Anda di halaman 1dari 14

TATALAKSANA KOMPREHENSIF ASMA EKSASERBASI AKUT

C. Martin Rumende

A. DEFINISI ASMA EKSASERBASI AKUT


Asma eksaserbasi akut (acute severe asma, flare up) merupakan suatu keadaan
klinis dimana didapatkan adanya peningkatan gejala asma yang progresif,
ditandai dengan sesak napas, batuk, mengi atau rasa terikat di dada yang
semakin berat disertai dengan adanya penurunan fungsi paru yang juga bersifat
progresif. Pada asma eksaserbasi akut seringkali pasien harus mengubah
pengobatan yang biasa digunakan sebelumnya. Asma eksaserbasi akut dapat
terjadi pada pasien yang sebelumnya telah diketahui menderita asma atau
kadang-kadang dapat juga terjadi untuk pertama kalinya.1,2
Eksaserbasi biasanya terjadi akibat adanya respons terhadap paparan
dari luar (misalnya infeksi saluran napas atas akibat virus, paparan dengan
serbuk sari tanaman, polusi) atau akibat ketidakteraturan dalam menggunakan
obat pengontrol, dan pada sebagian kecil pasien datang dengan gejala
eksaserbasi akut tanpa adanya paparan dengan faktor risiko yang jelas). Asma
eksaserbasi akut dapat terjadi pada pada pasien asma yang sebelumnya
terkontrol baik. Faktor risiko yang berkaitan dengan kematian akibat asma
eksaserbasi akut adalah :
 Riwayat serangan asma yang hampir fatal sebelumnya yang memerlukan
tindakan intubasi dan dukungan ventilator mekanik.
 Riwayat perawatan atau kunjungan ke emergensi karena serangan asma
dalam tahun terakhir,
 Menggunakan atau menghentikan obat kortikosteroid oral.
 Menggunakan 2-agonis kerja singkat yang berlebihan, khususnya
salbutamol yang lebih dari satu canister dalam setiap bulannya.
 Riwayat gangguan psikiatri atau gangguan psikosomatik.
 Ketidaktaatan dalam menggunakan obat-obat asma sebelumnya.
 Pasien asma dengan riwayat alergi makanan.1,2,3

B. DIAGNOSIS ASMA EKSASERBASI AKUT


Pada pasien yang mengalami eksaserbasi akut akan didapatkan adanya
perburukan gejala klinis asma disertai dengan penurunan fungsi paru, ditandai
dengan penurunan peak expiratory flow (PEF) atau penurunan forced expiratory
volume in 1 second (FEV1). Dalam keadaan eksaserbasi pengukuran kedua
parameter tersebut akan memberikan petunjuk yang lebih baik mengenai
beratnya eksaserbasi dibandingkan dengan gejala klinis saja. Namun demikian
adanya peningkatan frekwensi gejala asma merupakan parameter yang lebih
sensitif untuk menentukan onset eksaserbasi dibandingkan dengan pengukuran
PEF. Sebagian kecil pasien mengalami penurunan fungsi paru yang signifikan
tanpa adanya perubahan dari gejala asmanya. Keadaan ini umumnya dialami
oleh pasien dengan riwayat serangan asma yang hampir fatal sebelumnya dan
umumnya dialami oleh kaum pria. Asma eksaserbasi akut berpotensi
menyebabkan kegawatan dan dalam tatalaksananya memerlukan pengkajian
yang cermat dan pengawasan yang ketat. Pasien dengan eksaserbasi asma yang
berat disarankan untuk segera berobat ke fasilitas kesehatan terdekat untuk
mendapatkan pengobatan yang adekuat.1,2,3

C. TATALAKSANA ASMA EKSASERBASI AKUT DI PUSAT LAYANAN PRIMER


Tatalaksana asma eksaserbasi akut di layanan primer mencakup beberapa hal
penting yaitu melakukan pengkajian beratnya asma, melakukan anamnesis dan
pemeriksaan fisis, melakukan pengukuran fungsi paru secara obyektif dan
memberikan pengobatan untuk asma eksaserbasinya itu sendiri (Gambar 1).1
1. Pengkajian beratnya eksaserbasi asma.
Anamnesis singkat dan terarah serta pemeriksaan fisis yang berkaitan harus
dilakukan secara bersamaan dengan pemberian terapi awal, dan semua data-
data penting kemudian dicatat. Jika pasien memperlihatkan gejala dan tanda
serangan asma yang berat atau mengancam nyawa, pengobatan dengan 2-
agonis kerja singkat, pemberian oksigen dan kortikosteroid sistemik harus
segera dimulai, sementara pasien dipersiapkan untuk dirujuk ke rumah sakit
dengan fasilitas kesehatan yang lebih lengkap. Sebaliknya pasien dengan
eksaserbasi yang ringan sampai sedang dapat ditangani di fasilitas kesehatan
primer yang memiliki peralatan dan tenaga medis yang memadai. 1,2
2. Melakukan anamsesis yang terarah.
Anamnesis dilakukan untuk mengetahui hal-hal penting berikut yaitu :
 Menentukan onset dan penyebab dari eksaserbasi (bila memungkinkan).
 Menentukan beratnya serangan asma.
 Ada tidaknya gejala anafilaksis. Ada tidaknya faktor risiko kematian yang
berkaitan dengan eksaserbasi asma.
 Obat-obat pelega dan pengontrol yang digunakan belakangan ini,
termasuk dosis dan devices yang digunakan, keteraturan penggunaan
obat, ada tidaknya perubahan dosis dan respons terhadap terapi yang
digunakan selama ini.
3. Pemeriksaan fisis.
Saat melakukan pemeriksaan fisis harus dikaji hal-hal berikut :
 Tanda eksaserbasi akut yang berat, meliputi tanda-tanda vital, ada
tidaknya penggunaan otot-otot pernapasan tambahan, mengi dan
kemampuan untuk mengucapkan suatu kalimat .
 Ada tidaknya faktor pemberat (komplikasi) lain, misalnya reaksi
anafilaksis, pneumotoraks dan pneumonia.
 Kemungkinan adanya penyebab sesak yang lain misalnya gagal jantung,
emboli paru dan aspirasi benda asing.
4. Pengukuran parameter obyektif
Pengukuran parameter obyektif untuk menilai beratnya eksaserbasi asma
dilakukan dengan :
 Pengukuran pulse oximetry (saturasi O2 < 90 % memberikan petunjuk
perlunya terapi yang agresif).
 Peak Expiratory Flow pada pasien > 5 tahun.
5. Terapi medika mentosa.
Terapi awal yang utama mencakup pemberian 2-agonis kerja singkat secara
berulang-ulang, pemberian kortikosteroid sistemik dini dan pemberian
oksigen secara terkontrol. Tujuan terapi adalah untuk dengan cepat
mengatasi obstruksi dan hipoksemia dengan mengacu pada reaksi inflamasi
yang mendasari patofisiologinya serta juga untuk mencegah kekambuhan.1-4
Inhalasi beta2-agonis kerja singkat. Untuk eksaserbasi asma yang
ringan sampai sedang, inhalasi 2-agonis kerja singkat diberikan secara
berulang-ulang yaitu 4-10 semprot setiap 20 menit dalam 1 jam pertama.
Terapi inhalasi ini umumnya cukup efektif dan efisien untuk mengatasi
obstruksi saluran napas dengan cepat. Setelah 1 jam pertama dosis 2-agonis
kerja singkat berikutnya bervariasi antara 4-10 semprot yang diberikan tiap
3-4 jam, hingga 6-10 semprot yang diberikan tiap 1-2 jam. Tidak diperlukan
lagi penambahan 2-agonis kerja singkat jika didapatkan adanya respons
terhadap terapi awal, yang ditandai dengan peningkatan PEF > 60-80%
predicted untuk selama 3-4 jam. Pemberian 2-agonis kerja singkat melalui
pressurized Metered-Dose Inhaler (pMDI) yang dilengkapi spacer dengan
ukuran sesuai atau melalui Dry Powder Inhaler (DPI) akan memberikan
perbaikan yang sama pada fungsi paru seperti pada nebulisasi. Cara
pemberikan yang paling cost-effective adalah melalui pMDI yang dilengkapi
dengan spacer asalkan pasien dapat menggunakan alat-alat tersebut. 1,2,3
Terapi Oksigen terkontrol. Terapi oksigen harus dititrasi dengan
bantuan pulse oximetry (bila tersedia) untuk mempertahankan saturasi
oksigen 93-95%. Pemberian oksigen secara terkontrol atau secara titrasi
akan memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan pemberian
oksigen 100% (high-flow oxygen therapy). Walaupun tidak tersedia oximetry,
pemberian oksigen tidak boleh ditunda dan pasien harus dimonitor untuk
mengetahui adanya perburukan gejala, penurunan kesadaran dan adanya
kelelahan.1,2
Kortikosteroid sistemik. Kortikosteroid sistemik harus segera
diberikan khususnya bila didapatkan perburukan pasien atau bila pasien
telah meningkatkan dosis obat-obat pengontrol dan pelega sebelum
timbulnya perburukan gejala. Dosis yang dianjurkan pada orang dewasa
adalah 1 mg prednisolon/kgBB/hari atau ekuivalennya hingga maksimum 50
mg/hari. Kortikosteroid oral harus diberikan selama 5-7 hari.1
Obat-obat pelega. Pasien yang sebelumnya telah menggunakan obat-
obat pelega disarankan untuk menaikan dosisnya untuk selama 2-4 minggu
berikutnya. Jika pasien sebelumnya tidak menggunakan obat-obat
pengontrol, harus selalu disarankan untuk menggunakan terapi steroid
inhalasi secara teratur, karena pasien berisiko untuk mengalami eksaserbasi
kembali berikutnya.1,2
Antibiotik. Dari penelitian yang ada, tidak disarankan pemberian
antibiotik pada asma eksaserbasi akut bila tidak ada bukti adanya tanda-
tanda infeksi. Adanya infeksi pada asma eksaserbasi akut dapat diketahui
dari adanya demam, sputum purulen dan adanya infiltrat pada foto toraks
akibat adanya pneumonia. Terapi kortikosteroid agresif harus diberikan
sebelum mempertimbangkan pemberian antibiotik.1
6. Evaluasi Pengobatan.
Selama pengobatan pasien harus dimonitor secara ketat dan terapi dititrasi
sesuai dengan responsnya. Pasien dengan gejala dan tanda eksaserbasi yang
berat atau yang mengancam nyawa dan tidak membaik dengan terapi yang
diberikan dan bahkan terus mengalami perburukan, harus dirujuk segera ke
unit emergensi rumah sakit yang lebih lengkap. Pasien yang menunjukkan
perbaikan yang minimal atau lambat dengan terapi 2-agonis kerja singkat,
harus dimonitor secara ketat. Pada sebagian besar pasien, monitoring fungsi
paru dapat dilakukan setelah terapi 2-agonis kerja singkat mulai diberikan.
Terapi tambahan lainnya harus dilanjutkan sampai nilai PEF atau FEV1
mencapai plateau atau idealnya sampai kembali ke nilai terbaik pasien
sebelumnya. Selanjutnya dibuat keputusan untuk menentukan apakah pasien
dapat dipulangkan atau harus dirujuk.1-3
PUSAT LAYANAN PRIMER
Pasien dengan eksaserbasi asma akut atau sub-akut

PENGKAJIAN PASIEN : - Apakah asma?


- Adakah faktor risiko kematian terkait asma ?
- Bagaimanakah tingkat keparahan eksaserbasi ?

RINGAN atau SEDANG BERAT MENGANCAM NYAWA


Bicara dalam frase Bicara dalam kata-kata
Lebih suka duduk untuk berbaring, Duduk membungkuk ke depan. Mengantuk, gelisah
tidak gelisah, frekuensi napas gelisah Frekuensi napas > 30 x/ mt. atau silent chest
meningkat, otot-otot aksesori tidak Otot-otot aksesori napas digunakan
digunakan. Denyut nadi 100-120 x/mt Frekuensi nadi > 120 x/mt
Saturasi O2 (udara ) <90%
Saturasi O2 (di udara) 90-95%
PEF <50% predicted
PEF> 50% predicted .
PENTING

MULAI PENGOBATAN RUJUK KE EMERGENSI


Beta2- agonis kerja singkat 4-10 semprot DARURAT MEDIK AKUT
pMDI + spacer, ulangi setiap 20 menit Sambil menunggu: berikan
selama 1 jam MEMBURUK inhalasi Beta2-agonis kerja
singkat dan ipratropium
Prednisolon: dewasa 1 mg / kg, maks. bromide, kortikosteroid
50 mg. Oksigen terkontrol (jika ada) sistemik dan O2
target saturasi 93-95%

LANJUTKAN PENGOBATAN dengan Beta2-agonis kerja MEMBURUK


singkat sesuai kebutuhan. NILAI RESPONS SETELAH 1 JAM

PENGKAJIAN UNTUK PULANG PENGATURAN SAAT PULANG


Gejala membaik, tidak perlu Beta2-agonis kerja singkat Pelega dilanjutkan sesuai kebutuhan
PEF membaik, > 60-80% predicted Pengontrol mulai diberikan atau ditingkatkan,
Saturasi oksigen> 94% room air periksa tehnik inhalasi, edukasi kepatuhan.
Sumber daya di rumah memadai Prednisolon dilanjutkan untuk 5-7 hari. Evaluasi
ulang dalam 2-7 hari.

TINDAK LANJUT
Pelega : kurangi sesuai kebutuhan
Pengontrol : lanjutkan dengan dosis yang lebih tinggi untuk jangka pendek (1-2 minggu) atau jangka panjang (3 bulan),
tergantung dari latar belakang terjadinya eksaserbasi
Faktor risiko: Periksa dan perbaiki faktor risiko yang dapat dimodifikasi yang mungkin sebagai penyebab terjadinya
eksaserbasi, edukasi mengenai teknik inhalasi dan kepatuhan berobat
Rencana tindakan: apakah sudah dipahami? Apakah saya gunakan dengan tepat? Apakah perlu modifikasi?

Gambar 1. Tatalaksana asma eksaserbasi akut di pusat layanan primer


D. TATALAKSANA ASMA EKSASERBASI AKUT DI UNIT EMERGENSI
Tatalaksana asma eksaserbasi akut berat yang mengancam nyawa harus
dilakukan di unit emergensi. Seperti juga pada pelayanan primer, maka
tatalaksana di unit emergensi juga mencakup beberapa hal penting yaitu
melakukan anamnesis, pemeriksaan fisis, melakukan penilaian obyektif yang
lebih lengkap meliputi pemeriksaan fungsi paru dan pengukuran saturasi
oksigen, terapi medika mentosa serta bila diperlukan dilakukan juga
pemeriksaan analisis gas darah dan foto toraks (Gambar 2).1-3
1. Melakukan penilaian obyektif
Penilaian yang bersifat obyektif perlu juga dilakukan mengingat dengan
pemeriksaan fisis saja mungkin belum dapat memberikan petunjuk yang
akurat mengenai beratnya eksaserbasi asma. Namun demikian yang menjadi
perhatian utama dalam tatalaksana asma eksaserbasi akut tersebut adalah
kondisi pasien itu sendiri dan bukan nilai-nilai yang didapat dari
laboratorium.1
a. Pengukuran fungsi paru. Pemeriksaan fungsi paru sangat dianjurkan
pada asma eksaserbasi akut yang berat. Bila memungkinkan, tanpa terlalu
menunda pengobatan, dilakukan pencatatan nilai PEF dan FEV1 sebelum
pengobatan diberikan. Fungsi paru harus dievaluasi pada jam pertama dan
kemudian secara serial sampai didapatkan respons yang jelas terhadap
pengobatan yang diberikan atau sampai mencapai plateau.1-3
b. Saturasi oksigen. Saturasi oksigen harus dimonitor secara ketat
dengan menggunakan pulse oximetry. Saturasi oksigen < 90% memberi
petunjuk perlunya diberikan terapi yang agresif. Saturasi oksigen harus
dinilai sebelum diberikan oksigen atau 5 menit setelah oksigen dilepas atau
jika saturasi telah stabil.1,2
c. Analisis gas darah. Pemeriksan analisis gas darah tidak perlu
dilakukan secara rutin pada asma eksaserbasi akut. Pemeriksaan ini perlu
dipertimbangkan pada pasien eksaserbasi akut dengan nilai PEF atau FEV1<
50% predicted, atau pada pasien yang tidak menunjukkan respons dengan
terapi awal yang diberikan dan bahkan mengalami perburukan. Suplementasi
oksigen secara terkontrol perlu dilanjutkan, sementara diperoleh hasil
analisis gas darah. Tekanan parsial oksigen (PaO2) < 60 mmHg dengan PCO2
yang normal atau tinggi (>45 mmHg) menunjukkan adanya gagal napas.
Kelelahan atau penurunan kesadaran hingga somnolen menunjukkan adanya
peningkatan PCO2 dan merupakan indikasi perlunya dilakukan intervensi
saluran napas.2,3,4
d. Foto toraks. Pemeriksaan foto toraks tidak disarankan untuk
dilakukan secara rutin. Pemeriksaan foto toraks perlu dilakukan bila diduga
adanya kemungkinan penyebab sesak yang lain khususnya pada orang tua,
misalnya adanya gagal jantung. Foto toraks perlu juga dilakukan bila pasien
tidak menunjukkan respons dengan terapi yang diberikan, sementara
kemungkinan adanya pneumotoraks sulit untuk didiagnosis secara klinis.1,2

2. Terapi Asma Eksaserbasi akut di Unit Emergensi


Terapi yang perlu diberikan secara bersamaan untuk mendapatkan perbaikan
secara cepat yaitu :
a. Oksigen. Oksigen harus diberikan baik dengan kanul binasal atau
dengan simple mask untuk mencapai saturasi oksigen 93-95%. Pada
eksaserbasi akut yang berat controlled low flow oxygen therapy yang diberikan
dengan panduan pulse oximetry (untuk mencapai saturasi oksigen 93-95%)
akan memberikan dampak fisiologis yang lebih baik dibandingkan dengan
high flow 100% oxygen therapy. Pemberian terapi oksigen tidak boleh ditunda
bila tidak ada pulse oximetry. Bila pasien sudah stabil, pertimbangkan untuk
menyapih oksigen dengan panduan oximetry.
b. Inhalasi beta2-agonis kerja singkat. Terapi inhalasi dengan beta2-
agonis kerja singkat harus sering diberikan pada pasien dengan asma
eksaserbasi akut. Cara pemberian inhalasi yang paling efisien dan efektif
adalah dengan menggunakan pMDI yang dilengkapi dengan spacer yang
ukurannya sesuai. Pada asma yang berat dan near-fatal asthma, bukti
mengenai efektifitas pemberian terapi inhalasi kuranglah kuat. Systimatic
review yang membandingkan antara terapi inhalasi intermiten dengan
kontinyu memberikan hasil yang bervariasi. Walaupun ada satu penelitian
yang menunjukkan tidak adanya perbedaan pada perbaikan fungsi paru dan
angka perawatan di rumah sakit, namun studi-studi lebih lanjut menunjukkan
adanya perbaikan fungsi yang lebih besar dan angka perawatan di rumah
sakit yang lebih rendah pada pemberian inhalasi secara kontinyu
dibandingkan dengan intermiten, khususnya pada pasien-pasien dengan
fungsi paru yang buruk. Studi awal pada pasien yang dirawat menunjukkan
bahwa pemberian inhalasi intermiten secara on-demand menunjukkan lama
perawatan yang lebih singkat, pemberian inhalasi yang lebih sedikit dan efek
samping palpitasi yang lebih rendah dibandingkan dengan terapi inhalasi
yang diberikan secara rutin setiap 4 jam. Berdasarkan data tersebut maka
pemberian terapi inhalasi dengan 2-agonis yang rasional pada asma
eksaserbasi akut adalah dengan pemberian secara kontinyu pada awalnya,
dilanjutkan dengan intermiten secara on-demand pada pasien yang dirawat.
Pemberian rutin 2-agonis secara intravena pada asma eksaserbasi akut tidak
disarankan.1,3-5,7
c. Epinefrin (Adrenalin). Pemberian epinefrin (adrenalin) diindikasikan
sebagai terapi tambahan pada terapi standar asma dan angioedema yang
terjadi akibat reaksi anafilaksis. Pemberian epinefrin tidak disarankan untuk
diberikan secara rutin pada eksaserbasi asma yang lain.1,3
d. Kortikosteroid sistemik. Kortikosteroid sistemik harus diberikan ada
asma eksaserbasi akut yang berat karena akan mempercepat penyembuhan
dan mencegah relaps. Bila memungkinkan kostikosteroid sistemik diberikan
dalam 1 jam pertama sejak timbulnya keluhan eksaserbasi. Pemberian
kortikosteroid sistemik adalah penting terutama pada keadaan berikut yaitu
bila pemberian 2-agonis awal tidak menunjukkan perbaikan, eksaserbasi
akut terjadi sementara pasien menggunakan kortikosteroid oral, pasien
dengan riwayat eksaserbasi akut yang memerlukan kortikosteroid oral.
Pemberian kortikosteroid oral menunjukkan efektifitas yang sama seperti
pada pemberian intravena. Pemberian oral lebih disukai karena lebih cepat,
lebih tidak invasif dan lebih murah. Dengan pemberian secara oral diperlukan
waktu minimal 4 jam sebelum didapatkan adanya perbaikan gejala.
Kortikosteroid intravena diberikan pada keadaan berikut yaitu pasien dengan
sesak yang berat sehingga sulit untuk menelan, pasien yang mengalami
muntah-muntah, pasien yang memerlukan ventilasi non-invasif dan pasien
yang diintubasi. Pemberian kortikosteroid intramuskular perlu
dipertimbangkan pada pasien yang akan dipulangkan dari unit emergensi,
khususnya bila ada kekhawatiran akan ketidakteraturan berobat dengan
pemberian kortikosteroid oral. Dosis kortikosteroid yang diberikan adalah
yang setara dengan 50 mg prednisolon, diberikan dalam dosis tunggal pagi
hari, atau hidrokortison 200 mg dalam dosis terbagi diberikan selama 5-7
hari. Deksametason oral dapat juga diberikan namun disarankan tidak lebih
dari 2 hari mengingat efek samping metabolik yang dapat ditimbulkannya.1,2,3
e. Kortikosteroid inhalasi. Kortikosteroid inhalasi dosis tinggi yang
diberikan dalam 1 jam pertama sejak timbulnya gejala akan mengurangi
kemungkinan perlunya perawatan pada pasien yang tidak mendapatkan
kortikosteroid sistemik. Jika diberikan sebagai terapi tambahan dari
kostikosteroid sistemik, manfaatnya masih diperdebatkan. Secara umum
pemberian kortikosteroid inhalasi dapat ditoleransi dengan baik, namun jenis
steroid yang diberikan, dosis dan lamanya pemberian dalam tatalaksana asma
eksaserbasi akut di unit emergensi masih belum jelas. Setelah pulang dari unit
emergensi sebagian besar pasien tetap memerlukan terapi kortikosteroid
inhalasi yang digunakan secara regular untuk mencegah berulangnya
eksaserbasi. Selain itu pemberian kortikosteroid inhalasi dapat juga
menurunkan angka perawatan dan angka kematian yang berkaitan dengan
asma secara signifikan. Untuk dampak jangka pendek seperti untuk
mengurangi perlunya perawatan di rumah sakit, untuk mengurangi gejala dan
untuk meningkatkan kualitas hidup, kortikosteroid inhalasi dianjurkan untuk
diberikan sebagai tambahan dari terapi kortikosteroid sistemik setelah pasien
dipulangkan. Beberapa penelitian bahkan menunjukkan manfaat
kortikosteroid inhalasi yang sebanding dengan kortikosteroid sistemik pada
eksaserbasi asma yang lebih ringan.3-7
f. Terapi lain
- Ipratropium bromide. Pada asma eksaserbasi akut yang sedang sampai
berat, pemberian 2-agonis kerja singkat bersamaan dengan ipratropium
bromide inhalasi akan mengurangi kemungkinan perlunya perawatan
dan akan semakin meningkatkan perbaikan PEF dan FEV1 bila
dibandingkan dengan pemberian 2-agonis kerja singkat secara
tersendiri.
- Aminofilin dan teofilin. Pemberian aminofilin dan teofilin dalam
tatalaksana asma eksaserbasi akut di unit emergensi tidak dianjurkan
mengingat efek samping dan profil keamanannya yang buruk, sementara
itu 2-agonis kerja singkat efektifitasnya lebih baik dan lebih aman.
Pemberian aminofilin secara intravena dikaitkan dengan efek samping
yang berat dan potensial fatal, terutama pada pasien yang sebelumnya
sudah menggunakan teofilin lepas lambat. Pemberian aminofilin sebagai
tambahan pada asma eksaserbasi akut berat tidak memberikan dampak
yang lebih baik dibandingkan dengan pemberian 2-agonis kerja singkat
secara tersendiri.1,3
- Magnesium. Magnesium tidak disarankan untuk digunakan secara
rutin, namun pemberiannya perlu dipertimbangkan pada pasien dengan
FEV1 < 25-30% predicted saat pemeriksaan awal dan pasien yang tidak
menunjukkan respons dengan terapi awal, disertai dengan hipoksia
persisten. Pada pasien-pasien tersebut pemberian magnesium dengan
dosis 2 gr yang diberikan melalui infus selama 20 menit dapat
menurunkan angka perawatan.1,3,4
- Helium oxygen therapy. Systematic review yang meneliti perbandingan
antara helium-oxygen dengan air-oxygen mendapatkan bahwa helium
oxygen therapy tidak berperan dalam pengobatan rutin, namun dapat
dipertimbangkan pada pasien yang tidak menunjukkan repons dengan
terapi standar yang diberikan.1,4
- Leukotriene receptor antagonists. Peranan leukotriene receptor
antagonists dalam tatalaksana asma eksaserbasi akut masih sangat
terbatas. Beberapa studi kecil memperlihatkan adanya perbaikan fungsi
paru, namun peranan obat tersebut masih memerlukan studi yang lebih
besar. 1
- Kombinasi kortikosteroid inhalasi dan beta2-agonis kerja panjang.
Peranan kombinasi kortikosteroid inhalasi dan beta2-agonis kerja
panjang dalam tatalaksana asma eksaserbasi akut di unit emergensi
masih belum jelas. Ada satu studi yang memperlihatkan bahwa
pemberian high-dose budesonide/formoterol ditambah prednisolon pada
pasien-pasien dengan asma eksaserbasi akut di unit emergensi
menunjukkan efikasi dan profil keamanan yang sama seperti pada 2-
agonis kerja singkat. Namun demikian hasil studi lain yang meneliti
manfaat penambahan salmeterol pada pasien yang menggunakan
kostikosteroid oral yang dirawat di rumah sakit, belum cukup kuat untuk
merekomendasikan penggunaan kombinasi kedua obat tersebut.1.3
- Antibiotik. Pemberian antibiotik dalam tatalaksana asma eksaserbasi
akut hanya diindikasikan bila didapatkan adanya infeksi paru yang
ditandai dengan adanya demam, sputum purulen dan foto toraks yang
sesuai dengan pneumonia. Terapi kortikosteroid agresif harus diberikan
sebelum mempertimbangkan penggunaan antibiotik.1,2
- Sedatif. Pemberian sedatif pada asma eksaserbasi akut merupakan
kontraindikasi karena adanya efek depresi saluran napas dari obat-obat
tersebut. Hubungan antara penggunaan obat-obat sedatif dengan
kematian pada asma telah dilaporkan.1
- Non-invasive ventilation. Studi yang meneliti peran non-invasive
ventilation (NIV) pada tatalaksana asma eksaserbasi akut mendapatkan
bukti yang lemah. Suatu systematic review yang terdiri dari 3 studi
dengan 206 subyek dilakukan untuk mengetahui peran NIV pada
tatalaksana asma eksaserbasi akut dibandingkan dengan plasebo. Dua
studi mendapatkan tidak adanya perbedaan dalam hal perlunya tindakan
intubasi endotrakeal, namun satu studi memperlihatkan bahwa pada
kelompok NIV ternyata lebih sedikit yang memerlukan perawatan. Pada
masing-masing studi tersebut tidak didapatkan adanya mortalitas.
Berdasarkan penelitian yang terbatas tersebut maka disimpulkan bahwa
penggunaan NIV pada eksaserbasi asma tidak dianjurkan. Bila NIV tetap
akan digunakan maka pasien harus diobservasi dengan ketat. Non-
invasive ventilation tidak boleh diberikan pada pasien yang mengalami
agitasi, dan pemberian sedasi pada pasien-pasien tersebut tidak
dianjurkan.1,3,4-7

3. Evaluasi respons klinis


Kondisi klinis dan nilai saturasi oksigen pasien harus sering dievaluasi ulang,
dan untuk selanjutnya terapi diberikan secara titrasi berdasarkan respons
pasien tersebut. Fungsi paru harus dievaluasi ulang setelah 1 jam pemberian
bronkodilator. Pasien yang mengalami perburukan walapun telah diberikan
terapi bronkodilator dan kortikosteroid agresif harus dievaluasi ulang untuk
kemungkinan perlunya perawatan ICU.1,2

E. KRITERIA RAWAT DAN PULANG PASIEN DARI UNIT EMERGENSI


Untuk menentukan apakah pasien perlu dirawat atau tidak, dilakukan
penilaian terhadap keadaan klinis pasien (termasuk kemampuan untuk
berbaring telentang) dan keadaan fungsi parunya setelah 1 jam pemberian
terapi. Data klinis yang didapat tersebut merupakan prediktor yang lebih baik
dibandingkan dengan data keadaan klinis pasien pada saat pertama kali
datang. Konsensus mengenai penanganan pasien selanjutnya setelah
tatalaksana keadaan akut di unit emergensi adalah sebagai berikut :
 Jika pre-treatment FEV1 atau PEF < 25% predicted, atau post-treatment
FEV1 atau PEF < 40% predicted maka pasien dianjurkan untuk dirawat.
 Jika setelah pengobatan didapatkan nilai FEV1 atau PEF 40-60%
predicted, pasien mungkin bisa dipulangkan setelah memperhatikan
faktor risiko yang harus dihindari dan memastikan ketersediaan fasilitas
kesehatan untuk melakukan evaluasi lebih lanjut.
 Jika FEV1 atau PEF setelah pengobatan atau hasil terbaik yang bisa
dicapai didapatkan > 60% predicted, pasien bisa disarankan untuk
berobat jalan setelah memperhatikan faktor risiko dan memastikan
ketersediaan sarana kesehatan untuk evaluasi lebih lanjut.1,3,5,7
PENGKAJIAN AWAL Apakah ada salah satu dari keadaan berikut ini?
A: airway B: breathing C: circulation Mengantuk, bingung, silent chest

TIDAK YA
TRIAGE selanjutnya berdasarkan Konsul ICU, mulai pemberian
KEADAAN KLINIS Beta2-agonis kerja singkat, O2
Berdasarkan keadaan terburuk
dan persiapan intubasi

BERAT
RINGAN atau SEDANG. Bicara dalam kata-kata
Duduk membungkuk ke depan
Bicara dalam frase, lebih suka duduk
Gelisah
hingga berbaring, tidak gelisah, frekuensi
Frekuensi napas > 30 x/ menit
napas meningkat Otot-otot aksesori tidak
Otot-otot aksesori digunakan
digunakan
Denyut nadi > 120 x/menit
Frekuensi nadi 100-120 x/menit, saturasi
Saturasi O2 (on air) <90%
O2 (on air) 90-95%, PEF> 50% predicted.
PEF <50% predicted
Beta2-agonis kerja singkat
Pertimbangkan ipratropium bromide O2 Beta2-agonis kerja singkat
Ipratropium bromida
terkontrol untuk mempertahankan saturasi
O2 terkontrol untuk mempertahankan
93-95%.
saturasi 93-35% (anak 94-98%)
Kortikosteroid oral
Kortikosteroid oral atau IV
Pertimbangkan magnesium iv
Pertimbangkan steroid inhalasi dosis tinggi

Jika terus memburuk, terapi sebagai keadaan


yang berat dan nilai ulang untuk rawat ICU

KAJI KEMAJUAN KLINIK SECARA BERULANGKALI


MENGUKUR FUNGSI PARU
Pada semua pasien satu jam setelah pengobatan awal

FEV atau PEF 60-80% predicted dan gejala FEV atau PEF <60% predicted
membaik atau kurangnya respons klinis
MODERAT BERAT
Pertimbangkan untuk rencana pulang Lanjutkan pengobatan seperti di atas
dan sering-sering melakukan penilaian ulang

Gambar 2. Tatalaksana asma eksaserbasi akut di unit emergensi rumah sakit


Faktor lain yang mungkin berkaitan dengan indikasi rawat pasien adalah :
 Jenis kelamin wanita, usia yang lebih tua dan non-white race.
 Penggunaan 2 agonis > 8 semprot sehari dalam 24 jam sebelumnya.
 Asma eksaserbasi akut yang berat, yaitu perlunya tindakan resusitasi
atau intervensi medis saat tiba di rumah sakit, frekwensi napas > 22
kali/menit, saturasi oksigen < 95% atau PEF akhir < 50% predicted.
 Riwayat asma eksaserbasi akut berat, misalnya riwayat intubasi atau
riwayat perawatan di rumah sakit sebelumnya.
 Riwayat kunjungan ke rumah sakit atau unit emergensi yang tidak
terjadwal sebelumnya dan memerlukan terapi dengan kortikosteroid
oral.
Secara umum pada semua pasien asma yang datang ke emergensi karena
eksaserbasi akut adanya faktor risiko harus diperhatikan baik pada pasien yang
akan dipulangkan ataupun dirawat.

F. KESIMPULAN
 Asma eksaserbasi akut merupakan suatu keadaan klinis yang ditandai
dengan semakin memberatnya gejala asma dan semakin menurun fungsi
paru secara progresif.
 Asma eksaserbasi akut ringan sampai sedang dapat ditatalaksana pada
pusat layanan primer, sedangkan eksaserbasi akut yang berat harus
ditangani di rumah sakit dengan fasilitas yang lebih lengkap.
 Kortikosteroid sistemik baik yang diberikan secara oral maupun
intravena dan 2-agonis kerja singkat yang diberikan secara inhalasi
merupakan obat-obat utama yang harus diberikan pada pasien dengan
asma eksaserbasi akut.
 Evaluasi klinis dan pemeriksaan fungsi paru harus dilakukan sebelum
dan sesudah pemberian obat-obat bronkodilator dan kortikosteroid.
 Pasien dengan asma eksaserbasi akut yang mengancam nyawa harus
dirawat di ICU untuk pertimbangan intubasi dan penggunaan ventilator
mekanik.
G. Daftar Pustaka
1. Global strategy for asthma management and prevention. Management of
worsening asthma and exacerbations. Global initiative for asthma, 2016;
72-85.
2. Chestnut MS, Prendergast TJ. Obstructive lung diseases : Asthma and
Chronic Obstructive Pulmonary Diseases (COPD). In : Hammer GD,
McPhee SJ, editors. Pathophysiology of Disease. An Introduction to
Clinical Medicine. Toronto : Mc Graw Hill Education; 2014.p.228-32.
3. Usmani OS, Barnes PJ. Asthma : Clinical Presentation and Management.
In: Elias JK, Fishman JA, Kotloff RM, Pack AL, Senior RM, editors.
Fishmans Pulmonary Diseases and Disorders. Toronto: McGraw Hill
Education; 2015.p.712-3.
4. Rajaram SS. Life-threatening Asthma. In: Parillo JE, Dellinger RP, editors.
Critical Care Medicine. Principle of Diagnosis and Management in Adult.
Philadelphia: ELSEVIER saunders; 2015.p.645-54.
5. Pavord I, Green RH, Haldar P. Diagnosis and Management of Asthma in
Adults. In: Spiro SG, Silvestri GA, Agusti A, editors. Clinical Respiratory
Medicine. Philadelphia: ELSEVIER saunders; 2012.p.501-16.
6. Barnes P. Asthma. In: Longo DL, Kasper DL, Jameson JL, Fauci AS, Hause
SL, Loscalzo J, editors. Harrisons Principles of INTERNAL MEDICINE.
Toronto: McGraw Hill; 2012.p.2113-5.
7. Lugogo N, Que LG, Fertel D, Kraft M. Asthma. In: Mason RJ, Broaddus VC,
Martin TR, King Jr TE, Schraufnagel DE, Murray JF, Nadel JA, editors.
Murray & Nadels Textbook of Respiratory Medicine. Philadelphia:
SAUNDERS ELSEVIERS; 2010.p.883-908.

Anda mungkin juga menyukai