Anda di halaman 1dari 62

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang.
Pendidikan merupakan suatu proses yang sangat kompleks dengan tujuan
akhir terjadi perubahan perilaku pada diri seseorang, dalam pendidikan
keperawatan membutuhkan proses belajar yang dapat merubah perilaku
dalam dunia pendidikan keperawatan, sebagaimana hakekatnya pendidikan
keperawatan merupakan bagian dari pendidikan nasional yang mana pola
pendidikan terdiri dari dua aspek yakni pendidikan akademik dan pendidikan
profesi. Mahasiswa yang menempuh pendidikan keperawatan pada tahap
akademik akan mendapatkan teori dan konsep. Mahasiswa yang menempuh
pendidikan keperawatan pada tahap profesi akan mengaplikasikan teori dan
konsep yang telah didapat selama tahap akademik yang bertujuan untuk
memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk menerapkan ilmu yang
telah dipelajari selama tahap akademik ke dalam tahap profesi (Alimul AA,
2002)
Mahasiswa keperawatan didorong untuk mempersiapkan diri sebelum
lulus dari pendidikan keperawatan dan bekerja di praktik klinik. Hal-hal yang
tidak didapatkan oleh mahasiswa keperawatan di pembelajaran akademik,
akan di dapatkan pada saat pembelajaran klinik. Selama pembelajaran klinik
mahasiswa keperawatan menjadi rentan, karena mahasiswa keperawatan pada
masa ini di tuntut untuk belajar memberikan tindakan keperawatan secara
langsung kepada pasien, sekaligus merasa peduli akan reaksi yang diberikan
oleh staff keperawatan kepada usaha yang telah mereka lakukan (Chan,
2003). Yang dihadapi mahasiswa ketika berada dilingkungan pembelajaran
klinik, menggambarkan adanya kompleksitas dalam proses pembelajaran
yang jauh dari prediksi dan kontrol pengajar akademik (Papp et al., 2003, Ip
and Kit Chan, 2005, Chan, 2002, Chan, 2003). Kualitas pembelajaran klinis
yang didapatkan oleh mahasiswa selama mengikuti proses pembelajaran

1
mempengaruhi kualitas lulusan pendidikan keperawatan (Reghuram R &
Caroline P, 2014).
Lingkungan pembelajaran klinik yang kondusif sangat diperlukkan.
Karena suasana yang mendukung mahasiswa untuk belajar, mengenali
kesalahan yang dilakukan, memberikan dukungan moril secara penuh,
sebagai bagian dari proses pembelajaran (Warne et al., 2010). Demi
terciptanya pembelajaran klinik yang efektif, kesenjangan antara
pendidikan akademik dan klinik harus selaras. Tuntutan hubungan yang
selaras ini diinterprestasikan dalam pengelolaan praktik pembelajran klinik
sebagi dasar perencanaan dan evaluasi pengalaman belajar klinik (Chan,
2003). Namun, hubungan antara mahasiswa keperawatan dengan lingkungan
klinik juga dinilai sangat penting demi membangun lingkungan belajar yang
positif (Chan, 2003, Sellek, 1982).
Evaluasi tentang lingkungan pembelajaran praktik klinik berdasarkan
persepsi mahasiswa keperawatan belum pernah di lakukan di Indonesia.
Untuk menciptakan suatu lingkungan pembelajaran yang lebih kondusif di
pembelajaran klinik dengan harapan dapat mempersiapkan mahasiswa
sebagai perawat professional yang memiliki sikap, keahlian, dan nilai sebagai
perawat professional dapat tercapai dengan baik. Proses pembelajaran klinik
harus dilakukan oleh pembimbing klinik atau preseptor yang memiliki
kapasitas dan kompetensi yang baik. Kompetensi mengajar dan skill klinik
seorang preseptor mempengaruhi perkembangan profesionalisme mahasiswa
yang dibimbingnya (Spouse 2001: Zelembo & Monteroso 2008 dalam
Mingpun, Sirisa-Ard & Jumapool,2015)

2
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana konsep pendidikan ners?
2. Bagaimana konsep pembelajaran klinik?
3. Bagaimana konsep evaluasi praktik klinik?
4. Bagaimana konsep preceptor?
5. Bagaimana analisis output pendidikan profesi Ners berdasarkan evidence
based?

C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui output pendidikan profesi Ners
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui konsep pendidikan Ners
b. Untuk mengetahui konsep pembelajaran klinik
c. Untuk mengetahui konsep evaluasi praktik klinik
d. Untuk mengetahui konsep preceptor
e. Untuk mengetahui analisis output pendidikan profesi Ners
berdasarkan evidence based?

3
BAB 2
TINJAUAN TEORI

A. Konsep Pendidikan Profesi Ners


1. Definisi Pendidikan Profesi Ners
Pendidikan Ners merupakan tingkatan pendidikan yang bertujuan
menghasilkan profesi perawat yang profesional. Proses pendidikan
dilaksanakan melalui 2 tahap yaitu tahap akademik dan tahap Profesi
Ners, di mana pada tahap profesi merupakan proses transformasi
mahasiswa untuk menjadi perawat profesional (Nursalam & Ferry
Efendi, 2008).
Profesi adalah suatu pekerjaan yang membutuhkan badan ilmu
sebagai dasar pengembangan teori pendidikan dan pelatihan yang
cukup lama, serta memiliki kode etik dengan fokus utama pada
pelayanan (Reilly & Oermann, 2002).
Ciri-ciri profesi menurut Reilly & Oermann (2002) adalah :
a. Didukung oleh badan ilmu yang sesuai dengan bidangnya, jelas
wilayah kerja keilmuan danaplikasinya.
b. Profesi diperoleh melalui pendidikan dan pelatihan yang terencana,
terus menerus dan bertahap.
c. Pekerja profesi diatur oleh kode etik profesi serta diakui secara
legal melalui perundang-undangan.
d. Peraturan dan ketentuan yang mengatur hidup dan kehidupan
profesi (standar pendidikan dan pelatihan, standar pelayanan dan
kode etik) serta pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan-
peraturan tersebut dilakukan sendiri oleh warga profesi.
Tahap profesi ners merupakan lanjutan program akademik melalui
pembelajaran klinik yang menuntut lulusannya memiliki karakterisik
esensial profesi meliputi 5 aspek berikut (Erniyati, 2010) :
a. Penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi keperawatan
b. Kemampuan dalam menyelesaikan masalah secara alamiah

4
c. Sikap dan tingkah laku profesional
d. Belajar aktif dan mandiri
e. Pendidikan berada di masyarakat
2. Manfaat pendidikan Ners
Pendidikan keperawatan sangat berperan dalam meningkatkan
keterampilan penalaran klinis mahasiswa. Keterampilan penalaran
klinis juga merupakan salah satu outcome pembelajaran (Forsberg et
al., 2011). Peserta didik membutuhkan pengalaman belajar dalam
meningkatkan keterampilan penalaran klinis yang efektif agar mampu
mengumpulkan data, memecahkan masalah, membuat keputusan, dan
memberikan layanan berkualitas (Kautz et al., 2005). Pembelajaran
keterampilan penalaran klinis menjadi tantangan tersendiri bagi
pengajar karena terbatasnya metode pembelajaran penalaran klinis
yang tersedia (Bland et al., 2009).
3. Tujuan pendidikan Ners
Tujuan pendidikan Ners adalah menciptakan lulusan yang
mempunyai pengetahuan, ketrampilan, dan sikap keperawatan
profesional yang mampu:
a. Melaksanakan profesi keperawatan secaraakuntabel dalam suatu
sistem pelayanan keehatan sesuai kebijaksanaan umum pemerintah
yang berlandasakan Pancasila, khususnya pelayanan atau asuhan
keperawatan dasar hingga tingkat kerumitan tertentu secara
mandiri kepada individu, keluarga dan komunitas
b. Mengelola pelayanan keperawatan profesional tingkat dasar secara
bertanggung jawab dan menunjukkan sikap kepemimpinan
c. Mengelola kegiatan penelitian keperawatan dasar dan terapan yang
sederhana dan menggunakan hasil penelitian serta perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) untuk meningkatkan
mutu dan jangkauan pelayanan/asuhan keperawatan

5
d. Berperan serta secara aktif dalam mendidik dan melatih calon
perawat dan tenaga keperawatan, serta turut berperan dalam
berbagai program pendidikan tenaga keehatan lain
e. Mengembangkan diri secara terus menerus untuk meningkatkan
kemampuan profesional
f. Memelihara dan mengembangkan kepribadian serta sikap yang
sesuai dengan etika keperawatan dalam melaksanakan profesinya
g. Berfungsi ebagai anggota masyarakat yang kreatif, produktif,
terbuka untuk menerima perubahan, dan berorientasi pada masa
depan
4. Tempat pembelajaran pendidikan ners
Program pendidikan profesi ners disebut juga program
pembelajaran klinik di mana lahan praktik yang digunakan antara lain
Rumah Sakit, dan lembaga kesehatan umum seperti Puskesmas, Klinik
Bersalin, Panti Werdha dan Komunitas (Reilly dan Oermann, 2002).
Pendidikan profesi hanya dapat di lakukan di lingkungan yang nyata
melalui penumbuhan dan pembinaan keterampilan intelektual, teknikal
dan interpersonal.
Komponen yang harus ada pada tatanan tempat praktik adalah
(Nursalam & Ferry Efendi, 2008):
a. Kesempatan kontak dengan klien
b. Tujuan praktik
c. Bimbingan yang kompeten
d. Praktik keterampilan
e. Dorongan untuk berpikir kritis
f. Kesempatan mentransfer pengetahuan
g. Kesempatan dalam mengintegrasikan pengetahuan
h. Penggunaan konsep tim
Kriteria pemilihan lingkungan praktik klinik menurut Hawkins
(1981) dalam Reilly dan Oermann (2002) dibagi menjadi 4 area:
a. Keseluruhan : lingkungan dan staf pengajar

6
b. Klien atau pasien
c. Staf karyawan
d. Sarana dan prasarana untuk peserta didik dan staf pengajar.

B. Konsep Pembelajaran Klinik


a. Definisi pembelajaran klinik
Pembelajaran klinik yang efektif merupakan salah satu cara
meningkatkan pencapaian kompetensi dan outcome pembelajaran bagi
mahasiswa calon perawat. Pembelajaran klinik di rumah sakit
merupakan lingkungan yang ideal untuk pembelajaran peserta didik.
Program pendidikan profesi disebut juga sebagai proses pembelajaran
klinik. Istilah ini muncul terkait dengan pelaksanaan pendidikan
profesi yang sepenuhnya dilaksanakan di lahan praktik seperti rumah
sakit, puskesmas, klinik bersalin, panti wredha, dan keluarga serta
masyarakat atau komunitas. Pembelajaran klinik dalam keperawatan
merupakan wahana yang memberikan kesempatan kepada mahasiswa
untuk menerjemahkan pengetahuan teoretis ke dalam pembelajaran
(Layuk, Y. T., Harjanto, T., & Hapsari, E. D., 2017).
Keliat (2000) menyatakan bahwa pembelajaran klinik adalah
kegiatan belajar mengajar yang dilakukan pada tatanan pelayanan
kesehatan di Rumah Sakit. Kegiatan pembelajaran klinik sangat
penting bagi mahasiswa. Pembelajaran klinik merupakan jantung dari
proses pendidikan. Pengalaman belajar klinik atau lapangan pada
pendidikan mutlak diperlukan untuk menumbuhkan dan membina
kemampuan dan sikap professional. Program Pengalaman Balajar
Klinik (PBK) merupakan suatu proses transformasi mahasiswa yang
akan menjadi seorang yang professional.
Praktek klinik keperawatan merupakan bagian kurikulum yang
tidak dapat dipisahkan dari teori, dimana seorang mahasiswa
keperawatan mengaplikasikan konsep keperawatan secara profesional.
Keberhasilan mahasiswa dalam pengalaman praktek klinik dipengaruhi

7
oleh beberapa faktor antara lain pembimbing klinik, metode yang
digunakan dalam bimbingan klinik, kelengkapan sarana, serta
kerjasama klien dan keluarga (Azizah, L. K., & Ropyanto, C. B.,
2012).
b. Tujuan Pembelajaran Klinik
1) Memahami, menguji dan menggunakan berbagai konsep utama
dari program teoritis untuk diterapkan pada pendidikan klinik.
2) Mengembangkan ketrampilan baik secara teknis, intelektual
maupun interpersonal sebagai persiapan untuk memberikan
asuhan keperawatan pada klien.
3) Mengembangkan wawasan melalui latihan praktik yang memiliki
tujuan untuk menerapkan ilmu-ilmu dasar ke dalam praktik
keperawatan.
4) Dapat menggunakan keterampilan pemecahan masalah dalam
proses keperawatan, mulai dari pegkajian, penentuan masalah,
perencanaan, tindakan dan evaluasi
(Nursalam & Ferry Efendi, 2008)
c. Masalah pembelajaran klinik
1) Lebih dari 80% pembimbing klinik berpendidikan sarjana dan
kurang memiliki pengalaman klinik, 63% perbandingan dosen dan
mahasiswa lebih dari 1: 30, serta tidak didukung oleh wahana
klinik dan pembelajaran yang memadai (Dirjendikti, 2011).
2) Wahana klinik serta pembimbing klinik jumlahnya tidak sebanding
dengan jumlah mahasiswa yang melakukan pembelajaran klinik.
Pembimbing klinik yang ada selama ini masih memiliki tanggung
jawab terhadap pengelolaan pasien, yang menjadikan pembimbing
klinik memiliki peran ganda, sebagai pembimbing mahasiswa dan
juga sebagai care giver bagi pasien yang dikelolanya (Minardo, J.,
& Wakhid, A., 2018).
3) Pembimbing klinik mengaku masih rendah koordinasi antara
pembimbing klinik dengan institusi pendidikan, kurangnya

8
penguasaan tentang materi pembelajaran, terbatasnya kemampuan
dan kompetensi klinik, kurangnya kemampuan mengelola
pembelajaran, dan kurangnya jumlah pembimbing (Minardo, J., &
Wakhid, A., 2018).
d. Metode pembelajaran klinik
Metode pembelajaran klinik adalah suatu metode yang sesuai
dengan kerangka konsep pembelajaran, digunakan untuk mendidik
peserta didik di klinik yang memungkinkan pendidik untuk dapat
diterapkan kepada peserta didik sesuai dengan kualifikasi dan
karakteristiknya (Nursalam & Ferry Efendi, 2008). Menurut Schweek
and Gebbie praktik klinik merupakan “the heart of the total curriculum
plan”. Pendapat ini menunjukkan bahwa unsur utama dalam
pendidikan keperawatan adalah bagaimana proses pembelajaran di
klinik itu dilakukan. Proses pembelajaran dipengaruhi oleh peserta
didik dan pendidik (Nurhidayah, 2011).
Preseptor klinik bertanggung jawab menentukan metode
pembelajaran di klinik untuk mendukung tujuan tersebut. Beberapa
metode klinik yang biasa digunakan adalah (Reilly dan Oermann,
2002, dan Nursalam & Ferry Efendi, 2008) :
1) Metode Experential
Metode ini merupakan metode yang memberikan penugasan
untuk membuat catatan dan laporan secara tertulis, dilahan praktek.
Metode pengajaran ini memberikan pengalaman langsung dari
kejadian. Metode ini didasarkan pada konsep pembelajaran
fenomenologik. Metode ini menyediakan interaksi antara
mahasiswa dengan lingkungan yang menjadi tempat mahasiswa
menperoleh makna pribadi (Reilly dan Oermann, 2002).
Metode ini meliputi penugasan klinik, penugasan tertulis,
simulasi dan permainan. Contoh penugasan tertulis: menulis
rencana keperawatan, studi kasus, perencanaan pendidikan
kesehatan, proses pencatatan, membuat laporan kunjungan,

9
pembuatan makalah dan catatan kerja peserta didik tentang hasil
observasi di lapangan serta pengalaman prakteknya. Contoh
simulasi dan permainan yaitu menggunakan model boneka dalam
melakukan keterampilan misalnya pemeriksaan payudara,
kateterisasi urine, pemberian injeksi.
Metode ini mempunyai kelebihan dan kelemahan. Beberapa
kelebihan metode experiential adalah sebagai berikut (Nursalam &
Ferry Efendi, 2008) :
a) Perawat menjadi kompeten dalam tugas.
b) Ketercapaian proses keperawatan meningkat.
c) Mengimplementasikan model praktik professional.
Beberapa kelemahan metodeexperiential adalah sebagai
berikut:
a) Mahasiswa hanya melihat tugas asuhan keperawatan sebegai
keterampilan semata saja.
b) Mahasiswa yang belum terampil memerlukan waktu yang
banyak untuk pembelajaran.
c) Apabila pekerjaan selesai, mahasiswa akan meninggalkan klien
dan melakukan tugas yang lain
2) Metode Pemecahan Masalah
Metode pemecahan masalah membantu mahasiswa dalam
menganalisa situasi klinis yang bertujuan untuk menjelaskan
masalah yang akan diselesaikan, memutuskan tindakan yang akan
diambil, menerapkan pengetahuan untuk memecahkan suatu
masalah klinis, memperjelas keyakinan dan nilai seseorang.
Metode pemecahan masalah mempunyai kelebihan dan kelemahan.
Beberapa kelebihan metode pemecahan masalah adalah
sebagai berikut (Reilly dan Oermann, 2002):
a) Mahasiswa berpotensi mengembangkan kemampuan berpikir
kritisnya dalam memecahkan masalah.

10
b) Mahasiswa diharuskan dapat menguasai materi pembelajaran
agar dapat memberikansolusi yang tepat untuk masalah klien.
c) Mahasiswa dapat menerapkan asuhan keperawatan yang tepat.
Beberapa kelemahan metode pemecahan masalah adalah
sebagai berikut:
a) Dosen/preseptorharus memberikan perhatian yang maksimal
kepada mahasiswa.
b) Mahasiswa yang tidak menguasai materi akan mengalami
kesulitan dalam pengambilan keputusan.
3) Metode Konferensi
Metode konferensi merupakan bentuk diskusi kelompok
mengenai beberapa aspek praktis klinis. Mahasiswa dapat
berbicara saat proses pemecahan masalah dan menerima
feedbacklangsung dari rekannya dan dosennya. Metode konferensi
terdiri dari pra klinik (pre conference) dan pasca klinik (post
conference) (Nursalam & Ferry Efendi, 2008).
Metode konferensi mempunyai kelebihan dan kelemahan.
Beberapa kelebihan metode konferensi adalah sebagai berikut
(Reilly dan Oermann, 2002):
a) Membuka ruang antar dosen dan mahasiswa untuk saling
berinteraksi satu sama lain.
b) Memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk
menunjukkan kemampuannya dalam mengeksplorasikan ide
serta meningkatkan rasa percayadiri mahasiswa.
c) Kegiatan saling menilai rekan satu sama lain atas kinerja
masing-masing memberikan peluangdanpengalaman tersendiri
bagi peserta didik.

11
Beberapa kelemahan metode konferensi adalah (Reilly dan
Oermann, 2002):
a) Dosen/presptor dengan beban kerja dan kesibukan yang tinggi
akan mengalami hambatan terutama dalam mengatur waktu
untuk mnerapkan metode ini.
b) Terbatasnya waktu kegiatan yang diimplementasikan
mengurangi kepuasan mahasiswa terhadap beberapa hal dari
pembelajaranyang belum tercapai.
c) Kegiatan ini menjadi stressor tersendiri bagi mahasiswa ketika
mereka belum mempersiapkan segala sesuatunya secara
maksimal
4) Metode Observasi
Metode observasi merupakan bentuk pembelajaran yang
memberikan penugasan kepada mahasiswa melalui kegiatan
observasi yang bertujuan untuk menambah pengalaman mahasiswa
terhadap sesuatu fenomena yang nyata dengan mengembangkan
perilaku baru yang akan di jadikanpembelajarandimasa mendatang.
Metode ini meliputi:
a) Observasi lapangan: dilakukan untuk memperoleh pengalaman
serta memberikan perspektif kepada mahasiswa di masa
mendatang mengenaiasuhan keperawatan,mengobservasi
situasi klinik serta perilaku orang lain selama di lingkungan
klinik.
b) Field trip dilakukan diluar lingkungan praktek dengan
mengkaji dan menggali pengalaman yanglain yang tidak di
dapatkan di lahan praktik sebelumnya.
c) Ronde keperawatan: merupakan suatu metode observasi yang
dilakukan secara langsung dengan mengkaji asuhan
keperawatan dan informasi dari klien dan berdiskusi dengan
klien, hasil observasi terhadap klien didiskusikan diluar
lingkungan klien

12
Metode ini mempunyai kelebihan dan kelemahan. Beberapa
kelebihan metode observasi adalah sebagai berikut (Reilly dan
Oermann, 2002) :
a) Memberikan pengalaman kepada mahasiswa tentang beragam
permasalahan yang ada di klinik.
b) Memberikan perhatian kepada mahasiswa untuk lebih fokus
kepada objek observasinya
c) Mahasiswa dapat mengobservasi dan berinteraksi secara
langsung kepada klien.
Beberapa kelemahan metode observasi adalah sebagai (Reilly
dan Oermann, 2002) :
a) Klien dan keluarga merasa kurang nyaman jika privasinya
terganggu.
b) Komunikasi yang tidak efektif akan mempengaruhi informasi
yang didapatkan.
5) Metode Multimedia
Media memberikan pembelajaran yang multisensorik. Pada
umumnya, semakin banyak indera yang digunakan maka pesan
yang disampaikan lebih dikonseptualkan. Metode pembelajaran
visual memberikan peningkatan pemahaman secara visual
mahasiswa dalam pemecahan masalah, metode secara auditori
mengoptimalkan pendengaran mahasiswa untuk memusatkan
perhatian, metode psikomotor meningkatkan keterampilan
peragaan yang dilakukan oleh mahasiswa.
Metode multimedia mempunyai kelebihan dan kelemahan.
Beberapa kelebihan metode multimedia adalah sebagai berikut
(Reilly dan Oermann, 2002).
a) Meningkatkan keterampilan mahasiswa dalam pemecahan
masalah, mengambil keputusan dan berpikir kritis.
b) Mendorong mahasiswa untuk mengevaluasi tindakan sendiri.

13
c) Membantu mahasiswa untuk menerapkan konsep keperawatan
yang nyata di klinik.
Beberapa kelemahan metode multimedia adalah sebagai
berikut:
a) Fasilitas yang tidak lengkap akan menghambat pengajaran.
b) Dosen/preseptor yang kurang menggunakan variasi media akan
membuat mahasiswa kurang memahami pengajaran yang
diberikan.
c) Keterbatasan media akan menghambat mahasiswa untuk
memaksimalkan pelaksanaan konsep asuhan keperawatan.
6) Metode Self Directed
Metode pengajaran ini memberi keunikan dan kemampuan
mahasiswa untuk membuat pilihan dan keputusan sendiri mengenai
pembelajaran. Metode ini berusaha memperlihatkan perbedaan dan
kebutuhan individual mahasiswa. Ada beberapa metode pengajaran
self directed yaitu kontrak pembelajaran, belajar sendiri dan modul
kecepatan diatur sendiri. Metode ini mempunyai kelebihan dan
kelemahan. Mahasiswa diberikan kebebasan untuk dapat
menambah pengetahuannya dengan mencari pembelajaran dari
sumber -sumber yang dapat menunjang pembelajarannya misalnya
majalah, internet, film, video, jurnal penelitian, dan lain-lain.
Metode ini dapat membantu mahasiswa untuk menghadapi
kegiatan praktik klinis, mencapai keterampilan yang maksimal.
Beberapa kelebihan metode self directed adalah sebagai
berikut (Reilly dan Oermann, 2002):
a) Memperlihatkan tanggung jawab mahasiswaterhadap hasil
yang didapatkan.
b) Memberikan kebebasan untuk mengatur belajarnya sendiri
tanpa prosedur negosiasi atau kontrak pembelajaran.
c) Memperbaharui keterampilan dan pengetahuan klinis.

14
Beberapa kelemahan metodeself directed adalah sebagai
berikut:
a) Mahasiswa sering mengabaikan tugas belajarnya.
b) Mahasiswa sering tidak mendapatkan tujuan belajar yang
diharapkan karena beberapa hal berikut (Harden, 2009) :
(1) Konten/isi pembelajaran tidak menarik
(2) Ritme belajar yang belum terpola/terprogram.
(3) Manajemen waktu belajar yang kurang optimal.
(4) Media pembelajaran yang digunakan monoton.
(5) Strategi belajar yang digunakan kurang efektif dan efisien.
(6) Tempat belajar yang kurang nyamanmempengaruhi
motivasi belajar mahasiswa
7) Metode Preceptorship
Metode ini didasarkan pada konsep modeling. Mahasiswa
memperoleh atau memodifikasi perilaku dengan cara
mengobservasi sendiri suatu model yang memiliki perilaku yang
dibutuhkan mahasiswa dan mahasiswa juga memperoleh
kesempatan untuk mempraktikkan perilaku tersebut.
Dosen/preseptor membimbing mahasiswa untuk mempermudah
transisi peran mahasiswa yang akan lulus dan mempermudah
merekaa untuk masuk duniakerja (Reilly dan Oermann, 2002).
Kriteria preceptorship berpengalaman dalam bidangnya,
profesional, berjiwa pemimpin, memahami konsep dan asuhan
keperawatan, mampu mengadakan perubahan, mampu menjadi role
model, berminat dalam bidang keperawatan (Nursalam & Ferry
Efendi, 2008).
Dosen/pembimbing klinik berperan memberikan bimbingan
mahasiswa dalam memperoleh pengetahuan dan keterampilan yang
dibutuhkan untuk perawatan klien dan mempelajari peran dan
tanggung jawab perawat di lahan praktik, memperbaiki
kemampuan mahasiswa jika melakukan kesalahan untuk

15
mendukung perencanaan dan tindakan keperawatan, melakukan
orientasi dan sosialisasi terkait tentang prosedur-prosedur dan
kebijakan di klinik, melakukan evaluasi terhadap tindakan yang
dilakukan oleh mahasiswa selama di klinik, memberikan
pendelegasian untuk menjaga hal-hal yang tidak diinginkan selama
tidak mendampingi mahasiswa selama pengajaran klinik
(Nurhidayah, 2011).
Metode preceptorship mempunyai kelebihan dan kelemahan.
Beberapa kelebihan metode preceptorship adalah sebagai berikut:
a) Mahasiswa dapat menunjukkan perilaku yang menjadi teladan.
b) Dosen/pembimbing klinik memberikan pengaruh yang positif
kepada mahasiswa sehingga prilaku yang negatif dapat
dibatasi.
Beberapa kelemahan metode preceptorship adalah sebagai
berikut:
a) Dosen/preceptor yang tidak mampu menjadi role model akan
menimbulkan konflik dalam diri mahasiswa.
b) Mahasiswa sering melakukan metode ini secara subjektif bukan
objektif.
8) Metode Bedside Teaching
Bedside teaching merupakan suatu metode pembelajaran yang
dilakukan di samping tempat tidur klien, yang terdiri dari mengkaji
kondisi klien hingga pemenuhan kebutuhan asuhan
keperawatannya (Nursalam & Ferry Efendi, 2008). Bedside
teaching merupakan sebuah pembelajaran yang aktif yang
melibatkan pasien. Jadi, bediside teaching merupakan metode
pembelajaran yang dilakukan disamping tempat tidur yang
melibatkan pasien secara aktif.
Tujuan Bedside teaching meliput (Nurhidayah, 2011):
a) Mengumpulkan dan merekam semua informasi tentang pasien
secara lengkap.

16
b) Melakukan pemeriksaan fisik yang lengkap dan teratur.
c) Mengembangkan keterampilan interpersonal (developing
interpersonal skills).
d) Menginterpretasikan data.
e) Memecahkan masalah secara ilmiah dan professional.
f) Memberikan informasi yang terpercaya.
g) Mengembangkan interaksi pengajar, mahasiswa dan pasien.
h) Mengembangkan role-modeling
Prinsip Pelaksanaan yakni sebagai berikut (Nurhidayah, 2011):
a) Sikap fisik maupun psikologis dari pembimbing klinik, peserta
didik, dan klien.
b) Jumah peserta didik dibatasi, yakni 5-6 orang.
c) Diskusi pada awal dan pascademonstrasi didepan klien
dilakukan seminimal mungkin lanjutkan dengan demonstrasi
ulang.
d) Evaluasi pemahaman peserta didik sesegera mungkin terhadap
apa yang didapatkan saat itu.
e) Kegiatan yang didemonstrasikan adalah sesuatu yang belum
pernah diperoleh peserta didik sebelumnya.
Beberapa kelebihan metode bedside teaching menurut
Nursalam dan FerryEfendi (2008) adalah sebagai berikut:
a) Mendapatkan kasus yang sesuai yang dapat memberikan
kesempatan kepada mahasiswa untuk menerapkan keterampilan
teknik prosedural dan interpersonal.
b) Menumbuhkan sikap professional preseptor kepada mahasiswa.
c) Meningkatkan kemampuan komunikasi interpersonal
d) Memacu mahasiswa untuk belajar aktif.
e) Dapat mengobservasi keterampilan mahasiswa secara
langsung.
Beberapa kelemahan bedside teaching adalah sebagai berikut:

17
a) Dosen/preseptor dan mahasiswa yang kurang melakukan
persiapan baik persiapan fisik, psikologis akan menimbulkan
rasa tidak percaya dalam diri klien.
b) Mahasiswa yang tidak memiliki atau menguasai bahan/materi
akan mengurangi efektifitas pembelajaran.
Menurut Nursalam & Ferry Efendi (2008) pengajaran klinik
dengan menggunakan pendekatan bedside teaching memiliki arti
sebagai berikut :
a) Briefing
Briefing merupakan suatu bentuk kegiatan yang dilakukan
oleh preseptor untuk menyiapkan mahasiswa sebelum bertemu
dengan pasien, baik secara kognitif, afektif maupun
psikomotorik. Persiapan pasien dan menjelasan peran dan
fungsi yang akan dilakukan.
b) Expectation
Menjelaskan tujuan pembelajaran yang akan diperoleh oleh
mahasiswa. Tujuan pembelajaran tersebut disesuaikan dengan
topic pembelajaran.
c) Demonstration
Melakukan interaksi dengan pasien dan mahasiswa,
melakukan komunikasi terapeutik dengan pasien serta
mendemonstrasikan tujuan pembelajaran yang telah disepakati
sebelumnya. Memberikan peluang untuk Tanya jawab antar
mahasiswa dan pasien serta mengklarifikasi singkat atas
respon yang telah diberikan.
d) Specific feedback
Pemberikan feedback kepada mahasiswa atas kinerja yang
telah dilakukan. Feedback yang diberikan bersifat positif dan
membangun baik motivasi maupun keterampilan.

18
e) Inclusion of Microskills
Neher (1993) mengemukakan the five-step microskills
model meliputi : get a commitment (memiliki
komitmen/perencanaan), probe for supporting evidence (di
dukung dengan bukti), reinforce what was done right (berikan
pujian ketika mahasiswa benar), correct the mistakes (evaluasi
kesalahan-kesalahan), dan teach general rules (ajarkan konsep
secaraumum).
f) Debriefing
Proses dimana preseptor meminta tanggapan dari
mahasiswa dan pasien. Baik berupa masukan maupun
pertanyaan dan preceptor mengklarifikasi secara langsung di
samping tempat tidur pasien. Bila memerlukan klarifikasi
khusus kepada mahasiswa preceptor dapat memberikan
feedback di ruangan yang berbeda.
g) Education
Memberikan sumber yang dapat mahasiswa baca serta
memberikan dorongan kepada mahasiswa untuk lebih
meningkatkan pengetahuan melalui belajar mandiri terhadap
kompetensi dari setiap topik pembelajaran.
e. Persepsi mahasiswa tentang pembelajaran klinik
1) Persepsi positif
Mahasiswa yang memiliki persepsi yang positif terhadap
pembelajaran klinik merasa bahwa melalui pembelajaran klinik
tumbuh kebahagiaan, minat, dan antusiasme mahasiswa. Melalui
tugas yang diberikan, mahasiswa merasa kebutuhan personalnya
terpuaskan. Salah satu kebutuhan personal mahasiswa ialah
harapan akan pekerjaan yang akan ditekuninya di masa depan sejak
mereka telah memulai peminatan terhadap dunia keperawatan.
Selain itu, mahasiswa yang memiliki persepsi positif terhadap
pembelajaran klinik menganggap bahwa metode pembelajaran

19
yang diberikan oleh pembimbing lebih nyata, efektif, dan efsien
sehingga dapat meningkatkan motivasi mahasiswa dalam
mempelajari ilmu keperawatan (Boekaerts et al., 2010).
2) Persepsi negatif
Mahasiswa yang memiliki persepsi yang negatif terhadap
pembelajaran klinik merasa bahwa melalui pembelajaran klinik
kebutuhan personalnya tidak terpuaskan sehingga tidak
menumbuhkan kebahagiaan, minat, dan antuasime mahasiswa
terhadap pembelajaran klinik (Boekaerts et al., 2010). Menurut
Meyer, Nel, & Downing (2016), sejak mahasiswa telah memilih
jurusan keperawatan, mereka berharap bahwa tugas atau instruksi
yang diberikan oleh dosen/pembimbing tidak hanya dapat
diaplikasikan pada kehidupan sehari-hari, tetapi juga berhubungan
dengan jurusan atau pekerjaan yang ingin ditekuni di masa depan.
Ketika mahasiswa tidak dapat melihat bagaimana teori yang
dipelajarinya diaplikasikan dalam bidang ilmu dan pekerjaan,
motivasi dan kinerja belajarnya dapat menurun. Blazun et al.,
(2015) menjelaskan bahwa mahasiswa juga menganggap ketika
metode pembelajaran yang diberikan oleh dosen/pembimbing tidak
efektif dan efsien akan menurunkan motivasi dan kinerjanya.
f. Dampak proses bimbingan klinik yang tidak efektif
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Johannis, E.,
Buanasari, A., & Bidjuni, H. (2019) menyatakan bahwa pembimbing
klinik belum maksimal dalam memberikan bimbingan terhadap
mahasiswa yang melaksanakan praktek klinik keperawatan, sehingga
beberapa mahasiswa mengalami cemas sedang sampai berat, namun
mayoritas kecemasan mahasiswa berada pada kategori cemas ringan.
Kurangnya mendapatkan bimbingan dari pembimbing klinik
menyebabkan mahasiswa sulit mengaplikasikan teori yang mereka
dapatkan saat perkuliahan dalam menangani pasien, serta masih ada
rasa tidak percaya diri dan perasaan gugup pada saat melakukan

20
tindakan keperawatan yang membuat mahasiswa merasa cemas. Hal
ini menunjukkan bahwa lingkungan pembelajaran kurang baik dan
sebagian besar pembimbing klinik melakukan proses bimbingan
dengan kurang baik, namun tingkat kecemasan mahasiswa hanya
berada pada kategori ringan. Hasil penelitian ini sejalan dengan
penelitian oleh Saputra (2015) tentang hubungan lingkungan belajar
klinik dengan tingkat kecemasan pada pembelajaran klinik mahasiswa
keperawatan, yang mendapatkan hasil signifikan adanya hubungan
antara kedua variable tersebut.
g. Upaya untuk meningkatkan bimbingan klinik
Pelatihan dapat digunakan untuk meningkatkan kemampuan
pembimbing klinik dalam pengetahuan, ketrampilan dan sikap
sehingga dapat menumbuhkan rasa percaya diri, memperbaiki kualitas
kinerja. Pelatihan dapat memperbaiki kinerja, memutahirkan keahlian,
mengurangi waktu belajar, dapat memecahkan masalah operasional,
promosi karyawan, orientasi karyawan baru dan pertumbuhan pribadi.
Pelatihan karyawan sangat penting untuk memperbarui ilmu yang telah
dimiliki, mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi,
mengurangi terjadinya kesalahan serta meningkatkan motivasi kerja
(Simamora, 1999).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Ahsan A (2018)
menyatakan bahwa perencanaan pelatihan untuk pembimbing klinik
meliputi on the job training dan job training, metode off the job
training yang diinginkan studi dengan mempresentasikan salah satu
kasus terpilih secara mendalam dengan bimbingan instruktur dan
mempelajari kasus tertentu dibahas dari berbagai sudut dibawah
bimbingan seorang ahli. Kedua metode ini sangat sesuai dengan situasi
pembelajaran orang dewasa yang lebih berorientasi pada pengalaman
lapangan dengan memaksimalkan indra sebanyak mungkin yang
mengintegrasikan kemampuan kognitif, afektif dan psikomotor untuk
memecahkan masalah. Dengan diskusi kelompok dan studi kasus,

21
kedua metode ini sangat efektif untuk pembelajaran orang dewasa
yang bertujuan meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan untuk
memecahkan masalah, mengembangkan penalaran ilmiah, merangsang
belajar aktif serta mengintegrasikan berbagai konsep, namun harus
dikelola dengan baik agar tidak menyimpang dari tujuan.

C. Konsep Evaluasi Praktik Klinik


1. Definisi evaluasi praktik klinik
Evaluasi praktik klinik merupakan sebuah proses untuk
menentukan tercapai tidaknya kompetensi mahasiswa dalam praktik
(Zafrir, 2011). Evaluasi dibutuhkan untuk peningkatan dalam
pembelajaran klinik atau berfungsi sebagai penilaian formatif.
Penilaian formatif memberikan kesempatan siswa dan guru untuk
melakukan umpan balik apakah materi pembelajaran telah dikuasai
atau belum.Konsep pembelajaran tuntas (mastery learning) dapat juga
diterapkan dalam lingkup mekanisme evaluasi yang bersifat
formatif.Prosedur pembelajaran dilakukan melalui modifikasi atas
dasar hasil evaluasi dan kemajuan yang dicapai siswa. Evaluasi ini
kemudian diiringi dengan umpan balik yang dimungkinkan dilakukan
terhadap tiap poin/langkah pada tiap tahapan pembelajaran secara
sistematis, bervariasi dan sesegera mungkin pada saat respon siswa
terjadi (Rahyubi, 2012).
Evaluasi klinis merupakan proses mendapatkan informasi untuk
membuat penilaian terhadap kinerja peserta didik dalam lingkungan
klinis. Evaluasi merupakan proses berkesinambungan yang dinamik
yang berkaitan dengan proses belajar mengajar (Reilly dan Oermann,
2002). Evaluasi klinik pada dasarnya adalah kegiatan evaluasi hasil
pendidikan yang dilaksanakan di klinik atau di tempat pengalaman
belajar klinik mahasiswa. Evaluasi adalah proses stimulasi untuk
menentukan keberhasilan. Evaluasi hasil pendidikan adalah proses
sistematis untuk mencapai tingkat pencapaian tujuan pendidikan yang

22
terdiri atas kegiatan mengukur dan menilai (Nursalam dan
Efendi,2008).
2. Prinsip evaluasi praktik klinik
Menurut Nursalam dan Efendi (2008) ada beberapa prinsip dasar
yang perlu diperhatikan dalam menyusun tes hasil belajar yaitu :
a. Tes tersebut hendaknya dapat mengukur dengan jelas hasil belajar
yang telah ditetapkan sesuai dengan tujuan intruksional. Tujuan
merupakan landasan dan sekaligus sebagai penentu kriteria
penilaian. Jika tujuan tidak jelas maka penilaian terhadap hasil
belajar pun tidak akan terarah sehingga hasil penilaian tidak
mencerminkan isi pengetahuan dan keterampilan peserta didik
yang sebenarnya.
b. Mengukur sample yang representratif dari hasil belajar dan bahan
pelajaran yang telah diajarkan. Tes yang disusun harus mencakup
soal-soal yang mencakup soal-soal yang dianggap dapat mewakili
seluruh kinerja hasil belajar peserta didik sesuai dengan tujuan
intruksional yang dapat dirumuskan.
c. Mencakup bermacam-macam bentuk soal yang benar-benar cocok
untuk mengukur hasil belajar yang diinginkan dengan tujuan.
Setiap jenis alat evaluasi dan setiap macam bentuk soal hanya
cocok untuk mengukur jenis kemampuan tertentu pula.
d. Disusun sesuai dengan kegunaannya untuk memperoleh hasil yang
diinginkan. Masing-masing jenis tes memiliki karakteristik tertentu
seperti tingkat kesukaran, daya pembeda, bobot maupun cara
pengolahannya.
e. Dibuat seandal mungkin sehingga mudah diintreprestasikan dengan
baik. Suatu alat evaluasi dikatakan andal bila alat tersebut dapat
menghasilkan gambaran yang benar-benar dapat dipercaya
(reliable). Suatu tes dapat dikatan andal jika tes itu diujikan
berulang-ulang terhadap objek yang sama hasilnya akan tetap atau
relatif sama.

23
f. Digunakan untuk memperbaiki cara belajar peserta didik dan cara
mengajar pengajar.
3. Jenis-jenis proses evaluasi
Menurut Reilly dan Oermann (2002), ada dua jenis proses evaluasi
utama, yaitu:
a. Evaluasi normatif
Evaluasi normatif memberikan umpan balik kepada peserta
didik berkaitan dengan kemajuan mereka dalam memenuhi tujuan.
Evaluasi formatif terjadi dalam keseluruhan proses intruksional,
sifatnya diagnostik, memberikan informasi untuk membantu
memperbaiki defisiensi pembelajaran dan meningkatkan
kemampuan. Fokus evaluasi ini adalah membantu peserta didik
untuk memenuhi objektif klinis. Nursalam dan Efendi (2002)
mengemukakkan bahwa evaluasi formatif dilakukan untuk
mengenali kekurangan peserta didik untuk bahan dan dasar
pemberian bimbingan serta dilakukan sepanjang proses.
Menurut Bastable (2002) tujuan dari evaluasi formatif adalah
untuk mengadakan penyesuaian dalam kegiatan pendidikan ketika
muncul kebutuhan, entah penyesuaian tersebut berkaitan dengan
personel, materi, fasilitas atau berkaitan dengan obyektif
pembelajaran.
b. Evaluasi sumatif
Evaluasi sumatif menentkan derajat keberhasilan (nilai) peserta
didik dan dilakukan pada akhir unit peserta atau akhir proses
belajar (Nursalam & Efendi, 2008).
4. Jenis-jenis evaluasi
Ada 2 jenis evaluasi menurut Reilly dan Oermann (2002) yaitu :
a. Evaluasi berdasarkan norma
Evaluasi berdasarkan norma didesain untuk membandingkan
kinerja seorang peserta didik dengan kinerja sekelompok peserta
didik. Interpretasi ini akan memperlihatkan bahwa seorang peserta

24
didik memiliki pengetahuan, keterampilan dan kemauan lebih
banyak atau lebih sedikit dibanding peserta didik lain.
b. Evaluasi berdasarkan criteria
Pada evaluasi berdasarkan kriteria, peserta didik tidak
dibandingkan dengan peserta didik lainnya tetapi dibandingkan
terhadap beberapa standar kinerja. Tujuan utama evaluasi ini
adalah untuk mengukur kinerja peserta didik yang berkaitan
dengan standar. Evaluasi ini merupakan pendekatan yang paling
relevan pada situasi klinis di dalam program keperawatan karena
kompetensi dalam hal pengetahuan, keterampilan dan nilai yang
spesifik merupakan hasil yang sangat penting.
5. Jenis-jenis metode penilaian evaluasi klinik
a. Long case
Mahasiswa dinilai dengan satu kasus yang panjang atau 3-4
kasus yang pendek, mahasiswa mungkin tidak atau di observasi
selama ujian. Kelebihannya adalah autentik engan tugas seorang
tenaga kesehatan dan pasienya nyata, menilai show how.
Kekurangannya dalah reabiliti dan konsistensi masih diragukan
dan validiti juga rendah. (Dornan, et al, 2011; Amin, dkk, 2009)
b. Objective structured Clinical Examination (OSCE)
Terdiri dari banyak station (15-20). Keuntungannya adalah
lebih efektif, mempunyai standar, reabiliti tinggi. Kekurangannya
adalah validiti masih di pertimbangkan, attitude sulit dinilai dan
lebih mahal. (Dornan, et al, 2011; Amin, dkk, 2009)
c. Mini clinical Evaluation Exercise (Mini-CEX)
Kompetensi yang dinilai adalah keterampilan anamnesis,
pemeriksaan fisik, profesionalisme, keputusan klinik, konseling,
organisasi dan efisiensi. Kelebihannya adalah bisa memmakai
pasien simulasi atau nyata, feedback, observasi langsung, reabiliti
bagus, mudah dilakukan, evaluasi performan secara global.
Kekurangannya adalah realtif baru dan tidak familiar, dan

25
pelatihan untuk meningkatkan reabiliti. (Dornan, et al, 2011;
Amin, dkk, 2009).
Mini-CEX merupakan instrumen objektif yang menilai
mahasiswa berdasarkan performa mereka. (Norcini, 2005) Ia
menawarkan kesempatan pada mahasiswa untuk melakukan
kontak dengan pasien dengan kasus yang bervariasi untuk
diobservasi secara langsung oleh dosen klinis. Hasil penilaian
dapat digunakan untuk memberi umpan-balik yang membangun
pada performa mahasiswa sehingga akan mendorong mahasiswa
untuk belajar. (Norcini et al, 2007)
d. Direct Observation of Procedural Skills (DOPS)
Tes DOPS merupakan metode evaluasi yang sesuai untuk
menilai keterampilan prosedural praktikan secara obyektif karena
validitas, reliabilitas, dan penerimaannya yang tinggi. Karena
evaluasi DOPS bisa memfasilitasi pembelajaran dan keterampilan
praktikan, sehingga meningkatkan keterampilan dan kompetensi
praktikan, selain itu, memastikan kemampuan praktikan dalam
menghadapi dan memprediksi situasi klinis dalam kasus kondisi
pasien tertentu, namun untuk mengevaluasi semua aspek kinerja
praktikan, tes DOPS harus dikombinasikan dengan tes kinerja
klinis lainnya seperti Mini-CEX, presentasi method, refleksi dll.
Seperti mini-CEX, kelebihannya observasi secara langsung,
evaluasi secara global, mudah digunakan. Kekurangannya masih
baru, dibutuhkan pelatihan, aspek kompetensi terbatas dan butuh
seorang ahli. (Dornan, et al, 2011; Amin, dkk, 2009).
6. Ciri-ciri evaluasi yang baik
Menurut Nursalam dan Efendi (2008) suatu tes dikatakan baik jika
suatu alat ukur memenuhi ciri-ciri sebagai berikut :
a. Validitas
Suatu tes dikatakan valid apabila tes tersebut dapat mengukur
apa yang hendak diukur. Untuk mendapatkan tes yang valid, isi

26
dan kedalaman tes perlu disesuaikan dengan tujuan atau sasaran
belajar. Kesesuaian isi tes dengan tujuan belajar validitas isi
(content validity) dapat diupayakan dengan cara menyusun kisi-kisi
soal (blueprint).
b. Reliabilitas
Tes yang mempunyai reliabilitas berarti tes tersebut
mempunyai sifat yang dapat dipercaya apabila memberikan hasil
yang tetap bila diujikan berkali-kali. Sebuah tes dikatakan reliable
apabila tes tersebut menunjukkan ketetapan.
c. Objektivitas
Suatu tes dikatakan memiliki objektivitas apabila dalam
melaksanakan tes itu tidak ada faktor luar yang mempengaruhi. Ha
ini terutama terjadi pada sistem scoring yang menetapkan
konsistensi.
d. Kepraktisan
Sebuah tes dikatakan memiliki kepraktisan (practicability)
yang tinggi apabila tes tersebut bersifat praktis, mudah
melaksanakan, mudah memeriksa dan petunjuk teknisnya jelas.

e. Ekonomis
Ekonomis adalah pelaksanaan tes tersebut tidak membutuhkan
biaya yang mahal, tenaga yang mahal maupun waktu yang lama.
7. Aspek yang di evaluasi
Menurut Bradshaw (1989 dalam Nursalam dan Efendi, 2008)
aspek yang perlu dievaluasi pada kinerja klinik meliputi :
a. Kemampuan sosial, terdiri atas bekerja dengan sejawat dan
kesadaran diri.
b. Keterampilan berkomunikasi, terdiri atas berbicara dan mendengar
serta membaca dan menulis.
c. Keterampilan praktik terdiri atas penggunaan alat, teknik
aseptik,pemberian obat.

27
d. Kemampuan mengambil keputusan terdiri atas asuhan
keperawatan, manajemen dan pendidikan kesehatan.
8. Pelaksanaan evaluasi klinik
Evaluasi klinik perlu dikelola dengan baik sehingga
pelaksanaannya dapat berjalan dengan baik, evaluasi klinik biasany
dikaitkan dengan mata kuliah klinik tertentu. Penanggung jawab atau
koordinator mata kuliah harus betanggungjawab tentang pengolaha
evaluasi klinik. Program evaluasi klinik berisi tujuan pengalaman
belajar klinik, metoda dan aspek yang dievaluasi setiap metode serta
kriteria evaluasi termasuk pembobotan dan kelulusan (Nursalam dan
Efendi, 2008).
Evaluasi klinik dilaksanakan sesuai dengan metode evaluasi yang
telah disepakati untuk menilai setiap aspek kinerja klinik. Kemampuan
yang dicapai mahasiswa cukup kompleks, berupa perpaduan antara
aspek pengetahuan, keterampilan dan sikap (Nursalam dan Efendi,
2008).
9. Model evaluasi klinik
Menurut Nursalam dan Efendi (2008) Metode evaluasi klinik
dapat dikelompokkan menjadi :
a. Observasi
Metode observasi adalah metode yang paling sering digunakan
dalam evaluasi klinik, mengingat kemampuan utama yang harus
dimiliki melalui pengalaman belajar klinik adalah kemampuan
melaksanakan tindakan. Metode observasi merupakan metode yang
digunakan untuk mengevaluasi penampilan psikomotor; sikap
perilaku, interaksi, baik verbal maupun non verbal.
Menurut Reilly dan Oermann (2002) observasi terhadap kinerja
peserta didik merupakan cara utama untuk mengevaluasi peserta
didik di dalam praktik klinis. Melalui observasi in penilaian dapat
dilakukan berkaitan dengan perilaku kinerja kognitif, psikomotorik
dan afektif.

28
b. Tertulis
Metode tertulis digunakan untuk mengevaluasi kemampuan
kognitif, yaitu jenjang aplikasi dan pemecahan masalah (problem
solving) melalui proses analisi sintesis dan metode ini dilaksanaka
dengan cara memberi penugasan pada peserta didik untuk
menuliskan hasil pengamatan, hasi rangkaian kegiatan melakuka
tindakan atau asuhan keperawatan berupa laporan tertulis.
c. Lisan
Metode observasi secara lisan atau oral (viva-voce)
dimaksudkan untuk terjadinya tanya jawab dan dialog terhadap
pertanyaan yang diajukan oleh penguji. Seperti halnya pada
metode observasi, pada metode lisan ini akan terjadi interaksi
langsung antara penguji dan mahasiswa yang dapat mempengaruhi
objektifitas dan reabilitas evaluasi. Dengan demikian metode lisan
perlu didukung dengan perangkat evaluasi yang dapat digunakan
evaluator untuk mengajukan pertanyaan dan memberi nilai.
d. Objective Structured Clinical Examination (OSCE)
Objective Structured Clinical Examination (OSCE) adalah
metode evaluasi untuk penilaian penampilan kemampuan klini
secara terstruktur dan bersifat objektif. Melalui OSCE dapat secara
bersamaan dievaluasi kemampuan pengetahuan, psikomotor dan
sikap. Aspek yang dievaluasi dengan OSCE adalah sebagai
berikut:
1) Pengkajian riwayat hidup
2) Pemeriksaan fisik
3) Laboratorium
4) Identifikasi masalah
5) Merumuskan/ menyimpulkan data
6) Interpretasi pemeriksaan

29
7) Menetapkan pengelolaan klinik
8) Mendemonstrasikan prosedur
9) Kemajuan berkomunikasi
10) Pemberian pendidikan keperawatan.
10. Penilaian dalam evaluasi
Proses pemberian nilai (scoring) sangat penting dalam evaluasi.
Pemberian nilai dilakukan secara bertahap sepanjang kegiatan
pengalaman belajar klinik (PBK) berlangsung, sesuai ketentuan yang
ditetapkan dalam program evaluasi klinik pada mata ajaran tertentu.
Setiap aspek diberi nilai sesuai teknik dan menggunakan instrumen
evaluasi serta berpatokan pada nilai/angka yang telah ditentukan.
Patokan nilai dapat berupa nilai maksimal yang dapat diperoleh bila
penampilan tersebut dilakukan. Selain menggunakan patokan nilai
maksimal, pemberian nilai perlu pula memperhatikan pembobotan.
Bobot yang diberi pada setiap jenis penampilan klinik yang dievaluasi
harus dijadikan dasar pada saat merekapitulasi nilai (Nursalam dan
Efendi, 2008).
Tahap terakhir dari rangkaian evaluasi adalah membuat keputusan,
apakah mahasiswa dapat dikatakan berhasil atau tidak dan sejauh mana
tingkat keberhasilannya sehingga perlu ditetapka ketentuan atau batas
kelulusan. PBK merupakan bagian dari kegiatan pembelajaran mata
ajaran keperawatan yang terdiri dari komponen teori dan praktik.
Dalam kebijakan penetapan keputusan dan pemberian peringkat
tingkat keberhasilan perlu ditetapkan bobot pembanding antara teori
dan praktik. Pemberian penilaian pada program profesi meliputi
kompeten dan tidak kompeten atau lulus tidak lulus. (Nursalam dan
Efendi, 2008).

30
11. Domain psikomotor evaluasi pembelajaran
Menurut Oerman, at al (2009), domain psikomotorik dibagi
menjadi 5 yaitu :
a. Imitation (Imitasi) – P1
Kemampuan untuk meniru atau mengikuti tindakan dari yang
ditunjukkan oleh dosen atau video, mengamati kemudian
mereplikasi. Contohnya mahasiswa mengikuti contoh dalam
melakukan relaksasi nafas dalam.
b. Manipulation (Manipulasi) – P2
Kemampuan untuk mengimplementasikan kembali apa yang
didapat. Contohnya mahasiswa melaksanakan tehnik suction
kepada pasien sesuai dengan prosedur yang telah diajarkan.
c. Precision (Presisi) – P3
Kemampuan untuk melaksanakan tindakan secara mandiri
tanpa menggunakan contoh dari orang lain. Contohnya mahasiswa
mampu mendemostrasikan tentang pemeriksaan tanda vital secara
akurat.
d. Articutalion (Artikulasi) – P4
Kemampuan untuk mengadaptasi dan mengintegrasikan suatu
keahlian atau keterampilan atau kompetensi. Contohnya mahasiswa
mampu mengembangkan tehnik suction dalam berbagai masalah
kesehatan.
e. Naturalization (Natural) – P5
Kemampuan melakukan aktivitas secara terkait dengan tingkat
keterampilan yang telah dimiliki. Contohnya mahasiswa mampu
mengelola skill untuk melakukan perawatan bayi dirumah

31
D. Konsep Preceptor
1. Definisi pembimbing klinik
Pembimbing klinik adalah mereka yang memiliki posisi ideal
untuk peduli kepada mahasiswa keperawatan dan harus dipilih secara
hatihati, untuk mendemonstrasikan nilai keperawatan dan kepedulian.
Pembimbing klinik yaitu seorang perawat profesional yang terpilih,
yang ahli dalam praktik klinik keperawatan. Pembimbing klinik
didefinisikan sebagai seseorang yang antusias dan bersemangat,
memiliki pendekatan organisasi yang baik dan memiliki kemampuan
adaptasi terhadap gaya interaktif dengan mahasiswa Pembimbing
klinik yaitu seseorang yang bertanggung jawab melaksanakan
kewajiban pengajaran di klinik kepada mahasiswa praktik yang sedang
melaksanakan pendidikan klinik di rumah sakit dan sudah mendapat
tugas memberikan bimbingan pembelajaran klinik kepada mahasiswa
yang memiliki nilai kepedulian serta kompetensi yang sesuai dan juga
kewenangan yang sah secara hukum (Purwani F, 2010).
Faktor yang dapat mempengaruhi kinerja preceptor (Supriyanto,
1998):
a. Faktor organisasi
b. Faktor Individu (pembimbing dan mahasiswa)
c. Faktor karakteristik pekerjaan (pembimbing klinik)
d. Faktor lahan praktek atau laboratorium (RS, Puskesmas, Panti,
Masyarakat)
2. Karakteristik pembimbing klinik
Karakteristik pendidik klinik yang efektif teridentifikasi menjadi 5
kunci utama yaitu karakter personal, meta-cognition, membuat
pelajaran klinik menjadi menyenangkan, menjadi sumber dukungan,
dan menjadi role model. Karakteristik pendidik klinik yang efektif
yaitu: kemampuan mengajar, menguasai kompetensi keperawatan,
personality, memiliki hubungan interpersonal, dan memiliki
kemampuan evaluasi (Notoatmodjo, 2003). Terdapat 5 kemampuan

32
pendidik klinik yaitu: kompetensi klinik dan mengajar, hubungan
interpersonal dan interprofesional serta komunikasi, pengkajian dan
evaluasi, kepemimpinan dan manajemen, dan beasiswa dan promosi
profesional (Notoatmodjo, 2003).
Seorang pembimbing klinik memiliki kesempatan untuk
memberikan pengaruh yang besar terhadap pembelajaran mahasiswa
yang menjelang lulus dan membentuk praktik keperawatan. Tingkah
laku pembimbing klinik memainkan peran yang signifikan pada
pengembangan keperawatan profesional yang berpengetahuan dan
terampil dalam sistem perawatan kesehatan, memberikan pelayanan
keperawatan yang berkualitas kepada seluruh kategori pasien, keluarga
dan komunitas untuk mencapai, mempertahankan dan memulihkan
kesehatan yang optimal (Simamora, 2009).
Seorang pembimbing klinik diharapkan memiliki karakteristik
mengajar yang efektif seperti memiliki pengetahuan profesional,
sebagai role model, serta menguasai kompetensi klinik. Karakteristik
lain yaitu kepribadian pembimng klinik yang merupakan unsur
esensial karena akan membentuk pola perilaku yang patut sebagai
motivasi mendidik mahasiswa. Karakteristik pembimbing klinik
memainkan peran yang krusial karena pembimbing klinik bukan hanya
memungkinkan siswa untuk mengintegrasikan pengetahuan dan
keterampilan yang terkait dengan kepedulian terhadap pasien, tetapi
juga memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk
menginternalisasikan peran perawat sebagai pemberi asuhan
keperawatan (caregivers) (Linda,K,A & Candra,R,B, 2012)
3. Syarat pembimbing klinik
Berkaitan dengan kompetensi yang harus dimiliki pendidik
klinik, ditetapkan beberapa persyaratan menjadi pendidik klinik yaitu:
a. Memiliki latar belakang pendidikan profesi yang sesuai
b. Memiliki pengalaman kerja memberikan pelayanan keperawatan di
klinik selama 3 tahun

33
c. Memiliki ijin praktik yang diterbitkan oleh organisasi profesi
d. Memiliki latar belakang kependidikan/keguruan (akta mengajar)
e. Memiliki pengalaman mengikuti pelatihan pendidik klinik
Bila mencermati syarat kompetensi pendidik klinik, maka akan
terlihat kolaborasi kemampuan seorang guru (dosen) dan seorang
perawat. Kompetensi seorang dosen meliputi :
a. Kemampuan merencanakan pembelajaran praktek klinik
b. Kemampuan melaksanakan pembelajaran praktik klinik
c. Kemampuan menyusun alat evaluasi pembelajaran praktik klinik
d. Kemampuan melaksanakan pembelajaran praktik klinik.
Kompetensi menjadi seorang perawat yaitu:
a. Mampu melakukan pengkajian keperawatan (nursing assessment),
b. Kemampuan menganalisis fakta atau data pasien serta menentukan
diagnosa keperawatan pasien (nursing diagnosis
c. Kemampuan menyusun rencana keperawatan (nursing plan),
d. Kemampuan melaksanakan tindakan keperawatan (nursing
implementation)
e. Kemampuan mengevaluasi keperawatan (nursing evaluation).
Penjabaran diatas menunjukkan kompetensi yang digunakan
pendidik klinik yaitu kemampuan minimal yang dimiliki oleh seorang
pendidik dan perawat yang harus dimiliki kemudian dikolaborasikan
untuk dapat memberikan pembelajaran praktik klinik. Beberapa hal
yang telah disebutkan diatas juga dapat digunakan sebagai indikator
komptensi pendidik klinik.
Menurut Nuralam & Ferry Efendi (2008) kriteria yang harus
dipenuhi seorang pembimbing yaitu:
1) Memiliki pengetahuan keilmuan yang dalam dan luas serta
minimal setara dengan jenjang pendidikan peserta didik
2) Kompeten dalam kemampuan klinik
3) Terampil dalam pengajaran klinik

34
4) Mempunyai komitmen dalam pembelajaran klinik. Salah satu cara
meningkatkan kualitas pembimbing adalah dengan mengadakan
pelatihan clinical educator
4. Peran dan tugas pembimbing klinik
Peran merupakan sekumpulan perilaku yang diharapkan muncul
dari seseorang berkaitan dengan tugas dalam masyarakat. Pembimbing
klinik merupakan tim medis terpilih, ahli dalam praktik klinik yang
bertugas membimbing dan mengarahkan dalam proses pembelajran
sesuai tujuan pembelajaran (Pusat Pengembangan Kesehatan Carolus,
2010).
Adapun beberapa peranan dan tugas dari CI antara lain
(Ismahmudi, dkk, 2008).:
a. Sebagai perencana
Langkah yang harus dilakukan CI agar praktik klinik
menjadi efektif, yaitu memberitahukan pada staf tentang adanya
mahasiswa praktikan dan mengenalkan lingkungan tempat praktik,
menemui klien untuk membantu dalam praktik klinik
mahasiswa praktik, mengkaji kesiapan dari mahasiswa praktik,
menyesuaikan sarana yang ada dengan kebutuhan dari mahasiswa
praktik, mengantisipasi masalah yang mungkin atau bisa timbul,
serta mengenal potensi dari mahasiswa praktik dan memberikan
saran untuk meningkatkan kemampuannya
b. Sebagai narasumber
Bantuan dari CI diperlukan untuk meningkatkan kemandirian
mahasiswa praktik melalui pendekatan “self directed learning”.
Hal-hal yang harus dikembangkan oleh CI sebagai narasumber,
antara lain keinginan dan harapan mahasiswa praktik, inisiatif,
upaya dan kreativitas serta kemandirian mahasiswa praktik
c. Sebagai Pembimbing
CI mengadakan pertemuan dengan mahasiswa praktik untuk
melakukan kegiatan post conference. Kegiatan tersebut,

35
mengingatkan mahasiswa praktik untuk mengenal masalah yang
membutuhkan analisa secara klinis dan kritis. Selain itu, kegiatan
tersebut mendorong mahasiswa praktik agar mampu melihat
perbedaan yang ditemukan ketika melakukan praktik antara
kenyataan dan harapan, mendorong mahasiswa praktik untuk
membahas lebih lanjut permasalahan yang dialami klien, bersedia
untuk membahas lebih lanjut permasalahan yang dihadapi
mahasiswa praktik, serta mengevaluasi bersama-sama mengenai
kemampuan praktik klinik
Adapun peran lain seorang pembimbing klinik adalah sebagai
berikut (Notoadmodjo S.,2003):
a. Model, yaitu seseorang yang dapat dijadikan contoh dan bisa
ditiru
b. Envisioner, yaitu dapat melihat dan mengomunikasikan arti
keperawatan professional dan potensinya kepada mahasiswa
praktik
c. Energizer, yaitu seseorang yang mampu merangsang kita
untuk melakukan tindakan
d. Teacher-coach, yaitu seseorang yang mampu mengajarkan
keterampilan baik interpersonal, teknis, ataupun politis yang
penting untuk kemajuan mahasiswa praktik
e. Feedback giver, yaitu seseorang yang dapat memberikan
umpan balik positif dan negatif dengan jujur
f. Eye opener, yaitu seseorang yang memiliki sudut
pandang luas yang dapat memberikan cara baru bagi kita
dalam memandang situasi
g. Door opener, yaitu seseorang yang melalui posisi jabatannya,
dapat memberikan kesempatan atau pengalaman baru bagi kita
h. Problem solver, yaitu seseorang yang dapat membantu kita
mengkaji masalah dan mengidentifikasi solusi yang dapat
diambil.

36
i. Challenger, yaitu seseorang yang mendorong kita untuk
menyelidiki suatu masalah secara lebih kritis dan lebih rinci
j. Motivator, yaitu seseorang yang memberikan motivasi kepada
mahasiswa praktik klinik dengan ARCS yaitu:
1) Attention : membangkitkan dan memperhatikan perhatian
siswa selama pembelajaran praktik klinik),
2) Relevance : memberikan pembelajaran yang ada
relevansinya dengan kehidupan
3) Confidence : menanamkan rasa yakin dan percaya
diri mahasiswa
4) Satisfaction : menumbuhkan rasa puas pada mahasiswa
terhadap pembelajaran
Metode ARCS sendiri merupakan satu kesatuan yang
dipergunakan dalam kegiatan pembelajaran untuk
meningkatkan motivasi mahasiswa.
5. Kompetensi pembimbing klinik
Pembimbing klinik memiliki berbagai kompetensi yang menjadi
modal untuk mengoptimalkan kinerjanya. Berdasarkan penelitian yang
dilakukan oleh Widarti, L (2016) menyatakan secara deskriptif
kompetensi yang harus dimiliki preceptor tersebut diantaranya adalah:
a. Kompetensi Pedagogik
Dalam kompetensi pedagogik, pembimbing praktek klinik (CI)
diharapkan mempunyai kemampuan : merancang kegiatan
pembimbingan, melaksanakan kegiatan pembimbingan,
mengevaluasi kegiatan pembimbingan, mengelola kasus,
memanfaatkan hasil penelitian untuk meningkatkan kualitas
pembimbingan. Bimbingan klinik dapat membantu peserta didik
dalam mengembangkan kemampuan praktek profesional, untuk itu
perawat pembimbing klinik harus membekali diri dengan
pengetahuan dan keterampilan dalam melakukan bimbingan efektif
dan berkualitas. Peran perawat pembimbing klinik dalam kegiatan

37
pembelajaran klinik sangat berarti sekali agar pelaksanaan
pembelajaran menjadi efektif.
b. Kompetensi profesional
Dalam kompetensi profesional, pembimbing praktek klinik (CI)
diharapkan mempunyai kemampuan: menguasai materi keilmuan;
merencanakan, melaksanakan dan penelitian; menyebarluaskan
ilmu yang dimiliki. Pembimbing praktek klinik mempunyai
kontribusi meningkatkan kualitas pembelajaran praktek klinik,
karena memiliki berbagai peran mulai dari merencanakan,
melaksanakan dan mengevaluasi pembelajaran praktek klinik.
Peningkatan mutu pembelajaran praktek klinik dapat ditempuh
dengan cara meningkatkan kinerja perawat pembimbing klinik.
c. Kompetensi kepribadian
Dalam kompetensi kepribadian, pembimbing praktek klinik
(CI) diharapkan mempunyai kemampuan: berempati,
berpandangan positif, genuine (bersikap wajar, terbuka) dan
berorientasi pada tujuan. Menunjukkan pribadi dewasa dan teladan
yaitu : bertingkah laku sopan dalam berbicara, berpenampilan dan
berbuat terhadap peserta didik, berbagi pengalaman, etos kerja,
tanggung jawab yang tinggi, bila tidak bisa membimbing
mahasiswa diharapkan mampu mengaktifkan mahasiswa.
Pembimbing praktek klinik diharapkan dapat memberikan
konstribusi terhadap pengembangan institusi yang praktek.
d. Kompetensi Sosial
Pembimbing praktek klinik (CI) diharapkan mempunyai
kemampuan: menghargai budaya, menyajikan pendapat dengan
runut, menghargai pendapat orang lain, dan membangun suasana
tempat praktek.
Peran pembimbing klinik dalam pelaksanaan keselamatan pasien
juga sangat penting untuk dilakukan. Berdasarkan penelitian yang
dilakukan oleh Sari, D. W. P. (2018) menyatakan bahwa semakin

38
tinggi tingkat kemampuan peran pembimbing klinik maka semakin
tinggi tingkat pelaksanaan program keselamatan pasien pula dan
kemampuan peran pembimbing klinik yang semakin baik maka
semakin baik pelaksanaan keselamatan pasien oleh mahasiswa. Peran
pembimbing klinik sebagai role model atau memberikan contoh bagi
mahasiswa untuk menjelaskan dan mendemonstrasikan teknik terkait
pelaksanaan program keselamatan pasien. Peran role model merupakan
peran yang diharapkan dari pembimbing klinik yang meliputi perilaku
dan sikap positif (Beth, 2009; Kim, Park, & Kang, 2013).
Peran pembimbing klinik akan menentukan dalam pencapaian
kompetensi pembelajaran khususnya kompetensi terkait keselamatan
pasien. Parsh (2010) bahwa pembimbing klinik yang memiliki
pengetahuan dan keterampilan yang baik, maka akan dapat membantu
mahasiswa untuk memperoleh pengetahuan dan keterampilan.
Pembimbing klinik memiliki kontribusi yang besar dalam proses
kegiatan pembelajaran klinik bagi mahasiswa untuk mencapai tujuan
pembelajaran (Jecklin, 2009; Johnson, 2011).
Peran pembimbing klinik dalam pencapaian kompetensi yang baik
dapat meningkatkan pencapaian kompetensi dan tujuan pembelajaran.
Pembimbing klinik juga sangat berperan dalam proses pembelajaran
klinik dan pencapaian kompetensi (Johnson, 2011; Jecklin, 2009), dan
sangat penting perannya dalam menghasilkan lulusan yang profesional
(Nurachmah, 2005). Peran pembimbing klinik dapat menentukan
kualitas lulusan di masa mendatang. Pembimbing klinik diharapkan
memiliki keahlian klinis dan pengajaran sehingga dapat memberikan
bimbingan yang berkualitas dan pencapaian kompetensi yang optimal
(Dahlke, et al., 2012).

39
6. Perilaku efektif pembimbing klinik
Beberapa perilaku efektif seorang pembimbing klinik yaitu
(Firdous,2008):
a. Perilaku Mengajar
Penelitian yang dilakukan oleh Gangadharan et al (2016)
menyebutkan bahwa kemampuan mengajar seorang pendidik klinik
memperoleh nilai paling tinggi diantara perilaku efektif pendidik
klinik disusul oleh perilaku dalam hubungan interpersonal. Hasil
ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Rehan et al
(2007) yang mengemukakan perilaku atau kemampuan mengajar
seorang pendidik klinik sangat penting sebab dalam hal ini terjadi
perpindaham pengetahuan, keterampilan, dan perilaku dari
pendidik klinik ke mahasiswa melalui performa pendidik
(Rehan,2007).
b. Perilaku Berkomunikasi
Penelitian yang dilakukan oleh Hayajneh (2016) menyebutkan
bahwa mahasiswa yang sedang praktik klinik sangat
mengharapkan adanya feedback yang konstruktif terhadap
performa mahasiswa. Pendidik klinik juga kiranya memberikan
saran spesifik yang bermanfaat untuk meningkatkan serta
mengembangkan kemampuan mahasiswa, sebab pemberian saran
spesifik yang membangun ini terbukti dapat meningkatkan
pelayanan berkualitas dan bertanggung jawab terhadap
kemampuan profesional mahasiswa (Hayajneh F,2016).
c. Perilaku dalam Hubungan Interpersonal
Seorang pembimbing klinik diharapkan untuk berpikiran
terbuka dan tidak menghakimi, dapat menjadi seorang komunikator
yang mampu berinteraksi baik dan dapat memfasilitasi percakapan
yang interaktif. Pendidik klinik juga diharapkan mampu
menghargai (respect) terhadap mahasiswa baik itu melalui
pemikiran atau argumen maupun keterlibatan mahasiswa dalam

40
kegiatan pelayanan klinik, mendorong mahasiswa untuk saling
menghargai, dan memperlakukan mahasiswa sebagai pelajar
dewasa yang terbuka terhadap ide-ide baru, siap untuk dikritik
serta terbuka terhadap ketidaksetujuan akan suatu hal (Suroso,
2011)
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Baker (2012)
menyatakan bahwa perilaku yang paling tinggi dinilai oleh
mahasiswa penting bagi seorang pendidik klinik yaitu kemampuan
dalam hubungan interpersonal. Beberapa sikap yang menurut
mahasiswa perlu dimiliki oleh pembimbing yaitu rasa ketertarikan
kepada mahasiswa dan dapat menjadi seorang pendengar yang baik
bagi mahasiswa. Sikap respect seorang pendidik klinik merupakan
dimensi yang paling tinggi dari perilaku seorang pendidik klinik
dalam memberikan bimbingan yang diidentifikasi oleh mahasiswa
(Sianipar, Y. M. L., & Nurmalia, D, 2017).
d. Perilaku Mengawas
Pendidik klinik sebagai pengawas bertujuan untuk
mendukung dan membantu mahasiswa keperawatan untuk
mengembangkan keterampilan yang penting untuk menjadi
seorang praktisioner yang berkompeten dan berpengetahuan. Peran
melakukan pengawasan termasuk didalamnya keterampilan
keperawatan, pandangan holistik dalam kurikulum keperawatan,
pegawasan dalam organisasi, pengembangan kompetensi,
keterampilan pengambilan keputusan, dan pembiasaan terhadap
seting klinik. Pengawasan klinik atau supervisi klinik memberi
pengaruh pada mahasiswa dan pengembangan diri dan konsep
terhadap profesi keperawatan dimasa mendatang (Omisakin
F,2016)
e. Perilaku Keterampilan Profesional/Kompetensi klinis
Kompetensi seorang perawat pendidik klinik sangat
berkontribusi terhadap kinerja dalam kegiatan pembelajaran

41
klinik. Kompetensi yang dimaksud yaitu kemampuan perawat
mendemonstrasikan suatu keterampilan klinik dihadapan
mahasiswa dengan penuh percaya diri, sehingga dapat memberikan
efek baik terhadap proses pembelajaran mahasiswa dalam
mengembangkan kemampuan klinisnya (Mohamed-Nabil Ismail
L., 2016).
f. Perilaku Mengevaluasi
Penelitian yang dilakukan oleh Rehan et al (2007) terhadap
mahasiswa keperawatan didapat hasil bahwa mahasiswa memilih
perilaku mengevaluasi oleh pendidik klinik di urutan kedua dengan
spesifik evaluasi “tidak mengkritik mahasiswa di depan orang
lain”. Mahasiswa menginginkan ketika pendidik klinik melakukan
evaluasi individu tidak dilakukan di hadapan orang lain.

42
BAB III
PEMBAHASAN

A. Hasil Wawancara
Field trip dilaksanakan di ruang Al-Kautsar RS PKU Gamping
Yogyakarta. Subjek yang diobervasi adalah pembimbing klinik dan akademik
serta mahasiswa praktik dari PSIK UMY. Pelaksanaan field trip dilaksanakan
pada tanggal 29 April 2019 dan 4 Mei 2019. Tujuan dari pelaksanaan fieldtrip
adalah untuk mengetahui output pendidikan profesi Ners.
Berikut ini adalah hasil wawancara fieldtrip pendidikan profesi Ners yang
dilakukan kepada mahasiswa:
Tabel 3.1 Hasil Wawancara Mahasiswa

NO HASIL WAWANCARA
1 Pelaksanaan orientasi awal Ke PKU Gamping yang menerima adalah
Bpk.Arif, orientasi dilaksanakan pukul 07.00WIB
2 Diorientasi tentang Ruang Kamar dengan pemaparan profil RS kemudian
orientasi RS diperkenalkan dengan IPSG keselamatan pasien ,BHD, K3,
diberi tau poto-potonya juga dari code blue, diberi penjelasan tentang
cara pelayanan, orientasi berlangsung selama 1 hari,
3 Dikampus ada pembekalan praktek selama 2 hari dengan penjelasan
kompetensi apa yang akan dicapai, kalau diruang anak ada 3 preceptor,
di dewasa ada 4 preceptor,
4 Etika dan peraturan diberikan pada saat orientasi di RS. Orientasi
ditekankan terhadap identifikasi pasien.
5 Ketika orientasi dengan Bu Novita ditekankan pada pakaian tidak boleh
ketat, sepatu harus sesuai dari kampus.
6 Pada saat orientasi diberikan arahan tentang cara transport pasien.
Presensi harus 100%, pada praktek KMB pencapaiannya banyak,
penjelasan tentang macam-macam penilaian sesuai dengan loogbook
yang diberikan,
7 Yang diberikan evaluasi hanya DOPPS dengan cara diberikan feedback,
2 kali tutorial 4 kali pertemuan,
8 Terdapat 2 kali tutorial dan 4 kali pertemuan
9 Format pencapaian dari RS berbeda dengan format penilaian yang sudah
diberikan akademik
10 Sebelum dilaksankan longcase mereka harus menyelesaikan target yang
dicapai, kalo mereka tidak menyelesaikan makan longcase tidak bisa
dilaksanakan
43
NO HASIL WAWANCARA
11 Pre-Conference dilaksanakan hari pertama, hari ketiga dilaksanakan post-
conference, refleksi diri dilaksanakan diakhir stase. Kegiatan ini berisikan
tentang mahasiswa mendaptkan kasus yang berbeda dengan teori.
12 Ketika di ruang HD pelaksananya hanya 3 hari dan ada askep, pemberian
askep di HD lebih ditekankan kepada pendidikan kesehatan, tugas di HD
pembuatan resume dan fortofolio berisi tentang kelemahan mahasiswa
13 Terdapat kegiatan edukasi massa tentang senam hipertensi, respon pasien
senam sangat bersemangat
14 Pelaksanaan supervisi lebih sering dilakukan
15 Terdapat pembelajaran mandiri dan tugas nya diupload di ELS dan
Mahasiswa belom menulis tugas belajar mandiri dan belum uplod di ELS
padahal sudah dijelaskan
16 Wawancara setelah longcase:
Mahasiswa B
a. Merasa deg-degan
b. Ada proses yang terlupakan seperti perkenalan, cuci tangan
c. Komunikasi kurang efektif
d. Menjelaskan bahwa fase dari long case ini ada pra interaksi
(menyiapkan alat dan alat lainnya), fase orientasi (kenalan), fase kerja
(menjelaskan tujuan dari tindakan, mengontrak waktu), fase terminasi
(mendo’akan pasien, mengevalusi kegiatan)
e. Mengevaluasi keadaan pasien
f. Mengajarkan keluarga pasien untuk membantu mika miki pasien
Mahasiswa A
a. Sebelum melakukan proses longcase merasa deg-degan dan
b. Pada proses prainterakasi ada yang terlupakan seperti cuci tangan dan
menurunkan setreil pasien.
c. pada tahap kerja merasa belum maksimal dengan proses yang telah
berjalan karena salah memberikan penilaian skor kekuatan otot yang
seharunya masih 2, tetapi diberikan 4 karena sebelumnya kekuatan
otot pasien 4.
d. Mahasiswa mengatakan bahwa pasien seharusnya diberikan ROM
aktif tetapi karena salah penilaian skor jadi pasien diberkan ROM
pasif pada kaki sebelah kanan.
e. Pada fase terminasi mahasiswa tidak melakukan evaluasi, mahsiswa
mendoakan pasien agar cepat sembuh.
Mahasiswa D
a. Fase perkenalan diri baik
b. Cara pemberian pendidikan kesehatan kepada pasien kurang
menguasai dan pengetahuan tentang penyakit pasien saat edukasi
kurang
c. Persiapan mahasiswa cukup karena uda disiapkan
17 Ada satu orang preseptor yang kurang profesional dalam hal memberikan
bimbingan ke pada mahasiswa, mereka mengatakan bahwa preseptor

44
NO HASIL WAWANCARA
tersebut menjadi momok bagi semua mahasiswa di semua kelompok
bahkan pada mahasiswa ners angkatan sebelumnya. Sikap itu ditunjukan
ketika mahasiswa hendak bimbingan askep tetapi mood beliau sedang
buruk maka semua mahasiswa akan dimarahi oleh preseptor tersebut juga
berlaku ketika mahasiswa melakukan tugas di bangsal semua akan
terlihat salah ketika mood preseptor tersebut dalam keadaan buruk, hal ini
terjadi berulang ke pada setiap kelompok. Mahasiswa juga mengatakan
perawat dan preseptor yang ada di ruangan tersebut sering membebani
mahasiswa dengan menyuruh mahasiswa dengan tugas-tugas yang
seharusnya bukan menjadi tugas mahasiswa. Sehingga menyebabkan
mahasiswa tidak nyaman dalam melaksanakan pembelajaran diklinik
ketika dibimbing oleh preceptor tersebut
18 Tidak ada evaluasi untuk pembimbing klinik. Evaluasi hanya dilakukan
dengan public hearing saja

Berikut ini adalah hasil wawancara fieldtrip pendidikan profesi Ners yang
dilakukan kepada preceptor:
Tabel 3.2 Hasil Wawancara Preceptor

PEMBIMBING AKADEMIK PEMBIMBING KLINIK


- Penilaian yang diberikan kepada - Penilaian mahasiswa sesuai
mahasiswa sesuai dengan SOP, dengan SOP
jika tugas yang diberikan sudah - Sejauh ini mahasiswa sudah
sesuai dengan SOPnya maka bagus dalam menyelesaikan
mahasiswa dianggap sudah tugasnya
mampu mencapai tujuan - Pelanggaran yang dilakukan
pembelajarannya mahasiswa saat melakukan
- Sejauh ini mahasiswa praktik di klinik minim
mengerjakan tugasnya sudah baik - Sikap mahasiswa ke preceptor
- Untuk proses bimbingan sudah sudah sopan
dilaksanakan dengan terstruktur - Mahasiswa biasanya sering
- Mahasiswa tidak pernah bertanya kalau ada yang tidak
menceritakan tentang bisa
permasalahan yang terjadi dengan - Dalam pemberian asuhan
pembimbing klinik keperawatan ke pasien,
- Dari akademik untuk melakukan mahasiswa tidak ada dampingan
evaluasi pendidikan profesi Ners dari perawat di ruangan
hanya dengan public hearing
- Tidak ada pengisian kuisioner
untuk mengevaluasi pembimbing
klinik

45
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan hasil wawancara dengan mahasiswa dan preceptor ditemukan
berbagai masalah dalam pembelajaran klinik yaitu:
1. Terdapat pembelajaran mandiri dan tugas nya diupload di ELS dan
Mahasiswa belom menulis tugas belajar mandiri dan belum uplod di ELS
padahal sudah dijelaskan
2. Pada saat pelaksanaan long case ada proses yang terlupakan seperti
perkenalan, komunikasi kurang efektif, pada proses prainterakasi ada
yang terlupakan seperti cuci tangan dan menurunkan setreil pasien, cara
pemberian pendidikan kesehatan kepada pasien kurang menguasai dan
pengetahuan tentang penyakit pasien saat edukasi masih kurang
3. Ada satu orang preseptor yang kurang profesional dalam hal memberikan
bimbingan ke pada mahasiswa, mereka mengatakan bahwa preseptor
tersebut menjadi momok bagi semua mahasiswa di semua kelompok
bahkan pada mahasiswa ners angkatan sebelumnya. Sikap itu ditunjukan
ketika mahasiswa hendak bimbingan askep tetapi mood beliau sedang
buruk maka semua mahasiswa akan dimarahi oleh preseptor tersebut juga
berlaku ketika mahasiswa melakukan tugas di bangsal semua akan terlihat
salah ketika mood preseptor tersebut dalam keadaan buruk, hal ini terjadi
berulang ke pada setiap kelompok. Mahasiswa juga mengatakan perawat
dan preseptor yang ada di ruangan tersebut sering membebani mahasiswa
dengan menyuruh mahasiswa dengan tugas-tugas yang seharusnya bukan
menjadi tugas mahasiswa. Sehingga menyebabkan mahasiswa tidak
nyaman dalam melaksanakan pembelajaran diklinik ketika dibimbing oleh
preceptor tersebut
4. Mahasiswa dan preceptor mengatakan bahwa tidak ada evaluasi untuk
pembimbing klinik. Evaluasi hanya dilakukan dengan public hearing saja.

C. Perencanaan
Dari rumusan masalah yang ada saat pelaksanaan pembelajaran klinik
pada mahasiswa profesi Ners, kami mengambil masalah utama dalam hal

46
profesional behavior yaitu masih ada satu orang preseptor yang kurang
profesional dalam hal memberikan bimbingan ke pada mahasiswa, mereka
mengatakan bahwa preseptor tersebut menjadi momok bagi semua mahasiswa
di semua kelompok bahkan pada mahasiswa ners angkatan sebelumnya.
Sikap itu ditunjukan ketika mahasiswa hendak bimbingan askep tetapi mood
beliau sedang buruk maka semua mahasiswa akan dimarahi oleh preseptor
tersebut juga berlaku ketika mahasiswa melakukan tugas di bangsal semua
akan terlihat salah ketika mood preseptor tersebut dalam keadaan buruk, hal
ini terjadi berulang ke pada setiap kelompok. Mahasiswa juga mengatakan
perawat dan preseptor yang ada di ruangan tersebut sering membebani
mahasiswa dengan menyuruh mahasiswa dengan tugas-tugas yang seharusnya
bukan menjadi tugas mahasiswa. Banyak pendapat para ahli yang
memaparkan faktor-faktor yang berkontribusi terhadap efektivitas
pembelajaran yang berkaitan dengan preceptor klinik. Sehingga kami
mengambil masalah utama yang berkaitan dengan preceptor klinik untuk
mengevaluasi kompetensi preceptor
Menurut UU RI No 14 tahun 2005, kompetensi adalah seperangkat
pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati dan
dikuasai sebagai tenaga professional (hal.3). Kompetensi dalam cakupan yang
luas dapat juga diartikan sebagai suatu karakteristik yang mendasari
individuyang berkaitan erat dengan sebuah kinerja seseorang dalam
melaksanakan pekerjaannya dimana didalamnya mencakup motivasi, sifat
dan sikap, konsep diri, pengetahuan, prilaku dan keterampilan (Taylor, 2007).
Menurut McCusker (2013) dalam Mare, Dwidiyanti (2018) ada beberapa
kriteria kemampuan yang harus dimiliki oleh seorang perseptor, salah satunya
yaitu memiliki kesabaran dan kemampuan untuk membimbing preceptee pada
aktivitas dan tugas yang kompleks. Kemampuan yang dimiliki oleh perseptor
pada kasus ini belum memiliki kriteria kesabaran, karena preseptor sering
memarahi mahasiswa klinik yang akan bimbingan tetapi mood preseptor
sedang buruk. Didukung oleh Mulyasa (2005) dalam Nurhidayah (2015),
untuk mendongkrak kualitas pembelajaran, seorang perseptor selain

47
mengembangkan kecerdasan emosional harus juga mengembangkan
kreativitas dalam pembelajaran, mendisplinkan mahasiswa dengan kasih
sayang, membangkitkan nafsu belajar dan mendayagunakan sumber belajar.
Kemampuan mengelola emosi sangat dibutuhkan oleh seorang perseptor
sebab seorang perseptor adalah seorang perawat yang menjadi pengajar di
lingkungan klinik. Dalam pembelajaran klinik, mahasiswa klinik di ajar atau
di bimbing oleh perseptor, dalam kegiatan bimbingan di lingkungan klinik
tentunya seorang perseptor adalah sebagai panutan atau suri tauladan bagi
mahasiswa klinik bimbinganya, sehingga perseptor klinik harus menjadi
suritauladan dalam mengelola emosi pribadi selama di lingkungan
pembelajaran.
Preceptor dalam melaksanakan perannya sebagai seorang preceptor perlu
memiliki pengetahuan, keterampilan, sikap yang baik, memiliki fisik yang
baik untuk mendukung tugas (Martono,2009). Kemampuan yang harus
dimiliki oleh seorang preseptor adalah kemampuan untuk menjadi panutan
professional, mendemonstrasikan kemampuan memberikan dukungan filosofi
keperawatan (Demonstrated support of the philosophy of the nursing
department), kemampuan komunikasi yang efektif (An ability to
communicate effectively), memiliki keinginan yang kuat untuk
mempersepsikan perawat baru (A desire to precept new staff members) (Flyn
dan Madonna,2006)
Layuk, Y. T., Harjanto, T., & Hapsari, E. D (2017) menyatakan bahwa
pembelajaran klinik yang efektif merupakan salah satu cara meningkatkan
pencapaian kompetensi dan outcome pembelajaran bagi mahasiswa calon
perawat. Pembelajaran klinik di rumah sakit merupakan lingkungan yang
ideal untuk pembelajaran peserta didik. Program pendidikan profesi disebut
juga sebagai proses pembelajaran klinik. Istilah ini muncul terkait dengan
pelaksanaan pendidikan profesi yang sepenuhnya dilaksanakan di lahan
praktik seperti rumah sakit, puskesmas, klinik bersalin, panti wredha, dan
keluarga serta masyarakat atau komunitas. Pembelajaran klinik dalam
keperawatan merupakan wahana yang memberikan kesempatan kepada

48
mahasiswa untuk menerjemahkan pengetahuan teoretis ke dalam
pembelajaran. Sehingga agar pembelajaran klinik menjadi efektif, maka
diperlukan ligkungan belajar yang nyaman. Salah satu faktor yang
mempengaruhi lingkungan belajar klinik adalah preceptor klinik.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Johannis, E., Buanasari, A., &
Bidjuni, H. (2019) menyatakan bahwa pembimbing klinik belum maksimal
dalam memberikan bimbingan terhadap mahasiswa yang melaksanakan
praktek klinik keperawatan, sehingga beberapa mahasiswa mengalami cemas
sedang sampai berat, namun mayoritas kecemasan mahasiswa berada pada
kategori cemas ringan. Kurangnya mendapatkan bimbingan dari pembimbing
klinik menyebabkan mahasiswa sulit mengaplikasikan teori yang mereka
dapatkan saat perkuliahan dalam menangani pasien, serta masih ada rasa tidak
percaya diri dan perasaan gugup pada saat melakukan tindakan keperawatan
yang membuat mahasiswa merasa cemas. Hal ini menunjukkan bahwa
lingkungan pembelajaran kurang baik dan sebagian besar pembimbing klinik
melakukan proses bimbingan dengan kurang baik, namun tingkat kecemasan
mahasiswa hanya berada pada kategori ringan. Hasil penelitian ini sejalan
dengan penelitian oleh Saputra (2015) tentang hubungan lingkungan belajar
klinik dengan tingkat kecemasan pada pembelajaran klinik mahasiswa
keperawatan, yang mendapatkan hasil signifikan adanya hubungan antara
kedua variable tersebut.
Preceptor yang kompeten merupakan kunci keberhasilan pelaksanaan
pembelajaran klinik. Belum adanya alat ukur kompetensi preceptor di
Indonesia mengakibatkan proses bimbingan klinik preseptor bervariasi.
Kegiatan evaluasi dalam rangka menilai preceptor pada umumnya tertuang
dalam bentuk tes dengan berbagai variasinya, walaupun dalam praktik teknik
tes lebih sering dipergunakan. Akan tetapi teknik tes tidaklah satu-satunya
teknik yang dapat digunakan dalam kegiatan evaluasi, akan tetapi dapat
menggunakan teknik non tes. Penilaian dengan menggunakan teknik non tes
dilakukan dengan tanpa menguji melainkan melakukan pengamatan secara
sistematis, wawancara, menyebarkan angket (kuisioner), memeriksa

49
dokumen-dokumen, studi kasus dan sosiometri (Arikunto, 1997). Penggunaan
teknik non tes sifatnya lebih komprehensif yaitu penilaian tidak hanya
terbatas pada aspek kognitif, tetapi juga mengungkapkan aspek afektif dan
psikomotorik. Hal ini didukung dengan penelitian yang dilakukan oleh
Mania, S. (2017) menyatakan bahwa kuisioner dapat digunakan sebagai alat
ukur dan alat bantu penilaian dalam pendidikan dan pengajaran.
Oleh karena itu untuk mengevaluasi kompetensi preceptor klinik agar
institusi pendidikan mengetahui evaluasi preceptor klinik dan lingkungan
pembelajaran klinik menjadi lebih baik, maka evaluasi dapat menggunakan
dengan bentuk alat ukur kuisioner. Yang mengisi kuisioner adalah mahasiswa
dan preceptor (self assessment). Kuesioner yang bersifat self assessment
memiliki kelebihan dapat menumbuhkan rasa percaya diri seseorang terhadap
kemampuan yang dimilikinya, dapat mengetahui kekuatan dan kelemahan diri
sendiri, mendorong dan membiasakan diri untuk jujur dan objektif terhadap
penilaian yang dilakukan. Kelemahan alat ukur yang bersifat self assessment
adalah memiliki kecenderuangan menilai diri sendiri terlalu tinggi atau
subjektifitasnya terlalu tinggi (Komalasari, 2010). Oleh karena itu agar
evaluasi dapat seimbang, maka penilaian dari mahasiswa juga dibutuhkan

50
BAB IV
KESIMPULAN

1. Pendidikan Ners merupakan tingkatan pendidikan yang bertujuan


menghasilkan profesi perawat yang profesional. Proses pendidikan
dilaksanakan melalui 2 tahap yaitu tahap akademik dan tahap Profesi Ners, di
mana pada tahap profesi merupakan proses transformasi mahasiswa untuk
menjadi perawat profesional (Nursalam & Ferry Efendi, 2008).
2. Pembelajaran klinik dalam keperawatan merupakan wahana yang
memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk menerjemahkan
pengetahuan teoretis ke dalam pembelajaran (Layuk, Y. T., Harjanto, T., &
Hapsari, E. D., 2017).
3. Evaluasi praktik klinik merupakan sebuah proses untuk menentukan tercapai
tidaknya kompetensi mahasiswa dalam praktik (Zafrir, 2011).
4. Pembimbing klinik yaitu seseorang yang bertanggung jawab melaksanakan
kewajiban pengajaran di klinik kepada mahasiswa praktik yang sedang
melaksanakan pendidikan klinik di rumah sakit dan sudah mendapat tugas
memberikan bimbingan pembelajaran klinik kepada mahasiswa yang
memiliki nilai kepedulian serta kompetensi yang sesuai dan juga kewenangan
yang sah secara hukum (Purwani F, 2010).
5. Untuk mengevaluasi kompetensi preceptor klinik agar institusi pendidikan
mengetahui evaluasi preceptor klinik dan lingkungan pembelajaran klinik
menjadi lebih baik, maka evaluasi dapat menggunakan dengan bentuk alat
ukur kuisioner. Yang mengisi kuisioner adalah mahasiswa dan preceptor (self
assessment).

51
DAFTAR PUSTAKA

Ahsan, A. (2018). Model Pelatihan Pembimbing Klinik Berdasarkan Training


Need Assesment pada Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas
Kedokteran Universitas Brawijaya Malang. Jurnal Kedokteran Brawijaya,
19(1), 37-44.
Alimul AA. (2002). Pengantar pendidikan keperawatan. Jakarta: Sagung Seto.

Amin,dkk. (2009). Basic in Medical Education. 2nd edition. World Scientific


Publishing. Singapore.

Arikunto. (1997). Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.

Azizah, L. K., & Ropyanto, C. B. (2012). Tingkat Kepuasan Bimbingan Klinik


Mahasiswa Keperawatan. Jurnal Keperawatan Diponegoro, 1(1), 219-224.

Baker K. (2012). Senior Nursing Students‟ Perception of Clinical Teacher


Behavior. School of Nursing Gardner-Webb University.

Beth, P. (2009). Role modeling excellence in clinical nursing practice. Nurse


Education in Practice, 9 (1), 36-44.
Bland, et al. (2009). Implementation And Testing Of The Opt Model As A
Teaching Strategy In An Undergraduate Psychiatric Nursing Course. Nurs
Educ Perspect, 30, 14-21.

Blazun, et al. (2015). Reserch literature production on nursing competences from


1981 till 2012: A bibliometric snapshot. Journal of Nurse Education Today,
35(5): 673-679.
Boekaerts, et al. (2010). Exploring the motivation jungle: Predicting performance
on a novel task by investigating constructs from different motivation
perspectives in tandem. International Journal of Psychology, 45(4): 250-
259.
Chan. (2002). Associations between student learning outcomes from their clinical
placement and their perceptions of the social climate of the clinical learning
environment. International Journal o Nursing Studies, 39, 517-524.
Chan. (2003). Validation of the Clinical Learning Environment Inventory.
Western Journal of Nursing Research, 25, 519-532.
Dahlke, et al. (2012). The clinical instructor role in nursing education: A
structured literature review. Journal of Nursing Education, 51(12), 692–
696.

52
Depkes RI. (2008). Panduan Nasional Keselamatan Pasien Rumah Sakit (patient
safety) Edisi 2. Jakarta: Depkes.
Dirjendikti. (2011). Draft Standar Pendidikan Ners.
Dornan, et al. (2011). Medical Education Theory and Practice. Elsevier. London.
Firdous. (2008). Attributes of an effective clinical teacher: a survey on students‟
and teachers‟ perceptions. J Coll Physicians Surg Pakistan ;18(6):357–61
Forsberg, E., Georg, C., Ziegert, K. & Fors, U. 2011. Virtual Patients For
Assessment Of Clinical Reasoning In Nursing-A Pilot Study. Nurse Educ
Today, 31, 757- 62
Gangadharan, P., et al. (2016). Research Article Effectiveness Of Clinical Teacher
Behaviors As Perceived By Nursing Students , Graduates And Faculty Of
King Khalid University , College Of Applied Medical Science , Mohail ,
Kingdom Of Saudi Arabia;5(3):651–6.
Hayajneh F. (2016). Role model clinical instructor as pereived by Jordanian
nursing students. J Res Nurs; 16(1):23–32.
Ip and Kit Chan. (2005). Hong Kong nursing students' perception of the clinical
environment: a questionnaire survey. Int J Nurs Stud, 42, 665-672.
Ismahmudi, dkk. (2008). Hubungan Minat dan Motivasi Mengikuti Pembelajaran
Klinik dengan Pencapaian Target Keterampilan Klinik di Akper
Muhamadiyah Samarinda. Yogyakarta; UGM.
Jecklin, S.K. (2009). Assessing nursing student perceptions of the clinical
learning environment: Refinement and testing of the SECEE inventory.
Journal of Nursing Measurement, 17(3), 232-46.
Johannis, E., Buanasari, A., & Bidjuni, H. (2019). Hubungan Persepsi Mengenai
Proses Bimbingan Klinik Dengan Tingkat Kecemasan Pada Mahasiswa
Praktek Klinik Keperawatan Semester III PSIK FK Unsrat Di Rs
Bhayangkara Dan Puskesmas Bahu Manado. Jurnal Keperawatan, 7(1).
Johnson, S. (2011). Preceptor-guided clinical practicum orientation manual.
School of nursing Virginia Commonwealth University
Kautz, et al. (2005). Promoting Clinical Reasoning In Undergraduate Nursing
Students: Application And Evaluation Of The Outcome Present State Test
(Opt) Model Of Clinical Reasoning. Int J Nurs Educ Scholarsh, 2, Article 1.
Keliat. B,A., 2000. Metode Bimbingan Klinik di Rumah Sakit. Jakarta: Rineka
Cipta

53
Kim, C., Park, J. & Kang, S. (2013). Effects of a collaborative clinical practicum
on clinical practice ability and teaching effectiveness among nursing
students. Journal of Nursing Education and Practice, 3(12), 143.
Layuk, Y. T., Harjanto, T., & Hapsari, E. D. (2017). Hubungan Persepsi
Lingkungan Pembelajaran Klinik Dengan Perilaku Caring Pada
Mahasiswa Profesi Ners. Jurnal Persatuan Perawat Nasional Indonesia
(JPPNI), 1(2), 154-167.
Linda,K,A & Candra,R,B. (2012). Tingkat Kepuasan Bibingan Klinik Mahasiswa
Keperawatan. Jurnal Nursing Studi, Volume 1 Nomor 1.
Mania, S. (2017). Teknik Non Tes: Telaah atas Fungsi Wawancara dan Kuesioner
dalam Evaluasi Pendidikan. Lentera Pendidikan: Jurnal Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan, 11(1), 45-54.

Meyer, G. E., Nel., E., & Downing, C. (2016). Basic student nurse perceptions
about clinical instructor caring. Journal of Health SA Gesondheid, 21: 444–
452.
Minardo, J., & Wakhid, A. (2018). Analisis Kemampuan Pembimbing Klinik
Dalam Memberikan Bimbingan Klinis Kepada Peserta Didik. Jurnal
Keperawatan, 10(3), 170-176.
Mingpun, R., Srisa-ard, B., & Jumpamool, A. (2015). Strengthening Preceptor’s
Competency In Thai Clinical Nursing. Academic Journals , 01 (20) 2653-
2660.
Mohamed-Nabil Ismail L. (2016). Clinical instructor‟s behavior: Nursing
student‟s perception toward effective clinical instructor‟s characteristics. J
Nurs Educ Pract;6(2).
Norcini, et al. (2007). Workplace-based assessment as an educational tool: AMEE
guide no. 31. Med Teach;29 (9):855-71.
Notoadmodjo S. (2003). Pengantar Pendidikan Kesehatan dan Ilmu Perilaku.
Yogyakarta: Andi Offset.
Nurachmah, E. (2005). Metode pengajaran klinik keperawatan. Makalah
pelatihan bimbingan klinik FIK UI.
Nurhidayah. (2011). Pendidikan Keperawatan. Medan: USU press.
Nursalam & Ferry Efendi. (2008). Pendidikan dalam Keperawatan. Jakarta:
Salemba Medika.
Omisakin F.(2016). Ideal clinical roles of nursing lectures in nigeria : a review of
the literature. Heal Sci J;10(5):1–6

54
PAPP, et al. (2003). Clinical environment as a learning environment: student
nurses’ perceptions concerning clinical learning experiences. Nurse
Education Today, 23, 262-268.
Parsh, B. (2010). Characteristics of effective simulated clinical experience
instructors: Interviews with undergraduate nursing students. Journal of
Nursing Education, 49(10), 569-572.
Purwani F. (2010). Hubungan Antara Persepsi Mahasiswa Terhadap
Pembimbingan Klinik dan Motivasi Belajar Praktik Klinik di RSUD dr.
Moewardi Surakarta. Surakarta.
Pusat Pengembangan Kesehatan Carolus. (2010). Pelatihan Pembimbing Klinik
Keperawatan. Jakarta
Rahyubi H. (2012). Teori-teori belajar dan aplikasi pembelajaran motorik.
Bandung: Nusa media; 2012.
Reghuram, R., & Caroline, P. (2014). Student Perception Of Effectife Clinical
Teacher Characteristisc. International Journal Of Nursing Care , 2 (01) 47-
50.
Rehan, et al. (2007). Characteristics Of Clinical Faculty Perceived By Nursing
Students And Alumni In Karachi;1(1):35–44.
Reilly & Oermann. (2002). Pengajaran Klinis dalam Pendidikan. Keperawatan.
Jakarta: EGC
Saputra.(2015). Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan pembelajaran
keterampilan klinik di Institusi Pendidikan Kedokteran. J Kedokt.
2015;5(9):104–9.
Sari, D. W. P. (2018). Peran Pembimbing Klinik dan Pelaksanaan Keselamatan
Pasien Oleh Mahasiswa Profesi Ners. In Unissula Nursing Conference Call
for Paper & National Conference (Vol. 1, No. 1, pp. 138-144).
Sellek. 1982. Satisfying and anxiety-creating incidents for nursing students.
Nursing Times, 78, 137-140
Sianipar, Y. M. L., & Nurmalia, D. (2017). Perilaku Efektif Perawat Sebagai
Pendidik Klinik Dalam Memberikan Bimbingan Klinik Di Rsud Tugurejo
Semararang (Doctoral dissertation, Faculty of Medicine).
Simamora. (1999). Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta
Simamora. (2009). Buku Ajar Pendidikan dalam Keperawatan. Jakarta:EGC.
Suroso. (2011). Hubungan persepsi tentang jenjang karir dengan kepuasa kerja
dan kinerja perawat RSUD Banyumas. Universitas Indonesia.

55
Warne, et al. (2010). An exploration of the clinical learning experience of nursing
students in nine European countries. Nurse Educaton Today, 30, 809-15
Widarti, L. (2016). Evaluasi Kualitas Pembimbing Praktek Klinik Mahasiswa
(Quality Evaluation Of Clinical Instructor Students). Jurnal Keperawatan,
9(1), 49-54.
Zafrir H, Nissim S. (2011). Evaluation in clinical practice using an innovative
model for clinical teachers. Journal of Nursing Education;50(3):167 - 71.

56
LAMPIRAN
KUISIONER PENILAIAN PRESEPTOR KLINIK

Alternatif Jawaban
No Pernyataan Tidak Kadang-
Sering Selalu
Pernah kadang
A. Komponen pengetahuan
Pembimbing klinik :
1 Memiliki cara berfikir yang terbuka dan
fleksibel
2 Menjelaskan teori yang akan digunakan
untuk praktek klinik
3 Menjawab pertanyaan dengan benar
berdasarkan teori yang digunakan
dengan tepat
4 Menggunakan referensi terbaru untuk
menunjang pembelajaran
5 Memiliki wawasan yang luas diluar
bidang keperawatan
6 Memiliki kemampuan berdiskusi dalam
penerapan aplikasi praktis
7 Mendemonstrasikan penggunaan
teknologi secara efektif untuk
menunjang pembelajaran
8 Berfikir secara kritis dalam memberikan
bimbingan ke mahasiswa
B. Komponen Sikap
Pembimbing Klinik:
1 Mempunyai kemampuan interpersonal
yang baik
2 Menghargai perbedaan kapasitas mahasiswa

3 Melaksanakan pelayanan langsung


kepada pasien merupakan bagian dari
proses pengajaran kepada mahasiswa
57
Alternatif Jawaban
No Pernyataan Tidak Kadang-
Sering Selalu
Pernah kadang
dan perawat lainnya.
4 Bisa berperan sebagai change agent.
5 Membantu pemenuhan kompetensi bagi
mahasiswa
6 Berpenampilan bersih dan rapi di rumah
sakit
7 Bersikap dewasa
8 Pembimbing klinik membantu siswa
untuk beradaptasi dengan lingkungan
kerja
9 Melaksanakan peran dan tugasnya
10 Menyesuaikan kondisi mahasiswa dan
lingkungan saat pembelajaran klinik
11 Memiliki kemauan belajar yang tinggi
untuk menambah pengetahuan dan
wawasan
12 Mengarahkan mahasiswa untuk
menggunakan sumber-sumber yang
sudah relevan
13 Membimbing mahasiswa dengan serius
14 Melakukan pre dan post conference
untuk pemecahan masalah secara
bersama
15 Melibatkan mahasiswa dalam
pembelajaran klinik

C. Komponen Nursing And Teaching Skills


Pembimbing Klinik :
1 Melakukan komunikasi terapeutik
dengan baik
2 Melakukan analisis kebutuhan belajar

58
Alternatif Jawaban
No Pernyataan Tidak Kadang-
Sering Selalu
Pernah kadang
peserta didik
3 Memberikan petunjuk pemecahan
masalah yang dihadapi oleh peserta
didik pada praktik klinik
4 Membimbing peserta didik untuk
menggunakan sumber pembelajaran
yang relevan (sesuai dengan evidence
based)
5 Mengevaluasi pengetahuan peserta
didik secara periodik, tepat dan
transparan
6 Mengevaluasi sikap peserta didik secara
periodik, tepat dan transparan
7 Mengevaluasi skill peserta didik secara
periodik, tepat dan transparan
8 Memberikan feedback terhadap
kebutuhan belajar peserta didik
9 Melakukan kolaborasi dengan
profesional pemberi asuhan lainnya
10 Menjadi role model bagi peserta didik

59
LAMPIRAN
KUISIONER PENILAIAN PRECEPTOR KLINIK (SELF ASSESSMENT)
MANAJEMEN DIRI PRESEPTOR KLINIK PADA PENDIDIKAN
KEPERAWATAN

No. Pernyataan Jawaban


Tidak Kadang- Sering Selalu
Pernah kadang
Sebagai pembimbing klinik, saya
memiliki:
1. Visi dan misi dalam karir keperawatan
2. Rasa bangga pada profesi keperawatan
3. Komitmen dan integritas untuk
memajukan profesi keperawatan
4. Keyakinan diri yang kuat untuk
mengembangkan karir dalam
keperawatan
5. Keinginan untuk mengembangkan
profesionalisme melalui pendidikan
dan pelatihan
6. Kemampuan untuk membuat
keputusan
7. Kemampuan untuk mengelola stres
8. Kemampuan untuk membagi waktu
antara pekerjaan dalam pelayanan dan
bimbingan dengan mahasiswa
9. Kemampuan untuk mengontrol diri
saat terjadi masalah
10. Kemampuan dalam menyelesaikan
konflik dengan mahasiswa maupun
orang lain
11. Kemampuan dalam membina
hubungan interpersonal dengan
mahasiswa
12. Kemampuan memimpin diri untuk
mencapai tujuan yang diharapkan
13. Kemampuan dalam membangun citra
profesi yang positif melalui tindakan
dan kepribadian saya
14. Kemampuan dalam memahami diri
sendiri baik dari segi kekurangan dan
kelebihan

LAMPIRAN
60
DOKUMENTASI FIELD TRIP

61
62

Anda mungkin juga menyukai