OBSTRUKTIF KRONIS
(PPOK)
MEROKOK
Merokok merangsang makrofag
melepaskan fator kemotaktik
netrofil dan elastase yang akan
menyebabkan destruksi
jaringan.
Lanjutan
FAKTOR LINGKUNGAN
PPOK dapat muncul pada pasien
yang tidak pernah merokok.
DEFISIENSI ENZIM
Faktor lingkungan dicurigai dapat
ALPHA1-ANTITRYPSIN
menjadi penyebabnya. Faktor
(AAT)
risiko yang berasal dari
AAT merupakan enzim yang
lingkungan, yaitu:
berfungsi untuk menetralisir efek
1. Polusi dalam ruangan
elastase neutrophil dan
2. Polusi luar ruangan
melindungi parenkim paru dari
3. Zat kimia dan debu pada
efek elastase. Defisiensi AAT
lingkungan kerja
merupakan faktor predisposisi
4. Serta infeksi saluran nafas
pada Emfisema tipe panasinar.
bagian bawah yang berulang pada
Defisiensi AAT yang berat akan
usia anak.
menyebabkan emfisema prematur
pada usia rata-rata 53 tahun
untuk pasien bukan perokok dan
40 tahun pada pasien perokok.
PATOFISIOLOGI
PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik pasien PPOK dapat bervariasi dari tidak ditemukan kelainan sampai
kelainan jelas dan tanda inflasi paru.
INSPEKSI
1. Pursed-lips breathing (mulut setengah terkatup/mencucu), Sikap seseorang
yang bernafas dengan mulut mencucu dan ekspirasi yang memanjang. Ini
diakibatkan oleh mekanisme tubuh yang berusaha mengeluarkan CO2 yang
tertahan di dalam paru akibat gagal nafas kronis.
2. Penggunaan alat bantu napas, terlihat dari retraksi dinding dada, hipertropi
otot bantu nafas, serta pelebaran sela iga
3. Barrel chest, merupakan penurunan perbandingan diameter antero-posterior
dan transversal pada rongga dada akibat usaha memperbesar volume paru. Bila
telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis di leher dan
edema tungkai.
4. Pink puffer, adalah gambaran yang khas pada emfisema, yaitu kulit
kemerahan pasien kurus, dan pernafasan pursed-lips breating.
5. Blue bloater, adalah gambaran khas pada bronkitis kronis, yaitu pasien
tampak sianosis sentral serta perifer, gemuk, terdapat edema tungkai dan ronki
basah di basal paru.
Lanjutan
PALPASI
Pada palpasi dada didapatkan vokal
fremitus melemah dan sela iga melebar.
Terutama dijumpai pada pasien dengan
emfisema dominan.
PERKUSI
Hipersonor akibat peningkatan jumlah udara
yang terperangkap, batas jantung mengecil,
letak diafragma rendah, hepar terdorong ke
bawah terutama pada emfisema.
Lanjutan
PEMERIKSAAN PENUNJANG
1) Uji Faal Paru dengan Spirometri dan Bronkodilator (post-bronchodilator)
2) Foto Torak PA dan Lateral
3) Analisa Gas Darah (AGD)
4) Pemeriksaan sputum
5) Pemeriksaan Darah rutin
6) Electrocardiogram (EKG)
TERAPI
Terapi Farmakologi pada PPOK stabil
Tujuan pengobatan PPOK stabil adalah mengurangi gejala, menurunkan risiko dan
keparahan serangan/eksaserbasi, serta meningkatkan kualitas hidup pasien.
KELOMPOK A
Pasien diberikan terapi
bronkodilator, berupa bronkodilator
kerja singkat (short acting beta2
agonis (SABA) atau short acting
antimuscarinic (SAMA)) atau kerja
panjang (long acting beta2 agonis
(LABA) atau long acting
antimuscarinic (LAMA)).
Lanjutan
KELOMPOK D
KELOMPOK B Pada umumnya, terapi awal
Terapi awal menggunakan menggunakan LAMA yang
bronkodilator kerja panjang memiliki efek pada sesak napas
karena lebih unggul dibandingkan dan eksaserbasi
bronkodilator kerja singkat. Pada pasien dengan gejala sesak
Untuk sesak napas berat, dapat napas yang memberat dan
direkomendasikan terapi awal keterbatasan aktivitas,
menggunakan 2 bronkodilator. direkomendasikan terapi awal
Jika penambahan bronkodilator menggunakan kombinasi LABA
kedua tidak memperbaiki gejala, dan LAMA.
sebaiknya diperiksa kemungkinan Pada beberapa pasien, pilihan
komorbiditas yang dapat pertama untuk terapi awal adalah
menambah gejala dan kombinasi LABA dan ICS.
memengaruhi prognosis. Kombinasi LABA dan ICS juga
merupakan pilihan pertama pada
pasien PPOK dengan riwayat
KELOMPOK C asma.
Terapi awal dengan bronkodilator kerja ICS dapat menimbulkan efek
panjang tunggal (LAMA atau LABA). samping seperti pneumonia,
sehingga penggunaannya sebagai
terapi awal hanya jika manfaat
lebih besar dibandingkan
Lanjutan
BRONKODILATOR
Agonis β2
Kerja utama agonis β2 adalah merelaksasi otot polos jalan napas.
Agonis β2 terdiri dari short-acting (SABA) dan long-acting (LABA) beta2-agonist.
SABA (short acting beta2-agonist)
• Efek SABA biasanya hilang dalam 4-6 jam.
• Contoh: salbutamol, fenoterol
Salbutamol lebih selektif, sehingga menimbulkan lebih sedikit efek samping dibanding
fenoterol.
LABA (long acting beta2-agonist)
• Durasi kerja 12 jam atau lebih
• Contoh: Formoterol, salmeterol, indacaterol, oladaterol, vilanterol (inhalasi)
Lanjutan
Antikolinergik/Antagonis Muskarinik
Bekerja memblokade efek bronkokonstriktor asetilkolin. Antikolinergik inhalasi
hampir tidak diabsorpsi sehingga efek samping sistemiknya lebih rendah
dibanding atropine. Secara umum obat ini relatif aman, dengan efek samping
utama mulut kering. Antikolinergik terdiri dari short-acting (SAMA) dan long-
acting (LAMA) muscarinic antagonist.
SAMA (short acting muscarinic antagonist)
• Juga bekerja dengan menghambat reseptor neuron M2 yang berpotensi
menyebabkan bronkokonstriksi secara vagal.
• Efek bronkodilator SAMA inhalasi lebih lama dibanding SABA
• Contoh: Ipratropium, oxitropium.
Phosphodiesterase-4 inhibitor
• Kerja utama PDE4 inhibitor
adalah mengurangi inflamasi
dengan menghambat
pemecahan C-AMP
intraseluler.
• Roflumilast merupakan obat
golongan ini yang diberikan
sekali sehari secara oral.
PENGOBATAN LANJUTAN
PPOK
Sesak Napas
• Pasien yang mengalami sesak napas menetap atau keterbatasan aktivitas dengan
bronkodilator kerja panjang monoterapi, direkomendasikan menggunakan 2
bronkodilator.
• Pasien yang mengalami sesak napas menetap atau keterbatasan aktivitas dengan
kombinasi LABA dan ICS, dapat ditambahkan LAMA untuk eskalasi terapi (triple
therapy).
Lanjutan
Eksaserbasi
Pasien yang mengalami eksaserbasi menetap dengan penggunaan
bronkodilator kerja panjang monoterapi, direkomendasikan eskalasi
terapi ke kombinasi LABA dan LAMA atau LABA dan ICS. Kombinasi
LABA dan ICS dapat dipilih pada pasien dengan riwayat asma.
Terdapat 2 rekomendasi alternatif pada pasien yang mengalami
eksaserbasi lebih lanjut dengan penggunaan kombinasi LABA dan
LAMA, yaitu:
Eskalasi terapi ke kombinasi LABA+LAMA+ICS. Respon yang baik dari
penambahan ICS ditunjukkan pada pasien dengan jumlah eosinofil ≥100
sel/μL.
Tambahkan Roflumilast atau Azithromycin bila jumlah eosinofil <100 sel/μL.
Pasien yang masih mengalami eksaserbasi dengan kombinasi
LABA+LAMA+ICS:
Penambahan Roflumilast dapat dipertimbangkan
Penambahan makrolida. Pilihan terbaik adalah Azithromycin
Penghentian terapi ICS. Hal ini dapat dipertimbangkan apabila terdapat
peningkatan risiko efek samping (termasuk pneumonia).
OBAT LAIN
Antibiotik Mukolitik
Antibiotik dapat menurunkan tingkat Pada pasien PPOK yang tidak
eksaserbasi PPOK. Azithromycin (250 mendapat ICS, terapi reguler dengan
mg/hari atau 500 mg 3 kali seminggu) atau mukolitik seperti carbocysteine dan N-
erythromycin (500 mg 2 kali sehari) acetylcysteine dapat menurunkan
selama 1 tahun pada pasien yang rentan eksaserbasi dan sedikit memperbaiki
eksaserbasi, dapat menurunkan risiko status kesehatan.
eksaserbasi dibanding perawatan biasa.
Vaksinasi
Vaksinasi pneumococcus, PCV13 dan PPSV23
direkomendasikan pada pasien dengan umur > 65 tahun.
PPSV23 juga direkomendasikan pada pasien PPOK umur
muda dengan penyakit komorbid gagal jantung kronik
atau penyakit paru lainnya.
Terapi ventilasi
Terapi ini diberikan pada pasien dengan hiperkapnia
yang terjadi setiap hari dan sering hospitalisasi, dimana
terapi sistemik tidak menunjukkan perbaikan.