Anda di halaman 1dari 51

REFRESHING

RHINITIS

Pembimbing:

dr. Pramusinto Adhi, Sp. THT-KL

Disusun oleh:

Nadya Lutfi 2016730075

KEPANITERAAN KLINIK ILMU THT

RSUD SEKARWANGI KABUPATEN SUKABUMI

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA

2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas berkat dan Rahmat-Nya
penulis dapat menyelesaikan laporan refreshing ini tepat pada waktunya, refreshing yang di tulis
berjudul “Rhinitis”, refreshing ini disusun dalam rangka mengikuti kepanitraan Klinik stase ilmu
THT RSUD Sekarwangi Kabupaten Sukabumi.
Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada
semua pihak yang telah banyak memberikan bimbingan kepada penulis:
1. dr. Pramusinto Adhi, Sp. THT-KL selaku dokter pembimbing serta dokter spesialis
THT-KL RSUD Sekarwangi Kabupaten Sukabumi.
2. Teman – teman seperbimbingan dan semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu-
persatu yang telah memberikan bantuan kepada penulis.
Penulis menyadari bahwa dalam laporan ini masih banyak kekurangan. Oleh karena
itu, semoga laporan ini dapat memberikan manfaat dan tambahan pengetahuan khususnya
kepada penulis dan kepada pembaca.

Terimakasih
Sukabumi, 18 Agustus 2020

Nadya Lutfi

i
BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and It’s Impact on Asthma) tahun
2001, rhinitis adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa
gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh
IgE.

Rhinitis dapat dibagi berdasarkan beberapa kategori. Berdasarkan


durasinya, rhinitis dibagi menjadi rhinitis intermiten dan rhinitis persisten.
Berdasarkan tingkat keparahannya, rhinitis dibagi menjadi rhinitis ringan dan
rhinitis sedang-berat. Berdasarkan etiologinya, rhinitis dibagi menjadi rhinitis
alergi dan rhinitis nonalergi.

Prevalensi rhinitis alergi semakin hari semakin meningkat di seluruh dunia.


Di Amerika, prevalensi untuk rhinitis alergi adalah sebesar 10 – 30 % pada usia
dewasa dan hampir 40% pada usia anak-anak. Peningkatan prevalensi rhinitis alergi
ini dapat menjadi suatu bebab ekonomi yang berat karena pada umumnya pasien
dengan rhinitis alergi akan mengalami gangguan dalam menjalankan aktivitasnya
dan penurunan kualitas hidup.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG


2.1.1. Anatomi Hidung
Hidung terdiri dari hidung bagian luar atau piramid hidung dan rongga
hidung dengan pendarahan serta persarafannya. Hidung luar berbentuk piramid
dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah: 1) pangkal hidung, 2) dorsum nasi,
3) puncak hidung, 4) ala nasi, 5) kolumela dan 6) lubang hidung (nares anterior).
Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi kulit,
jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau
menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari 1) tulang hidung (os
nasalis, 2) prosesus frontalis os maksila dan 3) prosesus nasalis os frontal.
Sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari.1) sepasang kartilago nasalis lateralis
superior, 2) sepasang kartilago nasalis lateralis inferior (kartilago ala mayor), 3)
beberapa pasang kartilago ala minor, dan 4) tepi inferior kartilago septum. 1,2.

Gambar. Anatomi Luar Hidung


Gambar. Anatomi Luar Hidung

Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke


belakang, dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi
kanan dan kiri. Pintu atau lubang masuk kavum nasi di bagian depan disebut nares
anterior dan lubang belakang disebut nares posterior (koana) yang menghubungkan
kavum nasi dengan nasofaring.

Septum bagian luar dilapisi oleh mukosa hidung. Bagian depan dinding
hidung licin, yang disebut agar nasi dan di belakangnya terdapat konka-konka yang
mengisi sebagian besar dinding lateral hidung.1

Bagian hidung dalam terdiri atas struktur yang membentang dari nares
anterior hingga koana di posterior yang memisahkan rongga hidung dari nasofaring.
Septum nasi membagi tengah bagian hidung dalam menjadi kavum nasi kanan dan
kiri. Setiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding yaitu dinding medial, lateral,
inferior dan superior.

Bagian inferior kavum nasi berbatasan dengan kavum oris dipisahkan oleh
palatum durum. Ke arah posterior berhubungan dengan nasofaring melalui koana.
Di sebelah lateral dan depan dibatasi oleh nasus externus. Di sebelah lateral
belakang berbatasan dengan orbita : sinus maksilaris, sinus etmoidalis, fossa
pterygopalatina, fossa pterigoides.
Gambar. Anatomi Dalam Hidung

Gambar. Anatomi kavum nasi2


a) Dasar hidung

Dibentuk oleh prosesus palatina os maksila dan prosesus horizontal os


palatum. Atap hidung terdiri dari kartilago lateralis superior dan inferior, dan
tulang-tulang os nasale, os frontale lamina cribrosa, os etmoidale, dan corpus
os sphenoidale. Dinding medial rongga hidung adalah septum nasi. Septum
nasi terdiri atas kartilago septi nasi, lamina perpendikularis os etmoidale, dan
os vomer. Sedangkan di daerah apex nasi, septum nasi disempurnakan oleh
kulit, jaringan subkutis, dan kartilago alaris major.

b) Dinding lateral
Dinding lateral dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu di anterior
terdapat prosesus frontalis os maksila, di medial terdapat os etmoidal, os
maksila serta konka, dan di posterior terdapat lamina perpendikularis os
palatum, dan lamina pterigoides medial. Bagian terpending pada dinding
lateral adalah empat buah konka. Konka terbesar dan letaknya paling bawah
ialah konka inferior kemudian konka yang lebih kecil adalah konka media,
konka superior dan yang paling kecil adalah konka suprema. Konka suprema
biasanya akan mengalami rudimenter. Diantara konka-konka dan dinding
lateral hidung terdapat rongga sempit yang dinamakan dengan meatus.
Terdapat tiga meatus yaitu meatus inferior, media dan superior.
Meatus superior atau fisura etmoid merupakan suatu celah yang sempit
antara septum dan massa lateral os etmoid di atas konka media. Resesus
sfenoetmoidal terletak di posterosuperior konka superior dan di depan konka
os spenoid. Resesus sfenoetmoidal merupakan tempat bermuaranya sinus
sfenoid.

Meatus media merupakan salah satu celah yang di dalamnya terdapat muara
sinus maksila, sinus frontal dan bagian anterior sinus etmoid. Di balik bagian
anterior konka media yang letaknya menggantung, pada dinding lateralnya
terdapat celah berbentuk bulan sabit yang disebut sebagai infundibulum.
Muara atau fisura berbentuk bulan sabit yang menghubungkan meatus medius
dengan infundibulum dinamakan hiatus semilunaris. Dinding inferior dan
medial infundibulum membentuk tonjolan yang berbentuk seperti laci dan
dikenal sebagai prosesus unsinatus. Ostium sinus frontal, antrum maksila,
dan sel-sel etmoid anterior bermuara di infundibulum. Sinus frontal dan sel-
sel etmoid anterior biasanya bermuara di bagian anterior atas, dan sinus
maksila bermuara di posterior muara sinus frontal.
Meatus nasi inferior adalah yang terbesar di antara ketiga meatus,
mempunyai muara duktus nasolakrimalis yang terdapat kira-kira antara 3
sampai 3,5 cm di belakang batas posterior nostril.

c) Septum Hidung

Gambar. Anatomi septum hidung.

Septum membagi kavum nasi menjadi ruang kanan dan kiri. Bagian
posterior dibentuk oleh lamina perpendikularis os etmoid, bagian anterior
oleh kartilago septum, premaksila dan kolumela membranosa. Bagian
posterior dan inferior oleh os vomer, krista maksila, krista palatina dan krista
sfenoid.

Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang


a.sfenopalatina, a.etmoid anterior, a.labialis superior, dan a.palatina mayor
yang disebut Pleksus Kiesselbach (Little’s area). Pleksus Kiesselbach
letaknya superfisial dan mudah cidera oleh trauma, sehingga sering menjadi
sumber epistaksis (pendarahan hidung) terutama pada anak.
Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan
berdampingan dengan arteri. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung
bermuara ke v.oftalmika yang berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena-
vena di hidung tidak memiliki katup sehingga merupakan faktor predisposisi
untuk mudahnya penyebaran infeksi hingga ke intrakranial.

Gambar. Vaskularisasi hidung

Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari
n.etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari n.nasosiliaris, yang
berasal dari n.oftalmikus (N.V1). Rongga hidung lainnya, sebagian besar
mendapat persarafan sensoris dari n.maksila melalui ganglion
sfenopalatinum. Ganglion sfenopalatinum selain memberikan persarafan
sensoris juga memberikan persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa
hidung. Ganglion ini menerima serabut-serabut sensoris dari n.maksila
(N.V2), serabut parasimpatis dari n.petrosus superfisialis mayor dan serabut-
serabut simpatis dari n.petrosus profundus. Ganglion sfenopalatinum terletak
di belakang dan sedikit di atas ujung posterior konka media.
Nervus olfaktorius turun dari lamina kribrosa dari permukaan bawah
bulbus olfaktorius dan berakhir pada sel-sel reseptor penghidu pada mukosa
olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung.

Gambar. Inervasi hidung

2.1.2. Fisiologi Hidung


Berdasarkan teori struktural, teori revolusioner dan teori fungsional,
maka fungsi fisiologis hidung dan sinus paranasal adalah : 1) fungsi respirasi
untuk mengatur kondisi udara (air conditioning), penyaring udara,
humidifikasi, penyeimbang dalam pertukaran tekanan dan mekanisme
imunologik lokal ; 2) fungsi penghidu, karena terdapanya mukosa olfaktorius
(penciuman) dan reservoir udara untuk menampung stimulus penghidu ; 3)
fungsi fonetik yang berguna untuk resonansi suara, membantu proses
berbicara dan mencegah hantaran suara sendiri melalui konduksi tulang ; 4)
fungsi statistik dan mekanik untuk meringankan beban kepala, proteksi
terhadap trauma dan pelindung panas; 5) refleks nasal.
2.1.3. Histologi

Bagian paling depan rongga hidung adalah vestibulum yang dilapisi oleh epitel
berlapis gepeng berkeratin. Di dalam vestibulum, terdapat kelenjar keringat, kelenjar
sebasea, dan bulu-bulu hidung yang disebut vibrisa. Vibrisa ini berperan dalam
penyaringan pertikel-partikel yang berukuran besar pada udara inspirasi.

Epitel respiratorik pada kavum nasi terdiri atas lima jenis sel. Sel-sel tersebut adalah :

1) Sel silindris bersilia Sel ini merupakan sel terbanyak yang terdapat pada epitel
respiratorik. Pada permukaan apikal sel terdapat kurang lebih 300 silia. 2
2) Sel goblet mukosa Sel ini cukup banyak dijumpai di epitel respiratorik. Sel ini
mengandung granula glikoprotein musin pada bagian apikalnya.
3) Sel sikat (brush cells) Sel ini berbentuk silindris yang jumlahnya tidak banyak, sekitar
3% dari total sel yang terdapat pada epitel respiratorik. Sel sikat memiliki permukaan
apikal yang kecil. Di atasnya terdapar banyak mikrovili yang pendek dan tumpul.
Diperkirakan sel ini sebagai reseptor kemosensoris karena sel ini memperlihatkan
beberapa komponen transduksi sinyal.
4) Sel granul kecil 15 Jumlah sel ini kurang lebih sama dengan sel sikat. Sel granul kecil
mengandung banyak granul padat dengan diameter 100-300 nm.
5) Sel basal Sel basal berbentuk bulat kecil dan terdapat di membran basal. Sel ini
tergolong sel punca yang nantinya dapat membentuk sel-sel yang baru.

Epitel olfaktorius yang melapisi daerah konka nasalis superior berbentuk tingkat dan
silindris. Luas epitel ini kurang lebih 10 cm2 dengan tebal 100 µm. Lamina propria pada
epitel ini memiliki kelenjar serosa besar yang akan menyekresikan cairan di sekitar silia
penghidu dan mempermudah akses zat pembau yang baru. Epitel ini terdiri atas tiga jenis
sel, yaitu :

1) Sel-sel basal Sel basal merupakan sel punca yang dapat membentuk dua sel lainnya.
Sel ini kecil, berbentuk kerucut, dan terletak di lamina basal.
2) Sel penyokong Sel ini berbentuk kolumner dengan puncaknya lebih silindris dan
dasarnya lebih sempit. Sel penyokong diperkirakan berperan untuk menjaga
lingkungan di epitel olfaktorius supaya tetap stabil.
Mukosa olfaktori Berada di atap rongga hidung , dikedua sisi sekat pembagi , dan di

permukaan konka superior, salah satu rak tulang dirongga hidung. Epitel olfaktori terbentuk khusus

untuk mendektesi bau. Karena itu epitel ini tampak berbeda dari epitel pernafaan. Epitel olfaktori

adalah epitel kolumnar tinggi berlapis semu tanpa sel goblet dan tanpa silia motilm , berada dari

epitel pernafsan .

Lamina propia dibawahnya mengandung kelenjar olfaktoi ( bowman) tubuloasinus

bercabang. Kelenjar ini menghasilkan secret serosa, berbeda dari secret campuran mukosa dan

serosa yang dihasilkan oleh kelenjar dibagian rongga hidung lainnya. Saraf-saraf keil yang terletak

di lamina propria adalah nervus olfaktorius. Saraf olfaktorius ini adalah agregat akson aferen yang

meninggal kan sel olfaktori dan berlanjut ke dalam rongga cranium tempat akson – akson bersinaps

di saraf olfaktori .
2.2 Rhinitis Alergi
2.2.1 Definisi
Rhinitis adalah suatu reaksi inflamasi pada membran mukosa hidung, yang
dapat menyebabkan hidung tersumbat, rhinorrhea, dan gejala-gejala terkait
tergantung dari etiologinya (misalnya gatal, bersin, berair atau bernanah purulen,
anosmia).

Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh alergi pada
pasien yang atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama
serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan
alergen spesifik tersebut.3

Definisi menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and It’s Impact on Asthma)
tahun 2001 adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa
gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh
IgE.3

2.2.2 Epidemiologi7

Rhinitis alergi secara epidemiologi merupakan penyakit yang bersifat


global dan dapat terjadi di semua usia.

• Global

Prevalensi rhinitis alergi semakin hari semakin meningkat di seluruh


dunia. Di Amerika, prevalensi untuk rhinitis alergi adalah 10-30% pada
usia dewasa dan hampir 40% pada usia anak anak. Peningkatan prevalensi
rhinitis alergi ini dapat menjadi suatu beban ekonomi yang berat karena
pada umumnya pasien dengan rhinitis alergi akan mengalami gangguan
dalam menjalankan aktivitasnya dan penurunan kualitas hidup. Pada suatu
survei di Amerika mengenai gejala rhinitis alergi pada pekerja, sekitar 55%
(8267 pekerja) dengan gejala rhinitis alergi menjadi tidak produktif selama
3.6 hari dalam satu tahun. Di Asia Pasifik, prevalensi rhinitis alergi tinggi
terutama pada negara dengan pendapatan rendah dan menengah, yaitu
sekitar 5-45%.
• Indonesia

Belum ada data nasional mengenai prevalensi rhinitis alergi di


Indonesia. Suatu penelitian di Bandung menemukan prevalensi kasus
rhinitis alergi di RS. Hasan Sadikin sebanyak 38.2% dan sekitar 64.6%
pasien rhinitis alergi tersebut berada pada rentang usia 10-29 tahun dan
sekitar 45.1% berprofesi sebagai pelajar.

2.2.3 Klasifikasi dan Etiologi

Berdasarkan sifat berlangsung rhinitis alergi dibagi menjadi:3

1. Rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis). Rinitis hanya ada
di negara yang mempunyai 4 musim. Allergen penyebabnya spesifik,
yaitu tepungsari (pollen), rerumputan, dan spora jamur.

2. Rinitis alergi sepanjang tahun (perennial). Gejala penyakit ini timbul


intermiten atau terus menerus, tanpa variasi musim. Penyebab yang
paling sering ialah alergen inhalan dan alergen ingestan.

Rhinitis alergi dibagi berdasarkan durasi dan tingkat keparahannya.


 Intermitten (kadang-kadang): bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau kurang
dari 4 minggu.

Gambar. Rhinitis alergi intermitten

 Persisten/ menetap bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan lebih dari 4 minggu.

Gambar. Rhinitis alergika persisten


Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi
menjadi:1

1. Ringan bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan akivitas harian,


bersantai, berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yang mengganggu.

2. Sedang-berat bila terdapat salah satu atau lebih dari gangguan tersebut di
atas.

2.2.4 Etiologi

Secara mikroskopik tampak adanya dilatasi pembuluh darah (vascular


bed) dengan pembersaran sel goblet dan sel pembentuk mukus. Terdapat juga
pembesaran ruang interseluler dan penebalan membran basal, serta ditemukan
infiltrasi sel-sel eosinofil pada jaringan mukosa dan submukosa hidung.3

Gambaran yang demikian terdapat pada saaat serangan. Diluar keadaan


tersebut, mukosa akan kembali normal. Akan tetapi serangan dapat terjadi
terus menerus sepanjang tahun, sehingga lama kelamaan terjadi perubahan
ireversibel, yaitu terjadi proliferasi jaringan ikat dan hiperplasia mukosa,
sehingga tampak mukosa hidung menebal.3

Penyebab umum:8

 Serbuk bunga  Ketombe hewan

 Rumput  Asap Rokok

 Debu  Parfum

 Jamur

Faktor memperparah:8

 Zat kimia  Angin

 Suhu dingin  Polusi udara

 Kelembapan  Hairspray
 Parfum  Asap beracun

 Asap kayu

Berdasarkan cara masuknya alergen dibagi atas: 1

Gambar. Faktor pencetus rhinitis alergika

 Alergen inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernapasan,


misalnya tungau debu rumah, kecoa, serpihan epitel kulit binatang,
rerumputan, serta jamur.3

 Alergen ingestan yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan,


misalnya susu, sapi, telur, coklat, ikan laut, udang kepiting, dan kacang-
kacangan.3

 Alergen injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya


penisilin dan sengatan lebah.3
 Alergen kontaktan, yang masuk melalui kontak kulit atau jaringan
mukosa, misalnya bahan kosmetik, perhiasan.3

2.2.5 Patofisiologi

Gambar. Mekanisme imunologi Rhinitis Alergi

Rhinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali


dengan tahap sensitisasi dan diikuti dengan tahap provokasi/reaksi alergi.
Reaksi alergi terdiri dari 2 fase, yaituimmediate phase allergi reaction atau
reaksi alergi fase cepat (RAFC) yang berlangsung sejak kontak dengan
allergen sampai 1 jam setelahnya dan late phase allergic reaction atau reakse
alergi fase lambat (RAFL) yang berlangsung 2 – 4 jam dengan puncak 6 – 8
jam (fase hiperreaktifitas) setelah pemaparan dan dapat berlangsung sampai
24 – 48 jam.

Pada kontak pertama dengan laergen atau tahap sensitiasai, makrofag


atau monosit yang berperan sebagai sel penyaji (antigen presenting cell/APC)
akan menangkap allergen yang menempel di permukaan mukosa hidung.
Setelah diproses, antigen akan membentuk fragmen pendek peptide dan
bergabung dengan molekul HLA kelas II membetuk komplek peptide MHC
kelas II (major histocompatibility complex) yang kemudian diperesentasika
pada sel T helper (Th-0). Kemudian, sel penyaji akam melepas sitokin, seperti
interleukin I (IL-1) yang mengaktifkan Th-0 untuk berproliferasi menjadi Th-
1 atau Th-2. Th-2 akan menghasilkan berbagai sitokin, seperti IL-3, IL-4, IL-
5, dan IL-13. IL-3 dan IL-4 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel
limfosit B sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi
imunoglobulin E (IgE). IgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan
diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau basophil (sel
mediator) sehingga kedu sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi,
yang menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah
tersentisisasi terpapar dengan allergen yang sama, maka kedua rantai IgE
akan mengikat allergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya dinding
sel) mastosit dan basophil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang
sudah terbentuk (preformed mediators), terutama histamin. Selain histamin
juga dikeluarkan (newly formed meditors), prostaglandin D2 (PGD2),
leukotriene (D4 (LT-D4), leukotriene C4 (LT 4C), brdikinin, platelet
activating factor (PAF), dan berbagais sitokin (IL3, IL4, ILF5, IL6, GM-CSF
(granulocyte macrophage colony sttimulatng factor), dll. Inilah yang disebut
sebagai reaksi alergi fase cepat (RAFC).

Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus


sehingga menimbulkan arsa gataal pada hidung dann ersin-bersin. Histamin
juga akan menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet hipersekresi dan
permeabilitas kapiiler meningkat sehingga terjadi rhinorrea. Gejala lain
adalah hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain histamin
merangsagng ujung saraf vidianus, juga menyebabkan rangsangan pada
mukosa hidung sehingga terjadi pengeluaran inter cellular adhesion molecule
1 (ICAM 1).

Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotakti


yang menyebabkan akumulasi sel eosinophil dan neutrophil di jaringan target.
Respons ini tidak berhenti sampai di sini saja, tapi gejala akan berlanjut dan
mencapai puncak 6 – 8 jam setelah pemaparan. Pada RAFL ini ditandai
dengan penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi, seperti eosinophil,
limfosit,nneutrofil, basophil, dan mastosit di mukosa hidung serta
peningkatan sitokin, seperti IL-3, IL-4, dan granulocyte macrophage colony
stimulating factor (GM-CSF) dan ICAM 1 pada sekret hidung. Timbulnya
gejala hiperaktif atau hiperresponsif hidung adalah akibat peranan eosinophil
dengan mediator inflamasi dari granunya, seperti eosinophilic cationic
protein (ECP), eosinophilic derived protein (EDP), major basic protein
(MBP), dan eosinophilic peroksidase (EPO). Pada fase ini, selain faktor
spesifik (allergen), iritasioleh faktor spesifik dapat memperberat gejala,
seperti asap rokok, bau yang merangsang, perubahn cuaca, dan kelembababn
udara yang tinggi.

2.2.6 Gambaran Histologik

Secara mikroskopik, tampak adanya dilatasi pembuluh darah (vascular


bad) dengan pembesaran sel goblet dan sel pembentuk mukus. Terdapat juga
pembesaran ruang interseluler dan penebalan membrane basal, serta
ditemukan infiltrasi sel-sel eosinoil pada jaringan mukosa dan submucosa
hidung.

Gambaran demikian terdapat pada saat serangan. Diluar keadaan


serangan, mukosa kembali normal. Akan tetapi serangan dapat terjadi terus-
menerus/persisten sepanjang tahun sehingga lama-kelamaan terjadi
perubahan yang ireversibel, yaitu terjadi proliferasi jaringan ikat dan
hyperplasia mukosa sehingga tampak mukosa hidung menebal.

Berdasarkan cara masuknya, allergen dibagi menjadi:

 Allergen inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernapasan,


misalnya tungau debu rumah (D. pteronyssinus, D. farina, B. tropicalis),
kecoa, serpihan epitel kulit binatang (kucing, anjing), rerumputan
(Bermuda grass), serta jamut (Aspergillus, Alternaria).
 Allergen ingestan yang masuk ke saluran cerna berupa makanan,
misalnya susu sapi, telur, coklat, ikan laut, udang, kepiting, dan kaacng-
kacangan
 Alergi injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya
penisilin dan sengatan lebah.
 Allergen kontaktan, yang masuk melalui kontak kulit atau jaringan
mukosa, misalnya bahan kosmetik, perhiasan.

Satu macam alaergen dapat merangsang lebih dari satu organ sasaran
sehingga memberi gejala campuran, misalnya tungau sebu rumah yang
memberi gejala asma bronkial dan rhinitis alergi. 3,4

Dengan masuknya antigen asing ke dalam tubuh, terjadi reaksi yang


secara garis besar terdiri dari:

1. Respons primer
Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini bersifat
nonspesifik dan dapat berakhir sampai di sini. Bila Ag tidak berhasil
seluruhnya dihilangkan, reaksi akan berlanjut menjadi respons sekunder.
2. Respons sekunder
Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai 3 kemungkinan
ialah sistem imunitas selular atau humoral atau keduanya dibangkitkan.
Bila Ag berhasil dieliminiasi pada tahap ini, reaksi selesai. Bila Ag masih
ada atau memang sudah ada defek dari sistem imunologik, maka reaksi
berlanjut menjadi respons tersier.
3. Reaksi tersier
Reaksi imunologik yang terjadi ini tidak menguntungkan bagi tubuh.
Reaksi ini dapat bersifat sementara atau menetap tergantung dari daya
elminasi Ag oleh tubuh.

Gell dan Coombs mengklasifikasikan reaksi ini atas 4 tipe, yaitu tipe 1
atau rekasi anafilaksis (immediate hypersensitivity), tipe 2 atau reaksi
sitotoksik/sitolitik, tipe 3 atau reaksi komplek imun, dan tipe 4 atau reaksi
tuberculin (delayed hypersensitivity).

Manifestasi klinis kerusakan jaringan yang banyak dijumpai


dibidang THT adalah tipe 1, yaitu rhinitis alergi
2.2.7 Diagnosis 3,4,5,6

Diagnosis rhinitis alergi dapat ditegakkan dengan anamnesis,


pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.

1) Anamnesis

Gejala khas dari rhinitis alergi adalah serangan bersin berulang.


Gejala lain adalah keluar ingus (rhinorrea) yang encer dan banyak, hidung
tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan
banyak air mata keluar (lakrimasi). Sering kali gejala yang timbul tidak
lengkap, terutama pada anak. Kadang-kadang keluhan hidung tersumbat
merupakan keluhan utama atau satu-satunya gejala yang diutarakan oleh
pasien. Tanyakan apakah ada kontak dengan:

 Allergen, seperti debu, binatang peliharaan, serangga, atau serbuk


bunga
 Latex, seperti yang digunakan untuk salah satu jenis sarung tangan
 Polutan, misalnya asap rokok atau asap kendaraan

Tanyakan juga apakah ada mengonsumsi obat-obatan, seperti aspirin


atau OAINS, sebelum munculnya gejala rhinitis.

2) Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan rinoskopi anterior, tampak mukosa edema, basah,


berwarna pucat atau livid disertai adanya sekret encer yang banyak. Bila
gejala persisten, mukosa inferior tampak hipertrofi. Pemeriksaan
nasoendoskopi dapat dilakukan bila fasilitas tersedia. Gejala spesifik lain
pada anak adalah terdapatnya bayangan gelap di daerah bawah mata yang
terjadi karena stasis vena sekunder akibat obstruksi hidung. Gejala ini
disebut allergic shiner. Selain itu, sering juga anak tampak menggosok-
gosok hidung dengan punggung tangan. Keadaan menggosok hidung ini
lama kelamaan akan mengakibatkan timbulnya garis melintang di dorsum
nasi bagian sepertiga bawah, yang disebut allergic crease. Mulut sering
terbuka dengan lengkung langit-langit yang tinggi sehingga akan
menyebabkan gangguan pertumbuhan gigi (facies adenoid). Dinding
posterior faring tampak granuler dan edema (cobblestone appearance),
serta dinding lateral farng menebal. Lidah tampak seperti gambaran peta
(geographic tongue).

Gambar. Gambaran Allergic Solute, Shiner & Crease

3) Pemeriksaan Penunjang
 In vitro

Hitung eosinophil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat.


Demikian pula pemeriksaan IgE total (prist-paper radio
immunosorbent test) seringkali menunjukkan nilai normal, kecuali bila
tanda alergi pada pasien lebih dari satu macam penyakit, misalnya
selain rhinitis alergi juga menderita asma bronkial atau urtikaria.
Pemeriksaan ini berguna untuk prediksi kemungkinan alergi pada bayi
atau anak kecil dari suatu keluarga engan derajat alergi yang tinggi.
Lebih bermakna adalah pemeriksaan IgE spesifik dengan RAST (Radio
Immuno Sorbent Test) atau ELISA (Enzyme Linked Immuno Sorbent
Assay Test). Pemeriksaan sitologi hidung, walaupun tidak dapat
memastikan diagnosis, tetap berguna sebagai pemeriksaan pelengkap.
Ditemukannya eosinophil dalam jumlah banyak menunjukkan
kemungkinan alergi inhalan. Jika basophil (> 5 sel/lap) mungkin
disebabkan alergi makanan, sedangkan jika ditemukan sel PMN
menunjukkan adanya infeksi bakteri.

 In vivo

Allergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit


kulit, uji intrakutan atau intradermal yang tungga atau berseri (Skin
End-point Titration/SET), SET dilakukan untuk allergen inhalan
dengan menyuntikkan allergen dalam berbagai konsentrasi yang
bertingkat kepekatannya. Keuntungan SET, selain allergen peyebab
juga derajat alergi serta dosis inisial untuk desensitiasai dapat diketahui.

Untuk alergi makanan, uji kulit yang akhir-akhir ini banyak


dilakukan adalah Intracutaneous Provocative Dilutional Food Test
(IPDFT), tapi sebagai baku emas dapat dilakukan diet eliminasi dan
provokasi (“challenge test”).

Allergen ingestan secara tuntas lenyap dari tubuh dalam waktu


lima hari. Karena itu pada challenge test, makanan yang dicurigai
diberikan pada pasien setelah berpantang selama 5 hari, selanjutnya
diamati reaksinya. Pada diet eliminasi, jenis makanan setiap kali
dihilangkan dari menu makanan sampai suatu ketika gejala menghilang
dengan meniadakan suatu jenis makanan.

2.2.8 Penatalaksanaan3
1. Terapi yang paling ideal adalah dengan menghindari kontak dengan
allergen penyebabnya (avoidance) dan eliminasi
2. Medikamentosa
Antihistamin yang dipakai adalah antagonis histamin H-1, yang
bekerja secara inhibitor kompetitif pada reseptor H-1 sel target, dan
merupakan preparat farmakologik yang paling sering dipakai sebagai lini
pertama pengobatan rhinitis alergi. Dapat diberikan secara kombinasi atau
tanpa kombinasi dengan dekongestan secara peroral.
Antihistamin dibagi dalam 2 golongan, yaitu golongan antihistamin
generasi satu (klasik) dan generasi 2 (nonsedatif). Antihistamin generasi 1
bersifat lipofilik sehingga dapat menembus sawar darah otak (mempunyai
efek pada SSP) dan plasenta serta mempunyai efek kolinergik. Yang
termasuk kelompok ini antara lain difenhidramin, klorfeniramin,
prometasin, siproheptadin, sedangkan yang dapat diberikan secara topikal
adlah azelastine. Antihistamin generasi 2 bersifat lipofobik sehingga sulit
menembus sawar darah otak. Bersifat selektif mengikat reseptor H-1
perifer dan tidak mempunyai efek antikolinergik, antiadrenergic, dan efek
pada SSP minimal (nonsedatif). Antihistamin diabsorpsi secara oral
dengan cepat dan mudah serta efektif untuk mengatasi gejala pada respons
fase cepat, seperti rinore, bersin, gatal, tapi tidak efektif untuk mengatasi
gejala obstruksi hidung pada fase lambat. Antihistamin nonsedatif dapat
dibagi menjadi 2 golongan menurut keamanannya. Kelompok pertama
adalah astemisol dan terfenadine yang mempunyai efek kardiotoksik.
Toksisitas terhadap jantung tersebut disebabkan repolarisasi jantung yang
tertunda dan dapat menyebabkan aritmia ventrikel, henti jantung, dan
menyebabkan kematian mendadak (sudah ditarik dari peredaran).
Kelompok kedua adalah loratadine, setirisin, fexofenadine, desloratadine,
dan levosetirisin.
Preparat simpatomimetik golongan agonis adrenergic alfa dipakai
sebagai dekongestan hidung oral dengan atau tanpa kombinasi dengan
antihistamin atau topikal. Namun, pemakaian secara topikal hanya boleh
untuk beberapa hari saja untuk menghindari terjadinya rhinitis
medikamentosa.
Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala terutama sumbatan hidung
akibat respons fase lambat tidak berhasil diatasi dengan obat lain. Yang
sering dipakai adalah kortikosteroid topikal (beklometason, budenosid,
flunisolide, flutikason, mometason furoat, dan triamsinolon).
Kortikosteroid topikal bekerja untuk mengurangi jumlah sel mastosit pada
mukosa hidung, mencegah pengeluaran protein sitotoksik dari eosinophil,
mengurangi aktifitas limfosit, mencegah bocornya plasma. Hal ini
menyebabkan epitel hidung tidak hiperresponsif terhadap rangsangan
allergen (bekerja pada respon fase cepat dan lambat). Preparat sodium
kromoglikat topikal bekerja menstabilkan mastosit (mungkin menghambat
ion kalsium) sehingga pelepasan mediator dihambat. Pada respons fase
lambat, obat ini juga menghambat proses inflamasi dengan menghambat
aktivasi sel netrofil, eosinophil, dan monosit. Hasil terbaik dapat dicapai
bila diberikan sebagai profilaksis.
Preparat antikolinergik topikal adalah ipratropium bromide,
bermanfaat untuk mengatasi rinore karena aktivitas inhibisi reseptor
kolinergik pada permukaan sel efektor.
Pengobatan baru lainnya untuk rhinitis alergi adalah antileukotriene
(zafirlukast/montelukast), anti IgE, DNA rekombinan.

3. Operatif
Tindakan konkotomi parsial (pemotongan sebagian konka inferior),
konkoplasti, atau multiple outfractured, inferios turbnioplasty perlu
dipikirkan bila konka inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan
dengan cara kauterisasi memakai AgNO3 25% atau triklor asetat.

4. Imunoterapi
Cara pengobatan ini dilakukan pada alergi inhalan dengan gejala
yang berat dan sudah berlangsung lama serta dengan pengobatan cara lain
tidak memberikan hasil yang memuaskan. Tujuan dari imunoterapi adalah
pembentukan IgG blocking antibody dan penurunan IgE. Ada 2 metode
imunoterapi yang umum dilakukan, yaitu intradermal dan sublingual.
Gambar. Algoritma Penatalaksanaan Rhinitis Alergi menurut WHO Initiative ARIA 2001
Tabel Perbedaan Rhinitis Alergi dan Rhinitis Nonalergi.

Rhinitis Alergi Rhinitis Nonalergi


Mulai serangan Belasan tahun Dekade ke 3 – 4
Riwayat terpapar allergen (+) Riwayat terpapar allergen (-)
Etiologi Reaksi Ag-Ab terhadap Reaksi neurovaskuler
rangsangan spesifik terhadap beberapa mekanis
atau kimia
Gatal & bersin Menonjol Tidak menonjol
Gatal di mata Sering dijumpai Tidak dijumpai
Test kulit Positif Negatif
Sekret hidung Peningkatan eosinosil Eosinofil tidak meningkat
Eosinofil darah Meningkat Normal
Ig E darah Meningkat Tidak meningkat

2.3 Rhinitis Non Alergik


Rinitis didefinisikan sebagai penyakit di mana 2 atau lebih gejala
gangguan pada hidung seperti hidung tersumbat, rinore, post nasal drip,
bersin, gatal, atau gangguan penciuman terjadi lebih dari satu jam sehari atau
gejalanya menetap lebih dari 9 bulan. Tes SkinPrick negatif atau hasil IgE
total yang tidak mencolok menjadi tanda untuk rinitis non-alergi.

Prevalensi rinitis non-alergi di AS dikatakan sekitar 7%, yaitu sekitar


19-22 juta orang yang tinggal di sana. Sebuah studi representatif di Belgia
menemukan frekuensi 9,6% dengan prevalensi gejala rinitis pada 39,3%.
Terdapat studi yang menyatakan NAR bahkan lebih umum, terhitung 57%
dari semua pasien dengan rinitis kronis. NAR lebih sering terjadi pada orang
dewasa daripada pada anak-anak.

2.3.1 Klasifikasi

Rhinitis secara umum dibagi menjadi sub-bentuk struktural,


infeksi, alergi dan non-alergi. Pada klasifikasi dibagi tergantung
penyebab :
Tabel Klasifikasi Berdasarkan Penyababnya

Tidak diketahui penyebabnya Diketahui kemungkinan penyebabnya


 Rinitis idiopatik, termasuk Rinitis atrofische:
vasomotor atau rinopati non-alergi
Ozaena
(NARP) Dengan perubahan structural :

 Rhinitis non-alergi dengan  Rinosinusitis kronis dengan atau


eosinofilia (NARES) Darah tanpa polip hidung
Eosinofilik, Rhinitis Non-alergi
 Polip choanal
(BENARES)
 Choanal atresia / stenosis
 Rhinitis Non-Alergi dengan
Eosinofil dan Sel Mast (NARMA)  Malformasi

 Rhinitis Non-Alergi dengan Sel  Deviasi septum


Mast (NARMA; auch: nasale
 Tumor
Mastozytose)
 Benda asing / rhinolith
 Rhinitis Non-Alergi Neutrofilik
(NARNA)  Rhinoliquorrhea

 Pasca operasi

Rinitis toxic-iritan :

 Rinitis terkait refluks

 Rinitis udara dingin

Rinitis yang diinduksi obat :

 Obat sistemik

 Obat topikal: privinisme / rinitis


medicamentosa
Rinitis metabolic :

 Akromegali

 Rinitis terkait hormon

Neurogenic :

 Fungsi parasimpatis kolinergik yang


diinduksi cahaya kurang memiliki
fungsi simpatomimetik

 Rinitis gustatory

 Pasca operasi (mis. Setelah


memutuskan saraf vidian)

Rhinitis sebagai bagian dari penyakit


sistemik:

 Dengan imunosupresi (mis. Diabetes


mellitus, HIV / AIDS)

 Pada penyakit reumatologis

Tabel Pemicu Serta Tanda/Gejala Rhinitis Non Alergika

Tipe Pemicu / penyebab Tanda / gejala


Eosinofilik atau 50% mengembangkan Tes-tes kulit negatif tetapi nasal
NARES (rinitis non- penyakit sensitif aspirin menunjukkan eosinofilia. Gejala abadi
alergi dengan dengan asma dan poliposis dengan episode paroxysmal. Sekitar 50%
sindrom eosinofilia) hidung di kemudian hari memiliki hiperreaktivitas bronkial
Lebih sering terjadi pada usia pertengahan
Autonom, dengan rhinorrhoea yang jernih terutama di
sebelumnya dikenal Dipicu oleh agen fisik / kimia pagi hari. Kurang disukai tentunya
sebagai (vasomotor) daripada alergi. Mungkin disebabkan oleh
hiperaktif parasimpatis
 α-adrenergic blockers, ACE
 Menyumbat hidung
inhibitors, Beta-blockers,
chlorpromazine
 Rhinorrhoea, pengerasan kulit, nyeri dan
 Kokain
perforasi septum hidung mengurangi
Obat-obatan penciuman
 Rhinitis medicamentosa dengan
 Dekongestan hidung
penyumbatan hidung kronis
(dengan penggunaan jangka
panjang)
 Gejala rinitis akut ± asma
 Aspirin / NSID
Kehamilan, pubertas, pil
Semua dapat menyebabkan sumbatan pada
Hormonal kontrasepsi, hipotiroid,
hidung dan rhinorrhea
akromegali, HRT
Alkohol, makanan pedas, Rhinorrea, wajah memerah. rhinorrhoea
Makanan
merica, sulfit Gustatory
Klebsiella Ozaena, trauma Bau busuk, pengerasan kulit, hiposmia,
Atropik
sekunder, oprasi dan radiasi sumbatan hidung
Kelainan mucus Anak dengan polip harus dilakukan
Fibrosis kistik
primer pemeriksaan firosisi kistik
Diskinesia silia Kartagener dan sindrom Rhinosinusitis, bronkiektasis dan
primer muda penurunan kesuburan.
Imunodefisiensi Defisiensi antibodi Infeksi sinusitis kronik
Sjogren, SLE, rheumatoid Hidung tersumbat, polip, sinusitis, asma,
Inflamasi/sistimik
arthritis, Churg-Strauss eosinophilia
Lomfoma, melanoma, SSS Perdarahan, purulensi, gejala nyeri dan
Keganasan
(squamous cell carcinoma) hidung tersumbat pada satu sisi
Pembengkakan atau kolaps hidung
Sarcoidosis
Penyakit eksternal, sinusitis, pembengkakan,
Granulomatosis dengan
granulomatosa pengerasan kulit, pendarahan, perforasi
polingitis
septum
Obstruksi hidung unilateral tidak mungkin
Abnormalitas
Defiasi septum nasal terjadi kecuali ada penyebab tambahan,
struktural
mis. rinitis
Idiopatik Tidak diketahui Dapat berespon dengan capsaicin topikal
Allergen sama dengan rhinitis
AR lokal Skin test negative
alergik

Kelompok rhinitis non alergika terdiri dari pasien dengan gejala


rinitis tetapi tanpa pemicu alergi yang dapat diidentifikasi. Ini adalah
diagnosis eksklusi pada pasien negatif untuk IgE sistemik, ketika
banyak penyebab lain dari rhinitis telah dikesampingkan. Istilah yang
tidak akurat, rinitis vasomotor seharusnya tidak lagi digunakan.

Ada bukti bahwa beberapa pasien dengan rinitis non-alergi


memiliki gambaran mukosa histologis yang sama dengan rinitis alergi
yang ditandai dengan peningkatan jumlah sel mast dan eosinofil dan
menghasilkan IgE lokal.

Pasien dengan rinitis tipe non-inflamasi diduga menderita


disfungsi suplai saraf otonom ke mukosa hidung.

Rinitis non-alergi dapat menjadi faktor risiko untuk


pengembangan asma dan mungkin eosinofilik dan responsif terhadap
steroid atau neurogenik dan noninflamasi. Rinitis non-alergi dapat
menjadi keluhan keluhan untuk gangguan sistemik seperti
granangiomatosa atau polyangiitis eosinofilik, dan sarcoidoisis. Rinitis
infektif dapat disebabkan oleh virus, dan lebih jarang disebabkan oleh
bakteri, jamur, dan protozoa. Rasio prevalensi antara rinitis alergi
dengan rinitis 3: 1.

2.3.2 RHINITIS INFEKSI / RHINITIS SIMPLEKS4

Penyakit ini merupakan penyakit virus yang paling sering


ditemukan pada manusia, sering disebut salesma, common cold, flu.
Penyebabnya adalah beberapa jenis virus dan yang paling penting
adalah rhinovirus. Virus-virus lainnya adalah myxovirus, virus
Coxsackie, dan virus ECHO.

Penyakit ini sangat menular dan gejala dapat timbul sebagai


akibat tidak adanya kekebalan, atau menurunnya daya tahan tubuh
(kedinginan, kelelahan, adanya penyakit menahun, dan lain-lain)

Pada stadium prodromal yang berlangsung selama beberapa jam,


didapatkan rasa panas, kering, dan gatal di dalam hidung. Kemudian,
akan timbul bersin berulang-ulang, hidung tersumbat, dan ingus encer,
yang biasanya disertai dengan demam dan nyeri kepala. Mukosa hidung
tampak merah dan membengkak. Bila terjadi infeksi sekunder, ingus
menjadi mukopurulen.

Tidak ada terapi spesifik untuk rhinitis simpleks, selain istirahat


dan pemberian obat-obat simtomatis, seperti anelgetika, antipiretika,
dan obat dekongestan. Antibiotic hanya diberikan bila terdapat infeksi
sekunder oleh bakteri.

2.3.3 RHINITIS HIPERTROFI4

Istilah hipertrofi digunakan untuk menunjukkan perubahan


hidung pada konka inferior yang mengalami hipertrofi karena proses
inflamasi kronis yang disebabkan oleh infeksi primer atau sekunder.
Konka inferior dapat juga mengalami hipertrofi tanpa terjadi infeksi
bakteri, misalnya sebagai lanjutan dari rhiniris alergia dan vasomotor.

Gejala utama adalah sumbatan hidung atau gejala di luar hidung


akibat hidung yang tersumbat, seperti mulut kering, nyeri kepala, dan
gangguan tidur. Sekret biasanya banyak dan mukopurulen.

Pada pemeriksaan ditemukan konka yang hipertrofi, terutama


konka inferior. Permukaannya berbenjol-benjol karena mukosa yang
juga hipertrofi. Akibatnyam pasase udara dalam rongga hidung menjadi
sempit. Sekret mukopurulen dapat ditemukan di antara konka inferior
dan septum dan juga di dasar rongga hidung.

Tujuan terapi adalah mengatasi faktor-faktor yang menyebabkan


terjadinya rhinits hipertrofi. Terapi simtomatis untuk mengurangi
sumbatan hidung akibat hipertrofi konka dapat dilakukan kaustik konka
dengan zat kimia (nitras argenti atau trikloroasetat) atau dengan kauter
listrik (elektrokauterisasi). Bila tidak menolong, dapat dilakukan
luksasi konka, frakturisasi konka multipel, konkoplasti atau bila perlu
dilakukan konkotomi parisial.

2.3.4 RHINITIS ATROFI4

Rhinitis atrofi merupakan infeksi hidung kronik, yang ditandai


oleh adanya atrofi progresif pada mukosa hidung dan tulang konka.
Secara klinis, mukosa hidung menghasilkan sekret yang kental dan
cepat mengering sehingga membentuk krusta yang berbau busuk.

Wanita sering lebih terkena, terutama usia dewasa muda. Sering


ditemukan pada masyrakat dengan tingkat sosial ekonomi yang rendah
dan sanitasi lingkugan yang buruk.

Pada pemeriksaan histopatologi, tampak metaplasia epitel torak


bersilia mejadi epitel kubik atau epital gepeng berlapis, silia
menghilang, lapisan submucosa menjadi lebih tipis, kelenjar-kelenjar
berdegenerasi atau atrofi.

a) Etiologi

Banyak teori mengenai etiologi dan pathogenesis rhinitis atrofi


dikemukakan, antara lain (1) infeksi oleh kuman spesifik. Yang sering
ditemukan adalah spesies klebsiella, terutama Klebsiella ozaen. Kuman
lainnya yang sering ditemukan adalah stafilokokus,, streptokokus, atau
Pseudomonas aeruginosa. (2) defisiensi Fe, (3) defisiensi vitamin, (4)
sinusitis kronik, (5) kelainan hormonal, (6) penyakit kolagen, yang
termasuk penyakit ini.

Mungkin penyakit ini terjadi karea kombinasi beberapa faktor


penyebab.

b) Gejala dan Tanda Klinis

Keluhan biasanya berupa napas berbau, ada ingus kental yang


berwarna hijau, ada kerak (krusta) hijau, ada gangguan penghidu, sakit
kepala, dan hidung terasa tersumbat.

Pada pemeriksaan hidung, didapatkan rongga hidung sangat


lapang, konka inferior dan media menjadi hipotrofi atau atrofi, ada
sekret purulent dan krusta yang berwarna hijau.

Pemeriksaan penunjang untuk membantu diagnosis adalah


pemeriksaan histopatologik yang berasal dari biopsy konka media,
pemeriksaan mikrobiologi dan uji resistensi kuman, dan tomografi
komputer (CT scan) sinus paranasal.

c) Pengobatan

Karenan etiologinya multifactorial, pengobatannya belum ada


yang baku. Pengobatan ditujukan untuk mengatasi etiologi dan
menghillangkan gejala. Pengobatan yang diberikan dapat bersifat
konservatif, atau kalau tidak menolong, dilakukan pembedahan.

Pengobatan konservatif. Diberikan antiibiotik spektrum luas


atau sesuai dengan uji resistensi kuman, dengan dosis yang adekuat.
Lama pengobatan bervariasi tergantung dari hilangnya tanda klnis,
beruapa sekret purulent kehijauan.

Untuk membantu menghilangkan bau busuk akibat hasil proses


infeksi serta sekret purulent dk krusta, dapat dipakai obat cuci hidung.
Larutan yang dapat digunakan adalah larutan garam hipertronik.
Larutan tersebut diencerkan dengan perbandingan 1 sendok makan
larutan dicampur 9 sendok makan air hangat. Larutan dihirup ke dalam
rongga hidung dan dilkeluarkan lagi dengan menghembuskan napas
kuat-kuat atau yang masuk ke nasofaring dikeluarkan lewat mulut,
dilakukan 2 kali sehari. Jika sukar mendapatkan larutan di atas, dapat
dilakukan pencucian rongga hidung dengan 100 cc air hangat yang
dicampur dengan 1 sendok makan (15 cc) larutan Betadin, atau larutan
garam dapur setengah sendok the dicampur segelas air hangat. Dapat
diberikan vitamin A 3x50.000 unit dan preparat Fe selama 2 minggu.

Pengobatan operatif. Jika dengan pengobatan konservatif tidak


ada perbaikan, dilakukan operasi. Teknik operasi antara lain operasi
penutupan lubang hidung atau penyempitan lubang hidung dengan
implantasi atau dengan jabir osteoperiosteal. Tindakan ini diharapkan
akan mengurangi turbulensi udara dan pengeringan sekret, inflamasi
mukosa berkurang sehingga mukosa akan kembali normal. Penutupan
rongga hidung dapat dilakukan pada nares anterior atau pada koana
selama 2 tahun. Untuk menutup koana dipakai flap palatum.

Akhir-akhir ini, bedah sinus endoskopik fungsional (BSEF)


sering dilakukan pada kasus rhinitis atrofi. Dengan melakukan
pengangkatan sekat-sekat tulang yang mengalami osteomyelitis,
diharapkan infeksi tereradikasi, fungsi ventilasi dan drainase sinus
kembali normal sehingga terjadi regenerasi mukosa.

2.3.5 RHINITIS DIFTERI4

Penyakit ini disebabkan oleh Corynebacterium diphteriae, dapat


terjadi terjadi primer pada hidung atau sekunder dari tenggorokan, dapat
ditemukan dalam bentuk akut atau kronik. Dugaan adanya rhinitis difteri
harus dipikirkan pada penderita dengan riwayat yang tidak lengkap.
Penyakit ini semakin jarang ditemukan karena cakupan program
imunisasi yang semakin meingkat.
Gejala rhinitis difteri akut ialah demam, toksemia, terdapat
limfadenitis dan mungkin ada paralisis otot pernapasan. Pada hidung
ada ingus yang bercampur darah, mungkin ditemukan pseudomembran
putih yang mudah berdarah, dan ada krusta coklat di nares anterior dan
rongga hidung. Jika perjalanan penyakitnya menjadi kronik, gejala
biasanya lebih ringan dan mungkin dapat sembuh sendiri. Namun,
dalam keadaan kronik, masih dapat menulari. Diagnosis pasti
ditegakkan dengan pemeriksaan kuman dari sekret hidung.

Sebagai terapi, diberikan ADS, penisilin lokal, dan intramuscular.


Pasien harus diisolasi sampai hasil pemeriksaan kuman negatif.

2.3.6 RHINITIS JAMUR4

Dapat terjadi bersama dengan sinusitis dan bersifat invasif atau


noninvasif. Rhinitis jamur noninvasif dapat menyerupai rinolit dengan
mukosa yang lebih berat. Rinolit ini sebenarnya adalah gumpalan jamur
(fungus ball). Biasanya tidak terjadi destruksi kartilago dan tulang.

Tipe invasif ditandai dengan ditemukannya hifa jamur pada


lamina propria. Jika terjadi invasi jamur pada submukosa dapat
mengakibatkan perforasi septum atau hidung pelana. Jamur sebagai
penyebab dapat dilihat dengan histopatologi, pemeriksaan sediaan
langsung atau kultur jamur, misalnya aspergillus, candida, histoplasma,
fusarium, dan mucor.

Pada pemeriksaan hidung terlihat adanya sekret mukopurulen,


mungkin terlihat ulkus atau perforasi pada septum disertai dengan
jaringan nekrotik berwarna kehitaman (black eschar).

Untuk rhinitis jamur noninvasif, penatalaksanaannya adalah


dengan mengangkat seluruh gumpalan jamur. Pemberian obat jamur
sistemik maupun topikal tidak diperlukan. Terapi untuk rhinitis jamur
invasif adalah mengeradikasi agen penyebabnya dengan oemberian
obat antijamur oral dan topikal. Cuci hidung dan pembersihan hidung
secara rutin dilakukan untuk mengangkat krusta. Bagian yang terinfeksi
dapat pula diolesi dengan gentian violet. Untuk infeksi jamut invasif,
kadang diperlukan debridement seluruh jaringan yang nekrotik dan
tidak sehat. Kalau jaringan nekrotik sangat luas, dapat terjadi destruksi
yang memerlukan tindakan rekonstruksi.

2.3.7 RHINITIS TUBERKULOSA4

Rhinitis tuberkulosa merupakan kejadia infeksi tuberkulosa


ekstra pulmoner. Seiring dengan peningkatan kasus tuberkulosis (new
emerging disease) yang berhubungan dengan kasus HIV-AIDS,
penyakit ini harus diwaspadai keberadaannya. Tuberkulosis pada
hidung berbentuk noduler atau ulkus, terutama mengenai tulang rawan
septum dan dapat mengakibatkan perforasi.

Pada pemeriksaan klinis, terdapat sekret mukopurulen dan krusta


sehingga menimbulkan keluhan hidung tersumbat. Diagnosis
ditegakkan dengan ditemukannya basil tahan asam (BTA) pada sekret
hidung. Pada pemeriksaan histopatologi, ditemukan sel datia langhans
dan limfositosis.

Pengobatannya diberikan antituberculosis dan obat cuci hidung.

2.3.8 RHINITIS SIFILIS4

Penyakit ini sudah jarang ditemukan. Penyebab rhinitis sifilis


ialah Treponema pallindum. Pada rhinitis sifilis yang primer dan
sekunder, gejalanya serupa dengan rhinits akut lainnya, hanya mungkin
dapat terlihat adanya bercak/bitnik pada mukosa. Pada rhinitis sifilis
tersier, dapat ditemukan gumma atau ulkus, yang terutama mengenai
septum nasi dan dapat mengakibatkan perforasi septum.

Pada pemeriksaan klinis, didapatkan sekret mukopurulen yang


berbau dan krusta. Mungkin terlihat perforasi septum atau hidung
pelana. Diagnosis pasti ditegakkan dengan pemeriksaan mikrobiologik
dan biopsy.

Sebagai pengobatan, diberikan penisilin dan obat cuci hidung.


Krusta harus dibersihkan secara rutin.

2.3.9 RHINITIS VASOMOTOR4


a) Definisi

Suatu keadaan idiopatik yang didiagnosis tanpa adanya infeksi


alergi, eosinophilia, perubahan hormonal (kehamilan, hipertiroid), dan
pajanan obat (kontrasepsi oral, antihipertensi, beta blocker, aspirin,
klorpromaszin, dan obat topikal hidung dekongestan). Rhinitis
vasomotor digolongkan menjadi rhinitis nonalergi jika adanya allergen
spesifik yang tidak dapat diidentifikasi dengan pemeriksaan alergi yang
sesuai (anamnesis, tes cukit kulit, kadar antibody IgE spesifik serum).

Kelainan ini disebut vasomotor catarrh, vasomotor rhinorrhea,


nasal vasomotor instability, atau non-allergic perennial rhinitis.

b) Etiologi dan Patofisiologi

Penyebab pasti rhinitis vasomotor ini belum diketahui secara


pasti, diduga akibat gangguan keseimbangan vasomotor. Beberapa
hipotesis yang menerangkan patofisiologinya:
1. Neurogenik (disfungsi sistem otonom) Serabut simpatis hidung
berasal dari korda spinalis segmen Th 1-2, menginervasi terutama
pembuluh darah mukosa dan Sebagian kelenjar. Serabut simpatis
melepaskan ko-transmiter noradrenalin dan neuropeptida Y yang
menyebabkan vasokonstriksi dan penurunan sekresi hidung. Tonus
simpatis ini berfluktuasi sepanjang hari yang menyebabkan adanya
peningkatan tahanan rongga hidung yang bergantian setiap 24 jam.
Keadaan ini disebut sebagai "siklus nasi". Dengan adanya siklus ini,
seseorang akan mampu untuk dapat bernapas dengan tetap normal
melalui rongga hidung yang berubah-ubah luasnya.
Serabut saraf parasimpatis berasal nukleus salivatori superior
menuju ganglion sfenopalatina dan membentuk n.Vidianus,
kemudian menginervasi pembuluh darah dan terutama kelenjar
eksokrin. Pada rangsangan akan terjadi pelepasan kotransmiter
asetilkolin dan vasoaktif intestinal peptide yang menyebabkan
peningkatan sekresi hidung dan vasodilatasi, sehingga terjadi
kongesti hidung.
Bagaimana tepatnya saraf otonom ini bekerja belumlah diketahui
dengan pasti, tetapi mungkin hipotalamus bertindak sebagai pusat
penerima impuls eferen, termasuk rangsang emosional dari pusat
yang lebih tinggi. Dalam keadaan hidung normal, persarafan
simpatis lebih dominan. Rintis vasomotor diduga sebagai akibat dari
ketidak-seimbangan impuls saraf otonom di mukosa hidung yang
berupa bertambahnya aktivitas sistem parasimpatis.

2. Neuropaptida
Pada mekanisme ini terjadi disfungsi hidung yang diakibatkan oleh
meningkatnya rangsangan terhadap saraf sensoris serabut C di
hidung. Adanya rangsangan abnormal saraf sensoris ini akan diikuti
dengan peningkatan pelepasan neuropeptida seperti subsfance P dan
calcitonin gene-related protein yang menyebabkan peningkatan
permeabilitas vaskular dan sekresi kelenjar. Keadaan ini
menerangkan terjadinya peningkatan respon pada hiper-reaktifitas
hidung.

3. Nitric oksida
Kadar nitrik oksida (NO) yang tinggi dan persisten di lapisan epitel
hidung dapat menyebabkan terjadinya kerusakan atau nekrosis
epitel, sehingga rangsangan nonspesifik berinteraksi langsung ke
lapisan sub-epitel. Akibatnya terjadi peningkatan reaktifi tias sera
but trigemi nal dan recruitment refleks vaskular dan kelenjar mukosa
hidung.
4. Trauma
Rinitis vasomotor dapat merupakan komplikasi jangka panjang dari
trauma hidung melalui mekanisme neurogenik dan/atau
neuropeptida.

Gejala Klinis

Pada rinitis vasomotor, gejala sering dicetuskan oleh berbagai


rangsangan non-spesifik, seperti asap/rokok, bau yang menyengat,
parfum, minuman beralkohol, makanan pedas, udara dingin, pendingin
dan pemanas ruangan, perubahan kelembaban, perubahan suhu luar,
kelelahan dan stres/emosi. Pada keadaan normal faktor-faktor tadi tidak
dirasakan sebagai gangguan oleh individu tersebut.

Kelainan ini mempunyai gejala yang mirip dengan .rinitis alergi,


namun gejala yang dominan adalah hidung tersumbat, bergantian kiri
dan kanan, tergantung pada posisi pasien. Selain itu terdapat rinore yang
mukoid atau serosa. . Keluhan ini jarang disertai dengan gejala mata.

Gejala dapat memburuk pada pagi hari waktu bangun tidur oleh
karena adanya perubahan suhu yang ekstrim, udara lembab, juga oleh
karena asap rokok dan sebagainya.

Berdasarkan gejala yang menonjol, kelainan ini dibedakan


dalam 3 golongan, yaitu golongan bersin (sneezers), golongan rinore
(runners), dan golongan tersumbat (blockers).

 Golongan bersin (sneezers), gejala biasanya memberikan respon


yang baik dengan terapi antihistamin dan glukokortikosteroid
topikal
 Golongan rinore (runners), gejala dapat diatasi dengan
pemberian antikolinergik topikal
 Golongan tersumbat (blockers), kongesti umumya memberikan
respon yang baik dengan terapi glukokortikosteroid topikal dan
vasokonstriktor oral.

Diagnosis

Diagnosis umumnya ditegakkan dengan cara eksklusi, yaitu


menyingkirkan adanya rhinitis infeksi, alergi, okupasi, hormonal, dan
akibat obat. Dalam anamnesis, dicari faktor yang memengaruhi
timbulnya gejala.

Pada pemeriksaan rinoskopi anterior, tampak gambaran yang


khas berupa edema mukosa hidung, konka berwarna merah gelap atau
merah tua, tetapi dapat pula pucat. Hal ini perlu dibedakan dengan
rhinitis alergi. Permukaan konka dapat licin atau berbenjol-benjol
(hipertrofi). Pada rongga hidung, terdapat sekret mucoid yang biasanya
sedikit. Namun, pada golongan rinore, sekret yang ditemukan ialah
serosa dan banyak jumlahnya.

Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk menyingkirkan


kemungkinan rhinitis alergi. Kadang ditemukan juga eosinophil pada
sekret hidung, tapi dalam jumlah sedikitt. Tes cukit kulit biasanya
negatif. Kadar IgE spesifik tidak meningkat.

Diagnosis Banding

1. Rhinitis alergi
2. Rhinitis medikamentosa

Tabel. Perbedaan Karakteristik Rhinits Alergi dan Rhinitis Vasomotor

Karakteristik Rhinitis Alergi Rhinitis Vasomotor


Mulai serangan Belasan tahun Dekade ke 3 – 4
Riwayat terpapar allergen ( Riwayat terpapar allergen ( - )
+)
Etiologi Reaksi Ag - Ab terhadap Reaksi neurovaskuler
rangsangan spesifik terhadap
beberapa rangsangan
mekanis atau
kimia, juga faktor psikologis
Gatal & bersin Menonjol Tidak menonjol
Gatal dimata Sering dijumpai Tidak dijumpai
Test kulit Positif Negatif
Sekret hidung Peningkatan eosinofil Eosinofil tidak meningkat
Eosinofil darah Meningkat Normal
Ig E darah Meningkat Tidak meningkat
Neurektomi Tidak membantu Membantu
n. vidianus

Tatalaksana

1. Menghindari faktor pencetus


2. Pengobatan simtomatis
a. Obat-obatan dekongestan, cuci hidung dengan larutan garam
fisiologis, kauterisasi konka hipertrofi dengan AgNO3 25%
atau triklor asetat pekat
b. Kortikosteroid topikal 100 – 200 mikrogram, dosis dapat
ditingkatkaan sampai 400 mikrogram sehari
c. Kortikosteroid dalam larutan aqua, seperti flutikason
propionate dan mometaason furoat 1 x sehari 200 mikrogram
d. Pada kasus dengan rinore berat, dapat ditambahkan
antikolinergik topikal (ipratropium bromide)
3. Operasi: bedah-beku, elektrokauter, konkotomi parsial konka
inferior
4. Neuroektomi n. vidianus atau tindakan blocking ganglion
sfenopalatina. Pada neuroektomi n. vidianus dapat terjadi
komplikasi, seperti sinusitis, diplopia, buta, gangguan lakrimasi,
neuralgia atau anastesi infraorbital atau palatum
Komplikasi
Komplikasi dari rhinitis vasomotor yang tersering adalah sinusitis
dan polip nasi.

Prognosis

Prognosis pengobatan golongan obstruksi lebih baik daripada


golongan rinore. Perlu anamnesis dan pemeriksaan yang teliti untuk
memastikan diagnosisnya karena golongan rinore sangat mirip dengan
rhinitis alergi.

2.3.10 RHINITIS MEDIKAMENTOSA4

Definisi

Rhinitis medikamentosa adalah suatu kelainan hidung berupa


gangguan respons normal vasomotor yang diakibatkan oleh pemakaian
vasokonstriktor topikal (tetes hidung atau semprot hidung) dalam waktu
lama dan berlebihan sehingga menyebabkan sumbatan hidung yang
menetap. Dapat dikatakan bahwa hal ini disebabkan oleh pemakaian
obat yang berlebihan (drug abuse).

Patofisiologi

Mukosa hidung merupakan organ yang sangat peka terhadap


rangsangan atau iritan sehinga harus berhati-hati memakai topikal
vasokonstriktor. Obat topikal vasokonstriktor dari golongan
simpatomimetik akan menyebabkan siklus nasi terganggu dan akan
berfungsi normal kembali apabila pemakaian obat itu dihentikan.

Pemakaian topikal vaskonstriktor yang berulang dan dalam waktu


lama akan menyebabkan terjadinya fase dilatasi berulang (rebound
dilatation) setelah vasokonstriksi sehingga timbul gejala obstruksi.
Adanya gejala obstruksi ini menyebabkan pasien lebih sering dan lebih
banyak lagi memakai obat tersebut. Pada keadaan ini, ditemukan kadar
agonis alfaadrenergik yang tinggi di mukosa hidung. Hal ini akan
diikuti dengan penurunan sensitivitas reseptor alfaadrenergik di
pembuluh darah sehingga terjadi suatu toleransi. Aktivitas dari tonus
simpatis yang menyebabkan vasokonstriksi (dekongesti mukosa
hidung) menghilang. Akan terjadi dilatasi dan kongesti jaringan
mukosa hidung. Keadaan ini disebut juga sebagai rebound congestion.

Kerusakan yang terjadi pada mukosa hidung pada pemakaian obat


tetes hidung dalam waktu lama adalah sebagai berikut.

1. Silia rusak
2. Sel goblet berubah ukurannya
3. Membrane basal menebal
4. Pembuluh darah melebar
5. Stroma tampak edema
6. Hipersekresi kelenjar mukus dan perubahan pH sekret hidung
7. Lapisan submucosa menebal
8. Lapisan periosteum menebal

Oleh karena itu, pemakaian obat topikal vasokonstriktor


sebaiknya tidak lebih dari satu minggu, dan sebaiknya yang bersifat
isotonic dengan sekret hidung normal (pH antara 6,3 dan 6,5).

a) Gejala dan Tanda

Pasien mengeluh hidungnya tersumbat terus-menerus dan berair.


Pada pemeriksaan, tampak edema/hipertrofi konka dengan sekret
hidung yang berlebihan. Apabila diberi tampon adrenalin, edema konka
tidak berkurang.

b) Penatalaksanaan
1. Hentikan pemakaian obat tetes atau semprot vasokonstriktor
hidung
2. Untuk mengatasi sumbatan berulang (rebound congestion), dapat
diberikan kortikosteroid oral dosis tinggi jangka pendek dan dosis
diturunkan secara bertahap (tapering off) dengan menurunkan
dosis sebanyak 5 mg setiap hari hari, misalnya hari 40 mg, hari 2
35 mg, dan seterusnya). Dapat juga dengan pemberian
kortikosteroid topikal minimal 2 minggu untuk mengembalikan
proses fisiologis mukosa hidung
3. Obat dekongestan oral (biasanya mengandung pseudoefedrin)

Apabila dengan penatalaksanaan tersebut diatas tidak ada


perbaikan setelah 3 minggu, pasien dirujuk ke dokter THT.
BAB III

PENUTUP

Rinitis adalah masalah yang signifikan dalam kesehatan individu, dan


timbul dengan gejala hidung tersumbat, rhinorrhea, gatal hidung. Rinitis berkaitan
dengan berbagai penyakit antara lain rhinosinusitis, asma dan otitis media. Rinitis
akut merupakan penyebab morbiditas yang signifikan, walaupun sering dianggap
sepele oleh para prektisi. Gejala-gejala rinitis akut secara signifikan mempengaruhi
kualitas hidup pasien karena gejala-gejala sistemik yang turut menyertainya, seperti
fatigue, sakit kepala dan gangguan kognitif. Rinitis akut merupakan penyakit yang
dapat sembuh sendiri secara spontan setelah kurang lebih 12 minggu. Karena itu
umumnya terapi yang diberikan adalah bersifat simptomatik seperti analgesic,
antipiretik, nasal dekongenstan dan antihistamin. Terapi nonfarmakologi adalah
tirah baring total untuk mendapatkan istirehat yang mencukupi. Terapi khusus tidak
diperlukan, kecuali bila terdapat komplikasi seperti infeksi sekunder bakteri, maka
antibiotik perlu diberikan.

Tindakan pencegahan yang dapat dilakuakan meliputi istirehat yang


cukup,konsumsi makanan dan minuman yang sehat, olahraga teratur utuk membina
system imunisasi yang optimal. Selain itu dapat juga mengikuti program imunisasi
lengkap yang dijalankan oleh pemerintah.

Rhinitis disebut kronik bila radang berlangsung lebih dari 1 bulan. Pembagian
rhinitis kronis berdasarkan ada tidaknya peradangan sebagai penyebabnya. Rhinitis
kronis yang disebabkan oleh peradangan dapat kita temukan pada rhinitis hipertrofi,
rhinitis sika (sicca), dan rhinitis spesifik (difteri, atrofi, sifilis, tuberkulosa & jamur).
Sangat penting untuk memeriksa gejala pada setiap pasien untuk menentukan
patofisiologi yang terjadi dalam tiap rinitis dan untuk merencanakan pengobatan
sehingga bisa memudahkan pemulihan dengan efek samping yang minimal.
DAFTAR PUSTAKA
1. Richard L Drake; Wayne Vogl; Adam W M Mitchell. 2014. Gray’s
Anatomy: Anatomy of the Human Body. Elsevier; 2014
2. Netter, Frank H. ATLAS OF HUMAN ANATOMY 25th Edition. Jakarta:
EGC, 2014
3. Adams GL, Boies LR, Higler PA (2012). Boies : Buku ajar penyakit THT.
Jakarta : EGC, hal. 206-218
4. Irawati N, Kasakeyan E, Rusmono N. Rinitis Alergi. dalam Soepardi EA et
al (editor). Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala
& Leher Edisi Keenam. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
5. Bosquet J, Khaltaev N, Cruz AA, Denburg J, Fokkens WJ, Togias A, et al.
Allergic rhinitis and its impact on Asthma (ARIA) 2008 update [Review].
Allergy [Internet]. 2008 [2013 Feb 6]: 63 (Suppl. 86): 8–160. available
from:http://www.unifesp.br/dmed/climed/liga/consensos/rinitealergicaeas
ma200 8.PDF
6. Min YG. The Pathophysiology, Diagnosis and Treatment of Allergic
Rhinitis. Allergy, Asthma and Immunology Research, vol. 2, no. 2, p. 65,
2010.
7. Sudiro M. Prevalence of Allergic Rhinitis based on World Health
Organization (ARIA-WHO) questionnaire among Batch 2010 Students of
the Faculty of Medicine Universitas Padjadjaran. Amj, pp. 620-625, 2015.
8. http://klikpdpi.com/index.php?mod=article&sel=7854
9. Roestiniadi. DS dan Sbilarrusydi. Diagnosis dan Penatalaksanaan Rinitis
Okupasional. Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga ; Surabaya, vol. 6,
no.1 hal: 28-40, 2013
10. Caparroz. Fábio Azevedo, Gregorioa. Luciano Lobato, Giuliano
,Bongiovanni, Izua. Suemy Cioffi, Kosugi. Eduardo Macoto. Rhinitis and
Pregnancy : Literature Review. 2013 : Barzil
[http://dx.doi.org/10.1016/j.bjorl.2015.04.011]

Anda mungkin juga menyukai