Anda di halaman 1dari 12

Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) atau Chronic Obstructive

Pulmonary Disease (COPD)


1. Definisi penyakit dan manifestasi klinik
PPOK adalah penyakit paru kronik yang ditandai oleh hambatan aliran
udara di saluran napas yang bersifat progressif non reversibel atau reversibel
parsial. PPOK terdiri dari bronkitis kronik dan emfisema atau gabungan
keduanya.
 Bronkitis kronik adalah kelainan saluran napas yang ditandai oleh batuk
kronik berdahak minimal 3 bulan dalam setahun, sekurang-kurangnya
dua tahun berturut - turut, tidak disebabkan penyakit lainnya.
 Emfisema adalah suatu kelainan anatomis paru yang ditandai oleh
pelebaran rongga udara distal bronkiolus terminal, disertai kerusakan
dinding alveoli. Pada prakteknya cukup banyak penderita bronkitis
kronik juga memperlihatkan tanda-tanda emfisema, termasuk penderita
asma persisten berat dengan obstruksi jalan napas yang tidak reversibel
penuh, dan memenuhi kriteria PPOK.
2. Klasifikasi Diagnosis PPOK
PPOK dapat diklasifikasikan kedalam 4 stadium, yaitu :
 Stadium 1:
Ringan Gejala batuk kronik dan produksi sputum ada tetapi tidak sering.
Pada derajat ini pasien sering tidak menyadari bahwa fungsi paru
mengalami penurunan. Hasil spirometri menunjukkan VEP1 / KVP < 70%
dan VEP1 ≥80% nilai prediksi.
 Stadium 2:
Sedang Gejala sesak mulai dirasakan saat aktivitas dan kadang ditemukan
gejala batuk dan produksi sputum.Pada derajat ini biasanya pasien mulai
memeriksakan kesehatannya. Hasil spirometri menunjukkan VEP1 / KVP
<70% dan VEP1 50% -80 % nilai prediksi
 Stadium 3 :
Berat Gejala sesak lebih berat, penurunan aktivitas, rasa lelah dan serangan
eksaserbasi semakin sering dan berdampak pada kualitas hidup
pasien.Hasil spirometri menunjukkan VEP1 / KVP < 70% dan VEP1 30%
- 50% nilai prediksi.
 Stadium 4 :
Sangat Berat Gejala di atas ditambah tanda-tanda gagal napas atau gagal
jantung kanan dan ketergantungan oksigen.Pada derajat ini kualitas hidup
pasien memburuk dan jikka eksaserbasi dapat mengancam jiwa. Hasil
spirometri menunjukkan VEP1 / KVP < 70% dan VEP1 < 30% nilai
prediksi atau VEP1< 50% nilai prediksi disertai gagal napas
kronik.(Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2011)

3. Goal dan Terapi


Tujuan terapi PPOK adalah untuk mengetahui tingkat pembatasan
aliran udara, dampak penyakit terhadap status kesehatan pasien,
menurunkan persentase pasien PPOK yang mengalami eksaserbasi yang
membutuhkan gawat darurat evaluasi atau penerimaan rumah sakit, dan
mengurangi resiko kematian (Vogelmeier et al., 2017).
Terapi non farmakologi :
1. Penghentian merokok. Berhenti merokok telah terbukti mencegah
penurunan fungsi paru.
2. Larangan kepada pengunjung atau tenaga kesehatan untuk tidak
merokok saat mengunjungi pasien.
3. Mengatur asupan nutrisi pasien.
4. Menyerankan pasien untuk melakukan olahraga ringan secara rutin.
Olahraga ringan akan memperbaiki kesehatan pernafasan
pasien.(Abraham & Symons, 201
Terapi farmakologi
1. Bronkodilator ; diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga
jenis bronkodilator dan disesuaikan dengan klasifikasi derajat
penyakit. Pemilihan bentuk obat diutamakan inhalasi, nebulizer tidak
dianjurkan pada penggunaan jangka panjang. Pada derajat berat
diutamakan pemberian obat lepas lambat (slow release) atau obat
berefek panjang (long acting).
 Golongan antikolinergik (first line), digunakan untuk derajat
ringan sampai berat dan mengurangi sekresi lendir. Disamping
digunakan sebagai bronkodilator juga mengurangi sekresi lendir
(maksimal 4 kali per hari), contoh :Ipratropium.
 Golongan agonis beta-2, untuk mengatasi sesak, peningkatan
jumlah penggunaan dapat sebagai monitor timbulnya
eksaserbasi. Bentuk inhaler digunakan untuk mengatasi sesak,
peningkatan jumlah penggunaan dapat sebagai monitor
timbulnya eksaserbasi. Bentuk tablet baik digunakan sebagai
obat pemeliharaan dengan berefek lebih panjang. Bentuk
nebulizer dapat digunakan untuk mengatasi eksaserbasi akut,
tidak dianjurkan untuk penggunaan jangka panjang. Bentuk
injeksi subkutan atau drip untuk mengatasi eksaserbasi berat.
Contoh: sorth-acting (salbutamol, terbutalin) dan long-acting
(salmeterol, formoterol).
 Golongan xantin, sebagai pengobatan pemeliharaan jangka
panjang, terutama derajat sedang dan berat. Contoh: teofilin dan
aminofilin.
 Golongan kombinasi antikolinergik dan agonis beta-2, akan
memperkuat efek bronkodilator karena tempat kerja yang
berbeda.
2. Antiinflamasi, digunakan jika terjadi eksaserbasi akut dalam bentuk
oral atau injeksi iv, berfungsi menekan inflamasi. Dipilih golongan
metilprednisolon atau prednisolon.
3. Antibiotik, diberikan jika terdapat infeksi. Lini I (amoksisilin,
makrolida) dan lini II (amoksisilin dan asam klavulanat, sefalosporin,
kuinolon dan makrolid baru).
4. Antioksidan, mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki kualitas
hiudp, digunakan N-asetilsistein.
5. Mukolitik, diberikan pada eksaserbasi akut terutama pada bronkitis
kronik dengan sputum yang viscous.
6. Antitusif, diberikan dengan hati-hati
7. Oksigen, untuk mempertahankan oksigenasi seluler dan mencegah
kerusakan sel baik otot maupun organ-organ lainnya.
Penatalaksanaan PPOK

A. Antikolinergik
1. Mekanisme kerja, memblok reseptor muskarin dari saraf-saraf kolinergis
di otot polos bronchi, hingga aktivitas saraf adrenergis menjadi dopamin
dengan efek bronchodilatasi.
2. Obat dan Indikasi
Contoh: ipratropium, tiotropium, dan deptropin.
Indikasi: penggunaan terutama untuk terapi pemeliharaan HRB, tetapi juga
berguna untuk meniadakan serangan asma akut (melalui inhalasi dengan
efek pesat).
 Ipratropium dan tiotropium : khusus digunakan sebagai inhalasi,
kerjanya lebih panjang daripada salbutamol. Kombinasinya dengan β2-
mimetika sering kali digunakan karena menghasilkan efek aditif.
 Deptropin (brontin) : berdaya mengurangi HRB tetapi kerja
spasmolitisnya ringan, sehingga diperlukan dosis tinggi dengan resiko
efek samping ynag lebih tinggi pula.
3. Interaksi
 Ipratropium dan tiotropium: Antimuskarinik: harus diperhatikan bila
digunakan bersamaan karena berpotensi untuk terjadinya interaksi.
Kombinasi albuterol dan inhaler ipratropium harus diperhatikan bila
digunakan bersamaan dengan obat golongan beta adrenergik yang lain
karena meningkatkan risiko efek samping pada kardiovaskular. Secara
teori, interaksi dengan alkaloid belladona dapat meningkatkan efek
antikolinergik; dengan Cisaprid dapat menghilangkan atau
menurunkan efikasi Cisaprid; dengan makanan, ada beberapa bentuk
sediaan mengandung soya lecithin. Jangan diberikan pada pasien yang
alergi terhadap soya lecithin atau kedelai atau kacang. Betelnut
kemungkinan dapat menurunkan efek antikolinergik.
4. Kontra Indikasi
 Ipratropium dan tiotropium : hipersensitif pada ipratropium, atropin
(beserta derivatnya).
5. Efek samping obat
 Ipratropium dan tiotropium: pusing, dispepsia, mual, ISK, dipsnea,
rinitis, reaksi anafilaksis, angioedema, bronkospasme, glaukoma,
hipersensitifitas, hipotensi, palpitasi, stomatitis, takikardi.
6. Monitoring efek samping obat
 Ipratropium dan tiotropium:-
7. Cara penggunaan
 Ipratropium dan tiotropium: mengocok inhaler, jika penggunaan
pertama maka semprotkan ke udara terlebih dahulu untuk memastikan
tidak tersumbat, kemudian tarik nafas keluarkan lagi, lalu letakkan
inhaler pada mulut, semprotkan dan tarik nafas. Tunggu sampai 30
detik dan buang nafas. Terakhir tutup lagi inhalernya dan berkumur-
kumur.
8. Monitoring efek terapi
 Ipratropium dan tiotropium: teknik penggunaan inhaler yang tepat,
pengurangan gejala bronkospasme
9. Dosis/ aturan pakai
 Ipratropium dan tiotropium: nebulization (anak ≤ 12 tahun: 500 mcg
(1 vial untuk 1 dosis) 3-4 kali sehari; oral inhalasi MDI (> 12 tahun: 2
inhalasi 4 kali sehari, sampai 12 inhalasi/hari).
B. Agonis β-2
1. Mekanisme kerja, melalui stimulasi reseptor β-2 yang banyak terdapat
di trachea (batang tenggorokan) dan bronchi, yang menyebabkan
aktivasi dari adenilsiklase. Enzim ini memperkuat pengubahan
adenosintrifosfat (ATP) yang kaya enersi menjadi cyclic-adenosine-
monophosphate (cAMP) dengan pembebasan enersi yang digunakan
untuk proses-proses dalam sel. Meningkatnya kadar cAMP di dalam
sel menghasilkan beberapa efek melalui enzim fosfokinase, antara lain
bronchodilatasi dan penghambatan pelepasan mediator oleh mastcell.
2. Obat dan indikasi
Contoh: sorth acting (salbutamol, terbutalin), long acting (salmeterol,
formoterol).
Indikasi: Bentuk inhaler digunakan untuk mengatasi sesak,
peningkatan jumlah penggunaan dapat sebagai monitor timbulnya
eksaserbasi. Sebagai obat pemeliharaan sebaiknya digunakan bentuk
tablet yang berefek panjang. Bentuk nebulizer dapat digunakan untuk
mengatasi eksaserbasi akut, tidak dianjurkan untuk penggunaan jangka
panjang. Bentuk injeksi subkutan atau drip untuk mengatasi
eksaserbasi berat.
3. Interaksi, meningkatkan efek toksik (berinteraksi dengan obat-obat
Loop diuretik, sympathomimetics, diuretik thiazide); menurunkan efek
terapi (berinteraksi dengan obat-obat golongan β-Blocker, betahistine).
4. Kontra indikasi, hipersensitif pada komponen albuterol, salmeterol;
takiaritmia, risiko terjadi kegugurann pada trismester kedua.
5. Efek samping obat: palpitasi, takikardia, insomnia, angioedema,
urtikaria, hiperglikemia, diare, mulut kering, dispepsia, mual, muntah,
asma eksaserbasi, anafilaksis, reaksi alergi, ansietas, bronkospasme.
6. Monitoring efek samping obat: berhubungan dengan usia pasien, dosis,
rute pemberian.
7. Cara penggunaan: sama dengan inhaler
8. Monitoring efek terapi: FEV, peak flow, tes fungsi pulmonary
9. Dosis/ aturan pakai
 Salmeterol (dewasa pemeliharaan: 50 mcg setiap 12 jam)
 Terbutalin (2-3 kali sehari 2,5-5 mg, inhalasi 3-4 kali sehari 1-2
semprotan dari 250 mcg, maksimal 16 puff sehari)
 Salbutamol (3-4 kali sehari 2-4 mg, inhalasi 3-4 kali sehari 2
semprotan dari 100 mcg, pada serangan akut 2 puff yang dapat
diulang sesudah 15 menit. Pada serangan hebat i.m atau s.c 250-
500 mcg, yang dapat diulang sesudah 4 jam).
C. Antiinflamasi (golongan kortikosteroid)
1. Mekanisme kerja: menghambat mekanisme kegiatan alergen yang
melalui IgE dapat menyebabkan degranulasi mastcells, juga
meningkatkan kepekaan reseptor β2 hingga efek β-mimetika diperkuat
2. Obat dan indikasi: prednison, prednisolon. Memiliki indikasi untuk
eksaserbasi akut dalam bentuk oral atau injeksi intravena, berfungsi
menekan inflamasi yang terjadi.
3. Interaksi: meningkatkan efek toksik (digunakan bersamaan dengan
obat-obat golongan inhibitor asetil kolinesterase, amfoterisin B,
siklosporin, Loop diuretik, natalizumab, diuretik tiazide, warfarin,
agen antifungi), menurunkan efek terapi (digunakan bersamaan dengan
obat-obat golongan agen antidiabetik, isoniazid, antasida,
aminolgikosida, fenitoin, derivat rifampisin)
4. Kontara indikasi: hipersensitifitas terhadap komponen formulanya,
infeksi jamur sistemik, pada pasien yang diberikan vaksin dengan
dosis imunosupresif prednison
5. Efek samping obat: reaksi alergi, glaukoma, pankreatitis, toleransi
karbohidrat, eritema, urtikaria, kongestif gagal ginjal, vertigo
6. Monitoring efek samping obat: tekanan intraokular pada penggunaan >
6 minggu, formasi katarak
7. Cara penggunaan: oral dan injeksi intravena
8. Monitoring efek terapi: tanda dan gejala dari infeksi, dilakukan tes
HPA
9. Dosis/ aturan pakai: prednison (5-60 mg/ hari)
D. Kombinasi antikolinergik dan agonis β-2
1. Mekanisme kerja: memperkuat efek bronkodilatasi, karena keduanya
mempunyai tempat kerja yang berbeda. Memberikan pelepasan
ipratropium bromida dan salbutamol sulfat secara bersamaan dimana
efek aditif pada reseptor muskarinik dan adrenergik β-2 pada paru
menghasilkan bronkodilatasi yang lebih baik dari masing-masing obat
2. Obat dan indikasi:
Contoh obat: Combivent
Indikasi: pengobatan bronkospasme yang berhubungan dengan
penyakit penyumbatan paru kronis sedang sampai berta pada pasein
yang memerlukan lebih dari satu bronkodilator
3. Interaksi: pemberian bersama dengan derivat xantin, adrenergik β yang
lain dan antikolinergik mungkin memperberat efek samping
4. Kontra indikasi: hipertrofi obstruksi kardiomiopati, takiaritmia.
Hipersensitif terhadap salah satu komponen obat baik atropin ataupun
derivatnya
5. Efek samping obat: seperti pada agonis β-2
6. Monitoring efek samping obat: batuk, iritasi lokal dan jarang ditemui
adanya bronkokonstriksi
7. Cara penggunaan:arutan inhalasi combivent UDV dapat diberikan
melalui nebulizer yang sesuai atau “intermitten positif pressure
ventilator”
8. Monitoring efek terapi: berkurangnya sesak napas
9. Dosis/ aturan pakai: dewasa (1 vial dosis unit, diberikan dengan
nebulisasi dan inhalasi 3-4 kali sehari)
E. Terapi oksigen
1. Mekanisme kerja: memperbaiki hipoksemi dan mencegah keadaan
yang mengancam jiwa, dapat dilakukan di ruang gawat darurat, ruang
rawat atau di ICU. Sebaiknya dipertahankan Pao2 > 60 mmHg atau Sat
O2 > 90%.
2. Obat dan indikasi
Contoh: Oksigen
Indikasi: pemberian terapi oksigen merupakan hal yang sangat penting
untuk mempertahankan oksigenasi seluler dan mencegah kerusakan sel
baik di otot maupun organ-organ lainnya.
Pao2 < 60 mmHg atau Sat O2 < 90%
Pao2 diantara 55-59 mmHg atau Sat O2 > 89% disertai Kor Pulmonal,
perubahan Pulmonal, Ht > 55% dan tanda-tanda gagal jantung kanan,
sleep apnea, penyakit paru lain.
3. Interaksi: merokok
4. Kontra indikasi
 Pasien dengan gangguan jalan napas yang berat dan keluhan utama
dispnue, tapi PaO2 ≥ 60 mmHg dan tidak ada hipoksia kronik
 Merokok saat diterapi, sebab meningkatkan risiko kebakaran
 Pasien tidak menerima terapi adekuat
5. Efek samping obat: kerusakan paru-paru, kebocoran atau keluarnya
cairan dari telinga bagian dalam, kerusakan di bagian sinus, perubahan
penglihatan menyebabkan rabun jauh atau myopia dan keracunan
oksigen yang berakibat pada kegagalan pernapasan, cairan di paru-paru
atau kejang
6. Monitoring efek samping obat: evaluasi ketat hiperkapnia, gunakan
sungkup dengan kadar yang sudah ditentukan 24%, 28% atau 32%
7. Cara penggunaan
 Alat bantu pemberian oksigen
 Nasal kanul
 Sungkup venturi
 Sungkup rebreathing
 Sungkup nonrebreathing
 Pemilihan alat bantu ini disesuaikan dengan tujuan terapi oksigen
dan kondisi analisis gas darah pada waktu tersebut
8. Monitoring efek terapi : analisis gas darah atau pulse oksimetri
F. Antibiotik
Pemberian antibiotik bila terdapat infeksi. Antibiotik yang digunakan
sebagai first line yaitu:
1. Obat dan indikasi: Amoksisilin golongan penisilin, yang memiliki
indikasi sebagai infeksi saluran napas
2. Mekanisme kerja: menghambat sintesis dinding sel bakteri dengan
mengikat satu atau lebih pada ikatan penisilin protein (PBPs - protein
binding penisilin’s), sehingga menyebabkan penghambatan pada
tahapan akhir trans peptidase sintesis peptidoglikan dalam dinding sel
bakteri, akibatnya biosintesis dinding sel terhambat, dan sel bakteri
menjadi pecah (lisis).
3. Efek samping: mual, muntah, ruam, sakit kepala
4. Kontra indikasi: jangan menggunakan obat ini pada pasien yang
memiliki riwayat hipersensitif (alergi) pada amoksisilin dan antibiotik
betalaktam lainnya seperti penisilin dan sefalosporin
5. Cara penggunaan: per oral
6. Dosis: 500 mg setiap 8 jam. Minimal 10 hari dapat sampai 2 minggu
G. Mukolitik
Pemberian mukolitik terutama pada eksaserbasi akut karena akan
mempercepat perbaikan eksaserbasi, terutama pada bronkitis kronik
dengan sputum yang viscous.
1. Obat dan Indikasi: Glycerylguaicolat, mengurangi produk sputum yang
tidak normal
2. Mekanisme kerja: mengencerkan dahak pada saluran nafas sehingga
mempermudah pengeluaran dahak
3. Efek samping: mual dan muntah
4. Kontra indikasi: hipersensitivitas terhadap produk guaifenesin
5. Cara penggunaan: per oral
6. Dosis: 200-400 mg setiap 4 jam, dosis maksimum 2400mg/ hari
H. Antitusif
1. Obat dan indikasi: dekstrometorfan HBr, yang memiliki indikasi
sebagai penekan batuk atau meredakan batuk
2. Mekanisme kerja: menekan pusat batuk di otak, meringankan batuk
kering
3. Efek samping: mengantuk, pusing, mual, muntah
4. Kontra indikasi: -
5. Cara penggunaan: per oral
6. Dosis: 10-20 mg, 3 kali sehari 1 tablet
I. Golongan xantin
Aminophylline
1. Contoh obat : aminophylline
2. Mekanisme kerja: aminophylline bekerja sebagai antispasmodik,
bronchodilator. Aminophyline didalam lambung akan terhidrolisa
menjadi teofilin, efek bronchodilator diperlihatkan dengan merealisasi
otot bronchial
3. Dosis: dewasa 100-200 mg, 3 kali sehari
4. Efek samping: iritasi saluran gastrointestinal, sakit kepala, mual,
muntah dan gugup, insomnia, palpitasi, takikardia, aritmia verticular
tachypnea
5. Kontra indikasi: hipersensitivitas terhadap teofilin dan ethylendiamine
Teofilin
1. Indikasi: obstruksi saluran napas reversibel, asma akut berat
2. Mekanisme kerja: teofilin merupakan turunan metilxantin yang
mempunyai efek antara lain merangsang susunan saraf pusat dan
melemaskan otot polos, terutama bronkus
3. Dosis: dewasa 3 kali sehari 1 kapsul/ 15 ml
4. Efek samping: susunan saraf pusat, seperti: sakit kepala, insomnia.
Kardiovaskuler, seperti: palpitasi, takikardia, aritmia ventrikuler.
Pernapasan, seperti: tachypnea, rash, hiperglikemia. Gastrointestinal,
seperti: mual, muntah, diare.
5. Kontra indikasi: hati-hati penggunaan pada pasien dengan penyakit
jantung, hipertensi, hipertiroid, ulkus lambung, epilepsi, lanjut usia.
J. Antioksidan
Pemberian antioksidan dapat mengurangi eksaserbasi dan
memperbaiki kualitas hidup.
1. Obat dan indikasi
Contoh obat: Asetylsistein
Indikasi: terapi hipersekresi mukus kental dan tebal pada saluran
pernapasan
2. Mekanisme kerja, mencairkan dahak yang liat dengan jalan
memutuskan jembatan disulfida, sehingga rantai panjang antara
mukoprotein-mukoprotein panjang terbuka dan lebih mudah
dikeluarkan melalui batuk
3. Dosis: nebulasi 1 ampul, 1-2 kali sehari selama 5-10 hari
4. Efek samping: pada penggunaan sistemik, menimbulkan reaksi
hipersensitif seperti urtikaria dan bronkospasme (jarang terjadi). Pada
penggunaan aerosol, iritasi nasofaringetal dan saluran cerna seperti
pilek (rinore), stomatitis, mual, muntah
5. Kontra indikasi: hipersensitif terhadap N-asetilsistein

Anda mungkin juga menyukai