Anda di halaman 1dari 28

REFERAT

EPISTAKSIS

Oleh:
ULYANDINI
1102013292

Pembimbing:

dr. H. Gunawan Kurnaedi, Sp.THT-KL

DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


SMF THT-KL RSUD DR. SLAMET GARUT
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS YARSI
2018

1
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmatNya referat ini dapat
terselesaikan dengan baik. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada dr. H. Gunawan
Kurnaedi, Sp.THT-KL selaku pembimbing sehingga referat ini dapat terselesaikan dengan
tepat waktu.
Referat ini dibuat dengan tujuan untuk memenuhi kompetensi kepaniteraan klinik
SMF Ilmu Kesehatan THT di RSUD dr.Slamet Garut. Pneulis berharap referat ini dapat
menjadi literatur atau sumber informasi pembelajaran Ilmu Kesehatan THT.
Akhir kata, penulis menyadari banyak kekurangan didalam penyusunan referat ini.
Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang berguna demi penyusunan
referat ini.

Garut,12 Januari 2018

ULYANDINI

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................................ 2


DAFTAR ISI ......................................................................................................................... 3
BAB I . PENDAHULUAN .................................................................................................... 4
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................................... 5
BAB III. KESIMPULAN ..................................................................................................... 27
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................... 28

3
BAB I
PENDAHULUAN

Epistaksis atau pendarahan dari hidung banyak dijumpai sehari-hari baik pada anak
maupun usia lanjut. Epistaksis jarang mengancam nyawa tetapi dapat menyebabkan
kekhawatiran, terutama di antara orang tua kepada anak kecilnya. Sebagian besar epistaksis
adalah ringan, dapat berhenti sendiri tanpa memerlukan bantuan medis, dan terjadi secara
spontan, tapi ada beberapa yang terjadi berulang. Epistaksis yang berat jarang ditemukan
namun merupakan masalah kedaruratan medis yang dapat berakibat fatal bila tidak segera
ditangani. Sebagian besar penyebab epistaksis tidak dapat diketahui, tapi seringkali
merupakan gejala atau manifestasi penyakit lain. Prevalensi sebenarnya dari epistaksis tidak
dapat diketahui karena sebagian besar kejadian dapat berhenti sendiri sehingga tidak
terlaporkan. Ketika bantuan medis diperlukan, biasanya dikarenakan kejadian yang berulang
atau parah. Perawatan tergantung dari gambaran klinis, pengalaman dokter, dan ketersediaan
pelayanan medis.
Tujuan penyusunan referat ini adalah untuk mengetahui secara umum mengenai
definisi, anatomi fisiologi, etiologi, klasifikasi, penanganan, dan pencegahan pada epistaksis.

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ANATOMI
Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas kebawah: 1.pangkal
hidung (bridge), 2.batang hidung (dorsum), 3.puncak hidung (tip), 4.ala nasi, 5.kolumela,
6.lubang hidung (nares anterior).
Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi kulit, jaringan
ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi melebarkan dan menyempitkan lubang hidung.
Kerangka tulang terdiri dari 1.tulang hidung (os nasal), 2.prosesus frontalis os maksila dan
3.prosesus nasalis os frontal. Sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang
tulang rawan yang terletak di bagian bawah hidung, yaitu 1.sepasang kartilago nasalis
lateralis superior, 2.sepasang kartilago nasalis lateralis inferior yang disebut juga sebagai
kartilago alar mayor dan 3.tepi anterior kartilago septum.
Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang
dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Pintu
atau lubang masuk kavum nasi di bagian depan disebut nares anterior dan lubang belakang
disebut nares posterior (koana) yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring.
Dinding medial hidung disebut sebagai septum nasi. Septum di bentuk oleh tulang dan
tulang rawan. Bagian tulangnya adalah 1.lamina prependikularis, 2.vomer, 3.krista nasalis os
maksila dan 4.krista nasalis os palatina. Bagian tulang rawannya adalah 1.kartilago septum
(lamina kuadrangularis) dan 2.kolumela.
Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka, yang terbesar dan terletak paling bawah ialah
konka inferior, kemudian yang lebih kecil ialah konka media, lebih kecil lagi ialah konka
superior sendangkan yang terkecil disebut konka suprema. Konka suprema ini biasanya
rudimenter.

5
Gambar-1: Anatomi Cavum Nasi
Konka Inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan labirin
etmoid, sedangkan konka media, superior dan suprema merupakan bagian dari labirin etmoid.
Diantara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang disebut
meatus. Ada 3 meatus yaitu meatus inferior, medius, dan superior. Meatus inferior terletak
diantara konka inferior dengan dasar hidung dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus
inferior terdapat muara (ostium) duktus nasolakrimalis. Meatus medius terletak diantara
konka media dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus medius terdapat muara dari
sinus frontal, sinus maksila, dan sinus etmoid anterior. Meatus superior terletak diantara
konka superior dan konka media. Pada meatus superior terdapat muara sinus etmoid posterior
dan sinus sfenoid.
Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os maksila dan os
palatum. Dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan dibentuk oleh lamina
kribiformis, yang memisahkan rongga tengkorak dari rongga hidung. Lamina kribiformis
merupakan lempeng tulang berasal dari os etmoid, tulang ini berlubang-lubang
(kribosa=saringan) tempat masuknya serabut-serabut saraf olfaktorius. Pada bagian posterior,
atap rongga hidung dibentuk oleh os sfenoid.

Vaskularisasi Hidung
Hidung memiliki suplai vaskular yang banyak, dengan kontribusi terbesar dan terpenting dari
Arteri karotis interna dan eksterna.
Sistem arteri karotis eksterna memperdarahi hidung melalui Arteri fasialis dan maksilaris
interna. Arteri-arteri tersebut memperdarahi dasar dan bagian depan rongga hidung dan septum
anterior melalui cabang septum. Arteri fasialis bercabang menjadi Arteri labialis superior (cabang
terminal). Arteri maksilaris interna masuk melalui fosa pterigomaksilaris dan bercabang menjadi 6

6
cabang yaitu Arteri alveolaris posterior superior, palatina desenden, infraorbitalis, sfenopalatina, kanal
pterigoid, dan faringeal. Arteri palatina desenden turun melalui kanal palatina mayor dan
memperdarahi dinding lateral hidung, lalu kembali ke dalam rongga hidung melalui cabang di
foramen insisivus untuk memperdari septum anterior. Arteri sfenopalatina masuk ke dalam rongga
hidung dekat dengan perlekatan posterior konka media untuk memperdarahi dinding lateral hidung
dan bercabang lagi untuk memperdarahi septum.
Arteri karotis interna berkontribusi terhadap vaskularitas hidung melalui Arteri oftalmikus.
Arteri ini memasuki tulang orbital melalui fisura orbital superior dan bercabang menjadi beberapa
cabang. Arteri etmoidalis posterior keluar orbit melalui foramen etmoidalis posterior yang terletak 2-
9mm di depan kanal optikus. Arteri etmoidalis anterior yang lebih besar meninggalkan orbit melalui
foramen etmoidalis anterior. Arteri etmoidalis anterior dan posterior menyebrangi atap etmoid untuk
masuk fossa kranialis anterior lalu turun ke dalam rongga hidung melalui lempengan kribiformis, di
sini mereka bercabang menjadi cabang lateral dan septal untuk memperdarahi dinding lateral hidung
dan septum.
Pleksus Kiesselbach atau area Little adalah jaringan anastomosis dari pembuluh-pembuluh
darah yang terletak di septum kartilago anterior, pleksus ini menerima suplai darah dari arteri karotis
interna dan eksterna. Banyak arteri yang memperdarahi septum mempunyai hubungan anastomosis di
daerah ini yaitu Arteri etmoidalis anterior, labialis superior, sfenopalatina, dan palatina mayor.

Bagian atas rongga hidung

Bagian atas rongga


A. etmoidalis hidung
anterior Memper
A. karotis darahi Dinding lateral
A. oftalmikus
interna hidung
A. etmoidalis
posterior Septum anterior
Bagian bawah rongga hidung

A. palatina
desenden Bagian bawah rongga
A. maksilaris hidung
interna Memper
A. darahi Dinding lateral
A. karotis sfenopalatina hidung
eksterna
A. labialis Septum anterior
A. fasialis
superior

7
Gambar 2. Perdarahan hidung

Innervasi Hidung
Bagian depan dan atas ronga hidung mendapat persarafan sensoris dari nervus etmoidalis
anteior, yang merupakan cabang dari nervus nasosiliaris, yang berasal dari nervus oftalmikus
(N. V1). Rongga hidung lainnya, sebagian besarnya mendapat persarafan sensoris dari nervus
maksila melalui ganglion sfenopalatina.
Gangglion sfenopalatina, selain memberikan persarafan sensoris, juga memberikan
persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima serabut
saraf sensoris dari nervus maksila (N. V2), serabut parasimpatis dari nervus petrosus

8
superfisialis mayor dan serabut saraf simpatis dari nerus petrosus profundus. Gangglion
sfenopalatina terletak di belakan dan sedikit di atas ujung posterior konka media.
Fungsi penghidu berasal dari nervus olfaktorius. Saraf ini turun melalui lamina
kribosa dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel- sel
reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung.

2.2 FISIOLOGI
Fungsi Respirasi
Udara yang dihirup akan mengalami humidifikasi oleh palut lendir. Suhu udara yang
melalui hidung diatur sehingga berkisar 370C. Fungsi pengatur suhu ini dimungkinkan oleh
banyaknya pembuluh darah di bawah epitel dan adanya permukaan konka dan septum yang
luas. Partikel debu, virus, bakteri, dan jamur yang terhirup bersama udara akan disaring di
hidung oleh: rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi, silia, palut lendir. Debu dan bakteri
akan melekat pada palut lendir dan partikel-partikel yang besar akan dikeluarkan dengan
reflex bersin.
Fungsi Penghidu
Hidung bekerja sebagai indra penghidu dan pencecap dengan adanya mukosa
olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas septum.
Partikel bau dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut lendir atau bila
menarik napas dengan kuat. Fungsi hidung untuk membantu indra pencecap adalah untuk
membedakan rasa manis yang berasal dari berbagai macam bahan.

Gambar-3: Bagian Rongga Hidung.

9
Fungsi Fonetik
Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi.
Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang,sehingga terdengar
suara sengau (rhinolalia). Terdapat 2 jenis rhinolalia yaitu rhinolalia aperta yang terjadi
akibat kelumpuhan anatomis atau kerusakan tulang di hidung dan mulut. Yang paling sering
terjadi karena stroke dan rhinolalia oklusa yang terjadi akibat sumbatan benda cair (ketika
pilek) atau padat (polip, tumor, benda asing) yang menyumbat.
Refleks Nasal
Mukosa hidung merupakan reseptor reflex yang berhubungan dengan saluran
cerna,kardiovaskuler dan pernapasan. Iritasi mukosa hidung akan menyebabkan reflex bersin
dan napas berhenti. Rangsang bau tertentu akan menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung,
dan pancreas.

2.3 EPISTAKSIS
Definisi
Epistaksis adalah perdarahan akut yang berasal dari lubang hidung, rongga hidung
atau nasofaring. Epistaksis bukan suatu penyakit, melainkan gejala dari suatu kelainan yang
hampir 90 % dapat berhenti sendiri. Perdarahan dari hidung dapat merupakan gejala yang
sangat mengganggu dan dapat mengancam nyawa. Faktor etiologi harus dicari dan dikoreksi
untuk mengobati epistaksis secara efektif.
Epidemiologi
Epistaksis adalah gangguan perdarahan yang paling umum dari daerah kepala dan leher.
Beberapa penelitian yang sangat baik baru-baru ini mengungkapkan beberapa karakteristik
epidemiologi dan menjelaskan beberapa kesalahpahaman. Sebuah survei pemeriksaan
kesehatan AS dari 1972 dari 6.672 orang dewasa mengungkapkan kejadian 7% sampai 14%
dari epistaksis.
Sebuah survey Skandinavia dari 1974 dari 410 orang menemukan kejadian 60% dari
setidaknya satu episode epistaksis selama satu kali seumur hidup, kejadian 6% membutuhkan
perhatian medis, dan kejadian tahunan sebesar 15% untuk pria dan 9% untuk wanita. Sebuah
studi Finlandia dari 1974 dari 1.724 pasien dengan epistaksis mengungkapkan kejadian laki-
laki lebih tinggi 58% dibandingkan 42% bagi perempuan; keseluruhan, 71% dari pasien lebih
dari 50 tahun. Di Wales, rasio laki-perempuan adalah 2:1 pada pasien berusia 20 sampai 49
tahun tetapi 1:1 terhadap pasien 50 dan yang lebih tua. Selain itu, mereka mencatat epistaksis

10
terjadi lebih sering selama bulan September sampai April dibandingkan dengan Mei hingga
Agustus.
Baru-baru ini, sebuah studi US Midwest ditemukan epistaksis posterior lebih umum
selama bulan kelembaban dingin dan lebih rendah dari November sampai Maret
dibandingkan dengan bulan April sampai Oktober-56% versus 44%, masing-masing. Sebuah
studi di Inggris menunjukkan tingkat penerimaan untuk epistaksis dari 0,829 pasien per hari
dengan suhu luar ruangan kurang dari 5 ° C dan 0,645 pasien per hari untuk suhu antara 5,1
dan 10 ° C. Berlawanan dengan kepercayaan populer, hipertensi belum terbukti
meningkatkan risiko seseorang epistaksis. Namun, ada penelitian melaporkan epistaksis
belakang yang berhubungan dengan hipertensi.

Etiologi
Perdarahan hidung diawali oleh pecahnya pembuluh darah di dalam selaput mukosa
hidung. Delapan puluh persen perdarahan berasal dari pembuluh darah Pleksus Kiesselbach
(area Little). Pleksus Kiesselbach terletak di septum nasi bagian anterior, di belakang
persambungan mukokutaneus tempat pembuluh darah yang kaya anastomosis. Epistaksis
dapat ditimbulkan oleh sebab-sebab lokal dan umum atau kelainan sistemik:
1, Lokal
a) Trauma
Perdarahan dapat terjadi karena trauma ringan misalnya mengorek hidung, benturan
ringan, bersin atau mengeluarkan ingus terlalu keras, atau sebagai akibat trauma yang lebih
hebat seperti kena pukul, jatuh atau kecelakaan lalu lintas. Trauma karena sering mengorek
hidung dapat menyebabkan ulserasi dan perdarahan di mukosa bagian septum anterior. Selain
itu epistaksis juga bisa terjadi akibat adanya benda asing tajam atau trauma pembedahan.
Epistaksis sering juga terjadi karena adanya spina septum yang tajam. Perdarahan dapat
terjadi di tempat spina itu sendiri atau pada mukosa konka yang berhadapan bila konka itu
sedang mengalami pembengkakan. Bagian anterior septum nasi, bila mengalami deviasi atau
perforasi, akan terpapar aliran udara pernafasan yang cenderung mengeringkan sekresi
hidung. Pembentukan krusta yang keras dan usaha melepaskan dengan jari menimbulkan
trauma digital. Pengeluaran krusta berulang menyebabkan erosi membrana mukosa septum
dan kemudian perdarahan.
Benda asing yang berada di hidung dapat menyebabkan trauma local, misalnya pada pipa
nasogastrik dan pipa nasotrakea yang menyebakan trauma pada mukosa hidung.

11
Trauma hidung dan wajah sering menyebabkan epistaksis. Jika perdarahan disebabkan
karena laserasi minimal dari mukosa biasanya perdarahan yang terjadi sedikit tetapi trauma
wajah yang berat dapat menyebabkan perdarahan yang banyak.
b) Infeksi lokal
Epistaksis bisa terjadi pada infeksi hidung dan sinus paranasal seperti rhinitis atau
sinusitis.
Infeksi akan menyebabkan inflamasi yang akan merusak mukosa. Inflamasi akan
menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah setempat sehingga memudahkan
terjadinya perdarahan di hidung.
c) Neoplasma
Epistaksis yang berhubungan dengan neoplasma biasanya sedikit dan intermiten, kadang-
kadang ditandai dengan mukus yang bernoda darah, Hemangioma, angiofibroma dapat
menyebabkan epistaksis berat. Karena pada tumor terjadi pertumbuhan sel yang abnormal
dan pembentukan pembuluh darah yang baru (neovaskularisasi) yang bersifat rapuh sehingga
memudahkan terjadinya perdarahan.
d) Kelainan kongenital
Kelainan kongenital yang sering menyebabkan epistaksis ialah perdarahan telangiektasis
heriditer (hereditary hemorrhagic telangiectasia/Osler's disease). Juga sering terjadi pada Von
Willendbrand disease. Telengiectasis hemorrhagic hereditary adalah kelainan bentuk
pembuluh darah dimana terjadi pelebaran kapiler yang bersifat rapuh sehingga memudah kan
terjadinya perdarahan.
Jika ada cedara jaringan, terjadi kerusakan pembuluh darah dan akan menyebabkan
kebocoran darah melalui lubang pada dinding pembuluh darah. Pembuluh dapat rusak dekat
permukaan seperti saat terpotong. Atau dapat rusak di bagian dalam tubuh sehingga terjadi
memar atau perdarahan dalam.
Jika pembuluh darah terluka, ada empat tahap untuk membentuk bekuan darah yang normal.

12
Gambar 4a. Pembekuan darah normal Gambar 4b. Pembekuan darah tidak normal

Tahap 1 Pembuluh darah terluka dan mulai mengalami perdarahan.


Tahap 2 Pembuluh darah menyempit untuk memperlambat aliran darah ke daerah yang luka.
Tahap 3 Trombosit melekat dan menyebar pada dinding pembuluh darah yang rusak. Ini
disebut adesi trombosit. Trombosit yang menyebar melepaskan zat yang
mengaktifkan trombosit lain didekatnya sehingga akan menggumpal membentuk
sumbat trombosit pada tempat yang terluka. Ini disebut agregasi trombosit.
Tahap 4 Permukaan trombosit yang teraktivasi menjadi permukaan tempat terjadinya bekuan
darah. Protein pembekuan darah yang beredar dalam darah diaktifkan pada
permukaan trombosit membentuk jaringan bekuan fibrin.
Protein ini (Faktor I, II, V, VII, VIII, IX, X, XI, XII dan XIII dan Faktor Von Willebrand )
bekerja seperti kartu domino, dalam reaksi berantai. Ini disebut cascade.

Gambar 5a. cascade koagulasi normal Gambar 5b. cascade koagulasi hemophilia
VWD dapat terjadi pada dua tahap terakhir pada proses pembekuan darah.
1. Pada tahap ke 3, seseorang dapat berkemungkinan tidak memiliki cukup Faktor Von
Willebrand (VWF) di dalam darahnya atau faktor tersebut tidak berfungsi secara

13
normal. Akibatnya VWF tidak dapat bertindak sebagai perekat untuk menyangga
trombosit di sekitar daerah pembuluh darah yang mengalami kerusakan. Trombosit
tidak dapat melapisi dinding pembuluh darah.

2. Pada tahap ke 4, VWF membawa Faktor VIII. Faktor VIII adalah salah satu protein
yang dibutuhkan untuk membentuk jaringan yang kuat. Tanpa adanya faktor VIII
dalam dalam jumlah yang normal maka proses pembekuan darah akan memakan
waktu yang lebih lama. Akibatnya VWF tidak dapat bertindak sebagai perekat untuk
menyangga trombosit di sekitar daerah pembuluh darah yang mengalami kerusakan.

e) Pengaruh lingkungan
Kelembaban udara yang rendah dapat menyebabkan iritasi mukosa. Epistaksis sering
terjadi pada udara yang kering dan saat musim dingin yang disebabkan oleh dehumidifikasi
mukosa nasal selain itu bisa di sebabkan oleh zat-zat kimia yang bersifat korosif yang dapat
menyebabkan kekeringan mukosa sehingga pembuluh darah gampang pecah.
f) Deviasi septum
Deviasi septum ialah suatu keadaan dimana terjadi peralihan posisi dari septum nasi dari
letaknya yang berada di garis medial tubuh. Selain itu dapat menyebabkan turbulensi udara
yang dapat menyebabkan terbentuknya krusta. Pembuluh darah mengalami ruptur bahkan
oleh trauma yang sangat ringan seperti mengosok-gosok hidung.
2. Sistemik
a) Kelainan darah
Beberapa kelainan darah yang dapat menyebabkan epistaksis adalah trombositopenia,
hemofilia dan leukemia.
Trombosit adalah fragmen sitoplasma megakariosit yang tidak berinti dan dibentuk di
sumsum tulang. Trombosit berfungsi untuk pembekuan darah bila terjadi trauma. Trombosit
pada pembuluh darah yang rusak akan melepaskan serotonin dan tromboksan A₂
(prostaglandin), hal ini menyebabkan otot polos dinding pembuluh darah berkonstriksi. Pada
awalnya akan mengurangi darah yang hilang. Kemudian trombosit membengkak, menjadi
lengket, dan menempel pada serabut kolagen dinding pembuluh darah yang rusak
danmembentuk plug trombosit. Trombosit juga akan melepas ADP untuk mengaktivasi
trombosit lain, sehingga mengakibatkan agregasi trombosit untuk memperkuat plug.
Trombositopenia adalah keadaan dimana jumlah trombosit kurang dari 150.000/ µl.
Trombositopenia akan memperlama waktu koagulasi dan memperbesar resiko terjadinya
14
perdarahan dalam pembuluh darah kecil di seluruh tubuh sehingga dapat terjadi epistaksis
pada keadaan trombositopenia.
Hemofilia adalah penyakit gangguan koagulasi herediter yang diturunkan secara X-linked
resesif. Gangguan terjadi pada jalur intrinsik mekanisme hemostasis herediter, dimana terjadi
defisiensi atau defek dari faktor pembekuan VIII (hemofilia A) atau IX (hemofilia B). Darah
pada penderita hemofilia tidak dapat membeku dengan sendirinya secara normal. Proses
pembekuan darah berjalan amat lambat. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya epistaksis
Leukemia adalah jenis penyakit kanker yang menyerang sel-sel darah putih yang
diproduksi oleh .sumsum tulang (bone marrow). Sumsum tulang atau bone marrow ini dalam
tubuh manusia memproduksi tiga tipe sel darah diantaranya sel darah putih (berfungsi sebagai
daya tahan tubuh melawan infeksi), sel darah merah (berfungsi membawa oksigen kedalam
tubuh) dan trombosit (bagian kecil sel darah yang membantu proses pembekuan darah). Pada
Leukemia terjadi peningkatan pembentukan sel leukosit sehingga menyebabkan penekanan
atau gangguan pembentukan sel-sel darah yang lain di sumsum tulang termasuk trombosit.
Sehingga terjadi keadaan trombositpenia yang menyebabkan perdarahan mudah terjadi.
Obat-obatan seperti terapi antikoagulan, aspirin dan fenilbutazon dapat pula
mempredisposisi epistaksis berulang. Aspirin mempunyai efek antiplatelet yaitu dengan
menginhibisi produksi tromboksan, yang pada keadaan normal akan mengikat molekul-
molekul trombosit untuk membuat suatu sumbatan pada dinding pembuluh darah yang rusak.
Aspirin dapat menyebabkan peoses pembekuan darah menjadi lebih lama sehingga dapat
terjadi perdarahan. Oleh karena itu,aspirin dapat menyebabkan epistaksis.

b) Penyakit kardiovaskuler
Hipertensi dan kelainan pembuluh darah, seperti pada aterosklerosis, sirosis hepatis,
diabetes melitus dapat menyebabkan epistaksis. Epistaksis akibat hipertensi biasanya hebat,
sering kambuh dan prognosisnya tidak baik.
1. Hipertensi
Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah sistolik lebih dari 140 mmHG dan
tekanan darah diastolic lebih dari 90 mmhg. Epistaksis sering terjadi pada tekanan
darah tinggi karena kerapuhan pembuluh darah yang di sebabkan oleh penyakit
hipertensi yang kronis terjadilah kontraksi pembuluh darah terus menerus yang
mengakibatkan mudah pecahnya pembuluh darah yang tipis.

15
2. Arteriosklerosis
Pada arteriosklerosis terjadi kekakuan pembuluh darah. Jika terjadi keadaan tekanan
darah meningkat, pembuluh darah tidak bisa mengompensasi dengan vasodilatasi,
menyebabkan rupture dari pembuluh darah.

3. Sirosis hepatis
Hati merupakan organ penting bagi sintesis protein-protein yang berkaitan dengan
koagulasi darah, misalnya: membentuk fibrinogen, protrombin, faktor V, VII, IX, X
dan vitamin K. Pada sirosis hepatis fungsi sintesis protein-protein dan vitamin yang
dibutuhkan untuk pembekuan darah terganggu sehingga mudah terjadinya perdarahan.
Sehingga epistaksis bisa terjadi pada penderita sirosis hepatis.

4. Diabetes mellitus
Terjadi peningkatan gula darah yang meyebabkan kerusakan mikroangiopati dan
makroangiopati. Kadar gula darah yang tinggi dapat menyebabkan sel endotelial pada
pembuluh darah mengambil glukosa lebih dari normal sehingga terbentuklah lebih
banyak glikoprotein pada permukaannya dan hal ini juga menyebabkan basal
membran semakin menebal dan lemah. Dinding pembuluh darah menjadi lebih tebal
tapi lemah sehingga mudah terjadi perdarahan. Sehingga epistaksis dapat terjadi pada
pasien diabetes mellitus.

c) Infeksi akut
Demam berdarah
Sebagai tanggapan terhadap infeksi virus dengue, kompleks antigen-antibodi
selain mengaktivasi sistem komplemen, juga menyebabkan agregasi trombosit dan
mengaktivitasi sistem koagulasi melalui kerusakan sel endotel pembuluh darah.
Kedua faktor tersebut akan menyebabkan perdarahan pada DBD. Agregasi trombosit
terjadi sebagai akibat dari perlekatan kompleks antigen-antibodi pada membran
trombosit mengakibatkan pengeluaran ADP (adenosin di phosphat), sehingga
trombosit melekat satu sama iain. Hal ini akan menyebabkan trombosit dihancurkan
oleh RES (reticulo endothelial system) sehingga terjadi trombositopenia. Agregasi
trombosit ini akan menyebabkan pengeluaran platelet faktor III mengakibatkan
terjadinya koagulopati konsumtif (KID = koagulasi intravaskular deseminata),
ditandai dengan peningkatan FDP (fibrinogen degredation product) sehingga terjadi

16
penurunan faktor pembekuan. Oleh karena itu epistaksis sering terjadi pada kasus
demam berdarah.

d) Gangguan hormonal
Pada saat hamil terjadi peningkatan estrogen dan progestron yang tinggi di pembuluh
darah yang menuju ke semua membran mukosa di tubuh termasuk di hidung yang
menyebabkan mukosa bengkak dan rapuh dan akhirnya terjadinya epistaksis.

e) Alkoholisme
Alkohol dapat menyebabkan sel darah merah menggumpal sehingga menyebabkan
terjadinya sumbatan pada pembuluh darah. Hal ini menyebabkan terjadinya hipoksia
dan kematian sel. Selain itu hal ini menyebabkan peningkatan tekanan intravascular
yang dapat mengakibatkan pecahnya pembuluh darah sehingga dapat terjadi
epistaksis.

Patofisiologi
Menentukan sumber perdarahan amat penting, meskipun kadang-kadang sukar
ditanggulangi. Pada umumnya terdapat dua sumber perdarahan, yaitu dari bagian anterior dan
posterior.
1) Epistaksis anterior dapat berasal dari Pleksus Kiesselbach, merupakan sumber
perdarahan paling sering dijumpai anak-anak. Dapat juga berasal dari arteri ethmoid
anterior. Perdarahan dapat berhenti sendiri (spontan) dan dapat dikendalikan dengan
tindakan sederhana.

2) Epistaksis posterior, berasal dari arteri sphenopalatina dan arteri ethmoid posterior.
Perdarahan cenderung lebih berat dan jarang berhenti sendiri, sehingga dapat
menyebabkan anemia, hipovolemi dan syok. Sering ditemukan pada pasien dengan
penyakit kardiovaskular.

Gambaran Klinis dan Pemeriksaan


Pasien sering menyatakan bahwa perdarahan berasal dari bagian depan dan belakang
hidung. Perhatian ditujukan pada bagian hidung tempat awal terjadinya perdarahan atau pada
bagian hidung yang terbanyak mengeluarkan darah.

17
Kebanyakan kasus epistaksis timbul sekunder trauma yang disebabkan oleh mengorek
hidung menahun atau mengorek krusta yang telah terbentuk akibat pengeringan mukosa
hidung berlebihan. Penting mendapatkan riwayat trauma terperinci. Riwayat pengobatan atau
penyalahgunaan alkohol terperinci harus dicari. Banyak pasien minum aspirin secara teratur
untuk banyak alasan. Aspirin merupakan penghambat fungsi trombosit dan dapat
menyebabkan pemanjangan atau perdarahan. Penting mengenal bahwa efek ini berlangsung
beberapa waktu dan bahwa aspirin ditemukan sebagai komponen dalam sangat banyak
produk. Alkohol merupakan senyawa lain yang banyak digunakan, yang mengubah fungsi
pembekuan secara bermakna.
Alat-alat yang diperlukan untuk pemeriksaan adalah lampu kepala, speculum hidung
dan alat penghisap(bila ada) dan pinset bayonet, kapas, kain kassa .
Untuk pemeriksaan yang adekuat pasien harus ditempatkan dalam posisi dan
ketinggian yang memudahkan pemeriksa bekerja. Harus cukup sesuai untuk mengobservasi
atau mengeksplorasi sisi dalam hidung.
Dengan spekulum hidung dibuka dan dengan alat pengisap dibersihkan semua kotoran
dalam hidung baik cairan, sekret maupun darah yang sudah membeku; sesudah dibersihkan
semua lapangan dalam hidung diobservasi untuk mencari tempat dan faktor-faktor penyebab
perdarahan. Setelah hidung dibersihkan, dimasukkan kapas yang dibasahi dengan larutan
anestesi lokal yaitu larutan pantokain 2% atau larutan lidokain 2% yang ditetesi larutan
adrenalin 1/1000 ke dalam hidung untuk menghilangkan rasa sakit dan membuat
vasokontriksi pembuluh darah sehingga perdarahan dapat berhenti untuk sementara. Sesudah
10 sampai 15 menit kapas dalam hidung dikeluarkan dan dilakukan evaluasi.
Pasien yang mengalami perdarahan berulang atau sekret berdarah dari hidung yang
bersifat kronik memerlukan fokus diagnostik yang berbeda dengan pasien dengan perdarahan
hidung aktif yang prioritas utamanya adalah menghentikan perdarahan. Pemeriksaan yang
diperlukan berupa :
a) Rinoskopi anterior : Pemeriksaan harus dilakukan dengan cara teratur dari anterior ke
posterior. Vestibulum, mukosa hidung dan septum nasi, dinding lateral hidung dan
konkha inferior harus diperiksa dengan cermat.

18
Gambar 6 : Rhinoskopi Anterior

b) Rinoskopi posterior
Pemeriksaan nasofaring dengan rinoskopi posterior penting pada pasien dengan
epistaksis berulang dan sekret hidung kronik untuk menyingkirkan neoplasma(7)
c) Pengukuran tekanan darah
Tekanan darah perlu diukur untuk menyingkirkan diagnosis hipertensi, karena
hipertensi dapat menyebabkan epistaksis yang hebat dan sering berulang.
d) Rontgen sinus dan CT-Scan atau MRI
Rontgen sinus dan CT-Scan atau MRI penting mengenali neoplasma atau infeksi.
e) Endoskopi hidung untuk melihat atau menyingkirkan kemungkinan penyakit lainnya.

Gambar 7: Tampilan endoskopi epistaksis posterior(5)

f) Skrining terhadap koagulopati

19
Tes-tes yang tepat termasuk waktu protrombin serum, waktu tromboplastin parsial,
jumlah platelet dan waktu perdarahan.
g) Riwayat penyakit
Riwayat penyakit yang teliti dapat mengungkapkan setiap masalah kesehatan yang
mendasari epistaksis.

Penatalaksanaan
Hal yang senantiasa untuk diperhatikan adalah airway, breathing dan circulation dari
penderita. Prinsip utama dalam menanggulangi epistaksis, yaitu memperbaiki keadaan umum,
menghentikan perdarahan, mencegah komplikasi dan mencegah berulangnya epistaksis.
Kalau ada syok, perbaiki dulu keadaan umum pasien. Hal yang perlu pula diperhatikan
adalah posisi penderita agar senyaman mungkin, duduk tegak untuk memudahkan
pemeriksaan.
a. Menghentikan perdarahan
Menghentikan perdarahan secara aktif seperti kaustik dan pemasangan tampon, lebih
baik daripada pemberian obat hemostatik sambil menunggu epistaksis berhenti dengan
sendirinya.
Seorang pasien yang datang dengan epsitaksis, jika mungkin pasien harus diperiksa
dalam keadaan duduk tegak, sedangkan kalau sudah terlalu lemah, dibaringkan dengan
meletakkan bantal di belakang punggungnya.
Sumber perdarahan dicari dengan bantuan alat pengisap untuk membersihkan hidung
dari bekuan darah. Kemudian tampon kapas yang telah dibasahi dengan adrenalin 1/10.000
dan lidocain atau pantocain 2% dimasukkan ke dalam rongga hidung, untuk menghentikan
perdarahan dan mengurangi rasa nyeri pada waktu tindakan-tindakan selanjutnya. Tampon ini
dibiarkan selama 3-5 menit. Dengan cara ini dapatlah ditentukan apakan sumber perdarahan
letaknya di bagian anterior atau di bagian posterior.

 Perdarahan anterior
Perdarahan anterior seringkali berasal dari septum bagian depan (pleksus Kisselbach).
Gulungan kapas yang telah dibasahi dengan anestetik lokal dan dekongestan lalu dimasukkan
dengan hati-hati ke dalam hidung. Bila perdarahan tidak berhenti, pemasangan tampon
diulangi, dan bila sumbernya telah terlihat, tempat asal perdarahan dikaustik dengan larutan
Nitras Argenti 20-30%, atau dengan Asam Triklorasetat 10%, atau dapat juga dengan
elektrokauter.
20
Gambar 8 . Tampon anterior dan Tampon rol anterior

Bila dengan cara ini perdarahan masih terus berlangsung, maka perlu dilakukan
pemasangan tampon anterior dengan kapas atau kain kasa berukuran 72 x 1/2 inci yang diberi
vaselin (boorzalf). Pemakaian vaselin pada tampon berguna agar tampon tidak melekat, untuk
menghindari berulangnya perdarahan ketika tampon dicabut. Tampon dimasukkan melalui
nares anterior dan disusun dari dasar hingga atap hidung dan meluas hingga ke seluruh
panjang rongga hidung hingga tampon dapat menekan tempat asal perdarahan. Tampon ini
dapat dipertahankan selama 1-2 hari, kadang 3-4 hari.

 Perdarahan posterior
Perdarahan dari bagian posterior lebih sulit diatasi, sebab biasanya perdarahan hebat
dan sulit dicari sumber perdarahan dengan rinoskopi anterior.
Untuk menanggulangi perdarahan posterior dilakukan pula tahap-tahap seperti pada
penanganan perdarahan anterior hingga dapat diketahui sumber perdarahannya. Bila ternyata
sumber perdarahannya berasal dari daerah posterior, maka dilakukan tampon posterior, yang
disebut tampon Bellocq. Tampon ini harus tepat menutup koana (nares posterior). Tampon
Bellocq dibuat dari kasa padat berbentuk bulat atau kubus berdiameter kira-kira 3 cm.
Untuk memasang tampon posterior ini kateter karet (satu kateter) dimasukkan melalui
salah satu nares anterior sampai tampak di orofaring, lalu ditarik keluar melalui mulut. Ujung
kateter kemudian diikatkan pada salah satu benang pada tampon Bellocq, kemudian kateter
itu ditarik kembali melalui hidung. Ujung benang yang sudah keluar melalui nares anterior

21
kemudian ditarik dan dengan bantuan jari telunjuk, tampon itu didorong ke nasofaring. Jika
dianggap perlu, bila masih tampak perdarahan keluar dari rongga hidung, maka dapat pula
dimasukkan tampon anterior ke dalam kavum nasi. Benang yang keluar dari nares anterior itu
kemudian diikat pada sebuah gulungan kain kasa di depan lubang hidung, supaya tampon
yang terletak di nasofaring tidak bergerak. Benang yang terdapat di rongga mulut terikat pada
sisi lain dari tampon Bellocq, dilekatkan pada pipi pasien. Gunanya ialah untuk menarik
tampon ke luar melalui mulut setelah 2-3 hari.

Gambar 9. Tampon Bellocq

Untuk pengontrolan aliran perdarahan yang masif dapat pula dilakukan dengan
epistaxis balloon atau Foley catheter sebagai pengganti tampon posterior.
Tampon balon untuk epistaksis telah menjadi lebih memiliki ketersediaan dan lebih
bervariasi daripada menggunakan balon kateter Foley saat pertama kali digunakan. Konsep
ini sama dengan tampon hidung secara tradisional; balon biasanya diisi oleh penempatan
udara atau saline ke dalam balon, tekanan diterapkan pada dinding lateral hidung dan septum.
Jenis yang lebih baru dari tampon balon hidung antara balon ganda, gabungan dari balon dan
Merocel yang memiliki keuntungan dari tinggal di tempat setelah deflasi balon dan
penghapusan.
Beberapa balon hidung memungkinkan terjadinya respirasi dan ekspirasi seperti
normal melalui pusat berongga terintegrasi. Namun cara ini memiliki kelemahan utama
tampon balon adalah ketidakmampuan untuk menempatkan tekanan yang adekuat terhadap
tempat sebenarnya perdarahan terjadi, karena merupakan penempatan "buta" seperti tampon

22
anterior dan posterior. Juga ada kemukinan terjadi nekrosis alar atau columellar dapat terjadi
jika tekanan tamponnya terlalu banyak mendominasi ke arah lateral atau medial.

Gambar 10.Storz epistaksis Kateter

Obat hemostatik diberikan juga di samping tindakan penghentian perdarahan itu.

Gambar 11. Tampon posterior dengan Kateter Foley


Pada epistaksis berat dan berulang yang tidak dapat diatasi dengan pemasangan
tampon anterior maupun posterior, dilakukan ligasi arteri.

b. Mencegah komplikasi
Komplikasi dapat terjadi sebagai akibat langsung dari epistaksis sendiri atau sebagai
akibat dari usaha penanggulangan epistaksis. Sebagai akibat perdarahan yang hebat dapat
terjadi syok dan anemia. Turunnya tekanan darah mendadak dapat menimbulkan iskemi
cerebri, insufisiensi koroner dan infark miokard, sehingga dapat menyebabkan kematian.
Dalam hal ini pemberian infus atau transfusi darah harus dilakukan secepatnya.
Penelitian menunjukkan bahwa sumbatan jalan napas lengkap pada individu tertentu
mengarah pada peningkatan PCO¬2 dan penurunan PO2. Kombinasi keduanya pada pasien

23
dengan riwayat paru atau jantung dapat menimbulkan komplikasi bermakna, misalnya IMA
dan gangguan pembuluh darah otak.
Pemasangan tampon dapat menyebabkan sinusitis, otitis media dan bahkan septikemia.
Oleh karena itu antibiotik haruslah selalu diberikan pada setiap pemasangan tampon hidung,
dan setelah 2-3 hari tampon harus dicabut. Jika masih ada perdarahan dapat dipasang tampon
baru.

c. Medikamentosa
Selama pemasangan tampon (3-4 hari), kenyamanan pasien akan terganggu dan untuk
itu perlu pemberian sedatif dan analgesik untuk mengontrol rasa nyeri.
Pertimbangan untuk pemberian antibiotik broad spektrum adalah untuk mencegah
terjadinya komplikasi akibat kuman patogen selama pemasangan tampon.

Komplikasi
Dapat terjadi langsung akibat epistaksis sendiri atau akibat usaha penanggulangannya.
Akibat pemasangan tampon anterior dapat timbul sinusitis (karena ostium sinus tersumbat),
air mata yang berdarah (bloody tears) karena darah mengalir secara retrograd melalui duktus
nasolakrimalis dan septikemia. Akibat pemasangan tampon posterior dapat timbul otitis
media, haemotympanum, serta laserasi palatum mole dan sudut bibit bila benang yang
dikeluarkan melalui mulut terlalu kencang ditarik.
Sebagai akibat perdarahan hebat dapat terjadi syok dan anemia. Tekanan darah yang
turun mendadak dapat menimbulkan iskemia otak, insufisiensi koroner dan infark miokard
dan akhirnya kematian. Harus segera dilakukan pemberian infus atau transfusi darah.

Diagnosis Banding
Sebagian besar pasien epistaksis mempunyai tempat perdarahan yang terletak anterior
dalam cavitas nasalis akibat kejadian traumatik ringan, misalnya perdarahan bisa akibat
memasukkan objek (lazim suatu jari tangan). Keadaan kering, terutama musim dingin, akibat
sistem pemanasan dan kurangnya kelembaban, maka membrana hidung menjadi kering dan
retak yang menyebabkan permukaannya berdarah. Area ini tepat mengelilingi perforasi
septum atau deviasi septum bisa menjadi kering karena aliran udara hidung abnormal dan
bisa timbul perdarahan. Pada kelompok usia pediatri, benda asing dan alergi menjadi sebab
lazim epistaksis. Beberapa anak bisa berdarah akibat ruptura pembuluh darah septum yang
membesar yang muncul dari lantai hidung. Perdarahan juga dapat terjadi pada trauma

24
pembuluh darah disekitar basis cranii yang kemudian masuk ke hidung melalui sinussphenoid
atau tuba eustachius.

Pencegahan
Ada beberapa cara yang dapat digunakan untuk mencegah terjadinya epistaksis antara
lain :
a. Gunakan semprotan hidung atau tetes larutan garam, yang keduanya dapat dibeli, pada
kedua lubang hidung dua sampai tiga kali sehari. Untuk membuat tetes larutan ini dapat
mencampur 1 sendok the garam ke dalam secangkir gelas, didihkan selama 20 menit lalu
biarkan sampai hangat kuku.
b. Gunakan alat untuk melembabkan udara di rumah.
c. Gunakan gel hidung larut air di hidung, oleskan dengan cotton bud. Jangan masukkan
cotton bud melebihi 0,5 – 0,6cm ke dalam hidung.
d. Hindari meniup melalui hidung terlalu keras.
e. Bersin melalui mulut.
f. Hindari memasukkan benda keras ke dalam hidung, termasuk jari.
g. Batasi penggunaan obat – obatan yang dapat meningkatkan perdarahan seperti aspirin
atau ibuprofen.
h. Konsultasi ke dokter bila alergi tidak lagi bisa ditangani dengan obat alergi biasa.
i. Berhentilah merokok. Merokok menyebabkan hidung menjadi kering dan menyebabkan
iritasi. Saat pertama kali datang, pasien mungkin tidak dalam keadaan perdarahan aktif,
namun mempunyai riwayat epistaksis berulang dalam beberapa minggu terakhir.
j. Biasanya berupa serangan epistaksis ringan yang berulang beberapa kali.Pemeriksaan
hidung dalam keadaan ini dapat mengungkap adanya pembuluh-pembuluh yang menonjol
melewati septum anterior, dengan sedikit bekuan darah. Pembuluh tersebut dapat
dikauterisasi secara kimia atau listrik.
k. Penggunaan anestetik topical dan agen vasokonstriktor, misalnya larutan kokain 4% atau
Xilokain dengan epinefrin, selanjutkan lakukan kauterisasi, misalnya dengan larutan asam
trikloroasetat 50% pada pembuluh tersebut.
l. Perdarahan berulang dari suatu pembuluh darah septum dapat diatasi dengan
meninggikan mukosa setempat dan kemudian membiarkan jaringan menata dirinya
sendiri, atau dengan merekonstruksi deformitas septum dasar, untuk menghilangkan
daerah-daerah atrofi setempat dan lokasi tegangan mukosa.

25
m. Pada perdarahan hidung ringan yang berulang dengan asal yang tidak diketahui, dokter
harus menyingkirkan tumor nasofaring atau sinus paranasalis yang mengikis pembuluh
darah. Sinusitis kronik merupakan penyebab lain yang mungkin. Akhirnya pemeriksa
harus mencari gangguan patologik yang terletak jauh seperti penyakit ginjal dan uremia,
atau penyakit sistemik seperti gangguan koagulasi. Agar epistaksis tidak berulang,
haruslah dicari dan diatasi etiologi dari epistaksis.

Prognosis
Sembilan puluh persen kasus epistaksis anterior dapat berhenti sendiri. Pada pasien
hipertensi dengan/tanpa arteriosklerosis, biasanya perdarahan hebat, sering kambuh dan
prognosisnya buruk

26
BAB 3
KESIMPULAN
Epistaksis (perdarahan dari hidung) adalah suatu gejala dan bukan suat penyakit,
yang disebabkan oleh adanya suatu kondisi kelainan atau keadaan tertentu. Epistaksis bisa
bersifat ringan sampai berat yang dapat berakibat fatal. Epistaksis disebabkan oleh banyak
hal, namun dibagi dalam dua kelompok besar yaitu sebab lokal dan sebab sistemik. Epistaksis
dibedakan menjadi dua berdasarkan lokasinya yaitu epistaksis anterior dan epistaksis
posterior. Dalam memeriksa pasien dengan epistaksis harus dengan alat yang tepat dan dalam
posisi yang memungkinkan pasien untuk tidak menelan darahnya sendiri.
Prinsip penanganan epistaksis adalah menghentikan perdarahan, mencegah
komplikasi dan mencegah berulangnya epistaksis. Pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk
memeriksa pasien dengan epistaksis antara lain dengan rinoskopi anterior dan posterior,
pemeriksaan tekanan darah, foto rontgen sinus atau dengan CT-Scan atau MRI, endoskopi,
skrining koagulopati dan mencari tahu riwayat penyakit pasien.

27
DAFTAR PUSTAKA

Adam GL, Boies LR, Higler PA. (eds) Buku Ajar Penyakit THT, Edisi Keenam,
Philadelphia : WB Saunders, 1989. Editor Effendi H. Cetakan III. Jakarta, Penerbit EGC,
1997.

Anias CR. Epistaxis. Otorrhinolaryngology [serial online] cited 2012 Dec 8 Available
from :http://www.medstudents.com.br/otor/otor3.htm

Evans JA. Epistaxis: Treatment & Medication. eMedicines Specialities 2007 Nov 28
[cited 2018 Jan 07] Available from: http://emedicine.medscape.com/article/764719-
treatment

Freeman R. Nosebleed. Health Information Home [serial online] 2007 Feb 2 [cited
2018 Jan 07] Available from :
http://my.clevelandclinic.org/disorders/Nosebleed/hic_Nosebleed_Epistaxis.aspx

Iskandar N, Supardi EA. (eds) Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga Hidung
Tenggorokan. Edisi Keempat, Jakarta FKUI, 2000; 91, 127-31.

Schlosser RJ. Epistaxis. New England Journal Of Medicine [serial online] 2009 feb
19 [cited 2018 Jan 07]Available from: http://content.nejm.org/cgi/content/full/360/8/784

Suryowati E. Epistaksis. Medical Study Club FKUII [cited 2018 Jan 07] Available
from:http://fkuii.org/tikidownload_wiki_attachment.php?attId=2175&page=LEM%20FK
%20UII

28

Anda mungkin juga menyukai