp., dan kelompok cyanophyta yaitu Trichodesmium spp. (Tabel 2). Tabel 1. Kelimpahan, dominansi, dan keanekaragaman jenis dinoflagellata di Pulau Buyut, Pulau Sebongkok, Tanjung Kelayang dan Pulau Keran
Pulau Buyut K 0 0 0 0 3997 1665 333 333 667 0 D 0 0 0 0 57 23 5 5 10 0 Pulau Sebongkok K 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 D 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 Tanjung Kelayang K 0 7684 671 1007 0 333 1678 0 0 0 D 0 68 6 9 0 3 15 0 0 0 Pulau Keran K 333 0 667 667 334 0 0 0 0 333 D 14 0 29 29 14 0 0 0 0 14

Ceratium biceps Ceratium furca Gambierdiscus toxicus Prorocentrum lima Ostreopsis lenticularis Ostreopsis ovate Prorocentrum concavum Prorocentrum emarginatum Prorocentrum maculosum Sinophysis microcephalus Jumlah total Keanekaragaman Jenis (H')

6995 100 1.1755

11373 100 1.0324

2334 100 1.5498

Keterangan : K = Kelimpahan (sel/liter makroalga) D = Dominansi (%)

Perhitungan terhadap indeks keanekaragaman jenis di setiap stasiun menunjukkan bahwa keanekaragaman terendah terdapat di Tanjung Kelayang, yang disebabkan oleh adanya jenis yang mendominasi perairan hingga 68% yaitu Ceratium furca. Ceratium furca ditemukan dalam jumlah melimpah yaitu sebanyak 7684 sel/liter makroalga. Ceratium furca merupakan jenis dinoflagellata yang banyak ditemukan di perairan pantai atau perairan muara yang masih mendapat pengaruh air tawar dari daratan dan sungai. Pada perairan tambak dengan salinitas 8 , C. furca juga masih dapat ditemukan dalam jumlah yang melimpah (Widiarti & Soedjiarti, 2010). Keanekaragaman tertinggi terdapat di Pulau Keran, dimana tidak ada jenis dinoflagellata yang mendominasi perairan. Prorocentrum lima dan Gambierdiscus tooxicus dengan jumlah individu mencapai 667 sel/liter makroalga, ditemukan masing-masing sebanyak 29% dari keseluruhan jenis dinoflagellata. Dari delapan jenis dinoflagellata bentik, empat jenis yang berpotensi toksik dan kemungkinan berkontribusi terhadap ciguatera telah diidentifikasi dalam penelitian ini, yaitu Gambierdiscus toxicus, Ostreopsis lenticularis, Prorocentrum concavum, dan P. lima. Jumlah jenis toksik lebih banyak ditemukan di perairan Tanjung Kelayang dan Pulau Keran, yaitu masing-masing tiga jenis. Gambierdiscus toxicus dan Prorocentrum lima bahkan hanya ditemukan di kedua perairan tersebut (Tabel 3).

21

Dinoflagellata Penyebab Ciguatera Fish Poisoning (CFP) di Perairan Pulau Belitung, Bangka Belitung

Tabel 2. Jenis-jenis mikroalga bentik lainnya di empat lokasi penelitian


No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 Nama Spesies Pulau Buyut Pulau Sebongkok ++ + + + ++ Tanjung Kelayang ++ + + + + + ++ Pulau Keran + + ++ + + + + ++ + ++ + ++ + + + +

Acnanthes sp. Amphora laevis + Asterionella japonica ++ Bacteriastrum spp. + Campylodiscus sp. + Coscinodiscus spp. Diploneis spp. + Dyatoma hyaline Grammatophora marina + Gyrosigma spp. + Isthmia capensis + Navicula spp. Nitzschia spp. + Odontella sp. Pleurosigma spp. + Pseudonitzschia sp. Surirella reniformis Triceratium sp. Trichodesmium spp. ++ Keterangan : - tidak ada + ada ++ melimpah (> 5000 individu/liter makroalga)

Tabel 3. Distribusi jenis dinoflagellata di lokasi pengambilan sampel perairan Belitung


Nama Spesies Ceratium biceps Ceratium furca Gambierdiscus toxicus* Prorocentrum lima* Ostreopsis lenticularis* Ostreopsis ovate Prorocentrum concavum* Prorocentrum emarginatum Prorocentrum maculosum Sinophysis microcephalus Pulau Buyut Pulau Sebongkok Tanjung Kelayang + + + + + + + + + + Pulau Keran + + + +

Keterangan : * jenis yang berpotensi menyebabkan CFP

Lokasi perairan Tanjung Kelayang dan Pulau Keran terletak di sebelah utara Pulau Belitung. Berdasarkan hal tersebut, nampaknya jenis dinoflagellata toksik lebih menyukai perairan sebelah utara Pulau Belitung yang lebih terbuka akibat langsung berbatasan dengan perairan Laut Cina Selatan. Sebaliknya, sisi sebelah barat Pulau Belitung, dimana terdapat Pulau Sebongkok dan Pulau Buyut, kondisi perairannya lebih tertutup. Berdasarkan data parameter lingkungan di setiap lokasi pengambilan sampel (Tabel 4), dapat dilihat bahwa suhu perairan Tanjung Kelayang dan Pulau Keran lebih rendah dibandingkan kedua lokasi lainnya. Hal ini menunjukkan adanya pengaruh perairan laut yang lebih dominan dibanding perairan pantai yang umumnya lebih hangat.

22

Widiarti

Tabel 4. Data pengukuran parameter lingkungan di keempat lokasi


No. 1. 2. 3. 4. Lokasi Pulau Buyut Pulau Sebongkok Tanjung Kelayang Pulau Keran Temperatur (C) 33 31.7 30.7 30.6 Salinitas () 31 29 30 31.3

IV. KESIMPULAN Sebanyak empat jenis dari dinoflagellata toksik yang berpotensi menyebabkan Ciguatera Fish Poisoning telah ditemukan di perairan Pulau Belitung. Jenis-jenis tersebut adalah Gambierdiscus toxicus, Ostreopsis lenticularis, Prorocentrum concavum, dan P. lima. Jumlah jenis dinoflagellata lebih banyak dijumpai di dua lokasi penelitian yang terletak di sebelah utara Pulau Belitung, yaitu di perairan Tanjung Kelayang dan Pulau Keran. Oleh karena itu, perlu adanya upaya pelestarian dan perbaikan kondisi terumbu karang di kedua perairan tersebut, mengingat aktivitas pengrusakan terumbu karang dapat memicu terjadinya kasus CFP. Ikan-ikan karang di daerah tersebut juga perlu dimonitor terutama pada saat terjadi ledakan populasi/ blooming dari keempat jenis yang berpotensi toksik tersebut. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada Direktorat Perguruan Tinggi Negeri (DIKTI) Departemen Pendidikan Nasional sebagai pihak yang mendanai kegiatan ini dan juga kepada Pusat Penelitian Oseanografi (P2O) LIPI sebagai pelaksana kegiatan. Terima kasih juga disampaikan kepada para instruktur dari P2O-LIPI, khususnya Prof. Sulistijo, atas dukungan dan bimbingannya selama di lapangan; kapten kapal beserta semua awak KR. Baruna Jaya VIII atas segenap bantuan yang telah diberikan; serta Yunita A. Noya, M.Si. dan Tri Cita Hutama, S.Si. atas bantuannya selama pengambilan sampel dan pengukuran parameter lingkungan. DAFTAR PUSTAKA Adrim, M. dan Yahmantoro. 1993. Komposisi jenis, sebaran, dan kelimpahan ikan-ikan perairan karang di perairan Selat Gelasa. Dalam: Praseno, D.P., Soeharsono, M. Adrim, Mudjiono, I. Suryana, Subardi, dan Ibrahim (eds.). Wisata Bahari Pulau Belitung. P3O-LIPI, Jakarta. Bomber, J.W., D.R. Norris, and L.E. Mitchell. 1985. Benthic dinoflagellates associated with ciguatera from the Florida Keys. II. Temporal, spatial and substrate heterogeneity of Prorocentrum lima. Dalam: Anderson, D.M., A.W. White & D.G. Baden (eds.). 1985. Toxic dinoflagellates. Elsevier Science Publishers Co., New York: 45-50. De Sylva, D.P. 1994. Distribution and ecology of ciguatera fish poisoning in Florida, with emphasis on the Florida Keys. Bulletin of Marine Science, 54(3):944954. Fukuyo, Y. 1981. Taxonomical study on benthic dinoflagellates collected in coral reefs. Bulletin of the Japanese Society of Scientific Fisheries, 47(8):967-978.

23

Dinoflagellata Penyebab Ciguatera Fish Poisoning (CFP) di Perairan Pulau Belitung, Bangka Belitung

Heil, C.A., P. Bird & W.C. Dennison. 1998. Macralgal habitat preference of Ciguatera dinoflagellates at Heron Island, a coral cay in the southeastern Great Barrier Reef, Australia. Dalam: Reguera, B., J. Blanco, M.L. Fernndez & T. Wyatt. 1998. Harmful Algae. IOC-UNESCO, Vigo: 52-53. Kantor Statistik Kabupaten Belitung. 2001. Belitung Dalam Angka. Kantor Statistik Kabupaten Belitung. McCaffrey, E.J., M.M.K. Shimizu, P.J. Scheuer & J.T. Miyahara. 1990. Seasonal abundance and toxicity of Gambierdiscus toxicus Adachi et Fukuyo from Oahu, Hawaii. Proceedings of the third International Conference Ciguatera Puerto Rico. Polyscience Publications, Quebec: 145-153. Randall, J.E. 1958. A review on ciguatera, tropical fish poisoning, with a tentative explanation of its cause. Bulletin of marine Science of Gulf and Carribean, 8, 237267. Steidinger, K.A. and D.G. Baden. 1984. Toxic marine Dinoflagellates. In: D.C. Spector (ed.). Dinoflagellates. Academic Press, New York, 201261. Suharsono. 1993. Potensi wisata bahari Pulau Belitung dilihat dari kondisi, profil, dan keragaman karang batu. Dalam : Praseno, D.P., Soeharsono, M. Adrim, Mudjiono, I. Suryana, Subardi, dan Ibrahim (eds.). Wisata Bahari Pulau Belitung. P3O-LIPI, Jakarta. Widiarti, R. 2002. Dinoflagellata epibentik pada makroalga di rataan terumbu Pulau Penjaliran Barat, Teluk Jakarta. Sains Indonesia, 1(7):1-9. Widiarti, R. and A.E. Nirmala. 2008. Benthic microalgae (dinoflagellate) on seagrass at the reef flat of Panggang Island, Seribu Islands, North Jakarta. Dalam: LIPI NAGISA Western Pacific Conference, Jakarta, 27 28 Oktober 2008 (unpublished). Widiarti, R. and T. Soedjiarti. 2010. Studi hubungan kelimpahan plankton dengan warna air tambak di wilayah pertambakan wanamina percontohan, Kelurahan Marunda, Jakarta Utara. Dalam: Prosiding Seminar Nasional Biodiversitas dan Bioteknologi Sumberdaya Akuatik. Fakultas Biologi, Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto.

24

Ismi

PERKEMBANGAN PEMBENIHAN IKAN LAUT DI BALI DEVELOPMENT OF MARINE FISH HATCHERIES IN BALI Suko Ismi Balai Besar Riset Perikanan Budidaya LautGondol,Bali PO Box 140 Singaraja 81101 Bali E-mail : sukoismi@yahoo.com Abstract Marine fish hatchery technology has been successfully developed by Research Institute for Mariculture, Gondol, Bali. The first technology was successfully developed a milk fish hatchery, and then followed by the seeding several species of grouper, snapper, golden trevally, kobia and several marine ornamental fishes. Fish hatchery technology has been applied by the local community, thus there are many marine fish hatcheries in Bali. The purpose of this study was to determine the development of marine fish hatcheries in Bali, the pattern of business and market potential. The field survey carried out by using GPS to determine the position of the seeding of the data obtained there are about 364 hatcheries from small businesses to large scale. Keywords: Marine fish, hatcheries, development Abstrak Teknologi pembenihan ikan laut telah berhasil dikembangkan oleh Balai Besar Riset Perikanan Budidaya LautGondol,Bali. Teknologi pertama yang berhasil dikembangkan adalah pembenihan ikan bandeng, kemudian disusul oleh pembenihan beberapa jenis ikan kerapu, kakap, kuwe, kobia dan beberapa jenis ikan hias laut. Teknologi pembenihan ikan-ikan tersebut telah diaplikasikan oleh masyarakat hingga saat ini terdapat banyak pembenihan ikan laut di Bali. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perkembangan pembenihan ikan laut yang ada di Bali saat ini, pola usaha dan potensi pasar. Survei lapangan dilakukan dengan menggunakan GPS untuk mengetahui posisi dari pembenihan dari data yang diperoleh terdapat sekitar 364 hatchery dengan skala usaha kecil hingga besar. Kata Kunci: Ikan laut, pembenihan, perkembangan I. PENDAHULUAN

Teknologi pembenihan ikan laut telah berhasil dikembangkan oleh Balai Besar Riset Perikanan Budidaya LautGondol,Bali. Teknologi pertama yang berhasil dikembangkan adalah pembenihan ikan bandeng (Chanos-chanos, Forskal) dan mulai diaplikasikan oleh masyarakat pada tahun 1992. Pada saat itu terjadi perubahan profesi dari nelayan dan pencari ikan hias menjadi pembenih ikan bandeng (Prijono, 1990; Cholik et al., 1998; Hanafi, 2006) Usaha pembenihan ikan bandeng mencapai puncaknya pada tahun 1997-2000,dan terus berkembang hingga saat ini, penyebabnya adalah meningkatnya permintaan benih bandeng (nener) dari dalam ( daerah-daerah seluruh Indonesia) dan luar negeri (Filipina, Singapore, Taiwan dan Jepang). Pembenihan ikan laut yang lainnya baru berkembang pada tahun 2000 hingga sekarang, ikan tersebut adalah beberapa jenis kerapu seperti kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus), kerapu bebek (Cromileptes altivelis), kerapu sunu (Plectropomus leopardus), kerapu lumpur Epinephelus suilus) dan beberapa jenis ikan kakap, kuwe, kobia dan beberapa jenis ikan hias laut (Ismi, 2006). Saat ini pembenihan telah banyak berkembang di daerah pesisir pantai utara Bali, khususnya di Kecamatan Gerokgak Kabupaten Buleleng sehingga merupakan salah satu

25

Perkembangan Pembenihan Ikan Laut di Bali

sentra pembenihan ikan laut di Indonesia. Usaha pembenihan berskala kecil hingga besar, tumbuh beberapa usaha yang lain sebagai pendukung usaha pembenihan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perkembangan pembenihan ikan laut yang ada di Bali saat ini, pola usaha dan potensi pasar. II. METODA PENELITIAN Penelitian dilakukan pada bulan Desember tahun 2008, data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan sekunder. Data primer diperoleh dari survey lapangan langsung dan untuk mengetahui posisi pembenihan dengan bantuan GPS. Sedangkan data skunder diperoleh dari instansi terkait yaitu Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut Gondol, Dinas Perikanan Kabupaten Buleleng dan Karantina Ikan Bandara Ngurah Rai Denpasar. Data dan informasi yang diperoleh dianalisis secara diskriptif. III. HASIL DAN PEMBAHASAN Dari hasil survey jumlah pembenihan ikan laut di Bali, bisa dilihat pada Tabel 1. pembenihan ikan laut di Bali telah berkembang dengan pesat terutama di Kecamatan Gerokgak Kabupaten Buleleng Tabel 1. Jumlah pemilik pembenihan ikan laut yang ada di Bali. Jenis hatchery Bandeng Kerapu dll Jumlah
Volume tangki induk : 100 m Kepadatan induk/tangki : 75 ekor
3

Jumlah hatchery Hatchery lengkap 324 40 364 44 3 47

Tangki induk 130 7 137

Hatchery dibagi dalam 2 model yaitu hatchery lengkap yaitu usaha pembenihan dari pemeliharaan larva hingga pemeliharaan induk dan hatchery tidak lengkap yaitu pembenihan yang hanya memelihara larva saja tidak memelihara induk, kebutuhan telur dibeli dari hatchery lengkap. Jumlah pemilik hatchery /pembenihan 360 orang tersebar disepanjang 35 km di tepi pantai di Kecamatan Gerokgak dan 4 buah hatchery di kabupaten lain yaitu Negara 2 buah dan Klungkung 2 buah, jumlah tangki larva masing-masing pemilik bervariasi antara 10 bh hingga 400 buah. Untuk mendukung pemeliharaan larva diperlukan tangki untuk kultur plankton yang merupakan pakan alami larva yaitu Nannochloropsis sp. dan rotifer. Jumlah perkiraan tangki larva seperti pada Tabel 2. Tabel 2. Jumlah tangki larva bandeng dan kerapu. Bandeng Kerapu dan lain-lain Jumlah Rasio Lavae : Rotifer : Nannochloropsis 5.015 1.722 6.737 1,7 : 1 : 2,9

Volume tangki = 10 m3 Rasio tangki larva, rotifer dan Nannochloropsis hanya berlaku untuk pembenihan bandeng.

26

Ismi

Pembenihan yang terbanyak adalah pembenihan bandeng yang semuanya terletak di Kecamatan Gerokgak tersebar di delapan desa, peta kecamatan Gerokgak pada Gambar 1. Perkiraan perbandingan jumlah masing-masing desa dapat dilihat pada Gambar 2. Dan contoh penyebaran pembenihan di salah satu dusun yaitu Gondol dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 1. Peta Kecamatan Gerokgak Kabupaten Buleleng, Bali


5% 18% 5% 12%
Pemuteran Musi Patas Banyupoh Sanggalangit Br ombong

3% 1%

27%

29%
Penyabangan Gerokgak

Gambar 2. Perbandingan jumlah pembenihan ikan pada masing-masing desa di Kecamatan Gerokgak

Gambar 3. Contoh penyebaran pembenihan di dusun Gondol Desa Penyabangan

27

Perkembangan Pembenihan Ikan Laut di Bali

Jumlah pembenihan bandeng terus meningkat dengan cepat, dan peningkatan jumlah tangki larva dapat dilihat pada Gambar 4. Dilihat dari perkembangan jumlah bak larva dari tahun 1995 hingga tahun 2008 terus bertambah, bahkan hingga sekarang walaupun kenaikannya sudah tidak sebanyak sebelumnya. Kenaikan jumlah tangki tidak selalu diikuti oleh jumlah pemilik karena banyak pemilik yang terus mengadakan penambahan jumlah tangki pembenihan. Salah satu perkembangan yang mudah dihitung adalah jumlah tangki larva, walaupun penambahan tangki larva juga diikuti dengan penambahan sarana yang lain seperti tangki pakan alami untuk kultur nannochloropsis dan rotifer. Pembenihan bandeng cepat berkembang karena, pemeliharaan larva bandeng hingga siap jual hanya membutuhkan waktu 15-20 hari. Dengan semakin banyaknya pembenihan bandeng maka produksi nener semakin banyak sehingga harga nener menjadi turun, namun pada saat tertentu terutama pada saat ada permintaan ekspor harga akan naik kembali. Mulai Tahun 2003 kenaikan harga nener tidak begitu tinggi walaupun ada permintaan ekspor. Fluktuasi harga nener dapat dilihat pada Gambar 5. Fluktuasi harga nener diikuti oleh harga telur bandeng, jika nener murah maka harga telur juga murah. Flukuasi harga telur berkisar dari Rp. 0,5 hingga Rp. 10 per butir.

6000 Jumlah tangki larva 5000 4000 3000 2000 1000 0 1995 1996 1998 2000 2002 2004 2006 2008 Tahun

Gambar 4. Perkembangan jumlah tangki larva pada pembenihan bandeng.

90 Harga nener bandeng (Rp.) 80 70 60 50 40 30 20 10 0 1995 1997 1999 2001 Tahun 2003 2005 2007 Haga maksium Harga minimum

Gambar 5. Fluktuasi harga nener di Bali dari Tahun 1995 hingga Tahun 2009

28

Ismi

Pembenihan lain yang berkembang adalah pembenihan kerapu yaitu kerapu macan dan kerapu bebek. Pembenihan kakap dikerjakan oleh hatchery tertentu yang memang telah mempunyai jaringan pasar tersendiri. Untuk pembenihan ikan yang lain seperti kobia, kuwe dan ikan hias laut hanya sedikit pembenihan yang mengerjakan dan pada umumnya hanya untuk sambilan saja jika ada permintaan pasar. Benih kerapu macan siap jual ukuran 2,5 cm-3,0 cm memerlukan waktu 40-45 hari sedangkan benih kerapu bebek 3,0 cm memerlukan waktu 50 60 hari (Ismi, 2008). Harga benih kerapu berdasarkan ukuran benih (cm). Harga benih kerapu bebek lebih mahal lebih mahal dari pada kerapu macan. Fluktuasi harga benih dapat dilihat pada Gambar 6.

1500 Harga per cm (Rp) 1000 500 0 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009

Tahun
K. bebek K. m acan

Gambar 6. Fluktasi harga per cm benih kerapu bebek dan kerapu macan di Bali. Untuk nener dari hasil pembenihan langsung dijual ke pengumpul atau langsung ke pengguna di tambak di seluruh Indonesia. Untuk benih kerapu dari ukuran 2,5 cm 3,0 cm pembeli tidak bisa langsung memakai untuk ditebar langsung pada karamba jaring apung. Karena itu untuk kerapu ada usaha lain yaitu pendederan hingga ukuran tertentu sesuai permintaan. Daerah pemasaran : untuk nener dipasarkan ke seluruh Indonesia pengguna adalah petambak bandeng baik yang tradisional, semi intensif maupun yang intensif, daerah yang banyak membutuhkan nener diantaranya Pulau Jawa (Sidoarjo, Gresik, Lamongan, Indramayu, Cirebon, Kerawang Jakarta dan lain-lain), Sulawesi Selatan, Medan, Aceh. Sedangkan ekspor meliputi, Filipina, Singapore, Malaysia, Thailand, Jepang dan lain-lain. Untuk kerapu pemasaran benih untuk pendederan kerapu macan yaitu : Bali, Medan, Aceh, Lamongan, Banyuwangi, sedangkan untuk pembesaran yaitu daerahdaerah budidaya yang umumnya menggunakan karamba jaring apung dan karamba jaring tancap meliputi : Bali, Lombok, Sumbawa, Lampung, Batam, Sulawesi dan lain-lain, untuk ekspor Malaysia, Singapore, Taiwan, Vietnam dan lain-lain. IV. KESIMPULAN Pembenihan yang paling banyak diusahakan oleh masyarakat Bali adalah pembenihan bandeng, disusul oleh pembenihan kerapu macan, kerapu bebek dan kakap putih kemudian baru ikan laut yang lain seperti kuwe dan ikan hias. Pembenihan ikan laut yang telah berkembang dan menjadi skala usaha yang komersial di Bali adalah : bandeng, kerapu macan, kerapu bebek, kakap putih. Usaha pembenihan dibagi dalam 2 model yaitu hatchery lengkap yaitu usaha pembenihan dari pemeliharaan larva hingga pemeliharaan induk dan hatchery tidak

29

Perkembangan Pembenihan Ikan Laut di Bali

lengkap yaitu pembenihan yang hanya memelihara larva saja tidak memelihara induk, kebutuhan telur dibeli dari hatchery lengkap. DAFTAR PUSTAKA Cholik, F., Z.I. Azwar, dan T. Sutarmat. 1998. Berbudidaya nila yang sehat. Prossiding perkembangan terakhir teknologi budidaya pantai untuk mendukung pemulihan ekonomi nasional. Puslitbang Perikanan Jakarta. Hal.:17-22. Hanafi, A. 2007. Peran Balai Basar Riset Perikanan Budidaya Laut dalam Memberikan Pelayanan Publik.Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut, Gondol, Bali. Ismi, S. 2006. Usaha pendederan benih kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus). Media Akuakultur, 1(3):97-10. Ismi, S. 2008. Pendederan benih kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) di tambak merupakan salah satu alternatif usaha perikanan. Prosiding Seminar Nasional Perikanan 2008. Sekolah Tinggi Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan, Jakarta, 4-5 Desember 2008. Prijono, A.1990. Pembenihan Ikan Bandeng di Indonesia. Sub Balai Penelitian Budidaya Pantai. Gondol, Bali.

30

Tresnati

REPRODUCTIVE BIOLOGY OF ELONGATE SURGEON FISH Acanthurus mata Joeharnani Tresnati Faculty of Marine Science and Fisheries, Hasanuddin University. Jl. Perintis Kemerdekaan Km 10, Makassar 90245, Indonesia. Tel.: +62-8124250631; Fax : +62-411-852825; E-mail: jtresnati@yahoo.com
Abstract Elongate surgeonfish, Acanthurus mata is a commercial fish targetting by local fishermen in Makassar Strait , South SulawesiThe study aims to analyze reproductive biology of elongate surgeonfish including ., sex ratio, gonad maturity stage (GS), size at first maturity sexual, and gonad maturity index (GI). The specimens were collected from the fishermen. Total length and body-wet weight were measured for each specimen. Sex ratio was determined for each sampling period and the whole samples. Sex-ratio balance was examinede by using chi-square test to compare two means values. Gonad maturity stage was classified into five stages (immature, early development, developing, mature, and spawning). Size at first maturity sexual was esteemed by using Spearman-Karber method. Gonad maturity indexes were calculated by using the Johnson equation. The study revealed that: (1) the sex ratio of elongate surgeon for female and male fish was equal (1:1) ; (2) Gonad maturity Stage (GS) IV and V were abundant in October when the peak spawning season occurred, (3) size at the first maturity sexual at male and female were 263 mm and 271 mm, respectively , and (4) at the same GS, the Gonad maturity Index (GI) for female fish was bigger than at the male fish. Keywords: elongate surgeon fish, sex-ratio, gonad maturity stage, size at first maturity sexual, gonad maturity index

I. INTRODUCTION Elongate surgeon fish Acanthurus mata are abundant in Makassar Strait, South Sulawesi. Elongate surgeonfish are a white meat fish and morphologically, they are very similar to rabbit fishesThe fish are popular for its delicious taste. This makes their price are expensive enough, which is about one to two dollars/fish.each. The total catch of elongate surgeon fish has increased significantly. Based on data from fish landing port at Paotere, Makassar City, elongate surgeon fish catches were approximately 101,300 tons in 2006 and 157,500 tones in 2007. The catch productions are necessary increase to be monitored, since uncontrollable caught volume could lead to overfishing. Although elongate surgeon fish fishing activities increase continuously in the Makassar Strait waters, yet, little is known about biological aspects of this fish . The biological aspects, particularly reproductive biology, are very important information for fish sustainable use policy development. This study aims to analyze reproductive biology of elongate surgeon fish i.e., sex ratio, gonad maturity stage, size at first maturity sexual, and gonad maturity index. Sex ratio could reflect condition of demographic structure. Sex-ratio balance assures demographic structure stability and success recruitment. Recruitment failure could cause decrease in the fish catch (Sparre et al., 1989). Gonad maturity stage is an important reproductive biology parameter in fish resources management, especially in fish breading. The performance fish genitor could catch in good maturity stage condition by referring to evolution or progress of gonad
31

Reproductive Biology of Elongate Surgeon Fish Acanthurus mata

maturity stage of population in the wild (Tresnati et al., 2003). Low quality of genitor could cause the problem in fish breading. Size at first maturity sexual determined based on the size of which more than fifty percent have already at maturity sexual. Size at first maturity sexual is a very important parameter in fish populations management (Sparre et al., 1989; Najamuddin and Budimawan, 2004). In the fish stocks, assessment is necessary to be sure; that the fish size that captured is the fish that have been spawned minimum one time. The fish size could be determined by mesh size regulation. The mesh size should release the fish that have size smaller than the fish size at first maturity sexual (Sparre et al., 1989). Gonad maturity index is also an important biological parameter. This index describes the condition of gonad development. High gonad maturity index means that important energy portion is allocated to reproductive process. Fish that have a high index value usually have important eggs number (Tresnati, 2002). II. RESEARCH METHOD The specimens were collected from the fishermen fish catch in Makassar Strait since September until November 2009. Total length and wet weight were measured for each specimen. Sex ratio was determined for each sampling period and for a whole samples during this study. Sex-ratio balance was tested by using chi-square test to compare two means values (Scherrer, 1984). Gonad maturity stage classified into five phases, namely: (a) immature, Stage I; (2) early development, Stage II; (3) developing, Stage III; (4) mature, Stage IV, and (5) spawning, Stage V (Tresnati, et al, 2003; Tresnati, 2001). Size at first maturity sexual was the size where 50 percent of fish were mature gonad. Fifty percent of fish mature gonad was estemated by using Spearman-Karber method (Udupa, 1986; Tresnati, 2002). Gonad maturity index (GI) was calculated by using the Johnson equation (Effendie, 1997; Giese and Pearse, 1974), namely: GI = (WG)/WB) x 100% where WG is the gonad wet weight and WB is the fish total wet weight. III. RESULTS AND DISCUSSION 3.1. Sex ratio Total sampling was 162 fish. The male and female ratio was 1:1.04. There was 80 males (49%) and 82 females (51%). Chi-square analysis revealed that male and female ratio was statistically not significantly different (2Cal. 4.83, 2Tab: 9:49). The results did not differ significantly also found in the chi-square tests on samples of fish sex ratio at each monthly sampling results (2Cal.Octocbre: 0.96, 2Cal.Septembre: 2.53; 2Cal.Novembre: 0.07). This result means that biologically the male and female have the same opportunities for the reproductive activities. Elongate surgeon fish have a good balance sex ratio structure when compared to other fish that were found either in the same waters (Tresnati et al., 2003), as well as other waters (Budimawan et al., 2007). 3.2. Gonad maturity stage (GS) Gonad maturity stage obtained were GS I, II, III, IV and V. GS I, at the female, the gonads resembled the yarn that located in the fish abdominal cavity; gonad color was clear with a slippery surface. At the male, the gonads also resembles the yarn, but shorter and the gonad can be seen from the abdominal cavity; the gonad color was also clear. GS 32

Tresnati

II, at the female, gonad size bigger and the color a yellowish; egg has not been seen clearly by eyes. At the males, gonad size getting bigger and more obvious; gonad color milky. GS III, at the female, the gonad is yellow, and the eggs can be seen clearly by eyes. At the male, gonad serrated surface; gonad size is getting larger, and the gonad color milky. GS IV, at the female, the gonads greater, eggs colored was yellow. The eggs separated easily; ovary fill two-thirds the abdominal cavity. At the male, the gonad surface was more jagged; gonad was larger and solid. The gonads color is white. GS V, at the female, gonad was wrinkled, wall became thickness, and residual eggs are remaining near the release. At the male, the back part became flat, and the gonad part near the release still contained sperm. Gonad maturation stage of elongate surgeonfish was similar to the fish gonad development in other species of tropical fish (Tresnati et al., 2003; Budimawan et al., 2007; Sudirman et al., 2004). GS were synchronous between male and female, although the percentage at the same stage at the male and female were different. GS I, at the female it was abundance in October and November; while at the male, it was abundance in October. GS II, at the female, it was abundance in October; meanwhile, at the male fish, it was abundance in November. GS at the male and female, it was abundance in October. GS IV, at the female, it was abundance in October, while at the male, it was abundance in November. GS V, at the male and female, it was more commonly found in October. GS III, IV and V were more abundance at the big size fish for both female and male (Table 1). Table 1. Gonad Maturity Stage (GS) Distribution of Elongate Surgeon Fish Based on Total Length GS Total Length (mm) 148 - 175 176 - 203 204 - 231 232 - 259 260 - 287 288 - 315 316 - 343 344 - 371 (individu) I (individu al fish) M F 1 1 2 2 3 2 3 1 14 1 2 1 5 II (individu al fish) M F 1 5 1 1 8 2 5 4 3 14 III (individu al fish) M F 4 14 6 24 12 9 21 IV (individu al fish) M F 1 12 20 33 8 25 7 1 40 V (individu al fish) M F 1 1 2 2 (individu al fish) 1 2 3 8 8 30 28 80

GS IV and V were abundant in October, thus spawning allegedly took place in October. In October, it begins to rain, which usually massive fish spawning period start fish (Tresnati, 2001; Tuwo and Tresnati, 1995). At the big size fish, post spawning (GS V), gonad maturating process restart for stage III. This process happens commonly at the fish species that have multiple spawning periods in a year (Tresnati and Tuwo, 1995; Tresnati, 2001). The aquatic organisms that undergo full GS cycle are commonly found at the organism that has primitive reproductive system, such as sea cucumbers (Tuwo, 1999; Tuwo and Tresnati, 1995). Various percentage existences of GS and synchronous GS
33

Reproductive Biology of Elongate Surgeon Fish Acanthurus mata

between males and females indicate that elongate surgeonfish can spawn more than once a year. The fish species that have different GS percentage in the same time, it has several spawning in a year (Effendie, 2002). The reproductive patterns like this are commonly observed at the tropical fish species (Jackie et al., 2000; Tresnati et al., 2003; Budimawan, et al., 2007). 3.3. Size at First Maturity Sexual The female of elongate surgeon fish reaches size at first maturity sexual (late GS II or early GS III) at 271 mm of total length, with the range of 266-275 mm of total length. The male reached size at first maturity sexual at 263 mm of total length, with the range of 254-272 mm in total length. It seems that the male mature mature earlier than female. Each fish species have size at first maturity sexual different. Size at first maturity sexual could influence by sex, age, size, and physiological characteristics (Omar, 2005; Tresnati et al., 2003; Najamuddin and Budimawan, 2004). 3.4. Gonad Maturity Index (GI) Evolution or progress of GI was related to GS. At GS I, GI at the female ranged from 0222 to 0750, while at the male ranged from 0064 to 0429. At GS II, GI at the female ranged from 0116 to 0870, while at the male ranged from 0116 to 0487. At GS III, GI at the female ranged from 0461 to 1188, while at the male ranged from 0070 to 0733. At GS IV, GI at the female ranged from 0.544 to 2.036, while at the male ranged from 0285 to 0863. At GS V, at the female ranged from 0.485 to 0.816, while at the male is 0.0581. At the same GS, GI values of the female were larger than at the male (Table 2). This is caused by the different of gonad-wet weight at the male and female at the same total length. The same case are commonly observed at fish species (Effendie, 2002; Tresnati et al., 2003; Yanti et al., 2000; Tresnati, 2001). Table 2. Gonad Maturity Index (GI) of Elongate Surgeon Fish Acanthurus mata at Different GS
Male GI GS I II III IV V Range 0.064-0.429 0.116-0.487 0.070-0.733 0.285-0.863 0.058 Means+Std 0.208+0.110 0.282+0.155 0.355+0.173 0.499+0.129 0.058 (Individual fish) 14 8 24 33 1 80 Range 0.222+0.750 0.116+0.870 0.461+1.188 0.544+2.036 0.485+0.816 Female GI Means+Std 0.453+0.225 0.525+0.223 0.681+0.185 1.162+0.375 0.651+0.234 (Individual fish) 5 14 21 40 2 82

34

Tresnati

IV. CONCLUSION This study revealed that: (1) the sex ratio of elongate surgeon fish was 1:1; (2) GS IV and V were abundance in October, -when the peak spawning season occurs, (3) size at first maturity sexual at male and femalewere 263 mm and 271 mm respectively, and (4) at the same GS, the GI at the female fish was bigger than at the male. REFERENCES Budimawan, A. Mallawa, Musbir, Sudirman, and Najamuddin. 2007. Analysis of Growth, Sex Ratio and Gonad Stage of Indian Mackerel (Rastrellinger kanagurta) from Florest Sea, South Sulawesi. Torani, 17(4):280-285. Effendie, M. I. 1997. Metode Biologi Perikanan, Bagian Perikanan, Bagian I. Yayasan Dwi Sri Institut Pertanian Bogor. Bogor. Effendie, M. I. 2002. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusatama. Yogyakarta. Giese, A. C. & J. S. Pearse. 1974. Reproductive of Marine Invertebrate. Academic Press. New York. Najamuddin dan Budimawan. 2004. Pendugaan Ukuran Pertama Kali Matang Gonad Ikan Layang Decapterus russelli dalam Menunjang Perikanan yang Bertanggung Jawab di Perairan Selat Makassar. Torani, 14(3):133-140. Omar, S. A. B. 2005. Modul Praktikum Biologi Perikanan. Jurusan Perikanan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin. Makassar. 168 hal. Scherrer, B. 1984. Biostatique. Gaeten Morin Editeur, Quibec. Sparre, P. E. Ursin, S.C. Venema. 1989. Introduction to Tropical Fish Stock Assessment. Part 1 Manual. FAO, Rome. Sudirman, M. Kurnia, M. S. Baskoro, dan A. Purbayanto. 2004. Distribusi Frekuensi dan TKG Ikan Teri Stelophorus insularis yang Tertangkap pada Bagan Rambo, Kaitannya dengan Penangkapan Ikan Bertanggungjawab. Torani, 14(2):96-103. Tresnati, J. 2001. Kajian Aspek Biologi Ikan Sebelah Langkau Psettodes erumei di Perairan Kepulauan Spermonde Sulawesi Selatan. Disertasi Doktor, Program Pascasarjana, Universitas Hasanuddin. Makassar Tresnati, J. 2002. Analisis Awal Kematangan Gonad Fekunditas dan Potensi Reproduksi Ikan Sebelah Psettodes erumei. Torani, 12(1):15-22. Tresnati, J., Suwarni dan A. R. Galib. 2003. Biologi Reproduksi Ikan Kuniran Upeneus moluccensiis Bleeker. Torani, 13(3):135-143. Tresnati, J. dan A. Tuwo, 1995. Aspek Biologi Ikan Sebelah Psettodes erumei di Perairan Pantai Pulau Salemo, Kepulauan Spermonde, Sulawesi Selatan. Prosiding Seminar Kelautan Nasional. BPPT. Jakarta. Tuwo, A. 1999. Reproductive Cycle of Holothurian Holothuria scabra in Saugi Island, Spermonde Archipelago, South Sulawesi, Indonesia. SPC Beche-de-Mer Information Bulletin, 11:9-12. Tuwo, A. dan J. Tresnati, 1995. Reproductive Mode of the Holothurian Holothuria forskali (Aspidochirote) and Pawsonia saxicola (Dendrochirote). Proceeding International Seminar on the Sea and Its Environment, Torani, Special Issue (8): 105-112. Yanti, A. F. J. Resnati, M. A. Dahlan, Suwarni. 2000. Biologi Reproduksi Ikan Baronang Siganus guttatus. Torani, 10(2):75-78.

35

Identifikasi Sistem Insentif Pengelolaan Sumberdaya di Laguna Segara Anakan

IDENTIFIKASI SISTEM INSENTIF PENGELOLAAN SUMBERDAYA DI LAGUNA SEGARA ANAKAN IDENTIFICATION OF INCENTIVE SYSTEM OF RESOURCE MANAGEMENT IN SEGARA ANAKAN
1

Siti Hajar Suryawati1, Endriatmo Soetarto2, Luky Adrianto3, dan Agus Heri Purnomo4 Mahasiswa pada Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Institut
2

Pertanian Bogor, Bogor; E-Mail: siti_suryawati@yahoo.com Fakultas Ekologi Manusia, IPB; 3Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB
4

Badan Litbang Kelautan dan Perikanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan

Abstract Several research activities indicated that environmental degradation in the Segara Anakan Lagoon was inevitable. Therefore, decelerating the degradation of the lagoon and preparing the community are the realistic appropriate responses. Some policies are available including development of alternative livelihood, establishment of resource management infrastructure and facilities, and environment rehabilitation programs. There are two important criteria for choosing the above program i.e., the effectiveness and efficiency. Tis research was conducted to asses costs pertinent to various policy options based on a survey method, which data were collected from selected key respondents representing clusters of community dwelling within the lagoon. A number of questions were put forward to disclose information regarding the possibility to introduce various kinds of incentives, i.e., property right incentive, livelihood incentive, market incentive, and fiscal incentive. In general, the research showed that indirect incentives such as lagoon dredging, crab seedling or salary for those who were willing to plant mangrove in brackish ponds represented good options from the point of view of alternative livelihood development as well as the effectiveness of environmental management. Keywords: lagoon, Segara Anakan, livelihood, incentive Abstrak Berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa degradasi lingkungan di Laguna Segara Anakan merupakan hal yang tidak dapat dihentikan. Untuk itu, tindakan relevan yang realistis adalah memperlambat laju degradasi dan mempersiapkan komunitas manusia untuk menghadapi dampak negatif dari proses degradasi. Berbagai kebijakan untuk memaksimalkan penurunan laju degradasi dan meminimalisir dampak degradasi terhadap kehidupan sosial-ekonomi masayarakat adalah pengembangan pencaharian alternatif, pembangunan prasarana, dan program rehabilitasi lingkungan. Kriteria utama untuk pemilihan program ini adalah efektivitas untuk mencapai target dan efisiensinya. Penelitian ini bertujuan untuk melakukan pendugaan terhadap pembiayaan terkait dengan berbagai pilihan program dan kebijakan dengan pendekatan survei yang melibatkan responden kunci yang mewakili klaster masyarakat yang mendiami laguna tersebut. Berbagai pertanyaan untuk menggali informasi tentang peluang penggunaan insentif hak kepemilikan, insentif mata pencaharian, insentif pasar, dan isentif fiskal diajukan kepada para responden kunci. Hasil penelitian menunjukkan bahwa insentif tidak langsung seperti pengerukan laguna, pemberian upah atau bibit kepiting untuk masyarakat yang bersedia menanam mangrove di areal tambaknya merupakan pilihan terbaik dari sudut pandang pengembangan alternatif mata pencaharian maupun efektivitas pengelolaan lingkungan. Kata Kunci: laguna, Segara Anakan, mata pencaharian, insentif

36

Suryawati et al.

I. PENDAHULUAN Kawasan Segara Anakan merupakan ekosistem estuari yang terdiri dari beberapa ekosistem yang saling berhubungan erat. Ekosistem ini meliputi wilayah perairan terbuka, tanah timbul, rawa air asin dan hutan mangrove yang memberikan tempat dan habitat bagi kehidupan berbagai flora dan fauna yang sangat berharga. Laguna Segara Anakan terbukti memainkan peranan yang sangat penting dalam produktivitas perairan pantai selatan Pulau Jawa. Laguna ini telah menyumbang produksi perikanan pantai lebih dari 62 milyar rupiah dalam satu tahun dan akan semakin meningkat seiring dengan makin berfungsinya ekosistem Segara Anakan. Sumberdaya hayati di dalam laguna mampu menopang kehidupan masyarakat setempat berupa hasil perikanan payau. Selain itu hutan mangrove di dalamnya telah memberi habitat dan tempat bertengger dan bertelur bagi sejumlah burung yang melakukan pergerakan dan perpindahan. Estuari Segara Anakan terbentuk sebagai akibat aliran beberapa sungai besar, yang membawa pasokan air secara melimpah ke kawasan tersebut. Limpasan air dari sungai-sungai ini dengan kondisi upland yang sudah memperihatinkan menyebabkan tingginya tingkat erosi pada air sungai tersebut. Kelanjutan dari masalah ini menyebabkan secara langsung menyebabkan adanya angkutan sedimen. Sebagian sedimen yang dibawa aliran air sungai akan tersuspensi pada dasar perairan yang kemudian terakumulasi menjadi endapan. Akibat adanya endapan dapat menyebabkan pendangkalan pada laguna, menyempitnya badan sungai dan luasnya perairan serta adanya tanah timbul. White et al. (1995) melaporkan bahwa kecepatan pengangkutan sedimen dari Sungai Citanduy mencapai 5 juta m3/tahun sedangkan dari sungai Cikonde serta sungai kecil lainnya mencapai 770.000 m3/tahun. Dengan kecepatan angkutan sedimen dari Cikonde sebesar 770.000 m3/tahun, terjadi laju pengendapan sebesar 260.000 m3/tahun. Proses sedimentasi dari sungai-sungai tersebut, diperkirakan jumlah sedimen yang mengendap di perairan Segara Anakan adalah sebesar 1 juta m3/tahun (ECI, 1997 dalam Susanti, 2006). Oleh karena itu, luas perairan Segara Anakan terus mengalami penyusutan dengan laju yang sangat tinggi dari tahun ke tahun (Gambar 1). Dengan tingginya laju pengendapan tersebut, Atmawidjaja (1995) bahkan memperkirakan bahwa pada tahun 2015 Laguna Segara Anakan akan berubah bentuknya menjadi daratan yang ditumbuhi berbagai tumbuhan bakau. Tingkat sedimentasi yang tinggi di kawasan Segara Anakan sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan tersebut, karena sebagian besar penduduk di kawasan tersebut khususnya kecamatan Kampung Laut sangat menggantungkan hidupnya dengan beraktivitas di kawasan Segara Anakan. Masalah yang ditemui yaitu dengan adanya sedimentasi menjadikan jumlah tangkapan ikan masyarakat kecamatan Kampung Laut menjadi berkurang karena luas permukaan perairan kawasan Segara Anakan yang semakin menyempit. Hal tersebut secara langsung memukul tingkat pendapatan mereka yang kemudian berdampak pada penurunan kesejahteraan. Kondisi sosial masyarakat merupakan suatu penghambat bagi laju pertumbuhan pengembangan Kawasan Segara Anakan. Hal tersebut dapat dilihat dengan tingginya pertumbuhan penduduk, rendahnya kesadaran masyarakat dan tingkat pendidikan serta pengetahuan tentang pelestarian lingkungan. Kondisi sosial tersebut berakibat pada permasalahan kemiskinan pada penduduk, sehingga pemanfaatan sumberdaya yang ada dieksploitasi secara berlebihan tanpa memperhitungkan keberlanjutannya.

37

Identifikasi Sistem Insentif Pengelolaan Sumberdaya di Laguna Segara Anakan

Gambar 1. Pengurangan Luas Laguna Segara Anakan


Sumber : Proyek induk pengembangan wilayah Sungai Citanduy, Cibulan, Ditjen Pengairan, Departemen Kimpraswil *Sumber : Badan Pengelola Kawasan Konsentrasi Segara Anakan berdasarkan data Landsat type TM hasil interpretasi citra satelit

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi sistem insentif yang perlu diterapkan, dengan mengangkat potensi yang ada di kecamatan Kampung Laut untuk kemudian ditarik kesimpulan tentang jenis mata pencaharian alternatif sesuai dengan karakteristik tiap desa di Kecamatan Kampung Laut guna memperbaiki tingkat kesejahteraan masyarakatnya dan keberlanjutan ekologi di kawasan Segara Anakan. II. METODE PENELITIAN 2.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian dipilih secara sengaja, yaitu pada komunitas Kampung Laut di kawasan Segara Anakan, Kabupaten Cilacap, Propinsi Jawa Tengah. Ada empat buah desa yang
berada di laguna, yaitu Desa Ujungalang, Desa Ujunggagak, Desa Panikel dan Desa Klaces. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April - Mei 2010.

2.2. Jenis dan Sumber Data Data yang dikumpulkan berupa data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang bersumber langsung dari masyarakat sekitar laguna Segara Anakan melalui teknik wawancara terstruktur (menggunakan kuesioner), sedangkan data sekunder adalah data yang diperoleh dari berbagai sumber, seperti hasil penelitian, dan informasi dari lembaga terkait seperti Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Cilacap dan Kantor Pengelola Sumberdaya Kawasan Segara Anakan. 2.3. Metode Pengumpulan dan Analisis Data Penelitian ini merupakan kombinasi metode survei dan studi kasus, yang bertujuan untuk mengumpulkan data dari sejumlah variabel pada suatu kelompok masyarakat melalui wawancara langsung dan berpedoman pada daftar pertanyaan yang
38

Suryawati et al.

telah disediakan (Singarimbun dan Effendi, 2000). Dalam hal ini Sitorus (1998) menyebutkan jumlah responden untuk penelitian studi kasus tidak ditentukan secara pasti asal memenuhi syarat kecukupan informasi (bagi peneliti) serta syarat efisiensi (data diperoleh secara mencukupi dengan korbanan sekecil-kecilnya dalam hal waktu, akses dan biaya). Penggalian data dilakukan dengan wawancara menggunakan kuesioner dengan responden yang diambil secara sengaja (purposive sampling) untuk mewakili berbagai pelaku yang terkait dengan pemanfaatan sumberdaya di laguna Segara Anakan. Responden yang dipilih meliputi nelayan dan bukan nelayan (petani, petambak, bakul dan penderes) serta tokoh kunci seperti sesepuh desa yang terdiri dari tokoh adat, kepala dusun dan pejabat pemerintah. Dari pendataan dipilih sejumlah 41 responden dengan rincian 25 nelayan, 5 petani, 5 petambak, 2 bakul, dan 2 penderes (Tabel 1). Sementara untuk menunjang aspek kualitatif digunakan wawancara dengan 8 tokoh kunci seperti sesepuh desa, otoritas kantor pengelola serta pihak lain yang terkait dengan pengelolaan laguna. Tabel 1. Responden dan informan penelitian
No 1 2 3 4 5 6 7 Narasumber Nelayan Petani Petambak Bakul Penderes Sesepuh desa KPSKSA Jumlah (orang) 25 5 5 3 3 5 3 Status Responden Responden Responden Responden Responden Tokoh kunci Tokoh kunci Keterangan Terdiri dari nelayan jaring apong, nelayan penjala, nelayan kepiting, pengumpul kerang, nelayan laut lepas Merupakan petani sawah tadah hujan Merupakan petambak udang dan bandeng Merupakan pedagang pengumpul hasil perikanan Merupakan pembuat gula kelapa Merupakan orang yang dituakan dan disegani Pihak pengelola sumberdaya kawasan laguna Segara Anakan

III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Keadaan Umum Wilayah Kawasan Segara Anakan merupakan wilayah laut (segara) yang terletak di antara Pulau Jawa dan Pulau Nusakambangan, dan secara administratif termasuk dalam Kabupaten Cilacap, Propinsi Jawa Tengah. Kawasan ini terdiri atas daratan 11.940 ha, perairan rawa bakau 29.400 ha dan perairan rawa payau 4.000 ha. Segara Anakan merupakan laguna tempat bermuaranya beberapa sungai, yakni sungai Citanduy, Cikonde, Cibeureum, Ujung Alang, Kembang Kuning, dan Donan. Sungai-sungai tersebut berasal dari dua DAS besar, yaitu DAS Citanduy dan DAS Segara Anakan. DAS Citanduy memiliki luas sekitar 350.000 ha, DAS Segara Anakan memiliki luas 96.000 ha dengan sungai-sungai utamanya Cikonde, Cibeureum, dan Ujung Alang yang relatif pendek dan berhulu di perbukitan rendah di sebelah utara Sidareja (Napitupulu dan Ramu, 1982). Sungai Citanduy sebagai sungai terbesar dan menyumbang sekitar 80% debit yang masuk ke laguna.

39

Identifikasi Sistem Insentif Pengelolaan Sumberdaya di Laguna Segara Anakan

Segara Anakan merupakan suatu laguna yang dipengaruhi oleh dua masa air yang berbeda, yaitu masa air laut yang berasal dari Samudra Hindia melalui kedua celah (timur dan barat) dan massa air tawar yang berasal dari sungai-sungai yang bermuara ke laguna. Air laut yang masuk ke Segara Anakan pada waktu pasang bercampur dengan massa air tawar dari Sungai Citanduy, kemudian didistribusikan ke laguna utama dan ke sungaisungai dan ke kawasan hutan mangrove. Pada saat surut, air tawar dari Sungai Citanduy langsung masuk ke Samudra Hindia melalui celah sebelah barat. Massa air beserta partikel lumpur yang dikandungnya tertahan di sekitar celah sebelah barat selama air surut. Pada saat air pasang tinggi berikutnya, setelah terjadi percampuran dengan massa air laut, massa air tersebut akan mengalami resirkulasi kembali ke Laguna (PKSPL-IPB, 1999). Secara administrasi Kampung Laut adalah nama perkampungan di kawasan laguna Segara Anakan yang terdiri dari 4 wilayah desa, yaitu: Desa Ujung Alang, Desa Ujung Gagak, Desa Panikel dan Desa Klaces. Kampung Laut sudah menjadi Kecamatan Pembantu sejak tahun 2001, di bawah wilayah administrasi Kecamatan Kawunganten Kabupaten Cilacap Jawa Tengah dengan pusat pemerintahan di Klaces. Batas-batas administrasi Desa di kawasan Segara Anakan dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Batas Administrasi Desa-Desa di Kampung Laut
Batas Desa Sebelah Utara Sebelah Selatan Sebelah Timur Sebelah Barat Ujung Alang Pojok Tiga, Ujung Gagak, Panikel Nusakambangan Bondan Kalirawa Kota Cilacap Karang Braja Ujung Gagak Ujung Gagak Gintungreja, Bantarsari Nusakambangan Panikel, Ujung Alang Cimrutu dan Kalipucang Kabupaten Ciamis Jawa Barat Panikel Bantarsari, Rawajaya Ujung Alang, Ujung Gagak Ujung Gagak Binangun, Bringkeng

Sumber: Monografi Desa Ujung Alang, Ujung Gagak dan Panikel, 2002

Sebelum terjadi penyusutan luasan laguna, sebagian besar penduduk Kampung Laut bermata pencaharian sebagai nelayan di laguna, meskipun ada juga di laut lepas atau samudera. Profesi dominan lainnya adalah sebagai petani. Saat ini, seiring dengan peningkatan tanah timbul, desa-desa yang sebagian besar lahannya merupakan lahan pertanian lebih padat daripada penduduk yang lahan pertaniannya tidak terlalu besar. Desa Ujunggagak dan Panikel sebagian besar penduduknya berprofesi sebagai petani sehingga tingkat kepadatan (per km) dan distribusi penduduknya lebih tinggi dibandingkan dengan desa-desa yang lain. Sebaran penduduk menurut lapangan usaha secara rinci disajikan pada Tabel 3. Tingkat pendidikan di Kecamatan Kampung Laut tergolong rendah. Hal ini dapat dilihat dari rendahnya sarana prasarana pendidikan yang terdapat di Kecamatan Kampung Laut. Berdasarkan data dan informasi dari BPS Kabupaten Cilacap (2008), jumlah SD sederajat sebanyak 13 buah, SLTP sederajat sebanyak dua buah dan SLTA sederajat sebanyak satu buah dan ditambah jumlah tenaga pengajar/guru yang belum memadai memenuhi kuota yang sesuai (Tabel 4).

40

Suryawati et al.

Tabel 3. Persentase Sebaran Penduduk di Kecamatan Kampung Laut berdasarkan Lapangan Usaha (2007).
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Jenis Lapangan Usaha Pertanian Pertambangan Industri/Kerajinan Listrik, Gas, dan Air Bangunan dan Konstruksi Perdagangan Angkutan dan Komunikasi Persewaan Jasa-jasa Lain-lain Persentase 82,3 0,1 0,7 0 2,3 7,1 1,1 0 2,8 3,6

Sumber : Badan Pusat Statistik (2007)

Tabel 4. Tingkat Pendidikan Kecamatan Kampung Laut (2007)


No 1 2 3 4 5 6 7 8 Tidak Sekolah Tidak Tamat SD Tamat SD Tamat SLTP Tamat SLTA D1/D2 D3/Akademi DIV/S1 Keatas TOTAL
Sumber : Badan Pusat Statistik (2008)

Tingkat Pendidikan

Jumlah Orang) 3.735 3.609 4.523 606 224 16 21 13 12.747

3.2. Keadaan Umum Responden Berdasarkan data Statistik Perikanan (2007), jumlah RTP nelayan di Kecamatan Kampung Laut adalah sebanyak 228 keluarga. Untuk jumlah perahu nelayan menurut ukuran kapal di Kecamatan Kampung Laut tertuang dalam Tabel 5 dan jenis alat tangkap yang digunakan oleh nelayan Kecamatan Kampung Laut dalam Tabel 6. Selain itu ditemukan jenis alat tangkap lain seperti Caduk Cumi, Jaring Pasang Surut (Apong), Pengumpul Kerang, dan Pengumpul Ubur-ubur. Tabel 5. Jumlah Perahu Nelayan menurut Ukuran Kapal di Kecamatan Kampung Laut (2008).
No 1 2 3 Perahu/Kapal Jukung Tanpa Mesin Jukung dengan Mesin Jenis Perahu Jumlah (Unit) 228 85 143

Sumber : Badan Pusat Statistik (2009)

41

Identifikasi Sistem Insentif Pengelolaan Sumberdaya di Laguna Segara Anakan

Tabel 6. Jumlah dan Jenis Alat Tangkap di Kecamatan Kampung Laut (2008).
No 1 2 3 4 Gill-Net Pintur/Wadong Bubu Lain-lain Jenis Perahu Jumlah (Unit) 146 319 88 175

Sumber : Badan Pusat Statistik (2009)

3.2.1. Nelayan Berdasarkan hasil wawancara dengan responden nelayan di Kecamatan Kampung Laut, diperoleh informasi yang dituangkan dalam Tabel 7 mengenai jenis alat tangkap dan komoditas perikanan yang ditangkap menggunakan alat tangkap tersebut. Kegiatan penangkapan dikonsentrasikan pada badan Segara Anakan, aliran sungai dan di beberapa lokasi hutan mangrove. Frekuensi kegiatan maupun volume hasil tangkapan yang diperoleh setiap tahunnya mengalami penurunan. Seperti yang telah dijelaskan bahwa sedimentasi menjadi penyebab dari penurunan hasil tangkapan. Tabel 7. Jenis Alat Tangkap dan Komoditas Perikanan di Kecamatan Kampung Laut.
No 1 2 3 4 Alat Tangkap Jaring Apong Jaring Kantong Jala Udang Wadong Komoditas Perikanan Udang windu, udang krosok/peci, ikan belanak Ikan belanak, udang windu, udang krosok/peci Udang windu Kepiting

Salah satu alat tangkap yang banyak digunakan oleh nelayan di Kecamatan Kampung Laut adalah jaring apong. Jaring apong adalah jaring yang menyerupai mini trawl namun bersifat pasif, dipasang untuk menghadang aliran arus ketika pasang dan bersifat menetap. Jaring ini bersifat merusak sumberdaya perikanan karena menggunakan mata jaring (mesh size) yang cukup kecil. Ikan-ikan yang belum cukup besar untuk dipanen, seringkali tertangkap dengan menggunakan jaring tersebut. Tidak hanya menurunkan stok ikan yang layak panen, pengetahuan lokal yang dimiliki oleh responden menunjukkan bahwa penggunaan alat destruktif tersebut menyebabkan hilangnya beberapa jenis ikan dari perairan Segara Anakan. Jala udang digunakan dengan cara ditebar di perairan sekitar mangrove yang tidak terlalu dalam. Pengoperasiannya dilakukan pada saat siang hari dengan menggunakan kapal jukung. Jaring Kantong merupakan jaring tiga lapis yang dipasang di sekitar hutan mangrove. Nelayan dengan alat tangkap ini bergerak (mobile) dengan menggunakan perahu jukung bermotor temple yang disebut gantar ataupun didayung dengan memanfaatkan arah pasang dan surut perairan laguna. Dalam mencari ikan biasanya mereka melakukannya sendiri atau berdua jarang yang berkelompok dan dilakukan hampir tanpa mengenal musim. Pada saat musim paceklikpun nelayan penjala ini mengaduk-aduk isi laguna. Bagi nelayan yang berasal dari dari luar kawasan laguna, mereka biasanya bermalam di gubuk bekas tambak yang ditinggalkan atau rumah-rumah warga didekat perairan. Dengan mengandalkan pengalaman dan intuisi, mereka melakukan kegiatan penangkapan hingga ke kanal-kanal sempit di dalam laguna yang masih dipenuhi semak-semak jeruju dan hutan mangrove. Nelayan penjala atau nelayan jala adalah nelayan yang mengusahakan tangkapan ikannya dengan menggunakan jala. Lokasi favorit untuk menangkap ikan bagi nelayan
42

Suryawati et al.

jala berubah dari waktu ke waktu, sejalan dengan berubahnya konsentrasi stok ikan. Hasil tangkapan yang beraneka jenis dan ukuran ini dijual keseluruhan (terusan) tanpa disortir Sedangkan untuk jenis udang ada perbedaan yaitu pembelian oleh bakul akan disortir terlebih dahulu tergantung ukuran jumlah per kilogramnya (size) dan juga jenis udangnya. Sistem jual beli yang diterapkan oleh bakul terhadap penjual dan pembeli adalah transaksi langsung dengan pembayaran tunai, dengan harga yang ditentukan oleh bakul. Wadong adalah jenis alat tangkap yang dikhususkan untuk menangkap kepiting, yang terbuat dari anyaman bambu dikategorikan sebagai trap net, yang prinsip kerjaya sama dengan alat tangkap bubu. Pengoperasian wadong dilakukan dengan memperhatikan pasang surut. Wadong dipasang (setting) ketika surut terendah dan dibutuhkan waktu selama 2,5 jam. Waktu setting alat tangkap wadong umumnya pada pukul dua siang dan di hauling pada pukul delapan pagi keesokan harinya. Penangkapan kepiting ini dilakukan setiap saat tanpa mengenal musim dengan menggunakan alat tangkap terbuat dari bilahbilah bambu yang disusun membentuk perangkap (wadong, bubu) yang diberi umpan di dalamnya, kemudian ditempatkan di semak-semak mangrove sehari semalam menunggu kepiting yang terjebak. Biasanya nelayan bermalam di atas jukungnya, di gubuk bekas pekerja tambak yang ditinggalkan atau di rumah penduduk terdekat. Setiap kali menangkap kepiting jumlah bubu yang ditebar oleh masing-masing nelayan berbeda-beda tergantung jumlah kepemilikannya. Biasanya, peluang terisi kepiting pada 20-30 buah bubu sangat kecil, yaitu kurang dari 5 buah bubu setiap kali pemasangan. Hal tersebut tergantung pada tingkat orientasi dan pengalaman si nelayan. Dengan alasan efisiensi waktu, alat tangkap yang dimiliki oleh nelayan terkadang lebih dari satu jenis. Misalnya, kombinasi antara alat tangkap wadong dan jaring kantong dapat menjadikan waktu melaut nelayan menjadi efektif, meskipun disadari bahwa strategi seperti itu menyebabkan kebutuhan tenaga lebih besar besar. Hal tersebut karena nelayan mengoperasikan wadong pada pagi hari dan meneruskan operasinya di siang hari, yaitu dengan alat tangkap kantong. Contoh lain dari kepemilikan lebih dari satu alat adalah kombinasi alat tangkap apong dengan jala udang, dimana biasanya nelayan menggunakan apong pada saat musim kemarau dan menggunakan jalan udang pada saat musim penghujan. Di kecamatan Kampung Laut ada juga nelayan yang mencari kerang dari jenis kerang sungai (Soxidomus spp), kerang bulu (Arca spp) dan kerang darah (Andara spp). Aktivitas mencari kerang adalah kegiatan tambahan di luar waktu rutin bagi keluarga nelayan tanpa mengganggu aktivitas utama, termasuk anak-anak. Hal ini dikarenakan tingkat teknologi alat tangkap yang rendah bahkan tanpa alat tangkap sekalipun, tingkat keahlian juga rendah walaupun untuk hal ini dibutuhkan orientasi dan pengalaman dalam memutuskan daerah perairan mana yang kerangnya melimpah. Biasanya setelah kurang lebih 4 jam mereka bisa mendapatkan 5 ember kerang dan langsung dijual pada bakul begitu perahu merapat. Beberapa bakul menjualnya masih dengan cangkang dan dikemas dalam karung, tetapi ada juga yang mengupasnya terlebih dahulu dan dijual hanya dagingnya saja. Sebagian kecil masyarakat ada juga yang yang melakukan penangkapan di perairan samudra (laut lepas), terutama nelayan yang berasal dari Desa Ujunggagak (Dusun Karangjaya, Dusun Karanganyar, Dusung Karangsari dan Dusun Karangmulya). Alat tangkap yang digunakan adalah jaring dengan menggunakan perahu fiber dan mesin ukuran 20 PK. Waktu penangkapan adalah 2-3 hari. Jenis spesies yang ditangkap adalah lobster.

43

Identifikasi Sistem Insentif Pengelolaan Sumberdaya di Laguna Segara Anakan

3.2.2. Pembudidaya Budidaya ikan dan bukan ikan dilakukan sejak munculnya tanah timbul di perairan Segara Anakan yang merupakan dampak sedimentasi dari sungai-sungai yang bermuara di Segara Anakan. Tipe budidaya yang ada di Kecamatan Kampung Laut adalah budidaya tambak skala tradisional dengan komoditas bandeng, udang dan kepiting. Hampir semua warga di salah satu dusun di Desa Ujungalang Kecamatan Kampung laut yaitu Dusun Bondan mengusahakan tambak udang dan bandeng secara tradisional dengan sistem sylvofishery empang parit dengan tanaman mangrove hasil pengkayaan Perhutani KPH Banyumas Barat. Para petambak umumnya adalah pendatang asal Karawang Jawa Barat yang telah berpengalaman. Pada komunitas petambak ini terdapat hal yang cukup menarik yaitu mereka telah mengorganisir kelompok mereka dengan pembagian peran sosial, yaitu melalui spesialisasi pekerjaan yang memungkinkan desa tersebut menjadi pemukiman yang relatif mandiri. Spesialisasi peran yang unik bahkan diemban pula oleh Kadus Bondan yang selain menjadi petambak dan pedagang penampung hasil tambak juga berperan sebagai keamanan pada saat musim panen tambak. Kemudian, sebagian petambak juga berprofesi sebagai tukang kayu yang membuat dan menyiapkan sarana tambak serta profesi sambilan lainnya adalah pengrajin sarana tambak. 3.2.3. Petani Pertanian di Kecamatan Kampung Laut cukup berkembang terutama karena munculnya tanah timbul akibat sedimentasi. Pertanian di Kecamatan Kampung Laut mengandalkan curah hujan sebagai sumber pengairannya sehingga hanya panen satu kali dalam setahun. Usaha tani umumnya digeluti oleh warga di beberapa dusun di Kecamatan Kampung Laut seperti Dusun Lempong Pucung yang berada di Pulau Nusakambangan. Pertanian dengan sistem sawah tadah hujan dengan pola tanam sekali dalam setahun yang produktivitasnya sangat rendah dan hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari saja. Usaha substitusi di saat musim sela berupa kebun palawija, buah-buahan seperti jeruk dan pisang serta usaha penderesan gula kelapa, dan usaha di bidang perikananan, misalnya nelayan penjala. Lahan pertanian di Kecamatan Kampung Laut kepemilikannya diperoleh dengan cara membeli yang telah berlangsung sekitar pertengahan tahun 1970-an. Selain dengan cara pembelian, tanah yang diperoleh juga atas dasar persewaan dan bagi hasil. 3.2.4. Penderes Usaha penderes adalah usaha penyadapan nira kelapa untuk bahan baku gula merah. Usaha lebih pada umumnya dilakukan oleh rumah tangga yang kepala keluarganya adalah petani sawah tadah hujan sebagai mata pencaharian sampingan. Meskipun ada juga penderes ini merupakan pendatang dari Kabupaten Purbalingga atau daerah lainnya yang menjadikannya sebagai profesi utama, mereka dikenal sebagai amen. Penyadapan nira kelapa dilakukan oleh kepala keluarga sedangkan pengolahan gulanya dilakukan oleh istri (ibu rumah tangga). Kayu bakar yang dipergunakan dalam pengolahan gula kelapa ini pada umumnya dibeli dari pemasok lokal dengan harga Rp 70.000 per perahu.

44

Suryawati et al.

3.3. Kondisi Sumberdaya di Laguna Segara Anakan 3.3.1. Produksi Perikanan Produksi perikanan tangkap air payau dan perairan umum (sungai) di Kabupaten Cilacap pada tahun 2000-2006 dapat dilihat pada Gambar 2. Produksi perikanan tangkap air payau dari Kampung Laut menyumbang sebesar 39,85% dan produksi perikanan tangkap perairan umum (sungai) dari Kampung Laut menyumbang sebesar 77,61% pada tahun 2006. Perbandingan produksi terhadap nilai volume ikan dan udang di Kabupaten Cilacap dari tahun 1998-2006 dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 2. Produksi Perikanan Tangkap Air Payau dan Perairan Umum (Sungai) di Kabupaten Cilacap, 2001-2006 (Sumber: BPS 2007)

Gambar 3. Perbandingan Produksi terhadap Nilai Volume Ikan dan Udang di Kabupaten Cilacap, 1998-2006 (Sumber: BPS, 2007)
45

Identifikasi Sistem Insentif Pengelolaan Sumberdaya di Laguna Segara Anakan

3.3.2. Nilai Ekonomi Hasil penelitian Dudley (2000) menyebutkan bahwa sebanyak 8% ikan dan 34% udang yang tertangkap oleh nelayan di perairan sekitar pesisir Selatan Jawa menetas dan dibesarkan di laguna Segara Anakan. Jumlah itu bernilai US$ 8,3 juta/tahun dan semakin menurun dari tahun ke tahun. Sementara hasil kajian Koeshendrajana et al. (2009) menunjukkan bahwa total nilai ekonomi sumber daya perairan Segara Anakan Kabupaten Cilacap mencapai Rp 911.797.641.140 per tahun. 3.3.3. Sistem Insentif berbasis Masyarakat Insentif adalah semua bentuk dorongan spesifik atau rangsang/stimulus yang umumnya berasal dari institusi eksternal (pemerintah, LSM atau lainnya), yang dirancang dan diimplementasikan untuk mempengaruhi atau memotivasi masyarakat, baik secara individu maupun kelompok, untuk bertindak atau mengadopsi teknik dan metode baru yang bertujuan untuk memperbaiki kondisi (Wijayanto, 2007).Sistem insentif dihubungkan dengan kinerja terukur yang digunakan untuk mengontrol output. Insentif merupakan sesuatu yang digunakan untuk memberikan hadiah yang sesuai dengan perilaku masyarakat. Dalam hal ini, insentif adalah salah satu atau kombinasi dari beberapa hal berikut: 1) pembayaran atau pemberian konsesi untuk merangsang output (keluaran) Insentif yang dilakukan bisa secara langsung, tidak langsung atau bahkan tanpa insentif. Mengacu pada Ostrom et al. (1993), insentif dan disinsentif bukan hanya sekedar penghargaan atau hukuman, melainkan menyangkut perubahan positif atau negatif pada hasil (outcomes) yang dalam pandangan individu akan dapat dihasilkan dari suatu tindakan yang dilakukan berdasarkan kaidah atau aturan tertentu baik dalam konteks fisik maupun sosial. Dalam konteks pengelolaan sumberdaya di kawasan laguna Segara Anakan di dalam penelitian ini, analisis terhadap sistem insentif dikaitkan dengan sejumlah sasaran insentif. Sasaran-sasaran tersebut adalah asset produksi utama, alternatif mata pencaharian, ukuran pasar, penguatan usaha dan kondisi sosialnya. Analisis tersebut juga dikaitkan dengan tata cara pemberiannya, yaitu apakah langsung atau tidak langsung, dengan mempertimbangkan respon masyarakat dan prediksi terhadap keberlanjutan sistem sosial-ekologis di laguna Segara Anakan. Secara ringkas sistem insentif yang berhasil didentifikasi dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 3. Bentuk pemberian insentif secara langsung yang berhasil diidentifikasi dalam penelitian ini dengan mempertimbangkan sasaran insentif yang sudah disebutkan sebelumnya diantaranya adalah: pemberian SPPT, upaya alih profesi, penyediaan informasi dan teknologi, pemberian subsidi upah langsung, pemberian kredit modal kerja, bantuan pangan, penanaman mangrove dan pelayanan sosial baik transportasi, kesehatan, dan sebagainya. Adapun bentuk pemberian insentif secara tidak langsung yang berhasil diidentifikasi dalam penelitian ini diantaranya adalah pengaturan lahan produksi, peningkatan sarana prasarana usaha alternatif, pendidikan dan pelatihan, serta pendampingan, stabilitasi harga, perbaikan jalur pemasaran, pembukaan akses pasar, pengaturan harga faktor produksi, penghargaan berbasis kinerja, penguatan kelembagaan lokal, dan perbaikan infrastruktur sosial. Pada situasi tertentu, orang akan melakukan tindakan pengelolaan laguna Segara Anakan akan dilakukan oleh masyarakat jika mereka memiliki sumberdaya yang cukup, kapasitas yang memadai dan kemauan untuk bertindak. Sumberdaya dapat berupa material, tenaga kerja, dan input-input lainnya yang dibutuhkan untuk aktivitas pengelolaan. Termasuk dalam kapasitas adalah pengetahuan, teknologi, maupun
46

Suryawati et al.

pengaturan sosial yang dibutuhkan untuk mengontrol dan mengelola sumberdaya. Inilah manfaat adanya insentif/disinsentif dalam pengelolaan sumberdaya di laguna Segara Anakan. Tabel 3. Sistem insentif berbasis masyarakat di laguna Segara Anakan.
Cara pemberian insentif Langsung Sasaran insentif Prediksi penga-ruhnya terhadap keberlanjutan SES +/Tidak Langsung Prediksi pengaruhnya terhadap keberlanjutan SES +++

Bentuk

Respon masyarakat +++

Bentuk

Respon masyarakat +

Aset produksi utama Alternatif pencahari an

Pemberian
SPPT

Pengaturan lahan
produksi 1

Alih profesi

++

Peningkatan
sarana prasarana usaha alternatif 2 Pendidikan dan pelatihan Pendampingan Stabilitasi harga Perbaikan jalur pemasaran Pembukaan akses pasar Pengaturan harga faktor produksi Penghargaan berbasis kinerja 3

++

++

Pasar

Penyediaan
informasi dan teknologi

++

+++

Penguatan Pemberian usaha subsidi upah langsung Pemberian kredit modal kerja Kondisi Bantuan sosial pangan Penanaman mangrove Pelayanan sosial (transportasi , kesehatan, dsb.)

+++

++

+++

++

Penguatan
kelembagaan lokal 4 Perbaikan infrastruktur sosial

++

++

Penentuan mata pencaharian alternatif yang ditawarkan dalam penelitian ini menggunakan 3 pertimbangan yaitu hasil wawancara responden, survey primer/ kondisi
1 2

Pembukaan dan kontrol terhadap lahan perikanan/pertanian Kapal, bibit kepiting, pengerukan laguna, dsb 3 Misal kalpataru 4 Misal kelompok konservasi

47

Identifikasi Sistem Insentif Pengelolaan Sumberdaya di Laguna Segara Anakan

eksisting dan analisis penyusun. Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini yaitu untuk mayoritas penduduk kecamatan Kampung Laut direkomendasikan mengembangkan usaha di bidang pertanian dan diikuti oleh perikanan (budidaya) serta pariwisata, perdagangan dan jasa. Mengacu pada Tabel 3 tersebut di atas maka dapat dikembangkan beberapa perbandingan penilaian terhadap setiap pilihan sistem insentif menurut berbagai kriteria (teknis, financial, politis, dan kelembagaan) dalam pengelolaan sumberdaya di laguna Segara Anakan yang dapat dilihat pada Tabel 4 berikut ini. Tabel 4. Perbandingan penilaian terhadap berbagai kriteria untuk setiap pilihan sistem insentif pengelolaan sumberdaya di laguna Segara Anakan.
Sistem Insentif Aset produksi utama Alternatif pencaharian Pasar Penguatan usaha Kondisi sosial Teknis Finansial x Kelayakan Kelembagaan Keberlanjutan x Politik x x x x

Keterangan: = kontrol tinggi; x = kontrol rendah

Mengacu pada perbandingan tersebut, terlihat bahwa bentuk sistem insentif yang dipertimbangkan dalam pengelolaan laguna Segara Anakan, menunjukkan kelayakan yang berbeda untuk aspek-aspek tertentu. Untuk penerapannya misalnya, pilihan insentif asset produksi utama layak untuk semua aspek kecuali aspek politik; disisi lain, insentif alternatifmata pencaharian menunjukkan kelemahan pada aspek politik dan aspek finansial. Dari kelima sistem insentif yang dipertimbangkan, hanya satu sistem insentif yang dapat dinilai layak untuk kesemua aspek, yaitu insentif untuk penguatan kondisi sosial. 3.3.4. Implikasi pada Pengelolaan Sumberdaya Sistem insentif dalam pengelolaan sumberdaya di laguna Segara Anakan oleh masyarakat Kampung Laut harus dapat diterapkan secara praktis, dan dapat diterima oleh sasaran yang tepat. Oleh karena itu, diperlukan pertimbangan secara hati-hati terutama dalam hubungannya dengan pertimbangan teknis, financial, kelembagaan, keberlanjutan maupun pertimbangan politisnya. Selain itu sistem insentif pengelolaan sumberdaya di laguna Segara Anakan harus mempertimbangkan kondisi setempat. Sistem insentif dalam pengelolaan sumberdaya di laguna Segara Anakan sebaiknya dirancang untuk: (1) menciptakan dorongan-dorongan ekonomi atau insentif positif untuk meningkatkan kualitas sumberdaya di kawasan laguna Segara Anakan dan masyarakatnya, (2) tidak menghargai tindakan-tindakan merusak sumberdaya hutan rakyat dengan menerapkan hukuman dan disinsentif, dan (3) mengatasi tekanan ekonomi yang mendorong perilaku merusak sumberdaya di kawasan laguna Segara Anakan. Sistem insentif dalam bentuk pendanaan dari pemerintah, sebaiknya diprioritaskan antara lain untuk: (a) regulasi tentang usaha pertanian masyarakat yang memberikan keadilan bagi semua pelaku ekonomi yang terlibat langsung, (b) subsidi tentang infrastruktur publik yang diperlukan untuk kelancaran proses produksi dan distribusi, (c) kemudahan memperoleh sarana produksi, serta (d) aspek teknologi, budgeting, pemasaran (akses/kejelasan pemasaran) dan kelembagaan. Diharapkan sistem insentif akan secara
48

Suryawati et al.

efektif mempengaruhi hasil (outcomes) bila diterapkan dalam suatu kelembagaan yang mapan dan kondusif terhadap pencapaian tujuan. IV. KESIMPULAN Berdasarkan hasil analisis dan identifikasi terhadap sistem insentif dalam pengelolaan sumberdaya di laguna Segara Anakan terdapat peluang untuk memilih sistem insentif dalam pengelolaan sumberdaya di laguna Segara Anakan, yang dapat diterapkan secara lebih praktis, tepat sasaran, dan efisien. Berdasar pertimbangan aspek teknis, finansial, kelembagaan, keberlanjutan dan politis, dua bentuk insentif terbaik untuk diterapkan di Segara Anakan adalah: sistem insentif yang memperhatikan kondisi sosial dan penguatan usaha. Berdasarkan hasil tersebut di atas, penelitian ini mengusulkan saran konkret, terutama kepada pengambil kebijakan yang berwenang atas pengelolaan Segara Anakan, termasuk pemerintah daerah setempat., Saran konkret tersebut adalah penerapan sistem insentif yang menurut hasil penelitian ini diperkirakan dapat menghasilkan dampak positif terhadap Segara Anakan. Insentif tersebut adalah di antaranya: insentif tidak langsung dalam bentuk pengerukan laguna, pemberian upah atau bibit kepiting untuk masyarakat yang bersedia menanam mangrove di areal tambaknya merupakan pilihan terbaik dari sudut pandang pengembangan alternatif mata pencaharian maupun efektivitas pengelolaan lingkungan. DAFTAR PUSTAKA Badan Pusat Statistik. 2006. Kecamatan Kampung Laut dalam Angka Tahun 2005. Kerjasama Bappeda Kabupaten Cilacap dengan BPS Kabupaten Cilacap. Cilacap. Badan Pusat Statistik. 2007. Cilacap dalam Angka. BPS Kabupaten Cilacap. Cilacap. Badan Pusat Statistik. 2008. Cilacap Dalam Angka. BPS Kabupaten Cilacap. Cilacap. Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Cilacap. 2009. Statistik Perikanan 2008. Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Cilacap. Cilacap. Dudley, R.G. 2000. Segara Anakan Fisheries Management Plan. Assisted by: Nurhidayati T, H Pamungkas and TN Cahyo. Segara Anakan Conservation and Development Project Components B & C. Consultants Report. Koeshendrajana, S., F. Priyatna, I Muliawan, E. Reswati, R. Triyanti, C.M. Witomo, R.A. Wijaya, dan A. Fahrudin. 2009. Laporan Teknis Riset Identifikasi, Karakterisasi, dan Valuasi Sosial Ekonomi Sumberdaya Pesisir. Balai Besar Riset Sosial Ekonomi Kelautan Perikanan, Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta. Napitupulu, M. and Ramu, K. L. V. 1982, Development of the Segara Anakan area of Central Java, in Proceedings of the Workshop on Coastal Resources Management in the Cilacap Region, pp 66 82, Gadjah Mada University, Yogyakarta. Ostrom E, L. Schroeder, and S. Wynne. 1993. Institutional Incentives and Sustainable Development: Infrastructure Policies in Perspective. Boulder, CO: Westview Press. [PKSPL-IPB] Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor. 1999. Penyempurnaan Penyusunan Management Plan Kawasan Segara Anakan (Laporan Akhir). Kerjasama PKSPL-IPB Ditjen Bangda Depdagri : Bogor. Singarimbun, M. dan S. Effendi. 2000. Metode Penelitian Survey. LP3ES.Jakarta. Susanti, W.D. 2006. Analisis Transpor Sedimen Sungai Citanduy. Alami: Jurnal Air, Lahan, Lingkungan dan Mitigasi Bencana. Volume 11 Nomor 3 Tahun 2006: 46-49. Pusat Pengkajian dan Penerapan Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Kawasan,
49

Identifikasi Sistem Insentif Pengelolaan Sumberdaya di Laguna Segara Anakan

Deputi Bidang Teknologi Pengelolaan Sumberdaya Alam, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. Jakarta. White, A.T. 2006. Coastal Resilience Through Integrated Coastal Management. Paper Presented at 3rd Coastal Zone Asia Pacific (CZAP) Conference. August 27September 1, 2006. Batam, Indonesia. Wijayanto, N. 2007. Insentif Pengusahaan Hutan Rakyat. Prosiding Pengembangan Hutan Rakyat Mendukung Kelestarian Produksi Kayu Rakyat. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan. Bogor.

50

Juwana dan Sujono

MERINTIS PEMBENIHAN DAN PEMBESARAN RAJUNGAN (Portunus pelagicus) DI BANGKA BELITUNG SEEDLING AND GROWING EFFORTS OF BLUE SWIMMING CRAB (Portunus pelagicus) IN BANGKA BELITUNG Sri Juwana1 dan Sujono2 Pusat Penelitian Oseanografi, LIPI, Jakarta 2 Balai Benih Ikan, Dinas Kelautan dan Perikanan, Bangka
1

Abstract Bangka Belitung has contributed 10% for fishery of blue swimming crab (Portunus pelagicus) of Indonesia. Decreasing of the crab production in Bangka Belitung waters begun in 2002. It is frightened that the existence of the crab in Bangka Belitung waters was hardly found in the future, if there is no any actions from now. Experiment on growing of the crab seed in bottom net cages located in Tanjung Penyusuk, Teluk Klabat waters had been done in 2006. After that, in order to prepare man power who works on the crab seedling, transfer technology of the crab seed production for Bangka Belitung community has been conducted at the Hatchery of Coastal Fish, Tanjung Rusa, Belitung in 2007 and 2008. In addition, identification of business area and evaluation of economical potential of stock enhancement for blue swimming crab population have been taken in Klabat Bay, Bangka Island. The crab seed were released representatively in Nenas Island, Mangkubung Island and Lampu Island of Klabat Bay waters. Keywords: Blue Swimming Crab, Portunus pelagicus, Transfer technology, Crab seed. Abstrak Bangka Belitung mempunyai kontribusi 10% dari seluruh hasil tangkap rajungan (Portunus pelagicus) di perairan Indonesia. Penurunan produksi rajungan hasil tangkapan di perairan Bangka Belitung mulai tampak sejak tahun 2002. Dikuatirkan keberadaan rajungan di perairan Bangka Belitung makin sulit dijumpai jika tidak dilakukan tindakan apapun dari sekarang. Percobaan pembesaran rajungan di dalam jaring kantong mendasar yang dipasang di perairan Tanjung Penyusuk, Teluk Klabat telah dilakukan pada tahun 2006. Kemudian untuk mempersiapkan sumberdaya manusia dalam pembenihan rajungan, telah dilakukan alih teknologi pembenihan rajungan untuk perwakilan Bangka Belitung di Balai Benih Ikan Pantai, Tanjung Rusa, Belitung pada tahun 2007 dan 2008. Disamping itu, telah dilakukan juga identifikasi kesesuaian perairan Teluk Klabat, Pulau Bangka sebagai kawasan bisnis pemacuan sumber daya rajungan; serta evaluasi potensi ekonomis pemacuan stok rajungan di perairan Teluk Klabat, Pulau Bangka. Benih rajungan secara simbolik telah ditebar di perairan Pulau Nenas, Pulau Mangkubung dan Pulau Lampu, di perairan Teluk Klabat. Kata kunci: Pembenihan, pembesaran, alih teknologi, rajungan, Portunus pelagicus.

I. PENDAHULUAN Di-antara berbagai jenis rajungan di Indonesia, rajungan jenis Portunus pelagicus adalah hewan laut, yang bernilai ekonomis tinggi. Rajungan di Indonesia disamping untuk memenuhi kebutuhan pangan domestik juga, merupakan komoditas ekspor dalam urutan ketiga setelah ikan dan udang. Rajungan di-ekspor dalam bentuk rajungan beku, maupun kemasan daging rajungan dalam kaleng (Business News, 1989; Moosa & Juwana, 1996; Departemen Kelautan dan Perikanan, 2000; Sihombing, 2004). Saat ini, populasi rajungan di beberapa perairan di Indonesia sudah menurun, sehingga untuk memenuhi permintaan daging rajungan kupas yang dipasok ke pabrik-pabrik
51

Merintis Pembenihan dan Pembesaran Rajungan (Portunus pelagicus) di Bangka Belitung

pengalengan, nelayan harus melaut lebih jauh dan lebih sering daripada tahun-tahun sebelumnya. Secara keseluruhan, produksi rajungan di perairan Indonesia mulai menunjukkan penurunan pada tahun 2004 (Tabel 1). Di perairan Teluk Klabat (Pulau Bangka) terdapat beberapa daerah penangkapan rajungan, antara lain di daerah Pusuk, Jebus dan Belinyu. Hasil tangkap rajungan tersebut melayani permintaan daging rajungan untuk pabrik pengalengan rajungan di Lampung (Armanto, personal komunikasi). Produksi rajungan dari laut di Provinsi Bangka Belitung dapat mencapai 10% (2.002,00 ton/tahun) dari seluruh produksi rajungan di perairan laut Indonesia (22.040,00 ton/year) dalam tahun 2001. Namun produksi rajungan di Bangka Belitung mulai menurun pada tahun 2002, menjadi 860,00 ton (Departemen Kelautan dan Perikanan, 2004; 2006). Meskipun ada laporan hasil rajungan budidaya di tambak di Kota Pangkal Pinang, Bangka sebesar 3,20 ton pada tahun 2004, benihnya masih tergantung dari alam (Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, 2006). Tabel 1. Produksi rajungan di beberapa kawasan perairan Indonesia.
HASIL TANGKAP DARI LAUT TAHUN BANGKA BELITUNG (ton/tahun)
1) 2) 3)

JAWA BARAT (ton/tahun)

INDONESIA (ton/tahun)

DARI TAMBAK4) (ton/tahun)

1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005
SUMBER: 1) 2) 3) 4)

1.800 2.002 860

1.326,80 1.788,20 1.919,40 2.870,80 2.874,40 2.992,00 701,90 696,60

14.276 14.053 22.040 19.988 30.533 21.854

621 2.095 866 3.584

3,20

Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (2006) Dinas Perikanan (2006) Departemen Kelautan dan Perikanan (2006) Produksi rajungan di perairan Tambak, Pangkal Pinang, Bangka (Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung 2006)

Sudah merupakan kecenderungan hasil alam, bahwa populasinya akan menurun bila tidak ada usaha pelestariannya. Hasil-hasil penelitian tentang rajungan baik di Indonesia maupun di mancanegara menyatakan bahwa budidaya rajungan mempunyai prospek yang baik, karena satu induk rajungan dapat menetaskan lebih dari satu juta telur (Romimohtarto, 1977: Yatsuzuka, 1962; Arshad et al., 2006). Produksi rajungan, stadium crab IV dapat dilakukan di laboratorium dalam waktu 30 hari (Juwana, 1995; 1997a; 2000; 2006). Pembesaran benih rajungan (stadium crab IV) sampai ukuran jual (bobot 100-150 g) di dalam jaring kantong mendasar, yang dipasang di perairan Pulau Pari (Juwana, 1996; 1997b; 1999a; 2004), maupun di perairan tambak memerlukan waktu sekitar 4 bulan (Komarudin et al., 2005). Hasil pemantauan kualitas perairan Teluk Klabat berturut-turut dalam tahun 2003 (Djamali, 2003) dan tahun 2004 (Sulastri et al., 2004) menunjukkan perairan Teluk Klabat mempunyai kualitas yang baik untuk kegiatan perikanan budidaya. Penambangan timah di perairan tersebut, yang menyebabkan kekeruhan perairan dan kerusakan dasar
52

Juwana dan Sujono

perairan, juga telah dilarang sejak awal Oktober 2006, meskipun masih terjadi pelangaran-pelangaran. Diharapkan perairan Teluk Klabat merupakan perairan yang ideal untuk penebaran benih rajungan. Tulisan ini bertujuan untuk memberikan informasi tentang hasil-hasil kegiatan dan bahasan yang berkaitan dengan percobaan pembenihan dan pembesaran rajungan (Portunus pelagicus) di Bangka Belitung, yang meliputi identifikasi perairan Teluk Klabat (Pulau Bangka) sebagai kawasan pemacuan sumber daya rajungan; alih teknologi pembenihan dan pembesaran rajungan yang dilaksanakan di Bangka Belitung; serta evaluasi potensi ekonomis pemacuan stok rajungan di perairan Teluk Klabat. II. METODE PENELITIAN Tulisan ini merupakan ringkasan kegiatan pembenihan dan pembesaran rajungan di Bangka Belitung yang telah dipublikasi maupun informasi-informasi terkait yang masih disimpan dalam Laporan Kegiatan, yaitu meliputi tiga kegiatan utama: (1) Identifikasi potensi perairan Teluk Klabat, Pulau Bangka sebagai kawasan bisnis pemacuan sumber daya rajungan (Portunus pelagicus). Yaitu merupakan penelusuran pustaka hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan di perairan Teluk Klabat. Hasilhasil yang diperoleh dari studi pustaka tersebut dikaitkan dengan parameterparameter kualitas air untuk kehidupan pertumbuhan benih rajungan. (2) Alih teknologi pembenihan rajungan (Portunus pelagicus) dan pembesaran rajungan di area terbatas. Alih teknologi pembenihan rajungan digunakan untuk pelatihan pembenihan rajungan. Peserta pelatihan adalah masyarakat Bangka belitung dan para peneliti muda dan teknisi UPT di lingkungan Puslit Oseanografi LIPI untuk regenerasi. Benih rajungan yang diproduksi dalam pelatihan digunakan untuk pelatihan pengangkutan benih dan penebaran benih rajungan untuk restoking maupun pembesarannya di dalam jaring kantong mendasar. (3) Evaluasi potensi ekonomis pemacuan stok rajungan (Portunus pelagicus) di perairan Teluk Klabat, Pulau Bangka. Pemantauan fauna bentos sebagai pakan benih rajungan dilakukan untuk estimasi kebutuhan benih rajungan di perairan Teluk Klabat. Juga dilakukan pemantauan kualitas air secara mikrobiologis untuk melengkapi informasi tersebut diatas. Ketiga kegiatan tersebut merupakan tahapan-tahapan penelitian untuk mengatasi permasalahan penurunan populasi rajungan di perairan Teluk Klabat pada khususnya (Gambar 1), maupun di perairan Bangka Belitung.

53

Merintis Pembenihan dan Pembesaran Rajungan (Portunus pelagicus) di Bangka Belitung

Gambar 1. Stasiun penelitian di perairan Teluk Klabat. (A) = Perairan Teluk Klabat (Djamali, 2003). (B) = Perairan Muara Sungai Layang (Sulastri et al., 2004).

III. HASIL DAN PEMBAHASAN Teluk Klabat terletak di kawasan perairan pesisir utara Pulau Bangka (Provinsi Kepulauan Bangka Belitung) dan merupakan perairan semi tertutup yang menghadap ke perairan laut China Selatan. Teluk Klabat terbagi menjadi dua bagian besar dan satu bagian kecil, yakni bagian terluar disebut Teluk Klabat Luar dan bagian tengah pada umumnya disebut Teluk Klabat Dalam, sedangkan bagian terdalam yang merupakan bagian paling kecil dalam tulisan ini disebut Teluk Klabat Kecil (Gambar 1). Hutan mangrove di kawasan Teluk Klabat tumbuh subur di sepanjang pesisir, terutama di Teluk Klabat Dalam. Berdasarkan hasil perhitungan kerapatan tumbuhan mangrove, baik itu untuk kategori pohon (416 batang/ha) maupun untuk kategori sapling

54

Juwana dan Sujono

(1.800 batang/ha), maka hutan mangrove di kawasan Teluk Klabat dapat dikelompokkan dalam kriteria masih sangat baik (Suyarso & Pramudji, 2007). Menurut Direktorat Sumber Daya Ikan (2007) ada 9 (sembilan) komponen bisnis pemacuan sumber daya ikan dan lingkungannya (fishery enhancement). Komponenkomponen tersebut adalah (1) pengembangan kelompok nelayan dan aparat birokrasi di tataran akar rumput sebagai proses desain kelembagaan dalam rezim tata praja perikanan yang bersifat ko-manajemen; (2) identifikasi potensi ekologis kawasan pemacuan sumber daya ikan; (3) strategi penebaran ikan; (4) strategi pengembangan panti pembenihan ikan; (5) pengembangan sistem proteksi sumber daya ikan; (6) strategi rehabilitasi habitat perikanan; (7) pengembangan sistem peraturan perundangan yang mengatur kegiatan penangkapan ikan dan hal-hal lain yang terkait dengan pengelolaan perikanan; (8) pengembangan sistem bisnis pemacuan sumber daya ikan; (9) pengembangan sistem monitoring dan evaluasi dalam pemacuan sumber daya ikan. Dalam kegiatan ini telah dilakukan identifikasi potensi perairan Teluk Klabat, Pulau Bangka sebagai kawasan bisnis pemacuan sumber daya rajungan (Portunus pelagicus). Kemudian dilakukan produksi benih rajungan di hatchery yang berbeda-beda dengan metode disesuaikan. Yaitu, pertama di hatchery semi out-door, di Balai Benih Ikan Pantai (BBIP), Tanjung Rusa, Belitung; dan kedua di hatchery in-door, di BBIP dan di Balai Pengembangan Benih Ikan Laut, Payau dan Udang (BP BILAPU), Pangandaran, Jawa Barat. Juga dilakukan pembesaran benih rajungan di dalam jaring kantong mendasar (jatongsar) di perairan Tanjung Penyusuk, Teluk Klabat. Akhirnya dilakukan evaluasi potensi ekonomis pemacuan stok rajungan di perairan Teluk Klabat, Pulau Bangka dan mencetuskan saran pengelolaan budidaya rajungan yang berkelanjutan, secara ekonomi kerayatan maupun secara kapitalis. 3.1. Indentifikasi Potensi Perairan Teluk Klabat Identifikasi potensi perairan Teluk Klabat Pulau Bangka sebagai kawasan bisnis pemacuan sumber daya rajungan (Portunus pelagicus), merupakan penelusuran pustaka hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan di perairan Teluk Klabat. Hasil-hasil yang diperoleh dari studi pustaka tersebut dikaitkan dengan parameter-parameter kualitas air untuk kehidupan pertumbuhan benih rajungan oleh Juwana et al. (2008a). Berdasarkan pemantauan kualitas air di perairan Teluk Klabat, bulan Juni-Juli 2003 (Djamali, 2003); dan di perairan Muara Sungai Layang dalam bulan Juli, September dan Oktober 2004 (Sulastri et al., 2004), yang telah dilakukan di 20 Stasiun seperti tercantum dalam Gambar 1, pada umumnya perairan tersebut baik untuk aktivitas budidaya biota laut. Khususnya sebagai lahan penebaran benih rajungan mempunyai ketentuan sebagai berikut di bawah ini. 3.1.1. Habitat Rajungan Rajungan hidup di habitat yang beraneka ragam. Rajungan hidup di pantai dengan kedalaman kurang dari 1 meter, dengan dasar pasir, pasir lumpur, berpasir putih atau pasir lumpuran dengan rumput laut di pulau-pulau karang dan di laut terbuka sampai kedalaman lebih dari 65 meter (Moosa, 1980). Di Indonesia, sebaran Rajungan mulai dari perairan pantai Sumatera Selatan, Kepulauan Bangka Belitung, Pulau-pulau di Selat Sunda, Kepulauan Seribu, Kepulauan Karimun Jawa, sepanjang Pantai Utara (pantura) Jawa sampai Madura, Pulau-pulau di perairan Sulawesi Selatan, sampai di perairan Maluku dan Irian Jaya (Moosa et al., 1980). Area penangkapan rajungan di perairan Teluk Klabat pada umumnya terletak di Teluk Klabat Dalam, yaitu di perairan Pulau
55

Merintis Pembenihan dan Pembesaran Rajungan (Portunus pelagicus) di Bangka Belitung

Mangkubung di Utara, perairan Jebus di Barat, perairan Pusuk di Selatan dan di perairan Muara Sungai Layang di Timur. 3.1.2. Kadar oksigen Rajungan merupakan hewan penghuni dasar perairan. Menurut Djamali (2003) dan Sulastri et al. (2004) kadar oksigen perairan dasar Teluk Klabat (Juni-Juli 2003) dan perairan dasar Muara Sungai Layang (Juli & September 2004) pada umumnya sama dengan kadar oksigen di lapisan permukaan, yaitu > 4 mg/L, sesuai untuk perairan budidaya (Menteri Negara Lingkungan Hidup, 2004). Tetapi pemantauan pada bulan Oktober 2004, kadar oksigen di bawah permukaan air di Muara Sungai Layang < 4 mg/L (2,77-3,70 mg/L). Hal ini tidak masalah bagi kehidupan rajungan karena rajungan dapat berpindah tempat ke perairan yang lebih sesuai dengan kebutuhan hidupnya. 3.1.3. Suhu dan salinitas Di alam, suhu bukan merupakan faktor pembatas untuk keberadaan rajungan Portunus pelagicus. Rajungan mempunyai sebaran yang luas di Lautan Indo-Pacific, yaitu dari daerah tropis hingga di daerah beriklim dingin. Berkisar dari Tanzania dan Afrika Timur sampai Tahiti, termasuk Jepang, Pilipina, Australia dan New Zealand bagian utara (Stephenson dalam Shinkarenko, 1979). Chande & Migaya (2003) melaporkan bahwa perairan pantai Dar Es Salaam merupakan perairan yang cocok untuk semua ukuran rajungan, meskipun pada saat air surut, suhu dapat mencapai 33OC dalam bulan Januari 1995. Prasad & Tampi (1953) menyatakan bahwa rajungan dapat hidup di perairan dengan suhu dan salinitas yang bervariasi. Mereka dijumpai di goba-goba yang dangkal di Teluk Palk dalam bulan Februari, ketika suhu meningkat sampai 35OC dan salinitas mencapai 43 ppt. Rajungan ditemukan di perairan Teluk Jakarta dan Pulau Pari, dimana suhu rata-rata 29,18OC dan salinitas rata-rata 31,36 ppt (Romimohtarto, 1977). Suhu air laut di perairan Teluk Klabat, Bangka pada periode 27 Juni 8 Juli 2003 bervariasi antara 29,293 30, 671 OC (Djamali, 2003). Suhu di perairan Muara Sungai Layang berkisar 24,2 30,0 OC di bulan Juli 2004; kemudian 26,1-28,4 OC di bulan September 2004. Suhu perairan Muara Sungai Layang di bulan Oktober 2004 mempunyai kisaran lebih tinggi, yaitu 30,1 34,6 OC (Sulastri et al., 2004). Semakin ke dalam, suhu air memperlihatkan nilai yang cenderung makin dingin. Nilai salinitas di perairan Teluk Klabat, pada periode 27 Juni 8 Juli 2003 di permukaan bervariasi antara 24,957 32,739 ppt, sedangkan di lapisan kedalaman 5 m adalah 30,264 32,734 ppt. Salinitas perairan Muara Sungai Layang pada bulan Juli, September dan Oktober tergolong air asin atau air laut (18,8 31,5 ppt). Jadi berdasarkan parameter salinitas yang diukur dalam musim kemarau (Juli-Oktober 2004) perairan Sungai Layang dapat digunakan sebagai area penebaran benih rajungan (Sulastri et al., 2004). Meskipun demikian perlu pengamatan lebih lanjut mengenai salinitas Muara Sungai Layang pada musim hujan, terutama pada saat akan melakukan penebaran benih rajungan. Menurut Suharyanto & Tjaronge (2009) salinitas yang paling sesuai untuk pertumbuhan rajungan adalah 20 30 ppt. Komarudin et al. (2005) berhasil memelihara benih rajungan (bobot + 0,2 g) di bak-bak budidaya dengan kepadatan 20 ekor/m2, dalam salinitas 11-15 ppt, dengan ransum makanan berupa pellet udang windu no.4. Perubahan salinitas mendadak untuk rajungan dewasa dari alam telah dilakukan oleh Hartati (1996) yang melaporkan bahwa rajungan mati pada salinitas 0 10 ppt. Hasil penelitian Juwana (1999b) menunjukkan zoea rajungan dapat menerima peningkatan salinitas 9 ppt (dari 25 ppt ke 34 ppt) secara mendadak. Bahkan burayak rajungan dapat menerima penurunan
56

Juwana dan Sujono

salinitas sampai 7 ppt secara mendadak dengan ransum makanan yang menggunakan diet formulasi AM2V1L1Y sebagai pakan tambahan disamping nauplii Artemia. Menurut Meagher (dalam Kangas 2000) rajungan dapat hidup dalam kisaran salinitas 11-53 ppt. Menurut Potter (dalam Kangas 2000) benih rajungan tidak jauh beruaya dari tempat penebarannya. Sebanyak 79% dapat ditemukan 2 km sekitar titik penebaran, hanya 4% yang ditemukan sejauh 10 km dari titik penebaran. Rajungan bergerak ke luar muara menuju laut lepas untuk memijah dan sebagai reaksi dari penurunan salinitas di perairan muara. 3.1.4. pH, ammonia dan nitrit Nilai pH=7,91 diukur disekitar perairan Tanjung Penyusuk yang merupakan mulut teluk yang berhubungan dengan perairan laut terbuka (Laut China Selatan), sedangkan kearah dalam pH makin menurun. pH terendah di perairan Sungai Melandut, cabang Sungai Layang (pH = 6,2). Sungai Melandut kurang sesuai untuk penebaran benih rajungan. Juwana (1994) melaporkan bahwa ada kaitan antara pH, kadar ammonia dan produksi megalopa dalam pemeliharaan zoea rajungan. Produksi megalopa mencapai 1018%. Pada kisaran 7,5-8,0 dan kadar ammonia 0,038 ppm. Dalam kadar ammonia yang lebih tinggi (0,126 ppm), pH menurun 6,9 7,2 dan produksi megalopa hanya mencapai 6,6 9,9%. Kadar nitrit (N-NO2) di perairan Teluk Klabat maupun Muara Sungai Layang tidak melebihi 0,06 mg/L, yaitu batas maksimum yang diperbolehkan oleh Peraturan Pemerintah No. 20 tahun 1990. Kadar ammonia perairan Teluk Klabat maupun Muara Sungai Layang adalah < 0,3 mg/L dan dinyatakan aman untuk kegiatan budidaya laut (Menteri Negara Lingkungan Hidup, 2004). 3.1.5. Nitrat dan fosfat Kadar nitrat tertinggi di perairan Teluk Klabat adalah 0,0187 mg/L, yaitu di depan Muara Sungai Layang . Kadar nitrat tertinggi di Sungai Layang adalah 0,151 mg/L, yaitu tempat bermuara Sungai Lumut (percabangan Sungai Layang). Batas normal kadar nitrat untuk perairan laut 0,008 mg/L (MNLH, 2004). Kadar fosfat relatif lebih kecil bila dibanding dengan parameter-parameter yang lain, nilai tertinggi adalah 0,224 mg/L (Sungai Melandut), sedikit di atas batas normal 0,015 mg/L (MNLH, 2004). Berdasarkan nilai kadar nitrat dan fosfat, perairan Teluk Klabat aman untuk aktivitas budidaya laut. 3.1.6. Logam Berat Kadar logam berat (Cd, Cu, Cr, Ni, Pb dan Zn) perairan Teluk Klabat (Tabel 2), baik di lapisan permukaan dan di dekat dasar perairan jauh lebih rendah dari nilai ambang baku mutu air laut untuk budidaya biota laut dan dinyatakan aman untuk aktivitas budidaya rajungan. Tetapi kadar Fe, Mn, Ni, Pb dan Zn dalam sedimen telah melebihi ambang batas, bila dibanding dengan laporan Rochyatun et al. (2003) seperti tersebut dalam Tabel 2. Tetapi mulai ada pengendapan logam berat pada sedimen di perairan Teluk Klabat, yang telah melebihi ambang batas. Menurut Henny (2008) logam berat juga berasal dari galian penambangan timah, yang terbawa arus air dan mengendap di dasar perairan. Berdasarkan hasil percobaan di laboratorium, Mc Pherson & Brown (2001) melaporkan di antara logam berat Cd, Cu, Zn, As, Fe dan Al; hanya logam berat Cd yang berakumulasi di hepatopancreas rajungan (Portunus pelagicus). Berdasarkan pemeriksaan logam berat di sedimen hanya perairan Tanjung Penyusuk yang mempunyai nilai Cd terendah (0,01 ppm). Kadar Cd di sedimen Teluk Klabat Kecil adalah 0,02-0,03
57

Merintis Pembenihan dan Pembesaran Rajungan (Portunus pelagicus) di Bangka Belitung

ppm. Kadar Cd di sedimen Teluk Klabat Dalam adalah 0,02-0,06 ppm. FAO (dalam Rahman, 2006) menyatakan seharusnya kadar logam Pb dan Cd pada tubuh organisme krustasea tidak melebihi dari 2 ppm dan 1 ppm. Disamping itu juga harus dicari mengenai informasi kadar Cd di dalam daging rajungan dari perairan Teluk Klabat. Sebagai pembanding, Rahman telah meneliti kadar Cd perairan pantai Batakan dan Takisung Kabupaten Tanah Laut, Kalimantan Selatan, dalam tahun 2005. Hasil yang diperoleh menunjukkan kadar Cd di kedua pantai tersebut berkisar 0,06-0,07 ppm untuk air dan 6,5-7,3 ppm untuk sedimen, dan 8,52-11,375 ppm untuk rajungan Portunus pelagicus (Rahman, 2006). Perlu diwaspadai, tampak kadar Cd dalam daging rajungan lebih tinggi dari kadar Cd dalam sedimen tempat hidupnya. Meskipun demikian kadar Cd dalam sedimen Teluk Klabat masih jauh di bawah kadar Cd perairan pantai Batakan dan Takisung Kabupaten Tanah Laut, Kalimantan Selatan. Tabel 2. Nilai kadar logam berat di perairan Teluk Klabat, Juni-Juli 2003 dan Nilai ambang batas kadar logam berat di ekosistem bahari.
NILAI KADAR LOGAM BERAT DI PERAIRAN TELUK KLABAT (Djamali, 2003, Lestari et al., 2007) NILAI AMBANG BATAS LOGAM BERAT DI LAUT (Everaart et al. & RNO dalam Rochyatun et al., 2003; MNLH, 2004)

LOGAM BERAT

Cd Cr Cu Fe Mn Ni Pb Zn

Permukaan (ppm) <0,001 Tak ada data <0,001 Tak ada data Tak ada data <0,001-0,003 0,001-0,007 <0,001-0,013

Dasar Air (ppm) <0,001 Tak ada data <0,001 Tak ada data Tak ada data <0,001-0,002 0,001-0,002 <0,001-0,003

Sedimen (ppm) 0,01-0,10 0,68-15,97 0,28-5,67 468,64-12838,16 5,34-376,53 0,26-7,55 1,06-58,19 0,43-36,85

Air Laut (ppm) 0,001 0,005 0,008 Tak ada data Tak ada data 0,050 0,008 0,050

Sedimen (ppm) 0,01 0,01 5 0,01 0,01 0,001 0,01 20-150

3.1.7. Senyawa Kimia Organik Kadar pestisida organoklorin total dalam air di perairan Teluk Klabat pada bulan Juni-Juli 2003 adalah 0,325-0,527 ppt, sedangkan dalam sedimen adalah 0,005-0,057 ppb (Djamali, 2003). Berdasarkan kadar pestisida organoklorin, perairan Teluk Klabat masih memenuhi persyaratan baku mutu air laut yang telah ditetapkan Menteri Negara Lingkungan Hidup (2004), yaitu < 10 ppb. Tetapi Munawir (2007a) melaporkan bahwa perairan Teluk Klabat Luar dan Teluk Klabat Dalam telah tercemar senyawa poliklorobifenil (PCB) dalam kadar yang telah melampaui ambang batas (10 ppt), yaitu dari jenis PCB 66 dengan kisaran 23,676 456,156 ppt. Kadar tertinggi (456,156 ppt) dijumpai sekitar perairan Pelabuhan Tanjung Gudang. Makin kedalam kadar cemaran tersebut makin rendah, sampai di perairan Teluk Klabat Kecil kisaran kadar PCB 66 adalah 5,271 6,397 ppt. Senyawa poliklorobifenil adalah senyawa organoklorin yang bersifat racun sama halnya seperti pestisida dan mempunyai sifat yang persisten di alam. PCB di alam antara lain berasal dari alat-alat elektronik yang menggunakan senyawa PCB dalam pembuatannya. Munawir (2007b) telah menganalisis 16 senyawa Polisiklik Aromatik Hidrokarbon (PAH) dalam air, sedimen dan sampel biota di perairan Teluk Klabat dalam bulan Maret dan Juli 2006. Pada umumnya kadar PAH di air belum melebihi nilai ambang batas baku mutu kualitas perairan (30 ppb) yang dikeluarkan oleh kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup 2004. Kecuali di mulut Teluk Klabat Kecil, kadar PAH di air mencapai 44,486 ppb. Hasil analisis senyawa PAH dalam sedimen di
58

Juwana dan Sujono

perairan Teluk Klabat mencapai 0,029-4,792. Disarankan untuk membatasi aktifitas penambangan timah di lokasi-lokasi yang diperuntukkan sebagai daerah perikanan, karena ada indikasi akumulasi PAH yang cukup tinggi pada sampel kerang yang dianalisis, yaitu Anadara granosa 4,589 ppb; Scolopsis sp. 1300,654 ppb; Arius thalasinus 2141,634 ppb; Psettodes erumei 895,591 ppb dan Strombus turturella 6370,641 ppb. 3.1.8. Bakteri koli dan bakteri pathogen Hasil pemantauan Juni-Juli 2003 menunjukkan bahwa nilai rata-rata kandungan bakteri fekal koli di perairan Teluk Klabat belum mencapai 1000 koloni/ml. Berdasarkan 5 sampel yang mengandung bakteri koli, itupun jumlahnya relatif rendah, yaitu 4-13 koloni/100 ml. Kandungan bakteri koliformnya juga masih di bawah 10.000 koloni/100 ml, yaitu 143-4015 koloni/100 ml (Djamali, 2003). Kandungan bakteri koliform dalam bulan Agustus 2006 berkisar 320-4570 koloni/ 100 ml dan dalam bulan November 2006 berkisar 770-2860 koloni/100 ml. Bakteri pathogen yang terdeteksi di perairan Teluk Klabat adalah Aeromonas, Citrobacter, Proteus, Pseudomonas, Salmonella, Shigella, Vibrio dan Hafnia. Informasi lebih lanjut, bakteri patogen tersebut tidak berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan benih rajungan yang dipelihara di dalam jaring kantong mendasar di perairan Tanjung Penyusuk, Teluk Klabat (Juwana et al., 2006). Tetapi disarankan apabila nantinya dibangun hatchery yang menggunakan perairan Teluk Klabat sebagai sumber air laut, harus dilakukan perlakuan yang seksama untuk mematikan bakteri patogen tersebut, sebelum digunakan untuk aktivitas pembenihan di hatchery. Berdasarkan hasil pemantauan kualitas air tersebut di atas, Juwana et al. (2008a) menyimpulkan bahwa perairan Teluk Klabat mempunyai kualitas air yang aman untuk kehidupan rajungan. Perlu diperhatikan bahwa pemantauan tersebut dilakukan dalam bulan Juni-Juli 2003, yaitu dalam musim kemarau. Perairan Teluk Klabat Kecil mendapat pengaruh dari perairan Muara Sungai Layang, yang menurunkan salinitasnya pada musim hujan, ada kemungkinan pengaruhnya sampai ke perairan Teluk Klabat Dalam. Diperlukan pemantauan salinitas pada musim penghujan dan pada saat air laut surut, terutama di perairan Teluk Klabat Dalam. Apabila saat tersebut salinitasnya tidak lebih rendah dari 11 ppt, maka perairan Teluk Klabat Dalam dapat merupakan area penebaran benih rajungan (nursery ground), disamping juga merupakan kawasan penangkapan rajungan (fishing ground). Sebaiknya panti pembenihan rajungan juga dibangun di sepanjang pantai Teluk Klabat, disamping memudahkan transportasi benih saat penebaran, juga tidak perlu melakukan adaptasi salinitas terhadap benih yang akan ditebar. 3.2. Alih teknologi pembenihan dan pembesaran rajungan Proses alih teknologi pembenihan rajungan pada awalnya dilakukan di Laboratorium Budidaya Biota Laut, Pusat Penelitian Oseanografi LIPI, Jakarta (LBBLP2O, LIPI), dengan menggunakan buku Petunjuk Praktis Pembenihan Rajungan yang dilakukan di laboratorium tersebut (Juwana, 2006). Kemudian dilakukan pembesaran benih rajungan di dalam jaring kantong mendasar (jatongsar) di perairan Tanjung Penyusuk, Teluk Klabat. Selanjutnya dalam tahun 2007 dilakukan produksi massal benih rajungan, di hatchery semi out-door Balai Benih Ikan Pantai (BBIP), Tanjung Rusa, Belitung. Aktivitas tersebut digunakan sebagai sarana untuk pelatihan pembenihan rajungan, pengangkutan dan penebaran benihnya ke perairan Teluk Klabat. Dalam tahun 2008, produksi massal benih rajungan, dilakukan di hatchery in door BBIP, Tanjung
59

Merintis Pembenihan dan Pembesaran Rajungan (Portunus pelagicus) di Bangka Belitung

Rusa, Belitung; dan di hatchery in door BP BILAPU, Pangandaran Jawa Barat. Dalam tahun 2009 dan 2010 pelatihan pembenihan rajungan dilakukan di hatchery skala rumah tangga (HSRT) milik perorangan yang terletak di Kota Tanjung Pandan, Belitung. Peserta pelatihan diambil dari unsur kedinasan (DKP, Provinsi Bangka Belitung), masyarakat Bangka Belitung, peneliti muda dan kandidat teknisi dari UPT-UPT Puslit Oseanografi seperti tercantum dalam Tabel 3. Kegiatan ini juga memfasilitasi seorang mahasiswa (staf Dinas Perikanan, Jawa Barat) yang menyelesaikan thesis S2 di UI, pada tahun 2007. Peserta pelatihan dapat menjadi pelatih di tahun-tahun berikutnya. Tabel 3. Proses alih teknologi pembenihan rajungan (Portunus pelagicus). YANG DILATIH TAHUN ASAL PELATIH Dinas Kelautan dan Perikanan Bangka Belitung (orang) a+b=2 S1 + S1 a+c=2 S1 + D3 a+d=2 S1 + D3 f=1 SLTA f=1 SLTA Masyarakat Bangka Belitung (orang) Puslit Oseanografi (orang) j=1 S1 k=1 S1 m+n=2 S1 + SLTA n+o=2 SLTA+SLTA 5

Mei-Juni Puslit Oseanografi 2006 Mei-Juni Puslit Oseanografi 2007 Okt-Nov Puslit Oseanografi e=1 2007 SLTA Mei-Juni Puslit Oseanografi g=1 2008 DKP, Bangka (a) SLTA g+h=1 Juli-Agus DKP, Bangka (a) 2008 DKP, Belitung (d) SLTA+S1 Mei-Juni Puslit Oseanografi i=1 2009 SLTA Ags-Nov Puslit Oseanografi 2009 Mar-Juni Puslit Oseanografi l=1 2010 SLTA Ags-Nov Puslit Oseanografi l=1 2010 SLTA 2006-10 TOTAL (personil) 5 4 Keterangan: huruf alfabet menunjukkan personil yang berbeda. 3.2.1. Pembesaran benih rajungan di dalam jaring kantong mendasar

Sebanyak 2 (dua) unit jaring kantong mendasar (jatongsar), masing-masing berukuran 5m x 5m x 6m telah dipasang di perairan pantai Tanjung Penyusuk. Pada saat surut terendah kedalaman air sekitar 1m. Sekeliling dasar dinding ditindih dengan karung berisi pasir sebagai pemberat. Dua unit jatongsar tersebut sementara (1-2 bulan) dibiarkan tidak diisi rajungan, agar untaian-untaian serabut plastik yang dipasang di dasar jatongsar dihuni oleh fauna benthos, yang merupakan stok pakan alami bagi benih rajungan yang akan ditebar di dalam jatongsar tersebut. Untaian serabut plastik tersebut juga merupakan rumpon untuk mengurangi kanibalisme pada rajungan (Juwana, 2004). Penebaran benih rajungan di dalam jaring kantong mendasar (jatongsar) yang dipasang di perairan Tanjung Penyusuk, Teluk Klabat, Pulau Bangka, telah dilakukan pada tanggal 12 Agustus 2006. Pemantauan pertama hasil tebar dilakukan pada tanggal
60

Juwana dan Sujono

20 September 2006 (38 hari setelah tebar) dan pemantauan kedua dilakukan pada tanggal 15 Oktober 2006 (64 hari setelah tebar), sekaligus dipanen untuk dipindahkan ke perairan Sungai Layang. Hasil pemantauan dan hasil panen dapat dilihat di Tabel 4. Laju pertumbuhan lebar karapas, setelah 2 (dua) bulan atau tepatnya 64 hari pemeliharaan di dalam jaring kantong mendasar adalah hampir 1,5 kali, sedangkan laju pertumbuhan berat tubuh rajungan mencapai 2,7 kali dengan sintasan 60 %. Tabel 4. Hasil pemantauan pertumbuhan dan sintasan rajungan di dalam jaring kantong mendasar yang dipasang di perairan Tanjung Penyusuk.
12 AGUSTUS 2006 (0 hari) 39,80 90,55 60,9825 Awal 4,49 45,97 20,05 Awal Awal 20 SEPTEMBER 2006 (38 hari) 44,95 101,70 78,118 1,28 kali (11,86%) 0,31%/hari 5,50 71,50 37,2235 1,86 kali (81,55%) 2,16%/hari 73,33 15 OKTOBER 2006 (64 hari) 61,00 114,10 90,85 1,48 kali (16,2%) 0,62%/hari 13,20 134,70 54,16 2,70 kali (45,16%) 1,54%/hari 60,0

Lebar karapas minimum (mm) Lebar karapas maksimum (mm) Lebar rerata (mm) Laju pertumbuhan lebar karapas Berat tubuh minimum (g) Berat tubuh maksimum (g) Berat rerata (g) Laju pertumbuhan berat tubuh Sintasan (%)

Berat total rajungan yang dipanen 3,58 kg (Rp. 89.500), atau 140g/m2 hampir sama dengan hasil Juwana (1997b) sebanyak 150g/m2. Bersama rajungan juga dipanen berbagai jenis ikan. Yaitu juvenil ikan yang dapat menembus mata jaring 3 mm, kemudian bermukim dan tumbuh menjadi besar di dalam jatongsar. Berat total ikan yang ikut dipanen adalah 1,8 kg (Rp 18.000,-) merupakan ikan yang mempunyai nilai ekonomis penting, seperti ikan beronang (Siganus javus, S. vermiculatus), ikan kerapu (Epinephelus), berbagai jenis ikan kakap (Lates calcarifer, Lutjanus carponotaus, Lutjanus vitta), ikan lencam (Lethrinus harax), ikan tanda-tanda (Lutjanus ruselli) dan ikan sangga langit, Monacauthidae. Namun berat total pakan yang diberikan adalah 75 kg (Rp. 375.000,-). Berarti ratio pakan: hasil panen adalah sangat tinggi (13,94 : 1). Sehingga usaha pembesaran rajungan di dalam jatongsar adalah tidak menguntungkan, kalau pakan yang diberikan harus membeli. Solusi untuk pembesaran benih rajungan adalah: (1) Melakukan penebaran benihnya kembali ke alam (restocking), dalam hal ini pakan diserahkan kepada alam; (2) Mempunyai sarana untuk mengumpulkan pakan dari alam, misal bagan atau sero; dan (3) Melakukan pembesaran rajungan secara polikultur dengan ikan-ikan herbivora di dalam jaring kantong mendasar (jatongsar). 3.2.2. Sosialisasi pelestarian species rajungan Hasil panen rajungan dari jatongsar di perairan Tanjung Penyusuk ditebar kembali ke perairan Sungai Layang (salinitas 30 ppt). Pada waktu itu panen dilakukan mulai jam 6.00, hasil panen didata (diukur, ditimbang), kemudian diangkut ke Sungai Layang dan ditebar sekitar jam 12.00. Sintasan yang diperoleh adalah 98,5%, yaitu hanya mati 1 (satu) ekor, karena rajungan tersebut habis berganti cangkang (moulting), masih lunak dan lemah. Pengangkutan menggunakan bak berisi air laut setempat dan diaerasi dengan aerator bateray. Berdasarkan sintasan yang diperoleh, rajungan tersebut dapat dikatakan mempunyai ketahanan hidup yang sangat baik, meskipun bakteri pathogen Aeromonas
61

Merintis Pembenihan dan Pembesaran Rajungan (Portunus pelagicus) di Bangka Belitung

dan Vibrio terdeteksi di perairan Tanjung Penyusuk (Teluk Klabat Luar) yang merupakan tempat pembesaran rajungan tersebut. Keberadaan bakteri pathogen tersebut tidak sampai kepada tingkat penyebab sakit pada rajungan. Selama pengangkutan rajungan tersebut, ikut serta nelayan penangkap rajungan dan masyarakat Bangka. Kesempatan tersebut digunakan untuk menerangkan arti dari penyelamatan induk rajungan memijah kepada mereka. Bahwa seekor induk rajungan mempunyai telur 200.000 sampai 1 juta butir. Induk memijah yang tertangkap sebaiknya dipelihara di dalam jatongsar atau bubu selama paling lama 6 hari, untuk memberi kesempatan menetaskan telur-telurnya dan menyebarkan larvanya ke perairan sekitar. Kalau larvanya berhasil hidup 10% berarti jadi rajungan 20.000 ekor = 2000 kg = Rp. 50 juta, dalam waktu lima bulan, hanya dari menyelamatkan seekor induk rajungan memijah. Menyelamatkan induk rajungan memijah, atau memberi kesempatan kepada induk tersebut untuk menetaskan telur-telurnya dan menyebarkan larvanya ke perairan sekitar, berarti adalah penyelamatan species rajungan tersebut, untuk anak cucu manusia. Ketua Kelompok Nelayan Belinyu (Armanto) terkesan dengan penjelasan tersebut dan berjanji akan memberitakan hal tersebut kepada kelompoknya. 3.2.3. Produksi massal benih rajungan di hatchery semi out door Ransum makanan yang diberikan selama aktivitas pembenihan rajungan di BBIP, Tanjung Rusa, Belitung pada periode tahun 2007 dapat dilihat dalam Tabel 5. Total benih rajungan (stadium crab IV) yang diproduksi di hatchery semi out door BBIP, Tanjung Rusa, Belitung, dalam periode Mei Juni 2007 adalah 7325 ekor (Juwana et al,. 2008b); dan dalam periode Oktober November 2007 adalah 2762 ekor (Juwana et al., 2007). Produksi benih rajungan dalam periode Oktober November 2007 lebih rendah daripada produksi sebelumnya, karena pada saat tersebut hujan turun dari awal kegiatan ini dimulai, sehingga tidak mudah menjaga suhu air optimum dalam bak-bak budidaya. Meskipun pada saat hujan dan malam hari tenda yang mengelilingi hatchery tersebut diturunkan, suhu air dalam bak budidaya pada pagi hari dapat mencapai 25OC. Kondisi lingkungan optimum yang dianjurkan untuk kegiatan pembenihan rajungan dalam penelitian terdahulu di laboratorium dapat dilihat dalam Tabel 6. Produksi benih rajungan di hatchery semi out door BBIP, Belitung ini maksimum 2,2 ekor/L (rata-rata 1,26 ekor/L), kalau dibanding dengan produksi benih rajungan di laboratorium P2O-LIPI, Jakarta dapat mencapai maksimum 6,9 ekor/L (Juwana, 1995), hal ini jauh diluar perkiraan. Pada awalnya penulis mengharapkan produksi benih rajungan di BBIP, Belitung, akan lebih tinggi daripada produksi benih rajungan di P2O-LIPI, Jakarta, dengan harapan kualitas air laut di Tanjung Rusa, Belitung lebih baik daripada di Ancol, Jakarta. Kendala yang dihadapi dalam pembenihan rajungan di BBIP terutama adalah bagaimana dapat menjaga kestabilan suhu air laut di bak-bak budidaya. Pemasangan pemanas air (automatic water heater) juga tidak dapat diandalkan, karena generator yang digunakan pada siang hari kurang memenuhi kapasitas penggunaan. BBIP pada saat tersebut belum difasilitasi tenaga listrik dari PLN.

62

Juwana dan Sujono

Tabel 5. Ransum makanan/hari/liter untuk pembenihan rajungan dengan kepadatan awal 100 Zoea I per liter.
TINGKAT PERKEMBANGAN Megalopa zoea I ea III megalopa crab I zoea II tifera (Brachionus) 10.000 ekor 1.000 nauplii *) 2.000 nauplii *) 5.000nauplii *) emia kan buatan (pellet kering) 0,03 g 0,06 g (< 250 mikron) (> 250 mikron) kan alami (ikan/udang) Secukupnya terangan: * Nauplii Artemia yang baru menetas disiapkan setiap hari. PAKAN crab I crab V 0,10 g (pellet) ecukupnya

Tabel 6. Kondisi lingkungan optimum untuk pemeliharaan zoea rajungan dan pendederan benih rajungan. Pemeliharaan zoea megalopa Suhu optimum (C) 30 (1) Kisaran suhu (C) 27-32 (1) Salinitas optimum () 27-30 (1) Kisaran salinitas () 20-32 (1) Intensitas cahaya optimum 2500; 3 12 jam/hari (2) (Lux) Parameter
Sumber: (1) Juwana (1999b); (2) Juwana (1999c); (3) Juwana (2002).

Pendederan benih rajungan crab I - IV 28-30,5 (3)

28-32 (3) 3300; 12 jam/hari (3)

3.2.4. Panen, pengangkutan dan penebaran benih rajungan Produksi benih rajungan dihitung sebelum panen benih rajungan tersebut dilakukan. Benih rajungan yang telah dihitung, ditampung dalam wadah dengan rumpon serabut plastik. Kemudian sebanyak 500 ekor benih yang dihitung dipelihara di dalam keramba jaring yang diletakkan di dalam bak-bak budidaya tersebut. Tujuan dari perlakuan ini supaya memudahkan saat panen benih rajungan. Benih rajungan tetap dipelihara seperti biasa, diberi aerasi dan pakan, air diganti setiap hari sampai saat panen tiba. Panen benih rajungan dilakukan pada tanggal 24 Juni 2007 dan 24 November 2007. Benih rajungan dari dua keramba jaring dimasukkan ke dalam kantong plastik yang berisi 10 L air laut, diberi serabut/rumpon, tidak diberi pakan. Kemudian dikemas dengan gas oksigen. Setiap kantong plastik berisi 1000 benih rajungan, diletakkan ke dalam kotak styrofoam. Sekantong es batu yang dibungkus koran diletakkan di sudut kotak styrofoam tersebut. Setelah kotak styrofoam di tutup dan di lakban , diangkut dengan mobil ke pelabuhan, untuk menyeberang ke Pulau Bangka. Sampai di Bangka diangkut dengan mobil, tetapi sebelum diangkut dengan perahu ke area penebaran di perairan Teluk Klabat setiap kantong dibuka dan ditambah oksigen lagi. Pada tanggal 24 Juni 2007, perahu motor yang membawa benih rajungan bertolak dari Jembatan Primping. Salinitas Sungai Layang pada waktu itu 0 ppt, maka perahu menuju kembali kearah Teluk Klabat Dalam. Sepanjang perjalanan setiap 15 menit dilakukan pengecekan salinitas perairan dengan hand refractometer. Sebanyak 3000 benih rajungan ditebar di perairan Pulau Nenas dilakukan oleh peneliti utama (P2O-LIPI) dan perwakilan dari Bangka Barat dan Belitung. Kemudian 2000 benih rajungan ditebar
63

Merintis Pembenihan dan Pembesaran Rajungan (Portunus pelagicus) di Bangka Belitung

di perairan Pulau Mangkubung oleh perwakilan dari Bangka Induk dan Jawa Barat. Kedua pulau tersebut berada di perairan Teluk Klabat Dalam. Pada saat penebaran salinitas 25 O/oo. Sekantong lagi yang berisi 1000 ekor Benih rajungan diminta oleh DKP Bangka Selatan untuk ditebar di perairan Tanjung Krasak, Bangka Selatan. Kelulushidupan benih rajungan selama pengangkutan sampai ditebar diperkirakan 90%. Benih rajungan yang mati adalah rajungan lunak yang berganti kulit di perjalanan. Penebaran benih rajungan pada tanggal 24 November 2007 bertolak dari Tanjung Gudang menuju Pulau Mangkubung. Tetapi salinitas perairan sekitar Pulau Mangkubung pada waktu itu 20 . Maka perahu berbalik ke arah Teluk Klabat Luar. Sepanjang perjalanan di perairan Teluk Klabat Luar, setiap 10 menit dilakukan pengukuran salinitas dan mengadaptasikan benih rajungan dengan salinitas lebih rendah, yaitu dengan cara menambah air laut sekitar 3 liter ke dalam kantong plastik yang berisi benih rajungan Untaian serabut dilepas, supaya sumbunya tidak menjerat baling-baling kapal bila terapung-apung di laut. Sampai di dekat perairan dekat Pulau Lampu, salinitas mencapai + 27 ppt. Penebaran dilakukan oleh perwakilan dari Desa Baki, Bangka Barat, serta dari Bangka induk, di depan Pulau Lampu. Sebaiknya sumbu untaian serabut tidak dilepas, karena ada benih rajungan yang masih berpegang keserabut, hanyut bersama serabut tersebut ke perairan yang mempunyai salinitas lebih rendah (Juwana et al., 2007). 3.2.5. Produksi massal benih rajungan di hatchery in door Pembenihan Rajungan dalam periode tahun 2008 di lakukan di 3 (tiga) tempat, yaitu di hatchery in door (A) BBIP, Tanjung Rusa, Belitung; (B) BP BILAPU, Pangandaran, Jawa Barat; dan (C) HSRT, Tanjung Pandan, Belitung. Perbedaan kondisi lingkungan dan metode yang dilakukan di tiga hatchery tersebut dapat dilihat di Tabel 7. Produksi benih rajungan di hatchery in door (A) Hatchery in door (A), adalah hatchery yang digunakan untuk produksi benih ikan kerapu bebek. Produksi rajungan dilakukan dalam satu unit bak volme 2,5 ton. Penyediaan air laut di beri kaporit bubuk (50g/2,5ton), diendapkan semalam, kemudian bagian yang jernih dipindahkan ke bak tandon yang lain dan diberi bekarbon (20 butir/2,5ton) dan diaerasi semalam. Selanjutnya dipindahkan ke bak tandon air laut siap pakai melalui kantong saringan. Metode pemeliharaan larva rajungan yang digunakan mengacu kepada prosedur yang digunakan pada tahun 2007 di hatchery semi outdoor. Kendala yang dihadapi pada tahun 2007 adalah saat hujan dan angin tidak dapat menjaga kondisi lingkungan untuk kebutuhan optimum perkembangan larva rajungan. Maka dalam periode tahun 2008 ini, produksi rajungan dilakukan di hatchery in door dimana tidak dipengaruhi oleh kondisi cuaca di luar. Karena hatchery in door (A) beratap asbes tidak tembus cahaya. Kebutuhan pencahayaan diberikan dengan 6 buah lampu neon 40 Watt yang digantung dipermukaan setiap bak, dengan intensitas cahaya + 2500 Lux. Induk rajungan yang digunakan berasal dari perairan pantai Tanjung Rusa, yang menetaskan larva-larva nya pada tanggal 18 Mei dan 22 Mei 2008. Kepadatan larva diatur 250.000 ekor/bak (100 larva/L). Kelebihan larva dikembalikan ke laut. Ransum makanan untuk pemeliharaan larva rajungan, yaitu berupa rotifera (10.000 ekor/L), nauplii Artemia (500-1000 nauplii/L; produk Premium Sanders). Setelah larva mencapai stadium zoea III diberi pakan tambahan yang disiapkan di laboratorium P2O-LIPI (0,01 g/L; bahan baku NRD, telur omega 3, terigu dan multivitamin). Pada saat stadium zoea III pemberian nauplii Artemia digandakan dan saat terbentuk megalopa diberi cacahan daging ikan rucah (250g/hari). Untaian serabut plastik digantung di dalam bak-bak sebagai rumpon
64

Juwana dan Sujono

untuk megalopa. Pemeliharaan megalopa dilakukan sampai seluruhnya bermetamorfosa menjadi benih rajungan crab I. Benih rajungan crab I tepat terjadi pada hari ke-15, yaitu pada tanggal 2 Juni dan 6 Juni 2008. Hasil di hatchery in door A adalah 500 crab III (umur 40 hari) dan 2900 crab II (umur 35 hari), yang dihitung pada tanggal 11 Juni 2008. Produksi benih rajungan di hatchery (A) ini belum optimum karena hanya mencapai 1,16 crab II/L (umur 35 hari), bahkan sedikit lebih rendah dari hasil tahun 2007 (1,26 crab III/L, umur 40 hari), yang dilakukan di hatchery semi out door (Juwana et al., 2007), karena dalam penelitian ini pemberian nauplii Artemia diberikan setengah dari jumlah yang diberikan dalam penelitian tahun 2007. Produksi massal benih rajungan di hatchery in door (B) Produksi benih rajungan yang dilakukan di hatchery (B) dalam bulan September Oktober menggunakan nauplii Artemia yang dalam penyediaan nya melalui proses dekapsulasi (Juwana, 2006), sehingga bakteri pathogen (missal Vibrio dan Aeromonas) yang mungkin mengkontaminan telur Artemia telah dibersihkan dari cangkang telurnya karena terkikis saat proses dekapsulasi. Tidak digunakan rotifera sebagai pakan untuk pemeliharaan larva rajungan. Satu-satunya kontaminan yang dapat membawa bakteri patogen ke dalam bak-bak budidaya larva rajungan adalah induk rajungannya. Induk rajungan juga telah diperlakukan dengan probiotik dan dipelihara dalam sistem air laut mengalir, sehingga kalau ada kontaminan bakteri, kepadatannya sudah sangat rendah. Seperti fungsinya, probiotik menjaga kualitas air budidaya dengan menetralkan sisa-sisa metabolisme dan menghambat pertumbuhan bakteri patogen. Maka penggunaan probiotik dilakukan dari hari kedua pemeliharaan zoea I setelah menerima moist formulated diet yang juga dapat menurunkan kualitas air bila terlalu banyak dan tidak segar lagi. Probiotik telah dikembangkan terlebih dahulu dengan larutan gula (0,4 g gula/0,2 g probiotik) selama 4 jam sebelum diberikan ke bak-bak budidaya. Pemberian probiotik dilakukan pada sore hari untuk menjaga kualitas air sepanjang malam hari, sebelum dapat dilakukan pergantian air di pagi hari. Pemberian probiotik diberikan setiap sore sampai larva rajungan menjadi benih rajungan. Pada hari ke-15 benih rajungan telah mencapai stadium crab II & III. Hasil penelitian ini mempunyai sintasan > 8,7% crab II dengan waktu 5 hari lebih singkat dari hasil-hasil pembenihan di hatchery semi out door maupun hatchery in door (A) karena hatchery in door (B) mempunyai suhu lebih tinggi dan relatif lebih dapat menyimpan panas dari sinar matahari. Produksi benih rajungan 8703 ekor/6 ton (1,45 ekor/L) diperoleh dari 1 unit bak volume 4 ton dan 2 unit bak volume 2 ton. Produksi massal benih rajungan di hatchery in door (C) Produksi massal benih rajungan di hatchery (C) yang dilaksanakan dalam bulan Nopember 2008, dapat dikatakan gagal (55 ekor) meskipun mengacu kepada metode yang telah berhasil dilakukan di hatchery (B), dalam bulan September-Oktober 2008. Berhubung kondisi lingkungan hatchery (C) tidak dapat diatur seperti hatchery (B) karena perbedaan sarana dan prasarana. Kisaran parameter kualitas air selama pembenihan rajungan di hatchery (C) adalah: Suhu 29-30OC; pH 7,1-7,6, salinitas 30 ppt; DO 2 ppm. Tampak bahwa DO tidak memenuhi syarat untuk produksi benih rajungan. Ada kemungkinan sumber air laut juga tidak memenuhi syarat untuk pembenihan rajungan.

65

Merintis Pembenihan dan Pembesaran Rajungan (Portunus pelagicus) di Bangka Belitung

Tabel 7. Perbedaan kondisi lingkungan dan metode pembenihan rajungan di hatchery in door (A), (B) dan (C).
Faktor yang berbeda 1. Atap hatchery 2. Dinding hatchery 3. Pencahayaan 4. Suhu air (OC) 5. Sumber induk rajungan 6. Treatment air laut 7. Deklorinasi 8. Ransum makanan larva rajungan Hatchery in door A di BBIP Asbes tak tembus cahaya Tembok dengan jendela kaca Lampu neon 40 watt (500 2500 Lux), 24 jam/h 28-29 Perairan pantai Kaporit bubuk Bekarbon Rotifera, nauplii Artemia dan pakan buatan kering Hatchery in door B di BP BILAPU Seng plastik tembus cahaya Tembok tanpa jendela Siang sinar matahari Malam tanpa lampu 29-33 Perairan pantai Kaporit cair Saringan karbon Nauplii Artemia dan pakan buatan basah Hatchery in door C di HSRT Asbes dan seng plastik Tenda plastik Lampu neon 40 watt (500 2500 Lux), 24 jam/h 28-29 Perairan pantai Kaporit bubuk Saringan karbon Nauplii Artemia dan pakan buatan basah

Evaluasi keberhasilan alih teknologi pembenihan rajungan menunjukkan bahwa alih teknologi pembenihan rajungan telah dilaksanakan di berbagai tipe hatchery, disertai dengan pelatihan pengangkutan benih dan penebarannya, serta pembesaran benih rajungan di dalam jaring kantong mendasar sampai panen. Keberhasilan produksi benih rajungan sangat bervariasi, tergantung pada sarana yang ada di hatchery tersebut dan ketersediaan bahan yang diperoleh. Peserta pelatihan pun diambil dari berbagai instansi dan lapisan masyarakat, yang mempunyai pendidikan SLTA, D3 dan S1. Sekitar 50% dari jumlah peserta pelatihan, kemudian berkecimpung dalam pembesaran rajungan secara polikultur dengan ikan herbivora, karena mereka tidak memiliki hatchery. Peserta yang memiliki hatchery tidak lagi berkecimpung dalam pembenihan rajungan, karena memang mereka diprogramkan untuk menangani komoditas lainnya. Keikutsertaan di dalam pelatihan ini sebagai pemula. 3.3. Evaluasi potensi ekonomis pemacuan stok rajungan (Portunus pelagicus) di perairan Teluk Klabat, Pulau Bangka. Menurut Juwana et al. (2009) estimasi benih rajungan yang boleh ditebar di perairan Teluk Klabat dilakukan dengan menghitung stok pakan alami perairan Teluk Klabat saat ini. Hasil-hasil penelitian terdahulu mengenai isi perut rajungan menunjukkan ada Brachyura, Polychaeta, Zostrea sp. Anomura, Cirripedia, Amphipoda, Tannidacea, Cumacea, Gastropoda, Amphineura, Echinoidea, Ikan, Moluska, Lamellibranchiate, Foraminifera, rumput laut, lamun, detritus organic dan pasir (Williams, 1982; Edgar, 1990). Menurut Adelung & Ponat (1977) rajungan memakan tumbuhan laut karena memerlukan karotenoid yang tidak dapat disintesis di dalam tubuhnya. Benih rajungan adalah hewan karnivora yang hidup di dasar perairan, oleh karena itu pakan yang sesuai untuk benih rajungan adalah fauna bentos. Benih rajungan hasil produksi di laboratorium akan ditebar kembali ke alam setelah mencapai umur 25 hari. Menurut Juwana (1999a) Benih rajungan umur 1 bulan tersebut, memerlukan fauna bentos selama 2 (dua) bulan, sebelum dapat memangsa hewan-hewan lainnya, yang lebih besar antara lain ikan, moluska dan lain sebagainya. Pada saat rajungan telah tidak lagi
66

Juwana dan Sujono

memangsa fauna bentos, maka akan terjadi pemulihan kembali populasi fauna bentos di perairan tersebut. Menurut Djamali (2003) benih ikan dalam berbagai ukuran dan tingkat pertumbuhan (pre-flexion, flexion, post flexion dan juvenile) terwakili dalam sampel dari perairan Teluk Klabat. Sesungguhnya faktor pakan bukan merupakan penyebab turunnya produksi rajungan di perairan tersebut, karena penulis menjumpai lebih banyak ikan daripada rajungan yang tertangkap oleh jaring rajungan (gill net) saat mengumpulkan induk rajungan dalam bulan Mei 2006. Penurunan populasi rajungan di perairan Teluk Klabat cenderung sebagai akibat lebih tangkap (over fishing). Penelitian tentang biomas fauna bentos untuk pemeliharaan benih rajungan per hari belum diteliti. Dalam kegiatan ini kebutuhan pakan rajungan diperkirakan 10% berat tubuh rajungan per hari. Berat benih rajungan stadium crab IV ditimbang dari sampel benih rajungan yang dihasilkan di laboratorium Pusat Penelitian Oseanografi LIPI, Jakarta. Tabel 8 menunjukkan bahwa hasil analisis biomasa fauna bentos dalam bulan Agustus 2006 lebih berat dibanding dengan biomasa fauna bentos dalam bulan Juni 2006. Tampak bahwa stok pakan alami untuk benih rajungan cukup melimpah di perairan Teluk Klabat Dalam maupun Teluk Klabat Luar, sehingga benih rajungan yang boleh ditebar di perairan Teluk Klabat tersebut adalah maksimum 10 ekor/m2. Luas Teluk Klabat Dalam + 200 km2, diperkirakan dapat menampung 200 juta ekor benih rajungan. Di negara-negara berkembang pembesaran rajungan pada umumnya dilakukan dengan penebaran benihnya kembali di laut, misalnya Jepang melakukan restoking dengan benih rajungan dari jenis Portunus trituberculatus (Cowan, 1984, Sakai et al. , 1983), kemudian United States juga mulai melakukan percobaan stock enhancement rajungan Callinectes sapidus di Chesapeake Bay pada tahun 2002 (Zmora et al. , 2005). Apabila di dekat perairan Teluk Klabat dibangun satu atau beberapa hatchery dengan kapasitas total bak-bak budidaya sebesar 200 ton (+ Rp. 1 milyard), maka diharapkan dapat digunakan untuk memelihara 20.000.000 larva rajungan (200.000 L x 100 larva/L). Benih rajungan yang diproduksi dalam waktu 25 hari adalah maksimum 1.380.000 ekor (6,9%), atau rata-rata 1 juta ekor. Diharapkan dalam satu tahun dapat berproduksi 6 x 1 juta ekor. Bila sintasan benih rajungan di alam dapat mencapai 10% maka produksi rajungan di perairan Teluk Klabat mencapai 600.000 ekor x 100 g = 60.000 kg/tahun, dengan nilai jual Rp. 1,2 milyard (Rp. 20.000,-/kg). Stok pakan alami di perairan Teluk Klabat cukup melimpah (untuk 200 juta benih rajungan), sehingga pemulihan stok pakan alami akan berjalan secara alami kalau hanya ditebar sampai 6 juta benih rajungan per tahun. Benih rajungan yang di produksi pada saat musim hujan dapat ditebar di perairan pulau-pulau kecil di luar Teluk Klabat, di sekitar perairan provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Pada umumnya rajungan tersebut dijual langsung ke pengupas daging rajungan. Pengupasan daging rajungan ini menyerap banyak tenaga pengupas yang kebanyakan para wanita dan pria yang tidak kuat melaut lagi. Satu pengupas bisa mengupas 10 kg rajungan/hari. Tabel 9 menunjukkan + 86 orang tenaga kerja setiap hari sepanjang tahun, yang dapat diserap dengan adanya fasilitas hatchery 200 ton, dalam kegiatan pembenihan, penangkapan rajungan, pengupasan rajungan dan transportasi daging rajungan sampai ke Pangkal Pinang. Tenaga kerja yang terserap berkaitan dengan kegiatan ini dapat meliputi beberapa bidang lainnya, misalnya pengalengan daging rajungan, pembuatan perahu motor, pembuatan alat tangkap rajungan dan lain sebagainya. Sementara ini belum ada pabrik pengalengan rajungan di wilayah Bangka Belitung, karena produksi rajungan di Bangka Belitung tidak banyak. Pabrik pengalengan terdekat berada di Lampung dan Cirebon.

67

Merintis Pembenihan dan Pembesaran Rajungan (Portunus pelagicus) di Bangka Belitung

Tabel 8. Biomasa fauna bentos serta estimasi benih rajungan yang boleh ditebar di perairan Sungai Melandut, Sungai Layang, Teluk Klabat, Juni dan Agustus 2006 (Juwana et al., 2009).
BIOMASA FAUNA BENTHOS (g/m2) STOK PAKAN HIDUP 60 HARI (g/m2)
BENIH RAJUNGAN YANG DITEBAR

PERAIRAN 1. S. Melandut Primping 2. Sungai Layang 3. Teluk Klabat Dalam 4. Teluk Klabat Luar

(individual/m2)

T Juni 17,412 1,862 (-) 4,175 Agust. 10,264 126,938 81,102 73,188

S=T:60 Juni Agust. 0,29 0,171 0,031 2,114 (-) 1,3517 0,0696 1,2198

C=S:0,13 Agust. Juni 2,2 1,3 0,2 16,0 (-) 10,38 0,5 9,38

KETERANGAN: (-) = tak ada data Berat tubuh benih rajungan stadium crab IV = 1,3 g/ekor Kebutuhan pakan 10% berat tubuh/hari = 0,13g/hari

Ruliaty et al. (2005) menyatakan bahwa usaha pembenihan rajungan skala rumah tangga di backyard rajungan, berdasarkan analisa biaya yang dilakukan merupakan usaha alternatif yang cukup menguntungkan. Produksi benih rajungan dalam 16 hari sebanyak 64.000 ekor dalam 20 ton dengan harga jual Rp.5.120.000,- dan memberikan keuntungan sebesar Rp. 2.709.500,-. Selanjutnya Komarudin et al. (2005) berhasil melakukan pembesaran benih rajungan sebanyak 50.000 benih (10 kg) di tambak seluas satu hektar. Dari segi pertumbuhan, rajungan memiliki prospek cukup bagus sebagai komoditas budidaya. Rajungan dapat mencapai ukuran 100-150 g dalam waktu 4-5 bulan. Hasil panen menunjukkan berat total 513,5 kg (sintasan + 10% dengan kepadatan + 0,5 ekor/m2). Secara umum, kajian pembesaran rajungan di tambak belum memberikan hasil yang memuaskan, seperti pembesaran udang. Rajungan adalah hewan karnivora, untuk tumbuh dari benih rajungan stadium crab I sampai menjadi dewasa memerlukan 12 sampai 14 kali ganti karapas (Jose & Menon 2005). Menurut Juwana (1997b dan 2004) pembesaran rajungan di dalam jaring kurung mendasar (net pen) maupun jaring kantong mendasar (jatongsar) selama 4 bulan, memperoleh produksi rajungan 150-200g per m2, dengan ratio pakan : rajungan = 14 : 1. Pembesaran rajungan di dalam jatongsar saat ini dilakukan oleh nelayan perairan Pulau Pari-Kepulauan seribu, untuk memelihara sementara rajungan yang belum layak dikonsumsi atau menampung sementara hasil tangkapan mereka sebelum cukup banyak untuk ditransportasikan ke darat (Rawasaban-Tangerang). Usaha ini menunjukkan bahwa populasi rajungan di perairan Pulau Pari sudah sangat menurun. Tabel 9. Tenaga kerja yang diserap dalam program restoking benih rajungan di perairan Teluk Klabat, dengan kapasitas hatchery 200 ton. NO. 1. AKTIVITAS Produksi benih rajungan pada hatchery 200 ton Produksi benih rajungan pada 10 hatchery dengan kapasitas 20 ton. TENAGA (orang) 10 HASIL-HASIL Total produksi 6 sampai 10 juta benih per tahun atau 1 (satu) juta benih per 1 sampai 2 bulan. CATATAN Bekerja 10 bulan per tahun.

2.

3 x 10

68

Juwana dan Sujono

3.

4.

Panen rajungan di perairan Teluk Klabat Pengupas rajungan Pengumpul daging rajungan TOTAL

10 sampai 20

25 dan 5

60000-100000 kg/tahun; 5.000-10.000 kg/bulan; 300-500 kg /hari 60kg daging rajungan per hari dari area sekitar perairan Teluk Klabat.

Bekerja 5 hari per minggu Seorang mengupas 10 kg rajungan per hari Bekerja 5 hari per minggu

5.

3 sampai 6 86

Produksi rajungan yang akan diperoleh dari perairan Teluk Klabat adalah 100 ton/tahun dari hasil penebaran benih rajungan yang diproduksi hatchery berkapasitas 200 ton. Produk ini merupakan 5% dari seluruh total produk rajungan di perairan Bangka Belitung dalam tahun 2001. Tetapi tidak berarti Bangka Belitung harus membangun 20 hatchery berkapasitas 200 ton untuk memulihkan populasi rajungannya. Stok rajungan di perairan Bangka Belitung juga dapat dipulihkan bila ada wilayah pulau-pulau di antara Pulau Bangka dan Pulau Belitung yang digunakan sebagai area perlindungan rajungan. Hal ini perlu dilakukan untuk menjamin ketersediaan induk rajungan bertelur yang sehat dan bersih dibanding menggunakan induk rajungan yang diambil dari perairan Teluk untuk aktifitas pembenihan. Melihat bahwa perairan Teluk Klabat Dalam mempunyai stok pakan alami untuk pembesaran benih rajungan yang sangat melimpah, maka program restoking benih rajungan akan memberikan prospek yang bagus, apabila terjalin kerjasama antara pemilik hatchery (Pemerintah Daerah) dengan masyarakat pesisir (nelayan dan pengupas) dan kesepakatan dengan koperasi maupun eksportir. Pengembangan usaha ini tidak hanya merupakan pengelolaan stok rajungan di perairan Teluk Klabat secara berkelanjutan tetapi juga membuka lapangan kerja baru yang menyerap banyak tenaga kerja. Sebagai akibatnya roda ekonomi dari berbagai lapangan pekerjaan yang terkait akan terus berputar. Menurut Juwana et al. (2009) hasil evaluasi ini menyarankan suatu model pengelolaan stok rajungan di perairan Teluk Klabat sebagai berikut: (1) Pembangunan satu hatchery atau beberapa mini hatchery di dekat perairanTeluk Klabat, yang berkapasitas total 200 ton, dilokasikan di wilayah yang mempunyai jaringan listrik PLN dan sumber air laut (27-32 ppt); dan operasionil hatchery menggunakan anggaran APBN, APBD atau koperasi nelayan. (2) Penebaran benih rajungan dilakukan di perairan Teluk Klabat Dalam pada musim kemarau ketika salinitas >25 ppt, dan di perairan pantai atau perairan pulau-pulau kecil di luar Teluk Klabat yang selalu mempunyai salinitas air laut (+ 30 ppt) pada saat musim hujan yang dari dahulu sampai sekarang merupakan habitat rajungan. (3) Larangan penggunaan trawl dan penambangan timah dapat ditegakkan di perairan Teluk Klabat dengan biaya dari APBN, APBD atau koperasi nelayan. (4) Panen rajungan dilakukan oleh nelayan, dengan jaring rentang (gill net) yang mempunyai mata jaring 4 in (10 cm) di perairan dalam (5m), boleh di perairan Teluk Klabat Dalam maupun perairan-perairan di sekitarnya, setiap saat, karena benih rajungan ditebar secara terus-menerus di perairan pantai. (5) Rajungan yang tertangkap oleh nelayan, dijual kembali ke hatchery, ke koperasi nelayan atau boleh langsung dijual ke pengupas rajungan terdekat atau bentuk alur pemasaran lainnya yang telah ada.

69

Merintis Pembenihan dan Pembesaran Rajungan (Portunus pelagicus) di Bangka Belitung

(6) Apabila hasil telah melimpah, sistem perpajakan dapat diberlakukan di tingkat para pengupas yang pada umumnya telah melakukan pembukuan, untuk sumber APBD. (7) Pengalengan daging rajungan dilakukan oleh PT-PT (di luar Bangka Belitung) yang bergerak dalam eksportir daging rajungan kaleng dan membayar pajak ke negara, untuk sumber APBN. (8) Kekurangan sumberdaya manusia untuk mengoperasionilkan hatchery dan melaksanakan pembenihan rajungan dapat ditambah secara bertahap dalam kegiatan pelatihan pembenihan rajungan dengan menggunakan hatchery yang ada, sebelum membangun hatchery-hatchery berikutnya. (9) Perlu diciptakan daerah perlindungan laut (DPL) di perairan pulau-pulau di antara Pulau Bangka dan Pulau Belitung, sebagai area perlindungan stok induk rajungan di alam maupun untuk kepentingan pembenihan di hatchery. Tabel 10 menunjukkan bahwa produksi benih rajungan dilaporkan semakin menurun dari tahun ketahun. Meskipun hal tersebut dilaporkan oleh beberapa penulis yang melaksanakan pembenihan rajungan dengan metode dan fasilitas yang berbeda, Juwana (2002) tidak dapat meraih nilai produksi yang sama seperti Juwana (1995 & 2000) di laboratorium yang sama. Pemantauan secara mikrobiologis menunjukkan bahwa pada tahun 1995 hanya bakteri pathogen Proteus yang terdeteksi di awal pemeliharaan larva, kemudian tidak terdeteksi adanya bakteri pathogen di akhir pembenihan. Hasil pemantauan tahun 2002 menunjukkan adanya bakteri pathogen Aeromonas, Pseudomonas, Proteus, Shigella dan Yersinia di bak-bak pembenihan. Bakteri Aeromonas dan Pseudomonas yang merupakan bakteri menyakit untuk larva rajungan. Bakteri tersebut berasal dari alam (laut) yang dibawa oleh induk rajungan dan mengkontaminan larva rajungan di bak penetasan, kemudian tetap hidup dan berkembang di bak-bak pemeliharaan larva dan merupakan organisme yang mengganggu kehidupan larva rajungan. Ada kemungkinan hasil-hasil yang diperkirakan diperoleh di Table 9 di atas hanya tercapai 20% nya (6,9:1,2 x 100%). Maka dipertimbangkan pemulihan produksi rajungan secara restoking memerlukan modal usaha tinggi dan peraturan-peraturan untuk pengelolaan mekanisme pasar. Cara yang lebih murah dan mudah dilaksanakan serta memberi keuntungan langsung kepada pelaksananya adalah polikultur rajungan dengan ikan herbivora di dalam jaring kantong mendasar (jatongsar) di perairan pantai. Pada saat panen, apabila ditemukan rajungan yang memijah di dalam jatongsar, dikembalikan ke dalam jatongsar untuk memperoleh kesempatan menetaskan telur-telurnya dan menyebarkan larvanya ke perairan sekitar. Bahkan cara inipun dapat digunakan untuk pembesaran Kepiting secara polikultur dengan ikan nila merah di dalam jatongsar, yang dilokasikan di perairan pantai atau perairan mangrove tanpa merusak habitat mangrove, kegiatan ini sedang dilakukan tahun 2010.

70

Juwana dan Sujono

Tabel 10. Produksi benih Rajungan Portunus pelagicus dari berbagai sumber.
NO 1a. 1b. 2a. 2b. 3a. 3b. 3. 4. 5. 6. PRODUKSI BENIH RAJUNGAN 8,98 ekor/L 6,9 ekor/L 14,5 ekor/L 9,5 ekor/L 5,27 ekor/L 4,19 ekor/L 3,2 ekor/L 1,26 ekor/L 1,16 ekor/L 1,45 ekor/L STADIUM DAN UMUR BENIH RAJUNGAN crab I (15 hari) crab III/IV (21 hari) crab I (15 hari) crab I (15 hari) crab I (15 hari) crab III (19 hari) crab I (16 hari) crab V (40 hari) crab V (35 hari) crab II (15 hari) TEMPAT PEMBENIHAN Laboratorium, Ancol, Jakarta Laboratorium, Ancol, Jakarta Balai, Bojonegoro, Serang Balai, Bojonegoro, Serang Laboratorium, Ancol, Jakarta Laboratorium, Ancol, Jakarta Back Yard, Jepara Hatchery Semi out door, Tanjung Rusa. Hatchery in door A, Tanjung Rusa Hatchery in door B, Pangandaran. SUMBER Juwana (1995) Juwana (1995) Supriatna (1999) Supriatna (1999) Juwana (2000) Juwana (2000) Ruliaty et al. (2005) Juwana et al. (2007) Juwana et al. (2008) Juwana et al. (2008)

III. KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan pengamatan habitat, kadar oksigen, suhu, salinitas, pH, ammonia, nitrit, nitrat, fosfat, logam berat, senyawa organik, bakteri koli dan bakteri patogen, kualitas perairan Teluk Klabat baik untuk aktifitas penebaran benih rajungan, dengan beberapa catatan. Saat penebaran benih rajungan, salinitas air permukaan di ukur telebih dahulu, yaitu tidak boleh beda > 5 ppt dari salinitas air laut di hatchery asal benih tersebut. Pelanggaran-pelanggaran penambangan timah di perairan Teluk Klabat harus dapat dihentikan. Solusi untuk mengatasi penurunan populasi rajungan di perairan Teluk Klabat dapat ditempuh dengan beberapa cara. Yaitu (1) membangun hatchery untuk pembenihan rajungan dan penebarannya ke perairan Teluk Klabat (restoking); (2) sosialisasi untuk memberi kesempatan induk rajungan memijah yang tertangkap menetaskan telur-telurnya; serta (3) polikultur rajungan dengan ikan herbivora di dalam jaring kantong mendasar, yang dilengkapi dengan sarana (bagan atau sero) untuk mengumpulkan pakan dari alam. UCAPAN TERIMAKASIH Kegiatan ini didanai oleh Program Kompetitif LIPI Tahun 2006-2008. Termasuk dalam sub program Kalimantan Timur dan Bangka Belitung. Judul kegiatan adalah Alih Teknologi Pembenihan Rajungan, Meningkatkan Perikanan Rajungan di Perairan Teluk Klabat, Pulau Bangka. Juga ada bantuan dana dari Pusat Penelitian Inovasi LIPI untuk percobaan pembenihan Rajungan di BP BILAPU tahun 2008. Kemudian berlanjut memperoleh dana dari Kompetitif LIPI 2009-2011. Termasuk dalam subprogram Ketahanan dan Daya Saing Wilayah dan Masyarakat Pesisir. Judul kegiatan adalah Pendampingan Penerapan Budidaya Rajungan dan Kepiting di Bangka Belitung. Banyak pihak telah membantu pelaksanaan kegiatan ini, sehingga penulis tak mungkin menyebutkannya satu persatu. Untuk semua ini penulis mengucapkan beribu-ribu terimakasih. DAFTAR PUSTAKA Adelung, D. and A. PONAT. 1977. Studies to establish an optimal diet for decapod crab Carcinus maenas (L.) under culture conditions. Mar. Biol., 44:287292. Arshad, A., M.S. Efrizal, Kamarudin and C.R. Saad. 2006. Study on fecundity, embryology and larval development of Blue Swimming Crab Portunus pelagicus
71

Merintis Pembenihan dan Pembesaran Rajungan (Portunus pelagicus) di Bangka Belitung

(Linnaeus, 1758) under laboratory conditions. Research Journal of Fisheries and Hydrobiology, 1(1):35-44. Business News. 1989. Kepiting komoditas penting tapi belum digarap serius. No. 4863, tahun XXXIII, Senin 2 Oktober. Cowan, L. 1984. Crab farming in Japan, Taiwan and the Philippines. Queensland Department of Primary Industries, Brisbane, Qld. Australia Information series, Q 184009:43-61. Chande, A.I. and V.D. Migaya. 2003. The fishery of Portunus pelagicus and species diversity of portunid crabs along the coast of Dar es Salaam, Tanzania. Westren Indian Ocean J. Mar. Sci., 2(1):75-84. Departemen Kelautan dan Perikanan. 2000. Statistik nilai ekspor hasil perikanan. Departemen Kelautan dan Perikanan, Direktorat Jenderal Perikanan, Jakarta: 2-6. Departemen Kelautan dan Perikanan. 2004. Statistik perikanan tangkap Indonesia. DKP, Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, Jakarta: 101 hal. Departemen Kelautan dan Perikanan. 2006. Statistik kelautan dan perikanan 2005. Departemen Kelautan dan Perikanan, Jakarta: 314 hal. Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. 2006. Buku tahunan statistik perikanan budidaya tingkat provinsi tahun 2006. Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung : 10 hal. Dinas Perikanan. 2006. Buku tahunan statistik perikanan tangkap Jawa Barat 2005. Pemerintah Provinsi Jawa Barat, Dinas Perikanan, Bandung: 203 hal. Direktorat Sumber Daya Ikan. 2007. Draft pedoman umum pemacuan sumber daya ikan dan lingkungannya. Direktorat Sumber Daya Ikan, Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. Departemen Kelautan dan Perikanan: 87 hal. Djamali, A. 2003. Kawasan pengembangan dan pengelolaan wilayah laut (KAPPEL) dan sumberdaya ikan Bangka-Belitung. Pusat Penelitian Oseanografi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia: 136 hal. Edgar, G.J. 1990. Predator-prey interactions in seagrass beds. II. Distribution and diet of the blue nana crab Portunus pelagicus LINNAEUS at cliff Read, Westren Australia. Jour. Shellfish Res., 9(1):128. Hartati, R. 1996. Studi pendahuluan tentang toleransi rajungan. Majalah Ilmu Kelautan, 1(1):1-3. Henny, C., A.B. Santoso dan G.S. Ajie. 2007. Kolong Pasca penambangan Timah di Pulau Bangka: permasalahan dan alternative solusi. Dalam: R. Subagja, A. Djamali, S. Juwana, Soewartoyo dan H. Anwar (Eds.) Prosiding Seminar Kalimantan Timur dan Bangka Belitung 2007. Ketahanan Masyarakat dan Wilayah Pesisir. Pelayaran dari Kalimantan Timur dan Bangka Belitung. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Sub Program Kompetitif: Kalimantan Timur & Bangka Belitung : 108-128. Jose, J., N.G. Menon. 2005. Growth of the blue swimmer crab, Portunus pelagicus (Linnaeus, 1758) (Decapoda, Brachyura) in captivity. Crustaceana, 78(1):1-18. Juwana, S. 1994. Tinjauan tentang pengelolaan kualitas air laut bagi produksi benih kepiting portunid. Dalam: Sulistijo, D.P. Praseno, T. Susana (Eds.) Hasil-hasil Penelitian Oseanologi Tahun 1992/1993. Proyek Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Laut Jakarta. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta: 93-127. Juwana, S. 1995. Produksi massal benih rajungan (Portunus pelagicus) di Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi LIPI, Jakarta: I. Peningkatan produksi benih rajungan siap tebar. Dalam: A. SOEGIARTO et al. (eds.)

72

Juwana dan Sujono

Prosiding Kongres Ilmu Pengetahuan Nasional (KIPNAS) VI, PUSPIPTEK Serpong, 12-16 September 1995. Buku III: 129 145. Juwana, S. 1996. Hasil percobaan pertama penebaran benih rajungan (Portunus pelagicus) di perairan Pulau Pari, Kepulauan Seribu. Dalam: D.P. Praseno, W.S. Atmadja, I. Supangat, Ruyitno, B.S. Soedibjo, Rachmat (Eds.) Inventarisasi dan Evaluasi Lingkungan Pesisir. Oseanografi, Geologi, Biologi dan Ekologi. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi LIPI, Jakarta: 153 161. Juwana, S. 1997a. Produksi massal benih rajungan (Portunus pelagicus) di Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi LIPI, Jakarta: II. Sumber induk, pengelolaan salinitas dan ransum makanan. Dalam: D.P. Praseno, W.S. Atmadja, I. Supangat, Ruyitno, B.S. Sudibjo, S.H. Riyono (Eds.) Inventarisasi dan Evaluasi Potensi Laut Pesisir II. Geologi, Kimia, Biologi dan Ekologi. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi LIPI, Jakarta: 112 122. Juwana, S. 1997b. Percobaan polikultur rajungan (Portunus pelagicus) dan ikan bandeng (Chanos chanos) di perairan Pulau Pari. Dalam: A. Karyanto et al. (Eds.) Prosiding Seminar Nasional Biologi XV. Perhimpunan Biologi Indonesia. UNILA, Bandar lampung, 24-26 Juli 1997. Volume II: 739-745. Juwana, S. 1999a. Percobaan polikultur rajungan (Portunus pelagicus) dengan ikan mujair-nila (Oreochromis niloticus) di dalam jaring kurung mendasar. Dalam: D.P. Praseno, W.S. Atmadja, I. Supangat, Ruyitno, B.S. Sudibjo (Eds.) Pesisir dan Pantai Indonesia III. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi LIPI, Jakarta: 69 81. Juwana, S. 1999b. Pengamatan salinitas, suhu dan diet untuk pemeliharaan burayak rajungan (Portunus pelagicus). Dalam: S. Soemodihardjo, R.R. Satari dan S. Saono (Eds.) Prosiding Seminar Bioteknologi Kelautan Indonesia I 98. Jakarta, LIPI, 14 15 Oktober 1998: 257 272. Juwana, S. 1999c. Pengaruh pencahayaan, salinitas dan suhu terhadap kelulus-hidupan dan laju pertumbuhan benih rajungan, Portunus pelagicus. Majalah Ilmu Kelautan, 16(IV):194204. Juwana, S. 2000. Produksi massal benih rajungan (Portunus pelagicus) di Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi LIPI, Jakarta. III: Kepadatan optimum burayak dan pasca burayak. Oseanologi dan Limnologi di Indonesia, 32:1325. Juwana, S. dan K. Romimohtarto. 2000. Rajungan. perikanan, budidaya dan menu masakan. Penerbit Djambatan: 47 hal. Juwana, S. 2002. Produksi massal benih rajungan (Portunus pelagicus) di Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi LIPI, Jakarta. IV: Sistim budidaya. Dalam: D. Goenarso et al.(Eds.) Prosiding Seminar Nasional Biologi XVI. Dalam Rangka Kongres Nasional Biologi Indonesia XII, di ITB, Bandung 26 27 Juli 2000. Perhimpunan Biologi Indonesia, Bandung: 23 28. Juwana, S. 2004. Penggunaan untaian serabut plastik sebagai rumpon untuk pemeliharaan rajungan (Portunus pelagicus) di dalam jaring kurung mendasar. Dalam: A. Nontji, W.B. Setyawan, D.E.D. Setyono, P. Purwanti dan A. Supangat (Eds.) Prosiding Seminar Laut Nasional III ISOI. Jakarta, 29 31 Mei 2001:93104. Juwana, S. 2006. Petunjuk praktis pembenihan Rajungan (Portunus pelagicus) di Pusat Penelitian Oseanografi LIPI, Jakarta. Pusat Penelitian Oseanografi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jakarta : 45 hal. Juwana, S., Ruyitno, A. Aziz, M.G. Lily, P. dan S. Larashati. 2006. Alih teknologi pembenihan rajungan, meningkatkan perikanan rajungan di perairan Teluk Klabat, Pulau Bangka. Laporan Akhir Tahunan Program Penelitian dan
73

Merintis Pembenihan dan Pembesaran Rajungan (Portunus pelagicus) di Bangka Belitung

Pengembangan Riset Kompetitif tahun Anggaran. 2006. Biro Perencanaan Keuangan LIPI dan Pusat Penelitian Metalurgi: 88 hal. Juwana, S., Ruyitno, Soewartoyo, L. I. Sutiknowati, Asngadi, Sujono dan I. S. Sutisna. 2007. Alih teknologi pembenihan rajungan, meningkatkan perikanan rajungan di perairan Teluk Klabat, Pulau Bangka. Laporan Akhir Tahunan Program Penelitian dan Pengembangan Riset Kompetitif tahun Anggaran 2007. Biro Perencanaan Keuangan LIPI dan Pusat Penelitian Metalurgi: 97 hal. Juwana, S., D.I. Hartoto, Sulastri dan A. Djamali. 2008a. Identifikasi potensi perairan Teluk Klabat, Pulau Bangka sebagai kawasan bisnis pemacuan sumber daya rajungan (Portunus pelagicus). Oseanologi dan Limnologi di Indonesia, 34(2):151-179. Juwana, S., Asngadi, Suparmo dan Sujono. 2008b. Produksi benih rajungan (Portunus pelagicus) di Balai Benih Ikan Pantai, Tanjung Rusa, Belitung. Oseanologi dan Limnologi di Indonesia, 34(3):383407. Juwana, S., A. Aziz dan Ruyitno. 2009. Evaluasi potensi ekonomis pemacuan stok rajungan di perairan Teluk Klabat, Pulau Bangka. Oseanologi dan Limnologi di Indonesia, 35(2):107-130. Kangas, M.I. 2000. Synopsis of the biology and exploitation of the blue swimmer crab, Portunus pelagicus Linnaeus, in Western Australia. Fisheries Research Report, 121:1-22. Komarudin, U., Sugeng, P.R. Sapto dan H. Prayitno. 2005. Rajungan sebagai komoditas alternative budidaya tambak. Kumpulan Makalah Pertemuan Lintas UPT Payau dan Laut: 7 hal. Lestari, J.M. Manik dan A.Rozak. 2007. Kualitas perairan Teluk Klabat ditinjau dari aspek logam berat. Dalam: R. Subagja, A. Djamali, S. Juwana, Soewartoyo, H. Anwar (Eds.) Prosiding Seminar Kalimantan Timur & Bangka Belitung 2007. Ketahanan Masyarakat dan Wilayah Pesisir. Pelayaran dari Kalimantan Timur dan Bangka Belitung. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Sub Program Kompetitif: Kalimantan Timur & Bangka Belitung : 129-139. Mc Pherson, R., and K. Brown. 2001. The bioaccumulation of cadmium by the Blue Swimmer Crab Portunus pelagicus L. Science of the total environment, 279(13):223-230. Menteri Negara Lingkungan Hidup. 2004. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup, Nomor 51, Tahun 2004. Tentang baku mutu air laut. Menteri Negara Lingkungan Hidup: 11hal. Moosa, M.K. 1980. Beberapa catatan mengenai Rajungan dari Teluk Jakarta dan Pulaupulau Seribu. Sumberdaya hayati bahari. Rangkuman beberapa hasil penelitian Pelita II. Lembaga Oseanologi Nasional LIPI, Jakarta: 57-59. Moosa, M.K., W. Kastoro. dan K. Romimohtarto. 1980. Peta sebaran geografi beberapa biota laut di perairan Indonesia. Lembaga Oseanologi Nasional LIPI. Buku No, IV: 118 p. Moosa, M.K. dan S. Juwana. 1996. Kepiting suku portunidae dari perairan Indonesia (Decapoda, Brachyura). Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi LIPI, Jakarta : 118 hal. Munawir, K. 2007a. Polikhlorobifenil (PCB) dalam air dan sedimen di perairan Teluk Klabat Pulau Bangka, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Dalam: A. Azis, Ruyitno, Sulistijo, A, Syahailatua, M. Muchtar, Pramudji dan T, Susana (Eds.) Sumberdaya Laut dan Lingkungan Bangka Belitung 2003-2007. Program

74

Juwana dan Sujono

Kompetitif LIPI. Sub Program Kalimantan Timur dan Bangka Belitung. Pusat Penelitian Oseanografi LIPI, Jakarta: 11-21. Munawir, K. 2007b. Distribusi kadar poliaromatik hidrokarbon (PAH) dalam air, sedimen dan beberapa sampel biota di perairan Teluk Klabat Bangka. Oseanologi dan Limnologi di Indonesia, 33(3):441-453. Prasad, R.R. and P.R.S. Thampi. 1953. A contribution to the biology of blue swimming crab Neptunus pelagicus (Linnaeus) with a note on the zoea of Thalamita crenata Labriella. J. Bombay nat. Hist. Soc., 51:674-689. Romimohtato, K. 1977. Hasil penelitian pendahuluan tentang biologi budidaya rajungan Portunus pelagicus (L) dari Teluk Jakarta dan Pulau Pari (Pulau-pulau Seribu). Laporan (Proceedings) Seminar Biologi V dan Kongres III Biologi Indonesia, I: 199216. Rahman, A. 2006. Kandungan logam berat timbal (Pb) dan kadmium (Cd) pada beberapa jenis krustasea di pantai Babakan dan takisung Kabupaten Tanah Laut, Kalimantan Selatan. Bioscientiae, 3(2):93-101. Rochyatun, E., Edward dan A. Rozak. 2003. Kandungan logam berat Pb, Cd, Cu, Zn, Ni, Cr, Mn dan Fe dalam air laut dan sediment di perairan Kalimantan Timur. Oseanologi dan Limnologi di Indonesia, 35:51-71. Ruliaty, L., M. Mardjono., N. Abidin. dan R. Prastowo. 2005. Backyard hatchery Rajungan, suatu alternative usaha budidaya. Kumpulan Makalah Pertemuan Lintas UPT Payau dan Laut : 7 hal. Sakai, T., T. Tomiyama. and T. Hibiya. 1983. Fisheries in Japan crab. Japan Marine Production Photo Materials Association. 601-5-17, I-chome, Hyakunincho, Shinjuku-ku, Tokyo, Japan: 178 pp. Shinkarenko, L. 1979. Development of the larval stages of the blue swimming crab Portunus pelagicus L. (Portunidae: Decapoda: Crustacea). Aust. J. Mar. Freshwater Res., 30:485-503. Sihombing. 2004. Raup dolar dengan Rajungan. Analisa Perdagangan 03/08/2004. Bisnis Indonesia, : 4 hal. Suharyanto dan Tjaronge, M. 2009. Pertumbuhan dan sintasan krablet rajungan (Portunus pelagicus) pada salinitas yang berbeda. Ichthyos, 8(1):7-12. Sulastri, D.I. Hartoto, A. Djamali, M.S. Syawal, H. Johan, S. Nomosatryo, I. Ridwansyah. 2004. Pengembangan sistim konservasi biota muara untuk pemanfaatan secara lestari sumberdaya pesisir dan laut. Pusat Penelitian Limnologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia : 69 hal. Suyarso dan Pramudji. 2007. Mangrove di kawasan Teluk Klabat Pulau Bangka, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Dalam: A. Azis, Ruyitno, Sulistijo, A, Syahailatua, M. Muchtar, Pramudji dan T, Susana (Eds.) Sumberdaya Laut dan Lingkungan Bangka Belitung 2003-2007. Program Kompetitif LIPI. Sub Program Kalimantan Timur dan Bangka Belitung. Pusat Penelitian Oseanografi LIPI, Jakarta: 115-124. Williams, M.J. 1982. Natural food and feeding in the commercial sand crab Portunus pelagicus Linnaeus, 1966 (Crustacea: Decapoda: Portunidae) in Moreton Bay, Queensland. J. Exp. Mar. Biol. Ecol., 59:165-176. Yatsuzuka, K. 1962. Studies on the Artificial Rearing of the Larval Brachyura, especially of the Larval Blue-Crab, Neptunus pelagicus Linnaeus. Rep. USA Mar. Biol. Sta., 9(1):1-7. Zmora, O., A. Findiesen, J. Stubblefield, V. Frenkel, Y. Zohar. 2005. Large-scale juvenile production of the blue crab Callinectes sapidus. Aquaculture, 244:129-139.

75

Prosiding Pertemuan Ilmiah Nasional Tahunan VII ISOI 2010 Hotel Santika dan Hotel Merkuri, Pangkal Pinang, 6-7 Oktober 2010

PERUBAHAN IKLIM DAN LAUT

Pengaruh Meteorologi Maritim Indonesia terhadap Pola Iklim Monsunal pada Wilayah Pesisir

PENGARUH METEOROLOGI MARITIM INDONESIA TERHADAP POLA IKLIM MONSUNAL PADA WILAYAH PESISIR THE EFFECT OF INDONESIAN MARITIME METEOROLOGY TOWARD MONSOONAL CLIMATE PATTERN ON COASTAL AREA Atika Lubis1, Iftitah Rohman Hukama2 dan Aurista Woro Pratiwi2 Ketua Kelompok Keahlian Sains Atmosfer, Institut Teknologi Bandung 2 Asisten Laboratorium Meteorologi Terapan, Institut Teknologi Bandung Jl. Ganesha 10 Bandung
1

Abstract
Indonesia as a tropical area which is located in equatorial region and flanked by 2 large continents and 2 oceans has a quite unique climate condition. For instance, with monsoon events throughout the year in Indonesian region. The regions which have rainfall type influenced by monsoonal event will always similar to letter V if described in time series. Rainfall pattern on those regions is called monsoonal pattern. Island of Java, Madura, Bali, Nusa Tenggara, a small part of South Kalimantan, North and South Sumatera, and Papua have rainfall with monsoonal pattern. Those regions have long coastline and located on large ocean. So, it needs to be learned how the effect of maritime meteorology condition in those regions toward monsoonal climate pattern that occur. Therefore, this study will be focused on the stations which located in the area near to coast. Based on monthly FFT and Wavelet analysis of various rainfall data in Indonesia, can be seen that monsoonal pattern has very strong influence to rainfall type in coastal area. Beside monsoonal pattern (12 monthly), it was found also ENSO pattern (5-7 annual), 3 monthly pattern, 9 monthly, and 10 annual. These patterns are different with the patterns which have defined by many expert like SAO pattern (Semi Annual Oscillation), QTO (Quasi- Trenial Oscillation), and so forth. This event is strengthened certainly with circulation or the exchange of air mass between ocean and land. That event is land and sea breeze, which is really felt and has influence in coastal area. Keywords: Maritime Meteorology, Monsoonal Climate Pattern on Coastal Area, FFT Analysis, Wavelet Analysis

Abstrak
Indonesia sebagai daerah tropis yang berada di daerah Khatulistiwa dan diapit oleh 2 benua dan 2 samudera yang luas memiliki kondisi iklim yang cukup unik. Misal, dengan adanya peristiwa Monsun sepanjang tahun di daerah Indonesia. Daerah- daerah dengan tipe curah hujan yang dipengaruhi oleh kejadian monsun akan selalu menyerupai huruf V apabila digambarkan dalam sebuah deret waktu. Pola curah hujan pada daerah tersebut disebut pola monsunal. Pulau Jawa, Madura, Bali, Nusa Tenggara, sebagian kecil Kalimantan Selatan, Sulawesi Utara dan Selatan, serta Papua memiliki curah hujan pola mosunal. Daerah- daerah tersebut memiliki garis pantai yang panjang dan berada pada samudera luas. Sehingga perlu dipelajari bagaimana pengaruh kondisi meteorologi maritim di daerah tersebut terhadap pola iklim monsunal yang terjadi. Oleh karena itu, kajian ini akan difokuskan pada stasiun- stasiun yang berada di daerah yang dekat dengan pantai. Berdasarkan analisa FFT dan Wavelet bulanan berbagai data curah hujan di Indonesia, terlihat pola monsunal sangat kuat mempengaruhi tipe curah hujan di wilayah pesisir. Selain pola monsunal (12 bulanan), ditemukan juga pola ENSO (5-7 tahunan), pola 3 bulanan, 9 bulanan, dan pola 10 tahunan. Pola- pola ini berbeda dengan pola- pola yang sudah didefinisikan oleh banyak ahli seperti pola SAO (Semi Annual Oscillation), QTO (Quasi- Trenial Oscillation), dan sebagainya. Kejadian ini tentunya diperkuat dengan adanya sirkulasi atau pertukaran massa udara antara lautan dengan daratan. Kejadian tersebut adalah angin darat dan angin laut, yang sangat terasa dan berpengaruh di wilayah pesisir. Kata Kunci: Meteorologi Maritim, Pola Iklim Monsunal pada Wilayah Pesisir, Analisa FFT, Analisa Wavelet.

76

Lubis et al.

I. PENDAHULUAN Indonesia sebagai daerah tropis yang berada di daerah Khatulistiwa dan diapit oleh 2 benua dan 2 samudera yang luas memiliki kondisi iklim yang cukup unik. Pengaruh yang cukup signifikan dari kondisi ini yaitu terjadinya peristiwa Monsun sepanjang tahun di daerah Indonesia. Faktor iklim yang mudah diamati di Indonesia dan memiliki data yang cukup lengkap yaitu peristiwa hujan. Di sebagian daerah, hujan mencapai puncak tertinggi dan terendahnya sebanyak satu kali dalam setahun. Apabila digambarkan dalam sebuah deret waktu, maka akan selalu menyerupai huruf V, daerah yang memiliki tipe curah hujan seperti ini, disebut daerah dengan tipe curah hujan Monsunal (Tjasyono, 2008). Menurut Tjasyono (2008), secara garis besar di wilayah kontinen Indonesia terdapat tiga pola curah hujan yaitu: Pola A atau Pola Monsun Pola ini dipengaruhi oleh monsun. Karakteristik distribusi bulanannya berbentuk huruf V. Curah hujan minimum terjadi pada bulan Juni, Juli atau Agustus. Pola ini terdapat di sebelah Utara dan Selatan Ekuator. Daerahnya meliputi Jawa, Nusa Tenggara, Kalimantan Selatan, Maluku Tenggara, Aceh serta Irian Jaya bagian Utara dan Selatan. Pola B atau Pola Ekuatorial Distribusi curah hujan dengan dua maksimum yaitu sekitar bulan April dan Oktober, tidak selalu jelas perbedaanya pada distribusi curah hujan bulanannya. Pola ini terdapat di daerah Ekuatorial yang meliputi daerah bagian tengah Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Irian Jaya. Pola C atau Pola Lokal Dimana distribusi curah hujan bulanannya berlawanan dengan pola A. Pola ini banyak dipengaruhi oleh kondisi lokal (efek orografi). Dijumpai di daerah Sulawesi Selatan bagian Timur, Sulawesi Tengah bagian Timur, dan sekitar Ambon Seram. Ketiga pola curah hujan di atas, dapat dilihat pada gambar berikut ini (Gambar 1):

Gambar 1. Pola Curah Hujan di Indonesia (Sumber: http://kadarsah.files.wordpress. com/2008/04/pola-curah-hujan-indonesia.jpg) Harus diperhatikan, bahwa daerah- daerah tersebut memiliki garis pantai yang panjang dan berada pada samudera luas. Sehingga tujuan dari penelitian ini adalah untuk mempelajari bagaimana pengaruh kondisi meteorologi maritim di daerah tersebut terhadap pola iklim monsunal yang terjadi. Kajian ini akan difokuskan kepada stasiunstasiun yang berada di daerah yang dekat dengan pantai, lautan, mapun samudera.
77

Pengaruh Meteorologi Maritim Indonesia terhadap Pola Iklim Monsunal pada Wilayah Pesisir

II. METODE PENELITIAN Menurut Ramage (1971) daerah monsun adalah daerah tempat sirkulasi atmosfer permukaan dalam bulan Januari dan Juli memiliki arah angin utama berbeda paling sedikit 1200, frekuensi rata- rata angin utama lebih dari 40%, dan kecepatan angin paduan rata- rata paling sedikit 3 m/s. Di Indonesia, monsun yang terjadi dari Lautan Cina Selatan menuju daratan Australia, maupun sebaliknya tergantung pada perjalanan semu matahari atau posisi semu matahari. Peristiwa monsun dapat kita lihat dalam dua teori; teori regional dan teori planeter. Pertama, sebagai teori regional, monsun merupakan perubahan sirkulasi pada level rendah dari pemanasan skala besar dengan pendinginan relatif antara daratan dan lautan. Monsun memperhitungkan skala daratan sea breeze, dengan terjadinya divergensi udara pada musim dingin dan konvergensi pada musim panas. Kedua, sebagai teori planeter dengan adanya peningkatan yang besar pada pengamatan udara lapisan atas selama setengah abad kedua ini, ditandai dengan adanya perubahan pada aliran atas troposfer yang ditemukan untuk mengiringi onset kondisi monsunal pada level yang lebih rendah. Secara khusus, ditandai perubahan pada posisi jet stream subtropical yang mengiringi angin monsun (Smith, 2003). Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa wilayah Indonesia yang memiliki pengaruh monsun di daerah yang berdekatan dengan laut lebih kuat dibandingkan dengan daerah daratan atau pegunungan. Selain itu dismpulkan pula bahwa pengaruh monsunal tidak selamanya dominan sepanjang tahun, namun diikuti oleh pengaruh lainnya (Atika et al., 2010). Karena wilayah kajian berada di sekitar pantai, maka perlu diperhatikan juga bagaimana siklus yang terjadi yaitu adanya angin darat dan angin laut. Angin lokal ini diatur oleh pemanasan dan pendinginan di atas darat dan laut, yang disebut dengan insolasi. Selain itu, disebabkan juga adanya kolom udara ke atas, sehingga terjadi gradien tekanan di atasnya, akibatnya terjadi pembalikan arah (sirkulasi). Apabila dibandingkan, angin darat akan lebih lemah dari angin laut, sekitar 2-5 mph berbanding 10-20 mph (http://www.cuacajateng.com/angingunungdanangin lembah.htm). Selain siklus yang bersifat lokal tersebut, perlu dicermati juga Siklus Hadley yang terjadi di daerah Ekuator. Siklus Hadley merupakan pertukaran massa udara antara wilayah sub- trpois dengan daerah tropis. Siklus ini juga mempengaruhi kondisi iklim di daerah Indonesia, termasuk daerah pantai. Untuk mengetahui bagaimana pertukaran massa udara dominan pada suatu daerah, dapat dilihat dengan menggunakan perpaduan arah vektor angin yang terjadi, yang biasanya disebut dengan streamline. Streamline juga disebut sebagai kurva singgung antar vektor kecepatan aliran. Dalam hal ini, streamline yang dimaksud adalah streamline angin monsunal pada permukaan pesisir pantai. Untuk hal ini, contoh kasus diutamakan pada bulan Januari dan Juli yang merupakan puncak terjadinya monsun dan perubahan arah angin. Banyak metode yang dapat digunakan untuk menganalisa deret waktu dari sebuah data temporal maupun spasial. Namun, yang digunakan di dalam kajian ini adalah pemanfaatan analisa Fast Fourier Transform (FFT) dan wavelet menggunakan software Matlab 7.8 (R2009a) (lab MathWorks, 2009). FFT adalah algoritma cepat untuk menghitung Transformasi Fourier Diskrit (Discrete Fourier Transform/ DFT), yang ditemukan kembali dan dikembangkan penggunannya oleh J. W. Cooley dan J. W. Turkey pada tahun 1965 (Batenkov, 2005). FFT memiliki kesamaan fungsi dan kegunaannya dengan DFT, namun dapat diselesaikan

78

Lubis et al.

dalam waktu yang lebih cepat dari DFT. Algoritma FFT dikembangkan berdasarkan fungsi matematis (lab MathWorks, 2009): ............................. (1) ......................... (2) dimana, ................................................... (3) Sedangkan transformasi wavelet merupakan sebuah fungsi konversi yang dapat digunakan untuk membagi suatu fungsi atau sinyal ke dalam komponen frekuensi yang berbeda. Selanjutnya komponen-komponen tersebut dapat dipelajari sesuai dengan skalanya. Wavelet merupakan sebuah fungsi variabel riil x, diberi notasi , dalam ruang fungsi L2(R). Fungsi ini dihasilkan oleh parameter dilatasi dan translasi, yang dinyatakan dengan persamaan: ..................... (4) ......................... (5) Fungsi wavelet pada persamaan (4) diperkenalkan pertama kali oleh Grossman dan Morlet, sedangkan persamaan (5) oleh Daubechies. Pada fungsi Grossman Morlet, a adalah parameter dilatasi dan b adalah parameter translasi, sedangkan pada fungsi Daubechies, parameter dilatasi diberikan oleh 2^j dan parameter translasi oleh k. Kedua fungsi dapat dipandang sebagai mother wavelet, dan harus memenuhi kondisi : ............................................. (6) yang menjamin terpenuhinya sifat orthogonalitas vektor. Mother wavelet sangat bervariasi dan dikelompokkan berdasarkan fungsi dasar masing-masing. Penerapan Wavelet dan FFT dilakukan pada lima stasiun di pesisir pantai Indonesia dengan rentang tahun berada pada tahun 1980-2007 yang bersumber pada data dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG). Kelima stasiun tersebut adalah stasiun Semarang Maritim (Jawa Tengah), Ngurah Rai (Bali), Mataram (Nusa Tenggara Barat), Sumbawa (Nusa Tenggara Barat), dan Bitung (Sulawesi Utara) III. HASIL DAN PEMBAHASAN Pada bulan Januari (Gambar 2), angin bergerak dari Bumi Bagian Utara (BBU) menuju Bumi Bagian Selatan (BBS). Ketika melewati daerah Indonesia, angin ini dibelokkan sehingga seolah- olah bergerak dari arah Barat. Kondisi ini terjadi ketika adanya peristiwa Monsun Baratan. Monsun ini bermula dari Laut Cina Selatan yang melewati Lautan yang luas, sehingga membawa uap air yang relatif banyak dan menyebabkan hujan yang besar atau musim hujan di Wilayah Monsunal Indonesia. Dari gambar di bawah ini (Gambar 2) terlihat kecepatan angin pada Wilayah Monsunal merupakan yang tertinggi dibandingkan dengan daerah lainnya di Indonesia. Oleh karena itu, periode bulanan mengikuti periode monsunal yang sangat kuat mempengaruhi kondisi curah hujan pada daerah tersebut. Selain itu, terlihat di daerah selatan Pulau Jawa angin mengalami pembelokan. Hal ini, selain disebabkan oleh pengaruh daerah Ekuator, namun juga karena pantai Pulau Jawa yang sangat panjang. Sehingga, angin yang seharusnya melewati pantai, namun dibelokkan. Oleh karena itu, pengaruh pantai Indonesia yang merupakan bagian dari pengaruh maritim Indonesia, ikut mempengaruhi kondisi curah hujan di wilayah Indonesia.
79

Pengaruh Meteorologi Maritim Indonesia terhadap Pola Iklim Monsunal pada Wilayah Pesisir

Gambar 2. Kondisi Streamline dan Kecepatan Angin pada Permukaan di Wilayah Indonesia Pada Bulan Januari Sebaliknya (Gambar 3), pada bulan Juli, angin bergerak dari Bumi Bagian Selatan (BBS) menuju Bumi Bagian Utara (BBU). Ketika melewati daerah Indonesia, angin ini dibelokkan sehingga seolah- olah bergerak dari arah Timur. Kondisi ini terjadi ketika adanya peristiwa Monsun Timuran. Monsun ini bermula dari daratan Australia menuju Laut Cina Selatan. Angin ini melewati lautan yang sempit, sehingga membawa massa udara yang relatif kering. Akibatnya, pada daerah Indonesia curah hujan yang terjadi sangat sedikit, atau bisa dikatakan terjadi musim kering. Pembelokan yang terjadi di Selatan Jawa dapat terlihat walaupun sedikit. Seperti yang telah dijelaskan, hal ini dipengaruhi oleh adanya garis pantai yang panjang seperti yang dimiliki oleh Pulau Jawa.

Gambar 3. Kondisi Streamline dan Kecepatan Angin pada Permukaan di Wilayah Indonesia Pada Bulan Juli Selanjutnya analisa FFT dan wavelet dilakukan pada 5 stasiun yang tersebar di kawasan pantai yang memiliki tipe curah hujan monsunal, yaitu stasiun Semarang Maritim (Jawa Tengah), Ngurah Rai (Bali), Bitung (Sulawesi Utara), Mataram dan Sumbawa (Nusa Tenggara Barat). Stasiun Semarang Maritim terletak di utara Pulau Jawa, atau di daerah pantai Laut Jawa. Pada grafik FFT (Gambar 4), terlihat periode yang paling tinggi adalah 11,9 bulan (12 bulan). Periode ini dikenal dengan periode monsunal. Periode monsunal ini terlihat sangat signifikan dibandingkan dengan periode lainnya, sehingga, pengaruh monsunal yang terjadi pada stasiun Semarang Maritim sangat kuat. Jika dilihat dari grafik Wavelet (Gambar 4), maka pada periode 1 tahun memiliki nilai yang paling tinggi, ditandai dengan warna merah di sepanjang tahun. Hal ini membuktikan periode 12 bulan pada grafik FFT sangat signifikan dibandingkan dengan yang lainnya. Pada Wavelet ini juga terlihat periode yang paling kuat berikutnya adalah periode 4 tahun. Hal ini merupakan bukti dari hasil pengolahan FFT. Periode yang

80

Lubis et al.

muncul pada FFT adalah 39.67 bulan (40 bulan). Periode ini menunjukkan adanya kejadian ENSO (El Nino Southern Oscillation). Dengan begitu, maka teori yang mengatakan Pulau Jawa sangat dipengaruhi ketika terjadi ENSO dapat dibuktikan. Contoh kejadian ENSO yang terjadi pada stasiun Semarang Maritim ini adalah kejadian pada tahun 1980-an. Perhatikan grafik Global Spektrum Wavelet pada grafik Wavelet (Gambar 4), terlihat garis putus- putus yang menyinggung grafik periode curah hujan, sehingga analisa yang dilakukan dapat diterima kebenarannya.

Gambar 4. Analisa FFT dan Wavelet Curah Hujan Stasiun Semarang Maritim (Jawa Tengah) Pada gambar- gambar berikut ini (Gambar 5), akan terlihat grafik FFT dan Wavelet untuk stasiun Ngurah Rai (Bali). Sama seperti stasiun Semarang Maritim, periode 12 bulanan (monsunal) pada stasiun ini sangat kuat. Begitu juga dengan grafik wavelet-nya. Nilai yang tinggi (merah) terjadi di sepanjang tahun selama 10 tahun tersebut. Berbeda dengan stasiun Semarang Maritim, periode 3 bulanan terjadi pada anomali curah hujan stasiun Ngurah Rai. Namun, karena periode ini sangat kecil sehingga tidak terlihat pada grafik Wavelet.

81

Pengaruh Meteorologi Maritim Indonesia terhadap Pola Iklim Monsunal pada Wilayah Pesisir

Gambar 5. Analisa FFT dan Wavelet Curah Hujan Stasiun Ngurah Rai (Bali) Periode 12 bulanan (monsunal) yang sangat kuat juga terlihat pada stasiun Mataram (Gambar 6), walaupun tidak sekuat monsunal yang terjadi pada 2 stasiun sebelumnya. Terlihat pada grafik wavelet (Gambar 6), pada periode 1 tahun nilainya tidak terlalu tinggi. Nilai tinggi hanya terdapat pada akhir tahun ke- 10 di stasiun tersebut. Apabila kita lihat anomalinya, yang terjadi adalah peristiwa 119 bulanan (120 bulan/ 10 tahun). Nilai ini tentunya tidak dapat menjadi sebuah hasil, karena dengan data 10 tahun, tidak memungkinkan untuk menggambarkan sebuah kejadian dengan periode 10 tahun. Sehingga, periode ini perlu dipelajari lebih lanjut untuk mendapatkan hasil yang maksimal.

Gambar 6. Analisa FFT dan Wavelet Curah Hujan Stasiun Mataram (Nusa Tenggara Barat)
82

Lubis et al.

Periode monsunal yang kuat juga terjadi pada stasiun Sumbawa, seperti yang terlihat pada grafik (Gambar 7). Walaupun pengaruh kuat periode 1 tahunan ini berlaku mulai pada tahun kedua, namun periode monsunal ini sangat kuat dibandingkan dengan periode lainnya. Periode anomali yang mengikuti kejadian monsunal pada stasiun ini adalah periode 3 bulanan.

Gambar 7. Analisa FFT dan Wavelet Curah Hujan Stasiun Sumbawa (Nusa Tenggara Barat) Periode monsunal pada stasiun ini (Gambar 8) berbeda dengan stasiun lainnya, karena periode monsunal yang terjadi tidak terlalu kuat bahkan hampir sama kuatnya dengan kejadian periode 9 bulan. Apabila ditinjau dari grafik wavelet, nilai tinggi pada periode bulanan hanya terjadi pada tahun kelima sampai tahun ketujuh, begitu juga dengan periode 9 bulanan. Sehingga, periode utama (monsunal) dan periode anomali (9 bulanan) memiliki pengaruh yang hamper sama kuat. Kemungkinan, hal ini dipengaruhi oleh letak stasiun yang berada dekat dengan wilayah Ekuatorial. Sehingga, sepanjang tahun, daerah Bitung mendapat pengaruh monsunal juga pengaruh Ekuatorial.

83

Pengaruh Meteorologi Maritim Indonesia terhadap Pola Iklim Monsunal pada Wilayah Pesisir

Gambar 8. Analisa FFT dan Wavelet Curah Hujan Stasiun Bitung (Sulawesi Utara) Pada Tabel 1 berikut ini akan diperlihatkan kondisi lokal setiap stasiun berdasarkan ketinggian, jarak dengan laut dan kekuatan (power spectrum) dari tiap- tiap stasiun: Tabel 1. Ketinggian, Jarak dengan Laut dan Kekuatan (Power Spectrum) dari tiap- tiap Stasiun No 1. 2. 3. 4. 5. Nama Stasiun Semarang Maritim Ngurah Rai Mataram Sumbawa Bitung Ketinggian Stasiun 5m 5m 12 m 20 m 36 m Jarak Stasiun dengan Laut 2 km 1.5 km 2 km 5 km 1 km Kekuatan (Power Spectrum) 10 x 107 14 x 107 5.2 x 107 4.45 x 107 8.3 x 106

Kondisi stasiun dari tabel di atas (Tabel 1) menggambarkan kondisi lokal pada setiap stasiunnya. Kekuatan (power spectrum) tertinggi terdapat pada stasiun Ngurah Rai (14 x 107), dan yang terendah terdapat pada stasiun Bitung (8.3 x 106). Apabila dihubungkan dengan 2 kondisi lokal pada tabel di atas (Tabel 1), stasiun Ngurah Rai merupakan stasiun dengan ketinggian stasiun terendah dan cukup dekat dengan Laut, sedangkan stasiun Bitung merupakan stasiun tertinggi dan paling dekat dengan laut. Dengan ketinggian 5 m, stasiun Ngurah Rai mendapatkan pengaruh yang kuat dari sirkulasi darat laut. Namun dengan ketinggian 36 m, pengaruh dari sirkulasi darat laut menjadi kurang kuat pada stasiun Bitung, walaupun memiliki jarak yang paling dekat dengan laut. Stasiun Sumbawa yang memiliki ketinggian tertinggi kedua namun jarak-nya dengan laut merupakan yang terjauh memiliki kekuatan (power spectrum) kedua terendah, yaitu 4.45 x 107. Stasiun Semarang Maritim, yang mempunyai ketinggian
84

Lubis et al.

yang sama dengan stasiun Ngurah Rai, namun memiliki jarak yang lebih jauh daripada jarak stasiun Ngurah Rai dengan laut merupakan stasiun dengan kekuatan (power spectrum) tertinggi kedua. Dari perbandingan ini, dapat dilihat bahwa ketinggian sebuah stasiun memiliki peranan yang jauh lebih besar daripada jarak stasiun dengan laut. Hal ini mungkin disebabkan karena pada ketinggian tersebut (Stasiun Semarang Maritim dan ngurah Rai) pengaruh sirkulasi darat laut (angin darat dan angin laut) memiliki pengaruh yang kuat pada tingginya kekuatan (power spectrum) FFT serta mendukung penguatan kejadian/ pengaruh monsun di wilayah tersebut. IV. KESIMPULAN Ada tiga kesimpulan yang dapat diambil dari penjelasan di atas. Pertama, kondisi pantai Indonesia turut menyebabkan pembelokan arah angin yang mempengaruhi curah hujan di wilayah Indonesia. Kedua, Pola Monsunal yang terjadi di wilayah pantai Indonesia sangat kuat, namun diikuti oleh adanya pengaruh- pengaruh lain seperti ENSO, dan kemungkinan pengaruh lokal (3 dan 9 bulan). Ketiga, Kondisi pesisir pantai Indonesia mempengaruhi (memperkuat) pola monsunal, yaitu dengan adanya sirkulasi atau pertukaran massa udara antara lautan dengan daratan, yang lebih dikenal dengan angin darat dan angin laut. DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2009. Matlab Help. The MathWorks, Inc. Anonim. 2009. Angin Gunung Dan Angin Lembah. (http://www.cuacajateng.com/ angingunungdananginlembah.htm), (Diunduh, 18 Juli 2010). Atika, L. dan R.H. Iftitah. 2010. Monsoonal Characteristics in Indonesian Based on Power Spectrum Rainfall. The International Symposium on Equatorial Monsoon System., Jakarta, July 28 29, 2010 Batenkov, D. 2005. Fast Fourier Ttransform. Key Papers in Computer Science Seminar 2005. Connecticut. Kadarsah. 2008. Pola Curah Hujan Indonesia. (http://kadarsah.files.wordpress.com/ 2008/04/pola-curah-hujan-indonesia.jpg, (Diunduh, 18 Juli 2010) Ramage, C.S. 1971. Monsoon Meteorology, Academic Press, New York. Smith, R. K. 2003. Lectures on Tropical Meteorology. Tropical Meteorology Tjasyono. B, L. Atika, I. Juaeni, Ruminta, and S.W.B. Harijono. 2008. Dampak Variasi Temperatur Samudera Pasifik dan Hindia Ekuatorial terhadap Curah Hujan di Indonesia. Jurnal Sains Dirgantara LAPAN, 5(2):8395.

85

Prosiding Pertemuan Ilmiah Nasional Tahunan VII ISOI 2010 Hotel Santika dan Hotel Merkuri, Pangkal Pinang, 6-7 Oktober 2010

BIODIVERSITAS TERUMBU KARANG & BIOPROSPEKSI LAUT

Kajian Kualitas Tepung Buah Mangrove (Avicennia marina) pada Lama Perebusan Berbeda

KAJIAN KUALITAS TEPUNG BUAH MANGROVE (Avicennia marina) PADA LAMA PEREBUSAN BERBEDA STUDY OF QUALITY FLOUR OF MANGROVE (Avicennia marina) FRUIT WITH DIFFERENT BOILING TIME Titik Dwi Sulistiyati Teknologi Hasil Perikanan, FPIK-UB, email: titikdwis@ub.ac.id
Abstract Mangrove is one of the unique and the largest ecocystems in Indonesia. The ability of mangrove vegetation to accumulate heavy metals could make this ecosystem as estuary protection area. Mangrove can be one of biomaterial to absorb the heavy metals in water such as Avicennia marina (gray mangrove). Other advantages of A. marina are used as food and medicine sources. Therefore, it is needed to reduce heavy metals content which trapped on its tissue before consuming by human. One of the effort to reduce the heavy metals from its fruit is by boiling. This research aim to know the effect of boiling time to reduce heavy metal of Pb and quality flour of mangrove fruit (A. marina). Analysis of mangrove flour consist of Pb, protein and crude fiber contents and the organoleptic test (color and smell). Result of the research was analysed by simple Complete Random Device with four replicate. Result of research indicate that improvement of concentrate Na2EDTA on making flour mangrove fruit Avicennia marina could give real influence to content of Pb however did not give real influence to protein, crude fiber, colour and smell. Result of the research obtained that the best treatment was boiling with 1.1% Na2EDTA for 105 minutes, produced mangrove fruit flour A. marina with contents of Pb, protein and crude fiber are 0.33 ppm, 5.94%, and 26.58% respectively, with color and smell values are 3.6 and 3.7, respectively. Keywords: Avicennia marina, boiling time, quality flour Abstrak Mangrove merupakan salah satu ekosistem langka dan khas di dunia. Ekosistem mangrove Indonesia merupakan ekosistem mangrove terluas di dunia. Kemampuan vegetasi mangrove dalam mengakumulasi logam berat dapat dijadikan alternatif perlindungan perairan estuari sehingga mangrove dapat digunakan sebagai salah satu biomaterial untuk penyerapan logam berat. Salah satu jenis mangrove yang mampu mengakumulasi logam berat ialah Avicennia marina (pohon api-api). Pemanfaatan A. marina sebagai bahan pangan dan obat-obatan tidak luput dari usaha mereduksi logam berat timbal yang terakumulasi dalam jaringan tubuh A. marina. Salah satu upaya untuk menghilangkan logam berat timbal yang terkandung dalam A. marina adalah dengan cara perebusan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui lama perebusan optimal terhadap reduksi logam berat timbal dalam buah mangrove A. marina untuk menghasilkan tepung buah mangrove dengan kualitas terbaik. Perlakuan dalam penelitian ini adalah variasi lama perebusan pada buah mangrove. Analisis terhadap tepung yang dihasilkan meliputi kadar Pb, kadar protein, kadar air, serat kasar dan uji organoleptik (warna dan aroma). Hasil penelitian diolah menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) sederhana dengan 4 kali ulangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peningkatan lama perebusan pada pembuatan tepung buah mangrove A. marina memberikan pengaruh nyata terhadap kadar Pb, tetapi tidak memberikan pengaruh nyata terhadap serat kasar, protein, air, aroma dan warna. Hasil penelitian diperoleh perlakuan terbaik pada lama perebusan dengan Na2EDTA 1.1% selama 105 menit yang menghasilkan tepung buah mangrove A. marina dengan rata-rata kadar Pb, protein dan serat kasar berturut-turut 0,33 ppm; 5,94%; dan 26,58%; dengan nilai aroma dan warna masing-masing sebesar 3,6 dan 3,7. Kata kunci: Avicennia marina, lama perebusan, kualitas tepung

86

Sulistiyati

I. PENDAHULUAN Mangrove merupakan salah satu ekosistem langka dan khas di dunia, karena luasnya hanya 2 % permukaan bumi. Indonesia merupakan kawasan ekosistem mangrove terluas di dunia. Ekosistem ini memiliki peranan ekologi, sosial-ekonomi dan sosialbudaya yang sangat penting. Fungsi ekologi hutan mangrove meliputi tempat sekuestrasi karbon, remediasi bahan pencemar, menjaga stabilitas pantai dari abrasi, intrusi air laut dan gelombang badai, menjaga kealamian habitat, menjadi tempat bersarang, pemijahan dan pembesaran berbagai jenis ikan, udang, kerang, burung dan fauna lain serta pembentuk daratan (Setyawan, 2002). Kemampuan vegetasi mangrove dalam mengakumulasi logam berat dapat dijadikan alternatif perlindungan perairan estuari sehingga mangrove dapat digunakan sebagai salah satu biomaterial untuk penyerapan logam berat. Salah satu jenis mangrove yang mampu mengakumulasi logam berat ialah Avicennia marina (pohon api-api) (Ecoton, 2002). Pemanfaatan ekosistem mangrove sebagai sumber protein hewani telah dikenal luas sejak lama, tetapi sebagai sumber protein nabati relatif belum banyak dikenal (Setyawan dan Winarno, 2006). Salah satu pemanfaatan A. marina menjadi bahan pangan, yaitu dengan mengolahnya menjadi tepung yang berguna sebagai alternatif bahan pangan yang tidak luput dari usaha mereduksi logam berat timbal yang terakumulasi dalam jaringan tubuh A. marina. Adanya logam berat Pb dalam bahan makanan dapat berbahaya bagi tubuh manusia, jika masuk ke dalam tubuh atau termakan dalam jumlah tertentu, karena toksis yang berbahaya bagi kesehatan. Tepung merupakan salah satu bentuk alternatif produk setengah jadi yang lebih tahan lama disimpan, mudah dicampur dan dibentuk (Suarni, 2004). Salah satu upaya untuk menghilangkan kandungan logam berat yang terdapat pada buah A. marina, yaitu dengan merendam buah A. marina dalam air mendidih atau dengan cara perebusan disertai penambahan bahan yang dapat membantu mereduksi kandungan logam berat tersebut (Santoso et al., 2005). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh lama perebusan terhadap reduksi logam berat Pb pada tepung buah mangrove A. marina sehingga menghasilkan tepung dengan kualitas terbaik. II. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Analisis Kimia Fakultas MIPA dan Laboratorium Sentral Ilmu dan Teknologi Pangan Universitas Brawijaya Malang, pada bulan Agustus sampai Desember 2009. Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah buah mangrove Avicennia marina, Na2EDTA, aquadest dan bahan-bahan kimia untuk analisis. Alat-alat yang digunakan adalah baskom, beaker glass, spatula, thermometer, saringan teh, waterbath, oven, blender, plastik, loyang, kulkas dan alat-alat untuk analisis. 2.1. Pembuatan Tepung Proses pembuatan tepung buah mangrove Avicennia marina meliputi persiapan bahan, perendaman buah mangrove A. marina dalam larutan Na2EDTA 1,2 % selama 81 menit, penirisan, perebusan pada suhu 950C selama 105 menit, penirisan, pengeringan
87

Kajian Kualitas Tepung Buah Mangrove (Avicennia marina) pada Lama Perebusan Berbeda

dengan oven vakum suhu 700C selama 14 jam, penghalusan, pengayakan dengan saringan mesh size 80. Tepung yang dihasilkan dianalisa kimia dan uji organoleptik. 2.2. Perlakuan Penelitian Perlakuan penelitian ini menggunakan variasi lama perebusan antara lain: 1 : Lama Perebusan 85 menit 2 : Lama Perebusan 90 menit 3 : Lama Perebusan 95 menit 4 : Lama Perebusan 100 menit 5 : Lama Perebusan 105 menit 2.3. Parameter Pengamatan Parameter yang diamati pada penelitian ini adalah kadar Pb dengan metode AAS (Cantle, 1982), kadar protein menggunakan metode titrasi formol (Sudarmadji et al., 2003), serat kasar dengan metode residu kering (Sudarmadji et al., 2003) dan uji organoleptik dengan uji kesukaan terhadap warna dan aroma 2.4. Analisis Data Pengolahan data pada penelitian ini menggunakan model Rancangan Acak Lengkap (RAL) sederhana dengan 4 kali ulangan. Data yang diperoleh kemudian dianalisis menggunakan Analysis of Variance (ANOVA) dan dilanjutkan dengan uji Tukey (BNT). III. HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh lama perebusan terhadap kadar Pb, kadar protein, serat kasar, dan uji organoleptik (warna dan aroma). 3.1. Kadar Pb Konsentrasi Pb ditentukan dengan menggunakan spektrofotometer serapan atom (AAS). Teknik operasi alat tersebut yaitu dengan mengukur perubahan energi analit dalam bentuk atom. Sampel diuapkan dan diubah menjadi unsur dalam keadaan gas. Akibat dari proses ini atom akan mengalami eksitasi. Penentuan kadar timbal (Pb) menggunakan metode spektrofotometer AAS dengan menggunakan prinsip absorbsi cahaya oleh atom. Atom-atom menyerap cahaya tersebut dengan panjang gelombang 217nm. Hasil analisis seperti yang terlihat pada Gambar 1. menunjukkan penurunan kadar Pb. Kadar Pb berkisar antara 0.33 ppm-0.69 ppm. Kadar Pb terendah terdapat pada perlakuan 5 (lama perebusan 105 menit) sebesar 0.33 ppm dan kadar Pb tertinggi terdapat pada perlakuan 3 sebesar 0.69 ppm. Lama perebusan yang semakin meningkat membuat buah mangrove A. marina menjadi lunak dan pori-pori buah membesar karena terisi oleh air. Diduga hal inilah yang membantu menurunkan kadar Pb setelah proses perendaman. Hasil kajian Kohar et al., (2004) menunjukkan bahwa dengan perlakuan perebusan dapat mengurangi kadar Pb pada tanaman air jenis kangkung.

88

Sulistiyati

Hasil analisis ragam kadar Pb tepung buah mangrove menunjukkan bahwa lama perebusan berpengaruh nyata terhadap kadar Pb tepung buah mangrove Avicennia marina yang dihasilkan.

Gambar 1. Pengaruh Lama Perebusan Terhadap Kadar Pb Tepung Buah Mangrove 3.2. Kadar Protein Metode yang digunakan untuk analisa kadar protein adalah metode titrasi formol. Larutan protein dinetralkan dengan basa (NaOH) lalu ditambahkan formalin akan membentuk dimethilol. Dengan terbentuknya dimethilol ini berarti gugus aminonya sudah terikat dan tidak akan mempengaruhi reaksi antara asam dengan basa NaOH sehingga akhir titrasi dapat diakhiri dengan tepat. Indikator yang digunakan adalah PP, akhir titrasi bila tepat terjadi perubahan warna menjadi merah muda yang tidak hilang dalam 30 detik (Anonymous, 2009). Hasil analisis seperti yang terlihat pada Gambar 2. menunjukkan ketidakstabilan. Kadar protein terendah pada perlakuan 3 sebesar 4.64% dan kadar protein tertinggi pada perlakuan 4 sebesar 6.93%. Kadar protein terbaik pada perlakuan 4 sebesar 6.93%. Peningkatan lama perebusan cenderung meningkatkan kadar protein pada tepung buah mangrove Avicennia marina. Hal ini dapat dikarenakan terlarutnya komponenkomponen non-protein lain pada suhu 70oC. Moeljanto (1984) menyatakan bahwa gizi, terutama protein yang terdapat dalam bahan makanan mulai terkoagulasi pada suhu sekitar 30C dan terkoagulasi secara sempurna pada suhu 60C, kemudian mulai terdenaturasi pada suhu diatas 100C. Hasil analisis menunjukkan bahwa lama perebusan tidak berpengaruh nyata terhadap kadar protein tepung buah mangrove Avicennia marina yang dihasilkan. 3.3. Serat Kasar Serat kasar dalam bahan pangan ditentukan dengan menimbang sisa dari sampel setelah perlakuan dengan asam atau alkali mendidih dan terdiri dari selulosa, dengan sedikit lignin dan pentosan (Sudarmadji et al., 2003). Hasil analisis seperti yang terlihat pada Gambar 3. menunjukkan ketidakstabilan. Kadar serat kasar terendah pada perlakuan 4 sebesar 25.09% dan kadar serat kasar tertinggi pada perlakuan 2 sebesar 25.34% dan kadar serat kasar tertinggi pada perlakuan 2 sebesar 25.59%.
89

Kajian Kualitas Tepung Buah Mangrove (Avicennia marina) pada Lama Perebusan Berbeda

Gambar 2. Pengaruh Lama Perebusan Terhadap Kadar Protein Tepung Buah Mangrove

Gambar 3. Pengaruh Lama Perebusan Terhadap Serat Kasar Tepung Buah Mangrove Tingginya serat kasar pada perlakuan tersebut karena serat kasar diperoleh dari buah mangrove. Buah mangrove Avicennia marina memiliki serat kasar yang cukup besar. Sebagian dari serat buah mangrove ikut larut air selama proses pengolahan. Tingginya serat kasar dapat ditandai dengan tekstur tepung yang kasar (bergranula). Menurut Suarni (2009), serat kasar berperan penting dalam penilaian kualitas bahan makanan karena angka ini merupakan indeks dan menentukan nilai gizi bahan makanan tersebut. Artinya, kandungan serat pangan yang tinggi bermanfaat untuk kesehatan, tetapi dari segi kualitas fisik berpengaruh terhadap tingkat kehalusan tepung. Kadar serat kasar hasil pengolahan metode basah lebih kecil dibandingkan dengan metode kering. Kadar serat mengalami penurunan akibat perubahan dari bentuk buah utuh menjadi tepung. Hasil analisis ragam menunjukkan lama perebusan tidak berpengaruh nyata terhadap kadar serat kasar tepung buah mangrove Avicennia marina yang dihasilkan.

90

Sulistiyati

3.4. Uji Organoleptik Pengujian organoleptik yang digunakan adalah uji kesukaan. Pada pengujian ini panelis diminta memberikan penilaian terhadap sampel score sheet dengan nilai tertinggi 5 dan nilai terendah 1. Pengujian organoleptik ini dilakukan pada 15 orang panelis. Uji yang digunakan terhadap produk tepung buah mangrove ini meliputi warna dan aroma. 3.4.1. Warna Penentuan mutu bahan makanan pada umumnya sangat bergantung pada beberapa faktor yang salah satunya adalah warna. Suatu bahan makanan yang dinilai bergizi tinggi, enak, dan teksturnya sangat baik tidak akan dimakan apabila memiliki warna yang tidak sedap dipandang (Achyadi dan Afiana, 2004). Hasil analisis uji organoleptik rasa seperti yang terlihat pada Gambar 4. menunjukkan peningkatan nilai seiring dengan lamanya perebusan. Tingkat kesukaan panelis terhadap warna tepung buah mangrove A. marina berkisar antara 3.4-3.67. Tingkat kesukaan panelis terhadap warna tepung buah mangrove A. marina terendah pada perlakuan 1 dan 2 sebesar 3.4 dan tingkat kesukaan panelis terhadap warna tepung buah mangrove A. marina tertinggi pada perlakuan 5 (lama perebusan 105 menit) sebesar 3.67.

Gambar 4. Pengaruh Lama Perebusan Terhadap Warna Tepung Buah Mangrove Peningkatan penilaian terhadap warna tepung buah mangrove Avicennia marina karena panelis menyukai warna tepung. Menurut Winarno et al., (1980) warna bahan pangan dari makanan dapat disebabkan oleh beberapa sumber, dan salah satu yang terpenting disebabkan oleh pigmen yang ada di dalam bahan nabati atau hewani. Pigmen sangat sensitif terhadap pengaruh kimia dan fisik selama pengolahan. Terutama panas sangat berpengaruh terhadap pigmen bahan pangan, juga pukulan mekanik dan penggilingan. Berdasarkan analisis Kruskal Wallis tingkat kesukaan panelis terhadap warna tepung buah mangrove menunjukkan bahwa lama perebusan tidak memberikan pengaruh nyata terhadap warna tepung buah mangrove

91

Kajian Kualitas Tepung Buah Mangrove (Avicennia marina) pada Lama Perebusan Berbeda

3.4.2. Aroma Aroma dihasilkan oleh asam amino bebas antara lain glisin, arginin, taurin, asam glutamat dan prolin. Lemak dalam bahan pangan merupakan pembawa aroma dan cita rasa yang aktif (Winarno, 2002). Hasil analisa uji organoleptik rasa seperti yang terlihat pada Gambar 5. menunjukkan ketidakstabilan. Tingkat kesukaan panelis terhadap aroma tepung A. marina berkisar antara 3.6-3.93. Tingkat kesukaan panelis terhadap aroma tepung A. marina terendah pada perlakuan 5 sebesar 3.63 dan tingkat kesukaan panelis terhadap aroma tepung A. marina tertinggi pada perlakuan 4 (lama perebusan 100 menit) sebesar 3.93.

Gambar 5. Pengaruh Lama Perebusan Terhadap Warna Tepung Buah Mangrove Peningkatan lama perebusan menyebabkan penilaian panelis terhadap aroma tepung buah mangrove mengalami kenaikan. Peningkatan ini diduga karena panelis menyukai aroma tepung yang cukup wangi pada produk tepung buah mangrove. Menurut Winarno (2002), syarat terjadinya bau adalah senyawa yang menghasilkan bau harus dapat menguap dan molekul-molekul senyawa tersebut mengadakan kontak dengan penerima (reseptor) olfaktori. Berdasarkan analisis Kruskal Wallis tingkat kesukaan panelis terhadap warna tepung buah mangrove tidak dipengaruhi oleh lamanya perebusan. IV. KESIMPULAN Lama perebusan berpengaruh nyata terhadap kualitas tepung buah A. marina, yaitu pada kadar timbal. Tetapi tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap kadar serat kasar, protein, serta uji organoleptik aroma dan warna. Lama perebusan yang optimal untuk menghasilkan tepung buah mangrove A. marina dengan kualitas terbaik adalah selama 105 menit (perlakuan 5). Hasil analisis yang diperoleh adalah kadar timbal 0.33 ppm; kadar protein 5.94%; kadar serat kasar 26.58%; aroma 3.6 dan warna 3.67. DAFTAR PUSTAKA Achyadi, N.S. dan H. Afiana. 2004. Pengaruh Konsentrasi Bahan Pengisi dan Konsentrasi Sukrosa terhadap Karakteristik Fruit Leather Cempedak (Artocarpus champeden Lour) Jurusan Teknologi Pangan. Fakultas Teknik. Universitas Pasundan. Bandung.
92

Sulistiyati

Anonymous. 2009. Reaksi-reaksi Untuk Analisa Protein. http://abynoel.Wordpress. com/2009/02/11 Cantle, J. E. 1982. Atomic Absorption Spectrometry. Elsevier Scientific Publishing Company, New York. Ecoton. 2002. Mangrove Hilang, Pencemaran Pantaipun Datang. http://www.ecoton. or.id. 2009/02/11 Kohar, I., P. H. Hardjo, M. Jonathan dan O. Agustanti. 2004. Studi Kandungan Logam Pb dalam Batang dan Daun Kangkung (Ipomoea reptans) yang Direbus dengan Penambahan NaCl dan Asam Asetat. Makara Sains, 8(3): 85-88. Moeljanto, R. 1984. Pengolahan Hasil-hasil Sampingan Ikan. PT Penebar Swadaya. Anggota IKAPI, Jakarta. Santoso, N., B. C. Nurcahya, A. F. Siregar, dan Ida Farida. 2005. Resep Bahan Makanan Berbahan Baku Mangrove dan Pemanfaatan Nipah. Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Mangrove. Setyawan, A. D. 2002. Ekosistem Mangrove Sebagai Kawasan Peralihan Ekosistem Perairan Air Tawar dan Perairan Laut. Environment, 2(1): 25-40. Setyawan, A. D. dan K. Winarno. 2006. Pemanfaatan Langsung Ekosistem Mangrove di Jawa Tengah dan Penggunaan Lahan di Sekitarnya; Kerusakan dan Upaya Restorasi. Biodiversitas, 7(3): 282-291. Suarni. 2004. Pemanfaatan Tepung Sorgum Untuk Produk Olahan. Jurnal Litbang Pertanian, 23(4): 145-151. _____. 2009. Prospek Pemanfaatan Tepung Jagung Untuk Kue Kering (Cookies). Jurnal Litbang Pertanian. Jakarta. Sudarmadji, S., B. Haryono dan Suhadi. 2003. Analisa Bahan Makanan Dan Pertanian. Penerbit Liberty Yogyakarta Bekerja Sama dengan Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Winarno, F.G. 2002. Kimia Pangan dan Gizi. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Winarno, F.G., S. Fardiaz dan D. Fardiaz. 1980. Pengantar Teknologi Pangan. PT Gramedia. Jakarta.

93

Prosiding Pertemuan Ilmiah Nasional Tahunan VII ISOI 2010 Hotel Santika dan Hotel Merkuri, Pangkal Pinang, 6-7 Oktober 2010

PERLINDUNGAN KESEHATAN EKOSISTEM PANTAI

Analisis Beban Pencemaran dari Air Buangan Tempat Pelelangan Ikan Cituis, Tangerang

ANALISIS BEBAN PENCEMARAN DARI AIR BUANGAN TEMPAT PELELANGAN IKAN CITUIS, TANGERANG STUDY ON POLLUTION LOAD FROM THE CITUIS FISH MARKET WASTEWATER, TANGERANG, INDONESIA Yonik Meilawati Yustiani, Evi Aviatun & Septian Dwi Putra Department of Environmental Engineering, Pasundan University, Jl. Dr. Setiabudhi 193, Bandung 40153, Indonesia. Phone: +62 22 2001985, E-mail: yonik@unpas.ac.id, yonikm@yahoo.com

Abstract
The Cituis fish market is the fish auction center, located near the coastal area of Tangerang Regency, Indonesia. Due to the inefficiency of wastewater treatment facilities, the water quality of the coastal nearby becomes deteriorated. In this research, we investigate the pollution load of fish market wastewater in relation to its threat to the environment. Samples of wastewater were taken from the fish vendors when they finished washing the fishes. Calculations were carried out to obtain the load and compared to the standard issued by the government. The results show that BOD maximum load was 0.244 kg/ton fish, whereas TSS (total suspended solid) load is 0.24 kg/ton fish. These values were below the maximum standard limit which are 7.5 kg/ton for BOD load and 3.0 kg/ton for TSS load. However, the quality of wastewater reached 836 mg/l for BOD and >825 mg/l for TSS. Those values were above the standard limit. It is recommended that wastewater treatment facilityshould be set up for treating wastewaters before being discharge to the Cituis River.

Keywords: fish market wastewater, pollution load, Cituis Tangerang Abstrak


Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Cituis adalah salah satu pusat pelelangan ikan di Kabupaten Tangerang yang berlokasi dekat dengan muara sungai dan pantai. Air bungan yang ditimbulkan dari kegiatan TPI langsung dibuang ke Sungai Cituis sehingga kondisi air sungai tersebut menjadi sangat buruk. Pada penelitian ini, dilakukan studi untuk mengetahui kondisi air limbah dan beban pencemaran yang dibuang dari hasil kegiatan TPI. Sampel dikumpulkan dari hasil pencucian ikan yang akan dijual. Sampel tersebut kemudian diperiksa di laboratorium untuk menentukan nilai konsentrasi BOD dan TSS. Hasil analisis laboratorium dibandingkan dengan Kep-51/ MENKLH/ 1995 untuk mengetahui potensi pencemaran yang terjadi. Nilai yang diperoleh menunjukkan bahwa air buangan TPI Cituis masih memenuhi baku mutu untuk nilai beban pencemaran yaitu 0,244 kg/ton untuk BOD dan 0,24 kg/ton untuk TSS (total suspended solid). Baku mutu untuk parameter tersebut adalah 7,5 kg/ton untuk BOD dan 3,0 kg/ton untuk TSS. Namun jika dilihat konsentrasi pencemaran, parameter BOD dan TSS melewati baku mutu yaitu 836 mg/l untuk BOD dan >825mg/l untuk TSS, sementara nilai baku mutu BOD adalah 150 mg/l dan TSS adalah 60 mg/l. Kondisi ini memperlihatkan bahwa pengolahan limbah sudah harus didesain dan diaplikasikan pada TPI Cituis.

Kata Kunci: tempat pelelangan ikan, beban pencemaran, Cituis Tangerang

94

Yustiani et al.

I. PENDAHULUAN Kabupaten Tangerang terletak di Bagian Timur provinsi Banten pada koordinat 10620'-10643' Bujur Timur dan 600'-620' Lintang Selatan. Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Cituis merupakan salah satu TPI yang berada di Kabupaten Tangerang. TPI adalah tempat yang secara khusus disediakan oleh Pemerintah Daerah untuk melakukan pelelangan ikan termasuk jasa pelelangan bongkar muat dan pasar ikan beserta fasilitas lainnya yang disediakan di tempat pelelangan. TPI Cituis biasa dipakai sarana penjualan ikan-ikan segar yang langsung didatangkan dari kapal-kapal nelayan dan kemudian dilelang, untuk dapat ikut dalam pelelangan harus menjadi anggota, biasanya masyarakat biasa (bukan anggota lelang) membeli ikan-ikan dari para anggota yang memenangkan pelelangan. Para pemakai sarana di TPI Cituis tidak mengelola sisa dari kegiatannya, menyebabkan sungai yang menjadi tempat pembuangan limbah TPI Cituis tercemar. Kawasan sekitar titik pembuangan limbah menjadi kotor, banyak endapan lumpur berwarna hitam dari pencucian ikan dan bangkai ikan serta sisa-sisa sampah plastik. Di TPI Cituis, pengetahuan tentang pencemaran sungai sangat kurang sehingga mereka tidak memikirkan dampak dari pencemaran tersebut, selain itu tidak ada sistem pengelolaan limbah dari aktivitas pelelangan ikan tersebut yang mengakibatkan tercemarnya Sungai Cituis. Secara normal, laut memiliki daya asimilasi untuk memproses dan mendaur ulang bahan-bahan pencemar yang masuk ke dalamnya. Akan tetapi dengan semakin tingginya konsentrasi akumulasi bahan pencemar ke dalam perairan laut , daya asimilatif laut menjadi menurun, sehingga menimbulkan masalah lingkungan (Nybakken, 1992). Dampak pencemaran ini memberi pengaruh dalam kehidupan manusia, organisme lain serta lingkungan sekitarnya. Untuk itu secara dini sumber pencemar dan bahan pencemar perlu dikendalikan agar kelak tidak merusak lingkungan laut, menurunkan keanekaragaman hayati dan menggangu keseimbangan ekosistem laut. Dengan demikian maka pengetahuan tentang pencemaran laut dan aspek-aspek yang terkait didalamnya sangat penting untuk dimiliki. Untuk itu, penelitian ini penting untuk dilakukan. Maksud dari penelitian ini adalah mengidentifikasi kandungan air limbah TPI Cituis dengan melakukan penelitian di laboratorium untuk melakukan pemodelan kualitas air sungai/sungai yang menjadi tempat pembuangan limbah TPI Cituis dan diberikan usulan penanggulangannya. II. METODE PENELITIAN 2.1. Lokasi Penelitian Lokasi yang dijadikan studi penelitian yaitu Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Cituis yang terletak di Desa Surya Bahari, Kecamatan Paku Haji, Kabupaten Tangerang (Gambar 1). 2.2. Sampling Penelitian ini dilakukan dengan pengamatan langsung ke wilayah studi yaitu di kawasan pesisir Surya Bahari, Kecamatan Paku Haji, Kabupaten Tangerang. Sampling dilakukan meliputi air sungai Cituis dan air limbah TPI. Sampel limbah TPI diambil 2 kali dari air buangan pencucian ikan, sedangkan air sungai Cituis diambil satu kali mewakili fase pasang ketika air sungai relatif tenang.
95

Analisis Beban Pencemaran dari Air Buangan Tempat Pelelangan Ikan Cituis, Tangerang

Lokasi Penelitian

Gambar 1. Sketsa peta Kabupaten Tangerang dan lokasi penelitian.

Gambar 2. Stasiun Pengambilan Sampel Air Sungai Cituis


96

Yustiani et al.

Stasiun sampel ditentukan di daerahdaerah yang diduga mempunyai pengaruh terhadap kondisi Sungai Cituis. Titik sampel diambil pada daerah seperti daerah pencampuran antara limbah TPI dengan Sungai Cituis (Stasiun 2). Stasiun sebelum terjadi pencampuran antara limbah TPI dengan Sungai Cituis (30 meter sebelum stasiun pencampuran (Stasiun 1)); tempat perbaikan kapal atau bengkel kapal (250 meter dari TPI (Stasiun 3)), estuari (pertemuan antara air tawar (Sungai Cituis) dengan air asin (laut)) (Stasiun 4). Jumlah penentuan sampel sebanyak 4 (empat) stasiun di Sungai Cituis dan sampel air limbah dari aktivitas pelelangan ikan (sumber limbah berasal dari pencucian ikan. 2.3. Analisis Data Analisis terhadap hasil pemeriksaan sampel air sungai dilakukan dengan cara membandingkannya terhadap baku mutu pada Peraturan Pemerintah RI No. 82 tahun 2001 tentang pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air untuk Sungai Kelas II, yaitu air yang peruntukannya dapat digunakan untuk prasarana/ sarana rekreasi air, pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman, dan atau peruntukkan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut. Tabel 1 memperlihatkan metode analisis parameter fisika, kimia, dan biologi yang diukur dari sampel air yang diambil. Tabel 1 Metode Analisis Parameter yang Ditinjau
No Parameter Unit C NTU mg/l TCU(mg/l PtCo) mg/l mg/l mg/l
o

Teknik Pengujian Termometri (on site) Nephelometri Gravimetri

Metode Pengujian SM SM SM SM

FISIK 1 Temperatur 2 Kekeruhan Total Suspended Solid 3 4 Warna KIMIA DAN BIOLOGI 1 pH 2 DO 3 BOD5 4 COD Nitrit (N-NO2 5 ) 6 Mangan (Mn) 7 8 9 10 11 Kesadahan Klorida (Cl) Sulfat (SO4) Fluorida (F) Coliform

Visual atau Spektrofotometri Elektrometri (on site) Titrimetri Inkubasi pada T 20 0C, 5 hari Refluks secara tertutup Spektrofotometri Spektrofotometri Titrimetri dengan EDTA Titrimetri secara Argentometri Turbidimetri Spektrofotometri dengan alizarin merah Saringan membran SM SM SM SM SM SM SM SM SM SM SM

mg/l mg/l mg/l CaCO3 mg/l mg/l mg/l MPN/100ml

Keterangan: SM = Standard Method

97

Analisis Beban Pencemaran dari Air Buangan Tempat Pelelangan Ikan Cituis, Tangerang

Pengujian parameter air limbah pelelangan ikan dilakukan di Laboratorium Lingkungan Badan Lingkungan Hidup Daerah Kabupaten Tangerang sedangkan sampel air sungai yang tercemar dilakukan di Laboratorium Kesehatan Daerah Dinas Kesehatan Kota Tangerang, hal ini di karenakan di BLHD kabupaten Tangerang tidak bisa menguji DO. Parameter yang diujikan untuk air limbah seperti parameter fisik (suhu, salinitas, padatan tersuspensi), kimia (pH, BOD5, COD, ammonia (N-NH3), Nitrit (N-NO2), Nitrat (N-NO3), senyawa fenol) sedangkan untuk badan air parameter yang diujikan seperti parameter fisik (suhu, TDS, TSS, warna, kekeruhan), parameter kimia (besi, sulfat, nitrat, nitrit, pH, mangan, kesadahan, klorida, fluorida, ammonia, BOD5, COD, DO) dan parameter biologi (total Coliform dan E. coli). Selajutnya hasil dari penelitian dibandingkan dengan KepMenLH no.51 tahun 1995 mengenai baku mutu limbah cair industri pengolahan ikan dan kerang-kerangan. Dengan mengetahui parameter tersebut maka beban pencemaran yang masuk di dalam sungai dapat diperkirakan. Selain itu, limbah dari TPI juga dibandingkan baku mutu SK Bupati No.545/SK.03.a-Perek/1993 tentang baku mutu limbah cair untuk industri yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kabupaten Tangerang. III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Kualitas Air Sungai Cituis Penelitian dilakukan dengan mengambil sampel air sungai (pada stasiun yang telah ditentukan) kemudian sampel tersebut diujikan di laboratorium (Laboratorium Kesehatan Daerah Kota Tangerang, perubahan tempat pengujian di karenakan di BLHD kabupaten Tangerang tidak dapat melakukan pengujian DO) dan dibandingkan dengan peruntukannya yaitu sungai golongan II. Parameter yang diujikan berupa parameter fisika, kimia dan biologi. Banyaknya sampel yang diteliti adalah empat sampel yaitu untuk titik pertama diambil 30 meter sebelum terjadi pencampuran, titik kedua yaitu tempat terjadi pencampuran antara limbah dengan sungai, titik ketiga yaitu 250 meter dari titik pencampuran disana terdapat industri pengolahan ikan dan bengkel kapal (docking), dan titik yang keempat yaitu pertemuan antara sungai dengan laut (estuari) atau 500 meter dari titik pencampuran. Perbandingan baku mutu air sungai kelas/golongan II dengan hasil analisis laboratorium lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 2. Perbandingan dalam tabel tersebut memperlihatkan parameter yang melebihi ambang baku mutu air sungai golongan II yang telah ditetapkan berdasarkan Peraturan Pemerintah RI No. 82 tahun 2001. Tabel 2 memperlihatkan bahwa beberapa parameter kualitas air pada Sungai Cituis telah melampaui baku mutu, yaitu untuk TDS, BOD, COD, Nitrit, DO, TSS, pH, total Coliform, dan E.coli. Titik sampling nomor 1 berada di bagian hulu TPI memiliki kualitas air yang relatif baik, hal ini menunjukkan bahwa limbah TPI dan aktivitas lainnya yang berada di hilir memberi dampak pencemaran pada air Sungai Cituis. Kadar nitrat lebih dari 5 mg/l menggambarkan terjadinya pencemaran yang berasal dari aktivitas manusia dan tinja hewan. Kadar nitrat yang lebih dari 0,2 mg/liter dapat mengakibatkan terjadinya eutrofikasi (pengayaan) perairan, yang selanjutnya menstimulir pertumbuhan algae dan tumbuhan air secara pesat (blooming) (Davis dan Cornwell, 1991). Kadar nitrit pada perairan relatif kecil karena segera dioksidasi menjadi nitrat. Perairan alami mengandung nitrit

98

Yustiani et al.

Tabel 2. Perbandingan Antara Baku Mutu Air Sungai Gololngan II dengan Analisis Hasil Laboratorium (sampel air sungai)
Parameter Satuan Baku Mutu Titik 1 Hasil Laboratorium Titik 2 Titik 3 94 29,2 175 805 163 91 29 2,38 2,24 34 7,5 0,072 3,2 4,62 1,101 184 460 0 9200 2800 Titik 4 79 31,4 329 1091 307 145 94 5,11 4,32 56 3,7 0,059 3,7 4,69 1,555 226 615 0 16000 1800

Fisika TCU 100 96 - Warna 3oC C 28,8 28,8 - Suhu NTU 141 149 - Kekeruhan mg/l 251 273 - TDS 1000 mg/l - TSS 50 115 111 Kimia 25 mg/l - COD 43 40 3 mg/l - BOD5 7 6 4,98 5,29 4 mg/l - DO 3,49 2,85 mg/l - Besi 25 18 mg/l - Sulfat 8,4 7,6 10 mg/l - Nitrat 0,059 0,06 mg/l - Nitrit 0,077 2,55 0,17 mg/l - Ammonia 6-9 4,65 - pH 4,01 1,019 0,994 mg/l - Mangan 88 130 mg/l - Kesadahan 99 84,5 mg/l - Klorida 0 0 1,5 mg/l - Fluorida Mikrobiologi 1100 5000 - Total Coliform Jml/100 ml 24000 630 1000 Jml/100 ml 1800 - E. coli Sumber : Peraturan Pemerintah RI No. 82 tahun 2001 untuk Sungai Kelas II

sebesar 0,001 mg/l dan sebaiknya tidak melebihi 0,06 mg/l (CCREM, 1987). Di Perairan, kadar nitrit jarang melebihi 1 mg/liter (Sawyer dan McCarty, 1978). Kondisi pH pada sungai Cituis dalam kondisi asam, karena nilai pH pada semua titik sampel kurang dari 5. Novotny dan Olem (1994) menyebutkan nilai pH 4,5 - 5,0 berpengaruh terhadap perairan, diantaranya penurunan keanekaragaman dan komposisi jenis plankton, perifiton, dan bentos semakin besar; penurunan kelimpahan total dan biomassa zooplankton dan bentos; algae hijau berfilamen semakin banyak; dan proses nitrifikasi terhambat. 3.2. Kualitas Limbah Tabel 3 memperlihatkan hasil uji lengkap terhadap parameter fisika, kimia, dan biologi terhadap sampel limbah TPI Cituis. Sampel air pencucian ikan yang telah diujikan dilaboratorium selanjutnya dibandingkan dengan baku mutu limbah cair yang sesuai dengan peruntukannya yaitu Baku Mutu Limbah Cair (BMLC) pengolahan ikan dan kerang-kerangan. Parameter yang terdapat di BMLC tidak mencakup semua parameter yang telah diteliti. Parameter yang terdapat di BMLC yaitu BOD5, TSS dan minyak & lemak. Untuk minyak dan lemak tidak dilakukan pengujian di karenakan di laboratorium tidak dapat melakukan pengujian, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 4. Karena lokasi TPI Cituis berada di Kabupaten Tangerang, maka sampel limbah dibandingkan dengan baku mutu SK Bupati No.545/SK.03.a-Perek/1993 tentang baku mutu limbah cair untuk industri.
99

Analisis Beban Pencemaran dari Air Buangan Tempat Pelelangan Ikan Cituis, Tangerang

Tabel 3. Hasil Uji Air Limbah Pencucian Ikan


No. A. 1. 2. 3. B. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Parameter Fisika Salinitas Temperatur Zat Padat Tersuspensi (TSS) Kimia Amoniak Bebas (NH3-N) BOD5 COD Fenol Nitrat (NO3-N) Nitrit (NO2-N) pH Satuan C mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l Hasil Laboratorium 11,1 29,1 > 825 137,50 836 1286 1,900 150 0,154 6,83

Tabel 4. Perbandingan Antara Baku Mutu Limbah Cair Industri Pengolahan Ikan dan Kerang-kerangan Terhadap Hasil Pengujian Laboratorium Untuk Sampel Air Pencucian Ikan.
No. 1 2 3 Parameter BOD5 TSS *Baku mutu Hasil Pengujian *Beban Maks Hasil Sampel Keterangan (mg/l) (mg/l) (kg/ton) (kg/ton) 150 7,5 0,244 Hasil pengujian 836 melebihi BM 60 3,0 0,24 Hasil pengujian > 825 melebihi BM 1,0 -

Minyak & 20 lemak Catatan : * Kep-51/MENKLH/1995

Parameter lain seperti suhu, salinitas, amoniak bebas (NH3-N), COD, fenol, nitrat (NO3-N), nitrit (NO2-N), dan pH untuk perbandingan parameter tersebut digunakan SK Bupati No.545/SK.03.a-Perek/1993 tentang baku mutu limbah cair untuk industri. Lebih lengkapnya dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Perbandingan Antara Baku Mutu Limbah Cair dengan Hasil Analisis Laboratorium (sampel air pencucian ikan)
No. Parameter Satuan *Baku Mutu 38 200 1 50 100 0,5 20 1 6-9 Hasil Lab 11,1 29,1 > 825 137,50 836 1286 1,900 150 0,154 6,83

Fisika A. Salinitas 1. C Temperatur 2. mg/l Total Suspended Solid (TSS) 3. Kimia B. Amoniak Bebas (NH3-N) mg/l 1. mg/l 2. BOD5 mg/l 3. COD mg/l 4. Fenol mg/l 5. Nitrat (NO3-N) mg/l 6. Nitrit (NO2-N) 7. pH Catatan: SK Bupati Kab. Tangerang No.545/SK.03.a-Perek/1993 100

Yustiani et al.

Hasil perbandingan dengan BMLC menunjukkan bahwa standar atau ketetapan untuk kandungan BOD5 adalah 150 mg/l dengan beban maksimum 7,5 kg/ton sedangkan hasil penelitian menunjukkan bahwa kandungan BOD5 adalah 836 mg/l dengan beban maksimum 0,244 kg/ton. Jadi parameter BOD5 memiliki nilai yang tinggi dan melebihi standar yang telah ditetapkan. Air dengan nilai BOD yang tinggi kurang baik untuk budidaya ikan dan sejenisnya. Parameter BOD digunakan untuk menentukan tingkat pencemar oleh senyawa organik yang dapat diuraikan oleh bakteri. Penguraian zat organik adalah peristiwa alamiah, jika suatu badan air dicemari zat organik, bakteri dapat menghabiskan oksigen terlarut dalam air, selama proses oksidasi tersebut yang bisa mengakibatkan kematian ikan-ikan dalam air dan keadaan menjadi anaerobik dan dapat menimbulkan bau busuk pada air tersebut. Jenis bakteri yang mampu mengoksidasi zat organik yang berasal dari sisa-sisa tanaman dan air buangan penduduk, berada pada umumny pada setiap air alam. Padatan tersuspensi adalah bahan-bahan tersuspensi (diameter > 1 m) yang tertahan pada saringan milipore dengan diameter pori 0,45 m. TSS terdiri atas lumpur, sampah, bangkai, sisik ikan serta jasad-jasad renik. Ketetapan pemerintah terhadap parameter TSS adalah 60 mg/l dengan beban maksimum 3,0 kg/ton, sedangkan hasil penelitian konsentrasi TSS adalah > 825 dengan beban maksimum 0,24 kg/ton. Sehingga kadar TSS jauh melebihi ambang baku mutu yang telah ditetapkan. Nilai > 825 mg/l ini maksudnya nilai yang bisa dibaca oleh alat yang digunakan di laboratorium BLHD Kab. Tangerang adalah maksimal 825 mg/l, berarti sebetulnya nilai TSS lebih dari 825 mg/l. Selain ketiga parameter tersebut dilakukan juga pengujian terhadap beberapa sampel (lihat Tabel 4) yang dibandingkan dengan SK Bupati No.545/SK.03.a-Perek/1993. Pada baku mutu ini parameter BOD lebih ketat dimana untuk BOD batas yang diperbolehkan yaitu 50 mg/l sedangkan untuk parameter TSS lebih ringan yaitu batas maksimal yang diperbolehkan adalah 200 mg/l. Dari Tabel 4, parameter yang melebihi baku mutu adalah TSS, amoniak bebas (NH3-N), BOD5, COD, Fenol, Nitrat (NO3-N). IV. KESIMPULAN Kualitas air pada Sungai Cituis telah melampaui baku mutu untuk beberapa parameter, yaitu TDS, BOD, COD, Nitrit, DO, TSS, pH, total Coliform, dan E.coli. Titik sampling yang berada di bagian hulu TPI memiliki kualitas air yang relatif baik, hal ini menunjukkan bahwa limbah TPI dan aktivitas lainnya yang berada di hilir memberi dampak pencemaran pada air Sungai Cituis. Nilai yang diperoleh menunjukkan bahwa air buangan TPI Cituis masih memenuhi baku mutu untuk nilai beban pencemaran yaitu 0,244 kg/ton untuk BOD dan 0,24 kg/ton untuk TSS (total suspended solid). Baku mutu untuk parameter tersebut adalah 7,5 kg/ton untuk BOD dan 3,0 kg/ton untuk TSS. Namun jika dilihat konsentrasi pencemaran, parameter BOD dan TSS melewati baku mutu yaitu 836 mg/l untuk BOD dan >825 mg/l untuk TSS, sementara nilai baku mutu BOD adalah 150 mg/l dan TSS adalah 60 mg/l. Kondisi kualitas Sungai Cituis dan limbah TPI Cituis memperlihatkan bahwa pengolahan limbah sudah harus didesain dan diaplikasikan pada TPI Cituis.

101

Analisis Beban Pencemaran dari Air Buangan Tempat Pelelangan Ikan Cituis, Tangerang

DAFTAR PUSTAKA Anonim. 1995. Baku Mutu Limbah Cair, Kep-51/MENKLH/1995 Anonim. 1993. Baku Mutu Limbah Cair untuk Industri, SK Bupati Kab. Tangerang No.545/SK.03.a-Perek/1993 Anonim. 2001. Pengelolaan Kualitas Air dan Pencemaran Peraturan Pemerintah RI No. 82 tahun 2001 untuk Sungai Kelas II. Canadian Council of Resource and Environment Ministers (CCREM). 1987. Canadian Water Quality Guidelines Water Quality Branch, Ottawa Davis, M.L. and D.A. Cornwell. 1991. Introduction to Environmental Engineering. McGraw-Hill. Mukhtasor. 2007. Pencemaran Pesisir dan Laut. Cetakan Pertama. Pradnya Paramita. Jakarta. Novotny, V. and H. Olem. 1994. Water Quality Prevention, Identification, and Management of Diffuse Pollution. Van Nostrand Reinhold, New York, NY Nybakken, J.W. 1992. Biologi Laut, Suatu Pendekatan Ekologi. Jakarta. PT. Gramedia. Sastrawijaya, A.T. 2009. Pencemaran Lingkungan. Rineka Cipta, Jakarta. Sawyer, C. N. and P. L. McCarty. 1978. Basic concepts from biochemistry. In: Chemistry for Environmental Engineering. McGraw-Hill, New York, NY

102

Lestari et al.

DISTRIBUSI LOGAM BERAT KADMIUM (Cd), TEMBAGA (Cu), TIMBAL (Pb) DAN SENG (Zn) DALAM ZOOPLANKTON DI TELUK JAKARTA DISTRIBUTION OF HEAVY METALS CADMIUM (Cd), COPPER (Cu), LEAD (Pb) AND ZINC (Zn) IN ZOOPLANKTON FROM JAKARTA BAY Lestari1), Nurul Fitriya2) dan Nila Ika Wijayanti1) Pusat Penelitian Oseanografi LIPI, Jl. Pasir Putih I, Ancol Timur, Jakarta e-mail: lestari_sardi@yahoo.com

Abstract A study on dissolved heavy metals of Cd, Cu, Pb, and Zn in seawater and zooplankton at Jakarta Bay was conducted on October 21, 2010. Analyses for heavy metals in seawater used back extraction methods and for zooplankton used destruction methods with nitric acid then measured using FAAS AASpectraa with 20 varian. The objectives of this study were to describe distribution of heavy metals in zooplankton and to analyse zooplankton for array of heavy metals in order to establish baseline heavy metal levels in zooplankton of Jakarta Bay. The result of this study can be used to assess the effects of this heavy metlas on organisms and human.The result showed that dissolved heavy metals concentration was still below standard regulation. The average and range of heavy metals concentration in zooplankton were as follows: 2,74 g g-1 (1,37-5,06 g g-1) for Cd, 168,8 g g-1 (12,1-808,5 g g-1) for Cu, 101,8 g g-1 (13,3-458,9 g g1 ) for Pb, and 834 g g-1 (224-2341 g g-1) for Zn. The bioaccumulation factor for Pb and Cu was 36364 and 84440, respectively. Keywords: metals, seawater, zooplankton, bioacummulation factor, Jakarta Bay Abstrak Pengamatan mengenai logam berat Cd, Cu, Pb, dan Zn terlarut dalam air laut dan zooplankton di Teluk Jakarta telah dilakukan pada tanggal 21 Oktober 2010. Metode analisis logam berat pada air laut menggunakan metode ekstraksi kembali sedangkan untuk biota zooplankton dengan cara destruksi menggunakan asam nitrat pekat pada suhu 95oC kemudian diukur dengan menggunakan alat Atomic Absorption Spectrophotometri merk AASpectraa 20 Varian. Tulisan ini menggambarkan distribusi logam berat dalam zooplankton untuk suatu deretan logam berat untuk menentukan tingkat dasar logam berat dalam zooplankton dan air laut di Teluk Jakarta. Informasi ini dapat digunakan untuk mengkaji efek pada organisme lain dan manusia. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi logam berat terlarut menunjukan masih dibawah baku mutu, sedangkan dalam zooplankton konsentrasi rata-rata logam Cd 2,74 g g-1 (1,37-5,06 g g-1), Cu 168,8 g g-1 (12,1-808,5 g g-1), Pb 101,8 g g-1 (13,3-458,9 g g-1), Zn 834 g g-1 (224-2341 g g-1) dengan faktor bioakumulasi untuk Pb 36364 dan Cu 84440. Kata kunci: logam berat, air laut, zooplankton, faktor bioakumulasi, teluk jakarta

I. PENDAHULUAN Logam berat merupakan konstituen alami di lingkungan laut, kadang kadang hadir pada tingkat level konsentrasi yang sangat rendah. Sejumlah unsur unsur ini merupakan unsur yang esensial untuk proses biologi. Dalam air laut, logam berat dapat terlarut dalam bentuk ion, terikat dengan zat organik, berhubungan dengan asam humat, sebagai ligan dengan koloid atau teradsorbsi dengan partikel organik dan inorganik. (Stumm dan Bilinsky, 1972 dalam Everaats et al., 1993). Bentuk kimia dari logam tidak selalu dapat ditentukan keberadaannya dan kecepatan ambil dari organisme, tetapi juga toksisitasnya. Organisme akuatik dapat mengakumulasi logam dari air disekitarnya dengan mengadsorbsi dan difusi lewat permukaan tubuh dan oleh pencernaan makanan serta partikulat (Phillips 1977; Moore and Ramamoorthy, 1984).

103

Distribusi Logam Berat Kadmium (Cd), Tembaga (Cu), Timbal (Pb) dan Seng (Zn) dalam...

Peningkatan logam berat diawali dengan masuknya ke lingkungan sebagai kontaminan dan polutan yang merupakan hasil dari industri dan penduduk (Patin, 1982). Oleh sebab itu, program pemantauan reguler tingkat kontaminan dan polutan di lingkungan sangat penting dalam manajemen lingkungan di berbagai negara, untuk mengawasi sumber antropogenik polutan dan mencegahnya ke tingkat yang dapat membahayakan manusia. Zooplankton laut menbentuk komponen mayor dari total biomassa lingkungan laut dan memainkan peranan vital dalam siklus biogeokimia logam berat di laut (SchulzBlades, 1992 dalam Rezai et al., 2004)). Plankton dapat memekatkan logam berat dari air laut. Rata rata konsentrasi logam berat dalam zooplankton di Northwest Mediterranean dilaporkan masing-masing sebesar 2,5 ug.g-1 untuk Cd, 268 ug.g-1 untuk Zn dan 32,6 ug.g-1 untuk Cu (Hardstedt-Romeo dan Laumond, 1980) dimana rata-rata logam berat di air laut adalah 0,10-0,22 ug g-1 untuk untuk Cd, 1,90-7,00 untuk Zn dan 0,20-0,70 ug g-1 untuk Cu. Fukai dan Ngoc (1976), Davies (1978) dalam Rezai et al. (2004) menyajikan ulasan yang baik mengenai zooplankton dalam siklus bigeokimia logam pada sistem laut. Kontaminasi logam berat pada ekosistem di Teluk Jakarta mendapatkan perhatian lebih (Hutagalung 1995, William et al., 1998, Arifin et al., 2006, Lestari 2004, 2008). Pengetahuan mengenai konsentrasi logam pada lapisan permukaan, yang didominasi oleh komunitas neuston sangat terbatas. Habitat ini terpapar langsung oleh masukan dari atmosir, yang kemungkinan merupakan sumber utama polusi Teluk Jakarta. Beberapa pencemar yang signifikan di teluk berasal dari pariwisata, kegiatan pelabuhan kegiatan perikanan, limbah domestik dan industri. Tulisan ini mengambarkan distribusi beberapa logam berat dalam zooplankton sebagai dasar tingkat konsentrasi logam berat di Teluk Jakarta. Selain itu, informasi ini dapat digunakan untuk mengkaji dampaknya terhadap organisme lain dan manusia, dan menkaji dampak dari pencemaran manusia terhadap berbagai mikroorganisme lain. II. METODE PENELITIAN Penelitian dilakukan di Teluk jakarta pada tanggal 21 Oktober 2009 pada 10 titik stasiun pengambilan (Gambar 1). Sampel yang diambil terdiri dari dua komponen, yaitu air laut dan zooplankton. Sampel air laut diambil + 0,5 meter dari permukaan dengan menggunakan water sampler. Sampel air laut sebanyak 1 L dimasukkan ke dalam botol polietilen dan dimasukan ke dalam cool box dengan suhu + 4oC, kemudian segera disaring dengan menggunakan kertas saring sellulosa nitrat 0,45 m. Filtrat ditempatkan dalam botol polietilen kemudian ditambahkan dengan asam nitrat pekat hingga pH < 2 (Batley and Gardner 1977 dalam Hutagalung et al., 1997).

104

Lestari et al.

Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian di Teluk Jakarta Sampel zooplankton diambil dengan jaring Norpac mata jaring berukuran (300 mikron) secara horizontal selama 10-15 menit pada kecepatan 1,5-2,0 knot disamping kapal. Jaring dilengkapi dengan PVC cod end. Pengambilan kotoran, sampah, potongan potongan cat, dan sebagainya dari jaring untuk menghindari kontaminasi yang lebih besar. Sampel dicuci dan dibilas dengan air suling untuk menghilangkan garam dan kemudian dimasukkan kedalam botol polietilen yang telah dibersihkan dan dicuci dengan asam, kemudian dimasukan kedalam ice box. Untuk identifikasi dan pencacahan semua sampel segera diawetkan dengan formalin 4 % yang telah dinetralkan dengan borax. Di laboratorium dilakukan identifikasi dan pencacahan dengan bantuan beberapa referensi (Wickstead, 1965; Yamaji, 1966; Taylor, 1978). Di laboratorium P2O-LIPI, sampel air laut dan zooplankton dipreparasi sebelum dianalisis. Sampel air laut dianalisis dengan menggunakan metode back extraction, yaitu 250 mL air laut dimasukkan ke dalam corong pisah teflon dengan ammonium pirolidin ditiokarbamat-natrium dietil ditiokarbamat/metal isobutil keton (APDC-NaDDC/MIBK), hasil ekstraksi didestruksi kembali dengan asam nitrat (HNO3) pekat (Magnusson &Westerlund, 1981, Bruland et al., 1979 dalam Hutagalung et al., 1997, Lestari et al., 2004, 2007) Sampel zooplankton segera di saring dengan kertas saring Whatman 41 dan dikeringkan di oven pada suhu 105oC selama satu jam. Sampel zooplankton sebanyak kurang lebih 0,5-2,0 g didigesi selama 3 jam dengan 10 ml HNO3 pekat pada suhu 95oC. Pengukuran konsentrasi logam berat dalam contoh air dan zooplankton menggunakan alat Atomic Absorption Spectrophotometer (AAS) merek Varian AASpectra 20 dengan nyala campuran udara-asetilen. Data hasil pengukuran logam berat untuk masing-masing sampel air dianalisis dengan membandingkan dengan baku mutu air laut KMNKLH No: 51. Tahun 2004. yang ditetapkan oleh Kantor Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup untuk kepentingan kehidupan biota laut. nilai ambang batas baku mutu air laut untuk peruntukan kehidupan biota laut yakni Pb = 0,008 g ml-1, Cd = <0,001 g ml-1, Zn =

105

Distribusi Logam Berat Kadmium (Cd), Tembaga (Cu), Timbal (Pb) dan Seng (Zn) dalam...

0,05 g ml-1, dan Cu = 0,008 g ml-1, sedangkan untuk konsentrasi logam berat dalam zooplankton dibandingkan dengan beberapa lokasi dari berbagai referensi. III. HASIL DAN PEMBAHASAN Data konsentrasi logam berat (Cd, Cu, Pb, dan Zn) dalam sampel contoh air laut dan dapat dilihat pada Tabel 1 dan dalam zooplankton pada Gambar 2 Sedangkan kelimpahan total zooplankton pada Tabel 2, faktor biokonsentrasi logam berat Pb dan Cu pada Tabel 3. 3.1. Logam berat Cd, Cu, Pb dan Zn dalam air laut Konsentrasi Pb pada stasiun 1 (St 1) nilainya sedikit di atas nilai ambang baku mutu air laut (Tabel 1.), hal ini mungkin diakibatkan oleh adanya pengaruh aktivitas di darat maupun di perairan tersebut, sedangkan konsentrasi Cd, Cu, dan Zn di perairan Teluk Jakarta masih di bawah nilai ambang baku mutu air laut. Nilai ambang baku mutu air laut untuk kehidupan biota laut yang ditetapkan oleh KMNKLH No 51, Tahun 2004, dimana untuk peruntukan kehidupan biota laut yakni Pb = 0,008 g ml-1, Cd = <0,001 g ml-1, Zn = 0,05 g ml-1, dan Cu = 0,008 g ml-1. Meskipun konsentrasi Pb pada stasiun 1 mulai berada sedikit di atas NAB Baku Mutu KMNLH 2004 dan konsentrasi Cu, Pb, dan Zn belum melewati NAB Baku Mutu KMNLH 2004 namun hal ini harus diwaspadai dengan sifat logam berat yang dapat berakumulasi sehingga bila hal ini dibiarkan maka akan mengganggu ekosistem di perairan Teluk Jakarta. Tabel 1. Konsentrasi logam berat dalam air laut (g ml-1) di Teluk Jakarta, Oktober 2009 No stasiun 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Pb 0,010 0,002 0,001 0,003 0,002 0,002 0,001 0,002 0,003 0,002 Cd <0,001 <0,001 <0,001 <0,001 <0,001 <0,001 <0,001 <0,001 <0,001 <0,001 Cu 0,003 0,001 <0,001 0,001 0,002 0,005 <0,001 <0,001 <0,001 0,002 Zn <0,001 <0,001 <0,001 <0,001 <0,001 <0,001 <0,001 <0,001 <0,001 <0,001

106

Lestari et al.

Cd
6 5 4

Cu
900 800 700 600 500 400 300 200 100 0 stasiun st.1 st.2 st.3 st.4 st.5 st.6 st.7 st.8 st.9 st.10

ug/g

3 2 1 0 st.1 st.2 st.3 st.4 st.5 st.6 st.7 st.8 stasiun st.9 st.10

lokasi

ug/g

lokasi

Pb
500 450 400 350 300 250 200 150 100 50 0 stasiun st.10 st.1 st.2 st.3 st.4 st.5 st.6 st.7 st.8 st.9

Zn
2500 2000

ug/g

ug/g

1500 1000 500 0 st.1 st.2 st.3 st.4 st.5 st.6 st.7 st.8 st.9 stasiun st.10

lokasi

lokasi

Gambar 2. Grafik konsentrasi logam berat dalam zooplankton (ug/g) berat kering di Teluk Jakarta, Oktober 2009 Tabel 2. Kelimpahan Total Zooplankton di Teluk Jakarta, Oktober 2009 Sta 1 Kelimpahan (ind/m3) 4667 Dominasi Taksa Cirripedia Calanoida Evadne Cirripedia Calanoida Evadne Cirripedia Calanoida Calanoida Calanoida Calanoida Calanoida Penelia Calanoida Chaetognatha Siphonophora Calanoida Calanoida % 37,88 18,18 10,10 31,60 21,65 16,02 33,60 31,71 47,78 62,19 62,68 30,91 21,82 51,09 15,33 13,14 60,51 52,94

2 3 4 5 6 7 8 9 10

4667 14226 2545 2842 6850 1037 2767 1378 2644

Tabel 3. Rata-rata konsentrasi logam berat terlarut dan dalam zooplankton serta faktor bioakumulasi dalam zooplankton di Teluk Jakarta, Oktober 2009 Logam Berat Terlarut (ppb) Zooplankton (ppb) Faktor Biokonsentrasi Pb 2,8 101,820 36,364 Cu 2 168,880 84,440

107

Distribusi Logam Berat Kadmium (Cd), Tembaga (Cu), Timbal (Pb) dan Seng (Zn) dalam...

Zooplankton laut menbentuk komponen mayor dari total biomassa lingkungan laut dan memainkan peranan vital dalam siklus biogeokimia logam berat di laut (ShulzBlades, 1992 dalam Rezai, 2004). Zooplankton dengan kelimpahan yang sangat besar di laut yang memainkan peranan penting dalam rantai makanan di laut. Umumnya memakan fitoplankton dan menjadi makanan untuk hewan dengan tingkat tropik yang lebih tinggi dan berkontribusi dalam mentransfer logam berat ke tingkat tropik level yang lebih tinggi. Zooplankton Teluk Jakarta umumnya kelas Copepoda yang didominasi oleh tiga spesies mayor yaitu spesies Cirripedia, Calanoida, Evadne (Tabel 2.). Kadang kadang 90% dari zooplankton terdiri dari Copepoda yang sering mendominasi perairan pantai dan (Augustowski, 1987 dalam Pempkowiaks et al., 2006). Konsentrasi rata-rata logam Cd pada zooplankton mengalami peningkatan hingga 5x sedangkan Pb dari 18 hingga 500x lebih tinggi selama hampir 20 tahun di Teluk Jakarta (Hutagalung, 1991). Faktor Bioakumulasi pada logam Pb 36364 dan Cu 84440 (Tabel 3). Pada penelitian ini zooplankton menunjukkan kemampuan untuk mengakumulasi konsentrasi logam berat beberapa ribu kali daripada yang terdeteksi dalam air laut (fraksi terlarut). Pada penelitian ini konsentrasi logam berat dalam sampel zooplankton mengandung tingkat logam berat yang lebih tinggi. Urutan akumulasi unsur-unsur ini pada zooplankton yaitu: Zn>Cu>Pb>Cd. Perbandingan konsentrasi logam berat dalam zooplankton pada beberapa perairan dapat dilihat pada Tabel 4. Konsentrasi logam berat dalam plankton seringkali berbeda tergantung dari perbedaan komposisi, berat jenis plankton dan faktor lingkungan seperti suhu, salinitas, konsentrasi logam berat di air laut (Zafiropoulus and Grimans, 1977). Masalah lain yang mungkin terjadi adalah kontaminasi sampel plankton dengan cat dan karat (Martin andKnauer, 1973 dalam Falandysz, 1984). Penelitian zooplankton menunjukkan kemampuan untuk mengakumulasi konsentrasi logam berat beberapa ribu kali daripada yang terdeteksi dalam air laut (fraksi terlarut). Dari penelitian ini, dibutuhkan pengertian yang lebih baik lagi mengenai latar belakang informasi mengenai logam berat dalam zooplankton di Teluk Jakarta. Tanpa mengetahui fluktuasi spasial dan temporal tidak memungkinkan untuk mendeferensiasi masukan logam berat antropogenik dari latar belakang konsentrasi alami tanpa program biomonitoring secara rutin. Penelitian ini dapat menjadi awal untuk investigasi lebih lanjut. Tabel 4. Perbandingan konsentrasi logam berat pada zooplankton dari beberapa perairan
Group Mixed zooplankton (75% copepods) Mixed zooplankton Net Mesh size (um) Location Off Puerto Rico N,W, Mediterranean sea Jakarta bay Banc darguin (Mauritania) Malacca Straits Izmir Bay Mean Concentration in ug/g dry weight (range) Cd Cu Pb Zn 49,0 41,0 49,0 428,0 (2,0-12,0) (10,0(8,0-107,0) (120,0-1200) 207,0) 2,4 31,0 263,8 (0,3-6,5) (5,9-129,1) (52,0-742,0) 0,830-0,980 4-11 0,2 (0,0-0,5) 17-92 15,9 (0,1-121,6) 124 (41,4-148) 189 (81,3-293) 19,2 - 89,5 168,8 (12,1808,5) 0,736-0,9 12-54 1,6 (0,5-4,3) 70-580 9,7 (2,0-28,3) 1551 (162-2475) 2051 (1796-2534) 174,5 - 8165 834 (224-2341) Source (Martin, 1970 dalam Hardstedt-Romeo and Laumond 1980) Hardstedt-Romeo and Laumond (1980) Hutagalung (1991) Everaats et,al, (1993) Rezai et al, (2004) Kontas, 2008

200

Zooplankton Zooplanktoon Mixed Plankton (Pre-SW Monsoon Zooplankton (winter) Zooplankton (summer) Zooplankton Zzooplankton

300 310 300

300 300 300

Izmir Bay Bengal Bay Jakarta bay - 49,4 2,74 7-5,06)

1,4 - 21,1 101,8 (13,3458,9)

Kontas, 2008 Rejomon et,al, 2008 Present Study (2009)

108

Lestari et al.

IV. KESIMPULAN Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi logam berat terlarut menunjukan masih dibawah baku mutu. Pada zooplankton, konsentrasi rata-rata logam Cd mulai mengalami peningkatan hingga 5x sedangkan Pb dari 18 hingga 500x lebih tinggi selama hampir 20 tahun di Teluk Jakarta. Faktor Bioakumulasi pada logam Pb 36.364 dan Cu 84.440. Zooplankton menunjukkan kemampuan untuk mengakumulasi konsentrasi logam berat beberapa ribu kali daripada yang terdeteksi dalam air laut (fraksi terlarut) Dari penelitian ini, dibutuhkan pengertian yang lebih baik lagi mengenai latar belakang informasi mengenai logam berat dalam zooplankton di Teluk Jakarta.Tanpa mengetahui fluktuasi spasial dan temporal tidak memungkinkan untuk mendeferensiasi masukan logam berat antropogenik dari latar belakang konsentrasi alami tanpa program biomonitoring secara rutin. Penelitian ini dapat menjadi awal untuk investigasi lebih lanjut. UCAPAN TERIMAKASIH Penulis mengucapkan terimakasih kepada Ibu Hikmah Thoha M.Si. selaku kepala laboratorium plankton yang memberikan kesempatan untuk ikut dalam penelitian insentif DIKTI 2009 serta Bapak Abdul Rozak A.Md.selaku staf teknisi senior yang membantu menganalisis logam berat. DAFTAR PUSTAKA Arifin. Z. and F. Mufidah. 2006. Trace metals accumulation by Green Mussel (Perna Viridis, L) cultured in a highly polluted area on Jakarta Bay, Indonesia. International Conference Hubs, Harbours and Deltas. In: Southeast Asia: Multidiciplinary and Intercultural Perspectives Royal Academy of Overseas Sciences Phnom Penh 6-8 Feb, pp 525-536. Falandysz, J. 1984. Trace metals and organochlorines in plankton from the souththern Baltic. Marine Pollution Bulletin, 15(11):416-418. Hardstedt-Romeo, M. and F. Laumond. 1980. Zinc, copper and cadmium in Zooplankton from N.W. Mediterranean. Marine Pollution Bulletin, 11:133-138. Hutagalung, H. P. 1991. Pencemaran laut oleh logam berat. Dalam: Kunarso et al.(eds). Status pencemaran laut di Indonesia dan teknik pemantauannya. P3O LIPI, Jakarta:hal 45-59. Hutagalung, H. P. 1995. Heavy metals content in sediment of Jakarta Bay, Indonesia. In: Watson, Ong and Vigers, (eds). ASEAN Criteria and Monitoring: Advances in marine environmental management and human health protection.Proceeding of the ASEAN-Canada Mid-term Technical Review Conference on Marine.Republic of Singapore (24-28 October 1994). EVS Consultans. Vancouver and National Science and Technology Board, Singapore.422p Hutagalung H. P., D. Setiapermana, dan S.H. Riyono. 1997. Metode Analisis Air Laut, Sedimen dan Biota, Buku 2. P3O LIPI, Jakarta, hal:59-80. KEPUTUSAN MENTERI NEGARA KEPENDUDUKAN DAN LINGKUNGAN HIDUP. 2004. Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup No Kep-51/MNKLH/I/2004 Tentang Pedoman Penetapan Baku Mutu Air Laut, Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup, Jakarta, hal. 10 12.

109

Distribusi Logam Berat Kadmium (Cd), Tembaga (Cu), Timbal (Pb) dan Seng (Zn) dalam...

Kontas, A. 2008. Trace metal (Cu, Mn, Ni, Zn, Fe) contamination in marine sediment and zooplankton samples from Izmir Bay (Aegean Sea, Turkey). Water Air Soil Pollut. 188:323-333. Lestari dan Edward. 2004. Dampak pencemaran logam berat terhadap kualitas air laut dan sumberdaya perikanan (studi kasus kematian massal ikan - ikan di Teluk Jakarta), Makara Sains, 8(2):56-62. Lestari, J.M. Manik, dan A. Rozak. 2007. Kualitas perairan Teluk Klabat, provinsi kepulauan Bangka Belitung ditinjau dari aspek logam berat. Dalam: Jamali et al. (eds) Sumberdaya laut dan lingkungan Bangka Belitung 2003-2007. Pusat Penelitian Oseanografi LIPI:hal 23-32. Lestari. 2008. Distribusi dan partisi geokimia logam berat dalam sedimen di Teluk Jakarta, Tesis, Universitas Indonesia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Program Pascasarjana Program Studi Ilmu Kelautan, Depok, 87 hal. Moore, J.W., and S. Ramamoorthy. 1984. Heavy metals in natural waters. Applied monitoring and impact assessment. Springer Verlag, New York, 268 pp. Magnuson, B., and S. Westerlund. 1981. Solvent extraction procedures combined with back extraction for trace metals determinations by atomic absorption spectrometry. Analytica Chimica Acta, 131: 63-72. Patin, S. 1982. Pollution and the biological resouces of the oceans. Butterworth Scientific, London: 287pp. Pempkowiaks, J., J. Walkusz-Miotk, J.Beldowski, and W.Walkusz. 2006. Heavy metals in zooplankton from the Southern Baltic. Chemosphere, 62:1697-1708. Phillips D.J.H. 1977. The use of biological indicator organism to monitor trace metal pollution in marine and estuarine environments-a review. Envir. Pollut., 13:281317. Rejomon ,G., K.K. Balachandran, M. Nair, T. Joseph. 2008. Trace metal concentration in marine zooplankton from the Western Bay of Bengal. Applied ecology and environmental research, 6(1):107-116. Rezai, H.,F.M.Yusoff, A. Arshad, and B.H.R. Othman. 2004. Distribution of the heavy metals copper, zinc, lead and cadmium in zooplankton along the straits of Malacca, In: Phangs et. al. (eds). Marine Science into the New Millenium: New Perspective and Challenges, Ministri of science, Technology and Innovation University of Malaya, p 617-630. Taylor, F.J.R. 1978. Dinoflagellates from the International Indian Ocean Expedition. Bibl, 132: 234 pp + 46 photos. Wickstead, J. H. 1965. An introduction to the study of trophical plankton. Hutchinson and Co (Publishers) LTD 178-202 Great Portland St. London Wt:160 pp. William, T.M., Rees, J.G., and Setiapermana, D. 1997. Land derived contaminant influx to Jakarta Bay, Indonesia Vol 1: Geochemistry of marine water and sediment, BGS Oveseas Geoloy Series Technical Report W C/97/17. British Geological Survey, Nottingham, UK. Yamaji, I. 1966. Illustration of the Marine Plankton of Japan. Hoikusho, Osaka, Japan: 369 pp. Zafiropoulos, D. and Grimmans, A.P. 1977. Trace elements in Acartha clausi from Elefsis bay of the upper Saronikos Gulf, Greece, Mar. Pollut. Bull., 8:79-81.

110

Kunarso

KONDISI LINGKUNGAN DI PERAIRAN LAUT CINA SELATAN DITINJAU DARI ASPEK BAKTERIOLOGIKAL ENVIRONMENTAL CONDITION OF SOUTH CHINA SEA FROM BACTERIOLOGICAL ASPECT
Djoko Hadi Kunarso Pusat Penelitian Oseanografi LIPI, Jl. Pasir Putih I, Ancol Timur, Jakarta 14430 E-mail: kunarso@yahoo.com Abstract The investigation on environmental condition of South China Sea was carried out in May June 2002. South China Sea grow very fast especially in industrial and transportation sectors. Therefore, the degradation of waters quality here is prominent. The objective of this investigation was to determine the concentration and pattern of bacteria distribution related to waters quality. Water quality was determined based on bacteriological parameters such as coliform bacteria, hydrocarbonoclastic bacteria, pathogenic bacteria Salmonella, and Vibrio. The coliform bacteria was analysed using membrane filter technique. Hydrocarbonoclastic bacteria was analysed using Most Probable Number method. The pathogenic bacteria was cultured using the selective media of Salmonella on selenith broth and TCBS agar for the Vibrio bacteria. The results indicated that the coliform bacteria varied between 1081060/100ml with average of 375/100ml, hydrocarbonoclastic bacteria varied between 0150/100ml with average of 13/100ml. The diversity of isolated pathogenic bacteria was 8 species from seawater and 6 species from sediment samples. The present of bacteria Citrobacter sp and Aeromonas sp were abundantly during the period of observation. The bacteria Vibrio parahaemolyticus was also identified. The result also showed that the numbers of coliform bacteria still under threshold value of quality standard of marine environment based on the Ministry of Environment Act No: 51/2004. Keywords: Coliform bacteria, hydrocarbonoclastic bacteria, pathogenic bacteria, water quality, South China Sea. Abstrak Penelitian kualitas lingkungan di perairan Laut Cina Selatan ditinjau dari aspek bakteriologi telah dilakukan pada periode bulan Mei Juni 2002. Sehubungan di kawasan pantai Laut Cina Selatan perkembangan di sektor industri dan aktivitas pembangunan sangat pesat kemajuannya. Sehingga dimungkinkan dapat menyebabkan menurunnya kualitas perairan di ekosistem pantai dan lautnya. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui kandungan dan pola distribusi bakteri serta hubungannya dengan kualitas perairan laut. Untuk mengetahui kualitas perairan parameter yang diamati berdasarkan kandungan bakteri coliform, bakteri hidrokarbonoklastik serta isolasi bakteri patogen Salmonella dan Vibrio. Parameter kandungan bakteri coliform dianalisa mengunakan metode teknik membran filter, bakteri hidrokarbonokltik dengan metode Most Probable Number, sedangkan bakteri patogen Salmonella dikultur pada media spesifik Selenith broth dan media TCBS agar untuk bakteri Vibrio. Hasil penelitian yang diperoleh menunjukkan kisaran jumlah kandungan bakteri coliform antara 108 1060/100ml dengan rata rata 375/100ml, kisaran jumlah kandungan bakteri hidrokarbonoklastik antara 0 150/100ml dengan rata rata 13/100ml. Keragaman jenis bakteri patogen yang diisolasi sebanyak 8 jenis dari sampel air laut dan 6 jenis dari sampel lumpur. Frekuensi keberadaan jenis bakteri Citrobacter sp dan Aeromonas sp cukup tinggi selama periode penelitian. Namun demikian bakteri Vibrio parahaemolyticus telah teridentifikasi pada sampel air laut. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa kandungan bakteri coliform masih dibawah nilai ambang batas Baku Mutu Lingkungan Laut (Kepmen No: 51 tahun 2004). Kata kunci : Bakteri coliform, bakteri hidrokarbonoklastik, bakteri patogen, kualitas lingkungan, Laut Cina Selatan.

111

Kondisi Lingkungan di Perairan Laut Cina Selatan Ditinjau dari Aspek Bakteriologikal

I. PENDAHULUAN Perairan Laut Cina Selatan secara geografisnya terletak pada kawasan yang berbatasan langsung dengan wilayah perairan Malaysia dan Singapura. Perairan ini sangat strategis dan penting karena merupakan jalur pelayaran internasional yang sangat padat, menghubungkan antara daratan Eropa dan Timur Tengah dengan Asia Timur (Chua et al., 2000; Anonim 2003). Di kawasan pesisir dan lautnya juga memiliki sumberdaya mineral yang berpontensi ekonomi sebagai pendapatan daerah dan devisa negara. Kontribusi utama di sektor pertambangan ini antara lain: gas alam, minyak bumi dan timah. Sedangkan ekosistem perairan Laut Cina Selatan memiliki keanekaragaman hayati (biodiversitas) yang sangat tinggi antara lain: terumbu karang, mangrove dan padang lamun. Disamping biodiversitas sumberdaya alam yang kaya, perairan Laut Cina Selatan merupakan daerah penangkapan ikan dan budidaya biota laut ( Widodo et al., 1998 dalam Anonim 2003; Thoha 2004; ). Oleh karena itu, pengelolaan dan pemanfaatan di kawasan perairan Laut Cina Selatan perlu mendapat perhatian dengan seksama baik oleh pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Hal ini dikarenakan pada kawasan perairan tersebut memiliki kekayaan alam yang melimpah dan bernilai ekonomis tinggi yang belum banyak dimanfaatkan secara optimal. Namun demikian, dikawasan hulu dan pantainya telah diupayakan seperti pembukaan lahan pemukiman, industri, pertanian dan pertambangan sehingga akan berdampak terhadap potensi ekosistem pesisir dan lautnya. Hal ini terlihat bahwa di Laut Cina Selatan mengalir sungai besar berasal dari daratan Sumatera dan Kalimantan yaitu S. Musi, S. Batanghari dan S. Indragiri yang mengalir dari arah sebelah Barat sedangkan S. Kapuas dan S. Sambas dari arah sebelah Timur. Sehubungan dengan hal tersebut diatas, telah dikaji kondisi terhadap ekosistem perairan lautnya terutama yang berkaitan dengan kualitas lingkungan perairan. Salah satu aspek penelitian yang berperanan penting terhadap kualitas lingkungan perairan berdasarkan kondisi bakteriologinya. Dalam ekosistem perairan laut bahwa jumlah kandungan bakteri yang tinggi menunjukkan kondisi lingkungan perairannya di kategorikan kualitasnya menurun (World Health Organization 1977; Rheinheimer 1980; Ouseph et al., 2009). Oleh karena itu untuk menentukan kriteria kualitas perairan dapat ditinjau berdasarkan parameter bakteriologi yang meliputi kandungan bakteri coliform, bakteri hidrokarbonoklastik dan bakteri patogen. Menurut Rheinheimer (1980) dan Ouseph et al., (2009) bahwa tingginya kandungan bakteri coliform dan terisolasinya bakteri Salmonella dan Vibrio merupakan indikasi terhadap sanitasi lingkungan perairan sudah tercemar. Sebagai sumber utama pencemaran berasal dari limbah domestik dan industri yang berasal dari daratan terbawa oleh aliran sungai dan akhirnya ke perairan laut. Perairan Laut Cina Selatan merupakan muara dari beberapa sungai kecil dan besar yang berasal dari Pulau Sumatera dan Kalimantan. Sungaisungai tersebut diantaranya adalah Sungai Musi, Sungai Batanghari dan Sungai Indragiri yang mengalir dari Pulau Sumatera serta Sungai Kapuas dan Sungai Sambas yang mengalir dari Pulau Kalimantan (Anonim, 2003). Oleh karena itu, sungai-sungai ini secara langsung dan tak langsung akan memberikan dampak terhadap kondisi ekosistem lingkungan perairan lautnya. Untuk mengatasi ancaman yang dapat merugikan terhadap kelangsungan ekosistem pesisir dan laut, maka pengelolaan lingkungan harus dilaksanakan secara terpadu dan terencana dengan baik agar berbagai kepentingan dapat berjalan bersamasama untuk mendayagunakan potensi laut secara optimal dan lestari. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memonitor kualitas lingkungan perairan berdasarkan kandungan bakteriologi di perairan Laut Cina Selatan. Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan informasi

112

Kunarso

tentang kualitas perairan dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam lautnya di perairan Laut Cina Selatan. II. METODE PENELITIAN Penelitian bakteriologi di perairan Laut Cina Selatan telah dilakukan pada bulan Mei Juni 2002 dengan menggunakan Kapal Riset Baruna Jaya VIII. Jumlah stasiun penelitian diambil sebanyak 29 yang meliputi antara lain: 2 stasiun sungai yaitu muara sungai Kapuas (K.1) dan muara sungai Sambas (K.2), 7 stasiun di perairan pantai (St A,B,C,D,E,F dan G) dan 20 stasiun sebaran di perairan laut terbuka Gambar 1. Pengambilan sampel air laut dilakukan pada lapisan permukaan dengan menggunakan alat rosette sampler yang dilengkapi dengan sensor SeaBird CTD 911 untuk mengukur kedalaman laut, temperatur dan salinitas.

LAUT CINA SELATAN


1
O

17

16

19 20

18

Kep.Tambelan

STASIUN PENELITIAN PERAIRAN LAUT CINA SELATAN MEI - JUNI 2002

D
KALIMANTAN

12
P. Lingga

13

14

15 G 1 Stasiun Penelitian C B

11

LAUT NATUNA

1O

8 9 10 7 6
P. Karimata
Laut Cina Selatan Samudera Pasifik
S U M

A
A T E R A

KA LIMA NTA N
Bangka Belitung

1
Selat Bangka Selat Karimata

S ULA WE SI IR IA N JAY A

2
P. Bangka SUMATERA
3
O

3
P. Belitung

JAWA

INDONESIA

Samudera Hindia

Penelitian Sumberdaya Kawasan Pengembangan dan Pengelolaan Laut Perairan Laut Cina Selatan PUSLIT OSEANOGRAFI - LIPI, 2002 109
O

105O

106

107

108O

110O

Gambar 1. Lokasi stasiun penelitian bakteriologi di perairan Laut Cina Selatan pada periode bulan Mei Juni 2002. Untuk menentukan kualitas air laut beberapa parameter yang dianalisa dalam penelitian ini ialah: jumlah kandungan bakteri coliform, jumlah kandungan bakteri hidrokarbonoklastik dan isolasi bakteri patogen Salmonella dan Vibrio. Analisa kandungan bakteri coliform digunakan teknik membran filter berdasarkan metode dari American Public Health Association (1992). Sampel air laut sebanyak 100 ml secara aseptis dimasukan kedalam filter holder dan dilakukan proses penyaringan dengan menggunakan Membrane Filter yang berpori 0.45 m dan diameter 47 mm. Filtrat hasil penyaringan dimasukan kedalam cawan petri yang sudah mengandung media spesifik untuk bakteri coliform. Media yang digunakan untuk pertumbuhan bakteri coliform adalah MFEndo agar, kemudian diinkubasikan dalam inkubator selama 24 jam pada temperatur 35 oC + 0.5 oC. Setelah masa inkubasi terlihat pertumbuhan koloni bakteri coliform pada permukaan membran filter berwarna merah kehijauan metalik.

113

Kondisi Lingkungan di Perairan Laut Cina Selatan Ditinjau dari Aspek Bakteriologikal

III. HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan hasil penelitian terhadap kandungan bakteri coliform, kandungan bakteri pemecah minyak (hidrokarbonoklastik), bakteri patogen Salmonella dan Vibrio di perairan Laut Cina Selatan pada periode bulan Mei Juni 2002 disajikan dibawah ini. 3.1. Bakteri Coliform Pada Tabel 1 dan Gambar 2 menunjukkan jumlah kandungan bakteri coliform dan pola sebarannya, kisaran kandungan bakteri coliform di perairan Laut Cina Selatan antara 108 1060 CFU/100ml dengan rata-rata 375 CFU/100 ml kandungan bakteri coliform tertinggi dijumpai pada stasiun penelitian 3 dan yang terendah kandungan bakterinya pada stasiun 19. Secara umum jumlah kandungan bakteri coliform pada semua stasiun terlihat bervariasi. Namun demikian, pada lokasi penelitian menunjukkan bahwa kandungan bakteri coliform pada lokasi di perairan muara sungai (Kapuas dan Sambas) cenderung tinggi jumlah bakteri coliform hingga ke perairan pantai (St A,B,C,D,E,F dan G) kemudian menurun kandungan bakteri coliformnya kearah laut. Pada Gambar 2 menginformasikan pola distribusi kandungan bakteri coliform menunjukkan bahwa kandungannya bervariasi terutama pada stasiun penelitian di dekat kawasan perairan muara sungai dan pantai relatif lebih tinggi kandungan bakteri coliformnya bila dibandingkan dengan stasiun yang terletak di perairan lepas pantai. Kondisi ini terlihat terutama di perairan pantai Kalimantan cenderung lebih tinggi distribusi kandungan bakteri coliform bila dibandingkan dengan perairan pantai Sumatera antara lain di sekitar P. Bangka, P. Belitung dan P. Lingga. Sedangkan pada perairan lautnya yaitu L. Natuna dan L. Cina Selatan relatif lebih sedikit kandungan bakteri coliformnya. Adanya perbedaan kandungan jumlah bakteri coliform ini diduga karena adanya pasokan limbah organik organik yang berasal dari limbah domestik dan industri di daratan melalui aliran sungai dan pada akhirnya bermuara ke perairan Laut Cina Selatan laut.

LAUT CINA SELATAN


1
O

Kep.Tambelan

DISTRIBUSI BAKTERI COLIFORM PERAIRAN LAUT CINA SELATAN MEI - JUNI 2002

KALIMANTAN

P. Lingga

LAUT NATUNA

Legenda ( / 100 ml ) : > 750 500 - 750 250 - 500 < 250

1O

P. Karimata
SU M A

Laut Cina Selatan Samudera Pasifik

KA LIMA NTA N
E
Bangka Belitung

T RA

S ULA WE SI IR IA N JAY A

Selat Bangka

Selat Karimata
JAWA

INDONESIA

Samudera Hindia

P. Bangka SUMATERA
3
O

P. Belitung
106
O

Penelitian Sumberdaya Kawasan Pengembangan dan Pengelolaan Laut Perairan Laut Cina Selatan PUSLIT OSEANOGRAFI - LIPI, 2002 109
O

105O

107

108O

110O

Gambar 2. Pola distribusi kandungan bakteri coliform di perairan Laut Cina Selatan pada bulan Mei Juni 2002.

114

Kunarso

Tabel 1. Jumlah kandungan bakteri coliform dan MPN bakteri pemecah minyak (hidrokarbonoklastik) di perairan Laut Cina Selatan bulan MeiJuni 2002 No. Stn 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 A B C D E F G K-1 K-2 1 2 3 4 5 Suhu ( C ) Salinitas () Bakteri Coliform Bakteri MPN Minyak ( / 100 ml ) ( / 100 ml ) 565 207 323 1060 523 832 178 162 140 188 475 655 185 478 297 465 174 215 108 125 294 376 318 115 392 560 178 848 446 10.882 375 108 1060 108 - 1060 17 4 17 11 3 7 7 3 6 10 150 0 4 11 11 6 5 5 3 5 6 17 5 32 4 5 4 17 5 380 13 0 150 0 - 150

30.76 24.74 30.32 32.57 29.92 32.34 29.90 31.81 29.88 30.92 30.24 32.01 30.11 32.25 30.67 32.30 30.16 32.31 30.71 31.12 30.34 32.48 30.28 32.76 29.81 32.51 30.22 31.69 29.88 32.37 30.48 30.63 30.20 31.99 30.12 32.72 29.87 32.88 30.29 32.15 30.10 31.07 30.39 30.45 30.21 31.78 30.37 31.50 29.94 32.41 29.87 31.57 30.01 28.72 5 13 Jumlah kandungan bakteri Rata - rata Jumlah kandungan bakteri Kandungan bakteri tertinggi Kandungan bakteri terendah Kisaran kandungan bakteri

Namun demikian, bakteri ini dapat hidup dilingkungan laut karena sudah teradaptasi dan pengaruh nutrien yang tersedia akan mempengaruhi aktifitas kehidupannya. Menurut Elyazar et al. (2007) dilaporkan bahwa limbah pupuk yang berasal pertanian akan meningkatkan kadar nutrien yaitu Amonia, Nitrat dan Fosfat menyebabkan meningkatnya kandungan bakteri coliform dan Escherichia coli di perairan Kuta. Selain pengaruh dari limbah kehadiran bakteri coliform di perairan laut dipengaruhi oleh habitat lingkungannya, kandungan bakteri coliform jumlahnya relatif banyak di perairan dangkal (neritik) bila dibandingkan dengan di laut dalam (oseanik). Seperti yang diungkapkan

115

Kondisi Lingkungan di Perairan Laut Cina Selatan Ditinjau dari Aspek Bakteriologikal

oleh Shellenbarger et al. (2008) bahwa kandungan bakteri coliform di perairan dangkal lebih banyak dikarenakan produktivitas perairannya yang tinggi dan ketersediaan nutrien. Disamping itu, pengaruh banyaknya sungai-sungai yang bermuara ke perairan laut memberikan kontribusi terhadap jumlah kandungan bakteri coliform di laut. Hal ini diungkapkan oleh Chua et al. (2000) dalam kajian kualitas perairan di Selat Malaka, menunjukkan bahwa sungai-sungai dari pulau Sumatera dan Malaysia dapat mempengaruhi kualitas ekosistem perairan laut di Selat Malaka. Untuk menentukan tingkat kualitas perairan di Indonesia telah ditetapkan acuan Baku Mutu Air Laut yang dikeluarkan oleh Kementrian Negara Lingkungan Hidup (2004). Berdasarkan acuan tersebut, bahwa standar kualitas air laut untuk sanitasi lingkungan dan berbagai kepentingan umum serta budidaya biota laut batas yang diperbolehkan kandungan bakteri coliformnya sebesar 1000/100 ml. Hasil penelitian yang telah dilakukan di perairan Laut Cina Selatan kandungan bakteri coliform adalah 375 CFU/100ml, kandungan ini masih rendah bila dibandingkan dengan Baku Mutu Air Laut (Kementrian Negara Lingkungan Hidup, 2004). Ditinjau dari kondisi kandungan bakterinya menunjukkan bahwa kualitas perairannya masih dalam katagori baik.

Jumlah bakteri (CFU/100ml) 1200 1000 800 600 400 200 0

Laut Maluku Selat Malaka Teluk (2002) Jakarta dan Utara (2005) Kep. Seribu (2004)

Selat Makassar (2003)

Laut Cina Selatan (2003)

BMAL

Lokasi Penelitian

Gambar 3. Kandungan bakteri coliform di beberapa lokasi penelitian di perairan Indonesia dan dibandingkan dengan Baku Mutu Air Laut (BMAL) Namun demikian, bila dibandingkan dengan hasil-hasil penelitian terhadap kandungan bakteri coliform pada beberapa lokasi penelitian di perairan laut Indonesia terlihat pada Gambar 3. Secara umum bahwa kandungan bakteri coliform menunjukkan kondisi di perairan Laut Cina Selatan kandungan bakterinya lebih rendah bila dibandingkan dengan beberapa perairan laut di Indonesia. Hal ini terlihat pada perairan Selat Malaka yaitu 753/100ml (Anonim, 2002) dan di perairan Teluk Jakarta dan Kepulauan Seribu yaitu 661/100ml (Anonim, 2004) dimana kandungan bakterinya lebih tinggi. Akan tetapi kandungan bakteri coliform di perairan Laut Cina Selatan lebih tinggi bila dibandingkan dengan perairan laut Maluku Utara yaitu sebesar 200/100ml (Anonim, 2005) dan di perairan Selat Makassar yaitu 117/100ml (Anonim, 2003).

116

Kunarso

3.2. Bakteri Pemecah minyak (Hidrokarbonoklastik) Di dalam ekosistem laut bakteri pemecah minyak (hidrokarbonoklastik) pada umumnya relatif sedikit dari jumlah total bakteri yang ada diperairan laut, akan tetapi bila terjadi pencemaran minyak maka jumlah kandungan bakteri pemecah minyak menjadi meningkat di perairan laut. Dari hasil penelitian terilhat pada Tabel 1 dan Gambar 4 menunjukkan jumlah kandungan bakteri pemecah minyak (hidrokarbonoklastik) dan pola sebarannya, kisaran kandungan bakteri pemecah minyak di perairan Laut Cina Selatan antara 0 150/100ml dengan rata-rata 13/100 ml kandungan bakteri tertinggi dijumpai pada stasiun penelitian 12 dan yang terendah kandungan bakterinya pada stasiun 11. Pada Gambar 4 memperlihatkan pola sebaran kandungan bakteri pemecah minyak (hidrokarbnoklastik)di perairan Laut Cina Selatan.
LAUT CINA SELATAN
1
O

Kep.Tambelan

DISTRIBUSI BAKTERI MPN MINYAK PERAIRAN LAUT CINA SELATAN MEI - JUNI 2002

KALIMANTAN

P. Lingga

LAUT NATUNA

Legenda ( / 100 ml ) : >50 40 - 50 30 - 40 20 - 30 10 - 20 < 10

1O

P. Karimata
S U M A

Laut Cina Selatan Samudera Pasifik

KA LIMA NTA N
E
Bangka Belitung

T R A

S ULA WE SI IR IA N JAY A

Selat Bangka

Selat Karimata
JAW A

INDONESIA

Samudera Hindia

P. Bangka SUMATERA
3
O

P. Belitung
106
O

Penelitian Sumberdaya Kawasan Pengembangan dan Pengelolaan Laut Perairan Laut Cina Selatan PUSLIT OSEANOGRAFI - LIPI, 2002 109
O

105O

107

108O

110O

Gambar 4. Pola distribusi kandungan bakteri pemecah minyak (hidrokarbonoklastik) di perairan Laut Cina Selatan pada bulan Mei Juni 2002. Pola sebaran bakteri pemecah minyak dari sampel air laut secara umum sangat berfluktuatif kandungannya, pada stasiun penelitian dekat pantai terlihat cenderung relatif tinggi kandungannya bila dibandingkan dengan stasiun penelitian di lepas pantai. Kondisi ini terlihat pola distribusi di perairan pantai Sumatera cenderung konsentrasinya lebih tinggi jika dibandingkan dengan perairan pantai Kalimantan. Sedangkan pada kawasan perairan lautnya yaitu L. Natuna dan L. Cina Selatan terlihat distribusi bakteri pemecah minyaknya konsentrasi relatif lebih sedikit kandungannya. Menurut Walker dan Colwell (dalam Hood et al., 1975) bahwa adanya kecenderungan semakin tingginya kandungan MPN bakteri hidrokarbonoklastik, menunjukkan kandungan senyawa hidrokarbon diperairan yang tinggi. Di Indonesia belum ada standar atau ambang batas terhadap kandungan bakteri pemecah minyak sebagai kriteria pencemaran. Oleh karena itu, berdasarkan hasil penelitian terhadap kandungan bakteri pemecah minyak di perairan Laut Cina Selatan bahwa rata rata kandungannya yaitu 13/100 ml, kondisi ini masih relatif rendah konsentrasinya bila dibandingkan dengan kandungan bakteri pemecah minyak di perairan Teluk Jakarta dan perairan Kalimantan Timur. Di perairan Kalimantan Timur kandungan bakteri pemecah minyak dapat mencapai 2400/100 ml (Anonim, 2000). Sedangkan di perairan Teluk Jakarta yang telah dilakukan oleh Lembaga Oseanologi Nasioanal LIPI (1978) konsentarsinya dapat mencapai 11.000/100 ml.

117

Kondisi Lingkungan di Perairan Laut Cina Selatan Ditinjau dari Aspek Bakteriologikal

3.3. Bakteri Patogen Hasil isolasi jenis-jenis bakteri patogen yang diperoleh dari sampel air laut dan sedimen di perairan Laut Cina Selatan pada bulan Mei Juni 2002, menunjukkan bahwa bakteri patogen pada sampel air laut diisolasi sebanyak 8 jenis bakteri dan pada sampel lumpur sebanyak 6 jenis seperti yang terlihat pada Tabel 2 dan 3. Tabel 2. Jenis-jenis bakteri patogen yang diisolasi dari sampel air laut di perairan Laut Cina Selatan pada bulan Mei Juni 2002
No. Stn 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 A B C D E F G K-1 K-2 Jenis - jenis bakteri yang diisolasi dari sampel air laut Psedomonas Citrobacter Shigella Bacillus Proteus + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + Vibrio V. parahaeAeromonas sp. moliticus + + + + + + + + + + + + + + + + + + -

Pada Tabel 2 menunjukkan jumlah kandungan bakteri patogen yang diisolasi dari sampel air laut telah diisolasi sebanyak 6 jenis antara lain: bakteri Aeromonas, Bacillus, Citrobacter, Proteus, Pseudomonas, Shigella, Vibrio sp. Vibrio parahaemolyticus. Dari hasil analisa isolasi bakteri patogen tersebut secara umum terlihat bahwa jenis bakteri Citrobacter dan Aeromonas merupakan jenis bakteri yang paling dominan diisolasi, sedangkan jenis bakteri Pseudomonas, Shigella dan Vibrio parahaemoliticus merupakan bakteri yang sedikit diisolasi dari sampel air laut. Jenis-jenis bakteri patogen yang dominan merupakan mikroflora bakteri yang bersifat saprofitik. Golongan bakteri ini pada umumnya tidak bersifat patogen karena untuk mendapatkan nutrisinya dapat berasal
118

Kunarso

dari mikroorganisme yang telah mati. Namun demikian jenis bakteri Vibrio parahaemoliticus yang merupakan mikroflora bakteri laut dan bersifat patogen telah diisolasi pada lokasi penelitian. Seperti yang diungkapkan oleh Rheinheimer (1980) bahwa jenis bakteri Vibrio merupakan bakteri patogen yang dapat menyebabkan penyakit gastroenteritis apabila mengkonsumsi hasil laut yang terkontaminasi. Sedangkan pola distribusi kandungan bakteri patogen di perairan Laut Cina Selatan, bahwa pada stasiun-stasiun penelitian cenderung tidak merata dan kondisi ini terlihat pada stasiun penelitian di muara sungai dan perairan pantai lebih banyak diisolasi dari pada di perairan laut lepas. Hal ini terlihat bahwa pada sampel air laut jumlah bakteri patogen lebih banyak diisolasi dari perairan pantai Sumatera bila dibandingkan dengan perairan pantai Kalimantan. Berdasarkan frekwensi isolasi bakteri patogen menunjukkan bahwa bakteri Aeromonas dan Citrobacter merupakan bakteri yang paling dominan diisolasi. Dari 29 stasiun penelitian menunjukkan bahwa bakteri Citrobacter dapat diisolasi pada 12 stasiun, sedangkan bakteri Aeromonas dapat diisolasi pada 11 stasiun penilitian. Namun sebaliknya jenis-jenis bakteri patogen yang paling sedikit diisolasi dari perairan Laut Cina Selatan adalah bakteri Vibrio parahaemolyticus, Pseudomonas dan Shigella. Jenis bakteri Vibrio parahaemolyticus hanya diisolasi pada 1 stasiun penelitian, selanjutnya untuk bakteri Pseudomonas dan Shigella diisolasi dari 2 stasiun lokasi penelitian yang berasal dari perairan pantai Kalimantan (Gambar 5).
Jumlah stasiun bakteri diisolasi 16

1 2

12

1 1

8
5 5

3 2 2 1

0
l la as us as s r sp Ba c ba Pr o Sh i om yti cu s ol V pa ra h ae il lu cte ge on on te rio Vi b

om

Ci tr o

Ae r

Gambar 5. Frekwensi isolasi jenis- jenis bakteri patogen pada sampel air laut di perairan Laut Cina Selatan pada bulan Mei Juni 2002. Pada Tabel 3 dan Gambar 6 menunjukkan kandungan bakteri patogen dan frekwensi yang diisolasi dari sampel lumpur. Pada Tabel 3 jenis-jenis bakteri patogen yang diisolasi sebanyak 6 jenis antara lain: bakteri Aeromonas, Citrobacter, Proteus, Pseudomonas, Shigella, Vibrio sp. Jenis-jenis bakteri patogen yang diisolasi tersebut terlihat bahwa bakteri Citrobacter merupakan jenis bakteri yang paling dominan diisolasi, sedangkan jenis bakteri Shigella adalah jenis bakteri yang sedikit diisolasi. Dari hasil identifikasi secara umum terlihat bahwa jenis bakteri Citrobacter merupakan jenis bakteri yang paling dominan diisolasi, merupakan mikroflora bakteri laut yang bersifat saprofitik dan tidak bersifat patogen.

119

Ps e

Jenis bakteri

ud

Kondisi Lingkungan di Perairan Laut Cina Selatan Ditinjau dari Aspek Bakteriologikal

Tabel 3. Jenis-jenis bakteri patogen yang diisolasi dari sampel lumpur di perairan Laut Cina Selatan pada bulan Mei Juni 2002. No. Stn 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 A B C D E F G K-1 K-2 Jenis - jenis bakteri yang diisolasi dari sampel lumpur Psedomonas + + + Citrobacter + + + + + + + + + + + + + Shigella + + Proteus + + + Vibrio sp. + + + + + Aeromonas + + + + + + + +

Berdasarkan pola sebaran jenis-jenis bakteri patogen pada sampel lumpur terlihat bahwa pada stasiun penelitian di dekat pantai cenderung banyak diisolasi. Seperti hal yang sama bahwa di perairan pantai Sumatera jumlah bakteri patogen lebih banyak diisolasi bila dibandingkan dengan perairan pantai Kalimantan pada sampel lumpur, namun demikian pada stasiun penelitian di laut lepas bakteri patogen dapat diisolasi. Dari jumlah 29 stasiun penelitian jenis- jenis bakteri patogen yang diisolasi menunjukkan bahwa jenis bakteri Citrobacter dapat diisolasi pada 12 stasiun penelitian. Untuk jenis bakteri Shigella merupakan jenis bakteri yang relatif sedikit diisolasi yaitu pada 2 stasiun penelitian, dimana bakteri tersebut dapat diisolasi dari kawasan perairan di dekat pantai (Gambar 6).

120

Kunarso

Jumlah stasiun bakteri diisolasi 16


12

12

8
5 4

4
2

0
ct er lla ot eu s as on a on ig e br io Vi sp s m

it r ob a

ro m

Sh

Pr

Gambar 6. Frekwensi isolasi jenis- jenis bakteri patogen pada sample lumpur di perairan laut Cina Selatan pada bulen Mei Juni 2002. Dari hasil penelitian isolasi jenis-jenis bakteri patogen di perairan Laut Cina Selatan menunjukkan bahwa jumlah bakteri patogen pada sampel air laut lebih banyak bila dibandingkan dengan sampel lumpur (Tabel 2 dan Tabel 3). Ditinjau dari faktor kehadiran bakteri patogen di lingkungan laut dapat bisebabkan oleh kondisi lingkungan ekosistem perairan laut yang sudah tercemar terutama dari limbah domestik yang berasal dari daratan dan akhirnya mencemari ekosistem perairan laut melalui aliran sungai. Menurut Romimohtarto (1985); Kandhasamy & Arunachalam (2008) dan Ouseph et al. (2009) menjelaskan bahwa dampak limbah yang pengelolaanya kurang baik dari berbagai kegiatan industri dan domestik, akan mempengaruhi kualitas perairan terutama jenis bakteri dari kelompok enterik. Disamping itu pula, kegiatan penduduk juga akan menghasilkan limbah rumah tangga yang pada akhirnya dapat berpotensi mencemari ekosistem perairan laut. Selain itu, dampak dari kelebihan pakan dapat menyebabkan eutrofikasi sehingga akan menyebabkan ekosistem perairan laut terganggu terutama dikawasan budidaya biota laut (Schellenbarger et al., 2008). Kondisi ini dapat dilihat terutama di kawasan perairan pantai baik di Kalimantan dan Sumatera. Namun demikian menurut (Nagvenkar and Ramaiah, 2009) bahwa kehadiran bakteri patogen dapat dimungkinkan karena dari serangan hama penyakit terhadap biota laut sehingga mengkontaminas ekosistem perairan laut. Berdasarkan sifat patogenitasnya secara umum dapat disampaikan bahwa jenis-jenis bakteri patogen yang diisolasi dari perairan Laut cina Selatan pada sample air laut dan lumpur didominasi oleh bakteri yang bersifat patogen tidak kuat. Sedangkan bakteri Vibrio sp dan Vibrio parahaemolyticus yang berpontensi patogen kuat dapat diisolasi. Menurut Kandhasamy & Arunachalam (2008) bahwa kehadiran bakteri Vibrio spp dan bakteri Salmonella spp di lingkungan perairan laut dapat sebagai indikator bakteri patogen karena bila terkontaminasi oleh manusia dapat berpotensi menyebabkan penyakit gastroenteritis. Oleh karena itu, kondisi perairan di Laut Cina Selatan terindikasi adanya bakteri Vibrio dengan demikian kondisi perairannya perlu mendapat perhatian ditinjau dari aspek bakteriologinya.

121

Ps

eu do

Ae

Jenis bakteri

Kondisi Lingkungan di Perairan Laut Cina Selatan Ditinjau dari Aspek Bakteriologikal

IV. KESIMPULAN Jumlah kandungan bakteri coliform yang merupakan bakteri indikator kualitas perairan menunjukkan kandungan bakteri yang masih rendah dibandingkan dengan standar Baku Mutu Air Laut dari Kementrian Negara Lingkungan tahun 2004. Oleh karena itu, ditinjau dari aspek bakteriologinya kualitas lingkungan perairan masih baik. Konsentrasi kandungan bakteri pemecah minyak (hidrokarbonoklastik) di perairan Laut Cina Selatan lebih rendah bila dibandingkan dengan konsentrasi kandungan bakteri pemecah minyak di perairan Teluk Jakarta dan perairan Kalimantan Timur. Oleh karena itu, kondisi perairan di wilayah pesisir dan lautnya terindikasi masih belum tercemar oleh minyak. Isolasi bakteri patogen pada sampel air laut dan lumpur didominasi oleh bakteri Citrobacter dan Aeromonas, namun demikian ditinjau dari sifat patogenitasnya menunjukkan bahwa jenis bakteri patogen yang diisolasi pada umumnya didominasi oleh bakteri yang bersifat patogen lemah. Akan tetapi jenis bakteri Vibrio sp dan Vibrio parahaemolyticus yang berpontensi patogen kuat sudah dapat diisolasi dari sampel air laut dan lumpur. Dengan demikian kondisi perairannya telah tercemar oleh bakteri patogen. DAFTAR PUSTAKA American Public Health Association, American Water Works Association and Water Environment. 1992. Standard methods the examination of water and wastewater. Washington D.C. Anonim. 1999. BBL Manual of products and laboratory procedures. Becton, Dickinson & Co., Maryland, USA: 211 pp. Anonim. 2000. Profil Sumberdaya Kelautan Kawasan Pengembangan dan Pengelolaan Laut Kalimantan Timur. Proyek Pengembangan dan Penerapan IPTEK Kelautan, Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi LIPI, Jakarta: 93 hal. Anonim. 2002. Profil Sumberdaya Kelautan Perairan Selat Malaka. Proyek Pemanfaatan dan Diseminasi IPTEK Kelautan, Pusat Penelitian Oseanografi LIPI, Jakarta: 93 hal. Anonim. 2003. Profil Sumberdaya Kelautan Perairan Laut Cina Selatan. Proyek Pemanfaatan dan Diseminasi IPTEK Kelautan, Pusat Penelitian Oseanografi LIPI, Jakarta: 88 hal. Anonim. 2004a. Laporan Tahunan Pusat Penelitian Oseanografi LIPI Tahun 2003. Pusat Penelitian Oseanografi LIPI, Jakarta: 131 hal. Anonim. 2004b. Laporan Akhir Penelitian Dinamika Sumberdaya Laut Teluk Jakarta dan Kepulauan Seribu. Proyek Penelitian IPTEK Kelautan, Pusat Penelitian Oseanografi LIPI, Jakarta: 110 hal. Anonim. 2005. Laporan Akhir Profil Sumberdaya Kelautan di Kawasan Pengembangan dan Pengelolaan Wilayah Laut Maluku Utara. Pusat Penelitian Oseanografi LIPI, Jakarta: 75 hal. Barrow, G.I. and D.C. Miller. 1976. Vibrio parahaemoliticus and seafoods. In: Microbiology in agriculture, fisheries and foods F.A Skinner & J.G. Carr (eds). Microbiology in agriculture, fisheries and foods. Academic Press, London: 181 193. Chua, T.E., Ingrid, R.L. Gorre, S. Adria Ross, S. Regina and M.C. Ebarvia. 2000. The Malacca Straits. Marine Pollution Bulletin, 40:160178.

122

Kunarso

Elyasar, N., M.S. Mahendra. I.N. Wardi. 2007. Dampak aktivitas masyarakat terhadap tingkat pencemaran air laut diPantai Kuta, kabupaten Badung serta upaya pelestarian lingkungan. Ecotrophic, 2(1):1-18. Higashihara. T. 1978. An MPN Method for the enumeration of marine hydrocarbon degrading bacteria. Bull. of the Japaness Society of Fisheries, 44(10):11271134. Hood, M.A., W.S Bishop, J.T.W. Bishop, S.P. Meyer, and W. Lan III. 1975. Microbial Indicator of Oil Rich Salt Marsh Sediments. Appl. Environt. Microbiol., 30:982 987. Kandhasamy, M and K.D. Arunnachalam. 2008. Distribution of Vibrio parahaemolyticus in marine water, sedimens and marine invertebrates collected from Rameswaram Islands, Tamil Nadu, India. Current Research in Bacteriology, 1(1):3541. Kementrian Negara Lingkungan Hidup. 2004. Kumpulan Peraturan Pengendalian Kerusakan Pesisir dan Laut. Deputi Bidang peningkatan Konservasi, Sumberdaya Alam dan Pengendalian Kerusakan Lingkungan, Kementrian Negara Lingkungan Hidup: 92 hal. Lembaga Oseanologi Nasional LIPI. 1978. Isolasi dan evaluasi bakteri laut Pemecah serta pengaruh macam macam dispersant pada bakteri laut tropika. Dalam: Caraka Lingkungan Laut LEMIGAS Tahun III(1):1-6. Nagvenkar, G.S. and N. Ramaiah. 2009. Abundance of sewage pollution indicator d human pathogenic bacteria in a tropical estuarine complex. Environ. Monit. Assess., 155(1-4):245256. Ouseph, P.P., V. Prasantahan, P.P. Bhilash, and P. Udayakumar. 2009. Occurrence and distribution of some enteric bacteria along te southern coast of Kerala. Indian Journal of Marine Science, 38(1):97103. Rheinheimer, G. 1980. Aquatic microbiology. A Wiley Inter Science Publication, Chichester: 225 pp. Romimohtarto, K. 1985. Kualitas air dalam bidaya laut. Dalam: Paper Seafarming Workshop Repor. Bandar lampung, 28 Oktober 1 November 1985. Schellenbarger, G.G., N.D. Athearn, J.Y. Takekawa and A.B. Boehm. 2008. Fecal indicator bacteria and Salmonella in ponds managed as bird habitat, San Franscisco Bay, California, USA. Water Research, 42:29212930. Thoha, H. 2004. Kelimpahan plankton di perairan Bangka-Belitung dan Laut Cina Selatan, Sumatera, Mei Juni 2002. Makara Sains, (8)3:96-102. World Health Organization. 1977. Guidelines for Health Related Monitoring of Coastal Water Quality. W.H.O. Regional for Office Europe, Copenhagen: 165 pp.

123

Prosiding Pertemuan Ilmiah Nasional Tahunan VII ISOI 2010 Hotel Santika dan Hotel Merkuri, Pangkal Pinang, 6-7 Oktober 2010

EKOLOGI LAUT

Distribusi dan Komposisi Jenis Lamun di Teluk Lampung

DISTRIBUSI DAN KOMPOSISI JENIS LAMUN DI TELUK LAMPUNG DISTRIBUTION AND SPECIES COMPOSISITON OF SEAGRASSES IN LAMPUNG BAY Muhammad Husni Azkab1) Pusat Penelitian Oseanografi-LIPI Jl. Pasir Putih 1, Ancol Timur, Jakarta 14430 Email: husniazkab@yahoo.co.id

Abstract Data of seagrass distribution and species composition in Lampung Bay is limited. Therefore, this study was needed to get complete data and information. Study on the distribution and species composition of seagrasses in Lampung Bay was carried out in April 2007. Transect line method was used to study the species distribution and composition of seagrasses in 11 stations. The aim of study was to know species distribution and composition of seagrasses. Results showed that there were six species of seagrasses i.e., Halodule pinifolia, H. uninervis, Cymodocea rotundata, Enhalus acoroides, Thahassia hemprichii and Halophila ovalis. The seagrasses were grown in 3 seagrass bed types i.e., 1. mangrove-assiciated seagrass beds, 2. beds broad, shallow, and sandy bottom seagrass beds, and 3. seagrass beds associated with coral reef. Seagrass beds on shallow sandy bottom were the most common. In the study site, the distribution and species composition had a variability which was generally dominated by Enhalus acoroides and Thalassia hemprichii with 20-100% coverage. Based on the results, the seagrass beds in Lampung Bay were still in good condition characterized by a high percent coverage. Keywords: Distribution, composition, seagrass, Lampung Bay. Abstrak Data tentang distribusi dan komposisi lamun di Teluk Lampung masih sangat kurang. Untuk itu, diperlukan penelitian untuk mendapatkan data dan informasi yang lebih utuh. Penelitian distribusi dan komposisi jenis lamun di perairan Teluk Lampung telah dilakukan pada bulan April 2007. Metode garis transek digunakan untuk meneliti distribusi dan komposisi jenis pada 11 stasiun. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui distribusi dan komposisi jenis lamun. Hasil penelitian menunjukkan ada 6 (enam) jenis lamun yang tercatat pada daerah tersebut yaitu; Haloduile pinifolia, H. uninervis, Cymodocea rotundata, Enhalus acoroides, Thahassia hemprichii dan Halophila ovalis. Lamun tersebut ditemukan pada tiga tipe padang lamun yaitu; 1. padang lamun yang berasosiasi dengan mangrove, 2. padang lamun di daerah dangkal dengan dasar pasir, dan 3. padang lamun yang berasosiasi dengan terumbu karang. Padang lamun dengan dasar pasir yang dangkal adalah sangat umum ditemukan. Pada daerah penelitian, distribusi dan komposisi jenis cukup bervariasi yang umumnya didominasi oleh Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii dengan tutupan 20-100%. Berdasarkan hasil penelitian, padang lamun di perairan Teluk Lampung tergolong baik yang dicirikan oleh tingginya persentase tutupan. Kata kunci: Distribusi, komposisi, lamun, Teluk lampung.

I. PENDAHULUAN Padang lamun telah diketahui sebagai salah satu ekosistem paling produktif di perairan pesisir atau laut dangkal (Thayer et al., 1975). Studi di Eropa, Amerika Utara, Australia dan Jepang menunjukkan bahwa padang lamun merupakan tempat berlindung,

124

Azkab

daerah mencari makan atau sumber makanan untuk sejumlah besar binatang. (Thorhaug & Austin, 1986; Fonseca, 1987). Di perairan Indonesia, umumnya lamun tumbuh di daerah pasang surut dan pantai pesisir sekitar pulau-pulau karang (Nienhuis et al., 1989). Dari 59 jenis lamun yang ada di dunia, 13 jenis diantaranya ditemukan di perairan Indonesia (Kuo andComb, 1989, Den Hartog, 1970). Dalam mempelajari sumberdaya lamun, telaah tentang distribusi, komposisi dan kerapatan merupakan hal yang mendasar sebagai penelitian awal (Mukai et al., 1980). Untuk itu, sesuai dengan tujuan penelitian ini untuk mengetahui potensi sumberdaya lamun, maka kajian dititik beratkan untuk mendapatkan data tentang distribusi, komposisi, kelimpahan, dominansi dan tutupan dan lamun. Kawasan pesisir Teluk Lampung sudah lama dijadikan tempat budidaya beberapa biota laut, namun informasi keberadaan sumberdaya hayati laut , khususnya lamun sedikit sekali, padahal sumberdaya ini sangat penting, karena data tersebut dapat digunakan sebagai dasar dalam pengelolaan kawasan tersebut dimasa datang. Oleh karena itu, untuk memenuhi informasi tersebut maka penelitian yang mengungkap sumberdaya lamun perlu dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui disttribusi dan komposisi jenis lamun di Teluk Lampung. II. METODE PENELITIAN Penelitian dilakukan pada bulan April 2007 di kawasan Teluk Lampung pada 11 lokasi/pulau dengan posisi masing-masing, yaitu: 1. Pantai Pancur, 2. Pantai Limbungan, 3. Pantai Pahawang, 4. Pantai Kalangan, 5. Pulau Kalagian, 6. Pulau Maitam, 7. Pulau Kapuran, 8. Pulau Tegal, 9. Lahu, Pantai Ringgung, 10. Pulau Tangkil dan 11. Teluk Hurun (Tabel 1 dan Gambar 1). Pengamatan dilakukan dengan snorkling untuk menentukan dalam pengambilan contoh dengan metode garis transek yang telah dimodifikasi dari English et al. (1994). Jika suatu area padang lamunnya kecil dan kelimpahannya rendah, maka hanya informasi umum tentang jenis yang dicatat. Transek garis dilakukan pada setiap pulau/lokasi dengan tegak lurus dari garis pantai. Pengamatan distribusi, komposisi dan kelimpahan jenis lamun dilakukan dengan pengambilan contoh (sample) dengan bingkai 20cm x 20cm, minimal tiga sampel pada setiap transek. Jarak antara satu titik dengan titik lainnya adalah 50m. Lamun yang diambil, diidentifikasi dan dicatat tutupannya (dalam %) pada setiap lokasi transek. Contoh-contoh lamun tersebut diberi tanda (label) dan dibawa ke laboratorium untk dibersihkan, dicuci dan diidentifikasi. Setiap contoh lamun dipisahkan menurut jenisnya dan dihitung jumlah tegakannya.

125

Distribusi dan Komposisi Jenis Lamun di Teluk Lampung

Tabel 1. Stasiun observasi lamun perairan Teluk Lampung, April 2007. Stasiun 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 Posisi Bujur 105.1885800 105.2040300 105.2089100 105.2044800 105.2176500 105.2422800 105.2428000 105.2787700 105.2588400 105.2701300 105.2511600 Lintang -5.7525000 -5.7234400 -5.6863500 -5.6542000 -5.6373300 -5.5932500 -5.5872700 -5.5672700 -5.5478100 -5.5119500 -5.5273800 Lokasi Pantai Pancur, Tj Putus Pantai Limbungan Pulau Puhawang I Pantai Kalangan Pulau Kelagian Pulau Maitam Pantai Kapuran Barat Pulau Tegal Lahu, Pantai Ringgung Pulau Tangkil Teluk Hurun

Gambar 1. Peta lokasi penelitian di perairan Teluk Lampung.

II. HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1. Distribusi, komposisi dan kelimpahan Dari Tabel 2 menunjukkan bahwa selama penelitian tercatat 6 (enam) jenis lamun yang teridentifikasi pada lokasi penelitian yaitu : Halodule pinifolia, H. uninervis, Cymodocea rotundata, Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii dan Halophila ovalis. Pada Tabel 2 tersebut terlihat ditsirbusi lamun dari masing-masing lokasi hampir sama kecuali pada Pulau Kapuran yaitu 1 jenis. Keragaman jenis tertinggi terdapat di Pulau Tegal yaitu 6 jenis (Gambar 2).

126

Azkab

Kerapatan merupakan elemen dan struktur komunitas yang dapat digunakan untuk mengestimasi produksi (Mukai et al., 1980). Tabel 3 menunjukkan bahwa kerapatan pada setiap jenis lamun mempunyai variasi yang secara kuantitatif terdapat perbedaan pada setiap lokasi/pulau.

Gambar 2. Sebaran lamun di perairan Teluk Lampung.

Kerapatan (tegakan/m2) bervariasi dari masing-masing jenis lamun yang berkisar antara 50 1275 tegakan dengan rata-rata 335 tegakan/m2. Kerapatan terbesar adalah jenis Halodule pinifolia yaitu 817 tegakan/m2 dan yang terkecil jenis E. acoroides yaitu 50 tegakan/m2 (Tabel 3). Berdasarkan metode transek garis didapat hasil tutupan berkisar 30100 % dengan rata-rata 60 % (Tabel 3). Secara umum dapat dikatakan bahwa komunitas lamun adalah tipe vegetasi campuran (mix vegetation), kecuali di Pulau Kapuran dengan tipe tunggal (mono specific) yaitu padang E. acoroides. Sedangkan tipe campuran (mixed vegetation) terdiri dari E. acoroides dan T. hemprichii; C. Rotundata, H. pinifolia, dan T. hemprichii. Untuk jenis H. ovalis dapat ditemukan di daerah dengan substrat pasir dan umumnya tipe tunggal, juga ditemukan campuran bersama jenis T. hemprichii.

127

Distribusi dan Komposisi Jenis Lamun di Teluk Lampung

Tabel 2. Keragaman jenis lamun di lokasi penelitian perairan Teluk Lampung (Klasifikasi menurut Hartog (1970) dan Phillips and Menez (1988)).
= ======================================================== LOKASI JENIS 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 ----------------------------------------------------------------------------------------------------I. CYMODOCEACEAE 1. Halodule pinifolia + - + - 2. H. uninervis + + + + - + - + + 3. Cymodocea rotundata - - - - + - - + II. HYDROCHARITACEAE 4. Enhalus acoroides + + + + + + + + + + + 5. Thalassia hemprichii + + + - + + - + + + + 6. Halophila ovalis - + + - + + - + + - ----------------------------------------------------------------------------------------------------Jumlah jenis 3 4 5 2 3 3 1 6 3 2 4 ---------------------------------------------------------------------------------------------------+ = ada - = tidak ada 1. Pantai Pancur 2. Pantai Limbungan 3. Pantai Puhawang 4. Pantai Kalangan 5. Pulau Kalagian 6. Pulau Maitam 7. Pulau Kapuran 8. Pulau Tagal 9. Lahu, Pantai Ringgung 10. Pulau Tangkil 11. Teluk Hurun

Tabel 3. Kerapatan (tegakan/m2) jenis lamun pada masing-masing lokasi yang diteliti.
================================================================== LOKASI J E N I S KERAPATAN ----------------------------------------------------------------------------------------------------------------1. Pantai Pancur Enhalus acoroides 125 Thalassia hemprichii 350 Halodule uninervis 325 2. Pantai Limbungan Enhaluus acoroides 100 Halophila ovalis 625 Halodule uninervis 800 3. Pantai Pahawang Enhalus acoroides 50 Halodule uninervis 450 4. Pantai Kalangan Enhalus acoroides 150 Halodule uninervis 700 5. Pulau Kalagian Enhalus acoroides 275 Thalassia hemprichii 200 6. Pulau Maitam Enhalus acoroides 50 Thalassia hemprichii 125 Halophila ovalis 1275 7. Pulau Kapuran Enhalus acoroides 150 8. Pulau Tagal Enhalus acoroides 50 Halodule pinifolia 300 Cymodocea rotundata 750 Halophila ovalis 275 9. Lahu,Pantai Ringgung Enhalus acoroides 50 Thalassia hemprichii 225 Halophila ovalis 425 10. Pulau Tangkil Enhalus acoroides 50 Thalassia hemprichii 200 11. Teluk Hurun Enhalus acoroides 50 Cymodocea rotundata 300 ==================================================================

128

Azkab

Tabel 4. Tutupan dan dominansi jenis lamun pada setiap lokasi pengamatan. ==========================================================
LOKASI TUTUPAN (%) DOMINANSI --------------------------------------------------------------------------------------------------1. Pantai Pancur 2. Pantai Limbungan 3. Pantai Pahawang 4. Pantai Kalangan 5. Pulau Kalagian 6. Pulau Maitam 7. Pulau Kapuran 8. Pulau Tagal 9. Lahu, Pantai Ringgung 10. Pulau Tangkil 11. Teluk Hurun 20-100 10-80 20-80 60-100 20-80 20-80 20-100 60-100 20-80 20-100 20-40 Enhalus acoroides Enhalus acoroides Enhalus acoroides Enhalus acoroides Thalassia hemprichii Enhalus acoroides Enhalus acoroides Enhalus acoroides Thalassia hemprichii Thalassia hemprichii Cymodocea rotundata

Enhalus acoroides ============================================================

2.2. Tipe padang lamun Berdasarkan ciri umum lokasi, tutupan dan tipe, maka padang lamun di perairan Teluk Lampung dapat digolongkan pada tiga tipe, yaitu; Tipe 1. Padang lamun yang berasosiasi dengan mangrove. Ini umumnya berlokasi di Pantai Pancur, Tanjung Putus, Pantai Limbungan, Pantai Kalangan dan Teluk Hurun. Tipe 2. Padang lamun di perairan dangkal dengan dasar pasir. Tipe ini berlokasi hampir di semua pulau-pulau di Teluk Lampung Tipe 3. Padang lamun yang berasosiasi dengan terumbu karang. Tipe ini umumnya dapat ditemukan di Pulau Kalagian dan Pulau Tangkil. Umumnya lamun tumbuh pada daerah yang relatif dangkal, kurang dari 5 m, walaupun lamun dapat tumbuh sampai 40m. Dibandingkan dengan perairan di Indonesia bagian timur, padang lamun di perairan Teluk Lampung hanya ditemukan pada kedalaman kurang dari 3 m (pasang tinggi). Hampir semua jenis lamun yang ditemukan di Teluk Lampung tumbuha pada daerah tipe 3, yaitu padang lamun berasosiasi terumbu karang. Hal ini sama dengan jenis-jenis lamun yang ditemukan di perairan Indonesia lainnya. Vegetasi dari padang lamun pada lokasi-lokasi yang diteliti, pada umumnya adalah tipe campuran dengan kombinasi dari berbagai jenis lamun yang tumbuh di daerah pasang surut mulai dari pinggir pantai sampai ke daerah tubir. Secara umum kombinasinya adalah Halodule uninervis, Cymdoocea rotundata, Thalassia hemprichii, Halophila ovalis dan Enhalus acoroides. Hal ini sangat berebeda dengan padang lamun di perairan Indonesia lainnya dan Papua New Guinea yaitu kombinasi E. acoriides dan T. hemprichii. (Heijs & Brouns, 1986; Azkab, 1991).
129

Distribusi dan Komposisi Jenis Lamun di Teluk Lampung

Kerapatan dan tutupan yang merupakan bagian dari struktur komunitas merupakan data dasar untuk mengetahui sumberdaya lamun (Mukai et al., 1980). Tabel 3 menunjukkan bahwa kerapatan lamun pada setiap lokasi bervariasi, dimana secara kuantitatif terdapat perbedaan pada setiap lokasi penelitian dengan jenis lamun yang sama. Begitu pula dengan hasil tutupan bervariasi, dimana yang terbesar ditemukan di Pantai kalangan dan Pulau Tegal (Tabel 4). Pada Tipe 1, sebanyak lima jenis lamun dengan substrat yang sama yaitu pasiran (halus sampai kasar) yang dapat ditemukan di Pulau Tegal. Tetapi pada beberapa area, substrat dapat berubah secara teratur (mulai dari pasir halus, medium sampai kasar) sepanjang transek yang menuju tubir. Misalnya mulai dari pasir halus sampai ke berlumpur, atau mulai dari pasir halus sampai ke pasir kasar. Tipe 1, biasanya merupakan garis lurus sepanjang pantai. Tutupannya sangat bervariasi dan umumnya cukup padat (rata-rata 80%), dan komposisi jenisnya ada 4 hingga 5 jenis. Pada tipe 1 tersebut, E. acoroides merupakan jenis yang dominan. Pada Tipe 2, ada enam jenis lamun yang tumbuh pada daerah pasang-surut. Tutupan lamun, rata-rata sekitar 60%. Tipe ini berlokasi antara lain di beberapa pulau. Jenis yang dominan adalah T. hemprichii dan E. acoroides. Substrat bervariasi mulai dari pasir sangat halus sampai ukuran sedang sepanjang transek. Pada Tipe 3, ada 3 jenis lamun. Lamun ini tumbuh pada rataan terumbu di daerah pasang-surut. Tututpannya biasanya lebih rendah (rata-rata 40%). C. rotundata dan T. hemprichii adalah jenis lamun yang dominan. Substrat bervariasi dari pasir kasar sampai karang mati atau karang hidup. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, dengan tutupan rata-rata 60%, maka dapat dikatakan bahwa sumberdaya lamun tersebut lebih baik bila dibandingkan dengan sumberdaya lamun di beberapa tempat di Indonesia lainnya, yaitu Kepulauan Seribu, Laut Natuna, Selatan Malaka, dan Kepulauan Karimunjawa. Walaupun demikian melihat tekanan khususnya ekploitasi sumberdaya perikanan di daerah tersebut, maka terlihat ada kemungkinan kecendrungan penurunan kualitas sumberdaya dan lingkungan laut. Untuk itu, diperlukan suatu data dasar dalam menentukan kebijakan-kebijakan, khusunya dalam pengelolaan atau menyusun tata ruang lingkungan di kawasan Teluk Lampung tersebut. III. KESIMPULAN Distribusi dan komposisi jenis lamun di Teluk Lampung cukup heterogen, kecuali di Pulau Kapuran yang didominasi oleh Enhalus acoroides. Potensi sumberdaya lamun di Teluk Lampung cukup baik dibandingkan dengan daerah-daerah lain di Indonesia dan potensial untuk kehidupan biota-biota asosiasi untuk dikembangkan sebagai biota budidaya. Untuk itu, disarankan kawasan perairan Teluk Lampung dikelola daerah budidayanya yang sesuai dengan habitat biotanya. DAFTAR PUSTAKA Azkab, M.H. 1991. Study on seagrass community structure and biomass in the southern part of Seribu Islands. In: Proceeding of the Regional Symposium on Living Resources in Coastal Areas. (A. Alcala, ed.). University of Philippines, Manila, p. 353-362. Den Hartog,C. 1970. The seagrass of the world. North-Holand Publ. Co., Amsterdam, 275p

130

Azkab

English, S., C. Wilkinson and V. Baker. 1994. Survey manual for tropical marine resources. Published on behalf of the ASEAN-Australia Marine Science. Townswile. pp 367. Fonseca, M.S. 1987. The management of seagrass system. Trop,Coast,Area.Manag. ICLARM. Newsletter, 2(2):5-7. Heijs, F.M.L. and J.J.W.M. Brouns. 1986. A survey of seagrass community around the Bismarck Sea, Papua New Guinea. Proc. K. Ned. Akad. Wet., C89(1):11-44. Kuo, J. and A.J. Mc Comb. 1989. Seagrass taxonomy, structure and development. In A.W.D. L:arkum, A.J. Comb & S.A. Shephered, eds. Biology of seagrasses : a treatise on the biology of seagrasses with special reference to Australian region. Elsier, Amstredam, 6-73. Mukai, H., K. Aioi and Y. Ishida. 1980. Disatribution and biomass of eelgrass (Zostera m,arina L.) and other searasses in Odawa Bay, Central Japan. Aquat. Bot., 8:337342. Neinhuis, P.H.. J. Coosen and W. Kiswara. 1989. Community structure and biomass distribution of seagrass and macrofauna in the Flores Sea, Indonesia. Net. J. Sci. Res., 23(2):192-214. Thorhaug, A and C.B. Austin. 1986. Restoration of seagrass with economic analysis. Environ. Conserv., 3(4):259-267. Thayer, G.W., S.M. Adams and M.W. La Croix. 1975. Structural and fluctuation aspects of a recently established Zostera marina community. Estuarine Res., 1:518-540.

131

Kelimpahan Foraminifera Bentik Resen di Pulau Peteloran Timur, Kepulauan Seribu

KELIMPAHAN FORAMINIFERA BENTIK RESEN DI PULAU PETELORAN TIMUR, KEPULAUAN SERIBU THE ABUNDANCE OF RECENT BENTHIC FORAMINIFERA IN EAST PETELORAN ISLAND OF THOUSAND ISLANDS
Suhartati M. Natsir1 dan Mukhammad Subkhan2 1 Pusat Penelitian Oseanografi-LIPI 2 Ikatan Sarjana Oseanologi Indonesia Jl. Pasir Putih 1, Ancol Timur, Jakarta Utara (14430); Email: suhartatinatsir@yahoo.com

Abstract Benthic foraminifera as a benthic community in the sea are very useful to solve geological problems and estimating the paleodepth of the depositional environment from marsh to marine environment. The substrate of northern part of Thousand Islands is dominated by sand and coral that conducive for growth of benthic foraminifera. Some species of benthic foraminifera that live as symbiont bearing with coral can be used as an indicator of aquatic environmental conditions. The aim of the study was to determine the abundance of benthic foraminifera in the northern part of the Thousand Islands, especially around East Peteloran Island. Sampling was conducted in December 2008. As many as 10 samples of seafloor sediment were taken from the waters of the island using a Van Veen Grab. All of collected benthic foraminifera belong to superfamily Milioliina. There were 19 species of benthic foraminifera included in high abundance, whereas foraminifera included in the category of medium and low abundance of each species were 21 and 5, respectively. The abundant foraminifera were the member of the genus Flintina, Miliolinella, Peneroplis, Pyrgo, Quinqueloculina, Spirolina, Spiroloculina and Triloculina. Most of the abundant foraminifera belong to other small heterotrophic foraminifera, whereas symbiont bearing foraminifera were represented by Peneroplis and Sorites. Therefore, based on the value of forams Index, the waters around the East Peteloran island was recognized as environment marginal for reef growth and unsuitable for recovery. Keywords: abundance, benthic foraminifera, East Peteloran Island and Seribu Islands. Abstrak Foraminifera bentik merupakan komunitas bentik di laut yang sangat berguna untuk memecahkan masalah-masalah geologi dan juga untuk memperkirakan kedalaman lingkungan pengendapan dari lingkungan payau atau rawa sampai lingkungan laut. Pada perairan Kepulauan Seribu bagian Utara, sebagian besar substratnya adalah pasir dan karang yang sangat baik untuk pertumbuhan dan kehidupan foraminifera bentik. Jenis foraminifera tertentu, yaitu yang berasosiasi dengan karang dapat digunakan sebagai indikator kondisi lingkungan perairan. Penelitian foraminifera bentik ini dilakukan untuk mengetahui kelimpahan foraminifera bentik pada baguan Utara Kepulauan Seribu khususnya di sekitar Pulau Peteloran Timur. Pengambilan sampel dilakukan pada bulan Desember 2008. Sebanyak 10 sampel sedimen dasar laut diambil dari perairan pulau tersebut dengan menggunakan Van Veen Grab. Semua foraminifera bentik resen yang ditemukan termasuk dalam Superfamily Milioliina. Terdapat 19 spesies foraminifera bentik termasuk dalam kelimpahan tinggi, sedangkan foraminifera yang termasuk dalam kategori kelimpahan sedang dan rendah masing-masing sebanyak 21 dan 5 spesies. Foraminifera yang ditemukan melimpah merupakan anggota dari genus Flintina, Miliolinella, Peneroplis, Pyrgo, Quinqueloculina, Spirolina, Spiroloculina dan Triloculina. Sebagian besar foraminifera yang ditemukan melimpah tersebut merupakan anggota dari foraminifera kecil lain yang heterotrof, sedangkan foraminifera bentik yang berasosiasi dengan terumbu karang hanya diwakili oleh genus Peneroplis dan Sorites. Oleh karena itu, berdasarkan nilai FORAM Index, kondisi perairan disekitar Pulau Peteloran Timur tergolong cukup baik untuk pertumbuhan terumbu karang, namun tidak cukup untuk proses pemulihan jika terjadi kerusakan pada terumbu karang tersebut. Kata Kunci: kelimpahan, Foraminifera bentik, Pulau Peteloran Timur dan Kepulauan Seribu.

132

Natsir dan Subkhan

I. PENDAHULUAN Kepulauan Seribu memiliki nilai konservasi yang tinggi karena kelimpahan, keragaman jenis dan ekosistemnya yang unik dan khas. Kawasan ini merupakan gugusan pulau dan terumbu karang yang terbentuk dari formasi karang di tepi dangkalan Sunda pada Jaman Pleistosen. Secara geologi, Kepulauan Seribu termasuk dalam cekungan bagian utara Jawa Barat yang merupakan sebuah sedimen cekungan yang berasal dari zaman Mesozoikum dan dibatasi oleh geantiklin pada bagian selatan dan paparan yang stabil pada bagian utara (Arpandi dan Sujitno, 1975). Jumlah Pulau yang tersebar di kawasan tersebut mencapai 117 pulau dan tersebar di Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan dan Kepulauan Seribu Utara. Salah satu Pulau yang terdapat di Kepulauan Seribu bagian Utara adalah Pulau Peteloran Timur. Secara umum, kondisi perairan di bagian Utara Kepulauan Seribu lebih baik dibandingkan dengan bagian Selatan karena pengaruh polusi dari daratan relatif sedikit. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Giyanto dan Soekarno (1997), persentase tutupan karang hidup di perairan Kepulauan Seribu bagian Selatan lebih rendah dibandingkan dengan bagian tengah dan Utara. Masuknya air tawar yang menyebabkan menurunnya salinitas air laut, terbawanya endapan lumpur sehingga meningkatkan sedimentasi serta faktor-faktor lainnya dapat menurunkan persentase tutupan karang hidup di perairan dan meningkatkan persentase tutupan abiotik. Ekosistem terumbu karang memiliki fungsi sangat besar bagi berbagai biota laut. Oleh karena itu, pemantauan secara intensif terhadap kondisi karang dan lingkungan sekitarnya menjadi sangat penting. Metode sederhana yang dapat digunakan untuk memantau kondisi terumbu karang adalah penghitungan indeks keanekaragaman biota yang berasosiasi dengan terumbu karang termasuk foraminifera bentik. Salah satu metode yang telah dikembangkan adalah melalui penghitungan FORAM (Foraminifera in Reef Assessment and Monitoring) Index atau FI (Hallock et al., 2003). Foraminifera dipilih sebagai indikator lingkungan karena foraminifera tertentu memerlukan kesamaan kualitas air dengan berbagai biota pembentuk terumbu karang serta siklus hidupnya yang cukup singkat sehingga dapat menggambarkan perubahan lingkungan yang terjadi dalam waktu cepat. Foraminifera merupakan organisme yang berukuran relatif kecil dengan jumlah yang melimpah, mudah dikoleksi, ekonomis dan secara signifikan dapat diolah secara statistik dan sangat ideal sebagai komponen dari suatu program pemantauan lingkungan perairan. Disamping itu, pengambilan sampel foraminifera berpengaruh sangat kecil terhadap ekosistem terumbu karang sehingga aman untuk kelestarian terumbu karang tersebut. Foraminifera tertentu merupakan organisme yang hidup berasosiasi dengan ekosistem terumbu karang. Yamano et al. (2000) menyatakan bahwa 30% dari total sedimen yang terhampar di Pulau Green, Great Barrier Reef, Australia adalah foraminifera bentik sehingga organisme tersebut merupakan salah satu kontributor dalam pembentukan terumbu karang. Foraminifera yang mendominasi sedimen tersebut adalah Amphistegina, Baculogypsina dan Calcarina. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kelimpahan foraminifera bentik sebagai indikator perairan daerah terumbu karang di sekitar perairan Pulau Peteloran Timur, Kepulauan Seribu. II. METODE PENELITIAN Secara umum, metode yang digunakan dalam penelitian dilapangan adalah metode survey, sedangkan observasi dan analisis dilakukan di dalam laboratorium. Pengambilan sampel pada penelitian ini dilakukan disekitar Pulau Peteloran Timur, Kepulauan Seribu
133

Kelimpahan Foraminifera Bentik Resen di Pulau Peteloran Timur, Kepulauan Seribu

pada bulan Desember 2008. Pengambilan sampel sedimen dasar laut untuk memperoleh sampel foraminifera bentik dilakukan pada 10 lokasi di sekitar Pulau tersebut dengan menggunakan Van Veen Grab. Sampel yang diperoleh dimasukkan ke dalam kantong plastik yang telah diberi label untuk dianalisa lebih lanjut di laboratorium. Proses preparasi, observasi dan analisis terhadap sampel dilakukan di laboratorium Geologi Laut, Pusat Penelitian Oseanografi LIPI, Jakarta.

Gambar 1. Lokasi pengambilan sampel di Pulau Peteloran Timur, Kepulauan Seribu. Preparasi sampel dilakukan dengan beberapa tahap, antara lain pencucian sampel, picking, deskripsi dan identifikasi serta sticking dan dokumentasi. Pencucian sampel dilakukan dengan air mengalir diatas saringan dan dikeringkan menggunakan oven pada suhu 30C. Sampel yang telah kering dimasukkan ke dalam kantong plastik yang telah diberi label untuk analisis lebih lanjut. Setelah pencucian dan pengeringan, saringan harus direndam dalam larutan methiline blue untuk mencegah kontaminasi oleh sampel berikutnya dan dicuci. Tahap selanjutnya adalah picking yang dilakukan dengan menyebarkan sampel yang telah dicuci pada extraction tray dibawah mikroskop secara merata. Foraminifera yang terdapat dalam sampel tersebut diambil dan disimpan pada foraminiferal slide. Kemudian dilakukan proses deskripsi dan identifikasi terhadap spesimen yang didapatkan. Spesimen yang telah dipisahkan diklasifikasikan berdasarkan morfologinya seperti bentuk cangkang, bentuk kamar, formasi kamar, jumlah kamar, ornamentasi cangkang, kemiringan apertura, posisi apertura dan kamar tambahan. Sedangkan proses
134

Natsir dan Subkhan

identifikasi dilakukan berdasarkan berbagai referensi tentang foraminifera bentik. Tahap selanjutnya merupakan kajian sistemik dan analisis kuantitatif untuk mendapatkan data kelimpahan. Proses sticking dan dokumentasi dilakukan dengan meletakkan spesimen yang terpilih pada foraminiferal slide dengan posisi tampak apertura, tampak dorsal, tampak ventral dan tampak samping yang kemudian didokumentasikan dibawah mikroskop. Pengelompokan kelimpahan foraminifera bentik yang ditemukan berdasarkan jumlah spesimen yang ditemukan. kelimpahan foraminifera bentik dikelompokkan kedalam 3 kategori yaitu tinggi (melimpah), sedang dan rendah (jarang). Spesies yang tergolong dalam kelimpahan tinggi merupakan spesies yang ditemukan sebanyak lebih dari 50 spesimen, sedangkan kelimpahan sedang dan rendah masing-masing diwakili oleh jumlah spsies yang ditemukan sebanyak 11 50 spesimen dan kurang dari 11 spesimen. Penghitungan nilai FORAM Index dilakukan pada spesimen yang ditemukan dan sebelumnya telah diidentifikasi sampai tingkat genus. Spesimen tersebut diklasifikasikan kedalam tiga kelompok fungsional yaitu kelompok yang berasosiasi dengan terumbu karang, oportunis dan foraminifera kecil lain yang heterotrof. Porsi dari setiap kelompok dihitung dengan membagi jumlah spesimen dalam setiap kelompok fungsional tersebut dengan jumlah total spesimen yang diperoleh. Kemudian, FORAM Indeks (Hallock et al., 2003) dihitung dengan menambahkan porsi dari ketiga kelompok fungsional tersebut dengan menggunakan rumus berikut: FI = (10Ps) + (Po) + (2Ph) Keterangan: FI = FORAM Index Ps = Ns/ T (Ns Jumlah spesimen yang mewakili foraminifera yang berasosiasi dengan terumbu karang: Amphistegina, Heterostegina, Alveolinella, Borelis, Sorites, Amphisorus, Marginophora). Po = No/T, ("No" jumlah spesimen yang mewakili foraminifera oportunis: Ammonia, Elphidium, beberapa genera dari Famili Trochaminidae, Lituolidae, Bolivinidae, Buliminidae) Ph = Nh/T, (Nh" Jumlah spesimen yang mewakili foraminifera kecil lain yang heterotrofik: beberapa genera dari Miliolida, Rotaliida, Textulariida dan lainlain) T = Jumlah total spesimen dari setiap sampel yang diuji Interpretasi: FI > 4 = lingkungan kondusif untuk pertumbuhan terumbu karang 3 < FI < 5 = lingkungan peralihan 2 < FI < 4 = lingkungan cukup untuk pertumbuhan terumbu karang, namun tidak cukup untuk recovery FI < 2 = lingkungan tidak layak untuk pertumbuhan terumbu karang III. HASIL DAN PEMBAHASAN Pulau Peteloran Timur merupakan bagian dari Kepulauan Seribu yang terletak di bagian Utara. Berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Departemen Kehutanan Nomor SK.05/IV-KK/2004 tanggal 27 Januari 2004 tentang Zonasi Pengelolaan Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu, Pulau Peteloran Timur termasuk dalam zona inti II taman nasional tersebut. Oleh karena itu, pulau tersebut termasuk dalam kawasan taman nasional yang mutlak dilindungi dan tidak
135

Kelimpahan Foraminifera Bentik Resen di Pulau Peteloran Timur, Kepulauan Seribu

diperbolehkan adanya perubahan apapun oleh aktivitas manusia. Ekosistem yang terdapat di pulau tersebut antara lain terumbu karang dan hutan mangrove. Jenis subtrat yang terdapat di sekitar pulau tersebut adalah pasir kasar dengan serpihan karang dan sedikit pasir halus. Pada perairan tersebut juga terdapat terumbu karang yang masih hidup, namun sebagian besar sudah mengalami degradasi. Hasil analisis terhadap sampel sedimen dari 10 lokasi di sekitar Pulau Peteloran Timur menunjukkan bahwa secara keseluruhan diperoleh foraminifera bentik resen sebanyak 19173 individu. Jumlah tersebut terbagi dalam 45 spesies dan 20 genus dan semuanya merupakan anggota dari superfamili Mililacea. Berdasarkan klasifikasi yang kemukakan oleh Hallock et al. (2003), sebagian besar foraminifera bentik yang ditemukan di perairan Pulau Peteloran Timur merupakan golongan foraminifera kecil yang heterotrof (83%). Foraminifera bentik yang berasosiasi dengan terumbu karang hanya mencapai 12% yang diwakili oleh Genus Peneroplis dan Sorites (Tabel 1). Genus peneroplis juga ditemukan oleh Schueth dan Frank (2008) dalam jumlah yang melimpah di Low Isles Reef, Great Barrier Reefs, Australia dan termasuk salah satu penciri perairan terumbu karang di daerah tersebut. Sedangkan foraminifera bentik yang termasuk dalam golongan oportunis hanya diwakili oleh Flintina bradyana yang menempati 5% dari seluruh foraminifera bentik yang ditemukan (Gambar 2). Jumlah spesies yang paling banyak ditemukan adalah dari genus Quinqueloculina dengan jumlah total spesimen sebanyak 6948 yang terbagi dalam 15 spesies (Tabel 2). Spesies-spesies dari genus tersebut ditemukan melimpah hamper pada semua stasiun penelitian baik dibagian utara, timur, selatan maupun barat dengan kedalaman 28,5 sampai 34,5 m. Suhartati (1994 dan 2010) menemukan spesies-spesies ini melimpah di Pulau Pari dan Pulau Belanda, Kepulauan Seribu pada kedalaman 26 32 m, sedangkan Barker (1960) menemukannya di bagian selatan Papua pada kedalaman 37 m. Graham dan Milante (1959) menemukan spesies-spesies tersebut sangat melimpah pada beberapa stasiun di Teluk Puerto Galera, Philipina dan termasuk spesies kosmopolitan.

Gambar 2. Porsi foraminifera bentik yang ditemukan di perairan Pulau Peteloran Timur, Kepulauan Seribu berdasarkan klasifikasi Hallock et al. (2003) Penghitungan nilai FORAM Index terhadap foraminifera yang didapatkan menunjukkan bahwa perairan Peteloran Timur tergolong cukup untuk pertumbuhan terumbu karang, namun tidak cukup untuk proses pemulihan (recovery) bila terjadi kerusakan pada terumbu karang. Nilai FORAM Index yang didapatkan hanya mencapai 2,94. Beberapa jenis foraminifera bentik yang berasosiasi dengan terumbu ditemukan dalam jumlah yang melimpah (kelimpahan tinggi = lebih dari 50 individu), kecuali

136

Natsir dan Subkhan

Sorites marginalis yang ditemukan tergolong dalam kelimpahan sedang (10 - 50 individu). Walaupun foraminifera tersebut ditemukan dalam kelimpahan yang tinggi dan sedang, namun porsinya masih jauh dibawah foraminifera kecil lain yang heterotrofik, sehingga hasil penghitungan FORAM Index yang didapatkan tercatat kurang dari 3. Salah satu foraminifera bentik yang ditemukan melimpah adalah genus Peneroplis yang tergolong dalam foraminifera yang berasosiasi dengan karang. Genus tersebut diwakili oleh tiga spesies yaitu P. carinatus, P. pertusus dan P. planatus. Sedangkan foraminifera yang berasosiasi dengan karang lainnya yaitu Sorites marginalis ditemukan dalam kelimpahan sedang dengan rata-rata 19 individu/stasiun Satu-satunya foraminifera yang tergolong oportunistik yaitu Flintina bradyana juga ditemukan dalam jumlah yang tinggi dengan rata-rata 78 individu/stasiun. Sedangkan golongan foraminifera kecil lain yang heterotrofik tercatat mendominasi baik pada kelimpahan tinggi (lebih dari 50 individu), sedang (10 50 individu) maupun rendah (kurang dari 10 individu). Spesies yang paling banyak ditemukan adalah dari genus Quinqueloculina. sebanyak tujuh spesies dari genus tersebut detemukan sangat melimpah dan tersebar merata di sekitar Pulau Peteloran Timur (Tabel 2.). Barker (1960) menemukan spesies dari Subordo Milioliina (Spiroloculina communis, Quinqueloculina granulocostata, Q. parkery) di bagian selatan Papua pada kedalaman 37 m. Graham dan Milante (1959) menemukan spesies dari Subordo Milioliina (Spiroloculina communis, Quinqueloculina granulocostata, Q. parkery) sangat melimpah pada beberapa stasiun di Teluk Puerto Galera, Philipina dan termasuk spesies kosmopolitan. Berdasarkan pengamatan langsung di lapangan, perairan Pulau Peteloran Timur didominasi oleh jenis sedimen atau substrat berupa pasir kasar dan sedikit pasir halus dengan beberapa karang yang masih hidup. Namun terumbu karang yang terdapat di perairan tersebut sebagian besar telah mengalami degradasi. Kelimpahan foraminifera bentik pada bagian selatan Pulau Peteloran Timur (terutama stasiun 1 dan 4) relatif lebih tinggi dibandingkan dengan bagian Utara pulau tersebut. Hal ini diduga dipengaruhi oleh letak stasiun pada bagian Utara yang berhubungan langsung dengan laut lepas (tidak ada penghalang) sehingga komunitas foraminifera penghuni perairan dangkal cenderung terbawa oleh arus. Albani (1979) menyatakan bahwa spesies dari Subordo Milioliina (Spiroloculina communis, Quinqueloculina granulocostata, Q. parkery) merupakan spesies penghuni perairan dangkal. Faktor-faktor ekologi yang mempengaruhi distribusi dan kelimpahan foraminifera bentik resen diantaranya adalah kedalaman, kecerahan, temperatur, salinitas, dan pH. Kedalaman mempunyai hubungan dengan parameter lainnya, seperti tekanan hidrostatik, temperature, cahaya, pH, oksigen dan karbondioksida (Murray, 1973). Pulau Peteloran Timur merupakan pulau yang terletak di bagian Utara Kepulauan Seribu dan termasuk dalam perairan dangkal dengan kedalaman antara 28,5 34,5 m. Di sisi lain, foraminifera merupakan organisme yang mempunyai toleransi tinggi terhadap suhu. Dodd dan Stanton (1981) menyebutkan bahwa toleransi foraminifera terhadap suhu luas dan bervariasi dari 40C di daerah pasang sampai 20 C di laut dingin. Sedangkan menurut Natland (1933) dalam Pringgoprawiro, (1992) menyatakan bahwa umumnya foraminifera dapat hidup pada suhu antara 1 - 50C. Suhu mempengaruhi pertumbuhan cangkang, terutama pada foraminifera berdinding agglutinated . Diketahui bahwa pada daerah beriklim dingin, golongan ini memiliki cangkang yang besar, dan sebaliknya di daerah tropis memiliki cangkang maksimum. Suhu yang tercatat selama penelitian di Pulau Peteloran Timur masih normal untuk pertumbuhan foraminifera.

137

Kelimpahan Foraminifera Bentik Resen di Pulau Peteloran Timur, Kepulauan Seribu

Tabel 1. Klasifikasi berdasarkan kelompok fungsional (Hallock et. al., 2003) dan kelimpahan foraminifera bentik yang ditemukan di perairan Pulau Peteloran Timur, Kepulauan Seribu.
Kelompok Berasosiasi dengan terumbu karang Spesies Peneroplis carinatus Peneroplis pertusus Peneroplis planatus Sorites marginalis Flintina bradyana Adelosina semistriata Ammomasilina alveoliniformis Archaias angulatus Articulina carinata Cornuspira sp. Dentostomina agglutinans Hauerina bradyi Hauerina fragilissima Hauerina orientalis Massilina concectriata Massilina crenata Massilina milleti Miliolinella subrotundata Orbitolites duplex Pyrgo depressa Quinqueloculina adiazeta Quinqueloculina bicarinata Quinqueloculina columella Quinqueloculina crassa Quinqueloculina craticulata Quinqueloculina cultrata Quinqueloculina granulocostata Quinqueloculina intricata Quinqueloculina parkery Quinqueloculina pseudoreticulata Quinqueloculina pseudoreticulata Quinqueloculina sp. Quinqueloculina sublineata Quinqueloculina tubiloculina Quinqueloculina venusta Schlumbergerina alveoliniformis Sigmoilina tenius Spirolina acicularis Spirolina sp. Spiroloculina angulata Spiroloculina communis Triloculina rupertiana Triloculina transvertriata Triloculina tricarinata Triloculina trigonula Kelimpahan Sedang Sedang Rendah Rendah Sedang Rendah Tinggi Sedang Sedang Sedang Rendah Sedang Sedang Tinggi Sedang Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Rendah Sedang Sedang Sedang Sedang Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Sedang Tinggi Sedang Sedang Tinggi Sedang Sedang Sedang Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi Sedang Tinggi Sedang

Oportunis lainnya, heterotrof

138

Natsir dan Subkhan

Tabel 2. Jumlah foraminifera bentik yang ditemukan di perairan Pulau Peteloran Timur, Kepulauan Seribu.
Spesies Adelosina semistriata Ammomasilina alveoliniformis Archaias angulatus Articulina carinata Cornuspira sp. Dentostomina agglutinans Flintina bradyana Hauerina bradyi Hauerina fragilissima Hauerina orientalis Massilina concectriata Massilina crenata Massilina millet Miliolinella subrotundata Orbitolites duplex Peneroplis carinatus Peneroplis pertusus Peneroplis planatus Pyrgo depressa Quinqueloculina adiazeta Quinqueloculina bicarinata Quinqueloculina columella Quinqueloculina crassa Quinqueloculina craticulata Quinqueloculina cultrate Quinqueloculina granulocostata Quinqueloculina intricate Quinqueloculina parkery Quinqueloculina pseudoreticulata Quinqueloculina pseudoreticulata Quinqueloculina sp. Quinqueloculina sublineata Quinqueloculina tubiloculina Quinqueloculina venusta Schlumbergerina alveoliniformis Sigmoilina tenius Sorites marginalis Spirolina acicularis Spirolina sp. Spiroloculina angulata Spiroloculina communis Triloculina rupertiana Triloculina transvertriata Triloculina tricarinata Triloculina trigonula 1 18 29 4 3 14 1 97 26 31 11 1 17 12 54 14 70 59 69 69 2 18 46 31 14 60 54 56 51 54 18 71 18 32 60 17 19 21 80 84 72 73 80 21 72 21 2 19 31 0 0 13 1 59 30 18 16 0 11 16 61 12 60 60 64 54 1 21 18 41 13 64 70 54 67 60 21 59 20 18 57 21 18 18 51 70 54 60 71 14 56 11 3 20 24 3 1 21 0 61 41 24 12 1 12 11 59 20 61 59 64 71 1 19 19 36 21 57 64 61 74 61 18 59 11 18 54 19 13 21 59 64 59 60 60 20 59 21 4 21 41 3 1 24 0 104 26 30 11 0 18 17 69 18 58 64 50 56 1 26 24 48 26 94 59 72 57 56 21 54 18 11 56 19 24 28 56 71 69 58 70 20 67 19 5 29 36 4 2 18 1 56 31 24 17 1 19 21 96 18 71 54 59 56 0 24 15 32 18 57 51 60 80 51 17 61 11 14 59 24 13 18 64 56 52 62 54 12 60 13 Sampel 6 7 30 24 21 11 1 0 2 1 19 21 1 1 72 71 28 18 26 13 19 11 2 0 20 21 20 19 74 80 17 12 54 58 59 71 56 64 51 58 1 1 18 32 18 18 18 19 13 18 60 72 59 60 62 60 76 84 54 58 18 13 54 62 24 24 12 13 58 59 24 24 15 24 16 18 61 58 51 59 51 54 64 61 51 58 19 27 64 54 19 13 8 30 14 1 4 21 0 89 31 13 11 1 18 19 62 24 56 54 57 56 1 12 12 21 24 71 72 69 57 80 16 70 24 18 81 18 18 21 64 54 60 57 54 13 56 29 9 31 19 0 1 26 1 91 21 18 11 2 17 26 59 13 41 80 70 58 0 18 16 36 26 64 81 56 90 51 13 59 12 11 54 21 19 11 57 56 71 58 61 12 58 11 10 18 21 1 1 21 0 101 20 20 16 1 20 20 96 24 52 54 56 51 1 34 26 24 26 70 70 56 79 51 17 60 12 14 54 18 21 11 52 58 56 57 58 19 59 13 11 19 20 0 1 20 1 60 20 20 14 2 11 17 72 11 57 52 56 51 0 20 14 30 31 60 69 51 60 56 20 61 12 20 52 16 13 19 58 51 56 52 60 28 51 19 12 20 11 2 1 11 0 69 18 16 12 1 18 17 60 30 50 61 51 56 1 21 13 12 24 59 70 50 54 60 18 57 16 13 62 21 14 29 60 52 54 53 64 14 51 30

139

Kelimpahan Foraminifera Bentik Resen di Pulau Peteloran Timur, Kepulauan Seribu

Foraminifera bentik yang ditemukan di Pulau Peteloran Timur merupakan golongan Milioliina. Murray (1973) menyatakan bahwa pengaruh salinitas yang signifikan terjadi pada kelompok Miliolidae. Foraminifera dari kelompok Subordo Milioliina memiliki toleransi yang rendah terhadap salinitas. Perairan dengan salinitas kurang dari 32 akan menyebabkan foraminifera dari Subordo Milioliina tidak dapat mempertahankan pseudopodianya. Namun hal tersebut tidak terjadi pada foraminifera yang ditemukan selama penelitian karena kisaran salinitas yang tercatat selama penelitian termasuk dalam nilai toleransi pertumbuhan foraminifera yang normal. Kondisi lingkungan disekitar Pulau Peteloran Timur relatif cukup stabil dan seragam, terbukti dengan kisaran suhu baik di permukaan maupun dasar perairan yang hanya berkisar antara 29,10 29,40 C. Begitu pula dengan salinitas dan pH yang masing-masing tercatat antara 31,20 32,36 ppt dan 7,65 7,95. Tingkat kecerahan pada bagian Timur dan Selatan Pulau Penjaliran Timur mencapai 10 m yang lebih tinggi dibandingkan dengan bagian Selatan maupun Barat (Tabel 2). Tabel 2. Kondisi lingkungan disekitar Pulau Peteloran Timur, Kepulauan Seribu. Paramater Kedalaman Suhu Salinitas pH Kecerahan IV. KESIMPULAN Perairan Pulau Peteloran Timur didominasi oleh foraminifera bentik kecil dan heterotrof yang mencapai 83% dari semua spesimen yang ditemukan. Dari golongan tersebut, spesies yang paling banyak ditemukan adalah dari genus Quinqueloculina dengan jumlah total spesimen sebanyak 6948 yang terbagi dalam 15 spesies. Sebagai penciri perairan terumbu karang, foraminifera bentik yang berasosiasi dengan terumbu karang hanya mencapai 12% yang diwakili oleh dua genus yaitu Peneroplis dan Sorites. Sedangkan satu-satunya spesies yang ditemukan sebagai foraminifera bentik oportunis adalah Sorites marginalis. Persentase kelimpahan foraminifera dari kelompok tersebut hanya mencapai 5% dari semua spesimen yang ditemukan. Foraminifera bentik yang tergolong melimpah terdiri dari 19 spesies dengan jumlah total spesimen sebanyak 12004 spesimen. Sedangkan jumlah spesies yang tergolong dalam kelimpahan sedang dan rendah masing-masing terdiri dari 21 (4741 individu) dan 5 spesies (66 individu). Semua spesies yang ditemukan tersebut merupakan anggota dari Subordo Milioliina. Berdasarkan hasil penghitungan nilai FORAM Index, lingkungan perairan di sekitar Pulau Peteloran Timur, Kepulauan Seribu tergolong cukup untuk pertumbuhan terumbu karang, namun tidak cukup untuk proses pemulihan (recovery) bila terjadi kerusakan pada terumbu karang tersebut. Hal ini diindikasikan dengan nilai FORAM Index yang hanya mencapai 2,94. DAFTAR PUSTAKA Albani, R. D. 1979. Recent Shallow Water Foraminifera From New South Wales. AMS Handbook No. 3. The Australian Marine Assosiation, Australia. Arpandi dan Sujitno. 1975. Geologi Daerah Dataran Jakarta dan Sekitarnya. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi Nasional-LIPI, Jakarta.
140

Satuan meter C ppt meter

Kisaran 28,5 34,5 29,10 29,37 32,20 32,28 7,65 7,95 8,0 10,0

Natsir dan Subkhan

Barker, R.W. 1960. Taxonomic Notes. Society of Economic Paleontologist and Mineralogist. Special Publication No. 9. Tulsa. Oklahoma, USA. 238 pp. Dodd, J. R. and R. J. Stanton. 1981. Paleoecology, Concepts and Application. John Wiley and Sons Inc, New York. Giyanto dan Soekarno. 1997. Perbandingan Komunitas Terumbu Karang pada Dua Kedalaman dan Empat Zona yang Berbeda di Pulau-pulau Seribu, Jakarta. Oseanologi dan Limnologi di Indonesia. 30:33-51. Graham, J.J. and Militante. 1959. Recent Foraminifera from The Puerto Galera Area Northern Mindoro, Philippines. Stanford University, California. Hallock, P.,B.H. Lidz, E.M. Cockey-Burkhard, and K.B. Donnelly. 2003. Foraminifera as bioindicators in coral reef assessment and monitoring: the FORAM Index. Environmental Monitoring and Assessment, 81(1-3):221-238. Pringgoprawiro, H. 1982. Mikropaleontologi Lanjut. Laboratorium Mikropaleontologi Institut Teknologi Bandung, Bandung. Schueth, J.D. and T.D. Frank. 2008. Reef Foraminifera as Bioindicators of Coral Reef Health: Low Isles Reef, Northern Great Barrier Reef, Australia. Journal of Foraminiferal Research, 38(1):1122. Murray, J. W. 1973. Distribution and Ecology of Living Foraminifera. The John Hopkins Press. Baltimore. Suhartati. 1994. Benthic Foraminifera In The Seagrass Beds of Pari Island Seribu Islands, Jakarta. Proceedings. Third ASEAN-Australia Symposium On Living Coastal Resources. Volume 2: Research Papers. Chulalongkorn University Bangkok, Thailand. P. 323. Suhartati, M. N. 2010. Sebaran Foraminifera Bentik di Pulau Belanda, Kepulauan Seribu pada Musim Barat. Ilmu Kelautan, Edisi khusus, 2:381387. Yamano, H., T. Miyajima and I. Koike. 2000. Importance of foraminifera for the formation and maintenance of a coral sand cay: Green Island, Australia. Coral Reefs, (19):51-58.

141

Sebaran Kelimpahan Sel Bakteri di Perairan Selat Malaka: Vertikal dan Horizontal

SEBARAN KELIMPAHAN SEL BAKTERI DI PERAIRAN SELAT MALAKA: VERTIKAL DAN HORIZONTAL DIVERSITY DISTRIBUTION OF BACTERI IN THE MALACCA STRAITS: VERTICALY AND HORIZONTALY Ruyitno Puslit Oseanografi LIPI, Fax. 021 64711948, E.mail: ruyitno_nuchsin@yahoo.com

Abstract Malacca Strait has strategic position because it functions as a bypass for many ships from Europe and Midle East to East Asian countries. These conditions make the strait become one of the busiest ship transportation straits in the world. This situation could affect the condition of the waters along the strait. Investigation of the bacteria diversity in the water column was conducted on August 2001. The aim of the investigation was to know the distribution of bacteria diversity in the water column vertically and horizontally. The Method used to analise bacteria abundance was Acridine Orange Epifluoresence Microscopy Method. The result showed that horizontal abundance of total cell bacteria were between 25 800 x 105 cfu/ml. Meanwhile, vertical abundance of total cell bacteria were between 50-350 x 105 cfu/ml. The highest abundance of cell bacteria, was found in North Sumatra waters vertically and horizontally. This condition indicated that organic particles were higher in the North Sumatra waters than in the other area a long Malacca Straits. When the result of total bacteriai cells converted to the biomass, therefore, the horizontalaverage of biomass bacteria in the surface and 10 m deep was 86 x 10-8 gC/ml , in the 25 m deep (near bottom) was 300 x 10-8 gC/ml, while in the vertical section the average biomass was 142 x 10-8 gC/ml. Keywords: Malacca Straits, bacteria abundance. Abstrak Perairan Selat Malaka merupakan salah selat yang strategis karena merupakan jalur pintas kapal laut dari Eropa dan Timur Tengah ke Asia Timur. Kondisi ini menjadikan selat ini salah satu jalur pelayaran yang paling padat di dunia.. Banyaknya kapal kapal laut yang melewati jalur ini langsung maupun tidak langsung akan berpengaruh terhadap kondisi perairan ini, karena terjadinya penambahan limbah organik maupun anorganik yang terus menerus dari kapal itu sendiri maupun penumpang yang berada dalam kapal. Bakeri adalah salah satu mikroorganisme yang mempunyai kemampuan mendegradasi senyawa orgaik menjadi senyawa yang lebih sederhana. Penelitian kelimpahan bakteri dalam kolom air di Selat Malaka telah dilakukan pada bulan Agustus 2001. Tujuannya ialah mengetahui kelimpahan sebaran vertikal dan horizontal total sel bakteri .Analisa kelimpahan bakteri menggunakam metoda Acridine Oprange Epifluorescence Microscopy. Hasil yang diperoleh menunjukkan kelimpahan sebaran horizontal dalam kolom air berkisar antara ( 25 800) x 105 sel bakteri per ml, sedangkan kelimpahan sebaran vertikalnya berkisar antara ( 50 - 350 ) x 105 sel per ml. Kelimpahan total sel bakteri secara horizontal maupun vertikal tertinggi diperoleh di daerah perairan Sumatra Utara. Kondisi ini mengindikasikan bahwa perairan wilayah Sumatra Utara terdapat partikel organik yang paling banyak dibandingkan dengan perairan di wilayah lain sepanjang Selat Malaka. Bila hasil total sel bakteri tersebut dikonversikan ke biomas maka secara horizontal pada lapisan permukaan dan kedalaman 10 m rata-rata biomassa bakterinya: 86 x 10-8 gC/ml, pada lapisan 25 m (dekat dasar): 300 x 10-8 gC/ml , sedangkan pada penampang vertikalnya: 142 x 10-8 gC/ml. Kata kunci: Selat Malaka, Kelimpahan bakteri.

142

Ruyitno

I. PENDAHULUAN Selat Malaka yang terletak di antara Pulau Sumatra dan Semenanjung Malaysia, adalah salah satu selat yang paling ramai bagi laululintas kapal . Bebagai jenis kapal: nelayan, penumpang, kargo maupun tanker melayari selat ini menuju ke berbagai tujuan, domestik maupun luar negeri. Di selat ini pula bermuara banyak sungai besar yang berasal dari P. Sumatra maupun daratan Semenanjung Malaysia. Banyaknya berbagai jenis kapal dan ukuran serta banyaknya muara sungai yang masuk ke Selat Malaka, akan berpengaruh terhadap kondisi perairan ini, khususnya material organik Material organik adalah sumber karbon bagi pertumbuhan bakteri heterotrofik. Menurut Ichikawa (1983), ada dua fraksi material organik, yaitu refraktory dan labil. Material organik refraktori adalah material organik yang susah larut dalam air. Material jenis ini pada umumnya terletak di bagian permukaan laut yang berbatasan dengan lapisan udara di atasnya. Material ini disebut hidrofobik , contohnya adalah pestisida minyak dll. Lapisan perbatasan antara permukaan laut dengan udara di atasnya disebut daerah neustonik. Dilapisan ini berkembang kelompok bakteri neuston yang mampu menguraikan senyawa organik yang sukar larut dalam air. Jumlahnya dapat mencapai 108 per ml (Hoppe 1980). Fraksi yang kedua adalah fraksi organik labil adalah fraksi organik yang mudah larut dalam air. Fraksi ini menempati kolom air di zona terang (eutrofik) yang masih dapat ditembus oleh cahaya matahar, tempat berkembangnya produktivitas primer. Menurut Rheinheimer (1987), contoh fraksi organik labil adalah hasil ekskresi plankton dan plankton yang mati. Bakteri heterotrofik adalah bakteri yang mendominasi di kolom air laut, merupakan kelompok bakteri yang membutuhkan sumber karbon organik untuk pertumbuhannya, melalui proses degradasi material organik menjadi anorganik. Material anorganik ini adalah zat hara yang oleh fitoplankton digunakan sebagai sumber karbon untuk pertumbuhannya. Bakteri memegang peranan penting dalam ekosistem laut, karena disamping mempunyai peranan sebagai dekomposer juga sebagai sumber makanan bagi protozoa: ciliata dan flagellata. Organisme pemangsa bakteri disebut bakterivorus ( Gray et al. dalam Fasham, 1984). Di lautan bakteri mendominasi kehidupan laut, sehingga dapat dijumpai dimana saja dibagian laut, dari permukaan hingga dasar laut yang paling dalam, di kolom air maupun sedimen. Peranan bakteri dalam ekosistem laut ini memegang peranan yang sangat penting karena disamping berperan dalam proses siklus zat hara juga dalam jaringan makanan. Ville and Dethier (1976) dan Rheiheimer (1987) menyatakan bahwa bakteri dan partikel organik saling berhubungan Adanya saling hubungan ini yang menyebabkan kehidupan di laut dapat berlanjut lestari sepanjang masa. Tujuan penelitian ini ialah untuk mengetahui distribusi kelimpahan bakteri, secara vertikal dan horizontal yang berada di perairan Selat Malaka dan mengetahui sumbangan karbon bakterinya dengan mengkonversikan lebih dahulu total sel bakteri ke biovolume. II. MEODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan wahana Kapal Riset Baruna Jaya VIII yang berbobot mati 1300 ton, milik LIPI dalam rangka penelitian oseanografi di Kawasan Pengembangan dan Pengelolaan Kawasan Laut (KAPPEL) Selat Malaka . Contoh air diambil pada lapisan permukaan laut, kedalaman 10 m dan kedalaman 25 m (dekat dasar), di 25 stasiun, menggunakan rosette sampler, merupakan rangkaian11 botol niskin masing-masing bervolume 10 liter air (Gambar 1). Pada rosette sampler ini dilengkapi
143

Sebaran Kelimpahan Sel Bakteri di Perairan Selat Malaka: Vertikal dan Horizontal

berbagai sensor, antara lain sensor salinitas, suhu dan kedalaman sehingga pada saat pengambilan air di laut terekam pula data suhu,salinitas dan kedalaman.

Segera setelah pengambilan, 300 ml contoh air segera dipindahkan dari rosset sampler ke botol gelas steril secara aseptis dan diberi zat pengawet formaldehid, kemudian disimpan pada suhu 4oC. Analisa bakteri dilakukan di laboratorium mikrobiologi Puslit Oseanografi-LIPI, berdasarkan Hobbie et al. (1977) dan Zimmerman and Reil (1974). Contoh air sebanyak 2 ml disaring menggunakan filter polikarbonat yang pori-porinya 0,2 um dan garis tengahnya 25 mm. Filter yang digunakan untuk menyaring, sebelumnya sudah direndam dalam larutan sudan hitam selama 12 jam. Maksudnya adalah untuk membuat kontras bakteri yang terperangkap dalam permukaan filter penyaring, sehingga mudah untuk menghitungnya. Kemudian segera ditambahkan 2 ml cat acridine orange. Setelah tiga menit dilakukan penyaringan. Segera setelah penyaringan, filter penyaring ditempatkan di atas objek gelas yang sebelumnya diolesi minyak emersi. Permukaan filter penyaring ini diberi minyak emersi dan segera ditutup dengan dek gelas secara hati-hati agar tidak terjadi gelembung yang akan mengganggu pengamatan. Filter pada objek gelas ini kemudian diamati di bawah mikroskop epifluorescenece Nikon, dengan perbesaran 1250 kali (okuler 12,5 X dan objektif 100 X) dan dihitung jumlah selnya minimal 10 bidang pandang mikroskop. Idealnya adalah tiap bidang pandang mikroskop berkisar antara 10-30 sel. Hasil perhitungan sel pada 10 bidang pandang mikroskop kemudian di rata-ratakan. Jumlah sel per ml sampel air laut adalah : diameter filter dibagi dengan diameter bidang pandang mikroskop dibagi dengan volume sampel air laut yang disaring. Kelimpahan rata-rata sel secara horizontal, yaitu pada lapisan permukaan, 10 m dan 25 m maupun secara vertikal kemudian dikonversikan ke biovolume yaitu dengan mengalikannya 0,07 um3 dan ke biomas dengan mengalikannya 121 x 19-15 gC per um3 (Vanes and Reil,1982).
144

Ruyitno

III. HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan hasil analisa, diperoleh sebaran horizontal kelimpahan total sel bakteri di lapisan permukaan, berkisar antara (25 200) x 105 sel per ml, kelimpahan yang tinggi diperoleh di ujung utara dan ujung selatan perairan Selat Malaka dan bagian yang rendah berada di tengah selat (Gambar 2).

Pada kedalaman 10 m, sebaran kelimpahan total sel bakteri berkisar antara (25 200) x 105 sel per ml, kelimpahan sel yang tinggi, diperoleh di bagian utara, tengah dan selatan selat sedangkan yang rendah berada diantara kelimpahan yang tinggi tersebut (Gambar 3).

145

Sebaran Kelimpahan Sel Bakteri di Perairan Selat Malaka: Vertikal dan Horizontal

Pada kedalaman 25m, sebaran kelimpahannya berkisar antara ( 50 800) sel per ml. Tertinggi diperoleh dibagian utara , tengah dan selatan selat (Gambar 4). Pada sebaran horizontalnya, di lapisan kedalaman permukaan dan di lapisan kedalaman 10 m kisaran sebaran kelimpahan bakterinya sama. Kondisi ini menunjukkam bahwa masa air lapisan permukaan hingga 10 m masih homogen tetapi pada lapisan kedalaman 25 m masa airnya sudah berbeda sehingga pada lapisan kedalaman ini sebaran kelimpahan total sel bakterinya lebih tinggi. Hal ini didukung oleh sebaran vertikal kelimpahan bakteri yang ditunjukkan pada Gambar 5, yang meunjukkan bahwa dilapisan permukaan dan kedalaman 10 m kelimpahannya lebih kecil dibandingkan dengan yang berada di lapisan dekat dasar perairan (25 m). Zobell (1946), Rheinheimer (1987) dan Fencel (2001) menyatakan bahwa sebaran bakteri pada kolom air umumnya maksimum berada di bawah lapisan permukaan laut (subsurface), dan makin menurun kelimpahannya seiring dengan makin bertambahnya kedalaman, namun dilapisan kolom air yang berbatasan dengan sedimen, kelimpahannya meningkat. Hoppe (1986) menyatakan bahwa kelimpahan bakteri yang berada pada daerah di bawah lapisan permukaan lebih tinggi dibandingkan dengan didaerah permukaan. Hal ini erat kaitannya dengan radiasi cahaya matahari yang bersifat bakterisidal dan juga banyaknya senyawa organik yang hidrofob (sukar larut dalam air, sehingga perlu waktu lama bakteri untuk menguraikannya). Sedangkan di bawah lapisan permukaan merupakan daerah yang erat kaitannya dengan keberadaannya partikel organik yang mudah larut dalam air. Partikel ini mudah diuraikan oleh bakteri menjadi zat hara yang tersedia bagi produktivitas primer (fitoplankton). Sumbernya adalah plankton yang mati dan ekresi biota laut yang berada si lapisan pelajik ( masih mampu ditembus cahaya matahari). Ada dua jenis partikel organik, yaitu partikel organik labil, yang mudah diuraikan oleh bakteri dan partikel organik refraktory yang susah untuk diuraikan oleh
146

Ruyitno

bakteri. Ishida and Kadota dalam Fukami, et al. (1983) dan Fukami, et al. (1981) menyatakan ada hubungan yang positif antara kelimpahan bakteri dengan senyawa organik. Makin tinggi kelimpahan bakteri makin melimpah juga partikel organiknya. Sebaran kelimpahan vertikal pada kolom air yang berada dalam satu garis lurus dari utara ke selatan ( St.2, 3, 4, 5, 7, 8, 9, 10, 11, 18, 21 , 23 dan 24) berkisar antara (50 350) x 105 sel per ml. Tertinggi diperoleh di Stasiun 17 hingga St. 20 pada kedalaman antara 20 hingga 25 m yang terletak di di bagian utara Selat Malaka (Gambar 5). Hasil ini bila dibandingkan dengan perairan laut Banda (Ruyitno, 1987) maupun perairan Kalimantan Timur (Ruyitno, 2005), lebih besar. Dilaut Banda kelimpahan bakterinya berkisar antara (1,8 10) x105 sel per ml. Di perairan Kalimantan berkisar antara ( 4-90) x105 sel per ml.

147

Sebaran Kelimpahan Sel Bakteri di Perairan Selat Malaka: Vertikal dan Horizontal

Gambar 5. Distribusi vertikal kandungan bakteri ( / ml) pada lapisan 0 25 m di perairan Selat Malaka, Agustus 2001.

Bila hasil total sel bakteri tersebut dikonversikan ke biomasa maka di lapisan permukaan dan kedalaman 10 m biomasa bakterinya : 86 x 10-8 gC per ml dan di lapisan 25 m (dekat dasar): 300 x 10-8 gC per ml sedangkan pada kolom air vertikalnya: 142 x 108 gC per ml. Kondisi ini lebih besar dibandingkan dengan biomasa bakteri di Laut Sulawesi Utara (Ruyitno, 2002) maupun perairan Pulau Pari (Ruyitno, 1999). Di perairan Pulau Pari biomsaa karbon bakterinya berkisar antara (57 62) x 10-9 gC per ml dan di perairan Sulawesi Utara antara 142,8 - 364 x 10-9 gC per ml. IV. KESIMPULAN Kelimpahan sebaran horizontal dalam kolom air berkisar antara ( 25 800) x 105 sel bakteri per ml, kelimpahan sebaran vertikalnya berkisar antara ( 50 - 350 ) x 105 sel per ml. Kelimpahan total sel bakteri secara horizontal maupun vertikal tertinggi diperoleh di daerah perairan Sumatra Utara. Sumbangan karbon bakteri dalam kolom airnya 142 x 10-8 gC per ml DAFTAR PUSTAKA Fencel, T. 2001. Microorganim (microbes). Role of. Encyclopedia of Biodiversity, 4:207209 Fukami, K., U. Simidu, and N. Taga. 1981. Fluctuation the communities of heterotrophic bacteria during the decomposition process of phytoplankton. J. Exp. Mar. Biol . Ecol., 55:171-183 Fukami, K., U. Simidu, and N.Taga 1983. Distribution of heterotrophic bacteria in relation in the concentration of particukate organic matter in seawater. Can.J.Microbiol, 29: 570-575 Hobbie, J.E., R.J. Daley and S. Jasper. Use nuclepore filters for counting bacteria by fluorescence microscopy. Appl. Environm. Microbiol, 3: 1225-1228.

148

Ruyitno

Hoppe, H.G. 1986. Degradation in Seawater. In. Schorborn (ed.). Biotechnology. Vchverlogsgessellschaft mbh.D-6940. Weinheim (Federal Republic of Gemany):. 153-474. Ichikawa, T. 1983. Distribution of two groups of bacteria, oligotroph and eutroph in Indian Ocean and south China Sea. Mem. Kagoshoma Univ. Res.Center S. Pacific.: 184-199. Rheinheimer, G. 1987. Influence of eutrophication on bacterial abundance and activity in the Baltic Sea. In: Integrated global ocean monitoring. Leningrad Gedrometecozdat 86, 2: 280-27. Ruyitno, N. 2002. Sumbangan karbon bakteri dalam perairan laut Sulawesi Utara. Dalam: Ruyitno, A.Azis dan Pramudji (eds.) Perairan Sulawesi dan sekitarnya :Biologi, Lingkungan dan Oseanografi: 179-186.. Ruyitno 1987. Adirect bacterial counting in the Banda Sea. Mar. Resc. In Indonesia, 27: 35-42 Ruyitno, N. 1999. Sumbangan karbon bakteri dalam perairan terumbukarang Gugus Pulau Pari, Kepulauan Seribu. Makalah dibawakan pada Lokakarya Pengelolaan Terumbukarang Indonesia, Jakarta, 22-23 November 1999. Van Es , F.B. and L.A. Meyer Reil 1982. Biomass and metabolic of heterotrophic marine bacteria. In: K.C.Marshall (ed.). Advanced in microbial ecology: 111-170. Ville, C.A. and V.G. Dethier 1976. Biological principles and processes. 2nd edition. W.B.Sounders Company: 324-328 Zimmerman, R. And L.A.Meyer Reil 1974. A new method for fluorecence staining in bacterial population on membrane filter. Kiel meereresforsch, 30: 24-27 Zobell, CM. 1946. Marine microbiology. Chronica Botanica Company. Waltham, Massachuset-USA. 240 pp.

149

Komunitas Zooplankton di Perairan Berau, Kalimantan Timur

KOMUNITAS ZOOPLANKTON DI PERAIRAN BERAU, KALIMANTAN TIMUR ZOOPLANKTON COMMUNITY IN BERAU WATERS, EAST KALIMANTAN Nurul Fitriya Pusat Penelitian Oseanografi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jakarta 14430 E-mail: nurulfitriya29@yahoo.com

Abstract The Berau waters has a unique ecosystem because it has a high biodiversity specifically in zooplankton. This study was conducted in August 2005 to know the variation of zooplankton abundance in Berau waters. The samples were taken horizontally from 10 stations using plankton net NORPAC. The results showed that there were 41 taxa of zooplankton founded with the total zooplankton abundance varied from 388 to 12.463 ind/m3. Copepods were the dominant group of zooplankton, especially Calanoida. Keywords: Zooplankton, Community, Berau, Copepod, Calanoida Abstrak Perairan Berau merupakan salah satu perairan estuaria yang menarik untuk diteliti karena perairan tersebut masih memiliki biodiversitas yang tinggi. Salah satu diantaranya zooplankton. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui variasi kelimpahan zooplankton di perairan Berau dan dilakukan pada bulan Agustus 2005 di 10 stasiun penelitian. Sample zooplankton dikumpulkan secara horizontal menggunakan plankton net NORPAC. Kelimpahan total zooplankton bervariasi pada masing-masing stasiun berkisar antara 388-12.463 ind/m3. Kelompok copepoda mendominasi komunitas zooplankton terutama Calanoida. Kata Kunci: Zooplankton, Komunitas, Berau, Copepoda, Calanoida

I. PENDAHULUAN Plankton merupakan komponen biotik penting dalam rantai makanan di ekosistem perairan, dan dapat merupakan komponen pada mata rantai primer dan sekunder. Produksi primer yang dihasilkan oleh organisme fitoplanktonik akan dimanfaatkan oleh zooplankton sebagai konsumer tingkat pertama dan seterusnya sampai pada tingkatan yang lebih tinggi. Dengan keberadaannya itu, maka secara ekologis plankton dapat dijadikan sebagai salah satu parameter dalam pemantauan kualitas lingkungan suatu perairan. Keberadaan dan sebaran plankton merupakan hasil dari kejadian yang teratur dan terus menerus yang dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan. Populasi plankton di berbagai habitat akuatik mempunyai nilai kelimpahan dan komposisi yang bervariasi tergantung pada kondisi lingkungan yang erat kaitannya dengan perubahan musim. Faktor fisik-kimia seperti suhu, intensitas cahaya, salinitas, pH dan zat cemaran di suatu perairan memegang peranan penting dalam menentukan kelimpahan jenis plankton. Sedangkan faktor biotik seperti tersedianya pakan, banyaknya predator dan adanya pesaing dapat mempengaruhi komposisi spesies (Arinardi et al., 1997). Propinsi Kalimantan Timur merupakan wilayah perairan yang luas serta mempunyai beberapa sungai besar yang bermuara ke laut. Salah satu kabupaten yang 70% daerahnya merupakan lingkungan perairan adalah Berau. Perairan Berau dapat dikategorikan sebagai perairan estuaria karena merupakan perairan pesisir semi tertutup

150

Nurul Fitriya

yang berhubungan dengan laut lepas dan di wilayah ini juga bermuara tiga sungai besar dan beberapa sungai kecil lainnya. Perairan ini merupakan campuran antara massa air sungai dengan air laut sekitarnya. Lokasi percampuran air di perairan ini tidak tetap, tergantung kepada banyaknya air tawar yang masuk ke laut dan juga arus pasang surut yang pada akhirnya akan berpengaruh terhadap pola distribusi zooplankton. Seperti telah diketahui bahwa kecenderungan pola distribusi zooplankton tampaknya sangat terkait dengan pola pasang surut, aliran arus dan suplai air tawar dari beberapa sungai di daerah tersebut. Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui kelimpahan jenis zooplankton serta pola sebaran zooplankton yang teramati pada saat penelitian di perairan Berau, Kalimantan Timur. II. METODE PENELITIAN Penelitian dilaksanakan di perairan Berau, Kalimantan Timur bulan Agustus 2005. Pengambilan contoh zooplankton dilakukan pada 10 stasiun sebaran (Gambar 1). Contoh zooplankton dikumpulkan menggunakan jaring NORPAC dengan diameter 45 cm, mata jaring 300 m dan panjang 180 cm. Pada mulut jaring plankton dilengkapi dengan flowmeter untuk mengukur volume air yang masuk kedalam jaring. Pengukuran volume air tersaring dihitung dengan rumus sebagai berikut: V = R. a. p V : volume air tersaring ( m3) R : Jumlah rotasi baling-baling flowmeter a : luas mulut jaring p : panjang kolom air ( m) yang ditempuh untuk satu rotasi

Gambar 1. Stasiun Penelitian Plankton di Perairan Berau, Kalimantan Timur, Agustus 2005 Contoh zooplankton diperoleh dengan cara menarik jaring plankton secara horisontal selama 2 3 menit menggunakan perahu motor dengan kecepatan konstan. Contoh plankton yang diperoleh disimpan dalam botol contoh dan diberi larutan pengawet formalin 4%. Cacahan zooplankton dilakukan melalui fraksi sebuah stempel pipette 2,5 ml dan dinyatakan dalam individu.m-3.

151

Komunitas Zooplankton di Perairan Berau, Kalimantan Timur

III. HASIL DAN PEMBAHASAN Secara keseluruhan zooplankton yang berhasil diidentifikasi pada penelitian ini berjumlah 41 taksa (Tabel 1). Dalam Tabel 1 terlihat bahwa taksa zooplankton yang mempunyai frekuensi kejadian (FK) 100% ada 11 taksa yaitu Chaetognatha, Calanoida, Cyclopoida, Luciferidae zoea, Luciferidae mysis, Luciferidae adults, Cypris, Cirripedia, Bivalvia, Gastropoda dan Oikopleura. Hal itu menunjukkan bahwa kesebelas taksa zooplankton tersebut ditemukan di seluruh lokasi penelitian di perairan Berau. Taksa lainnya seperti Polychaeta dan Stenophore mempunyai frekuensi kejadian (FK) 90%, yang berarti kedua taksa itu ditemukan di sembilan lokasi penelitian sedangkan 5 taksa yang mempunyai FK hanya 10% yang berarti hanya ditemukan pada satu lokasi penelitian saja yaitu Evadne, Paracitic (Copepoda), Cryptoniscid, Echinopluteus dan Fritillaria. Adanya perbedaan keberadaan dan sebaran zooplankton pada saat penelitian di perairan Berau merupakan hasil dari kejadian yang teratur dan terus menerus yang dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan tunggal maupun ganda yang menata bentuk sebaran, kelulusan hidup dan kepadatannya. Populasi zooplankton pada suatu perairan mempunyai nilai kelimpahan dan komposisi yang bervariasi tergantung pada kondisi lingkungan yang erat kaitannya dengan perubahan musim. Faktor fisik-kimia seperti suhu, intensitas cahaya, salinitas, pH dan zat cemaran di suatu perairan memegang peranan penting dalam menentukan kelimpahannya. Sedangkan faktor biotik seperti pakan, predator dan adanya pesaing dapat mempengaruhi komposisi spesies (Arinardi et al., 1997). Sebaran zooplankton di laut juga ditentukan oleh berbagai faktor lingkungan seperti intensitas cahaya, salinitas, suhu, kecerahan, zat hara, arus, gelombang, musim, siklus reproduksi dan predator (Smith, 1971). Tabel 1. Taksa Zooplankton dan Frekuensi Kehadirannya di Perairan Berau No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 Taksa Zooplankton Nectophore Siphonophora Stenophores Medusae Chaetognatha Polychaeta Evadne Penelia Ostracoda Calanoida (Copepoda) Cyclopoida (Copepoda) Harpacticoida (Copepoda) Paracitic (Copepoda) Amphipoda Luciferidae zoea Luciferidae mysis Luciferidae adults Braciopoda Cryptoniscid Cyphonautes Acetes zoea FK (%) 40 50 90 80 100 90 10 30 30 100 100 80 10 30 100 100 100 20 10 60 70 No 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 Taksa Zooplankton Acetes adults Brachyura zoea Brachyura megalopa Caridean larvae Cirripedia Cypris Penaeidae zoea Stomatopoda Bivalvia Creseis Gastropoda Bipinnaria Echinopluteus Ophiopluteus Fritillaria Oikopleura Phoronis Thaliacea Fish eggs Fish larvae FK (%) 50 60 20 80 100 100 30 20 100 30 100 20 10 70 10 100 50 20 40 50

152

Nurul Fitriya

Selengkapnya data kelimpahan zooplankton dan taksa predominan (>10%) pada masing-masing lokasi penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 2. Kelimpahan total zooplankton bervariasi pada masing-masing stasiun dengan kelimpahan tertinggi ditemukan pada stasiun 9 (12,463 ind/m3) dan terendah pada stasiun 8 (388 ind/m3) (Gambar 2). Nilai yang diperoleh dalam penelitian ini lebih berfluktuatif dibandingkan dengan hasil penelitian di perairan sekitar Muara Samboja dan Balikpapan, Kalimantan Timur pada bulan Agustus 2004 dengan nilai kelimpahan zooplankton yang berkisar antara 283 2941 ind/m3 (Anonim, 2004). Fluktuasi kelimpahan zooplankton antara stasiun yang satu dengan stasiun yang lain tidak selalu menyebabkan perubahan pada komposisi dan jenisnya melainkan intensitas dari tiap jenisnya (Arinardi et al., 1997). Adanya perubahan tersebut paling tidak disebabkan oleh berbagai faktor yang sangat menentukan seperti kondisi geografi, aliran air sungai dan arus pasang surut. Tabel 2. Jumlah Individu dan Taksa Predominan Zooplankton di Perairan Berau Lokasi Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4 Stasiun 5 Stasiun 6 Stasiun 7 Stasiun 8 Stasiun 9 Stasiun 10 Kelimpahan (ind/m3) 10.140 5.990 2.809 4.143 3.756 2.990 8.241 388 12.463 399 Taksa Predominan (>10%) Ostracoda,Bivalvia, Gastropoda Calanoida, Luciferidae zoea Calanoida, Chaetognatha Gastropoda Calanoida, Cyclopoida,Brachyura zoea Calanoida,Cyclopoida,Luciferidae zoea,Bivalvia Calanoida, Luciferidae zoea Calanoida, Cyclopoida,Bivalvia, Gastropoda Calanoida, Cyclopoida, Chaetognatha,Oikopleura Calanoida, Luciferidae zoea Calanoida, Cyclopoida, Chaetognatha,Oikopleura

Dalam Tabel 1 dan 2 diatas juga menunjukkan bahwa pada umumnya komunitas zooplankton di perairan Berau pada saat penelitian didominasi oleh copepoda. Dominansi copepoda di lokasi penelitian ini merupakan kondisi umum yang terjadi di kawasan perairan baik pesisir maupun lautan. Oleh karena copepoda sebagai krustacea holoplanktonik yang berukuran relatif kecil dan mempunyai peranan sebagai penghubung perpindahan materi organik dari tingkatan trofik paling bawah (produsen primer atau fitoplankton) ke tingkatan trofik yang lebih tinggi, maka perubahan kelimpahannya akan berpengaruh secara langsung pada komunitas zooplankton keseluruhan. Copepoda memang merajai komunitas zooplankton di perairan baik dalam jumlah jenis maupun kelimpahannya yang sangat tinggi. Selain itu karena ukurannya yang kecil tetapi sangat dominan di perairan maka copepoda sering dijuluki sebagai insect of the sea. Kelompok copepoda memang dianggap sebagai unsur yang mewakili komunitas zooplankton karena kelompok tersebut sering mendominasi komunitas zooplankton pada berbagai perairan (Wiadnyana, 1997).

153

Komunitas Zooplankton di Perairan Berau, Kalimantan Timur

Kelimpahan Zooplankton di Perairan Berau 14000 Kelimpahan (ind/m3 12000 10000 8000 6000 4000 2000 0 St 1 St 2 St 3 St 4 St 5 St 6 St 7 St 8 St 9 St 10 Lokasi Penelitian

Gambar 2. Kelimpahan Zooplankton di Perairan Berau Kehadiran copepoda sebagai sumber pakan bagi semua anak ikan dan ikan pelagik dalam ekosistem laut yang melimpah juga sering dikaitkan dengan indikasi kesuburan suatu perairan. Copepoda yang selalu merupakan komponen utama zooplankton predominan ini juga mengindikasikan bahwa perairan Berau, Kalimantan Timur ini cukup potensial untuk mendukung kehidupan biota laut pelagis. Sebagaimana laporan hasil penelitian pada berbagai jenis ikan di seluruh dunia yang membuktikan bahwa banyak jenis ikan pelagis dan larvanya memanfaatkan plankton sebagai makanannya. Salah satu hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa dari seluruh produksi ikan di dunia, 74% merupakan ikan pelagis dan berdasarkan jenis makanannya ternyata 63% adalah ikan pemakan plankton, 24 % ikan predator dan 8 % yang hidup di dasar (demersal) (Martinsen, 1966). Hal ini didukung oleh penelitian-penelitian pakar lainnya yang menyatakan bahwa ikan-ikan pelagis seperti teri, kembung, lemuru, tembang dan bahkan cakalang berprefensi sebagai pemangsa copepoda dan larva decapoda (Soerjodinoto, 1960; Burhanuddin et al., 1975; Sutomo and Arinardi, 1978). Dari berbagai penelitian itu dapat disimpulkan bahwa bila di perairan tertentu banyak terdapat plankton maka diharapkan ikan pemakan plankton akan banyak pula. Karena dalam kondisi normal, bergerombolnya biota laut hampir selalu berkaitan erat dengan banyaknya pakan (Tham, 1953). Demikian pula halnya dengan komposisi zooplankton di perairan Berau yang secara umum didominasi oleh copepoda dengan frekuensi kehadiran mencapai 100%. Hal ini dapat dijadikan indikasi bahwa perairan tersebut juga memiliki potensi perikanan yang cukup tinggi. Komunitas zooplankton di perairan Berau pada saat penelitian ini didominasi oleh copepoda terutama calanoida yang merupakan jenis neritik. Jenis copepoda neritik merupakan jenis copepoda yang berukuran relatif lebih kecil dan biasa hidup pada perairan yang masih mendapat pengaruh daratan, seperti yang banyak ditemukan di Laut Jawa (Arinardi et al., 1997). Dalam Gambar 2 diatas juga terlihat bahwa kelimpahan tertinggi zooplankton di perairan Berau pada saat penelitian bulan Agustus 2005 terdapat di stasiun 9 (12463 ind/m3) dan terendah di stasiun 8 (388 ind/m3). Tingginya kelimpahan zooplankton di Stasiun 9 didominasi oleh taksa predominan (>10%) yaitu Calanoida (67,59%) dan Luciferidae zoea (16,13%) (Tabel 2). Calanoida memang merupakan salah satu ordo

154

Nurul Fitriya

copepoda yang melimpah serta memiliki jenis yang beragam dengan jumlah keseluruhan mencapai sekitar 70% dari total zooplankton di lautan (Kim, 1985). Hal tersebut menunjukkan bahwa kondisi lingkungan perairan di sekitar lokasi penelitian itu sangat mendukung pertumbuhan kedua taksa zooplankton tersebut. Sebaran zooplankton di perairan Berau pada saat penelitian (Gambar 3) terlihat bahwa konsentrasi zooplankton yang tinggi terpusat justru bukan tepat di mulut muaramuara sungai besar disekitar lokasi penelitian tetapi beberapa kilometer ke arah laut terbuka sedangkan di mulut sungainya sendiri relatif lebih rendah. Rendahnya kepadatan zooplankton di sekitar muara diduga karena telah terjadi sedimentasi (Arinardi et al., 1997). Kondisi seperti sedimentasi ini tidak disukai oleh zooplankton dan faktor lain yang diduga turut berpengaruh adalah pergerakan arus pada saat penelitian yang bergerak ke arah laut terbuka, membawa kandungan zat hara yang cukup tinggi dari daratan. Terjadinya percampuran air tawar dan laut akan mengakibatkan terbentuknya sedimen, perubahan salinitas dan faktor lingkungan lainnya (Hedgpeth, 1967). Demikian pula dengan kemungkinan terjadinya sedimentasi di perairan Berau karena sebagaimana diketahui bahwa lokasi penelitian ini terletak di muara beberapa sungai besar di kabupaten Berau yang termasuk dalam kategori perairan estuaria, dimana air yang ada merupakan pencampuran massa air sungai dengan air laut sekitarnya.

117.70

117.80

117.90

118.00

118.10

118.20

118.30

2.30
Tg .B at u
Kr Ta babi nga

P. Derawan

im as .M Kr

L OKAS I

S .K as ei

2.20

Tanjungredep
S. Berau Tala sau SODANG BESA R
S. Be ri

Ulingan
T g. ga n Ul in

. Tg

ng la la Bo

Kr

ng bu

KALIM A NTAN

T em pu

run g

LALAWAN
U

T
Tg. Binka r Kr Bu liul in

Na ka

GU NTUNG
Mu
a ra G ar ur a
Tg. Birai

B S

bik

2.10
.P S

L U N S U RA N NA G A
isay S. S

11 Km

Sukan 2.00 Ra ntaupanjang


S.

Muara Pant a i

ap

at P eg

ya sa Pa

ng

1.90

.S

im

ru t

117.70

117.80

117.90

118.00

.T ab

1.80

I M

al a

IV. KESIMPULAN Dari hasil penelitian plankton di sekitar perairan Berau bulan Agustus 2005, diperoleh gambaran bahwa komunitas zooplankton di perairan ini didominasi oleh kelompok Copepoda terutama Calanoida dengan kelimpahan total zooplankton berkisar antara 388 - 12.463 ind/m3. Dalam kaitannya dengan ketersediaan makanan maka besarnya dominansi copepoda di perairan tersebut dapat dijadikan salah satu indikasi besarnya potensi perikanan di perairan Berau.

t ai an

> 12000 11000 - 12000 10000 - 11000 9000 - 10000 8000 - 9000 7000 - 8000 6000 - 7000 5000 - 6000 4000 - 5000 3000 - 4000 2000 - 3000 < 2000

si n ua .B Tg

Gambar 3. Distribusi Horizontal Zooplankton di Perairan Berau

M L I K A
A
N
N

118.10

118.20

118.30

155

Komunitas Zooplankton di Perairan Berau, Kalimantan Timur

UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada Koordinator Penelitian Kompetitif CoML LIPI Bapak Ir. L.F. Wenno, serta semua rekan peneliti dan teknisi di laboratorium plankton P2O LIPI atas perhatian dan kerjasamanya. DAFTAR PUSTAKA Arinardi, O.H., A.B. Sutomo, S.A.Yusuf, Trimaningsih, S.H. Riyono dan E. Asnaryanti. 1997. Kisaran Kelimpahan dan Komposisi Plankton Predominan di Perairan Kawasan Timur Indonesia. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi LIPI. Anonim. 2004. Laporan Penelitian Biodiversitas Organisme Planktonik dalam Kaitannya dengan Kualitas Air dan Sirkulasi Massa Air di Selat Makassar. Pusat Penelitian Oseanografi LIPI. Jakarta. Burhanuddin, S. Martosewojo dan M. Hutomo. 1975. A Preliminary Study on The Growth and Food of Stolephorus spp. from Jakarta Bay. Marine Research Indonesia. 14:1-30 Hedgpeth, J.W. 1967. The Sense of the Meeting. In: Estuaries (ed. Lauff G.H.) AAAS Washington DC. Kim, D.Y. 1985. Taxonomical Study on Calanoid Copepode (Crustacea:Copepode) in Korea Waters. PhD Dissertation. Hanyang University, Korea. Martinsen, G.V. 1966. Fish Resources and Their Distribution in The Worlds Oceans. In: Biological and Oceanographycal Condition of Commercial Concentration of Fish (P.F. Moiseev, ed.). Delhi: Insdoc . Riley, G.A. 1967. The Plankton of Estuaries. In G. Lauff (ed). Estuaries. AAA. Washington DC. 316-326. Smith, D.L. 1971. A Guide To Marine Coastal Plankton and Marine Invertebrate Larvae. Kendall-Hunt Publisher. Soerjodinoto, R.. 1960. Synopsis of Biological data on Lemuru clupea (Harengula)(C.V). U.N.: Fish. Div. Biol. Branch F.A.O. 313-328. Sutomo, A.B. dan O.H. Arinardi. 1978. Penelitian Plankton untuk Menunjang Penangkapan Ikan. Simposium Modernisasi Perikanan Rakyat di Jakarta 27-30 Juni 1978. Jakarta: Balitbang Perikanan Departemen Pertanian. Tham, A.K. 1953. A Preliminary Study On The Physical, Chemical and Biological Characteristics of Singapore Straits. Gr. Br. Off. Fish. Publ. 1:1-65 Wiadnyana, N.N. 1997. Kelimpahan Zooplankton di Teluk Kao. Dalam: Oseanologi dan Limnologi di Indonesia. 30:53-62.

156

Kawaroe et al.

PERTUMBUHAN RHIZOME LAMUN JENIS Cymodocea rotundata dan Cymodocea serrulata pada DUA KEDALAMAN BERBEDA di PULAU PARI, KEPULAUAN SERIBU, DKI JAKARTA Growth of Seagrass Rhizome species Cymodocea rotundata and Cymodocea serrulata in Two Different Depth at Pari Island, Seribu Island, DKI Jakarta Mujizat Kawaroe1, Fitriyah Anggraeni1, Wawan Kiswara2 Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Institut Pertanian Bogor Jl. Lingkar Akademik Darmaga Bogor, Indonesia, 16680; ds_biola1@yahoo.com 2 Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Jl. Pasir Putih I Ancol Timur. Jakarta, Indonesia, 14430
1

Abstract A study of seagrass rhizome growth at two different depths was conducted at Pari Island, Kep. Seribu in February to May 2010 in order to provide recommendations for seed selection and location of seagrass transplantation. Measurements of the seagrass rhizome growth were conducted by rhizome tagging method. Rhizome growth by Cymodocea rotundata was greater than that Cymodocea serrulata. The rhizome growth rate of Cymodocea rotundata was 1.02 mm/day at station 1 and 1.37 mm/day at station 2. While, the rhizome growth rate for Cymodocea serrulata on stations 1 and 2 were 0.45 and 1.08 mm/day, respectively. The growth rate of Cymodocea rotundata rhizome diameter was 0.06 and 0.07 mm/day at station 1 and 2. The growth rate of Cymodocea serrulata rhizoem diameter was 0.02 mm/day at station 1 and 0.02 mm/day at station 2. The Length and diameter growth rates of seagrass rhizome have positive correlation but not always comparable. Therefore, seagrass species with smaller rhizome and submerged is recommended for vegetative transplant efforts because it grow faster. Keywords: Seagrass rhizome growth, Pari Island, two depths. Abstrak Penelitian pertumbuhan rhizome lamun pada dua kedalaman yang berbeda dilakukan di Pulau Pari pada bulan Februari hingga Mei 2010 guna memberikan rekomendasi untuk pemilihan bibit dan lokasi transplantasi lamun. Pengukuran pertumbuhan rhizome lamun dilakukan dengan metode penandaan. Pertumbuhan yang dicapai oleh rhizome Cymodocea rotundata lebih besar dari pada rhizome Cymodocea serrulata. Pertumbuhan panjang rhizome Cymodocea rotundata mencapai 1,02 mm/hari pada stasiun 1 dan 1,37 mm/hari pada stasiun 2. Pertumbuhan panjang yang dicapai oleh rhizome Cymodocea serrulata pada stasiun 1 dan 2 adalah sebesar 0,45 dan 1,08 mm/hari. Diameter rhizome Cymodocea rotundata tumbuh sebesar 0,06 dan 0,07 mm/hari pada stasiun 1 dan 2 berturutturut setelah masa penandaan. Pertumbuhan diameter rhizome Cymodocea serrulata mencapai 0,02 mm/hari pada stasiun 1 dan 0,02 mm/ hari pada stasiun 2. Pertumbuhan panjang dan diameter rhizome lamun memiliki korelasi positif namun tidak selalu sebanding. Hasil menunjukkan bahwa pertumbuhan rhizome lamun yang hidup di daerah yang selalu terendam air lebih besar dibanding lamun yang hidup di daerah yang tidak selalu terendam air laut. Jadi, jenis lamun yang direkomendasikan untuk upaya transplantasi lamun adalah lamun dengan ukuran rhizome lebih kecil karena memiliki pertumbuhan rhizome yang lebih cepat dan lokasi transplantasi yang selalu terendam air. Kata Kunci: Pertumbuhan rhizome lamun, dua kedalaman, Pulau Pari

I. PENDAHULUAN Ekosistem lamun merupakan salah satu penyusun pantai yang memiliki peranan penting sebagai penyedia barang dan jasa untuk keseimbangan ekosistem serta
157

Pertumbuhan Rhizome Lamun Jenis Cymodocea rotundata dan Cymodocea serrulata

pemenuhan kebutuhan manusia berupa habitat ikan dan invertebrata, tempat pemijahan biota, stabilisasi sedimen, resirkulasi nutrien, penyerap karbon dan lain sebagainya (Hemminga dan Duarte, 2000; Constanza et al., 2001 in Adrianto, 2009; Kawaroe, 2009). Namun manfaat yang begitu besar bagi kehidupan biota laut dan manusia tidak menjadikan ekosistem lamun dianggap penting oleh masyarakat pada umumnya. Hal ini terbukti dengan semakin berkurangnya luasan padang lamun, seperti penurunan luas padang lamun di Teluk Banten yang telah mencapai 116 ha atau sekitar 25% dari total luas padang lamun akibat kegiatan reklamasi pantai (Douven et al, 2003) serta hilangnya luasan padang lamun sebesar 58% di Pantai Barat Swedia pada dekade terakhir (Baden et al., 2002 in Bjork et al., 2008). Transplantasi lamun untuk memperbaiki ekosistem pantai dapat menggunakan reproduksi vegetatif lamun, yaitu dengan perpanjangan rhizome. Sedangkan penanaman benih lamun yaitu dengan memperbaiki ekosistem lamun dengan menggunakan benih hasil dari reproduksi generatif lamun. Rehabilitasi lamun melalui reproduksi vegetatif (transplantasi) lebih dianjurkan karena struktur padang lamun yang dihasilkan lebih kompak dibanding hasil penanaman benih (biji) lamun (Hemminga dan Duarte, 2000). Upaya transplantasi lamun dapat diukur keberhasilannya dengan mengukur lulus hidup pertumbuhan donor lamun. Pertumbuhan lamun dapat diukur pada daun, rhizome dan akarnya Hingga saat ini pertumbuhan lamun lebih banyak diukur pada daunnya. Namun, pertumbuhan rhizome lamun juga tidak kalah penting karena rhizome adalah titik awal pertumbuhan sebelum tunas baru dan akar terbentuk. Penelitian pertumbuhan rhizome lamun untuk pertama kalinya di Indonesia dilakukan oleh Azkab dan Kiswara (1994) pada jenis Cymodocea rotundata di Teluk Kuta, Lombok Selatan yang mencapai 3,73 mm per hari. Pertumbuhan rhizome lamun dipengaruhi oleh fakor-faktor lingkungan, diantaranya cahaya matahari, substrat, temperatur, salinitas, O2 terlarut, nutrien, CO2 terlarut dan lain-lain. Pertumbuhan rhizome lamun juga dipengaruhi oleh genangan air laut, karena jika tidak terendam air laut serta terpampang matahari terlalu lama maka lamun akan mengalami kekeringan dan stress hingga fotosintesis terhambat (Dawson dan Dennison, 1996). Selain itu, pertumbuhan rhizome juga dipengaruhi oleh ukuran dan umurnya (Vermaat et al., 1995). Dengan acuan inilah penelitian mengenai pertumbuhan rhizome lamun dilakukan pada dua kedalaman guna memperoleh informasi mengenai jenis lamun dan kondisi lingkungan yang memiliki pertumbuhan rhizome lamun yang relatif tinggi guna mencapai luasan padang lamun seperti sedia kala dalam waktu yang relatif singkat. Penelitian ini bertujuan menganalisis pertumbuhan rhizome lamun pada dua kedalaman, guna memberikan rekomendasi pemilihan jenis bibit vegetative dan kondisi lingkungan sebagai dasar upaya transplantasi lamun. II. METODE PENELITIAN

Penelitian dilakukan pada Februari sampai Mei 2010 bertempat di Pulau Pari, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. Secara geografis, lokasi penelitian untuk stasiun 1 dengan kedalaman 0,75 m atau dangkal (dimana lamun terbuka dan terpampang sinar matahari saat surut) terletak pada koordinat 5 52 1,41 LS dan 106 36 26.20 BT sedangkan untuk lokasi stasiun 2 yang memiliki kedalaman lebih dalam (dimana lamun masih terendam seluruhnya oleh air laut saat surut), yaitu 1 m berada pada koordinat 5 52 0,67 LS dan 106 36 25.05 BT seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1. Pengukuran pertumbuhan rhizome lamun dilakukan dengan pemberian tanda berupa cabelties pada tunas terakhir. Tanda tersebut disertai dengan potongan kertas new
158

Kawaroe et al.

top yang bertuliskan kode lamun. Panjang awal rhizome setelah tunas terakhir dan diameter rhizome diukur dengan jangka sorong. Setelah tanda dipasang, rhizome lamun dibenamkan kembali ke dalam substrat, diberi patok bambu serta tali rafia dan dibiarkan hidup dalam kondisi alami.

Gambar 1. Peta lokasi penelitian Hasil panen lamun setelah 42 hari diukur pertumbuhannya di P2O LIPI Pulau Pari. Pertumbuhan rhizome per hari diperoleh dari pertambahan ukuran rhizome selama pemasangan tanda dibagi lama waktu penandaan (42 hari). Untuk pendugaan laju penyebaran lamun diperoleh dari pertambahan luas rhizome lamun per waktu (42 hari). Pertumbuhan panjang rhizome dihitung dengan rumus dibawah ini:

. (1)

Keterangan: P = Pertumbuhan panjang rhizome lamun (mm/hari) Pt = Panjang rhizome pada akhir penelitian (mm) P = Panjang awal rhizome lamun (mm) t = Waktu penelitian/pemasangan tanda (hari). Selain pertumbuhan panjang rhizome, parameter yang diamati adalah pertumbuhan diameter rhizome. Pertumbuhan diameter rhizome dihitung dengan persamaan dberikut:

... (2)

Keterangan: D = Pertumbuhan diameter rhizome lamun (mm/hari) Dt = Diameter rhizome pada akhir penelitian (mm) D= Diameter awal rhizome lamun (mm) t = Waktu penelitian / pemasangan tanda (hari).
159

Pertumbuhan Rhizome Lamun Jenis Cymodocea rotundata dan Cymodocea serrulata

III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Hasil Parameter pertumbuhan lamun yang biasa diukur selain panjang daun dan jumlah tegakan atau tunas baru adalah perpanjangan rhizome dimana perpanjangan rhizome dan pertumbuhan akar mewakili pertumbuhan bawah tanah atau bellow-ground growth (Short dan Duarte, 2001 in Bjork et al., 2008). Pertumbuhan yang dicapai oleh rhizome Cymodocea rotundata lebih besar dari pada rhizome Cymodocea serrulata (Gambar 2). Pertumbuhan panjang rhizome Cymodocea rotundata mencapai 1,07 mm/hari pada stasiun 1 dan 1,37 mm/hari pada stasiun 2. Sedangkan pertumbuhan panjang yang dicapai oleh rhizome Cymodocea serrulata pada stasiun 1 dan 2 adalah sebesar 0,45 dan 1,08 mm/hari. Untuk nilai standar deviasi pertumbuhan panjang rhizome Cymodocea rotundata di stasiun 1 sebesar 0,45 serta di stasiun 2 sebesar 0,45. Nilai standar deviasi pertumbuhan panjang rhizome Cymodocea serrulata di stasiun 1 sebesar 0,47 sedangkan di stasiun 2 sebesar 0,46. Gambar 3 menunjukkan pertumbuhan diameter rhizome lamun jenis Cymodocea rotundata dan Cymodocea serrulata pada stasiun 1 dan 2. Diameter rhizome Cymodocea rotundata tumbuh sebesar 0,06 dan 0,07 mm/hari pada stasiun 1 dan 2 berturut turut setelah masa penandaan.

Gambar 2. Pertumbuhan Panjang Rhizome Lamun

160

Kawaroe et al.

Gambar 3. Pertumbuhan Diameter Rhizome Lamun Pertumbuhan diameter rhizome Cymodocea serrulata mencapai 0,02 mm/hari pada stasiun 1 dan 0,02 mm/hari pada stasiun 2. Sedangkan standar deviasi untuk pertumbuhan diameter rhizome Cymodocea serrulata pada stasiun 1 dan 2 masingmasing adalah 0,03 dan 0,02. Pertumbuhan diameter rhizome lamun memiliki korelasi positif namun tidak selalu sebanding dengan pertumbuhan panjang rhizomenya. 3.2. PEMBAHASAN Lamun merupakan tumbuhan yang memiliki rhizome dan dapat berkembang secara horizontal dalam substrat. Rhizome menghubungkan individu lamun yang satu dengan individu lamun lainnya dalam rangka menjaga kesatuan diantara individuindividu lamun tersebut. Rhizome lamun berukuran relatif kecil dan memanjang serta terdapat banyak lubang di bagian luar jaringan kortikalnya yang dapat melakukan pertukaran gas secara efisien (Kuo dan McComb, 1989 in Hemminga dan Duarte, 2000). Jenis lamun dengan ukuran rhizome kecil akan lebih cepat menyebar secara horizontal bila dibanding jenis yang lamun dengan rhizome lebih besar. Sebagian besar lamun memiliki kemampuan untuk tumbuh secara vertikal 3 sampai 100 kali lebih lambat dari pertumbuhan horizontalnya. Lamun dengan rhizome tipis akan dapat memproduksi rhizome yang lebih panjang dibanding lamun dengan rhizome lebih tebal dalam kondisi kandungan nutrisi yang sama (Marba dan Duarte, 1998). Hasil pertumbuhan panjang rhizome lamun jenis Cymodocea rotundata dan Cymodocea serrulata pada dua stasiun ditunjukkan oleh Gambar 2. Gambar 2 menunjukkan bahwa secara umum pertumbuhan panjang rhizome di Stasiun 2 lebih besar bila dibanding Stasiun 1. Pada Stasiun 1, lamun hanya terendam air pada pagi dan sore hari, selama siang hari lamun terpampang matahari saat air laut surut. Sedangkan di Stasiun 2 lamun selalu terendam air bahkan saat surut. Lamun dapat melakukan seluruh proses fisiologisnya dengan optimal saat terendam air laut, baik proses fotosintesis, metabolisme ataupun polinasi dan penyerbukan. Berkurangnya lama rendaman air laut akan menyebabkan menurunnya
161

Pertumbuhan Rhizome Lamun Jenis Cymodocea rotundata dan Cymodocea serrulata

proses-proses fisiologisnya, termasuk pertumbuhan (Den Hartog, 1967). Selain itu, tidak semua jenis lamun dapat terbuka serta terpampang oleh udara dan matahari. Jika lamun terbuka serta terpampang oleh udara dan matahari dalam waktu yang cukup lama akan menyebabkan lamun kering dan stres sehingga fotosintesis terhambat (Dawson dan Dennison, 1996). Beberapa sampel lamun jenis Cymodocea serrulata menunjukkan pertumbuhan panjang rhizome yang signifikan dan beberapa lainnya hampir tidak tumbuh. Hal ini dapat disebabkan oleh perbedaan jumlah individu lamun pada rangkaian rhizome yang sama. Beberapa lamun memiliki pertumbuhan panjang rhizome yang relatif tinggi karena masih terhubung dalam satu rhizome dengan lamun yang berada di daerah yang masih terendam air laut saat surut. Rhizome lamun tersebut mendapat suplai makanan untuk tumbuh dari rhizome yang lebih tua (Duarte dan Sand-jensen, 1996 in Hemminga dan Duarte, 2000). Selain terhubung dengan individu yang berada di daerah yang terendam air laut saat surut, penyebab lamun memiliki pertumbuhan panjang rhizome yang lebih besar dibanding lamun lainnya adalah upaya pertahanan lamun tersebut terhadap kondisi lingkungannya. Sama halnya dengan lamun yang tertutup epifit pada ujung daunnya memiliki pertumbuhan pangkal daun yang relatif besar agar lamun tersebut tetap dapat melakukan fotosintesis untuk menghasilkan makanan karena ujung dari daun yang tertutup oleh epifit sudah tidak dapat melakukan fotosintesis lagi (Borowitzka dan Lethbridge, 1989). Pertumbuhan panjang rhizome yang relatif besar ini bertujuan agar lamun tetap mendapatkan suplai air, nutrien serta mineral dari daerah yang masih terdapat air saat surut. Mekanisme pertahanan diri lamun terhadap kondisi kering juga dapat dilakukan dengan memperpanjang akar sehingga akar dapat menembus sedimen lebih dalam dimana kemungkinan untuk mendapatkan air, nutrien ataupun mineral yang dibutuhkan oleh lamun lebih besar pada keadaan tidak terendam air sekalipun (Hemminga dan Duarte, 2000). Pengukuran pertumbuhan panjang rhizome Cymodocea rotundata juga dilakukan oleh Azkab dan Kiswara (1994) di Teluk Kuta, Lombok. Pertumbuhan panjang rhizomenya memiliki kisaran 0,12 mm per hari hingga 5,50 mm per hari serta rata-rata sebesar 3,73 mm per hari. Hasil pertumbuhan panjang rhizome di Pulau Pari lebih kecil daripada hasil yang telah diperoleh Azkab dan Kiswara (1994). Pertumbuhan panjang rhizome dalam Cabaco et al (2008) untuk jenis Cymodocea rotundata dan Cymodocea serrulata masing-masing sebesar 209,90 cm per tahun dan 153,00 cm per tahun. Nilai tersebut lebih besar dari nilai pertumbuhan panjang rhizome yang diperoleh dari penelitian ini yang memiliki kisaran sebesar 37,07 hingga 50,16 cm per tahun untuk Cymodocea rotundata dan 16,31 hingga 39,41 cm per tahun untuk Cymodocea serrulata. Pertumbuhan diameter rhizome merupakan salah satu parameter pertumbuhan rhizome lamun selain pertumbuhan panjangnya. Pertumbuhan diameter rhizome lamun memang tidak sebesar pertumbuhan panjangnya, namun pertumbuhan juga penting diketahui untuk pendugaan laju penyebaran rhizome lamun. Adapun pertumbuhan diameter rhizome lamun ditunjukkan oleh Gambar 3. Pertumbuhan diameter rhizome yang ditunjukkan oleh Gambar 3 memberikan gambaran bahwa baik pada spesies atau jenis lamun yang sama di masing-masing stasiun memiliki nilai yang tidak jauh berbeda. Cymodocea rotundata dan Cymodocea serrulata mempunyai nilai pertumbuhan panjang dan diameter yang berkorelasi positif namun tidak selalu sebanding. Artinya besarnya pertumbuhan panjang rhizome tidak selalu mempengaruhi ataupun dipengaruhi oleh besarnya pertumbuhan diameter rhizome itu sendiri.

162

Kawaroe et al.

Lamun yang tumbuh pada Stasiun 2 memiliki pertumbuhan rhizome yang lebih besar bila dibanding dengan lamun yang tumbuh di Stasiun 1. Hal ini disebabkan oleh lamanya genangan air laut. Lamun pada Stasiun 1 memiliki pertumbuhan rhizome yang lebih lambat dari lamun di Stasiun 2 karena lamun di Stasiun 1 terpapar oleh sinar matahari khusunya pada saat surut. Terlebih lagi pada waktu penelitian berlangsung (FebruariMei 2010) surut terjadi saat siang sehingga kegiatan metabolisme lamun terhambat karena tidak dalam keadaan terendam air laut dan waktu terpapar oleh sinar matahari lebih lama. Jadi, habitat dengan kondisi selalu terendam (Stasiun 2) menghasilkan lamun dengan pertumbuhan lamun yang relatif lebih besar. Cymodocea serrulata yang memiliki ukuran lebih besar dibanding Cymodocea rotundata mengalami pertumbuhan panjang rhizome yang lebih lambat. Hal ini sesuai dengan pernyataan Duarte (1991) yang menyatakan bahwa lamun dengan ukuran yang lebih besar akan memiliki kemampuan tumbuh yang lebih lambat. Ukuran lamun juga dapat digunakan untuk memperkirakan habitat lamun tersebut. Lamun yang memiliki ukuran yang lebih kecil cocok hidup di daerah yang lebih dinamis karena kemampuannya yang relatif tinggi untuk tumbuh. Sebaliknya lamun dengan ukuran yang lebih besar biasanya hidup di daerah yang lebih stabil (Duarte, 1991). Ukuran lamun yang relatif kecil serta habitat hidup lamun yang selalu terendam, walaupun saat surut akan dapat menghasilkan sebaran lamun yang relatif lebih cepat. Hal ini dibuktikan dengan penghitungan secara acak individu baru yang tumbuh pada rhizome yang diberi tanda sebanyak 1 sampai 3 individu pada Cymodocea rotundata dan sebanyak 1 individu pada Cymodocea serrulata selama masa penelitian. Hasil pengamatan langsung di Pulau Pari memnunjukkan bahwa Cymodocea rotundata memiliki sebaran yang lebih luas dibanding Cymodocea serrulata. Ujung rhizome Cymodocea rotundata terkadang tumbuh menembus substrat dan hidup di kolom perairan. Secara umum, pertumbuhan rhizome masih lebih lambat bila dibandingkan dengan pertumbuhan daun lamun yang dinyatakan oleh Duarte (1991) sebesar 2,50 mm per hari untuk Cymodocea rotundata dan 1,90 mm per hari untuk Cymodocea serrulata. Daun berfungsi untuk mensintesis energi untuk tumbuh dan memenuhi kebutuhan fungsional tubuh lamun melalui proses fotosintesis (Hemminga dan Duarte, 2000). Sering kali alga dan biota penempel lainnya hidup di permukaan daun lamun, bahkan kanopi yang dibentuk oleh daun lamun menyediakan tempat hidup dan berlindung bagi biota laut lainnya. Sedangkan rhizome bertanggung jawab dalam penyebaran lamun dengan reproduksi vegetatif, menjaga keterkaitan antara individu lamun, tempat pertukaran gas serta sarana penyaluran mineral, nutrien, makanan dan hormon (Hemminga dan Duarte, 2000). Maka sudah sewajarnya pertumbuhan daun terjadi lebih cepat. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Cymodocea rotundata dan Cymodocea serrulata yang tumbuh di tempat yang selalu terendam air laut mempunyai pertumbuhan rhizome yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang tumbuh di tempat yang terbuka dan terpampang saat surut. Hal tersebut dapat digunakan sebagai dasar-dasar untuk upaya transplantasi lamun. Jenis atau spesies lamun yang akan ditransplantasi dipilih jenis yang memiliki pertumbuhan yang relatif tinggi, yaitu lamun yang berukuran kecil. Untuk lokasi tranplantasi lamun dipilih daerah yang selalu terendam. Kedua hal tersebut diharapkan bisa memberikan hasil transplantasi lamun yang baik. Hasil pengamatan langsung menunjukkan bahwa Pulau Pari memiliki 7 jenis lamun, yaitu Cymodocea rotundata, Cymodocea serrulata, Enhalus acoroides, Halodule uninervis, Halophila ovalis, Syringodium isoetifolium, dan Thalassia hemprichii. Enam
163

Pertumbuhan Rhizome Lamun Jenis Cymodocea rotundata dan Cymodocea serrulata

dari tujuh jenis lamun tersebut dapat diamati pertumbuhan rhizomenya, sedangkan Enhalus acoroides tidak. Hal ini disebabkan oleh rhizomenya yang tertutupi oleh serabut sisa-sisa daun yang telah mati sehingga susah untuk diamati. Lamun jenis Halophila ovalis dan Syringodium isoetifolium juga perlu dilakukan penelitian pertumbuhan rhizomenya karena keberadaannya yang cukup terbatas dibandingkan jenis lamun lain yang ada di Pulau Pari. Hasil penelitian pertumbuhan rhizome dari kedua jenis lamun diharapkan dapat digunakan dalam upaya rehabilitasi jenis-jenis lamun tersebut khususnya di Pulau Pari. IV. KESIMPULAN Pertumbuhan rhizome lamun merupakan bagian dari below-ground growth dari total pertumbuhan lamun. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa lamun dengan ukuran yang lebih kecil mampu tumbuh lebih cepat dibandingkan dengan lamun yang berukuran besar. Demikian juga dengan kondisi habitat lamun. Lamun yang hidup di daerah yang selalu tergenang air laut memiliki pertumbuhan rhizome yang lebih cepat dibandingkan dengan lamun yang hidup di daerah yang tidak selalu terendam air laut, terutama saat surut. Untuk itu, upaya transplantasi lamun dapat dilakukan dengan menggunakan bibit atau donor lamun dari jenis yang berukuran kecil dan dilakukan di lingkungan yang selalu tergenang air laut. DAFTAR PUSTAKA Adrianto, L. 2009. Pendekatan Social-Ecological System (SES) dalam Pengelolaan Ekosistem Lamun Berkelanjutan. Makalah disampaikan pada Lokakarya I Pengelolaan Ekosistem Lamun. Jakarta. Azkab, M. H. dan W. Kiswara. 1994. Pertumbuhan dan Produksi Lamun di Teluk Kuta, Lombok Selatan. in Kiswara, W., M. K. Moosa dan M. Hutomo (eds). Struktur Komunitas Biologi padang Lamun di pantai Selatan Lombok dan Kondisi Lingkungan. PuslitbangOseanologi LIPI. 34-41. Bjork, M., F. Short, E. Mcleod, and S. Beer. 2008. Managing Seagrass for Resilience to Climate Change. The International Union for the Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN). Switzerland. Borowitzka, M. A. dan R. C. Lethbridge. 1989. Seagrass Epiphytes. Hal 458-484 in A. W. D. Larkum, A. J. McComb dan S. A. Shepherd (ed).Biology of Seagrass : A Treatise on The Biology of Seagrass with Special Reference to The Australian Regional. Elsevier. Amsterdam, Netherland. Cabaco, S., R. Santos, dan C. M. Duarte. 2008. The Impact of Sediment Burial and Erosion on Seagrass: A Review. Estuarine, Coastal and Shelf Science, 79: 354366. Dahuri, R., J. Rais, S. P. Ginting, dan M. J. Sitepu. 1996. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. PT. Pradna Paramita. Jakarta. Dawson, S. P. dan W. C. Dennison. 1996. Effects of Ultraviolet and Photosynthetically Active Radiation on Five Seagrass Species. Marine Biology, 125: 629-638. den Hartog, C. 1967. The Structural Aspect in The Ecology of Seagrass Communities. Helgolander Wissenschaftliche Meeresuntersuchungen. Amsterdam. den Hartog, C.. 1970. The Seagrasses of The World. Northolland Publishing Company. Amsterdam

164

Kawaroe et al.

Douven, J. A. M., J. J. G. Buurman, dan W. Kiswara. 2003. Spatial information for Coastal Zone Management: The Example of The Banten Bay Seagrass Ecosystem. Ocean Coastal Management, 46:616-634. Duarte, C. M. 1991. Allometric Scaling of Seagrass Form and Productivity. Marine Ecology Progress Series. 77:289-300. Erftemeijer, P. L. A. dan E. W. Koch. 2001. Sediment Geology Methods for Seagrass Habitat Hal. 345-368 in Frederick T. Short dan Robert G. Coles (ed). Global Research Seagrass Methods, 1st.ed. Elsevier Science B.V. Amsterdam. Netherlands. Hemminga, M. A. dan C. M. Duarte. 2001. Seagrass Ecology.Cambridge University Press. Cambridge. Hutomo, M. 2009. Kebijakan, Strategi dan Rencana Pengelolaan Ekosistem Lamun di Indonesia. Makalah disampaikan pada Lokakarya I Pengelolaan Ekosistem Lamun. Jakarta. 18 November 2009. Kawaroe, M. 2009. Perspektif lamun Sebagai Blue Carbon Sink di Laut. Makalah disampaikan pada Lokakarya I Pengelolaan Ekosistem Lamun. Jakarta. 18 November 2009. Kiswara,W. dan Winardi. 1994. Keanekaragaman dan Sebaran lamun di Teluk Kuta dan Teluk Gerupuk, Lombok Selatan in Kiswara, W., M. K. Moosa dan M. Hutomo (eds). Struktur Komunitas Biologi padang Lamun di pantai Selatan Lombok dan Kondisi Lingkungan. Puslitbang-Oseanologi LIPI. 15-33. Kuo, J. dan C. den Hartog. 2001. Seagrass Taxonomy and Identification Key. Hal. 31-54 in Frederick T. Short dan Robert G. Coles(ed). Global Research Seagrass Methods, 1st.ed. Elsevier Science B.V. Amsterdam Netherlands. Marba, N. dan C. M. Duarte. 1998. Rhizome Elongation and Clonal Growth. Marine Ecology Progress Series, 174: 269-280. Phillips,R. C. dan E. G. Menez.1988. Seagrasses. Smithsonian Institution Press. Washington D.C. Short, Frederick T. dan C. M. Duarte. 2001. Methods for The Measurement of Seagrass Growth and Production. Hal.155-182 in Frederick T. Short dan Robert G. Coles (ed), Global Research Seagrass Methods, 1st.ed, Elsevier Science B.V, Amsterdam. Netherlands. Vermaat, J. E., N. S. R. Agawin, C. M. Duarte, M. D. Fortes, N. Marba, dan J. S. Uri. 1995. Meadow maintenance, Growth and Productivity of A Mixed Philippine Seagrass Bed. Marine Ecology Progress Series, 124:215-225.

165

Prosiding Pertemuan Ilmiah Nasional Tahunan VII ISOI 2010 Hotel Santika dan Hotel Merkuri, Pangkal Pinang, 6-7 Oktober 2010

PEMETAAN SUMBERDAYA LAUT

Pemetaan Geologi dan Geofisika Kelautan Bersistem Perairan Teluk Tomini, Sulawesi

PEMETAAN GEOLOGI DAN GEOFISIKA KELAUTAN BERSISTEM PERAIRAN TELUK TOMINI, SULAWESI
MARINE GEOLOGY AND GEOPHYSIC SYSTEMATIC MAPPING OF TOMINI BAY WATERS, SULAWESI
Mustafa Hanafi Marine Geological Institute Jl. DR. Junjunan 236 Bandung ; email : mhanafi_mgi@yahoo.co.id

Abstract The Systematic Mapping of marine geology and geophysics on 1:250,000 scale is one of the activities of Marine Geological Institute. Until 2009, the institute has completed 67 sheets of map of 365 sheets (about 18.4%) for the entire Indonesian waters. The activities were to collect data and information related to the surface and subsurface geological seabed. Bathymetry, seismic, magnetic and marine sediment samplings are methods used in collecting data for mapping. The data obtained is preliminary data for exploration of energy and mineral. In 2010, we have mapped on Sheet 2114, 2115, 2214 and 2215 around the Tomini bay in the Central Sulawesi. The cruise was the first expedition by using R/V Geomarin III. The use of the ship to maximize the marine geology and geophysics map. The data are very important to become one of the reference further study. In the study area there are at least 3-5 layers of sedimentary sequen. The data also provide added value to the business interests especially for mineral resources investment and oil or gas potential Keywords : Systematic, Mapping, Tomini Bay Abstrak Pemetaan geologi dan geofisika kelautan bersistem skala 1:250.000 merupakan kegiatan survei Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Kelautan. Sampai tahun 2009 telah diselesaikan 67 lembar peta atau sekitar 18.4% dari 365 lembar untuk seluruh wilayah perairan Indonesia. Kegiatan ini merupakan tahap pengumpulan data dan informasi berkaitan dengan tatanan geologi permukaan dan bawah permukaan dasar laut. Metoda yang digunakan dalam pemetaan adalah metoda batimetri, seismik, magnet dan pengambilan contoh sedimen laut dengan gravity core. Data yang diperoleh merupakan data awal eksplorasi energi dan sumber daya mineral. Tahun 2010, kegiatan pemetaan dilakukan pada Lembar Peta 2114, 2115, 2214 dan 2215 yang mencakup perairan Teluk Tomini, Sulawesi Tengah. Survei ini merupakan ekspedisi perdana menggunakan Kapal survei Geomarin III. Penggunaan kapal ini untuk menunjang percepatan pemetaan geologi dan geofisika kelautan. Data survei sangat penting untuk menjadi salah satu referensi studi selanjutnya. Pada daerah penelitian sedikitnya terdapat 3 sampai dengan 5 layer sequen sedimen Data ini juga memberikan nilai tambah bagi kepentingan dunia usaha terutama investasi sumber daya mineral dan potensi minyak atau gas. Kata Kunci : Sistimatik, Pemetaan, Teluk Tomini

I. PENDAHULUAN Laut memiliki dimensi pengembangan yang lebih luas dibanding dengan daratan, sebab laut lebih mempunyai keragaman potensi alam yang dapat dikelola, akan tetapi selama ini kemampuan untuk memanfaatkan dan mengelola sumberdaya laut tersebut masih sangat terbatas.

166

Hanafi

Salah satu kegiatan yang mendukung di dalam pengelolaan sumberdaya kelautan di wilayah nusantara ini adalah melalui penelitian pengembangan teknologi kelautan secara terpadu di wilayah perairan Indonesia (Kusnida and Subarsyah, 2008). Kegiatan pemetaan geologi dan geofisika kelautan bersistem sekala 1 : 250000 hingga tahun anggaran 2009 telah menyelesaikan 67 lembar peta atau baru 18.4 % dari total lembar peta bersistem yang berjumlah 365 lembar untuk seluruh wilayah perairan Indonesia. Untuk dapat mempercepat seluruh kegiatan pemetaan geologi dan geofisika kelautan bersistem, kapal geomarin III pada tahun 2010 digunakan dalam melaksanakan kegiatan pemetaan ini dapat dilaksanakan lebih kurang 12 sampa1 16 lembar peta skala 1 : 250.000. Kapal survei ini mepunyai peralatan yang lebih memadai untuk digunakan di perairan dalam dari pada kapal survei Geomarin lainnya. Dengan keterbatasan data dan informasi mengenai tatanan geologi dan geofisika khususnya di daerah perairan teluk Tomini dan sekitarnya, maka penelitian Geologi dan Geofisika Kelautan pada Lembar Peta 2114, 2115, 2214 dan 2215 ini akan menambah informasi data pemetaan geologi dan geofisika kelautan di perairan teluk Tomini. Survei/pemetaan geologi dan geofisika kelautan bersistem ini dimaksudkan untuk menginventarisasi data dasar tatanan geologi permukaan dasar laut dan kondisi geologi daerah pemetaan berupa data kedalaman laut (batimetri), data sedimen permukaan laut, data magnet dan penyebaran mineralnya. Tujuan survei/pemetaan ini adalah untuk mengetahui kondisi geologi dan geofisika kelautan sistematik di perairan Teluk Tomini dengan menyediakan data dasar geologi kelautan antara lain peta batimetri, peta interpretasi seismik dan analisa mineral. II. METODE PENELITIAN 2.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi kegiatan survei/pemetaan wilayah Teluk Tomini Lembar Peta 2114, 2115, 2214 dan 2215, terletak pada koordinat 0000020000 Lintang Utara dan 12000001230000 Bujur Timur (Gambar 1). Pelaksanaan kegiatan penelitian dilakukan pada pertengahan bulan Maret 2010 selama sebulan. 2.2. Metoda Navigasi Survei/pemetaan geologi dan geofisika kelautan menggunakan kapal survei GEOMARIN III, posisi kapal ditentukan menggunakan Sistem DGPS (Differential Global Positioning System) C-NAV yang dapat memberikan ketelitian pengukuran posisi hingga 0.1 meter dan Giro Kompas Simrad GC-80. Data posisi dari C-Nav kemudian dibagi tiga untuk disalurkan pada perangkat keras dan lunak navigasi GeoNav dan Maxsea, serta Sub-bottom Profiler Bathy 2010, sedangkan data arah hanya di salurkan kepada GeoNav. Seluruh rencana lintasan survei, termasuk pemberian pulsa penyulut (trigger) untuk peledakan airgun, pemberian data serial nomer peledakan pada perekam seismik, serta lokasi pengambilan contoh sedimen dilakukan pada GeoNav.. Perangkat Maxsea dipergunakan untuk membantu perencanaan detil lintasan, mengingat data hidrografi daerah penelitian berada pada perangkat ini.

167

Pemetaan Geologi dan Geofisika Kelautan Bersistem Perairan Teluk Tomini, Sulawesi

Gambar 1. Lokasi daerah survei/pemetaan Disamping metoda navigasi di atas, untuk keperluan keselamatan pelayaran dipergunakan kombinasi peralatan-peralatan: ECD (Electronic Chart Display) Furuno, GPS Furuno, Radar pelayaran Furuno dan Giro Kompas Simrad yang ditempatkan di anjungan. Peralatan-peralatan ini sangat membantu mengingat di daerah survei cukup banyak nelayan, rumpon jaring dan lalu lintas pelayaran rakyat. 2.3. Metoda Pengukuran Kedalaman Dasar Laut (Batimetri) dan Sub-bottom Profiler Pengukuran kedalaman dasar laut dan Sub-Bottom Profiling (SBP) dilaksanakan dengan menggunakan Chirp Sub-bottom Profiler Bathy 2010. Peralatan ini bekerja sebagaimana halnya echosounder, mengirim pulsa suara, menerima pulsa terpantul oleh dasar laut, dan kemudian mengolahnya untuk dihitung kedalaman lautnya berdasarkan asumsi cepat rambat suara di air laut 1500 meter/detik. Oleh karena Bathy 2010 bekerja dengan menggunakan frekuensi sekitar 3.5 kHz, konfigurasi sedimen permukaan setebal hingga 100 meter dapat ikut tergambarkan dalam rekaman. Metoda chirp atau frekuensi modulasi yang diterapkan pada peralatan ini juga membuat resolusi perlapisan sedimen menjadi lebih baik jika dibandingkan dengan echosounder 3.5 kHz biasa. Bathy 2010 mendapatkan data posisi dari DGPS C-Nav dan memberikan keluaran data kedalaman digital terukur di bawah transduser (DBT, depth below transducer) ke sistem navigasi Geonav. 2.4. Metoda Seismic Multichannel Airgun yang digunakan sebanyak 4 buah, G Gun II, terpasang pada rangkaian array dengan rubber floater (pelampung). Dalam operasional kegiatan lapangan array airgun tersebut ditarik 40 meter dibelakang kapal, dan jarak airgun terhadap streamer
168

Hanafi

dibelakangnya adalah 110 meter. Dua airgun, airgun 1 dan 3 atau airgun 2 dan 4. Kapasitas kombinasi airgun tersebut menjadi 270 cu in atau 240 cu in untuk firing rate lebih kurang 12.5 detik, atau mewakili interval peledakan setiap 25 meter kapal berjalan. Peledakan airgun dilakukan oleh klep (valve) solenoid yang terpasang pada setiap airgun. Solenoid ini memerlukan arus listrik pada tegangan 60 volt yang dibangkitkan oleh Gun Controller TTS di Laboratorium Geofisika Geomarin III. Prosedur pembangkitan tersebut mengikuti perintah dari sistem navigasi Geonav untuk setiap jarak yang telah ditentukan. Monitoring terjadinya peledakan dilakukan oleh perangkat lunak Gun Controller TTS. Dalam operasional lapangan QC ketepatan peledakan hingga kurang dari 5 milidetik sukar untuk dicapai, yang kemungkinan merupakan kombinasi akibat kurangnya kecepatan supply udara ke airgun dan lebar pulsa listrik dari Gun Controller TTS ke solenoid pada airgun. Sinkronisasi peledakan dengan perekaman dilakukan dengan mengirimkan pulsa Time Break dari Gun Controller ke perekam seismik. Streamer berfungsi menerima pulsa suara terpantul oleh struktur perlapisan bumi di bawah permukaan dasar laut. Streamer Sercel Seal dipergunakan dalam kegiatan survei seismik ini dengan panjang maksimal 1500 meter atau 120 active channel, dengan spasi antar channel 12.5 meter. Keseluruhan panjang tersebut terbagi kedalam 10 active section dengan panjang masing-masing 150 meter, sehingga setiap active section terdapat 12 active channel. Pada masing-masing channel terdapat 16 hidrofon aktif yang disambungkan secara paralel. Enam unit Field Digitizer Unit (FDU) dipasang di dalam streamer berfungsi mengubah signal analog yang diterima oleh hidrofon menjadi digital, sehingga signal yang dikirimkan ke recording system di Laboratorium Geofisika Geomarin III telah dalam bentuk digital. Banyaknya perangkap ikan dan lalu lintas kapal di daerah penelitian tidak memungkinkan digelarnya seluruh panjang streamer tersebut. Hanya sepanjang 600 meter atau 48 active channel paling belakang yang dapat digelar, 48 active channel (4 active section) lainnya di matikan (mute). Sedangkan 24 active channel (2 active section) disimpan untuk digunakan sebagai cadangan. Selain active streamer juga terdapat beberapa modul-modul lain yang ikut digelar di belakang kapal, konfigurasi keseluruhan adalah seperti pada Gambar 2. Active streamer ditarik di belakang kapal pada kurang lebih 150 meter dari buritan. Disepanjang streamer ini dipasang tiga buah Ion Digibird 5010 di ujung depan, tengah dan belakang streamer, yang digunakan sebagai pengontrol kedalaman streamer. Selama survei posisi Digibird dimonitor oleh Positioning Control System (PCS) di Laboratorium Geofisika Geomarin III dan diusahakan untuk tetap berada pada kedalaman 5 7 meter dari muka laut. Posisi kedalaman streamer sangat berpengaruh pada kondisi noise (derau), jika terlalu dangkal atau dekat dengan permukaan laut noise akan meninggi akibat riak gelombang permukaan laut hingga menutupi signal terpantul dari dasar laut. Sebaliknya bila terlalu dalam, sensitivitas dari streamer akan berkurang akibat tingginya tekanan hidrostatis, atau secara otomatis akan mati bila kedalamannya melebihi 30 meter. Seismic recording system di Geomarin III terdiri dari beberapa sub-sistem yang disebut sebagai Sercel Seal System, disamping itu juga terdapat deck system yang menghubungkan streamer dengan recording system. Kontrol kualitas perekaman selama survei berlangsung dilakukan oleh sebuah IBM workstation berikut software eSQCPro system. Hubungan antar komputer-komputer di atas secara fisik dilakukan dengan melalui jaringan khusus yang terpisah dari jaringan komputer umum di Geomarin III.

169

Pemetaan Geologi dan Geofisika Kelautan Bersistem Perairan Teluk Tomini, Sulawesi

Gambar 2. Konfigurasi streamer yang dipergunakan selama kegiatan survei seismik multichannel. Empat active section atau 48 channel dipergunakan untuk akuisisi data. Streamer ditarik pada kedalaman 5 7 meter dari permukaan laut. TES (Tail Elastic Section) dipasang di belakang streamer untuk mengurangi noise dari Tail Buoy 2.5. Pemrosesan Data Seismik Satu unit IBM workstation berikut software O/S Linux RedHat dan ProMAX 2D versi 2003 terpasang di Geomarin III untuk pelaksanaan pemrosesan data seismik. Pada saat akuisisi, data mentah seismik dalam format SEG-D dari Seal Recording System langsung tersimpan dalam NAS. Data tersebut dapat secara langsung diambil oleh ProMAX untuk diolah. Terdapat berbagai tahapan pemrosesan data seismik, namun selama kegiatan lapangan berlangsung paling tidak koreksi geometri dan stacking untuk seluruh lintasan dapat dilaksanakan. Berdasarkan parameter perekaman dan jumlah channel yang dipergunakan didapatkan 12 fold coverage, yang berarti bahwa pada setiap CDP (Common Depth Point) terdapat 12 jejak rekaman yang harus disatukan dalam proses stacking. Disamping stacking, selama kegiatan di lapangan juga dilakukan konversi data ke dalam format SEG-Y dan pembuatan penampang satu saluran terpilih sepanjang lintasan (single trace record) untuk keperluan pengecekan data dan interpretasi awal. 2.6. Metoda Kemagnetan Bumi Metoda ini digunakan untuk mengetahui dan memetakan variasi intensitas magnet total daerah survei. Alat yang digunakan didasarkan pada prinsip besaran intensitas kemagnetan batuan (sussceptibility) memiliki ketelitian mengukur intesitas medan magnet total sebesar 0.01 gamma. Dengan mengetahui nilai kemagnetan tersebut akan dapat diduga sifat intensitas kemagnetan batuan di daerah penyelidikan yang secara tidak langsung akan dapat memberikan gambaran jenis batuan, hubungan antar batuan, serta keberadaan struktur geologi. Peralatan magnet laut ini berupa 1 (satu) unit Marine Magnetometer Geometrics G-877. Jenis peralatan magnetometer ini memiliki ketelitian mengukur intesitas medan magnet total sebesar 0.01 gamma. 2.7. Metoda Pengambilan Contoh Sedimen Pengambilan contoh sedimen permukaan dasar laut dilakukan di beberapa titik lokasi bersamaan dengan lintasan pengukuran magnet laut dengan menggunakan Gravity corer. Piston yang digunakan sepanjang 4 meter menggunakan slink besar dan piston sepanjang 2 meter menggunakan slink kapal yang berada disamping kapal. Lokasi titik
170

Hanafi

percontohan laut ditentukan pada saat peralatan Gravity corer menyentuh dasar laut dengan memberikan tanda (fix point). Pada gambar 3 memperlihatkan lintasan hasil pengukuran seismik multichannel sepanjang 1500 km, lintasan pengukuran magnet sepanjang 630 km, lintasan pengukuran kedalaman 2130 km dan pengambilan contoh sebanyak 14 lokasi.

Gambar 3. Peta lintasan seismic, magnet dan lokasi pengambilan contoh III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Batimetri Pengukuran kedalaman menggunakan echosounder dual frekuensi dan Sub Bottom Profiling Bathy 2010 dapat menetrasi kedalaman dasar laut sampai lebih kurang 30 meter. Hasil pengukuran kedalaman laut disepanjang lintasan survei pada umumnya menunjukkan kedalaman lebih dari 1500 meter. Peta kontur kedalaman daerah penelitian dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Peta kontur kedalaman


171

Pemetaan Geologi dan Geofisika Kelautan Bersistem Perairan Teluk Tomini, Sulawesi

Kedalaman dangkal terdapat di daerah tengah survei dengan kedalaman 500 meter, sedangkan paling dalam terdapat dibagian timur laut dengan kedalaman 3000 meter lebih. Di tengah daerah survei terdapat pulau Una-una dan pulau-pulau Togian, sehingga kedalaman di sekitar daerah ini tidak terlalu dalam dan berkisar 1200 meter. Pada daerah survei sebelah tenggara, yaitu dibawah selat peleng kedalaman mencapai 1150 meter, sedangkan di selat peleng sendiri kedalaman sekitar 916 meter. 3.2. Seismik Hasil pengolahahan data seismik multichannel dengan menggunakan soft proMAX baru bisa dilakukan pada 1 channel saja atau single channel dan pada beberapa lintasan seismic saja yang dipilih. Pada gambar 5 memperlihatkan rekaman seismik multichannel pada lintasan 2. Pada gambar 5 memperlihatkan penampang lintasan seismik STMN-2 di daerah perairan Banggai sula (selat Peleng) dengan arah barat laut tenggara. Gambar ini menunjukkan adanya cekungan sedimen yang terisi oleh sedikitnya 5 sekuen sedimen. Patahan normal tampak memotong sekuen B hingga sekuen di bawahnya. 3.3. Pengambilan Contoh Sedimen Dasar Laut Hasil pengamatan contoh sedimen di laboratorium basah selengkapnya disajikan pada Tabel 1. Hasil analisa contoh sedimen pada survei ini dibagi dalam 3 kelompok, yaitu sedimen lempung, sedimen lempung pasiran, sedime pasir lempungan dan sedimen pasir. Kelompok sedimen lempung hampir mendominasi pada semua contoh sedimen yaitu GM3-2214-02, GM3-2214-04, GM-3-2214-05 GM3-2115-06, GM-3-2114-09 dan GM-3-2215-12. Kelompok sedimen lempung pasiran terdapat pada lokasi contoh GM3-2214-01, M3-2214-03, GM-3-2114-10 dan GM-3-2215-13. Kelompok sedimen pasir lempungan terdapat pda lokasi contoh GM3-2115-07 dan GM-32215-14 . Kelompok satuan pasir terdapat pada lokasi contoh GM-3-2215-11 dan GM32114-08.
NW

L -STMN-2

SE

Basin

A B C

multiple

multiple

172

Hanafi

Gambar 5. Penampang seismik single channel pada lintasan STMN-2 Tabel 1. Pengamatan contoh sedimen dasar laut
No 1 Tgl/jam (Wita) 26-03-10 11.54 25-03-10 10.37 27-03-10 19.30 26-03-10 22.03 26-03-10 14.27 11-04-10 18:00 12-04-10 05:00 12-04-10 23:15 13-04-10 20:00 14-04-10 05:30 14-04-10 13:00 14-04-10 16:00 14-04-10 20:20 15-04-10 05:30 No Sampel GM-3-102214-01 GM-3-102214-02 GM-3-102214-03 GM-3-102214-04 GM-3-102214-05 GM-3-102115-06 GM-3-102115-07 GM-3-102114-08 GM-3-102115-09 GM-3-102115-10 GM-3-102215-11 GM-3-102215-12 GM-3-102215-13 GM-3-102215-14 Koordinat 1 56 58,34 S 122 37 00,06 E 1 o 36 20,25 S 122 26 04,18 E 1 o 40 55,44 S 122 16 26,76 E 0 o 59 00,00 S 12257 06,34 E 1 o 58 26.50 S 122 20 03,88 E 00 45 09,59 S 1 20 25 32,08 E 00 01 17,41 S 1 20 23 54,63 E 1 13 59,48 S 1 21 04 28,31 E 00 26 16,97 S 121 23 25,01 E 00 3831,96 S 121 48 24,97 E 00 28 57,09 S 122 14 52,53 E 00 22 37,95 S 122 30 27,82 E 00 09 23,33 S 122 18 19,73 E 00 24 19,41 S 122 48 26,07 E
o

Kedlm/ Pjg core 1004 m, 99 cm 692,7 m, 3,63 m 665 m, 35 cm 692,7 m, 2,99 cm 940 m, 2.64 cm 1200 m, 65 cm 1422 m, 34 cm 1370 m, 72 cm 1308 m, 59 cm 1371 m, 34 cm 1306 m, 10 cm 1114 m, 106 cm 882 m, 167 cm 680 m 100 cm

Hasil Top: lempung pasiran, abu-abu terang, mengandung,cangkang kerang Bottom : pasir lanauan-abu gelap, Coring Top Lempung abu-abu-kecoklatan mengandung cangkang Top : lempung abu-abu-kecoklatan, lunak mengandung cangkang. Bottom lempuk ,abu-abu,agak elastis. Coring bottom Lempung abu-abu gelap mengandung Coring top :lempung abu-abu-kecoklatan mengandung cangkang Top: lempung , abu-abu terang, mengandung fragmen tufaa dan cangkang kerang. Bottom: lempung lanauan -abu gelap, Coring Top Lempung abu-abu-kecoklatan . Bottom pasir halus-sedang, abu-abu gelap, lepas, sortasi jelek, fragmen menyudut-membulat tanggung. Top :lempung abu-abu-gelap, lunak mengandung cangkang. Bottom lempung ,abu-abu, Coring bottom Lempung abu-abu gelap mengandung cangkang Coring top :lempung abu-abu-kecoklatan mengandung cangkang Coring top :pasir lempungan , coklat muda mengandung cangkang Coring top :pasir lempungan , coklat muda mengandung cangkang Coring top :pasir lempungan , coklat muda mengandung cangkang Coring top :pasir lempungan , coklat muda mengandung cangkang

2 3

4 5 6

9 10 11 12 13 14

IV. KESIMPULAN Hasil pengukuran kedalaman laut di daerah survei pada umumnya menunjukkan kedalaman lebih dari 1500 meter, daerah ini termasuk daerah survei laut dalam (2000 4000 meter). Kedalaman dangkal terdapat di daerah tengah survei dengan kedalaman 500 meter, sedangkan paling dalam terdapat dibagian timur laut dengan kedalaman 3000 meter lebih. Hasil interpretasi penampang seismik menunjukkan bahwa di perairan teluk Tomini sedikitnya terdapat tiga layer sequen (sequen A ke C) sampai dengan lima layer sequen sedimen (sequen A ke E), dengan kemungkinan komposisi yang terdiri dari gerakan sedimen seperti depresi, turbidites dan sedimen pelagis. Pada perairan Selat Peleng, lima sequen sedimen lebih jelas diidentifikasi (sequen A ke E) menunjukkan channel sub-marine baru-baru ini. Basement menaik di daerah survei juga dapat diinterpretasikan dari penampang seismik, terutama di daerah, Teluk Tomini bagian timur. Di bagian tengah teluk Tomini dekat pulu Una-Una dimana Colo vulkanik saat ini, dan di bagian baratnya dapat juga diidentifikasikan adanya intrusi vulkanik.

173

Pemetaan Geologi dan Geofisika Kelautan Bersistem Perairan Teluk Tomini, Sulawesi

DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2006. Laporan Toponimi Morfologi Dasar Laut Perairan Indonesia (skala 5.000.000). Pusat Penelitian dan Pengambangan Geologi Kelautan. Atlas Geologi dan Potensi Sumber Daya Mineral dan Energi, Kawasan Indonesia, 2003, (Atlas of Geology and Potency of Mineral and Energy Resources Indonesia Region, scale (1:10.000.000), Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung. Folk, R.L. 1980, Petrology of Sedimentary Rocks, Hamphill PublishingCompany Austin, Texas. 170 P. Hamilton, W. 1979. Tectonics of the Indonesian region. U.S.G.S Prof. Paper, 1978, 345 pp. Hartono, N. Cahyo, 1996, Panduan Prosedure Analisa mineral Berat dan Analisa Oles, PPGL, Bandung. Hadiwijoyo, S., D. Sukarna, dan K. Sutisna. 1993. Peta Geologi Lembar Pasang Kayu Sulawesi. Skala 1 : 250.000, Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi. Bandung. Kusnida, D. and Subarsyah, 2008. Deep Sea Sediment Gravity Flow Deposits in Gulf of Tomini, Central Indonesia. Indonesian Journal of Geology, 3(4):217-224. Kusnida, D. (in press). Barium Concentration in Deep Sea Surface Sediments from Tomini Basin: Vertical Distribution and Occurrence. Koesoemadinata, 2006. Potensi Cadangan Minyak dan Gasbumi di Perairan Nusantara, Peringatan Hari Nusantara ke 49, Puslitbang Geologi Kelautan, Bandung, 13 Desember 2006. Mitchum R.M., P.R. Vail, and J.B. Sangre. 1977. Seismic Stratigraphy and Global Changes of Sea Level, In: Paiton, C.E (ed). AAPG, Memoir 26. Payton, C.E. 1977. Seismic Stratigraphy and Global Changes of Sea Level, Seismic Interpretation of Clastic Depositional Facies. Tulsa, Oklahoma, USA, AAPG, Memoir 26. Rusmana, E., Koswara, A., T.O. Simandjutak 1993 Peta Geologi Lembar Luwuk Sulawesi, Skala 1 : 250.000, Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung. Simanjutak, T.O., Surono dan J.B. Supandjono. 1980/1981 Geologi Lembar Poso, Sulawesi, Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung. Sukamto, R. 1973. Peta Geologi Tinjau Lembar Palu, Sulawesi, Skala 1 : 250.000, Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung. Yustinus Suyatno Yuwono, 2004, Pengantar Petrogenesis, Departemen Teknik Geologi ITB.

174

Suwarno dan Dewi

PEMETAAN EKOSISTEM TERUMBU KARANG WILAYAH KEPULAUAN BANGKA BELITUNG DENGAN MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT MAPPING OF CORAL REEF ECOSYSTEM AT BANGKA BELITUNG ISLANDS AREA BY USING LANDSAT IMAGERY Yatin Suwarno dan Ratna Sari Dewi Pusat Survei Sumberdaya Alam Laut Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (BAKOSURTANAL) Jln. Raya Jakarta Bogor KM. 46 Cibinong, Jawa Barat, Tlp/Fax. 021-8759481 email: yatinsuwarno@yahoo.com, dewi.rsd@gmail.com

Abstract Study locations are all marine area of Bangka Belitung Islands Province. The purpose of this research is to identify the area distribution and condition of coral reef ecosystems at the recognize level. This research used "Exponential Attenuation Model", the method developed by Siregar (1995) from Lyzenga equation (1978). Source data used 5 scenes of ETM Landsat from 2005 to 2006, with 60 mx 60 m spatial resolution. From the results of satellite image interpretation of Landsat, we can identify the area and distribution of coral reef ecosystems. Based on the results calculation by using Geographic Information System software of each map sheet number, it is known that the total area of coral reef ecosystem was 41.400.64 hectares, consisting of reef area was 13,960.88 ha (33.72%), seagrass area was 2,048.50 (4.95%), and sand area was 25,391.26 (61.33%). The result of image interpretation was presented into the coral reef ecosystem map on scale 1:250.000. Fringing reefs are often found along the edge of the island, with a poor until moderately conditions. Keywords: mapping, ecosystem, coral reef, landsat imagery Abstrak Lokasi penelitian di seluruh perairan wilayah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Tujuan dari penelitian untuk mengetahui luas dan sebaran serta kondisi ekosistem terumbu karang pada tingkat skala tinjau. Metode yang digunakan berdasarkan Exponential Attenuation Model yang dikembangkan oleh Siregar (1995) dari persamaan Lyzenga (1978). Sumber data dari citra Landsat ETM tahun 2005/2006 sebanyak 5 scene, dengan resolusi (60 m x 60 m). Dari hasil interpretasi citra Landsat, kemudian dilakukan perhitungan luas dengan perangkat Sistem Informasi Geografis pada setiap nomor lembar peta. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa total luas ekosistem terumbu karang di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung adalah 41.400,64 Ha, yang terdiri dari klas karang 13.960,88 Ha (33,72 %), lamun 2.048,50 Ha (4,95%), dan pasir 25.391,26 Ha (61,33%). Hasil akhir penelitian ini disajikan kedalam peta ekosistem terumbu karang skala 1:250.000. Jenis karang adalah karang tepi yang banyak dijumpai di sepanjang tepi pulau, dengan kondisi rusak hingga agak baik. Kata kunci: pemetaan, ekosistem, terumbu karang, citra landsat

I. PENDAHULUAN Terumbu karang merupakan ekosistem khas yang terdapat di wilayah pesisir dan laut daerah tropis yang memiliki produktivitas primer tinggi. Pada dasarnya terumbu karang terbentuk dari endapan-endapan (deposit) kalsium karbonat (CaCO3) yang dihasilkan oleh organisme karang pembentuk terumbu (karang hermatipik) dari filum Cnidaria, ordo Scleractina yang hidup bersimbiosis dengan zooxanthellae, dan sedikit
175

Pemetaan Ekosistem Terumbu Karang Wilayah Kepulauan Bangka Belitung dengan ...

tambahan dari alga berkapur serta organisme lain yang menyekresi kalsium karbonat (Bengen, 2001). Wilayah provinsi Kepulauan Bangka Belitung terdiri dari 2 (dua) pulau besar, yaitu Bangka dan Belitung, serta ratusan pulau kecil disekeliling dan diantara dua pulau besar tersebut. Secara geologis pulau-pulau tersebut tersusun oleh batuan beku yang didominasi oleh granit yang berumur jutaan tahun yang lalu. Selain muncul di permukaan sebagai pulau, batuan granit juga terdapat didasar laut disekitar pulau-pulau tersebut. Sifat batuan granit yang kompak dan keras sangat baik sebagai substrat untuk tumbuhnya terumbu karang. Pada umumnya terumbu karang tumbuh disemua tempat, namun demikian umumnya berkembang baik di pulau-pulau kecil yang jauh dari daratan. Luas Provinsi Kepulauan Bangka Belitung 81.725,14 km2, dimana 65.301 km2 (79,90 %) merupakan wilayah laut. Provinsi Kepulauan Bangka Belitung terdiri dari 470 pulau, yang berada disekitar 2 pulau besar (P. Bangka dan P. Belitung), 50 pulau diantaranya berpenghuni. Daratan dan perairan Bangka Belitung merupakan satu kesatuan dari bagian paparan Sunda (Sunda Shelf) dengan kedalaman laut maksimum berkisar 3040 meter. Keadaan tersebut (diluar faktor2 lain) cocok untuk tumbuh dan berkembangnya ekosistem terumbu karang, diduga persebarannya cukup luas. Untuk mengetahui luas dan sebaran ekosistem terumbu karang dengan cakupan wilayah luas diperlukan pemetaan dengan tingkat skala tinjau. Bangka Belitung identik dengan provinsi timah, saat ini kondisinya sangat memprihatinkan. Penambangan timah yang semula hanya di wilayah daratan (on shore) kemudian merambah ke wilayah perairan laut (off shore). Hal ini tentu saja akan berdampak terhadap ekosistem perairan termasuk ekosistem terumbu karang. Dampak tersebut selain secara langsung merusak terumbu karang yang ada juga menyebabkan kekeruhan perairan yang pada akhirnya akan menimbulkan kerusakan ekosistem.Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui luas dan sebaran serta kondisi ekosistem terumbu karang di wilayah perairan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung berdasarkan sumber data citra Landsat. II. METODE PENELITIAN 2.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan pada tahun 2009, dimana pengambilan data lapangan (survei lapangan) dilaksanakan pada awal Agustus 2009. Lokasi penelitian adalah seluruh perairan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Gambar 1). Adapun titik (stasiun) pengambilan data lapangan seperti pada Gambar 2.

176

Suwarno dan Dewi

Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian di Bangka Belitung.

Gambar 2. Stasiun pengambilan data lapangan. 2.2. Bahan dan Alat Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari: Citra satelit Landsat ETM+ rekaman tahun 2005/2006 sebanyak 5 scene, citra ini memiliki resolusi (60m x 60m) yang digunakan sebagai sumber data utama. Peta Rupabumi Indonesia skala tinjau (skala 1:250.000) sebanyak 7 Nomor Lembar Peta, digunakan untuk menyajikan tema hasil interpretasi citra. Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini: Perangkat keras: personal komputer atau notebook dan printer. Perangkat lunak: ER-Mapper ver. 7.0, ENVI ver. 4,3, ArcView GIS 3.3, Excel dan MSWord 2003. Peralatan lapangan: GPS dan PDA, peralatan selam (diving) dan snorkeling, video dan camera bawah air, serta alat tulis.

a. b.

a. b. c.

177

Pemetaan Ekosistem Terumbu Karang Wilayah Kepulauan Bangka Belitung dengan ...

2.3. Metode Inventarisasi Data Inventarisasi data menggunakan teknologi remote sensing yaitu Exponential Attenuation Model berdasarkan persamaan Lyzenga (1978), yang alur pekerjaannya seperti pada Gambar 3. Adapun urut-urutan pekerjaan adalah sebagai berikut: a. Koreksi Radiometrik dan Geometrik. Koreksi radiometrik menggunakan metode penyesuaian histogram, yaitu dengan cara mengurangi nilai digital number citra asli masing-masing saluran tunggal dengan nilai bias yang ada pada masing-masing citra tersebut. Koreksi geometrik dengan proses rektifikasi citra transformasi polinomial dengan menggunakan peta rupabumi skala 1:250.000. Selanjutnya, untuk mengembalikan nilai piksel yang mengalami transformasi digunakan metode interpolasi nearest neighbour. b. Komposit warna band yang digunakan untuk indentifikasi ekosistem terumbu karang adalah band yang bekerja pada panjang gelombang merah (R), hijau (G), dan biru (B), yang tersusun dalam komposit warna asli (true colour composite). c. Penajaman citra, dilakukan dengan perentangan linier guna mempertajam kenampakan obyek tertentu yang terwakili dalam histogram. d. Pemilihan training area sebanyak 30 region, menggunakan citra true colour composite (RGB) yang telah dipertajam dengan perentangan linier. e. Hasil training area dicari ragam (varian) dan peragam (covarian) dari band biru dan band hijau. Metode ini dikembangkan oleh Siregar (1995) yang didasarkan pada persamaan Lyzenga (1978) yaitu Exponential Attenuation Model. Formula untuk transformasi Lyzenga adalah Y = (ln Band1) + (ki/kj*ln Band2), dimana ki/kj = koefisien attenuasi f. Slicing area pada histogram, dari histogram yang dihasilkan dapat dilihat bukit-bukit pada histogram yang dapat diasumsikan sebagai obyek-obyek yang berbeda yang memiliki julat nilai piksel yang berbeda-beda. g. Klasifikasi ekosistem terumbu karang, dengan menggunakan kasifikasi tak terselia (unsupervised classification) dengan jumlah kelas disesuaikan dengan jumlah pemilahan kelas obyek pada saat slicing tersebut di atas.

178

Suwarno dan Dewi

Citra Landsat 2005/2006

Pra Pengolahan Citra: - Koreksi Radiometrik & Geometrik - Komposit Warna - Penajaman Citra

Pengolahan Citra: - Training Area - Transformasi Lyzenga - Slicing Area - Klasifikasi Ekosistem Terumbu Karang

Konversi ke Format Vektor

Peta RBI 1:250.000

Survei Lapangan

Peta Ekosistem Terumbu Karang

Gambar 3. Bagan Alir Inventarisasi Terumbu Karang

III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Sebaran Ekosistem Terumbu Karang Sebaran ekosistem terumbu karang diperoleh dari hasil interpretasi citra Landsat ETM tahun 2005 (Path/Row: 123/61, 124/61) dan Tahun 2006 (Path/Row:122/62, 123/62, 124/62). Hasil interpretasi tersebut disajikan dalam peta ekosistem terumbu karang skala 1:250.000 (Gambar 4). Dalam peta skala ini memberikan informasi bahwa 1cm dalam peta = 2,5 km di lapangan (1 mm peta = 250 m lapangan), artinya luasan ekosistem kurang dari (250 x 250 ) m2 digeneralisir dan tidak nampak di peta. Dari hasil perhitungan luas dengan GIS (sofware ArcView) pada masing-masing nomor lembar peta diperoleh hasil sebagaimana berikut: karang (13.960,88 Ha), lamun (2.048,50 Ha) dan pasir (25.391,26 Ha). Perbandingan prosentase masing-masing klas ekosistem terumbu karang disajikan dalam diagram lingkaran (Gambar 5).

179

Pemetaan Ekosistem Terumbu Karang Wilayah Kepulauan Bangka Belitung dengan ...

Gambar 4. Peta Sebaran Terumbu Karang dari Hasil Hasil Interpretasi Citra di Perairan Pulau Bangka Provinsi Bangka Belitung tahun 2002 (atas) dan tahun 2005 (bawah).

180

Suwarno dan Dewi

Prosentase EkosistemTerum bu Karang Tahun 2006

Karang 33,72% Pasir 61,33%

Lam un 4,95%

Gambar 5. Prosentase ekosistem terumbu karang. Sebaran ekosistem terumbu karang di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung adalah sebagai berikut: 3.1.1. Klas Karang Di wilayah Kabupaten Bangka Selatan banyak dijumpai di sekitar Pulau Burung, Pulau Ibul, Pulau Seniur, Pulau Kelapan, dan pulau Liat dengan kondisi cukup bagus. Adapun di daerah-daerah yang dekat dengan daratan seperti P. Panjang, P. Anakaair, dan P. Tinggi sudah tidak bagus karena pelumpuran akibat penambangan timah sangat tinggi. Pada umumnya karang dijumpai sebagai karang tepian (fringing reef) disepanjang pantai atau ditepian pulau-pulau. Di wilayah Kabupaten Bangka Tengah banyak dijumpai di sekitar Pulau Gosongasam, Pulau Pebuar, Pulau Ketawi, dan Pulau Panjang dengan kondisi cukup bagus. Pada umumnya karang dijumpai sebagai karang tepian (fringing reef) disepanjang pantai atau ditepian pulau-pulau. Di wilayah Kabupaten Bangka banyak dijumpai di sekitar Tanjung Penyusuk dengan kondisi cukup bagus. Pada umumnya karang dijumpai sebagai karang tepian (fringing reef) disepanjang pantai atau ditepian pulau-pulau. Di wilayah Kabupaten Bangka Barat banyak terdapat di sepanjang pantai barat dengan kondisi cukup bagus, namun dibeberapa lokasi pantai selatan kondisiny sudah banyak yang rusak/mati. Pada umumnya karang dijumpai sebagai karang tepian (fringing reef) disepanjang pantai atau ditepian pulau-pulau. Di wilayah Kabupaten Belitung Timur banyak dijumpai di sekitar Pulau Bukulimau, Pulau Mempirak, Pulau Bukau, Pulau Maranai, Pulau Telagapahat, Pulau Nagka, dan Pulau Karangraya dengan kondisi cukup bagus. Pada umumnya karang dijumpai sebagai karang tepian (fringing reef) disepanjang pantai atau ditepian pulau-pulau. Di wilayah Kabupaten Belitung banyak dijumpai di sekitar Pulau Mandanau dan Pulau Naduk dengan kondisi bagus. Pada umumnya karang dijumpai sebagai karang tepian (fringing reef) disepanjang pantai atau ditepian pulau-pulau. 3.1.2. Klas Pasir Di wilayah sekitar Pulau Bangka pasir hasil rombakan batukarang tersebar luas dan merata, biasanya berada diantara karang pada laut yang dangkal. Di wilayah sekitar Pulau
181

Pemetaan Ekosistem Terumbu Karang Wilayah Kepulauan Bangka Belitung dengan ...

Belitung pasir banyak dijumpai diantara karang sebagai hasil rombakan batukarang, tersebar luas dan merata biasanya berada diantara karang pada laut yang dangkal. 3.1.3. Klas Lamun Di sekitar Pulau Bangka lamun banyak tumbuh pada substrat pasir hasil rombakan batukarang, umumnya dijumpai pada laut dangkal dengan kedalaman kurang dari 10 meter. Di sekitar Pulau Belitung lamun banyak tumbuh pada substrat pasir hasil rombakan batukarang, banyak terdapat dibagian timur dimana pelumpuran masih rendah. 3.2. Pengamatan Lapangan Terumbu Karang Pengamatan Fisik terumbu karang dilakukan di beberapa titik lokasi setiap wilayah kabupaten di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Gambar 4). Cara pengamatan melalui penyelaman (diving) maupun snorkeling, dengan menggunakan metode RRA (Rapid Rare Assesment) maupun LIT (Line Intercept Transect). Hasil pengamatan terumbu karang disajikan dalam Tabel 1, Tabel 2 dan Tabel 3. Tabel 1. Pengamatan Lapangan Fisik Terumbu Karang. Lokasi Bangka Selatan - Pulau Panjang Bangka Tengah: - Gosong Asam Bangka Barat: - Tanjungbesayap Bangka: -Tanjung Penyusuk Bangka Tengah Belitung Timur: - P. Buku Limau Koordinat 02 58' 54.3" LS, 106 41' 69.3"BT 02 15' 07.11" LS, 106 20' 42.2"BT 02 15' 08.02" LS, 106 20' 47" BT 01 59' 01.53" LS, 105 06' 17.7"BT 01 16' 20.2" LS, 124 24' 52.3" BT Metode RRA RRA RRA RRA RRA RRA RRA RRA RRA Kondisi Kurang baik Cukup baik Cukup baik Kurang baik Cukup baik Cukup baik Cukup baik Cukup baik Cukup baik

- P. Siadung Belitung: - P. Mandanau 02 55' 25.6" LS, 107 28' 13.9" BT RRA = Rapid Reef Apraisal LIT = Line Intercept Transect

02 48' 51" LS, 108 24' 01.4" BT 02 48' 23.8" LS, 108 23' 57.6" BT 02 48' 25.6" LS, 108 24' 12.6" BT 02 47' 21.9" LS, 108 24' 37.2" BT

LIT

Cukup baik

182

Suwarno dan Dewi

Tabel 2. Pengamatan Lapangan Terumbu Karang Metode RRA di Pulau Bangka.


STASIUN Gosong Asam Bangka Tengah S 0215'07.11" S 0215'08.2" E 10620'42.2" E 10620'47" 30% 22% 30% 10% 10% 40% 15% 10% Tg. Penyusuk Bangka S 0116'20.2" E 12424'52.3" 35% 25% 5% 27%

NO

BENTUK SUBSTRAT

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22

ACROPORA NON ACROPORA DC DCA ABIOTIK : SI R S ALGAE : AA CA HA TA MA OT : SP SC ZO TRIPANG MOLUSCA ANEMON GORGINIA RCK LINCKIA LAEVIGATA BULU BABI JUMLAH

5%

10%

5%

2%

2%

2%

1%

8% 100%

6% 100%

100%

Keterangan: DC = Dead Seleractina (karang mati) DCA = Karang mati yang ditutupi alga SI = Silt (lumpur) R = rubble (pecahan karang mati) S = sand (pasir) AA = algae assemblage (kumpulan alga) CA = corraline algae (alga koralin)

HA = Halimeda (alga dari marga Halimeda) TA = turf algae (alga rumput) MA = macro algae (alga makro) SP = sponges (sepon) SC = soft coral (karang lunak) ZO = zoanthids OT = Others (lain-lain) RCK = batuan vulkanik

183

Pemetaan Ekosistem Terumbu Karang Wilayah Kepulauan Bangka Belitung dengan ...

Tabel 3. Pengamatan Lapangan Terumbu Karang Metode RRA di Pulau Belitung


NO BENTUK SUBSTRAT STASIUN P. Buku Limau P. Siadung Belitung Timur S 0248'51" S 0248'23.8" S 0248'25.6" S 0247'21.9" E 10824'01.4" E 10823'57.6" E 10824'12.6" E 10824'37.2" 28% 10% 10% 10% 10% 60% 1% 59% 1% 5% 4% 10% 12% 15% 9% 10% 20% 40% 5% 13%

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22

ACROPORA NON ACROPORA DC DCA ABIOTIK : SI R S ALGAE : AA CA HA TA MA OT : SP SC ZO TRIPANG MOLUSCA ANEMON GORGINIA RCK LINCKIA LAEVIGATA BULU BABI JUMLAH

10%

10%

5% 5%

11%

5%

5%

5%

3%

4% 100%

2% 100%

100%

3% 100%

Keterangan: DC = Dead Seleractina (karang mati) DCA = Karang mati yang ditutupi alga SI = Silt (lumpur) R = rubble (pecahan karang mati) S = sand (pasir) AA = algae assemblage (kumpulan alga) CA = corraline algae (alga koralin)

HA = Halimeda (alga dari marga Halimeda) TA = turf algae (alga rumput) MA = macro algae (alga makro) SP = sponges (sepon) SC = soft coral (karang lunak) ZO = zoanthids OT = Others (lain-lain) RCK = batuan vulkanik

IV. KESIMPULAN DAN SARAN 4.1. Kesimpulan Total luas karang di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung adalah 41.400,64 Ha, yang terdiri dari klas karang 13.960,88 Ha, klas lamun 2.048,50 Ha, dan klas pasir 25.391,26 Ha. Dari pengamatan fisik di lapangan, secara umum untuk wilayah yang jauh dari daratan kondisinya cukup baik, sedangkan untuk wilayah yang dekat daratan kurang baik. Hal ini diduga karena kualitas perairan yang menurun akibat penambangan timah di laut yang cukup banyak. Jenis biota berdasarkan hasil pengamatan lapangan terdiri dari Acropora, Seleractina, Halimeda, Algae, dan Sponge.

184

Suwarno dan Dewi

4.2. Saran Ekosistem terumbu karang sudah mengalami degradasi, baik luasannya maupun kualitasnya. Dalam jangka panjang, dampak degradasi tersebut akan berpengaruh signifikan terhadap penurunan nilai ekonominya. Untuk itu kepada pemerintah daerah setempat dan pihak-pihak yang berkepentingan disarankan untuk mengelolanya dengan baik. DAFTAR PUSTAKA Fauzi, A. 2004. Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan. Teori dan Aplikasi. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 259 hal. Lyzenga, R.D. 1985. Shallow Water Bathymetri using Combined Lidar and Passive Multispectral Scanner Data. Int. Journal of Remote Sensing, 6:1115-125. Muller, K. 1999. Diving Indonesia: A Guide to the Worlds Greatest Diving. Periplus Edition. Singapore. 332 p. Nybakken, J.W. 1988. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. Diterjemahkan Oleh M. Eidman, D.G.Bengen, Koesoebiono, M. Hutomo dan S. Sukarjo. Gramedia. Jakarta. 410 Hal. PKSPL-IPB. 2002. Kajian Metode Neraca Biotik dan Pengembangan Metode Valuasi Ekonomi Sumberdaya Alam Laut. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Sisca Dewi, E. 2006. Analisis Ekonomi Manfaat Ekonomi Terumbu Karang di Pulau Ternate Provinsi Maluku Utara. Thesis. Sekolah ascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Siregar, V.P. 1995. Pemetaan Terumbu Karang dengan Menggunakan Kombinasi Citra Satelit SPOT-1 Kanal XS1 dan XS2 Aplikasi pada Karang Congkak dan Karang Lebar di Kepulauan Seribu Jakarta Utara. Zaelany, A.A. 2003. Implementasi Strategi Adaptasi Nelayan Bom Ikan dan Dampaknya Terhadap Terumbu Karang: Kasus Pulau Karang, Propinsi Sulawesi Selatan. Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.

185

Pola Spasial Kedalaman Perairan di Teluk Bungus, Kota padang POLA SPASIAL KEDALAMAN PERAIRAN DI TELUK BUNGUS, KOTA PADANG SPATIAL PATTERN OF BATHYMETRY IN BUNGUS BAY, PADANG CITY Yulius, H. Prihatno dan I. R. Suhelmi Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumberdaya Nonhayati BRKP-DKP. Jl. Pasir Putih I Ancol Timur-Jakarta 14430, Telp (021) 64711583, E-mail: chani_ok@yahoo.com dan yulius_wilnon@dkp.go.id
Abstract Bungus Bay has potential natural resources with strategic position near the capital of West Sumatra Province. The study aims to define bathymetry along the bay using Geographic Information System (GIS) technique. The method used in this study was spatial analysis tools in GIS. The result showed that bathymetry at Bungus Bay area can be divided into seven classes i.e.,(1) 0-5 meter with area of 311,06 hectare, (2) 5-10 meter with area of 70,98 hectare, (3) 1015 meter with area of 108,80 hectare, (4) 15-20 meter with area of 252.18 hectare, (5) 20-25 meter with area of 435.42 hectare, (6) 25-30 meter with area of 193.93 hectare, and (7) 30-35 meter with area of 11.67 hectare. Keywords: Geographic Information System (GIS), bathymetry, Bungus Bay Abstrak Teluk Bungus memiliki sumberdaya alam yang sangat potensial dengan posisinya yang sangat strategis dekat dengan ibukota provinsi Sumatera Barat. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan kedalaman perairan dengan menggunakan Sistem Informasi Geografis (SIG). Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis spasial. Berdasarkan hasil analisis secara spasial, diperoleh bahwa untuk kedalaman perairan pada daerah penelitian dapat dibagi menjadi tujuh kelas, yaitu: (1) 0-5 meter dengan areal seluas 311,06 hektar, (2) 5-10 meter dengan areal seluas 70,98 hektar, (3) 10-15 meter dengan areal seluas 108,80 hektar, (4) 15-20 meter dengan areal seluas 252.18 hektar, (5) 20-25 meter dengan areal seluas 435.42 hektar, (6) 25-30 meter dengan areal seluas 193.93 hektar, (7) 30-35 meter dengan areal seluas 11.67 hektar. Kata Kunci: Sistem Informasi Geografis (SIG), kedalaman perairan, Teluk Bungus

I. PENDAHULUAN Teluk Bungus memiliki sumberdaya alam yang sangat potensial dengan posisinya yang sangat strategis dekat dengan ibukota provinsi Sumatera Barat. Teluk ini memiliki panjang garis pantai 21.050 meter dan panjang teluk 5.418 meter, volume 223.255.052,2 m3, memiliki bentuk permukaan yang cenderung membulat dan luas permukaannya 1383,86 Ha (Kusumah, 2008). Teluk ini termasuk dalam Kecamatan Bungus Teluk Kabung dan merupakan salah satu kecamatan pesisir di wilayah selatan Kota Padang dengan luas 100,78 km2 dan jumlah penduduk 23.400 jiwa (BPS, 2006). Secara astronomis kecamatan ini berada pada posisi 0100121 0100502 Lintang Selatan (LS) dan 100o2158 10002636 Bujur Timur (BT) dan terletak di bagian barat pantai Pulau Sumatera. Kecamatan Bungus Teluk Kabung berada pada ketinggian rata-rata sekitar 0-5 m dpl untuk daerah pesisir, dan < 850 m untuk daerah perbukitan. Temperatur berkisar antara 22,5C 31,5C dan curah hujan 314,47 mm/bulan.
186

Yulius et al.

Secara geografis berbatasan langsung dengan : sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Lubuk Begalung dan Kecamatan Lubuk Kilangan, Kota Padang, sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Pesisir Selatan, sebelah barat berbatasan dengan Pantai Barat Sumatera atau Samudera Hindia, dan sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Lubuk Kilangan, Kota Padang dan Kabupaten Pesisir Selatan. Secara administratif Kecamatan Bungus Teluk Kabung memiliki 6 (enam) kelurahan, yaitu: Teluk Kabung Selatan, Bungus Selatan, Teluk Kabung Tengah, Teluk Kabung Utara, Bungus Timur dan Bungus Barat. Sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Padang Tahun 20042013 Kecamatan Bungus Teluk Kabung merupakan daerah yang termasuk pada Sentra Pertumbuhan Selatan Kota Padang. Kawasan yang memiliki potensi sumberdaya pesisir dan laut ini direncanakan sebagai kawasan andalan pengembangan industri maritim, wisata bahari, dan daerah perlindungan (Pemerintah Kota Padang 2004). Teluk Bungus merupakan wilayah yang cukup memiliki keanekaragaman pemanfaatan laut terutama pesisirnya. Keanekaragaman itu terlihat dari adanya kawasan pelabuhan, industri, permukiman, perkebunan, wisata serta kawasan konservasi. Secara langsung maupun tidak langsung, jenis kegiatan yang berada di wilayah ini telah merubah karakteristik pantainya, disamping perubahan yang diakibatkan oleh dinamika alami pesisir. Pemetaan batimetri merupakan hasil kegiatan pengumpulan data melalui metoda penginderaan atau rekaman dari permukaan dasar perairan. Data tersebut kemudian diolah (processing) untuk menghasilkan profil-profil (relief) dasar laut dengan jumlah yang cukup banyak sehingga dapat digambarkan kontur garis-garis kedalaman. Peta batimetri selama ini digunakan untuk beberapa keperluan antara lain untuk kegiatan penentuan batas wilayah, studi ilmiah kelautan, pengembangan kawasan untuk budidaya perairan, wisata bahari, keselamatan pelayaran, eksplorasi sumberdaya laut dan dasar laut, rekayasa pantai, pemodelan laut, penentuan alur pelayaran dan pelabuhan, dan lain sebagainya. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh data berupa peta bathimetri dengan skala 1 ; 50000 beserta luasanya dalam satuan hektar dengan menggunakan metode Sistem Informasi Geografis (SIG) yang nantinya akan mendukung pemanfaatan Teluk Bungus baik untuk pusat informasi kelautan, laboratorium kelautan, aktifitas pelabuhan, penangkapan dan/atau budidaya ikan maupun pemanfaatan lainnya. II. METODE PENELITIAN 2.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Teluk Bungus, wilayah pesisir barat Kecamatan Bungus Teluk Kabung, selatan Kota Padang, Provinsi Sumatera Barat (Gambar 1). Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli sampai Agustus 2008.

187

Pola Spasial Kedalaman Perairan di Teluk Bungus, Kota padang

Gambar 1. Peta lokasi penelitian (lingkaran merah). Pekerjaan survey batimetri dilaksanakan di wilayah Teluk Bungus, Kotamadya Padang, Provinsi Sumatera Barat. Survei ini dilaksanakan dengan perkiraan luas keseluruhan daerah survey 25 km2. Area tersebut dapat dilihat pada gambar 2.

Gambar 2. Lokasi pemeruman

188

Yulius et al.

2.2. Bahan dan Alat Penelitian Bahan dan alat penelitian yang digunakan yaitu; alat ukur kedalaman echosounder dan alat penentu posisi batimetri seperti alat optis, EDM, dan GPS. Teknis pelaksanaan batimetri sudah menggunakan computer dengan perangkat lunak (software) yang sudah mengintegrasikan peralatan pengukur kedalaman dengan pengukur posisi.. 2.3. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan pada survei Teluk Bungus adalah metode pengukuran kedalaman dengan metode Akustik dan penentuan posisi dengan GPS secara kinematik absolut. Jauhnya titik referensi bench mark dengan lokasi penelitian membuat metode kinematik absolut ini dilakukan. Posisi geografis yang didapat merupakan posisi dengan datum standar yang disepakati secara internasional sebagai datum untuk sistem referensi horisontal yaitu WGS-1984. Konsep dasar penentuan posisi dengan GPS adalah Reseksi (pengikatan ke belakang) dengan jarak, yaitu dengan pengukuran jarak secara simultan ke beberapa satelit GPS yang koordinatnya telah diketahui sedangkan metode akustik merupakan metode pengukuran kedalaman laut dengan menggunakan gelombang akustik berfrekuensi baik frekuensi tinggi ataupun rendah. Pada prinsipnya pengukuran kedalaman laut adalah pengukuran jarak dengan memanfaatkan gelombang akustik yang dipancarkan dari tranduser. Tranduser adalah bagian dari alat perum gema yang mengubah energi listrik menjadi mekanik (untuk membangkitkan gelombang suara) atau sebaliknya dari mekanik menjadi energi listrik. Gelombang akustik tersebut merambat pada medium air dengan cepat rambat yang relatif diketahui atau dapat diprediksi hingga menyentuh dasar perairan dan dipantulkan kembali ke tranduser. Perum gema menghitung selang waktu sejak gelombang dipancarkan dan diterima kembali (t). d v t du = kedalaman hasil ukuran dan v = kecepatan gelombang akustik pada medium air. Hasil pengukuran kedalaman akan direkam dan ditampilkan secara digital dan disebut garis fix atau fix mark. Fix mark menunjukan posisi dan kedalaman ditiap poin lintasan serta waktu perekaman data yang nantinya disinkronisasikan dengan koreksi pasang surut. III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Hasil Dari kegiatan penelitian yang telah dilakukan untuk mengetahui profil kedalaman laut teluk Bungus didapatkan hasil pemeruman sebagai berikut : a. Section 1 dengan 25 lintasan lajur utama dan 2 lajur silang, spasi antar lajur 50 meter b. Section 2 dengan 23 lintasan lajur utama dan 2 lajur silang, spasi antar lajur 200 meter
189

Pola Spasial Kedalaman Perairan di Teluk Bungus, Kota padang Pada pelaksanaan kegiatan survei, satelit yang diterima dari alat positioning dalam hal ini GPS 168 Sounder Garmin cukup banyak, sehingga akurasi untuk posisi saat pelaksanaan survei cukup tinggi yaitu berkisar antara 7 sampai 4 meter dengan 10 - 18 satelit, sedangkan untuk kecepatan rata - rata long boat yang dipakai adalah 6 knot, dengan kedalaman minimum yang di rekam 2 meter. Untuk koreksi nilai kedalaman dilakukan pengamatan pasang surut dengan menggunakan instrument tide gauge dengan durasi perekaman tiap 30 menit. Dari pengamatan dan perekaman instrumen tersebut akan didapat Duduk Tengah, Muka Surutan (Zo) dan grafik tinggi pasang surut selama 15 piantan serta karakteristik pasang surut teluk Bungus. 3.2. Pembahasan Berdasarkan data yang didapat di lapangan kemudian diolah serta dimasukan dalam proses pengolahan interpolasi, maka secara interpolasi kasar akan dihasilkan beberapa model visual baik dalam 2 dimensi ataupun 3 dimensi. Untuk tampilan 2 dimensi, akan didapat garis-garis kontur kedalaman pada bujur dan lintang yang telah direkam, sedangkan untuk tampilan dalam tiga dimensi secara perspektif dengan gradient warna kedalaman biru dapat dilihat pada gambar 3. Substrat dasar teluk Bungus berupa Lumpur dan pasir yang berasal dari beberapa sungai yang bermuara di teluk Bungus tersebut. Sebagai informasi untuk pelayaran, bahwa teluk Bungus sangat aman bagi pelayaran dan daerah berbahaya bagi perahu besar maupun kecil yang akan melintas tersebut cuma didaerah perairan depan tanjung, namun daerah tersebut telah di pasang rambu.

Gambar 3. Peta kedalaman tiga dimensi Teluk Bungus

190

Yulius et al.

Bila dilihat dari gambaran profil dasar tiga dimensi diatas, dapat disampaikan bahwa perairan teluk Bungus sangat memungkinkan untuk dijadikan alur pelayaran nasional bagi kapal kapal besar baik itu kapal penumpang ataupun kapal barang, hal ini didasarkan karena tingkat pendangkalan perairan tidak begitu besar, selain itu perairan teluk Bungus relatif tenang karena terlindung tanjung di sisi-sisi mulut teluknya. 3.2.1. Kedalaman Perairan (Batimetri) Perairan Teluk Bungus yang memiliki luas 1.384 hektar mempunyai kedalaman hingga 35 meter. Kondisi topografi dasar laut pada daerah perairan dekat pantai dari landai secara berangsur-angsur berubah menjadi terjal. Selanjutnya topografi dasar laut hingga ke mulut teluk perubahan kedalaman terjadi secara gradual dengan kondisi topografi landai. Berdasarkan parameter kedalaman perairan (batimetri) pada daerah penelitian, meliputi: 0-5 m, 5-10 m, 10-15 m, 15-20 m, 20-25 m, 25-30 m, dan 30-35 m seperti ditunjukan pada Gambar 5. Daerah penelitian merupakan kawasan pesisir. Berdasarkan hasil analisis secara spasial, diperoleh bahwa untuk kedalaman perairan pada daerah penelitian dapat dibagi menjadi tujuh kelas, yaitu: (1) 0-5 meter dengan areal seluas 311,06 hektar, (2) 5-10 meter dengan areal seluas 70,98 hektar, (3) 10-15 meter dengan areal seluas 108,80 hektar, (4) 15-20 meter dengan areal seluas 252.18 hektar, (5) 20-25 meter dengan areal seluas 435.42 hektar, (6) 25-30 meter dengan areal seluas 193.93 hektar, (7) 30-35 meter dengan areal seluas 11.67 hektar, seperti ditunjukan pada Tabel 1. Peta sebaran secara spasial kelas untuk kedalaman perairan (batimetri) dapat dilihat pada Gambar 5. Tabel 1 Luas areal kedalaman perairan (batimetri) No 1 2 3 4 5 6 7 Kedalaman Perairan/ Batimetri (m) 0-5 5-10 10-15 15-20 20-25 25-30 30-35 Luas Keseluruhan Luas (ha) 311,06 70,98 108,80 252,18 435,42 193,93 11,67 1.384,04

Dilihat dari Gambar 4 peta kedalaman perairan (batimetri) Teluk Bungus terlihat bahwa profil dasar laut Teluk Bungus merupakan perairan dangkal. Kedalaman perairan dari mulut teluk hingga ke dalam teluk berkisar antara 30-5 meter. Bagian terdalam berada pada mulut teluk dengan kedalaman maksimum 30 meter. Untuk bagian dalam teluk, profil dasar berangsur meningkat dari kedalaman 20 meter hingga 5 meter, kondisi dasar laut cenderung datar. Daerah tepi disekitar mulut teluk merupakan daerah slope dengan kedalaman berawal dari 2 meter langsung curam hingga 15 meter dan jarak dari garis pantai cukup dekat yaitu antara 2-5 meter.

191

Pola Spasial Kedalaman Perairan di Teluk Bungus, Kota padang

Gambar 4. Peta kedalaman perairan (batimetri) Teluk Bungus IV. KESIMPULAN DAN SARAN 4.1. Kesimpulan Teluk Bungus merupakan perairan dangkal dengan kedalaman maksimum 30 meter. Profil dasar teluk Bungus memiliki profil yang cukup landai/merata dengan sedimen dasar perairan berupa pasir dan lumpur, akibatnya terjadi proses sedimentasi yang sangat tinggi di sekitar depan Muara Sungai Bungus yang mengakibatkan terbentuknya pulau delta hasil proses sedimentasi yang membawa material dari daratan. Berdasarkan hasil analisis secara spasial, diperoleh bahwa untuk kedalaman perairan pada daerah penelitian dapat dibagi menjadi tujuh kelas, yaitu: (1) 0-5 meter dengan areal seluas 311,06 hektar, (2) 5-10 meter dengan areal seluas 70,98 hektar, (3) 10-15 meter dengan areal seluas 108,80 hektar, (4) 15-20 meter dengan areal seluas 252.18 hektar, (5) 20-25 meter dengan areal seluas 435.42 hektar, (6) 25-30 meter dengan areal seluas 193.93 hektar, (7) 30-35 meter dengan areal seluas 11.67 hektar. Kedalaman

192

Yulius et al.

perairan pada daerah perairan Teluk Bungus semakin jauh dari garis pantai dari landai secara berangsur-angsur berubah menjadi terjal/dalam. 4.2. Saran Penelitian lebih lanjut dengan skala lebih detail sangat diharapkan untuk dilakukan di perairan teluk Bungus, terutama melakukan kegiatan pemaritan sangat disarankan agar tingkat keselamatan pelayaran di teluk Bungus lebih terjamin. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih kepada Badan Riset Kelautan dan Perikanan, DKP atas bantuan dana untuk menyelesaikan penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA [BPS] Badan Pusat Statistik. 2006. Monografi Kecamatan Bungus Teluk Kabung. Padang: BPS Kota Padang. Djunarsjah, E. 2001. Standart Survei (baru) dalam Survei Hidrografi (SP-44 IHO Edisi ke 4 tahun 1998. forum ilmiah tahunan ISI. Surabaya. ESRI. 1990. Understanding GIS: The Arc/Info Method Envoronmental System Research Institute. Redlands, CA. United State. Gafoer, S., 1992. Peta Geologi Lembar Padang, 1:250 000, Puslitbang Geologi, ESDM [Janhidros] Jawatan Hidro-oseanografi TNI-AL (1999). Peta Kedalaman Perairan Teluk Bungus. Jakarta: Jawatan Hidro-oseanografi TNI-AL. [Janhidros] Jawatan Hidro-oseanografi TNI-AL 1983. Standart Ketelitian Survei Hidrografi, Jawatan Hidro-oseanografi TNI-AL. Jakarta. Kusumah, G. Dan H. Salim. 2008. Kondisi Morfometri dan Morfologi Teluk Bungus Padang. Jurnal Segara, 4(2):101-110. Pemerintah Kota Padang. 2004. Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)Kota Padang Tahun 2004-2013. Padang: Bappeda, Pemkot Padang. [PRWLSDNH] Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumberdaya Nonhayati. 2006. Laporan Akhir Inventarisasi Sumberdaya Kelautan Teluk Bungus. Jakarta: Tim Pelaksana Kegiatan PRWLSDNH, BRKP, DKP, tidak dipublikasikan. Poerbandono, Djunarsjah E. 2005. Survei Hidrografi. PT. Refika Aditama, Bandung. Pusat Sistem Jaringan dan Standardisasi Data Spasial, Bakosurtanal 2006 Survei Hidrografi menggunakan Singlebeam Echosounder. Bahan Rapat Prakonsensus I RSNI Survei Hidrografi. Bakosurtanal. Bogor.

193

Analisa Spasial Tingkat Kerusakan Terumbu Karang Terhadap Lokasi Permukiman ...

ANALISA SPASIAL TINGKAT KERUSAKAN TERUMBU KARANG TERHADAP LOKASI PERMUKIMAN DI MENUI KEPULAUAN, KABUPATEN MOROWALI SPATIAL ANALYST OF CORAL REEF DESTRUCTION WITH SETTLEMENT LOCATION IN MENUI ISLANDS, MOROWALI REGENCY Yoniar Hufan Ramadhani1 dan Anggoro Cahyo Fitrianto2 Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (BAKOSURTANAL) Jl. Raya Jakarta Bogor Km. 46, Cibinong, Bogor; yoniarhufan@yahoo.com
Abstract Development in some region often sacrificing existing ecosystems, including coastal and marine environment that are vulnerable from environmental changes. Coral reef ecosystem is one of marine ecosystems that is vulnerable from human activities. High human activity in the coastal environment often causes damage to the ecosystem. Distance from a settlement with high human activities can cause coral reefs destruction directly or indirectly. A research on spatial analyes of coral reef destruction in relation to settlement location was done to determine the impact of the existence settlements on coral reefs destruction. The research was conducted in May-June 2010 in Menui Islands, Morowali Regency, Central Sulawesi Province. The density of the coral reef was estimated using Line Intercept Transect (LIT) method and spatial analysis using ALOS satellite imagery AVNIR-2. The results showed that coral reefs destruction was less near to the residential area than that to farther location. Based on spatial analyses, coral reefs located adjacent to the residential location had higher living coral density (lower destruction) than that lcoated farther.The less destruction at farther location from residential area was probably due to the fact that less surveillance or protection from community and related agency for illegal fishing activities. Keywords: Spatial analysis, Settlement, Coral Reef Abstrak Pembangunan di suatu wilayah seringkali mengorbankan ekosistem yang ada, termasuk lingkungan pesisir dan laut yang rentan terhadap perubahan lingkungan. Ekosistem terumbu karang merupakan salah satu ekosistem laut yang rentan terhadap aktivitas manusia. Adanya aktifitas manusia yang tinggi di lingkungan pesisir seringkali menyebabkan kerusakan ekosistem tersebut. Jauh tidaknya suatu permukiman dengan aktifitas manusia didalamnya dapat memberikan dampak secara langsung maupun tidak langsung terhadap kerusakan terumbu karang. Penelitian mengenai hubungan kerusakan ekosistem terumbu karang terhadap lokasi permukiman perlu dilakukan sehingga dapat dilakukan tindakan preventif untuk menjaga kelestarian ekosistem terumbu karang di daerah tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui seberapa besar pengaruh keberadaan permukiman terhadap kerusakan terumbu karang dengan analisis spasial. Penelitian dilaksanakan pada bulan MeiJuni 2010 di Menui Kepulauan, Kab. Morowali, Provinsi Sulawesi Tengah. Survei kerapatan terumbu karang menggunakan metode Line Intercept Transect (LIT) dan analisa spasial menggunakan citra satelit ALOS AVNIR-2 tahun 2009. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kerusakan karang di daerah Menui Kepulauan terjadi di beberapa titik lokasi pengambilan sampel. Berdasarkan analisis spasial diperoleh bahwa terumbu karang yang terletak berdekatan dengan lokasi permukiman memiliki kerapatan karang hidup yang lebih tinggi (tingkat kerusakan karang rendah) sedangkan terumbu karang yang berada lebih jauh dari permukiman memiliki kerusakan lebih tinggi. Pengaruh lokasi permukiman terhadap kerusakan terumbu karang berupa jangkauan pengawasan dan perlindungan oleh masyarakat terhadap ekosistem terumbu karang. Kerusakan terumbu karang yang jauh dari pengawasan masyarakat terjadi akibat adanya aktifitas illegal fishing. Kata kunci: Analisa Spasial, Permukiman, Terumbu Karang

194

Ramadhani dan Fitrianto

I. PENDAHULUAN Kabupaten Morowali merupakan salah satu daerah otonom yang terbentuk bersama dengan dua kabupaten lainnya di Propinsi Sulawesi Tengah berdasarkan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Buol, Kabupaten Morowali, dan Kabupaten Banggai Kepulauan. Kabupaten ini sebelumnya merupakan bagian dari wilayah Kabupaten Poso, yang wilayahnya membentang dari arah tenggara ke barat dan melebar ke bagian timur, serta berada di daratan Pulau Sulawesi. Namun wilayah lainnya terdiri dari pulau-pulau kecil. Bagian paling utara terdapat wilayah Kecamatan Mamosalato dan Bungku Utara, di bagian paling selatan terdapat wilayah Kecamatan Menui Kepulauan, yang terdiri dari beberapa pulau besar dan kecil (Profil kabupaten morowali, 2010). Sebagai kabupaten yang berada di wilayah pesisir, kabupaten Morowali memiliki kekayaan sumberdaya alam laut, dimana salah satunya adalah terumbu karang. Seperti disampaikan bahwa terumbu karang di wilayah perairan Indonesia, (khususnya bagian tengah) memiliki tingkat keragaman terumbu karang paling tinggi (Muller, 1999). Namun hingga saat ini belum ada penelitian mengenai kondisi terumbu karang di kabupaten ini sehingga kondisi terumbu karang yang ada belum diketahui sepenuhnya. Terumbu karang adalah suatu ekosistem khas yang terdapat di wilayah pesisir dan laut daerah tropis yang memiliki produktivitas primer tinggi. Pada dasarnya terumbu karang terbentuk dari endapan-endapan (deposit) kalsium karbonat (CaCO3) yang dihasilkan oleh organisme karang pembentuk terumbu (karang hermatipik) dari filum Cnidaria, ordo Scleractina yang hidup bersimbiosis dengan zooxanthellae, dan sedikit tambahan dari alga berkapur serta organisme lain yang menyekresi kalsium karbonat (Bengen, 2001). Dahuri (2003) menyebutkan bahwa sampai tahun 1998 jumlah spesies karang Scleractinian yang telah tercatat di seluruh perairan Indonesia diperkirakan sebanyak 364 spesies dari 76 genera. Simbiosis mutualisme yang unik antara karang (coral) hermatipik (scleractinian) dengan zooxanthella merupakan tenaga penggerak dibelakang keberadaan, pertumbuhan dan produktivitas terumbu karang (coral reef) (Levinton, 1995). Terumbu karang merupakan rumah bagi ribuan hewan dan tumbuhan yang memiliki nilai ekonomis tinggi. Berbagai jenis hewan laut mencari makan dan berlindung di ekosistem tersebut. Perkiraan produksi perikanan tergantung pada kondisi terumbu karang. Berdasarkan penelitian COREMAP fase pertama banyak disebutkan, bahwa manfaat terumbu karang antara lain: 1) tempat ikan hidup, bertelur dan mencari makan, 2) bernilai ekonomi, perdagangan dan industri, 3) sumber bahan baku, 4) pelestarian keanekaragaman hayati, 5) pelindung pantai dari ombak dan badai, dan 6) obyek wisata (Hidayati, 1999). Terumbu karang dalam kondisi yang sangat baik mampu menghasilkan ikan sekitar 18 ton/km2/tahun, terumbu karang dalam kondisi baik mampu menghasilkan 13 ton/km2/tahun dan terumbu karang dalam kondisi yang cukup baik mampu menghasilkan 8 ton/km2/tahun (McAllister, 1998 dalam Sukmara et al., 2001). Oleh karena itu terumbu karang memiliki peranan penting dalam proses ekologis, juga tempat sumber makanan dan mata pencaharian bagi masyarakat pesisir. Pilihan kebijakan pembangunan yang melibatkan ekosistem apakah akan dipertahankan seperti apa adanya, atau dikonversi menjadi pemanfaatan lain merupakan persoalan pembangunan. Pembangunan di suatu wilayah seringkali mengorbankan ekosistem yang ada, termasuk lingkungan pesisir dan laut yang rentan terhadap perubahan lingkungan. Ekosistem terumbu karang merupakan salah satu ekosistem laut yang rentan terhadap aktivitas manusia (Zaelani, 2003). Meskipun nilainya sangat tinggi, terumbu karang di Asia Tenggara dan di seluruh permukaan bumi menghadapi ancaman dari

195

Analisa Spasial Tingkat Kerusakan Terumbu Karang Terhadap Lokasi Permukiman ...

aktivitas manusia dengan tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya. Meledaknya populasi penduduk 50 tahun terakhir ini mendorong munculnya tekanan-tekanan dan peningkatan kebutuhan yang sangat tinggi akan sumberdaya yang berasal dari darat maupun laut. Tekanan-tekanan ini mengancam terumbu karang, dan akan berdampak nyata terhadap perekonomian bila terumbu karang tersebut hilang (Burke, 2002). Sementara, dipandang dari keterbukaan pemanfaatan terumbu karang oleh umum, terumbu karang mengalami ekploitasi secara intensif dan degradasi habitat yang disebabkan oleh sebagian besar kegiatan manusia (McManus and Cabanban, 1992), khususnya kegiatan penangkapan ikan yang merusak seperti penangkapan dengan bahan peledak yang membawa dampak buruk langsung pada ekosistem terumbu karang (Jennings and Polunin, 1996; Soede and Erdmann, 1998). Untuk mengetahui dampak aktivitas manusia terhadap kondisi terumbu karang maka diperlukan suatu penelitian untuk mengetahui pengaruh aktivitas manusia (permukiman) terhadap potensi terumbu karang yang ada. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui seberapa besar pengaruh keberadaan permukiman terhadap kerusakan terumbu karang dengan analisis spasial sehingga dapat dilakukan tindakan preventif untuk menjaga kelestarian ekosistem terumbu karang di daerah tersebut. II. METODE PENELITIAN
2.1. Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian berada di Kecamatan Menui Kepulauan Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah. Kecamatan ini berbatasan dengan Kendari pada bagian Selatan dan berbatasan dengan Kecamatan Bungku Selatan. Penelitian dilakukan pada kepulauan dan gugusan terumbu karang yang berada di Kecamatan Menui Kepulauan. Lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Sketsa Lokasi Penelitian

196

Ramadhani dan Fitrianto

2.2. Survei Lapangan

Pengambilan data di lapangan dilakukan setelah intepretasi citra ALOS AVNIR-2 tahun 2009 sebagai acuan lapangan. Hasil dari citra kemudian di plot sesuai dengan kriteria terumbu karang yang ada. Pengamatan yang dilakukan ada 2 metode yaitu: (a) RRI (Rapid Reef Inventory) dan (b) LIT (Line Intercept Transect / Transek Garis). Untuk pengamatan RRI (Rapid Reef Inventory) dilakukan dengan melihat tutupan karang hidup, karang mati, kaarang lunak, alga, lamun, sponge turf algae, DCA (karang mati yang ditutupi alga), patahan karang (rubble) dan pasir. Pengamatan dilakukan selama 5-10 menit dengan luasan area 10x10 m. Data yang dicatat dalam format data yang baku. Setelah pengamatan pertama dilakukan peneliti naik ke kapal untuk segera menuju ketitik berikutnya. Posisi dan koordinat titik pengamatan di tentukan dengan GPS. Observasi dengan RRI dilakukan pada rataan terumbu (Reef flat) dan lereng terumbu (Reef slope). Untuk pengamatan LIT (Line Intercept Transect /Garis transek) merupakan hasil wakil dari RRI yang didapatkan dilapangan dengan persentase karang hidup yang lebih baik. Pengamatan LIT di lakukan dengan menggunakan pita berskala (roll meter) untuk membuat garis transek dengan ukuran panjang transek 10 meter dengan 3 kali ulangan yang diletakan pada kedalaman 5 meter dan sejajar garis pantai. Semua bentuk pertumbuhan dan jenis karang (species) serta biota lainnya yang berada di bawah garis transek dicatat dengan ketelitian mendekati centimeter. Hasil pencatatan kemudian di pindah ke dalam format tabel. Untuk pencatatan data dilakukan dalam pemantauan terumbu karang yaitu versi AIMS. Untuk analisa persentase tutupan benthic lifeform menggunakan lifeform Sofware Program berdasarkan UNEP yang berlaku untuk Asean Australia (Rahmat & Yosephine, 2001) Penetapan kondisi karang batu (hard coral) mengacu kriteria KepMen LH No.4 Tahun 2001 kriteria 100-75% baik sekali, 74,9-50% baik, 49,9-25% sedang dan 24,9-0% buruk .
2.3. Pengolahan Citra

Untuk mengetahui luas terumbu karang digunakan inventarisasi dengan memanfatkan data citra ALOS AVNIR-2 1 scene, yaitu A1000234-016 dilakukan proses pengolahan citra berupa: 2.3.1. Koreksi Radiometrik dan Geometrik Dalam tahap pra-pengolahan, citra penginderaan jauh terlebih dahulu dilakukan koreksi terhadap kesalahan radiometrik dan geometrik untuk semua citra saluran tunggal. Koreksi radiometrik dapat dilakukan menggunakan metode yang paling sederhana, yaitu penyesuaian histogram. Adapun tekniknya adalah dengan cara mengurangi nilai digital number (piksel) citra asli masing-masing saluran tunggal dengan nilai bias yang ada pada masing-masing citra tersebut. Sedangkan untuk melakukan koreksi geometrik digunakan proses rektifikasi citra, dengan transformasi (tipe geocoding) polinomial. Akan tetapi untuk memperoleh ketelitian yang lebih baik, dalam spesifikasi teknis survei dan pemetaan ini digunakan GCP sebanyak minimal 10 buah dengan sebaran yang merata di seluruh liputan citra. Dalam proses rektifikasi citra ini digunakan peta acuan sebagai dasar pengambilan titiktitik GCP, menggunakan peta produk Bakosurtanal yaitu Peta Rupa Bumi Indonesia.

197

Analisa Spasial Tingkat Kerusakan Terumbu Karang Terhadap Lokasi Permukiman ...

Selanjutnya, untuk mengembalikan nilai piksel yang mengalami transformasi, digunakan metode interpolasi nearest neighbour. 2.3.2. Komposit Warna Sehubungan dengan tema yang dikerjakan dalam survei dan pemetaan ini, maka terlebih dahulu diketahui karekteristik band atau saluran dalam citra yang digunakan untuk survei dan pemetaan tersebut. Secara umum, band yang digunakan untuk identifikasi ekosistem terumbu karang (terumbu karang dan lamun) adalah band yang bekerja pada panjang gelombang/spektrum merah, hijau, dan biru, yang tersusun dalam komposit warna RGB warna asli (true colour composite). Ketiga band tersebut memiliki tingkat penetrasi ke dalam air jernih yang cukup bagus, tetapi memiliki gangguan atmosferik cukup besar. Komposit warna pada citra dibuat dengan menggunakan software pengolah citra ER Mapper 7.0 dengan menggabungkan band 3, 2 dan 1 pada citra satelit ALOS AVNIR-2. 2.3.3. Penajaman Citra Teknik penajaman citra sangat perlu dilakukan untuk mempermudah pengambilan training area dalam identifikasi terumbu karang. Dalam hal ini teknik yang dilakukan adalah perentangan linier, karena perentangan linear baik untuk mempertajam kenampakan obyek tertentu yang terwakili dalam histogram. Yaitu dengan dengan melihat ditribusi nilai piksel citra asli terlebih dahulu (nilai minimun dan maksimum), kemudian nilai minimum tersebut ditarik ke titik menjadi bernilai nol, dan nilai maksimum ditarik ke titik manjadi bernilai 255. Dimana citra yang digunakan memiliki resolusi radiometrik sebesar 8 bit (0 255). Perentangan linear dapat pula dilakukan secara otomatis dengan memasukkan nilai persentase perentangan (biasanya berkisar antara 1 3 %) pada histogram masing-masing citra asli. Teknik perentangan dilakukan masing-masing terhadap band merah, hijau, dan biru dalam komposisi warna RGB. 2.3.4. Pemilihan Training Area

Pada dasarnya, pengolahan citra untuk identifikasi sumberdaya terumbu karang adalah menggunakan metode berbasis komputer, akan tetapi masih membutuhkan bimbingan dari interpreter, dalam bentuk pemilihan training area sebanyak 30 region. Dalam melakukan pemilihan training area ini, citra yang digunakan adalah citra true colour composite menggunakan band merah, hijau, dan biru yang telah dipertajam dengan perentangan linier. Penentuan seluruh region tersebut dilakukan pada obyek atau area pada citra yang secara visual dapat diduga atau diidentifikasi sebagai bagian dari sumberdaya terumbu karang (terumbu karang, lamun, dan pasir). Dalam hal ini, interpreter selain memiliki dasar pengetahuan interpretasi citra, juga perlu memahami karakteristik terumbu karang, terutama tentang sebarannya. 2.3.5. Transformasi Lyzenga

Transformasi Lyzenga mampu memberikan efek penajaman pada obyek perairan dangkal dengan kondisi air cukup jernih. Dari hasil pengambilan training area, dicari ragam (varian) dan peragam (covarian) dari band biru dan band hijau. Dalam melakukan perhitungan statistik ini dapat dibantu dengan menggunakan perangkat lunak Microsoft Excel. Metode ini dikembangkan oleh Siregar (1995) yang didasarkan pada persamaan

198

Ramadhani dan Fitrianto

Lyzenga (1978) yaitu Exponential Attenuation Model. transformasi Lyzenga ditampilkan berikut ini.

Formula untuk melakukan

Y = (ln Band1) + (ki/kj*ln Band2) dimana ki/kj = koefisien attenuasi 2.3.6. Klasifikasi Ekosistem Terumbu Karang Klasifikasi ekosistem terumbu karang dimaksudkan untuk mendapatkan kelas bagian terumbu karang agar lebih mudah diubah ke format vektor. Klasifikasi yang digunakan adalah Klasifikasi tak terselia (unsupervised classification) dengan jumlah kelas disesuaikan dengan jumlah pemilahan kelas obyek pada saat slicing tersebut di atas. Klasifikasi anggota/bagian ekosistem terumbu karang lebih didasarkan pada aspek keruangan dari karakteristik tempat tumbuh terumbu karang tersebut. Secara skematis tahapan pekerjaan inventarisasi data dari citra satelit ini disajikan pada Gambar 2.

Gambar 2. Bagan alir inventarisasi data dari citra satelit.

199

Analisa Spasial Tingkat Kerusakan Terumbu Karang Terhadap Lokasi Permukiman ...

2.4. Metode Analisa Spasial

Metode Analisis Spasial, yaitu metoda penelitian yang menjadikan peta, sebagai model yang merepresentasikan dunia nyata yang diwakilinya, sebagai suatu media analisis guna mendapatkan hasil-hasil analisis yang memiliki atribut keruangan. Analisis spasial ini penting untuk mendapatkan gambaran keterkaitan di dalam permasalahan antar-wilayah dalam wilayah studi. Salah satu jenis analisa spasial adalah buffering. Analisa spasial dilakukan dengan menggunakan metode buffering dari titik lokasi permukiman. Metode ini merupakan metode berbasis raster atau pemodelan berbasis raster (cell based modeling). Buffering dilakukan dengan melakukan analisis raster yang berdasarkan jarak dari titik lokasi permukiman. Proses buffering ini dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak Sistem Informasi Geografis ArcGIS 9.3. Hasil buffering akan memberikan gambaran jarak cakupan terumbu karang terhadap lokasi permukiman. Dari hasil buffering akan dihasilkan beberapa kelas jarak yang digunakan untuk melihat hubungan antara tingkat kerapatan terumbu karang dengan lokasi permukiman. Raster kelas jarak yang dihasilkan dilakukan tumpang-susun (overlay) dengan kelas kerapatan terumbu karang yang diperoleh dari hasil survei lapangan. Overlay tersebut akan memberikan gambaran hubungan tingkat kerapatan karang terhadap lokasi permukiman. Prinsip operasi buffering dalam SIG pada dasarnya adalah menggunakan aplikasi Spatial Analyst seperti dalam Gambar 3. Buffering pada umumnya mengacu pada penciptaan zona dengan lebar tertentu sekitar titik atau garis atau area poligon. Jika juga disebut sebagai zona jarak tertentu sekitar fitur cakupan. Secara umum ada dua jenis buffer, yaitu constant width buffer dan variabel width buffer. Kedua jenis dapat dihasilkan untuk satu jenis cakupan berdasarkan masing-masing memiliki nilai atribut. Zona buffer dapat digunakan dalam query untuk menentukan entitas yang terjadi baik di dalam maupun di luar zona penyangga yang telah ditetapkan. Kata lain buffering dalam raster GIS adalah analisis jarak. Buffering data titik adalah bentuk paling sederhana penyangga yang melibatkan penciptaan suatu poligon lingkaran dalam setiap titik radius sama dengan jarak buffer. Dalam skema ini jarak buffer atau jari-jari lingkaran dapat diperbaiki untuk semua titik di dalam lapisan atau pengguna bisa menentukan itu. Jika beberapa titik pada lapisan yang sama sedang buffer, maka cek buffering algoritma untuk tumpang tindih dalam buffer setiap titik dan menghapus bagian tumpang tindih. Proses pemindahan bagian tumpang tindih melibatkan penggunaan persimpangan dan larut. Buffering garis adalah sedikit lebih terlibat dari buffering data titik. Ini lebih rumit karena fakta bahwa garis bisa terdiri dari beberapa segmen. segmen Line ditangani secara independen satu sama lain (ESRI, 2009).

Gambar 3. Buffering dengan menggunakan software ArcGIS 9.3.

200

Ramadhani dan Fitrianto

III. HASIL DAN PEMBAHASAN Titik lokasi permukiman diturunkan dari Peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) Bakosurtanal dan hasil survei lapangan jika ada penambahan permukiman baru. Berdasarkan hasil dijitasi peta Rupa Bumi diperoleh 8 titik lokasi permukiman. Delapan lokasi tersebut ditampilkan pada Tabel 1. Sedangkan letak lokasi permukiman ditunjukkan pada Gambar 4. Tabel 1. Lokasi Permukiman di Menui Kepulauan, Kab. Morowali. No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. Nama Desa Desa Menui Desa Ngapaea Desa Telebino Desa Padei Darat Desa Padei Laut Desa Masadian Desa Tengah Desa Tiga Lokasi Pulau Menui Pulau Menui Pulau Menui Pulau Padea Besar Pulau Padea Kecil Pulau Masadian Pulau Tengah Pulau Tiga

Gambar 4. Peta Sebaran Permukiman (titik merah ) dan Sebaran Terumbu Karang (hijau) di Menui Kepulauan, Kab.Morowali tahun 2009 Hasil interpretasi Citra satelit ALOS AVNIR-2 diperoleh sebaran terumbu karang di daerah Kepulauan Menui, Kabupaten Morowali, Provinsi Sulawesi Tengah. Sebaran terumbu karang tersebut seperti terlihat pada Gambar 4. Dari Gambar 4 terlihat sebaran terumbu karang di Menui Kepulauan melingkupi keseluruhan wilayah kecamatan. Walaupun begitu kondisi terumbu karang diperoleh berdasarkan survei lapangan dengan menggunakan metode Line Intersept Transect (LIT) dimana diketahui bahwa pada beberapa lokasi kondisi terumbu karang mengalami kerusakan. Kondsi terumbu karang dilihat berdasarkan kerapatan terumbu karang yang

201

Analisa Spasial Tingkat Kerusakan Terumbu Karang Terhadap Lokasi Permukiman ...

diperoleh dari hasil survei lapangan. Persentase penutupan karang pada masing-masing titik pengambilan sampel ditunjukkan pada Gambar 5. Analisis spasial dengan buffering dari titik lokasi permukiman diperoleh pembagian 5 kelas jarak yang diukur dari jarak terjauh terumbu karang terhadap permukiman, seperti terlihat pada Gambar 6. Hasil survei lapangan dengan menggunakan Line Intersept transect (LIT) diperoleh tingkat kerapatan terumbu karang yang berbeda-beda pada masing lokasi pengambilan sampel yang mewakili masing-masing kelas jarak dari hasil buffering. Persentase penutupan karang di Menui Kepulauan berkisar antara 15 96 % dengan kelas buruk hingga baik sekali. Perolehan tingkat kerusakan karang dilakukan perbandingan terhadap kelas jarak yang diperoleh dari analisa spasial dengan metode buffering sehingga dapat diketahui hubungan tingkat kerusakan terumbu karang terhadap jarak dari lokasi permukiman. Tabel perbandingan ditunjukkan pada Tabel 2.

Gambar 5. Kondisi terumbu karang di Menui Kepulauan, Kab.Morowali

202

Ramadhani dan Fitrianto

Gambar 6. Peta analisa spasial jarak terhadap lokasi permukiman dengan metode buffering, warna merah menunjukkan jarak terjauh dan warna kuning menunjukkan jarak terdekat dengan permukiman. Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa terdapat perbandingan kondisi terumbu karang terhadap lokasi permukiman, dimana kondisi terumbu karang yang dekat dengan permukiman memiliki nilai persentase penutupan karang lebih tinggi daripada persentase penutupan terumbu karang yang berada jauh dari lokasi permukiman. Pada kelas jarak sangat dekat diperoleh persentase terumbu karang berkisar antara 58 96 %, pada kelas jarak dekat persentase terumbu karang berkisar 58 79 %, menengah 26 -54 %, dan kelas jauh 16 45 %. Berdasarkan survei lapangan kerusakan ini terjadi karena adanya aktivias illegal fishing yang tinggi di Menui kepulauan terutama pada terumbu karang yang jauh dari permukiman dan merupakan karang datar (reef flat). Sebaliknya kondisi terumbu karang yang berada tidak jauh dari permukiman memiliki kondisi cukup baik karena adanya kearifan lokal oleh masyarakat menui kepulauan untuk menjaga terumbu karang di sekitar mereka. Hasil survei menunjukkan adanya aktivitas penangkapan ikan karang dengan menggunakan bahan peledak yang menimbulkan kerusakan karang sangat parah terutama di rataan terumbu karang, sedangkan kondisi terumbu karang di bagian tubir (reef slope) masih cukup baik karena penggunaan bahan peledak untuk terumbu karang tersebut hanya sedikit. Penangkapan ikan dengan bahan peledak tersebut disampaikan oleh masyarakat sekitar dilakukan oleh bukan penduduk Kecamatan Menui Kepulauan sehingga mereka menghindar dari lokasi permukiman untuk menghindari masyarakat Menui Kepulauan.

203

Analisa Spasial Tingkat Kerusakan Terumbu Karang Terhadap Lokasi Permukiman ...

Tabel 2. Tabel perbandingan tingkat kerusakan terumbu karang dengan jarak dari lokasi permukiman. Persentase Penutupan Karang 96% 77% 84% 86% 72% 64% 85% 58% 79% 61% 74% 73% 58% 23% 15% 16% 45% 26% 48% 54% 85% 52% 41% Jarak Terhadap Permukiman (Km) 0-6 0-6 0-6 0-6 0-6 0-6 0-6 0-6 6-12 6-12 6-12 6-12 6-12 18-24 24-30 18-24 18-24 12-18 12-18 12-18 0-6 0-6 0-6

Lokasi Sampling P. Menui 1 P. Menui 2 P. Menui 3 P. Padei Darat 1 P. Padei Darat 2 P. Padei Darat 3 P. Padei Laut P. Bungitindeh Karang Bobubu 1 Karang Bobubu 2 Karang Bolewang 1 Karang Bolewang 2 Karang Tordela Karang Takabelantang Karang 1 P. Samaringa Karang Pangajarang 1 Karang Pangajarang 2 Karang 2 karang 3 Karang Masadian P. Tiga P. Tengah IV. KESIMPULAN

Kelas Baik Sekali Baik Sekali Baik Sekali Baik Sekali Baik Baik Baik Sekali Baik Baik Sekali Baik Baik Baik Baik Buruk Buruk Buruk Sedang Sedang Sedang Baik Baik Sekali Baik Sedang

Kelas Sangat Dekat Sangat Dekat Sangat Dekat Sangat Dekat Sangat Dekat Sangat Dekat Sangat Dekat Sangat Dekat Dekat Dekat Dekat Dekat Dekat Jauh Sangat Jauh Jauh Jauh Menengah Menengah Menengah Sangat Dekat Sangat Dekat Sangat Dekat

Berdasarkan analisis spasial diperoleh bahwa terumbu karang yang terletak berdekatan dengan lokasi permukiman memiliki kerapatan karang hidup yang lebih tinggi atau berarti tingkat kerusakan karang rendah dan terumbu karang yang berada lebih jauh dari permukiman memiliki kerusakan lebih tinggi. Pengaruh dekat tidaknya lokasi terhadap kerusakan terumbu karang adalah jangkauan pengawasan dan perlindungan ekosistem terumbu karang oleh masyarakat. Terumbu karang yang jauh dari pengawasan masyarakat sekitar mengalami kerusakan akibat adanya aktifitas illegal fishing. DAFTAR PUSTAKA Bengen, D.G. 2002. Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut serta Prinsip Pengelolaannya. Bogor: Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan LautanIPB. Institut Pertanian Bogor.

204

Ramadhani dan Fitrianto

Burke, L., E. Selig, dan M. Spallding. 2002. Terumbu Karang yang Terancam di Asia Tenggara. Ringkasan Untuk Indonesia. Terjemahan dari Reefs at Risk in Southeast Asia. Kerjasama antara WRI, UNEP, WCMC, ICLARM dan ICRAN. 40 hal. Dahuri, R. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut. Aset Pembangunan Berkelanjutan Indonesia. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. ESRI. 2009. Spatial Analyst Extention. Environmental System Research Institute . New York. Hidayati. 2002. Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia (Studi Kasus Desa Mola Utara, Kecamatan Wangi-Wangi, Kabupaten Buton, Provinsi Sulawesi Tenggara). COREMAP. Jakarta. Jennings, S. and N.V.C. Polunin. 1996. .Impacts of fishing on tropical reef ecosystems. AMBIO 25(1):44-49. Levinton, J. S. 1995. Marine Biology: Function, Biodiversity, Ecology. New York: Oxford University Press. Lyzenga, R.D. 1978. Shallow Water Bathymetri using Combined Lidar and Passiva Multispectral Scanner Data. International Journal of Remote Sensing, 6, 115-125. McManus, J.W. and A.S. Cabanban. 1992. Coral reef recruitment studies in Southeast Asia: background and implications. Proc. Workshop on coral and fish recruitment, Report No. 7, ASEAN-Australian Living Coastal Resources Project, 1-8 June 1992, Bolinao Marine Lab. Bolinao, Pangasinan, Philippines. p 7-17. Muller, K. 1999. Diving Indonesia : A Guide to the Worlds Greatest Diving. Periplus Edition. Singapore. 332 p. Rahmat dan Yosephine 2001. Software Percent Cover Benthic Lifeform versi 5.1. Pusat Penelitiaan dan Pengembangan Oseanologi LIPI. Jakarta. Siregar, V.P. 1995. Pemetaan Terumbu Karang dengan Menggunakan Kombinasi Citra Satelit SPOT-1 Kanal XS1 dan XS2 Aplikasi pada Karang Congkak dan Karang Lebar di Kepulauan Seribu Jakarta Utara. Buletin PSP, 1(1):30-31. Soede, L.P. and M.V. Erdmann. 1998. .Blast fishing in Southwest Sulawesi, Indonesia.. Naga, the ICLARM Quarterly, April-June 1998: 4-9. Sukmara, A., A. J. Siahainenia, dan C. Rotinsulu. 2001. Panduan Pemantauan Terumbu Karang Berbasis-Masyarakat dengan Metoda Manta Tow. Proyek Pesisir CRMP Indonesia. Jakarta. 48 hal. Zaelany, A.A. 2003. Implementasi Strategi Adaptasi Nelayan Bom Ikan dan Dampaknya Terhadap Terumbu Karang: Kasus Pulau Karang, Propinsi Sulawesi Selatan. Program Pasca Sarjana IPB. Bogor.

205

Anda mungkin juga menyukai