Pembimbing :
dr. Arief Priyadi, Sp.M
Disusun Oleh :
Nadya Lutfi 2016730075
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kepada kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat-Nya sehingga Referat yang berjudul “Pergerakan Bola Mata dan
Kelainannya” dapat diselesaikan pada waktunya. Pada kesempatan ini, penulis ingin
mengucapkan terima kasih kepada dr. Arief Priyadi, Sp.M, selaku pembimbing yang
telah membimbing penulis dalam proses penulisan Referat ini. Selain itu penulis
mengucapkan terima kasih pada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per
satu, baik secara langsung maupun tidak langsung telah membantu penyelesaian
Referat ini.
Nadya Lutfi
ii
DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Isi rongga orbita terdiri atas bola mata dengan saraf optik, enam otot
penggerak bola mata, kelenjar air mata, pembuluh darah cabang arteri oftalmik,
Nervus (N). III, IV, VI, lemak dan fasia (Kapsul Tenon). 2,7 Saraf orbita bersifat
motorik (N. III, IV, VI) dan sensorik (N. V).7
4
Otot oblique terdiri dari dua, yaitu otot oblique superior dan otot oblique
inferior. Otot oblique mengatur pergerakan torsi dan pergerakkan menjauh, atas
dan bawah. Otot oblique superior merupakan otot mata yang terpanjang dan
tertipis. Origo otot oblique superior terletak diatas dan medial dari foramen
optik.6 Otot oblique ini menuju kearah bagian nasal atas orbita, melalui troklea
kemudian membelok ke belakang, dibawah otot rektus superior selanjutnya
berinserasi pada sklera di belakang ekuator.7
Jarak insersi otot rectus ke sklera dihitung dari limbus disebut Spiral of
Tilaux.14 Tempat jarak insersinya dari limbus berbeda setiap ototnya : otot rektus
medialis 5,5 mm, otot rektus inferior 6,75 mm, otot rektus lateralis 7 mm dan
otot rektus superior 7,5 mm.6,7 Otot rektus memiliki panjang sekitar 40 mm.
Fungsi utama otot rektus adalah aduksi, abduksi, menekan dan elevasi bola
mata.6 Origo otot oblique inferior terletak pada dinding nasal orbita, menyilang
di bawah otot rektus dan berinsersi pada sklera kuadran belakang lateral inferior
bola mata di bawah otot rektus lateralis. Otot ini mempunyai panjang 37 mm. 6,7
6
Selain dari otot rektus lateralis yang diinervasi oleh N. VI (N. abdusen)
dan otot oblique superior yang diinervasi oleh N. IV (N. troklear), semua otot
diinervasi oleh N. III (N. okulomotor).2,7
M. Intorsi Depresi N. IV
oblique Abduksi
superior
2.2.1 Konvergensi
Suatu keadaan dimana sumbu penglihatan kedua mata diarahkan
pada satu titik dekat, yang mengakibatkan kedua pupil mata akan
saling mendekat dalam suatu gerakan yang terkoordinasi.
Untuk dapat mengetahui konvergensi mata maka pasien diminta
untuk melihat pensil yang diletakkan di bidang medial dari mata yang
kemudian didekatkan. Normalnya mata akan melihat pensil tunggal
pada jarak 5 - 8 cm. 1,6
2.2.2 Divergensi
Kedua mata berputar ke luar untuk melihat benda jauh. Mata
akan searah bila dapat mempertahankan fusi kedua mata. Kedudukan
mata normal disebut dengan ortoforia.
8
2.3.2 Fisiologi 8
Bola mata merupakan organ yang menerima rangsang sensoris
dimana stimuli yang diterima dari retina diterjemahkan dalam bentuk
gambar oleh otak. Saraf optik dan jaras penglihatan menghantar
informasi ini ke korteks visual.
Terdapat dua sistem yang mengatur penglihatan binokular, yaitu
sistem sensorik dan motorik. Sistem sensorik retina menerima gambar
dan menghantarkannya ke otak. Sedangkan sistem motorik mengatur
pergerakan kedua bola mata dalam melihat suatu benda sehingga
menghasilkan gambar yang sama di retina. Kemudian otak dapat
memproses informasi ini dalam bentuk impresi penglihatan binokular.
Ada tiga tingkat kualitas pada penglihatan binokular.
1. Simultaneous vision
Retina dari kedua mata menerima dua gambar secara
bersamaan. Pada penglihatan binokular yang normal, kedua mata
memiliki titik fiksasi yang sama yang jatuh pada fovea sentralis di
setiap mata. Bayangan benda selalu jatuh di tempat yang sama
yaitu di retina.
2. Fusi
Fusi terjadi ketika kedua retina menyampaikan gambaran
penglihatan yang sama, yang kemudian oleh otak akan digabung
menjadi persepsi tunggal. Jika ada kerusakan pada fusi akan
menyebabkan diplopia.
3. Penglihatan stereopsis
Penglihatan stereopsis adalah persepsi visual terhadap
kedalaman dan kemampuan melihat benda secara tiga dimensi.
9
Horopter adalah suatu titik fiksasi yang dilihat oleh mata yang
bayangannya jatuh tepat di fovea. Selain itu daerah di anterior dan
posterior dari horopter disebut dengan area Panum.
2.4 Supresi 1
Supresi adalah suatu keadaan dimana otak mengabaikan bayangan
benda mata yang lainnya untuk mencegah terjadinya diplopia. Supresi ini
terjadi karena adanya juling kongenital, satu mata sering berdeviasi, atau
mata deviasi berganti dimana tidak akan terjadi diplopia karena akan terjadi
supresi pada salah satu mata.
2.6 Strabismus
Strabismus adalah kondisi dimana arah kedua bola mata tidak bisa
melihat ke titik fiksasi yang sama dalam kondisi yang normal sehingga
penglihatan binokular tidak dapat tercapai. 9 Etiologi dari terjadinya strabismus
secara garis besar dibagi menjadi dua, yaitu kongenital dan strabismus yang
didapat (aquired).
8
Gambar 9. Oculomotor Nerve Palsy
b) Non paralitik
Pada otot ekstraokular berfungsi secara normal tetapi tidak
mengarah pada arah yang sama. Sudut deviasi selalu sama pada
semua lapang pandang.
13
2. Vertikal
a. Hypertropia : Keadaan dimana posisi bola mata yang satu
lebih tinggi dari bola mata lainnya.
2.6.2 Diagnosis
Untuk dapat mendiagnosis strabismus dengan baik, diperlukan
pemeriksaan yang teliti. Anamnesis yang baik dapat memberikan kita
informasi yang dibutuhkan.
2.6.2.1 Anamnesis
Dalam anamnesis, ditanyakan hal sebagai berikut: 6
Kapan terjadinya?
o Apabila baru terjadi : Mungkin strabismus paralitik.
o Apabila sudah lama : Bisa ada kemungkinan kelainan
faal atau gangguan fusi.
Apakah terjadi di kedua mata atau hanya satu mata?
o Apabila satu mata terus menerus dan pergerakan bola
mata tidak baik : strabismus paralitik.
o Apabila satu mata terus menerus dan pergerakan bola
mata masih baik : strabismus manifest.
Riwayat keluarga?
o Apakah anggota keluarga, terutama orang tua ada
yang memiliki kelainan pergerakan bola mata.
BAB III
KESIMPULAN
3.1 Kesimpulan
Strabismus adalah kondisi dimana arah kedua bola mata tidak bisa melihat
ke titik fiksasi yang sama dalam kondisi yang normal sehingga penglilhatan
binokular tidak dapat tercapai. Kelainan ini dapat terjadi pada anak – anak
maupun orang dewasa. Strabismus dapat terjadi berdasarkan penyebab, sudut,
dan manifestasinya. Pemeriksaan yang dilakukan biasanya dimulai dari inspeksi,
pemeriksaan visus, pemeriksaan pupil, pemeriksaan kualitatif dan kuantitatif.
Tatalaksana pada penderita strabismus tergantung besar sudut deviasi dan
aktivitas yang dilakukan.
23
DAFTAR PUSTAKA
1. Ilyas HS, Yulianti SR. Ilmu Penyakit Mata. Ed ke-4. Jakarta : Badan Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2011
2. Schlote T et al. Pocket Atlas of Ophthalmology. New York : Georg Thieme
Verlag; 2006.
3. A.D.A.M Medical Encyclopedia. Strabismus. [terhubung berkala]
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmedhealth/PMH0001999/ [27 Februari 2013]
4. American Optometric Association. Care of the patient with : Strabismus :
Esotropia and Exotropia. St. Louis : 2011
5. Stidwill D. Epidemiology of Strabismus. Ophthalmic Physiol Opt 1997; 17(6) :
536-9 [terhubung berkala]. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed /9666929 [27
Februari 2013]
6. Riordan-Eva P et al. Vaughan & Asbury’s General Ophthalmology. New York :
Lange Medical Books/McGraw Hill Medical Pub. Division; 2004.
7. Ilyas S et al editor. Ilmu Penyakit mata: untuk Dokter Umum dan Mahasiswa
Kedokteran. Ed ke-2. Jakarta : Sagung Seto; 2002.
8. Lang GK. Ophthalmology : a Short Textbook. New York : Georg Thieme Verlag;
2000.
9. Lalwani AK. Current Diagnosis & Treatment in Otolaryngology-Head & Neck
Surgery. Ed ke-2. New York : The McGraw-Hill Companies; 2004
10. Bentley C, Rees A. Eye Movement Disorders. Association of Optometrists. 2000:
30-37.
11. Newman WA, editor. Dorland’s Illustrated Medical Dictionary. Ed ke-30.
Philadelphia: W.B. Saunders; 2003
12. Noorden GK von, Helveston EM. Strabismus : a Decision Making Approach.
Ed ke-1. St. Louis : Mosby Inc. ; 1994.
13. Noorden GK von, Campos EC. Binocular Vision and Ocular Motility. Ed ke-6.
St. Louis : Mosby Inc. ; 2002
14. Myron - jay s et al. Yanoff’s & Duker’s Opthalmology. Ed ke-3. New York :
Lange Medical Books/McGraw Hill Medical Pub. Division; 2008
15. Noorden GK von. Atlas of Strabismus. Ed ke-4. St. Louis : Mosby Inc. ; 1983.
24
16. Mitchell PR, Parks MM. Sensory Test and Treatment of Binocular Vision
Adaptations. Di dalam : Tasman W, Jaeger EA, editor. Duane’s Ophthalmology.
Philadelphia : Lippincot Williams & Wilkins ; 2006
17. Mitchell S, Bruce W. Clinical Management of Binocular Vision: Heterophoric,
Accommodative, and Eye Movement Disorders. Ed ke-3. Philadelphia :
Lippincot Williams & Wilkins; 2008