Anda di halaman 1dari 43

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 KEGAWATDARURATAN SISTEM PERNAFASAN

2.1.1 KEGAWATDARURATAN STATUS ASMATIKUS

A. Pengertian Status Asmatikus


Status asmatikus adalah suatu serangan asma yang berat,
berlangsung dalam beberapa jam sampai beberapa hari, yang tidak
memberi perbaikan pada pengobatan yang lazim.
Status asmatikus merupakan kedaruratan medik yang dapat
berakibat kematian, oleh karena itu:
1. Apabila terjadi serangan, harus ditanggulangi secara tepat dan
diutamakan terhadap usaha menanggulangi sumbatan saluran nafas.
2. Keadaan tersebut harus dicegah dengan memperhatikan faktor-
faktor yang merangsang timbulnya serangan (debu, serbuk,
makanan tertentu, infeksi saluran nafas, stres emosi, obat-obatan
tertentu seperti aspirin, dan lain-lain).

B. Etiologi Status Asmatikus

Mekanisme pemacu serangan akut terjadi bermacam-macam :


alergen, kerja fisik, infeksi virus pada jalan nafas, ketegangan
emosional, perubahan iklim dan beberapa jenis obat seperti aspirin.

Ketidak seimbangan modulasi adenergic dan kolinergic dari


broncus. Sering terdapat riwayat penyakit dalam keluarga, anak laki-
laki sering terkena dari pada anak perempuan.

Biasanya mempunyai alergi dengan kadar igE meninggi (asma


atopic/aksentrik berkaitan dengan keadaan alergi lain seperti eksema
fifer). Asma instrinsik terjadi pada penderita non atopic yang lebih tua.

Page | 6
C. Tanda dan Gejala Status Asmatikus
Manifestasi klinik status asmatikus adalah sama dengan
manifestasi yang terdapat pada asma hebat – pernapasan labored,
perpanjangan ekshalasi, perbesaran vena leher, mengi. Namun,
lamanya mengi tidak mengindikasikan keparahan serangan. Dengan
makin besarnya obstruksi, mengi dapat hilang, yang sering kali
menjadi pertanda bahaya gagal pernapasan.
Mengenal suatu serangan suatu asma akut pada dasarnya sangat
mudah. Dengan pemeriksaan klinis saja diagnosis sudah dapat
ditegakkan, yaitu dengan adanya sesak nafas mendadak disertai bising
mengi yang terdengar diseluruh lapangan paru. Namun yang sangat
penting dalam upaya penanggulangannya adalah menentukan derajat
serangan terutama menentukan apakah asma tersebut termasuk dalam
serangan asma yang berat.
Asma akut berat yang mengancam jiwa terutama terjadi pada
penderita usia pertengahan atau lanjut, menderita asma yang lama
sekitar 10 tahun, pernah mengalami serangan asma akut berat
sebelumnya dan menggunakan terapi steroid jangka panjang. Asma
akut berat yang potensial mengancam jiwa, mempunyai tanda dan
gejala sebagai berikut.
1. Penderita dalam keadaan sesak nafas yang berat dengan ekspirasi
disertai wheezing; dapat disertai batuk dengan sputum kental, sukar
dikeluarkan.
Pada pemeriksaan penderita tampak gelisah, bernafas dengan
menggunakan otot-otot tambahan, dengan tanda-tanda sianosis
sentral, takikardi, pulsus paradoksus dan fase ekspirium memanjang
yang disertai wheezing.
2. Pemeriksaan laboratorium sputum dan darah terdapat eosinofil,
khususnya pada asma alergik.
3. Frekuensi nafas lebih dari 25x/ menit

Page | 7
4. Denyut nadi lebih dari 110x/menit
5. Arus puncak ekspirasi (APE) kurang dari 50% nilai dugaan atau
nilai tertinggi yang pernah dicapai atau kurang dari 120lt/menit
6. Penurunan tekanan darah sistolik pada waktu inspirasi. Pulsus
paradoksus, lebih dari 10 mmHg.

D. Patofisiologi Status Asmatikus

Meskipun terdapat banyak pemicu, pada dasarnya patofisiologi


status asmatikus terjadi dari 3 mekanisme yaitu:

1. Edema mukosa saluran nafas.


2. Spasme otot halus saluran nafas.
3. Sumbatan mukus disaluran nafas dari sekret yang berlebihan.

Pada anak-anak, diameter saluran pernafasannya secara


proporsional lebih kecil dibandingkan dengan orang dewasa sehingga
lebih rentan terjadinya obstruksi atau sumbatan akibat dari 3
mekanisme di atas. Oleh karena itu mereka lebih rentan timbulnya
gejala dari kegagalan pernafasan.

Pada status asmatikus terjadi gangguan pada pertukaran gas


dan tingginya resistensi saluran nafas seiring peningkatan pernafasan
(sesak nafas). Penderita kemudian akan mengalami hiperventilasi
dengan menurunnya paCO2 dan Ph darah, lalu terjadi alkalosis
respiratorik dan hipoksemia. Kondisi inilah yang akhirnya membuat
penderita menjadi hipoksia dan kelelahan sesak nafas.

Page | 8
E. Pathway Status Asmatikus

Faktor pencetus

Alergi Idiopatik

Edema dinding bronkiolus Spasme otot polos Sekresi mukus kental di


bronkiolus dalam lumen bronkiolus

Ekspirasi Menekan sisi Diameter bronkiolus Bersihan jalan


bronkiolus mengecil nafas tidak

Intoleransi Aktifitas Dispnea

Gangguan pertukaran Perfusi paru tidak cukup


gas mendapat ventilasi

F. Penatalaksanaan Status Asmatikus


1. Bronkodilator
Tidak digunakan obat-obat bronkodilator secara oral, tetapi
dipakai obat-obat bronkodilator secara inhalasi atau parenteral.
Jika sebelumnya telah digunakan obat golongan
simpatomimetik, maka sebaiknya diberikan aminofilin secara per
enteral sebab mekanisme kerja yang berlainan; demikian
sebaliknya, baik sebelumnya telah digunakan obat golongan teofilin
secara oral maka sebaiknya diberikan obat golongan
simpatomimetik secara aerosol atau par enteral. Obat-obat

Page | 9
bronkodilator golongan simpatomimetik bentuk selektif terhadap
adrenoreseptor-B2 (orsiprenalin, salbutamol, terbutalin, isoetarin,
fenoterol) mempunyai sifat lebih efektif dan masa kerja lebih lama
serta efek samping yang lebih kecil dibandingkan dengan bentuk
non-selektif (adrenalin, efedrin, isoprenalin).
1) Obat-obat bronkodilator secara aerosol bekerja lebih cepat dan
efek samping sistemik lebih kecil. Baik untuk digunakan pada
anak-anak ataupun pada dewasa dengan sesak nafas yang berat.
Mula-mula diberikan 2 sedotan dari suatu metered aerosol
device (Alupent metered aerosol). Jika menunjukkan perbaikan,
dapat diulang tiap 2 jam. Jika pada penilaian sampai 10-15
menit tidak menunjukkan perbaikan, berikan aminofilin
intravena.
2) Obat-obat bronkodilator simpatomimetik memberi efek
samping takikardi. Penggunaan secara par enteral pada orang
tua harus hati-hati, berbahaya pada penyakit hipertensi,
kardiovaskuler dan serebrovaskular. Pada orang dewasa dicoba
dengan 0,3 ml larutan epinefrin 1 : 1000 secara subkutan,
sedangkan pada anak-anak diberikan dengan dosis 0,01 mg/kg
BB secara subkutan (1mg/ml) yang dapat diulang tiap 30 menit
untuk 2-3 kali tergantung kebutuhan.
3) Pemberian aminofilin secara intravena dengan dosis awal 5,6
mg/kgBB, pada dewasa maupun anak-anak yang disuntikkan
secara perlahan-lahan dalam 5-10 menit. Selanjutnya sebagai
dosis penunjang adalah 0,9 mg/kgBB/jam yang diberikan
secara infus. Efek samping yang dapat timbul ialah tekanan
darah turun, terutama bila pemberian tidak perlahan-lahan.

Page | 10
Obat-obat bronkodilator

Nama Dosis dewasa Dosis anak-anak Cara


Adrenalin 0,1-0,5 mg 0,1 mg/kgBB SK
(1 mg/ml) 0,1-0,2 mg IV
(dengan
pengenceran)
Isoprenalin 20-100 ug 0,1 ug/kgBB/menit IV
(0,2 mg/ml) (perlahan-lahan)
Etilnoradrenalin 2 mg 0,2-1 mg SK
(2 mg/ml)
Terbutalin 0,25 mg 5 ug/kgBB SK
(0,5 mg/ml;0,1
mg/ml)
Aminofilin 5,6 mg/kgBB seperti pada dewasa IV
(0,25 g/10ml) Dilanjutkan dengan
0,9 mg/kg/BB/jam

2. Kortikosteroid
Jika pemberian obat-obat bronkodilator tidak menunjukkan
perbaikan, dilanjutkan dengan kortikosteroid.

200 mg hidrokortison (Solu Cortef) atau dengan dosis 3-4


mg/kgBB, diberikan secara intravena sebagai dosis permulaan dan
dapat diulang tiap 2-4 jam secara per enteral sampai serangan akut
terkontrol, dengan diikuti pemberian 30-60mg prednison atau
dengan dosis 1-2 mg/kg BB/hari secara oral dalam dosis terbagi,
kemudian dosis dikurangi secara bertahap.

Page | 11
3. Pemberian oksigen dapat melalui kanula hidung dengan kecepatan
aliran O2 2-4 liter/menit dan dialirkan melalui air untuk memberi
kelembaban.
Obat ekspektoran seperti gliserolguaiakolat dapat diberikan.
Untuk memperbaiki keadaan dehidrasi, maka intake cairan per oral
atau infus harus cukup, sesuai dengan prinsip-prinsip rehidrasi.
Antibiotika diberikan bila ada infeksi.

2.1.2 KEGAWATDARURATAN TRAUMA THORAKS

A. Pengertian Trauma Thoraks

Rongga thorax berisi organ-organ vital yang sering mengalami


kerusakan pada trauma tanpa terlihat jelas tanda-tanda kerusakan pada
dinding dada.

Angka kematian pada trauma thorax tinggi, berkisar antara 20-


25% dari semua trauma. Walaupun kebanayakan pasien mati sebelum
sampai pada fasilitas medis, tetapi juga banyak dipengaruhi oleh
penilaian tindakan dokter yang pertama kali memeriksa pasien ini.

Sering pasien mula-mula tampak baik tapi kemudian dalam


tiba-tiba jatuhh dalam syok, gangguan respirasi pada henting
jantung/pernafasan. Pada trauma thorax kematia dapat disebabkan oleh
gangguan respirasi paradoksal yang semuanya ini dapat ditolong
dengan segera tanpa peralatan khusus. Hanya 10% dari traumam torax
memerlukan tindakan torakotomi, selebihnya cukup melakukan
tindakan “thoracocentesis” intercostal nerve blok”, “tracheostomy” dll.

Page | 12
B. Etiologi Trauma Thoraks

Berdasarkan penyebabnya, trauma thorax dibagi menjadi dua


bagian besar yaitu trauma tumpul dan trauma tembus. Trauma tumpul
torax yang serius 55% disebabkan kecelakaan lalu lintas.

Terdapat 3 jenis trauma tumpul :

1. Trauma langsung.
Biasanya lokal akibat benturan benda bergerak, kelainan
terdapat pada lokalisasi benturan.
2. Trauma tipe kompresi.
Rongga dada dan perut secara tibba-tiba mendapat tekanan
misalnya tertimbun oleh tanah atau runtuhan gedung. Keaadaan ini
akan menyebabkan “cervico-facial static cyanosis” dimana kulit
leher, muka dan bahu berwarna merah kebiruan serta perdarahan
subkonjunctiva sebagai akibat sebagai akibat darah yg di tekan
secara tiba-tiba dari rongga thoraxs kearah atas dan stetis vena.
3. Trauma tipe deselerasi.
Trauma tipe ini terjadi pada kecelakaan kendaraaan dengan
kecepatan tinggi, dada tertekan sedangkan isi rongga dada masih
bergerak yang mengakibatkan robekan pada hilus, kontusi dan
laserasi organ intra torokal.
Trauma tembus lebih sering disebabkan luka tusuk
dibandingkan luka tembak, kelainan tampak jelas pada dinding
dada beupa luka yang berhubungan dengan rongga pleura atau
tidak.

Page | 13
C. Pathway Trauma Thoraks

Tusukan/tembakan, pukulan,
benturan,ledakan, spontan

Trauma dada

hematotorak
Tamponade jantung pneumothoraks

Perdarahan/
Perdarahan dalam Udara masuk ke rongga syok
perikardium pleura

Akumulasi
secret/ darah
Nyeri akut Udara tidak dapat keluar

Odem jalan
Pengaliran darah kembali Tekanaan pleura nafas
ke atrium meningkat

Ketidak efektifan
bersihan jalan
Lambat pertolongan Ketidakefektifan pola nafas
dapat menyebabkan nafas
kematian Ketidak sesuaian
suplay dan demand
oksigen
Gangguan kontralitas
jantung
Penurunan komponen
darah
Penurunan volume
intravaskuler
Gangguan perfusi
jaringan
Penurunan curah jantung

Page | 14
2.2 KEGAWATDARURATAN SISTEM PERSYARAFAN

2.2.1 KEGAWATDARURATAN TRAUMA KEPALA

A. Pengertian Trauma Kepala

Trauma kepala merupakan “Contusio Cerebri” merupakan


keadaan kegawatdaruratan susunan saraf pusat yang harus secepatnya
ditangani karena dapat membawa kematian dengan cepat. Trauma
ringan pada kepala misalnya “Commotio Cerebri: mungkin tidak
memerlukan perawatan di Rumah Sakit, atau mungkin memerlukan
observasi tergantung keadaan penderita. Perlu diingat bahwa trauma
kepala dapat disertai dengan trauma lainnya terutama di
abdomen/thoraks yang harus diperhatikan hingga tindakan pengobatan
ditujukkan secara menyeluruh.

Pembagian trauma kepala:

1. Trauma susunan saraf pusat:


a. Commotion
b. Contussio
c. Laceratio
d. Edema Cerebri
2. Trauma pelindung susunan saraf:
a. Perdarahan eksternal: kulit kepala luka
b. Fraktur tengkorak: non impressive dan impressive
c. Perdarahan: epidural dan subdural akut.

Pembagian ini bermaksud untuk memberikan gambaran


anatomic dari proses trauma hingga dengan demikian dapat
diperkirakan luas dari daerah yang mengalami kerusakan tanpa
mengandung implikasi fisiopatologik.

Page | 15
B. Etiologi Trauma Kepala

1. Trauma Tajam
Trauma oleh benda tajam menyebabkan cedera setempat dan
menimbulkan cedera local. Kerusakan local meliputi Contusio
Serebral, hematom serebral, kerusakan otak sekunder yang
disebabkan perluasan masa lesi, pergeseran otak atau hernia.

2. Trauma Tumpul
Trauma oleh benda tumpul dan menyebabkan cedera menyeluruh
difusi, kerusakannya menyebar secara luas dan terjadi dalam 4
bentuk: cedera akson, kerusakan otak hipoksia, pembengkakan
otak menyebar, hemoragi kecil multiple pada otak koma terjadi
karena cedera menyebar pada hemisfer cerebral, batang otak atau
kedua-duanya.

Page | 16
Mekanisme Trauma

Trauma Kepala

Adanya kekuatan atau gaya mekanik

Distra Distransmisi ke jaringan otak

Trauma tajam Trauma Tumpul

Kerusakan sebatas merobek otak

Akibat trauma tergantung pada:

a. Kekuatan benturan: parahnya kerusakan


b. Akselerasi dan decelerasi
c. Cup dan kontra cup
1. Cedera cup: kerusakan pada daerah dekat yang terbentur
2. Cedera kontra cup: kerusakan cedera berlawanan pada sisi
desakan benturan.
a) Lokasi benturan
b) Rotasi: pengubahan posisi rotasi pada kepala
menyebabkan trauma regangan dan robekan substansia
alba dan batang otak.
c) Depresi fraktur: kekuatan yang mendorong fragmen
tulang turun menekan otak lebih dalam. Akibatnya CSS
mengalir keluar hidung, telinga, dan masuk kuman,
kontaminasi dengan CSS, infeksi, kejang.

Page | 17
C. Tanda dan Gejala Trauma Kepala
1. Gangguan otak
a. Contusion serebri/gegar otak
1) Tidak sadar <10 menit
2) Muntah-muntah, pusing
3) Tidak ada tanda deficit neurologis
b. Contusion serebri/memar otak
1) Tidak sadar >10 menit, bila area yang terkena luas dapat
berlangsung >2-3 hari setelah cedera
2) Muntah-muntah, amnesia retrograde
3) Ada tanda-tanda deficit neurologis
2. Perdarahan epidural/hematoma epidural
a. Suatu akumulasi darah pada ruang antara tulang tengkorak
bagian dalam dan meningen paling luar. Terjadi akibat robekan
arteri meningeal.
b. Gejala: penurunan kesadaran ringan, gangguan neurologis dari
kekacauan mental sampai koma.
c. Peningkatan TIK yang mengakibatkan gangguan pernafasan,
brakikardia, penurunan TTV.
d. Herniasi otak yang menimbulkan: dilatasi pupil dan reaksi
cahaya hilang, isokor dan anisokor, ptosis.
3. Hematoma subdural
a. Akumulasi darah antara durameter dan raknoid, karena
robekan vena
b. Gejala: sakit kepala, letargi, kavau mental, kejang, disfasia.
4. Hematoma intracranial
a. Pengumpulan darah >25 ml dalam parenkim otak
b. Penyebab: fraktur depresi tulang tengkorak

Page | 18
5. Fraktur tengkorak
a. Fraktur liner/simple
1) Melibatkan Os temporal dan parietal
2) Jika garis fraktur meluas kearah orbita: resiko perdarahan
b. Fraktur basiler
1) Fraktur pada dasar tengkorak
2) Bisa menimbulkan kontak CSS dengan sinus,
memungkinkan bakteri masuk.

D. Patofisiologi Trauma Kepala

Meskipun kecelakaan lalu lintas sering dan merupakan kejadian


sehari-hari, akan tetapi mekanisme kerusakan susunan saraf serta
kehilangan fungsi-fungsinya yang berlangsung dalam waktu beberapa
detik sampai sekarang belum jelas benar. Hal ini disebabkan karena
sampai saat ini belum ada suatu model eksperimental yang
setara/homolog, lagipula percobaan dengan makhluk hidup tidak
dikerjakan karena alasan-alasan etika. Akan tetapiada beberapa
hipotesis yang mencoba menjelaskan hal ini.

Tengkorak dengan isinya yang terdiri dari massa otak dengan


cairan darah dan liquor mempunyai massa yang berbeda. Jika
tengkorak bergerak dengan kecepatan tertentu (misalnya
naikmotor/mobil) maka masing-masing masa mempunyai percepatan
dan perlambatan yang berbeda. Jika terjadi benturan maka karena
percepatan atau perlambatan yang berbeda, masa yang kurang padat
mengalami goncangan yang lebih banyak (shear’s effect), timbulah
kerusakan neuron, pembuluh darah dan jaringan-jaringan penyokong
susunan saraf pusat. Kerusakan ini tergantung pada berat atau
ringannya trauma. Benturan ini dinamakan trauma primer yang
merupakan akibat dari proses biomekanika dan berlangsung beberapa

Page | 19
detik saja. Dalam hal seperti ini kita tidak akan pernah mampu berbuat
apapun kecuali mencegahnya.

Problem yang sesungguhnya kita hadapi adalah akibat dari


proses primer itu yaitu timbulnya perdarahan-perdarahan, hypotensi
peninggian intra kranial karena edema cerebri serta kerusakan-
kerusakan neuron-neuron. Neuron-neuron yang mati tidak dapat
dikembalikan, tetapi neuron yang masih sakit dapat diperbaiki dengan
tindakan medic. Tujuan pengobatan dan perawatan adalah mencegah
kerusakan sekecil mungkin dan membantu penyembuhan semaksimal
mungkin.

Karena proses yang dinamik ini maka komplikasi/trauma


sekunder dapat terjadi setiap saat dan prosesnya berlanjut. Jika tidak
dihentikan, akan berakibat matinya sel-sel yang sakit dan yang sehat
pun akan terancam.

Page | 20
E. Pathway Trauma Kepala

Trauma Kepala

Ekstra Kranial Tulang Kranial Intra Kranial

Terputusnya
Terputusnya
kontinuitas Jaringan otak rusak
kontinuitas
jaringan kulit, otot (kontusio, laserasi)
jaringan tulang
dan vaskuler

- Perubahan
- Perdarahan MK: autoregulasi
- hematoma Resiko - Oedema
Infeksi serebral

Gang. Suplai MK: Nyeri Kejang


darah

Perubahan Gang. Bersihan jalan


sirkulasi CSS Neurologis nafas, obstruksi
lokal jalan nafas,
Iskema dyspnea, henti
a MK: nafas, perubahan
perubahan pola nafas
Peningkatan Hipoksia
perfusi
TIK jaringan Deficit
neurologis Resiko
ketidakefektifan
Gang. Fungsi jalan nafas
Girus medialis
lobus temporalis otak Gang. Sensori
tergeser persepsi

Mual-muntah,
papilodema,
pandangan kabur, Resiko kurangnya
penurunan fung. volume cairan
Pendengaran nyeri
kepala Page | 21
F. Penatalaksanaan Trauma Kepala

Prinsip penatalaksanaan trauma kepala berat adalah:

1. Intensif, yang berarti bahwa bukan hanya dititikberatkan pada


adanya alat-alat mutakhir, akan tetapi pada kualitas dari
pengobatan dan perawatan. Ini dimengerti karena trauma sekunder
tidak terjadi pada suatu saat tertentu tapi merupakan suatu proses
yang berlanjut. Ini berarti bahwa dokter dan staf perawat
mengadakan pengawasan dan pengobatan secara aktif selama 24
jam tergantung pada keadaan penderita dan selama diperlukan dan
tindakan ini mencegah timbulnya komplikasi.
2. Monitor, sebagai konsekuensi dari suatu perawatan intensif maka
monitor yang terus menerus dari fungsi-fungsi vital, keadaan
fungsional dari susunan saraf pusat serta keadaan metabolism
secara keseluruhan diawasi. Dengan monitoring ini serta evaluasi
periodic dari penderita, bukan saja susunan saraf akan tetapi
keselurihan keadaan diawasi. Maka hal-hal yang mungkin belum
terlihat pada pemeriksaan-pemeriksaan pertama dapat
diungkapkan dengan monitor ini. Juga adanya perdarahan-
perdarahan intra cerebral, epidural, dan sebagainya dapat
diketahui sedini mungkin.
3. Agresif, pada keadaan yang memerlukan dan terindikasi maka
tindakan-tindakan arteriografi, CT scan serta tindakan
pembedahan dilakukan untuk menyelamatkan jiwa penderita.

TEKNIK PELAKSANAAN

Secara teknik maka pelaksanaan dari penanganan penderita


dengan trauma kepala berat harus mengikuti suatu urutan prioritas
yang disesuaikan dengan kebutuhan penderita :

Page | 22
Langkah pertama adalah resusitasi kardiopulmoner dikerjakan
terlebih dahulu sebelum pemeriksaan-pemeriksaan lain dilakukan.
Bebaskan jalan nafas dan perhatikan oksigenasi jaringan melalui kuku,
konjungtiva, dan lain-lain. Jika penderita bernafas dengan irama yang
baik serta kondisi sistemik/oksigenasi baik, baru meningkat ke
langkah berikutnya. Jika pernafasan tidak baik atau tidak ada maka
lakukanlah prosedur resusitasi yang telah diajarkan dengan satu hal
yang harus diperhatikan: periksa kondisi leher penderita, adakah
tanda-tanda fraktur di daerah servikal. Byrnes (1977) menemukan
bahwa frekuensi fraktur leher pada trauma kepala berat adalah 6%.
Kecurigaan adanya fraktur leher dapat ditentukan dengan adanya
posisi kepala yang kaku atau rasa sakit pada pergerakan leher atau jika
posisi kepala tidak wajar pada penderita dengan kesadaran menurun.
Jika ada kecurigaan maka resusitasi hendaknya tanpa hiperesktensi
leher ataupun rotasi. Terutama pada fraktur cervical tinggi, dapat
mengakibatkan kematian mendadak. Jika resusitasi telah dikerjakan
dengan baik, maka barulah pemeriksaan evaluasi neurologic
dilakukan. Jika ada perdarahan atau syok maka tindakan mengatasi
syok dan perdarahan dilakukan bersama-sama dengan resusitasi
pernafasan. Pasanglah IV line dan jika ada fasilitas arteri line dan intra
kranial catheter. Dengan selesainya prosedur resusitasi ini, berarti
bahwa oksigenasi susunan saraf telah terjamin.
Hal yang perlu diperhatikan pada tahap berikutnya adalah
pemeriksaan umum untuk melihat kemungkinan “multiple injury”,
terutama pada abdomen dan thoraks. Rabalah seluruh kepala penderita
untuk mencari kemungkinan “Impressive fracture”, hematoma pada
osmatoid (Battle’s sign), deformitas kepala dan lihatlah liang telinga
dan hidung untuk mencari perdarahan-perdarahan. Langkah berikutnya
adalah menilai keadaan susunan saraf pusat. Pemeriksaan neurologic

Page | 23
pada trauma kepala berat bukanlah pemeriksaan neurologic “continue”
yang bertele-tele, tapi pemeriksaan yang cepat dan menilai:
a. Keadaan Kesadaran
Taraf kesadaran erat hubungannya dengan berat trauma dan
erat pula dengan prognosa. Keadaan koma adalah taraf kegawatan
puncak dari SSP dan harus segera ditanggulangi. Lama koma juga
berhubungan dengan prognosa. Observasi keadaan penderita harus
dilakukan secara periodic dengan membangunkan penderita dan
mengadakan sekedar komunikasi untuk menentukan taraf
kesadaran. Sebaiknya evaluasi kesadaran diri ini, dilakukan dengan
metode yang obyektif hingga penilaian tidak tergantung pada satu
orang saja. Jennet (1974) telah menyusun suatu “Glasgow-coma
Scale” yang memberi score tertentu pada penderita dan kemajuan
dapat dilihat dengan melihat jumlah score ini.

The Glasgow Coma Scale

Category Observed Responce Score


Eye opening Spontaneous 4
To speech 3
To pain 2
None 1
Best verbal responce Oriented 5
Confused 4
Inappropriate 3
Incomprehensible 2
None 1
Best motor responce Obeying 6
Localizing 5
Normal flexion 4

Page | 24
Abnormal flexion 3
Extending 2
None 1

b. Keadaan Pupil Penderita


Pupil mata merupakan sumber informasi yang sangat
penting pada trauma/koma medic. Refleks cahaya yang utuh pada
kedua sisi menunjukkan integritas lingkar reflex. Dan yang penting
lagi adalah bahwa batang otak bagian atas masih berfungsi dengan
baik. Adanya anisokor menunjukkana adanya gangguan pada
serabut “afferent” atau “efferent” pada sisi tersebut.
Serabut-serabut “afferent” atau sensorik berjalan pada
serabut “opticus” (nerum II) sampai ke “corpus gemiculatus
mediale” dan serabut-serabut “efferent” mengikuti n.
oculomotorius. Kerusakan n.opticus total sesisis menyebabkan
dilatasi pupil yang besar pada sisi tersebut dan terlihat sejak
permulaan penderita masuk dan tidak mengalami perubahan
selama monitor. Demikian pula kerusakan pada serabut0serabut
“efferent”: n. III dan disertai dengan kelumpuhan otot-otot rekti.
Kerusakan partial n.II dapat diketahui dengan “swinging
torch test” dari Marcus-Gunn (“Marcus-Gunn Pupil”).
Pemeriksaan ini dilakukan dengan menerangi pupil mata secara
bergantian kiri dan kanan. Pupil dengan serabut afferent terganggu
akan menunjukkan dilatasi pada penyinaran cahaya berulang
tersebut. Yang penting adalah adanya kompresi n.III di daerah
sudut antara temporal-pole (lobus temporalis) dengan tentorium
cerebelli. Jika ada perdarahan pada sisi tersebut, maka secara
bertahap serabut serabut n.III tertekan dan serabut-serabut paling
luar yaitu serabut parasimpatik pupil terkena hingga terjadi
anisokor yang berangsur-angsur dan progresif tanpa mengenai

Page | 25
otot-otot rekti. Monitoring keadaan pupil akan dapat mengenal
sedini mungkin tanda-tanda ini. Proses ini disertai juga dengan
penurunan kesadaran.
c. Brainstem Reflexes
Refleks-refleks batang otak yang menilai integritas “pons”
dan “mesencephalon” adalah reflex “oculocephalic” dan
“oculovestibular”. Reflex :oculocephalic” dilakukan dengan
mengadakan rotasi kepala kelateral dan ke atas atau bawah, jika
keadaan memungkinkan. Reflex negative jika kedua bola mata
terlihat bergerak mengikuti gerakan kepada sedang positif bila
kedua bola mata tertinggal (doll’s head maneuver). Sedang reflex
“oculovestibular” (caloric response) ialah dengan memasukkan air
dingin atau hangat ke dua liang telinga, lalu dilihat pergerakan
tonik kedua mata. Dengan memasukkan air (panas/dingin) akan
terjadi nystagmus (induced nystagmus) dengan arah sesuai dengan
COWS (cols the opposite, warm the same), maksudnya diberi air
dingin arah nystagmus berlawanan dengan sisi kuping, sedangkan
jika air hangat sebaliknya. Arah nystagmus ditentukan oleh arah
komponen lambat. Pada keadaan koma hanya fase toniknya saja
yang terlihat sedang komponen cepat hilang.
d. Menilai Lateralisasi
Penilaian adanya kemungkinan lateralisasi gangguan
neurologic dilakukan dengan merangsang pada periode-periode
tertentu dari anggota gerak dan adanya relfeks patologik. Jika
dengan perangsangan ringan pada kaki, pada saat-saat permulaan
tampak simetrik, lalu kemudian ternyata satu sisi lebih
lemah/kurang lincah pada observasi, apalagi kalau disertai dengan
reflex patologik yang tadinya tidak ada pada sisi tersebut, maka
dapat dipastikan adanya kemungkinan besar proses yang progresif
pada sisi kontra lateral otak.

Page | 26
Prinsip-prinsip pemberian cairan pada trauma kepala berat

Bahaya yang paling fatal pada trauma kepala berat adalah


peninggian tekanan intracranial karena edema cerebri yang
menyebabkan herniasi “cerebellum” ke “foramen magnum”.

Dahulu, sebelum monitor dengan alat-alat yang modern belum


ada, salah satu usaha yang dilakukan adalah membatasi cairan pada
penderita dengan mengadakan tindakan dehidrasi. Penderita
dipuasakan dan sama sekali tidak diberi apa-apa 8 sampai 24 jam
pertama. Dengan berkembangnya pengetahuan tentang cairan dan
elektrolit serta mekanisme pembagian cairan dalam tubuh, tindakan
dehidrasi hipovolemik ini tidak lagi dipakai dan dianggap berbahaya.

Pada prinsipnya pemberian cairan pada penderita harus


secukupnya sesuai dengan kebutuhan. Dalam keadaan kesadaran
menurun pemberian cairan yang minimal “obligatory fluid intake”
harus diberikan dan jika perlu tambahan dapat diberikan dengan
memperhatikan balance cairan.

Prinsip yang kedua ialah bahwa pembatasan dilakukan terhadap


pemberian larutan-larutan dalam air (glukosa/dextrose in water) dan
kristaloid atau darah saja. Alasannya ialah karena memasukkan air ke
dalam jaringan tubuh atau infus dengan cepat merubah tekanan
osmotic plasma. Perubahan tekanan osmotic plasma akan
menyebabkan perpindaha air ke dalam jaringan termasuk otak. Dan ini
tidak dikehendaki. Larutan koloid atau kristaloid mempunyai tekanan
osmotic tertentu sehingga jika dimasukkan ke dalam infus,
perpindahan air tidak begitu cepat terjadi. Sebaliknya jika ada selalu
diukur osmo larutan plasma (sekitar 300-320 mili osmo) dan
diusahakan agar stabil. Tindakan dehidrasi sendiri yang bersifat
hipovolemik menyebabkan naiknya osmolaritas darah, dengan

Page | 27
demikian perfusi jaringan menjadi berkurang terutama dalam paru-
paru, ginjal, dan otak. Berkurangnya perfusi menyebabkan oksigenasi
yang telah diperbaiki dengan resusitasi pada tahap awal menjadi sia-
sia. Disamping itu secret jalan nafas yang selalu tertumpuk pada orang-
orang dengan kesadaran menurun menjadi lebih kental akibat dehidrasi
dan menjadi sukar dikeluarkan. Inipun berbahaya dan mempermudah
infeksi sekunder.

Pengobatan darurat

Pengobatan darurat yang segera diberikan adalah pemberian


dexamethasone dalam dosis 50-100 mg sekaligus. Pemberian ini
disesuaikan dengan dosis yang sama 6 jam kemudian. Selanjutnya
pemberian diberikan sebanyak 4-5 mg setiap 6 jam selama 5-8 hari.
Fanpel et al (!976) dan Gobiet et al menunujukkan bahwa mortalitas
trauma kepala berat menurun dengan drastic pada penderita-penderita
yang diberikan dexamethasone. Meskipun demikian secara
eksperimental belum dapat dibuktikan bahwa steroid berpengaruh
terhadap perkembangan cerebral edema kecuali pada metastase tumor
pada otak. Pemberian berikutnya adalah pemberian glycerol 10%
perinfus selama 4-5 g/kg maksimal 100 g, kemudian diberikan terapi
maintenance 0,15-0,3 g per kg berat badan, sampai keadaan gawat
berkurang atau infus 0,005-0,15 gr per kg selama 48 jam secara
continue.

Tindakan pengobatan ini semua ditujukan untuk mencegah


peninggian tekanan intracranial yang sulit diketahui pada penderita
dengan kesadaran menurun apalagi koma. Akhir-akhir ini jarang
diberikan obat diuretika, misalnya furosemide atau ethacrynic selama
beberapa hari akan terjadi monitor elektrolit harus dilakukan secara
continue.

Page | 28
Tindakan agresif

Jika selama monitor penderita menunjukkan adanya


kemunduran dengan tanda-tanda lateralisasi yang jelas dengan
kemungkinan adanya perdarahan baik ekstra, subdural atau intra
cerebral yang local dan soliter, maka pemeriksaan yang lebih
internship harus dikerjakan segera. Tindakan ini adalah CT Scan dan
atau angiogram untuk menentukan lokalisasi dan segera
mempersiapkan operasi jika terlihat adanya perdarahan. Terutama
perdarahan epidural/subdural akut.

Frekuensi perdarahan menurut BRUCE (1978) adalah:

a. Epidural hematoma : 5% (anak 4%)


b. Acute subdural : 18% (anak 8%)
c. Chronic subdural : 30% (anak 0%)
d. Contusion hemorhagica: 15% (anak 6%)
e. Intracerebral : 13% (anak 6%)

Dengan penyelidikan Bruce maka berguna sekali monitor serta


penanggulangan yang intensif pada trauma kepala berat. Ini lebih
meningkatkan penyelamatan penderita. Tentu saja dengan monitor
intracranial catheter (minimal tekanan IC adalah kurang dari 20 mm
air). Segala proses kenaikan tekanan intracranial cepat diketahui.
Meskipun demikian jika tidak ada fasilitas, maka pengamatan klinik
dapat pula menetapkan dengan cukup baik tanda-tanda dini adanya
masa intracranial yang ekspansif.

2.2.2 KEGAWATDARURATAN STROKE

A. Pengertian Stroke
Stroke atau gangguan peredaran darah otak (GPDO)
merupakan penyakit neurologis yang sering dijumpai dan harus

Page | 29
ditangani secara cepat dan tepat. Stroke merupakan kelainan fungsi
otak yang mendadak yang disebabkan karena terjadinya gangguan
peredaran darah otak dan bisa terjadi pada siapa saja dan kapan saja.
Menurut WHO stroke adalah adanya tanda-tanda klinik yang
berkembanag cepat akibat gangguan fungsi otak lokal (global) dengan
gejala-gejala yang berlangsung selam 24 jam atau lebih yang
menyebabkan kematian tanpa adanya penyebab lain yang jelas selain
vaskular. Stroke merupakan penyakit yang paling sering menyebabkan
cacat berupa kelumpuhan anggota gerak, gangguan bicara, proses
berfikir daya ingat, dan bentuk-bentuk kecacatan yang lain sebagai
akibat gangguan fungsi otak. (Muttaqin, Arif. 2008)

B. Klasifikasi Stroke

1. Stroke Hemoragi
Merupakan perdarahan serebral dan mungkin perdarahan
subaraknoid. Disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah otak pada
area otak tertentu. Biasanya kejadiannya saat melakukan aktivitas

Page | 30
atau saat aktif, namun bisa juga terjadi saat istirahat. Kesadaran
klien umumnya menurun. Perdarahan otak dibagi dua, yaitu :
a. Perdarahan Intraserebral
Pecahnya pembuluh darah (mikroaneurisma) terutama
karena hipertensi mengakibatkan darah masuk ke dalam
jaringan otak, membentuk massa yang menekan jaringan otak,
dan menimbulkan edema otak. Peningkatan TIK yang terjadi
cepat, dapat mengakibatkan kematian mendadak karena
herniasi otak. Perdarahan intraserebral yang disebabkan karena
hipertensi sering dijumpai di daerah putamen, talamus, pons
dan serebelum.
b. Perdarahan subaraknoid
Perdarahan ini berasal dari pecahnya aneurisma berry
atau AVM. Aneurisma yang pecah ini berasal dari pembuluh
darah sirkulasi. Willisi dan cabang-cabangnya yang terdapat di
luar parenkim otak. Pecahnya arteri dan keluarnya ke ruang
sub araknoid menyebabkan TIK meningkat mendadak,
meregangnya struktur peka nyeri, dan vasospasme pembuluh
darah serebral yang berakibat disfungsi otak global (sakit
kepala, penurunan kesadaran) maupun fokal (hemiparese,
gangguan hemi sensorik, afasia, dan lain-lain).
Pecahnya arteri dan keluarnya darah ke ruang
subaraknoid mengakibatkan terjadinya peningkatan TIK yang
mendadak, meregangnya struktur peka nyeri, sehingga timbul
nyeri kepala hebat. Sering pula dijumpai kaku kuduk dan
tanda-tanda rangsangan selaput otak lainnya. Peningkatan TIK
yang mendadak juga mengakibatkan perdarahan subaraknoid
pada retina dan penurunan kesadaran. Perdarahan subaraknoid
dapat mengakibatkan vasospasme pembuluh darah serebral.
Vasospasme ini dapat mengakibatkan disfungsi otak global

Page | 31
(sakit kepala, penurunan kesadaran) maupun fokal
(hemiparese, gangguan hemisensorik, afasia dan lain-lain).
(Muttaqin, Arif. 2008).
2. Stroke Iskemik
Sekitar 80% sampai 85% stroke adalah stroke iskemik,
yang terjadi akibat obstruksi atau bekuan di satu atau lebih arteri
besar pada sirkulasi serebrum. Klasifikasi stroke iskemik
berdasarkan waktunya terdiri atas, Transient Ischaemic Attack
(TIA): defisit neurologis membaik dalam waktu kurang dari 30
menit, Reversible Ischaemic Neurological Deficit (RIND): defisit
neurologis membaik kurang dari 1 minggu, Stroke In Evolution
(SIE)/Progressing Stroke, Completed Stroke. Beberapa penyebab
stroke iskemik meliputi :
a. Trombosis
Aterosklerosis (tersering); Vaskulitis: arteritis temporalis,
poliarteritis nodosa; Robeknya arteri: karotis, vertebralis
(spontan atau traumatik); Gangguan darah: polisitemia,
hemoglobinopati (penyakit sel sabit).
b. Embolisme
Sumber di jantung: fibrilasi atrium (tersering), infark
miokardium, penyakit jantung rematik, penyakit katup jantung,
katup prostetik, kardiomiopati iskemik; Sumber tromboemboli
aterosklerotik di arteri: bifurkasio karotis komunis, arteri
vertebralis distal; Keadaan hiperkoagulasi : kontrasepsi oral,
karsinoma.
c. Vasokonstriksi
d. Vasospasme serebrum setelah PSA (Perdarahan
Subarakhnoid).

Page | 32
Terdapat empat subtipe dasar pada stroke iskemik berdasarkan
penyebab : lakunar, thrombosis pembuluh besar dengan aliran
pelan, embolik dan kriptogenik (Dewanto dkk, 2009).
C. Etiologi Stroke
1. Trombosis Serebral
Trombosis ini terjadi pada pembuluh darah yang
mengalami oklusi sehingga menyebabkan iskemi jaringan otak
yang dapat menimbulkan oedema dan kongesti di sekitarnya.
Trombosis biasanya terjadi pada orang tua yang sedang tidur atau
bangun tidur. Hal ini dapat terjadi karena penurunan aktivitas
simpatis dan penurunan tekanan darah yang dapat menyebabkan
iskemi serebral. Tanda dan gejala neurologis sering kali memburuk
pada 48 jam setelah trombosis.
Beberapa keadaan di bawah ini dapat menyebabkan
trombosis otak :
a) Aterosklerosis.
b) Hiperkoagulasi pada polisitemia.
c) Arteritis (radang pada arteri).
d) Emboli.
2. Hemoragi
Perdarahan intrakranial atau intraserebral termasuk
perdarahan dalam ruang subaraknoid atau ke dalam jaringan otak
sendiri. Perdarahan ini dapat terjadi karena aterosklerosis dan
hipertensi. Akibat pecahnya pembuluh darah otak menyebabkan
perembesan darah ke dalam parenkim otak yang dapat
mengakibatkan penekanan, pergeseran dan pemisahan jaringan
otak yang berdekatan, sehingga otak akan membengkak, jaringan
otak tertekan, sehingga terjadi infark otak, edema, dan mungkin
herniasi otak.

Page | 33
3. Hipoksia Umum
Beberapa penyebab yang berhubungan dengan hipoksia
umum adalah :

a) Hipertensi yang parah.


b) Henti jantung-paru.
c) Curah jantung turun akibat aritmia.
4. Hipoksia Setempat
Beberapa penyebab yang berhubungan dengan hipoksia
setempat adalah :
a) Spasme arteri serebral, yang disertai perdarahan subaraknoid.
b) Vasokonstriksi arteri otak disertai sakit kepala migren.

Faktor resiko stroke


Beberapa faktor penyebab stroke antara lain :
1. Hipertensi merupakan faktor resiko utama.
2. Penyakit kardiovaskuler embolisme serebral berasal dari jantung.
3. Kolesterol tinggi.
4. Obesitas.
5. Peningkatan hematokrit meningkatkan resiko infark serebral.
6. Diabetes terkait dengan aterogenesis terakselerasi.
7. Kontrasepsi oral (khususnya dengan hipertensi, merokok, dan
kadar estrogen tinggi).
8. Merokok.
9. Penyalahgunaan obat (khususnya kokain).
10. Konsumsi alcohol.

Page | 34
D. Gambaran Klinis
1. Stroke Iskemik
Mula timbul terjadinya gejala neurologis fokal yang
mendadak dan dramatik adalah tanda khas stroke iskemik. Pasien
mungkin tidak mencari bantuan sendiri karena mereka jarang
merasa sakit dan mungkin kurang menyadari bahwa ada sesuatu
yang salah (anosagnosia). Kebutaan monokuler sementara
(amaurosis fugax) adalah bentuk khas TIA akibat iskemia retina ;
pasien biasanya menggambarkan adanya tirai gelap yang turun dan
menutupi lapang pandangnya. (Horrison,2013).
Tabel 2.1. Lokalisasi Anatomis Pada Stroke

Tanda dan Gejala


Hemisfer Serebri, Aspek Lateral (Arteri Serebri Media)
Hemiparesis
Deficit hemisensorik
Afasia motoric (Broca) – gangguan bicara, dengan kesulitan mengucapkan
kata-kata, sedangkan pemahaman masih baik.
Afasia sentralis (Wernicke) – anomia, pemahaman buruk, mengucapkan
kata-kata karangan sendiri.
Pengabaian unilateral, apraksia.
Hemanopsia homonym atau kuadrantanopia.
Lebih suka memandang dengan mata terdeviasi ke sisi yang sama dengan
lesi.
Hemisfer Serebri, Aspek Medial (Arteri Serebri Anterior)
Kelumpuhan kaki dan tungkai tanpa paresis lengan.
Kehilangan sensorik kortikal pada tungkai.
Refleks menggenggam dan menghisap.
Inkontinensia urine
Apraksia gaya berjalan.

Page | 35
Hemisfer Serebri, Aspek Posterior (Arteri Serebri Posterior)
Hemianopsia homonym.
Kebutaan kortikal.
Deficit memori.
Kehilangan sensasi sensorik dalam, nyeri spontan, disestesia,
koreoatetosis.

Batang Otak, Otak Tengah (Arteri Serebri Posterior)


Kelumpuhan saraf kranialis ketiga dan hemiplegia kontralateral.
Paralisis/paresis gerakan bola mata secara vertical.
Nistagmus konvergensi, disorientasi.
Batang Otak, Sambungan Pontomedular (Arteri Basilaris)
Paralisis fasial.
Paresis abduksi bola mata.
Paresis pandangan terkonjugasi.
Deficit sensorik hemifasial.
Sindroma horner.
Berkurangnya sensasi nyeri dan suhu pada separuh tubuh (dengan atau
tanpa mengenai bagian wajah).
Ataksia.
Batang Otak, Medula Lateral (A. Vertebralis)
Vertigo, nistagmus.
Sindroma horner (miosis, ptosis, kurang berkeringat).
Ataksia, terjatuh ke arah sisi yang sama dengan lesi.
Gangguan sensasi nyeri dan suhu pada separuh tubuh, dengan atau tanpa
mengenai bagian wajah.

2. Sindroma Lakunar (Stroke Pembuluh Darah Kecil)

Page | 36
Yang tersering adalah :
a. Hemiparesis motorik murni pada wajah, lengan dan tungkai
(Kapsula Interna atau Pons).
b. Stroke sensorik murni (bagian ventral talamus).
c. Hemiparesis ataksik (pons atau kapsula interna).
d. Disartria – gerakan tangan yang janggal (pons atau genu dari
kapsula interna).

3. Perdarahan Intrakranial
Pada beberapa kasus terjadi muntah-muntah dan rasa
mengantuk, dan pada sekitar separuh pasien terjadi sakit kepala.
Tanda-tanda dan gejala-gejala sering tidak hanya terbatas pada
satu daerah vaskularisasi saja. Perdarahan akibat hipertensi
biasanya terjadi di lokasi-lokasi berikut ini :
a. Putamen ; hemiparesis kontralateral.
b. Talamus ; hemiparesis dengan deficit sensorik yang jelas.
c. Pons ; kuadriplegia, pupil “pinpoint”, gangguan gerakan bola
mata secara horizontal.
d. Serebelum ; sakit kepala, muntah-muntah, ataksia gaya
berjalan.

Deficit neurologis yang terjadi dengan hebat dalam waktu


5-30 menit menimbulkan kecurigaan kuat akan adanya perdarahan
intraserebral. (Horrison,2013)

E. Patofisiologi Stroke
Infark serebral adalah berkurangnya suplai darah ke area
tertentu di otak. Luasnya infark bergantung pada faktor-faktor seperti
lokasi dan besarnya pembuluh darah dan adekuatnya sirkulasi
kolateral terhadap area yang disuplai oleh pembuluh darah yang

Page | 37
terumbat. Suplai darah ke otak dapat berubah (makin lambat atau
cepat) pada gangguan lokal (trombus, emboli, perdarahan, dan spasme
vaskular) atau karena gangguan umum (hipoksia karena gangguan
paru dan jantung). Aterosklerosis sering sebagai faktor penyebab
infark pada otak. Thrombus dapat berasal dari plak aterosklerotik, atau
darah dapat beku pada area yang stenosis, tempat aliran darah
mengalami pelambatan atau terjadi turbulensi.
Trombus dapat pecah dari dinding pembuluh darah terbawa
sebagai emboli dalam aliran darah. Thrombus mengakibatkan iskemia
jaringan otak yang disuplai oleh pembuluh darah yang bersangkutan
dan edema serta kongesti di sekitar area. Area edema ini menyebabkan
disfungsi yang lebih besar daripada area infark itu sendiri. Edema
dapat berkurang dalam beberapa jam atau kadang-kadang sesudah
beberapa hari. Dengan berkurangnya edema klien mulai menunjukkan
perbaikan. Oleh karena trombosis biasanya tidak fatal, jika tidak
terjadi perdarahan massif. Oklusi pada pembuluh darah serebral oleh
embolus menyebabkan edema dan nekrosis diikuti trombosis. Jika
terjadi septik infeksi akan meluas pada dinding pembuluh darah maka
akan terjadi abses atau ensefalitis, atau jika sisa infeksi berada pada
pembuluh darah yang tersumbat menyebabkan dilatasi aneurisma
pembuluh darah. Hal ini akan menyebabkan perdarahan serebral, jika
aneurisma pecah atau ruptur.
Perdarahan pada otak disebabkan oleh ruptur ateriosklerotik
dan hipertensi pembuluh darah. Perdarahan intraserebral yang sangat
luas akan lebih sering menyebabkan kematian dibandingkan
keseluruhan penyakit serebrovaskular, karena perdarahan yang luas
terjadi destruksi massa otak, peningkatan tekanan intrakranial dan
yang lebih berat dapat menyebabkan herniasi otak pada fisik serebri
atau lewat foramen magnum.

Page | 38
Kematian dapat disebabkan oleh kompresi batang otak,
hemisfer otak, dan perdarahan batang otak sekunder atau ekstensi
perdarahan ke batang otak. Perembesan darah ke ventrikel otak terjadi
pada sepertiga kasus perdarahan otak di nucleus kaudatus, talamus,
dan pons.
Jika sirkulasi serebral terhambat, dapat berkembang anoreksia
serebral. Perubahan yang disebabkan oleh anoreksia serebral dapat
reversible untuk waktu 4-6 menit. Perubahan ireversibel jika anoreksia
lebih dari 10 menit. Anoreksia serebral dapat terjadi oleh karena
gangguan yang bervariasi salah satunya henti jantung.
Selain kerusakan parenkim otak, akibat volume perdarahan
yang leratif banyak akan mengakibatkan peningkatan tekanan
intrakranial dan penurunan tekanan perfusi otak serta gangguan
drainase otak. Elemen-elemen vasoaktif darah yang keluar dan
kaskade iskemik akibat menurunnya tekanan perfusi, menyebabkan
saraf di area yang terkena darah dan sekitarnya tertekan lagi.
(Muttaqin, Arif 2008)

Page | 39
F. Pathway Stroke

Faktor-faktor resiko Stroke

Aterosklerosis, Katub jantung rusak, Aneurisma,


hiperkoagulasi, miokard infark, fibrilasi, malformasi,
artesis endocarditis. arteriovenous

Trombosis Serebral Penyumbatan pembuluh darah otak Perdarahan Intraserebral


oleh bekuan darah, lemak dan udara.

Penyumbatan pembuluh darah otak


oleh bekuan darah, lemak dan udara.

Pembuluh darah oklusi Perembesan darah ke dalam


Emboli Serebral parenkim otak
Iskemik jaringan otak
Penekanan jaringan otak
Edema dan kongesti jaringan Stroke
sekitar (Cerebra Vaskular Accident) Infark otak, edema, dan herniasi
otak

Defisit Neurologi

Kerusakan terjadi
pada lobus frontal Disfungsi
Kehilangan 1. Resiko
Infark Serebral kapasitas, memori, bahasa dan
kontrol volunter Peningkatan TIK
atau fungsi, komunikasi
intelektual kortikal

Herniasi falk
serebri dank e
2. Penurunan Kerusakan fungsi Disartria,
Hemiplegi dan foramen magnum
perfusi jaringan kognitif dan efek disfasia/afasia,
hemiparesis
serebral Kompresi batang psikologis apraksis
otak

Page | 40
Herniasi falk Lapang perhatian
serebri dank e terbatas, kesulitan 9. Kerusakan
4. Kerusakan foramen magnum dalam komunikasi
mobilitas fisik pemahaman, lupa
Kompresi batang verbal
dan kurang
otak
motivasi, frustasi,
labilitas
emosional,
bermusuhan,
Depresi syaraf dendam dan
Koma kardiovaskuler kurang kerjasama
dan pernafasan. penurunan gairah
seksual

Kegagalan 10. Kopling


Intake nutrisi Kelemahan kardiovaskuler individu tidak
tidak adekuat fisik umum dan pernafasan efektif.

11. Perubahan
proses berfikir.
5. Perubahan Kelemahan
Kematian
pemenuhan nutrisi fisik umum 12. Penurunan
gairah seksual.

13. Resiko
Penurunan Disfungsi 14. Gangguan Psikologis ketidakpatuhan
tingkat persepsi visual terhadap
15. PerubahanPeran penatalaksanaa
kesadaran spasial dan Keluarga n
kehilangan
sensori 16. Kecemasan Klien
dan Keluarga.
Kemampuan batuk
8. Resiko Disfungsi kandung
9. 17. Resiko Penurunan menurun, kurang
Trauma kemih dan saluran
Perubahan Pelaksanaan Ibadah mobilitas fisik dan
(Cedera) pencernaan
Persepsi produksi secret
Sensorik
6. Resiko Tinggi 3. Resiko 7. Gangguan
Penekanan jaringan Kerusakan Integritas Ketidakbersihan Eliminasi Uri dan
setempat Kulit Jalan Napas Alvi

Page | 41
G. Pemeriksaan Stroke
1. Pemeriksaan Radiologis pada stroke
a. CT scan
Pada kasus stroke, CT scan dapat membedakan stroke infark
dan stroke hemoragik. Pemeriksaan CT scan kepala merupakan
gold standar untuk menegakan diagnosis stroke.
b. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
Secara umum pemeriksaan Magnetic Resonance Imaging
(MRI) lebih sensitive dibandingkan CT scan. MRI mempunyai
kelebihan mampu melihat adanya iskemik pada jaringan otak
dalam waktu 2-3 jam setelah onset stroke non hemoragik. MRI
juga digunakan pada kelainan medulla spinalis. Kelemahan alat
ini adalah tidak dapat mendeteksi adanya emboli paru, udara
bebas dalam peritoneum dan fraktur. Kelemahan lainnya
adalah tidak bisa memeriksa pasien yang menggunakan protese
logam dalam tubuhnya, preosedur pemeriksaan yang lebih
rumit dan lebih lama, serta harga pemeriksaan yang lebih
mahal. (Muttaqin, Arif. 2008)
2. Pemeriksaan Laboratorium
Pada pasien yang diduga mengalami stroke perlu dilakukan
pemeriksaan laboratorium. Parameter yang diperiksa meliputi
kadar glukosa darah, elektrolit, analisa gas darah, hematologi
lengkap, kadar ureum, kreatinin, enzim jantung, prothrombin time
(PT) dan activated partial thromboplastin time (aPTT).
Pemeriksaan kadar glukosa darah untuk mendeteksi hipoglikemi
maupun hiperglikemi, karena pada kedua keadaan ini dapat
dijumpai gejala neurologis. Pemeriksaan elektrolit ditujukan untuk
mendeteksi adanya gangguan elektrolit baik untuk natrium,
kalium, kalsium, fosfat maupun magnesium. (Muttaqin, Arif.
2008).

Page | 42
c. Penatalaksanaan Stroke
Stroke perlu dibedakan dari penyakit lain yang mirip, seperti
kejang, migren, tumor, dan ketidakseimbangan metabolik. Setelah
stabilisasi dini, diperlukan pemeriksaan CT Scan kepala tanpa kontras
secara darurat untuk membedakan stroke iskemik dengan stroke
perdarahan. Pada stroke iskemik luas, abnormalitas CT biasanya
tampak jelas dalam waktu beberapa jam pertama, tetapi infark-infark
kecil mungkin sulit dilihat dengan menggunakan CT Scan. CT atau
MRI dengan angiografi (CTA/MRA) dan perfusi dapat membantu
memperlihatkan adanya okulasi pembuluh darah dan jaringan yang
beresiko mengalami infark. MRI yang dilengkapi dengan difusi
mempunyai sensitivitas yang tinggi untuk mengidentifikasi stroke
iskemik bahkan dalam waktu beberapa menit sejak mula timbulnya.
(Horrison, 2013).
1. Stroke Iskemik Akut
Perawatan pasien di pusat stroke komprehensif diikuti dengan
layanan rehabilitasi memperbaiki hasil akan neurologis dan
mengurangi mortalitas. Terapi yang dirancang untuk memulihkan
atau mengurangi infark jaringan mencakup :
a. Dukungan Medis
Tujuan utamanya adalah untuk mengoptimalkan perfusi di
daerah penumbra iskemik yang mengelilingi infark. Jangan
pernah menurunkan tekanan darah secara mendadak (karena
mengeksaserbasi iskemia yang sudah ada), dan menurunkan
tekanan darah secara bertahap hanya boleh dilakukan dalam
situasi yang paling ekstrim saja (misalnya pada hipertensi
maligna dengan tekanan darah > 220/120 mmHg, atau
direncanakan untuk melakukan trombolisis, tekanan darah >
185/110 mmHg). Volume intravascular sebaiknya
dipertahankan dengan pemberian cairan isotonic karena

Page | 43
pembatasan cairan jarang bisa membantu. Untuk mengurangi
edema pada infark-infark besar, mungkin diperlukan
pemberian terapi osmotic dengan menggunakan manitol, tetapi
volume cairan isotonic harus dikembalikan untuk menghindari
hipovolemia. Pada infark (atau perdarahan) serebelum,
keadaan pasien dapat memburuk dengan cepat akibat kompresi
pada batang otak dan hidrosefalus, sehingga memerlukan
intervensi bedah.
b. Teknik Trombolisis dan Endovaskular
Pada pasien yang mengalami deficit iskemik yang berlangsung
kurang dari < 3 jam, mungkin mendapatkan manfaat dari terapi
trombolitik dengan pemberian aktivator plasminogen jaringan
rekombinan IV. Stroke iskemik akibat oklusi pembuluh darah
besar intrakranial menyebabkan angka morbiditas dan
mortalitas yang tinggi; penderita yang mengalami oklusi
semacam ini mungkin mendapatkan manfaat dari trombolisis
intra-arterial (yang berlangsung selama < 6 jam) atau
embolektomi (yang berlangsung selama < 8 jam) yang
diberikan pada waktu dilakukannya angiogram serebri darurat
di pusat pelayanan khusus. Hanya sejumlah kecil pasien stroke
yang memeriksakan dirinya cukup dini untuk bisa
mendapatkan terapi dengan teknik-teknik ini.

Page | 44
Tabel 2.2. Pemberian Aktivator Plasminogen Jaringan Rekombinan (Recombinat Tissue
Plasminogen Activator/RTPA) Intravena Untuk Stroke Iskemik Akut
Indikasi Kontraindikasi
a. Diagnosis stroke secara klinis mula timbul a. Tekanan darah tetap > 185/110 mmHg meskipun
gejala sehingga waktu pemberian obat < 3 telah diterapi
jam b. Trombosit < 100.000; HCT < 25%; glukosa < 50
b. CT Scan tidak memperrlihatkan adanya atau > 400 mg/dL
perdarahan atau edema pada > 1/3 dari c. Gunakan heparin dalam waktu 48 jam dan PTT
wilayah MCA yang memanjang, atau INR yang meningkat.
c. Usia > 18 tahun d. Gejala yang membaik dengan cepat.
d. Disetujui oleh penderita atau wali pasien e. Stroke atau cedera kepala yang terjadi dalam
waktu 3 bulan sebelumnya; perdarahan
intrakranial sebelumnya.
f. Baru menjalani operasi besar dalam waktu 14 hari
sebelumnya.
g. Gejala-gejala stroke minor.
h. Perdarahan saluran gastrointestinal dalam waktu
21 hari sebelumnya.
i. Baru mengalami infark miokard.
Pemberian rtPA :
a. Akses IV dengan dua jalur infus perifer (hindari pemasangan infus arteri atau infus vena sentral).
b. Tinjau kembali kesesuaian rtPA.
c. Berikan rtPA sebanyak 0,9 mg/kg secara IV (maksimal 90 mg) sebesar 10% dari dosis total
secara bolus, diikuti dengan sisa dosis total dalam waktu 1 jam.
d. Sering-seringlah melakukan monitoring tekanan darah dengan manset.
e. Tidak diberikan terapi antitrombotik lainnya selama 24 jam.
f. Jika terjadi penurunan status neurologis atau tekanan darah yang tidak terkendali, hentikan infus,
berikan kriopresipitat, dan segera ulangi pemeriksaan pencitraan otak.
g. Hindari pemasangan kateter urine selama > 2 jam.

Page | 45
c. Obat Antiplatelet
Aspirin (sampai dosis 325 mg/hari) aman untuk diberikan dan
mempunyai manfaat kecil tetapi pasti pada stroke akut.
d. Terapi Dengan Antikoagulan
Percobaan tidak mendukung penggunaan heparin atau
antikoagulan lainnya untuk penderita yang menderita stroke
akut, meskipun beberapa dokter masih tetap menggunakan
terapi ini untuk keadaan-keadaan khusus, seperti TIA yang
terjadi pada fibrilasi atrial.
e. Neuroproteksi
Hipotermia efektif untuk koma yang terjadi setelah henti
jantung tetapi penggunaannya untuk pasien stroke belum
cukup banyak diteliti. Obat neuroproteksi lainnya tidak
memperlihatkan adanya manfaat dalam percobaan pada
manusia meskipun terdapat data yang menjanjikan pada
percobaan pada hewan. (Horrison,2013)
2. Perdarahan Intraserebral Akut
CT Scan kepala tanpa kontras dapt menegakkan diagnosis. Segera
temukan dan koreksi koagulopati yang ada. Hampir 50% dari
pasien yang mengalami perdarahan intraserebral akut meninggal
dunia; prognosis ditentukan oleh volume dan lokasi hematoma.
Pasien-pasien yang stupor atau koma umumnya diberi terapi
empiris untuk peningkatan ICP. Sebaiknya dilakukan konsultasi
kepada ahli bedah sarafuntuk mengetahui apakah dapat dilakukan
evakuasi untuk menghilangkan hematoma serebelar yang ada; di
lokasi lainnya, data yang ada tidak mendukung dilakukannya
intervensi bedah. Mungkin diperlukan terapi untuk edema dan efek
massa dengan menggunakan obat-obat osmotik; glukokortikoid
tidak banyak membantu. (Horrison,2013).

Page | 46
ALGORITMA UNTUK PENATALAKSANAAN STROKE DAN TIA

Stroke dan TIA

ABC, glukosa

Stroke Lakukan Lakukan


Iskemik/TIA, 85% Pencitraan Otak Pencitraan Otak

Pertimbangkan Pertimbangkan untuk


trombolisis/Trombektomi menurunkan tekanan darah

Tentukan penyebabnya Tentukan penyebabnya

Fibrilasi Penyakit Lain-lain SAH akibat ICH Lain-lain


Atrial, 17% Karotis, 4% 64% aneurisma 4% hipertensif 7% 4%

Pertimbang- Obati
Pertimbang
kan CEA Obati Pertimbang- penyebab
-kan Pemasangan
atau penyebab kan tindakan yang
pemberian klip atau koil
pemasangan khususnya bedah mendasari-
warfarin
stent nya

Profilaksis trombosis vena dalam

Terapi fisik, okupasi, bicara

Evaluasi untuk merencanakan rehabilitasi dan pemulangan penderita

Pencegahan sekunder berdasarkan penyakitnya

Page | 47
Gambar 2.1. Penatalaksanaan medis untuk stroke dan TIA. Kotak-kotak bersudut
tumpul adalah diagnosis; kotak segi empat adalah intervensi. Angka-angka adalah
presentase stroke secara keseluruhan. Singkatan; TIA = Serangan Iskemik Sementara;
ABC (Airway, Breathing, Circulation) = jalan napas, pernapasan, sirkulasi; CEA
(Carotid Endarterectomy) = endarterektomi karotis; SAH (Subarachnoid
Hemorrhage) = perdarahan subaraknoid; ICH (Intracerebral Hemorrhage) =
Perdarahan Intraserebral.

Page | 48

Anda mungkin juga menyukai