Anda di halaman 1dari 22

REFERAT

KELAINAN KULIT PADA PENYAKIT GINJAL

Pembimbing :
dr. Flora Anisah Rakhmawati, Sp.KK

Disusun Oleh :
Nadya Lutfi 2016730075

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT KULIT & KELAMIN


KEPANITERAAN KLINIK RSUD R. SYAMSUDIN, S H SUKABUMI
FAKULTAS KEDOKTERAN & KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas berkat dan
Rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan laporan referat ini tepat pada waktunya,
referat yang di tulis berjudul “Kelainan Kulit pada Penyakit Ginjal”, referat ini
disusun dalam rangka mengikuti kepanitraan Klinik di stase kulit dan kelamin RSUD R.
Syamsudin, S H Sukabumi.

Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya


kepada semua pihak yang telah banyak memberikan bimbingan kepada penulis:
1. dr. Flora Anisah, Sp.KK selaku dokter pembimbing serta dokter spesialis kulit dan
kelamin RSUD R. Syamsudin, S H Sukabumi.
2. Teman – teman seperbimbingan dan semua pihak yang tidak dapat disebutkan
satu-persatu yang telah memberikan bantuan kepada penulis.

Penulis menyadari bahwa dalam laporan ini masih banyak kekurangan. Oleh karena
itu, semoga laporan ini dapat memberikan manfaat dan tambahan pengetahuan
khususnya kepada penulis dan kepada pembaca.
Terimakasi

Sukabumi, 04 Juli 2020

Nadya Lutfi
BAB I
PENDAHULUAN

Pasien dengan penyakit ginjal stadium lanjut hampir semua memiliki minimal satu

gangguan dermatologis dan perubahan kulit serta kuku, yang dapat terjadi sebelum atau

setelah dialisa atau tranplantasi. Beberapa mengatakan bahwa manifestasi kulit ini

disebabkan oleh proses patologis mendasar yang disebabkan penyakit ginjal, sementara

yang lainnya percaya bahwa perubahan kulit ini berhubungan dengan keparahan dan

durasi gagal ginjal.

Manifestasi kulit yang paling umum timbul pada penyakit ginjal stadium lanjut di

antaranya xerosis dan pruritus. Xerosis yaitu gambaran kulit kering atau kasar terjadi pada

50-75% pasien dialisis. Xerosis dimanifestasikan dengan sedikitnya turgor kulit, kulit

kering, pecah-pecah khususnya permukaan ekstremitas. Kondisi ini dapat membuat

sangat tidak nyaman karena menyebabkan bertambahnya celah di kulit, ulcer, iritasi,

dermatitis kontak ataupun alergi.

Pruritus atau gatal-gatal adalah gejala yang paling umum dari penyakit ginjal stadium

lanjut. Dari penderita dengan gagal ginjal kronis, 15-49% mengalami pruritus dan

mereka yang menjalani dialisa 50-90%. Pada gagal ginjal akut pruritus sangat jarang

ditemui. Prevalensinya sedikit lebih besar pada pasien hemodialisa yaitu 42 % dan pada

pasien dialisis peritoneal 32%.

Salah satu penatalaksanaan pasien Gagal Ginjal Kronik yaitu pengobatan segera

terhadap infeksi untuk mencegah infeksi sampai keginjal karena pada penderita Gagal

Ginjal Kronik terjadi penurunan imunitas.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Manifestasi Kulit Pada Penyakit Ginjal

Pasien dengan penyakit ginjal stadium akhir (ESRD) mengembangkan berbagai temuan

kulit yang berhubungan dengan kelainan metabolisme, termasuk anemia, disregulasi kalsium-

fosfat, dan intoleransi glukosa. Manifestasi kulit termasuk penampilan pucat, pruritus, xerosis,

dermatosis perforasi, pseudoporphyria, calciphylaxis, dan frost uremik. Berbagai gejala kutan pada

penyakit ginjal dapat bervariasi, seperti diuraikan dibawah ini:

1. Pruritus Renal atau pruritus uremik

Pruritus dapat disebabkan oleh penyebab-penyebab dermatologis maupun non

dermatologis. Pruritus dengan penyebab dermatologis adalah puritus karena kelainan-

kelainan kulit seperti eksema atopi, psoriasis, xerosis, skabies, dermatitis kontak, insect

bite, liken planus, dermatofitosis, pedikulosis, folikulitis, urtikaria dan liken simpleks

kronis.

Pruritus nondermatologis dapat disebabkan oleh penyakit-penyakit sistemik,

seperti penyakit ginjal kronik, kolestasis, limfoma Hodgkin, polisitemia vera, infeksi

Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan hipertiroidisme; penyakit-penyakit neuropati,

seperti pruritus brakioradial, dan gatal pada pasca herpetika; dan penyakit-penyakit

psikogenik, seperti gangguan obsesif kompulsif, delusi parasitosis dan penyalahgunaan

obat.

Pada penyakit penyakit psikogenik ini dapat ditemukan gambaran ekskoriasi

neurotik berupa garis-garis linier berkrusta yang tersebar. Gambaran ini dapat terjadi

dibagian tubuh yang dapat dijangkau oleh pasien, walaupun paling sering ditemukan pada

daerah ekstremitas.
Pruritus uremikum adalah istilah yang dipakai untuk pruritus yang dialami oleh

pasien-pasien yang menderita penyakit ginjal kronik atau penyakit ginjal stadium akhir,

dengan tidak disertai oleh penyakit-penyakit lain yang dapat menyebabkan gatal.

Menurut Dialysis Outcomes and Practice Pattern Study (DOPPS) pruritus

mengenai 42% pasien-pasien yang sedang menjalani hemodialisis. Selama 20 tahun

terakhir insidensi pruritus menurun dari 85% pada awal tahun 1970-an menjadi 30% pada

akhir tahun 1990-an. Prevalensi pruritus uremikum telah menurun sebagai hasil dari

kemajuan teknik-teknik dialisis dan manajemen pasien.

Pruritus uremia adalah suatu gejala resisten dan umum terjadi pada pasien yang

menjalani hemodialisa jangka panjang, tetapi faktor yang dihubungkan dengan keadaan

pruritus belum jelas. Garukan berulang akan menimbulkan ekskoriasi, yang dapat

menimbulkan kelainan dermatologik, seperti liken simpleks, prurigo modularis, papula

keratotik, dan hiperkeratosis folikular. Pruritus berat menimbulkan ekskoriasi linier yang

khas pada kulit yang dapat disertai perdarahan dan infeksi, yang diperberat dengan

gangguan fungsi pembekuan dan fungsi imunologis yang terjadi pada uremia

Pruritus renal dapat terjadi, walaupun tidak selalu, pada kegagalan ginjal. Pruritus

bersifat generalisata dan kadang-kadang berat. Patofisiologi pruritus renal sangat

kompleks. Banyak faktor yang diduga berperan dalam timbulnya pruritus, antara lain:

a. Hipotesis imun ( immunohypothesis ), menganggap bahwa pruritus renalis lebih

merupakan penyakit inflamasi sistemik daripada kelainan kulit lokal. Hal ini

didukung dengan penelitian yang menunjukkan bahwa pruritus renalis yang sangat

berkurang setelah penyinaran dengan UVB, juga dengan pengobatan thalidomid

atau calcineurin inhibitor (tacrolimus). UVB melemahkan perkembangan limfosit


tipe th1 sehingga produksi IL-2 menurun. Selain itu kadar biomarker peradangan

seperti protein c-reaktif dan IL-6 dalam serum meningkat.

b. Hipotesis opioid (opioid hypothesis), yang menganggap bahwa pruritus renalis

sebagian karena hasil perubahan sistem opiodergik endogen dengan overekspresi

μ- reseptor untuk opioid disel dermis dan limfosit. Aktivitas berlebihan reseptor

ini mungkin disebabkan oleh peningkatan ratio endorphin serum terhadap

dynorphin A, yang ditemukan pada penderita CKD Hal ini dapat menjelaskan

timbulnya pruritus renalis.

c. Retensi zat-zat yang terdiri atas pelbagai konstituen di dalam darah. Hal ini

disebabkan karena ginjal gagal mengekskresikannya. Bila berat timbul uremia.

d. Hiperparatiroidi

e. Peningkatan ion di Valen, misalnya kalsium ( C ) mangan ( Mn ) phosphat ( P ).

f. Retensi pruritogen, yang terdiri atas berbagai zat dengan berat molekul menengah.

g. Ekskresi zat-zat yang mengandung nitrogen ke permukaan kulit.

h. Asam empedu dalam serum meningkat demikian juga serotonin.

i. Kulit kering (xerosis) kadar vitamin A di epidermis meningkat

j. Mungkin juga pruritus karena neuropati perifer.

Pruritus secara klinis terlihat berupa ekskoriasi dan likenifikasi, akibat garukan yang

berulang-ulang. Nodus - nodus pruritik jarang tampak, bila ada maka berlokasi di bagian

ekstensor ekstermitas.
2. Kekeringan kulit

Kekeringan pada kulit menyerupai iktiosis didapat dan terutama terlihat pada

bagian ekstensor tungkai bawah.

Didefinisikan untuk menggambarkan hilangnya atau berkurangnya kadar kelembaban

stratum corneum. kulit tampak dan terasa sehat apabila lapisan luarnya mengandung 10%

air. Peningkatan Trans Epidermal Water Loss (TEWL) yang menyebabkan kulit kering

dikarenakan adanya gangguan pada kulit yang menyebabkan banyaknya air yang menguap

ke atmosfer.

Patofisiologi

Pada keadaan normal, air mengalir secara difusi dari dermis menuju ke epidermis

melalui dua cara yaitu melalui stratum corneum (sc) dan ruang interseluler. Oleh sebab itu

normal air akan keluar dari tubuh melalui epidermis, keadaan tersebut dikenal dengan

istilah Trans Epidermal Water Loss ( TEWL ). Normal TEWL berkisar 0.1 –0.4 mg/cm2

per jam. Proses difusi pasif terjadi karena terdapatnya perbedaan kandungan air dari

stratum basalis ( 60 – 70%) , stratum granulosum ( 40 -60%) dan stratum corneum kurang

dari 15% sehingga air mengalir dari stratum basalis ke stratum corneum. Dengan demikian

maka SC merupakan barier hidrasi yang sangat penting dalam memepertahankan

kelembaban kulit.

Ceramide merupakan komponen utama lipid interseluler SC dan banyak

mengandung asam linoleat. Ikatan antara ceramide dan air akan membentuk emulsi yang

halus sehingga nampak halus dan lembut. Pada keadaan tertentu, cuaca bersuhu rendah

dengan kelembaban relatif rendah, ikatan antara ceramide dan air tersebut akan mengkristal

sehingga kulit menjadi kering kasar dan kusam.


Tatalaksana

Berikan pelembab seperti emolien adalah bahan oklusif yang membantu hidrasi

kulit dengan cara mengoklusi permukaan kulit dan menahan air di stratum corneum.

3. Asebia atau berkurangnya produksi sebum

4. urea frost dihasilkan dari deposisi ekologi kristal urea pada permukaan kulit individu

dengan uremia parah. Ditandai dengan adanya kristal urea yang tertinggal setelah

berkeringat, umumnya terlihat di area intertriginosa kulit terutama jika pasien jarang

mandi.

5. Perubahan rambut, yakni rontoknya rambut androgenik di daerah jenggot, aksial, dan

pubis.
6. Purpura karena disfungsi trombosit dan juga karena terapi kortikosteroid.

7. Warna kulit berubah, yakni terlihat kombinasi kepucatan dan hiperpigmentasi.

Hipermelanosis yang difus tampak pada kulit dan mukosa bukal.

Kulit dapat pucat sebagai akibat dari anemia dan sering menunjukkan rona yang khas, dan

sebagian dari akumulasi pigmen karotenoid dan nitrogen (urokrom) dalam dermis.

8. Beberapa penyakit yang berasosiasi dan sindrom kutaneo-renal ialah adenoma

sebaseum, vaskulitis, dan penyakit vascular kolagen, serta penyakit metabolik (misalnya

lipo-angiokeratoma) . Sebaliknya ada pula nefropatia yang sekunder terhadap penyakit

kulit, yakni nefropatia dermatogenik dan glomerulonefritis sesudah infeksi kutan karena

streptokokus A12.
9. Acquired perforating dermatosis, Gangguan perforasi adalah sekelompok kondisi yang

ditandai dengan eliminasi transepidermal elemen jaringan ikat. Meskipun temuan ini

mungkin merupakan manifestasi utama dari kondisi sistemik keluarga atau didapat (yaitu,

gagal ginjal kronis, diabetes mellitus).

APD dicirikan secara klinis oleh papula dan nodul bulat, berwarna kulit, eritematosa atau

hiperpigmentasi dengan kerak sentral atau sumbat keratotik, terutama melibatkan

permukaan ekstensor ekstremitas dan Lesi jarang terjadi pada wajah atau kulit kepala.

Beberapa lesi mungkin menunjukkan distribusi berbasis folikel dengan respons Koebner

minimal (perforasi folikulitis)


Tes Laboratorium
Evaluasi laboratorium untuk komorbiditas harus mencakup glukosa darah puasa, uji
toleransi glukosa, kreatinin serum, laju filtrasi glomerulus atau pembersihan kreatinin, serum asam
urat, tes fungsi hati; dan tes fungsi tiroid. Keluarga komprehensif dan riwayat medis masa lalu,
serta tinjauan sistem, harus diperoleh. Pengujian diagnostik tambahan untuk kondisi terkait harus
dilakukan seperti yang ditunjukkan.

Diagnosis Diferensial
Diagnosis banding APD luas dan termasuk gangguan infeksi, inflamasi, dan neoplastik,
termasuk yang koebnerisasi. APD bisa sangat sulit dibedakan dari prurigo nodularis.
Pseudoxanthoma elasticum perforasi harus dibedakan dari AEPS.
Komplikasi Manajemen
Sebagian besar komplikasi yang terjadi pada pasien dengan APD timbul dari penyakit
sistemik yang mendasarinya. Namun, pasien harus dimonitor untuk infeksi sekunder (bakteri,
jamur, dan virus) serta infestasi parasit. Dalam upaya meredakan pruritus yang terkait, pasien dapat
menggunakan produk pada kulit mereka yang dapat menyebabkan dermatitis kontak iritan atau
alergi. Pada pasien berkulit gelap dengan lebih banyak ekskoriasi, perubahan pigmen pasca-
inflamasi dan jaringan parut dapat menjadi signifikan.
Prognosa
Prognosis APD sangat terkait dengan adanya penyakit yang mendasarinya. Beberapa
penelitian telah menunjukkan bahwa APD dapat membaik dengan pengobatan yang berhasil dari
penyakit yang mendasarinya. Sebagian besar kasus APD berlanjut selama bertahun-tahun kecuali
diobati.
Pengelolaan
Perawatan APD sulit. Belum ada uji klinis yang dirancang dengan baik untuk pengobatan

APD, dan strategi pengobatan saat ini sebagian besar didasarkan pada laporan anekdotal. Pada

pasien dengan CKD, peningkatan lesi APD telah dilaporkan setelah mengubah jenis tabung dialisis
atau modifikasi prosedur dialisis. Dalam beberapa kasus, APD telah menyelesaikan setelah

transplantasi ginjal. Perawatan yang paling umum digunakan untuk APD termasuk retinoid topikal

dan oral, kortikosteroid topikal dan intradermal, serta fototerapi ultraviolet B.

10. Calciphlaxis juga disebut calcific uremic ateriolopathy, Calciphylaxis adalah kelainan

yang mengancam jiwa yang ditandai oleh kalsifikasi pembuluh darah progresif, nekrosis

jaringan lunak, dan nekrosis iskemik kulit . Secara klinis, awal lesi seperti livido retikularis,

terutama di abdomen, gluteal dan tungkai atas, terutama ekstermitas bawah, di area yang

banyak mengandung lemak subkutan. Setelah beberapa minggu lesi berubah menjadi plak

dan nodul purpurik, berbatas tegas, nyeri, di subkutis kemudian menjadi ulkus nekrotik

tertutup eskar.
11. Porphyria cutanea tarda, lesi berupa bula di punggung tangan atau kaki, kadang juga di

wajah. Sering mengalami infeksi sekunder, dan bila sembuh meninggalkan jaringan parut.

Kelainan ini timbul akibat meningkatnya kadar uroporfirin yang dipicu karena alkohol,

estrogen atau besi, atau oleh infeksi kronis misalnya hepatitis C, Hepatitis B atau HIV.

Ditandai oleh perkembangan kerapuhan kulit dan lesi kronis, lepuh pada aspek punggung

tangan dan area kulit lainnya yang terpapar sinar matahari. Area tubuh yang paling terpapar

sinar matahari, dan sering timbul setelah trauma ringan atau tidak jelas sebagai akibat dari

peningkatan kerapuhan kulit. Lepuh juga dapat terjadi pada lengan bawah, wajah, telinga,

leher, tungkai, dan kaki. Ini mudah pecah, meninggalkan erosi yang mungkin menjadi

kering dan berkerak dan sembuh perlahan.


Hipertrikosis wajah dan hiperpigmentasi sering terjadi, bahkan mungkin terjadi tanpa

adanya lepuh, dan secara kosmetik bermasalah, terutama pada wanita. Penebalan parah

pada area kulit yang terkena, kadang-kadang disertai kalsifikasi, dapat menyerupai

sklerosis sistemik dan disebut pseudoscleroderma.

Diagnosa
PCT berkembang paling umum pada pria dewasa dalam hubungan dengan faktor-faktor seperti
kelebihan alkohol, merokok dan hepatitis C kronis, dan pada wanita, terutama dengan penggunaan
estrogen. Presentasi biasanya karakteristik, tetapi harus diingat bahwa orang dewasa dengan
porfiria variegate (VP), coproporphyria herediter (HCP) atau pseudoporphyria, dan anak-anak atau
orang dewasa dengan porfiriria erythropoietic bawaan (CEP) atau hepatoerythropoietic porphyria
(HEP) dapat hadir dengan kulit identik lesi. Oleh karena itu, penting untuk menegakkan diagnosis
laboratorium PCT sebelum memulai pengobatan. Tes lini pertama (yaitu skrining) untuk PCT
adalah pengukuran total plasma atau porfirin urin. Hasil normal dapat mengindikasikan diagnosis
pseudoporphyria. Karena porfirin yang meningkat, terutama dalam urin, umum terjadi pada
penyakit hati dan kondisi medis lainnya, sebuah temuan peningkatan porfirin dan tidak dengan
sendirinya mendukung diagnosis porfiria. Oleh karena itu, jika tes lini pertama positif, berikut ini
disarankan untuk menegakkan diagnosis dan mengeluarkan porfiria yang kurang umum lainnya
yang dapat menyebabkan manifestasi kulit yang serupa dan sering salah didiagnosis sebagai PCT:
 Pemindaian fluoresensi plasma terdilusi pada pH netral. Porfiria yang paling sering salah
didiagnosis sebagai PCT adalah VP, 53 dan secara cepat dan andal diakui oleh pemindaian
plasma dan menemukan puncak emisi pada ∼626 nm, berbeda dengan ∼620 nm untuk
PCT dan porfiria kulit terik lainnya.
 Fraksinasi urin atau porfirin plasma, yang akan menunjukkan dominasi uroporphyrin, dan
hepta-, hexa-, dan pentacarboxyl, porfirin dalam PCT. Pola dominasi porfirin yang sangat
berkarboksilasi tidak sepenuhnya diagnostik, karena dapat terjadi pada porfiria lain yang
jauh lebih umum yang dapat salah didiagnosis sebagai PCT terutama ketika mereka hadir
pada orang dewasa.
 Porfirin eritrosit total, yang normal atau sedikit meningkat pada PCT, tetapi secara nyata
meningkat pada kasus CEP, HEP, atau HCP atau VP homozigot yang homozigot. Ini
biasanya hadir pada masa bayi, tetapi pertama-tama dapat menjadi nyata pada orang
dewasa, kadang-kadang terkait dengan kelainan mieloproliferatif klon atau
mielodisplastik.
 Porfirin feses mungkin normal atau sedikit meningkat pada PCT, dengan pola kompleks
yang mencakup isokoproporfin. Tetracarboxylporphyrins atipikal ini terbentuk ketika
pentacarboxylporphyrinogen terakumulasi di hati sebagai akibat dari penghambatan
UROD dan mengalami dekarboksilasi prematur oleh CPOX, enzim berikutnya dalam jalur,
membentuk dehydroisocoproporphyrinogen. Yang terakhir diekskresikan dalam empedu
dan mengalami oksidasi oleh bakteri usus menjadi isocoproporphyrins.54 Berbeda dengan
PCT, porphyrins fecal secara nyata meningkat dalam CEP, HCP, dan VP, dengan dominasi
coproporphyrin I di CEP, coproporphyrin III di HCP, dan keduanya coproporphyrin III dan
protoporphyrin dalam VP.
 Urine ALA normal atau sedikit meningkat pada PCT, dan PBG selalu normal. Tingkat
prekursor porfirin ini dapat meningkat pada porfiria hati akut, AIP, HCP, dan VP.
Peningkatan porfirin plasma dan demonstrasi dominasi porfirin sangat berkarboksilasi
sangat penting untuk diagnosis PCT pada pasien dengan penyakit ginjal lanjut, meskipun
kisaran referensi lebih tinggi pada populasi ini.55 Penyakit ginjal lanjut umumnya terkait
dengan perubahan erythropoiesis dan peningkatan yang terjadi. dalam protoporfirin seng
eritrosit, yang tidak boleh dikaitkan dengan PCT atau porfiria lainnya. Pasien dengan AIP
dan penyakit ginjal stadium akhir kadang-kadang datang dengan lesi kulit yang menyerupai
PCT.56 Meskipun tidak diperlukan untuk diagnosis PCT, biopsi kulit mengungkapkan
temuan karakteristik tetapi tidak spesifik seperti lepuh subepidermal dan pengendapan
bahan asam-Schiff-positif periodik di sekitar pembuluh darah dan bahan serat halus di
dermis atas dan di persimpangan dermoepitelial. Deposit imunoglobulin dan komplemen
juga ditemukan.57 Perubahan histologis ini juga terlihat pada porfiria kulit lainnya serta
pseudoporfiria, suatu kondisi yang kurang dipahami yang menunjukkan lesi yang sangat
mirip dengan PCT, tetapi dengan porfirin plasma yang tidak meningkat secara signifikan.
Terapi
Pengobatan dengan phlebotomy atau hydroxychloroquine dosis rendah sangat
efektif baik dalam bentuk PCT sporadis maupun familial. Ini harus dimulai hanya setelah
diagnosis pasti, karena mereka tidak efektif pada porfiria lainnya. Mungkin masuk akal
untuk memulai pengobatan setelah hasil porphyrin plasma, termasuk pemindaian
fluoresensi, konsisten dengan PCT dan telah mengeluarkan VP dan pseudoporphyria.
Pasien harus disarankan untuk berhenti merokok dan konsumsi alkohol. Penggunaan
estrogen dan obat-obatan yang diketahui menginduksi sintesis heme hati harus dihentikan
jika memungkinkan.
Terapi penggantian estrogen, lebih disukai transdermal, dapat dipertimbangkan,
jika perlu, setelah PCT dalam remisi. Asupan asam askorbat dan nutrisi lain yang memadai
harus ditetapkan. Penghapusan 1 atau lebih faktor kerentanan dapat menyebabkan
peningkatan, tetapi responsnya lambat atau tidak dapat diprediksi. Flebotomi berulang
untuk mengurangi zat besi hati adalah pengobatan yang lebih disukai di sebagian besar
institusi. Pengangkatan 450 mL darah pada interval 2 minggu dipandu oleh kadar feritin
serum, dengan target 15 hingga 20 ng / mL (yaitu, mendekati batas bawah normal).
Pengukuran hematokrit dan feritin pada setiap sesi memungkinkan pemantauan
untuk mencegah anemia simptomatik dan menilai kemajuan menuju tingkat feritin target.
Flebotomi dihentikan ketika ferritin dari kunjungan sebelumnya adalah 25 hingga 30 ng /
L, dan ferritin diukur untuk memastikan bahwa level target telah tercapai. Pada titik itu,
kadar porfirin mungkin tidak sepenuhnya normal dan lesi kulit tidak sepenuhnya teratasi.
Penipisan zat besi tambahan tidak bermanfaat dan menyebabkan anemia.
Sebagian besar pasien memerlukan 6 sampai 8 flebotomi untuk remisi biokimia dan
klinis, tetapi sesi tambahan mungkin diperlukan, terutama jika kadar feritin serum awal
meningkat secara nyata. Penurunan kadar porfirin plasma (atau serum) cenderung
tertinggal dibandingkan dengan feritin serum, tetapi akan menjadi normal dalam beberapa
minggu setelah phlebotomi selesai. Ketangguhan kulit dapat bertahan selama beberapa
waktu setelah kadar porfirin normal, hingga penyembuhan dan perbaikan subepidermal
lapisan kulit sudah selesai.
Flebotomi berikutnya umumnya tidak diperlukan, dengan pengecualian pasien
homozigot atau senyawa heterozigot untuk mutasi HFE C282Y, karena pedoman saat ini
untuk hemokromatosis merekomendasikan mempertahankan kadar feritin antara 50 dan
100 ng / mL. Kambuh PCT dapat terjadi, sering terkait dengan dimulainya kembali
penggunaan alkohol, tetapi biasanya menanggapi retret. Mengikuti kadar porfirin setelah
remisi dapat mendeteksi kekambuhan lebih awal sehingga perawatan ulang dapat
dilakukan segera.
Regimen hydroxychloroquine (atau chloroquine) dosis rendah merupakan alternatif
efektif untuk flebotomi, dan merupakan pendekatan yang lebih disukai di beberapa
institusi. Antimalaria 4-aminoquinoline ini tampaknya tidak menguras besi hati, tetapi
memobilisasi porfirin yang memiliki terakumulasi dalam lisosom dan organel intraseluler
lainnya dalam hepatosit. Dosis terapi penuh dari obat-obat ini dengan cepat memobilisasi
porfirin dan menginduksi hepatitis akut, ditandai dengan demam, malaise, mual, dan
peningkatan yang nyata dalam porfirin dan fotosensitifitas kemih dan plasma, tetapi diikuti
oleh remisi.
Membuka kedok PCT yang sebelumnya tidak dikenal dengan penggunaan
chloroquine untuk profilaksis malaria telah dijelaskan. Regimen dosis rendah
(hydroxychloroquine 100 mg atau chloroquine 125 mg [setengah tablet standar] dua kali
seminggu) direkomendasikan untuk mencapai remisi dan menghindari efek samping dari
dosis penuh obat ini. Pengobatan dilanjutkan sampai plasma atau porfirin urine
dinormalisasi untuk setidaknya satu bulan. Pasien yang merespon dengan buruk mungkin
memerlukan terapi alternatif dengan proses mengeluarkan darah.
Obat-obatan ini dikaitkan dengan risiko kecil retinopati, yang mungkin lebih
rendah dengan hidroksi kloroquine. Oleh karena itu, pasien harus diperiksa oleh dokter
mata sebelum pengobatan. Perbandingan pengobatan dengan proses mengeluarkan darah
atau hidroksi kloroquin (100 mg dua kali seminggu), menunjukkan bahwa waktu untuk
remisi (kadar porfirin plasma normal) sebanding dengan perawatan ini. Pengobatan dengan
chelator besi seperti desferrioxamine jauh lebih efisien untuk menghilangkan zat besi
daripada phlebotomy, tetapi dapat dipertimbangkan jika kedua phlebotomy dan
hydroxychloroquine dosis rendah dikontraindikasikan.
Pengobatan hepatitis C dengan rejimen berbasis interferon adalah panjang dan
sering tidak berhasil Oleh karena itu, kami pertama-tama telah mengobati PCT, yang
biasanya lebih bergejala, dan setelah mencapai remisi, kemudian diobati bersamaan dengan
hepatitis C. Regimen pengobatan berbasis interferon biasanya menyebabkan anemia, yang
biasanya menghalangi proses mengeluarkan darah untuk PCT, dan kadang-kadang
dikaitkan dengan kekambuhan PCT yang sebelumnya diobati.
Pengalaman dengan hydroxychloroquine dosis rendah selama pengobatan
bersamaan hepatitis C terbatas. Antivirus yang langsung bertindak baru dapat mengobati
infeksi ini dengan cepat dan andal, dan penelitian sedang dilakukan untuk mengumpulkan
bukti apakah mereka harus digunakan sebagai pengganti phlebotomy atau
hydroxychloroquine dosis rendah sebagai pengobatan awal PCT terkait dengan hepatitis
C. PCT yang terkait dengan penyakit ginjal stadium akhir seringkali sulit diobati.
Flebotomi efektif jika didukung, sesuai kebutuhan, dengan memulai atau meningkatkan
dosis erythropoietin.
Hemodialisis fluks tinggi dapat memberikan beberapa manfaat. Transplantasi
ginjal dapat menyebabkan remisi mungkin karena kembalinya produksi eritropoietin
endogen dan berkurangnya hepcidin level. Skrining periodik untuk karsinoma
hepatoselular harus mencakup pencitraan hati dengan ultrasonografi perut atau computed
tomography. Seperti pada penyakit hati lainnya, ini harus dipandu oleh bukti sirosis atau
fibrosis hati.
Gambar 2.27 Efek ureum pada tubuh (Medscape, 2015).

Gambar 2.28 Pendekatan terapi pruritus renal (Medscape, 2015)


BAB III
KESIMPULAN

Pasien dengan penyakit ginjal stadium lanjut hampir semua memiliki minimal satu gangguan

dermatologis, berbagai gejala kutan pada penyakit ginjal dapat bervariasi antara lain Pruritus

Renal atau pruritus uremik, Kekeringan kulit, Asebia, Perubahan rambut, Purpura, Warna kulit

berubah, Beberapa penyakit yang berasosiasi dan sindrom kutaneo-renal, Acquired perforating

dermatosis, Calciphlaxis dan Porphyria cutanea tarda.


DAFTAR PUSTAKA

1. Dr.dr. Sri Linuwih Sp.KK dkk, 2015. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin edisi ketujuh
Jakarta : FK UI.
2. Robin Graham-brown, Johnny Burke, Tim Cunliffe. 2011. Dermatologi Dasar Untuk
Praktik Klinik (Dermatology: Fundamentals of Practice). Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
3. Kang sewon, dkk. 2019. Fitzpatrick’s dermatology edition 9th. United States: Mc Graw
Hills Education.
4. Lowell a. goldsmith, dkk. 2012. Fitzpatrick’s dermatology in General Medicine. United
States: Mc Graw Hills Education.

Anda mungkin juga menyukai