Pembimbing :
dr. Flora Anisah Rakhmawati, Sp.KK
Disusun Oleh :
Nadya Lutfi 2016730075
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas berkat dan
Rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan laporan referat ini tepat pada waktunya,
referat yang di tulis berjudul “Kelainan Kulit pada Penyakit Ginjal”, referat ini
disusun dalam rangka mengikuti kepanitraan Klinik di stase kulit dan kelamin RSUD R.
Syamsudin, S H Sukabumi.
Penulis menyadari bahwa dalam laporan ini masih banyak kekurangan. Oleh karena
itu, semoga laporan ini dapat memberikan manfaat dan tambahan pengetahuan
khususnya kepada penulis dan kepada pembaca.
Terimakasi
Nadya Lutfi
BAB I
PENDAHULUAN
Pasien dengan penyakit ginjal stadium lanjut hampir semua memiliki minimal satu
gangguan dermatologis dan perubahan kulit serta kuku, yang dapat terjadi sebelum atau
setelah dialisa atau tranplantasi. Beberapa mengatakan bahwa manifestasi kulit ini
disebabkan oleh proses patologis mendasar yang disebabkan penyakit ginjal, sementara
yang lainnya percaya bahwa perubahan kulit ini berhubungan dengan keparahan dan
Manifestasi kulit yang paling umum timbul pada penyakit ginjal stadium lanjut di
antaranya xerosis dan pruritus. Xerosis yaitu gambaran kulit kering atau kasar terjadi pada
50-75% pasien dialisis. Xerosis dimanifestasikan dengan sedikitnya turgor kulit, kulit
sangat tidak nyaman karena menyebabkan bertambahnya celah di kulit, ulcer, iritasi,
Pruritus atau gatal-gatal adalah gejala yang paling umum dari penyakit ginjal stadium
lanjut. Dari penderita dengan gagal ginjal kronis, 15-49% mengalami pruritus dan
mereka yang menjalani dialisa 50-90%. Pada gagal ginjal akut pruritus sangat jarang
ditemui. Prevalensinya sedikit lebih besar pada pasien hemodialisa yaitu 42 % dan pada
Salah satu penatalaksanaan pasien Gagal Ginjal Kronik yaitu pengobatan segera
terhadap infeksi untuk mencegah infeksi sampai keginjal karena pada penderita Gagal
Pasien dengan penyakit ginjal stadium akhir (ESRD) mengembangkan berbagai temuan
kulit yang berhubungan dengan kelainan metabolisme, termasuk anemia, disregulasi kalsium-
fosfat, dan intoleransi glukosa. Manifestasi kulit termasuk penampilan pucat, pruritus, xerosis,
dermatosis perforasi, pseudoporphyria, calciphylaxis, dan frost uremik. Berbagai gejala kutan pada
kelainan kulit seperti eksema atopi, psoriasis, xerosis, skabies, dermatitis kontak, insect
bite, liken planus, dermatofitosis, pedikulosis, folikulitis, urtikaria dan liken simpleks
kronis.
seperti penyakit ginjal kronik, kolestasis, limfoma Hodgkin, polisitemia vera, infeksi
seperti pruritus brakioradial, dan gatal pada pasca herpetika; dan penyakit-penyakit
obat.
neurotik berupa garis-garis linier berkrusta yang tersebar. Gambaran ini dapat terjadi
dibagian tubuh yang dapat dijangkau oleh pasien, walaupun paling sering ditemukan pada
daerah ekstremitas.
Pruritus uremikum adalah istilah yang dipakai untuk pruritus yang dialami oleh
pasien-pasien yang menderita penyakit ginjal kronik atau penyakit ginjal stadium akhir,
dengan tidak disertai oleh penyakit-penyakit lain yang dapat menyebabkan gatal.
terakhir insidensi pruritus menurun dari 85% pada awal tahun 1970-an menjadi 30% pada
akhir tahun 1990-an. Prevalensi pruritus uremikum telah menurun sebagai hasil dari
Pruritus uremia adalah suatu gejala resisten dan umum terjadi pada pasien yang
menjalani hemodialisa jangka panjang, tetapi faktor yang dihubungkan dengan keadaan
pruritus belum jelas. Garukan berulang akan menimbulkan ekskoriasi, yang dapat
keratotik, dan hiperkeratosis folikular. Pruritus berat menimbulkan ekskoriasi linier yang
khas pada kulit yang dapat disertai perdarahan dan infeksi, yang diperberat dengan
gangguan fungsi pembekuan dan fungsi imunologis yang terjadi pada uremia
Pruritus renal dapat terjadi, walaupun tidak selalu, pada kegagalan ginjal. Pruritus
kompleks. Banyak faktor yang diduga berperan dalam timbulnya pruritus, antara lain:
merupakan penyakit inflamasi sistemik daripada kelainan kulit lokal. Hal ini
didukung dengan penelitian yang menunjukkan bahwa pruritus renalis yang sangat
μ- reseptor untuk opioid disel dermis dan limfosit. Aktivitas berlebihan reseptor
dynorphin A, yang ditemukan pada penderita CKD Hal ini dapat menjelaskan
c. Retensi zat-zat yang terdiri atas pelbagai konstituen di dalam darah. Hal ini
d. Hiperparatiroidi
f. Retensi pruritogen, yang terdiri atas berbagai zat dengan berat molekul menengah.
Pruritus secara klinis terlihat berupa ekskoriasi dan likenifikasi, akibat garukan yang
berulang-ulang. Nodus - nodus pruritik jarang tampak, bila ada maka berlokasi di bagian
ekstensor ekstermitas.
2. Kekeringan kulit
Kekeringan pada kulit menyerupai iktiosis didapat dan terutama terlihat pada
stratum corneum. kulit tampak dan terasa sehat apabila lapisan luarnya mengandung 10%
air. Peningkatan Trans Epidermal Water Loss (TEWL) yang menyebabkan kulit kering
dikarenakan adanya gangguan pada kulit yang menyebabkan banyaknya air yang menguap
ke atmosfer.
Patofisiologi
Pada keadaan normal, air mengalir secara difusi dari dermis menuju ke epidermis
melalui dua cara yaitu melalui stratum corneum (sc) dan ruang interseluler. Oleh sebab itu
normal air akan keluar dari tubuh melalui epidermis, keadaan tersebut dikenal dengan
istilah Trans Epidermal Water Loss ( TEWL ). Normal TEWL berkisar 0.1 –0.4 mg/cm2
per jam. Proses difusi pasif terjadi karena terdapatnya perbedaan kandungan air dari
stratum basalis ( 60 – 70%) , stratum granulosum ( 40 -60%) dan stratum corneum kurang
dari 15% sehingga air mengalir dari stratum basalis ke stratum corneum. Dengan demikian
kelembaban kulit.
mengandung asam linoleat. Ikatan antara ceramide dan air akan membentuk emulsi yang
halus sehingga nampak halus dan lembut. Pada keadaan tertentu, cuaca bersuhu rendah
dengan kelembaban relatif rendah, ikatan antara ceramide dan air tersebut akan mengkristal
Berikan pelembab seperti emolien adalah bahan oklusif yang membantu hidrasi
kulit dengan cara mengoklusi permukaan kulit dan menahan air di stratum corneum.
4. urea frost dihasilkan dari deposisi ekologi kristal urea pada permukaan kulit individu
dengan uremia parah. Ditandai dengan adanya kristal urea yang tertinggal setelah
berkeringat, umumnya terlihat di area intertriginosa kulit terutama jika pasien jarang
mandi.
5. Perubahan rambut, yakni rontoknya rambut androgenik di daerah jenggot, aksial, dan
pubis.
6. Purpura karena disfungsi trombosit dan juga karena terapi kortikosteroid.
Kulit dapat pucat sebagai akibat dari anemia dan sering menunjukkan rona yang khas, dan
sebagian dari akumulasi pigmen karotenoid dan nitrogen (urokrom) dalam dermis.
sebaseum, vaskulitis, dan penyakit vascular kolagen, serta penyakit metabolik (misalnya
kulit, yakni nefropatia dermatogenik dan glomerulonefritis sesudah infeksi kutan karena
streptokokus A12.
9. Acquired perforating dermatosis, Gangguan perforasi adalah sekelompok kondisi yang
ditandai dengan eliminasi transepidermal elemen jaringan ikat. Meskipun temuan ini
mungkin merupakan manifestasi utama dari kondisi sistemik keluarga atau didapat (yaitu,
APD dicirikan secara klinis oleh papula dan nodul bulat, berwarna kulit, eritematosa atau
permukaan ekstensor ekstremitas dan Lesi jarang terjadi pada wajah atau kulit kepala.
Beberapa lesi mungkin menunjukkan distribusi berbasis folikel dengan respons Koebner
Diagnosis Diferensial
Diagnosis banding APD luas dan termasuk gangguan infeksi, inflamasi, dan neoplastik,
termasuk yang koebnerisasi. APD bisa sangat sulit dibedakan dari prurigo nodularis.
Pseudoxanthoma elasticum perforasi harus dibedakan dari AEPS.
Komplikasi Manajemen
Sebagian besar komplikasi yang terjadi pada pasien dengan APD timbul dari penyakit
sistemik yang mendasarinya. Namun, pasien harus dimonitor untuk infeksi sekunder (bakteri,
jamur, dan virus) serta infestasi parasit. Dalam upaya meredakan pruritus yang terkait, pasien dapat
menggunakan produk pada kulit mereka yang dapat menyebabkan dermatitis kontak iritan atau
alergi. Pada pasien berkulit gelap dengan lebih banyak ekskoriasi, perubahan pigmen pasca-
inflamasi dan jaringan parut dapat menjadi signifikan.
Prognosa
Prognosis APD sangat terkait dengan adanya penyakit yang mendasarinya. Beberapa
penelitian telah menunjukkan bahwa APD dapat membaik dengan pengobatan yang berhasil dari
penyakit yang mendasarinya. Sebagian besar kasus APD berlanjut selama bertahun-tahun kecuali
diobati.
Pengelolaan
Perawatan APD sulit. Belum ada uji klinis yang dirancang dengan baik untuk pengobatan
APD, dan strategi pengobatan saat ini sebagian besar didasarkan pada laporan anekdotal. Pada
pasien dengan CKD, peningkatan lesi APD telah dilaporkan setelah mengubah jenis tabung dialisis
atau modifikasi prosedur dialisis. Dalam beberapa kasus, APD telah menyelesaikan setelah
transplantasi ginjal. Perawatan yang paling umum digunakan untuk APD termasuk retinoid topikal
10. Calciphlaxis juga disebut calcific uremic ateriolopathy, Calciphylaxis adalah kelainan
yang mengancam jiwa yang ditandai oleh kalsifikasi pembuluh darah progresif, nekrosis
jaringan lunak, dan nekrosis iskemik kulit . Secara klinis, awal lesi seperti livido retikularis,
terutama di abdomen, gluteal dan tungkai atas, terutama ekstermitas bawah, di area yang
banyak mengandung lemak subkutan. Setelah beberapa minggu lesi berubah menjadi plak
dan nodul purpurik, berbatas tegas, nyeri, di subkutis kemudian menjadi ulkus nekrotik
tertutup eskar.
11. Porphyria cutanea tarda, lesi berupa bula di punggung tangan atau kaki, kadang juga di
wajah. Sering mengalami infeksi sekunder, dan bila sembuh meninggalkan jaringan parut.
Kelainan ini timbul akibat meningkatnya kadar uroporfirin yang dipicu karena alkohol,
estrogen atau besi, atau oleh infeksi kronis misalnya hepatitis C, Hepatitis B atau HIV.
Ditandai oleh perkembangan kerapuhan kulit dan lesi kronis, lepuh pada aspek punggung
tangan dan area kulit lainnya yang terpapar sinar matahari. Area tubuh yang paling terpapar
sinar matahari, dan sering timbul setelah trauma ringan atau tidak jelas sebagai akibat dari
peningkatan kerapuhan kulit. Lepuh juga dapat terjadi pada lengan bawah, wajah, telinga,
leher, tungkai, dan kaki. Ini mudah pecah, meninggalkan erosi yang mungkin menjadi
adanya lepuh, dan secara kosmetik bermasalah, terutama pada wanita. Penebalan parah
pada area kulit yang terkena, kadang-kadang disertai kalsifikasi, dapat menyerupai
Diagnosa
PCT berkembang paling umum pada pria dewasa dalam hubungan dengan faktor-faktor seperti
kelebihan alkohol, merokok dan hepatitis C kronis, dan pada wanita, terutama dengan penggunaan
estrogen. Presentasi biasanya karakteristik, tetapi harus diingat bahwa orang dewasa dengan
porfiria variegate (VP), coproporphyria herediter (HCP) atau pseudoporphyria, dan anak-anak atau
orang dewasa dengan porfiriria erythropoietic bawaan (CEP) atau hepatoerythropoietic porphyria
(HEP) dapat hadir dengan kulit identik lesi. Oleh karena itu, penting untuk menegakkan diagnosis
laboratorium PCT sebelum memulai pengobatan. Tes lini pertama (yaitu skrining) untuk PCT
adalah pengukuran total plasma atau porfirin urin. Hasil normal dapat mengindikasikan diagnosis
pseudoporphyria. Karena porfirin yang meningkat, terutama dalam urin, umum terjadi pada
penyakit hati dan kondisi medis lainnya, sebuah temuan peningkatan porfirin dan tidak dengan
sendirinya mendukung diagnosis porfiria. Oleh karena itu, jika tes lini pertama positif, berikut ini
disarankan untuk menegakkan diagnosis dan mengeluarkan porfiria yang kurang umum lainnya
yang dapat menyebabkan manifestasi kulit yang serupa dan sering salah didiagnosis sebagai PCT:
Pemindaian fluoresensi plasma terdilusi pada pH netral. Porfiria yang paling sering salah
didiagnosis sebagai PCT adalah VP, 53 dan secara cepat dan andal diakui oleh pemindaian
plasma dan menemukan puncak emisi pada ∼626 nm, berbeda dengan ∼620 nm untuk
PCT dan porfiria kulit terik lainnya.
Fraksinasi urin atau porfirin plasma, yang akan menunjukkan dominasi uroporphyrin, dan
hepta-, hexa-, dan pentacarboxyl, porfirin dalam PCT. Pola dominasi porfirin yang sangat
berkarboksilasi tidak sepenuhnya diagnostik, karena dapat terjadi pada porfiria lain yang
jauh lebih umum yang dapat salah didiagnosis sebagai PCT terutama ketika mereka hadir
pada orang dewasa.
Porfirin eritrosit total, yang normal atau sedikit meningkat pada PCT, tetapi secara nyata
meningkat pada kasus CEP, HEP, atau HCP atau VP homozigot yang homozigot. Ini
biasanya hadir pada masa bayi, tetapi pertama-tama dapat menjadi nyata pada orang
dewasa, kadang-kadang terkait dengan kelainan mieloproliferatif klon atau
mielodisplastik.
Porfirin feses mungkin normal atau sedikit meningkat pada PCT, dengan pola kompleks
yang mencakup isokoproporfin. Tetracarboxylporphyrins atipikal ini terbentuk ketika
pentacarboxylporphyrinogen terakumulasi di hati sebagai akibat dari penghambatan
UROD dan mengalami dekarboksilasi prematur oleh CPOX, enzim berikutnya dalam jalur,
membentuk dehydroisocoproporphyrinogen. Yang terakhir diekskresikan dalam empedu
dan mengalami oksidasi oleh bakteri usus menjadi isocoproporphyrins.54 Berbeda dengan
PCT, porphyrins fecal secara nyata meningkat dalam CEP, HCP, dan VP, dengan dominasi
coproporphyrin I di CEP, coproporphyrin III di HCP, dan keduanya coproporphyrin III dan
protoporphyrin dalam VP.
Urine ALA normal atau sedikit meningkat pada PCT, dan PBG selalu normal. Tingkat
prekursor porfirin ini dapat meningkat pada porfiria hati akut, AIP, HCP, dan VP.
Peningkatan porfirin plasma dan demonstrasi dominasi porfirin sangat berkarboksilasi
sangat penting untuk diagnosis PCT pada pasien dengan penyakit ginjal lanjut, meskipun
kisaran referensi lebih tinggi pada populasi ini.55 Penyakit ginjal lanjut umumnya terkait
dengan perubahan erythropoiesis dan peningkatan yang terjadi. dalam protoporfirin seng
eritrosit, yang tidak boleh dikaitkan dengan PCT atau porfiria lainnya. Pasien dengan AIP
dan penyakit ginjal stadium akhir kadang-kadang datang dengan lesi kulit yang menyerupai
PCT.56 Meskipun tidak diperlukan untuk diagnosis PCT, biopsi kulit mengungkapkan
temuan karakteristik tetapi tidak spesifik seperti lepuh subepidermal dan pengendapan
bahan asam-Schiff-positif periodik di sekitar pembuluh darah dan bahan serat halus di
dermis atas dan di persimpangan dermoepitelial. Deposit imunoglobulin dan komplemen
juga ditemukan.57 Perubahan histologis ini juga terlihat pada porfiria kulit lainnya serta
pseudoporfiria, suatu kondisi yang kurang dipahami yang menunjukkan lesi yang sangat
mirip dengan PCT, tetapi dengan porfirin plasma yang tidak meningkat secara signifikan.
Terapi
Pengobatan dengan phlebotomy atau hydroxychloroquine dosis rendah sangat
efektif baik dalam bentuk PCT sporadis maupun familial. Ini harus dimulai hanya setelah
diagnosis pasti, karena mereka tidak efektif pada porfiria lainnya. Mungkin masuk akal
untuk memulai pengobatan setelah hasil porphyrin plasma, termasuk pemindaian
fluoresensi, konsisten dengan PCT dan telah mengeluarkan VP dan pseudoporphyria.
Pasien harus disarankan untuk berhenti merokok dan konsumsi alkohol. Penggunaan
estrogen dan obat-obatan yang diketahui menginduksi sintesis heme hati harus dihentikan
jika memungkinkan.
Terapi penggantian estrogen, lebih disukai transdermal, dapat dipertimbangkan,
jika perlu, setelah PCT dalam remisi. Asupan asam askorbat dan nutrisi lain yang memadai
harus ditetapkan. Penghapusan 1 atau lebih faktor kerentanan dapat menyebabkan
peningkatan, tetapi responsnya lambat atau tidak dapat diprediksi. Flebotomi berulang
untuk mengurangi zat besi hati adalah pengobatan yang lebih disukai di sebagian besar
institusi. Pengangkatan 450 mL darah pada interval 2 minggu dipandu oleh kadar feritin
serum, dengan target 15 hingga 20 ng / mL (yaitu, mendekati batas bawah normal).
Pengukuran hematokrit dan feritin pada setiap sesi memungkinkan pemantauan
untuk mencegah anemia simptomatik dan menilai kemajuan menuju tingkat feritin target.
Flebotomi dihentikan ketika ferritin dari kunjungan sebelumnya adalah 25 hingga 30 ng /
L, dan ferritin diukur untuk memastikan bahwa level target telah tercapai. Pada titik itu,
kadar porfirin mungkin tidak sepenuhnya normal dan lesi kulit tidak sepenuhnya teratasi.
Penipisan zat besi tambahan tidak bermanfaat dan menyebabkan anemia.
Sebagian besar pasien memerlukan 6 sampai 8 flebotomi untuk remisi biokimia dan
klinis, tetapi sesi tambahan mungkin diperlukan, terutama jika kadar feritin serum awal
meningkat secara nyata. Penurunan kadar porfirin plasma (atau serum) cenderung
tertinggal dibandingkan dengan feritin serum, tetapi akan menjadi normal dalam beberapa
minggu setelah phlebotomi selesai. Ketangguhan kulit dapat bertahan selama beberapa
waktu setelah kadar porfirin normal, hingga penyembuhan dan perbaikan subepidermal
lapisan kulit sudah selesai.
Flebotomi berikutnya umumnya tidak diperlukan, dengan pengecualian pasien
homozigot atau senyawa heterozigot untuk mutasi HFE C282Y, karena pedoman saat ini
untuk hemokromatosis merekomendasikan mempertahankan kadar feritin antara 50 dan
100 ng / mL. Kambuh PCT dapat terjadi, sering terkait dengan dimulainya kembali
penggunaan alkohol, tetapi biasanya menanggapi retret. Mengikuti kadar porfirin setelah
remisi dapat mendeteksi kekambuhan lebih awal sehingga perawatan ulang dapat
dilakukan segera.
Regimen hydroxychloroquine (atau chloroquine) dosis rendah merupakan alternatif
efektif untuk flebotomi, dan merupakan pendekatan yang lebih disukai di beberapa
institusi. Antimalaria 4-aminoquinoline ini tampaknya tidak menguras besi hati, tetapi
memobilisasi porfirin yang memiliki terakumulasi dalam lisosom dan organel intraseluler
lainnya dalam hepatosit. Dosis terapi penuh dari obat-obat ini dengan cepat memobilisasi
porfirin dan menginduksi hepatitis akut, ditandai dengan demam, malaise, mual, dan
peningkatan yang nyata dalam porfirin dan fotosensitifitas kemih dan plasma, tetapi diikuti
oleh remisi.
Membuka kedok PCT yang sebelumnya tidak dikenal dengan penggunaan
chloroquine untuk profilaksis malaria telah dijelaskan. Regimen dosis rendah
(hydroxychloroquine 100 mg atau chloroquine 125 mg [setengah tablet standar] dua kali
seminggu) direkomendasikan untuk mencapai remisi dan menghindari efek samping dari
dosis penuh obat ini. Pengobatan dilanjutkan sampai plasma atau porfirin urine
dinormalisasi untuk setidaknya satu bulan. Pasien yang merespon dengan buruk mungkin
memerlukan terapi alternatif dengan proses mengeluarkan darah.
Obat-obatan ini dikaitkan dengan risiko kecil retinopati, yang mungkin lebih
rendah dengan hidroksi kloroquine. Oleh karena itu, pasien harus diperiksa oleh dokter
mata sebelum pengobatan. Perbandingan pengobatan dengan proses mengeluarkan darah
atau hidroksi kloroquin (100 mg dua kali seminggu), menunjukkan bahwa waktu untuk
remisi (kadar porfirin plasma normal) sebanding dengan perawatan ini. Pengobatan dengan
chelator besi seperti desferrioxamine jauh lebih efisien untuk menghilangkan zat besi
daripada phlebotomy, tetapi dapat dipertimbangkan jika kedua phlebotomy dan
hydroxychloroquine dosis rendah dikontraindikasikan.
Pengobatan hepatitis C dengan rejimen berbasis interferon adalah panjang dan
sering tidak berhasil Oleh karena itu, kami pertama-tama telah mengobati PCT, yang
biasanya lebih bergejala, dan setelah mencapai remisi, kemudian diobati bersamaan dengan
hepatitis C. Regimen pengobatan berbasis interferon biasanya menyebabkan anemia, yang
biasanya menghalangi proses mengeluarkan darah untuk PCT, dan kadang-kadang
dikaitkan dengan kekambuhan PCT yang sebelumnya diobati.
Pengalaman dengan hydroxychloroquine dosis rendah selama pengobatan
bersamaan hepatitis C terbatas. Antivirus yang langsung bertindak baru dapat mengobati
infeksi ini dengan cepat dan andal, dan penelitian sedang dilakukan untuk mengumpulkan
bukti apakah mereka harus digunakan sebagai pengganti phlebotomy atau
hydroxychloroquine dosis rendah sebagai pengobatan awal PCT terkait dengan hepatitis
C. PCT yang terkait dengan penyakit ginjal stadium akhir seringkali sulit diobati.
Flebotomi efektif jika didukung, sesuai kebutuhan, dengan memulai atau meningkatkan
dosis erythropoietin.
Hemodialisis fluks tinggi dapat memberikan beberapa manfaat. Transplantasi
ginjal dapat menyebabkan remisi mungkin karena kembalinya produksi eritropoietin
endogen dan berkurangnya hepcidin level. Skrining periodik untuk karsinoma
hepatoselular harus mencakup pencitraan hati dengan ultrasonografi perut atau computed
tomography. Seperti pada penyakit hati lainnya, ini harus dipandu oleh bukti sirosis atau
fibrosis hati.
Gambar 2.27 Efek ureum pada tubuh (Medscape, 2015).
Pasien dengan penyakit ginjal stadium lanjut hampir semua memiliki minimal satu gangguan
dermatologis, berbagai gejala kutan pada penyakit ginjal dapat bervariasi antara lain Pruritus
Renal atau pruritus uremik, Kekeringan kulit, Asebia, Perubahan rambut, Purpura, Warna kulit
berubah, Beberapa penyakit yang berasosiasi dan sindrom kutaneo-renal, Acquired perforating
1. Dr.dr. Sri Linuwih Sp.KK dkk, 2015. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin edisi ketujuh
Jakarta : FK UI.
2. Robin Graham-brown, Johnny Burke, Tim Cunliffe. 2011. Dermatologi Dasar Untuk
Praktik Klinik (Dermatology: Fundamentals of Practice). Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
3. Kang sewon, dkk. 2019. Fitzpatrick’s dermatology edition 9th. United States: Mc Graw
Hills Education.
4. Lowell a. goldsmith, dkk. 2012. Fitzpatrick’s dermatology in General Medicine. United
States: Mc Graw Hills Education.