Anda di halaman 1dari 28

8

ASMA & PPOK


1. Damson Amsisi Lumbangaol
2. Fitri Yulia Sari
3. Karolus Provesialitus Daya
4. Ririen Pramita Sari
5. Zukhrufi Wardana
ASMA Terkait dengan a
lergi
Penyakit heterogen dan dikarakterisir dengan ada
nya inflamasi saluran nafas secara kronis. Dan dit
entukan dengan adanya riwayat gangguan pernaf
asan yaitu mengi, sesak nafas, dada berat, batuk b
ervariasi setiap saat dan bervariasi juga intensitas
nya (GINA, 2020)

Gambaran :
Gejala asma dapat membaik secara spontan (reversible)
atau dengan pengobatan dan mungkin tidak terjadi dlm
beberapa minggu atau bulan.
FAKTOR PEMICU ASMA :

• ISPA (Rhinovirus, influenza, pneumonia)


1.

• Allergen (Debu, serbuk sari bunga, bulu hewan, dll)


2.

• Lingkungan (Udara dingin, gas, asap)


3.

• Emosi (Cemas, stress)


4.

• Olahraga
5.

• Obat/Pengawet (Aspirin, NSAID, beta-blockers)


6.
Asthma Pathophysiology
Smooth Muscle Airway
Dysfunction Inflammation

• Bronchoconstriction • Inflammatory Cell


• Bronchial Hyperreactivity • Mucosal Edema
• Hypertrophy/Hyperplasia • Cellular Proliferation
• Inflammatory Mediator Release • Epithelial Proliferation

Symptoms/Exacerbations
KLASIFIKASI : (GINA, 2020)

1. Asma Intermitten 2. Asma Persisten Ringan


- Eksaserbasi kurang dari 1 kali seminggu - Gejala asma malam >2x/bulan;

- Eksaserbasi singkat - Eksaserbasi >1x/minggu,

- Gejala malam tidak lebih dari 2 kali sebulan - Eksaserbasi mempengaruhi aktivitas dan tidur
- Bronkodilator diperlukan bila ada serangan - Membutuhkan bronkodilator dan kortikosteroid

- Jika serangan agak berat mungkin memerlukan - APE atau VEP1 ≥ 80% prediksi
kortikosteroid - Variabiliti APE atau VEP1 20-30%
- APE atau VEP1 ≥ 80% prediksi

- Variabiliti APE atau VEP1 < 20%


3. Asma Persisten Sedang 3. Asma Persisten Berat
- Gejala hampir tiap hari - APE atau VEP1<60% Prediksi
- Gejala asma malam >1x/minggu - Variabiliti APE atau VEP1 >30%
- Eksaserbasi mempengaruhi aktivitas dan tidur

- Membutuhkan steroid inhalasi & bronkodilator setiap


hari
- APE atau VEP1 60-80%

- variabiliti APE atau VEP1 >30%


Diagnosis Asma

Ada 3 cara yang digunakan oleh dokter untuk mengetahui seseorang itu menghidap

penyakit asma atau tidak, yaitu:

1. Amnanesis

2. Pemeriksaan fisikal

3. Pemeriksaan penunjang seperti uji pernafasan.


Anamnesis
Ada beberapa hal yang harus diketahui dari pasien asma antara lain:
• Riwayat hidung ingusan atau mampat (rhinitis alergi)
• Mata gatal, merah, dan berair (konjungtivitis alergi)
• Eksem atopi
• Batuk yang sering kambuh (kronik) disertai mengi
• Flu berulang, sakit akibat perubahan musim atau pergantian cuaca
• Adanya hambatan beraktivitas karena masalah pernapasan (saat berolahraga)
• Sering terbangun pada malam hari
• Riwayat keluarga (riwayat asma, rinitis atau alergi lainnya dalam keluarga)
• Keadaan lingkungan rumah (kebersihan, lokasi dan memelihara hewan)
Pemeriksaan Fisikal

- Pemeriksaan fisis pasien asma, sering ditemukan perubahan cara bernapas

dan terjadi perubahan bentuk anatomi toraks.

- Inspeksi dapat ditemukan; napas cepat, kesulitan bernapas, menggunakan

otot napas tambahan di leher, perut dan dada.

- Auskultasi dapat ditemukan; mengi, ekspirasi memanjang.


Pemeriksaan Penunjang

Terdapat 6 ujian diagnosis untuk menentukan seseorang itu menghidap asma:

1. Spirometry test.

2. Methacholine Challenge Test.

3. Exercise Challenge Test.

4. Pemeriksaan arus puncak ekspresi dengan Peak Expirometry Flow Rate (PEFR).

5. Uji Alergi (untuk menilai adanya alergi)

6. Foto Thorax (untuk menyingkirkan penyakit selain asma)


Pharmacological Therapy
Reliever/Acute Controller/Maintenance
Merelaksasi otot polos bronkus dan Mengatasi inflamasi dan mencegah gejala
mengatasi bronkokonstriksi asma (harus dipakai secara rutin)

Short acting beta-agonist inhalation  Corticosteroids inhalation


(Salbutamol and Terbutalin) (Beclomethason dipropionate, Budesonide,
 Systemic corticosteroids Fluticasone)
(Methylprednisolone, Prednison)  Long acting beta-agonist inhalation
 Anticholinergics (Ipratropium Bromid) (Salmeterol, Formoterol) in combination
 Epinefrin Injection with ICS
 Aminophillin Injection  Cromolyn sodium/nedocromil
 Leukotriene modifiers
 Imunomodulator (anti Ig-E)
COPD
(Chronic Obstructive Pulmonary Disease)

PPOK adalah penyakit yang umum, dapat dicegah, dan dapat diobati, yang dicirikan oleh gejala pernapasa
n yang persisten dan keterbatasan aliran udara yang disebabkan oleh kelainan saluran napas dan/atau alveol
ar. Disebabkan oleh paparan yang signifikan terhadap partikel atau gas berbahaya dan dipengaruhi oleh fak
tor
inang termasuk perkembangan paru-paru yang abnormal. Komorbiditas yang signifikan mungkin memiliki
dan berdampak pada morbiditas dan mortalitas
Pada PPOK sering dijumpai adanya bronchitis kronis dan
emphysema, baik secara tunggal atau bersamaan.

Bronchitis kronis adalah peradangan bronkus yang ditandai dengan


batuk kronis yang disertai pengeluaran mukus berlebihan, yang
terjadi hampir setiap hari selama sekurangnya tiga bulan dalam 1 thn
selama 2 tahun berturut-turut.

Emphysema adalah kelainan paru-paru yang ditandai dengan


pembesaran alveolus disertai kerusakan alveolus yang sifatnya
permanen.
Pathophysiology
• Perubahan peradangan kronis menyebabkan perubahan destruktif dan keterbatasan aliran udara kronis.
Penyebab paling umum adalah paparan asap tembakau.
• Menghirup partikel dan gas yang berbahaya mengaktifkan neutrofil, makrofag, dan Limfosit CD8+, yang
melepaskan mediator kimia. Sel inflamasi dan mediator membawa perubahan destruktif yang meluas di s
aluran udara, vaskulatur paru, dan paru-paru Parenkim.
• Oksidan yang dihasilkan oleh asap rokok bereaksi dengan dan merusak protein dan lipid, berkontribusi

pada kerusakan jaringan.


• Antiprotease pelindung α1-antitrypsin (AAT) menghambat enzim protease, termasuk neutrophil.
Kekurangan AAT menyebabkan risiko emphysema.
• COPD terkait merokok biasanya menghasilkan emfisema sentrilobular yang terutama mempengaruhi
bronkioli pernapasan.
Clinical Presentation
1. Gejala awal seperti batuk kronis dan produksi sputum yang sudah dialami selama be
berapa tahun.

2. Pasien yang mengalami eksaserbasi COPD mungkin memiliki dispnea yang


memburuk, meningkat volume sputum, dan gejala lain yang terjadi seperti sesak

dada, peningkatan kebutuhan bronkodilator, kelelahan, dan penurunan toleransi


latihan.

Treatment :
Mencegah atau meminimalkan perkembangan penyakit, meringankan gejala, meningkatkan toleransi
olahragameningkatkan status kesehatan, mencegah dan mengobati eksaserbasi, mencegah dan mengobati
komplikasi, dan mengurangi morbidity dan mortality.
Diagnosis PPOK
1. Anamnesis :
a. Faktor Resiko :
- Usia
- Riwayat pejanan (asam rokok, polusi udara)

2. Gejala:

Gejala PPOK terutama berkaitan dengan respirasi


- Batuk kronik (hilang timbul selama 3 bulan dan tidak hilang dengan pengobatan yang diber
ikan)
- Berdahak kronik
- Sesak nafas, terutama pada saat melakukan aktivitas
Pemeriksaan Fisik
Secara umum pada pemeriksaa fisik dapat ditemukan hal-hal sebagai berikut :
1. Inspeksi :
- bentuk dada : barrel chest (dada seperti tong)

- terdapat cara bernafas seperti orang meniup


- terlihat penggunaan hipertrofi (pembesaran) otot bantu nafas

- pelebaran sela iga


2. Perkusi :

- Hipersonor
3. Auskultasi :
- Fremitus melemah
- suara nafas vesikuler melemah atau normal
- ekspirasi memanjang
- mengi
Pemeriksaan Penunjang
1. Radiologi
2. Spirometri

3. Lab. Darah rutin (timbulnya polisitemia menunjukkan telah terjadi hipoksia kronik)

4. Analisis gas darah


5. Mikrobiologi sputum

Dinyatakan PPOK (secara klinis) apabila sekurang-kurangnya pada anamnesis ditemukan

adanya riwayat pejanan faktor resiko disertai batuk kronik dan berdahak dengan sesak nafas
terutama pada saat melakukan aktivitas pada seseorang yang berusia pertengahan atau yang
lebih tua.
Kelompok A
Semua pasien diberikan terapi bronkodilator, bisa berupa
bronkodilator kerja singkat (short acting beta22 agonis (SABA) atau 
short acting antimuscarinic (SAMA) atau kerja panjang (long acting
beta2 2 agonis (LABA) atau long acting antimuscarinic (LAMA). Terapi
dilanjutkan bila ditemukan manfaat perbaikan gejala.
Kelompok B
Terapi awal menggunakan bronkodilator kerja panjang karena lebih
unggul dibandingkan bronkodilator kerja singkat. Pemilihan jenis
obat bergantung pada persepsi pasien terhadap perbaikan gejala.
Untuk sesak napas berat, dapat direkomendasikan terapi awal
menggunakan 2 bronkodilator. Jika penambahan bronkodilator kedua
tidak memperbaiki gejala, sebaiknya diperiksa kemungkinan
komorbiditas (seperti penyakit kardiovaskular, dan kanker paru) yang
dapat menambah gejala dan memengaruhi prognosis.
mMRC : Modified British Medical Research Council
CAT : COPD Assessment Test
Kelompok C
Terapi awal dengan bronkodilator kerja panjang tunggal (LAMA atau LABA). LAMA lebih unggul dibanding

LABA dalam mencegah eksaserbasi, sehingga LAMA lebih direkomendasikan untuk terapi awal kelompok ini.
Kelompok D
Pada umumnya, terapi awal menggunakan LAMA yang memiliki efek pada sesak napas dan eksaserbasi
Pada pasien dengan gejala yang lebih berat (skor CAT ≥20), khususnya dengan gejala sesak napas yang

memberat dan keterbatasan aktivitas, direkomendasikan terapi awal menggunakan kombinasi LABA dan

LAMA. Penelitian menunjukkan kombinasi tersebut lebih unggul dibandingkan obat tunggal. Pada beberapa

pasien, pilihan pertama untuk terapi awal adalah kombinasi LABA dan ICS.
Kombinasi ini memiliki potensi terbesar menurunkan eksaserbasi pada pasien dengan nilai eosinofil darah ≥300

sel/μL. Kombinasi LABA dan ICS juga merupakan pilihan pertama pada pasien PPOK dengan riwayat asma.
ICS dapat menimbulkan efek samping seperti pneumonia, sehingga penggunaannya sebagai terapi awal hanya

jika manfaat lebih besar dibandingkan risikonya.


Pharmacological Therapy
1. Sympathomimetics
Simpatomimetik selektif 2 menyebabkan relaksasi otot polos bronkus dan bronkodilatasi dan juga
dapat meningkatkan pembersihan mukosiliar.
Albuterol, levalbuterol, bitalterol, terbutaline.
2. Anticholinergics
Ketika diberikan melalui inhalasi, antikolinergik menghasilkan bronkodilatasi dengan menghambat
secara kompetitif reseptor kolinergik di otot polos bronkus.
Ipratropium bromide, tiotropium bromide, and aclidinium bromide.
3. Combination Anticholinergics and Sympathomimetics
Kombinasi antikolinergik inhalasi dan 2-agonis sering digunakan, terutama saat penyakit berkemba
ng dan gejala memburuk.
4. Methylxanthines
Menghasilkan bronkodilatasi dengan menghambat fosfodiesterase dan mekanisme lainnya. Methyl
xanthines memiliki peran yang sangat terbatas dalam terapi PPOK karena interaksi obat dan variabi
litas antar pasien dalam persyaratan dosis.
Theophylline and aminophylline.
5. Corticosteroids
Kortikosteroid mengurangi permeabilitas kapiler untuk menurunkan lendir, menghambat pelepasan
enzim proteolitik dari leukosit, dan menghambat prostaglandin.

Beklometason, budesonida, flutikason.

6. Phosphodiesterase Inhibitors

Roflumilast adalah Fosfodiesterase 4 (PDE4) diindikasikan untuk mengurangi risiko eksaserbasi pada
pasien dengan PPOK berat terkait dengan bronkitis kronis dan riwayat eksaserbasi.
Antimicrobial Therapy
1. Pada PPOK eksaserbasi akut terapi antibiotik dapat diberikan jika memicu 2 dari 3 gejala berikut :
Sesak nafas meningkat
Volume sputum meningkat

Sputum menjadi purulent

2. Terapi antibiotik ini harus didasarkan pada bakteri penyebab infeksi : H. Influenzae, Moraxela catarrhalis, S. Pneumoniae, dan H.P
arainfluenzae
3. Terapi dapat dimulai dalam 24 jam dari munculnya gejala, selama 7-10 hari

4. Pada eksaserbasi tanpa komplikasi, terapi yang direkomendasikan adalah gol. Makrolida (Azithromycin/Clarithromycin),
Cefalosporin generasi II/III atau doksisiklin.
5. Pada eksaserbasi dengan komplikasi, antibiotik yang direkomendasikan amoxicillin/clavulanate, fluoroquinolone (levofloxacin/mo
xifloxacin)

6. Eksaserbasi dengan resiko Pseudomonas aeruginosa terapi yang direkomendasikan adalah Fluoroquinolone (Levofloxacin)

Anda mungkin juga menyukai