Anda di halaman 1dari 7

Journal Reading

PERTIMBANGAN PERIOPERATIF PASIEN ASMA


Nur Fii Hidayatullah, S.Ked* *) Kepaniteraan Klinik Ilmu Anestesiologi dan Reanimasi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret, Surakarta Sumber : Woods BD and Sladen RN. 2009. Perioperative considerations for the patient with asthma and bronchospasm. British Journal of Anaesthesia. 103: i57i65 Abstrak Kejadian bronkospasme perioperatif pada penderita asma yang menjalani anestesi relatif rendah, akan tetapi jika hal itu terjadi dapat merupakan kegawatan bahkan bisa mengancam jiwa. Walaupun pengamatan rutin pra operasi dilakukan secara ketat, pemeliharaan antiinflamasi dan pemberian regimen bronkodilator secara rutin serta banyaknya agen anestesi yang memiliki efek dilatasi saluran napas dapat menekan insidensi bronkospasme perioperatif, bronkospasme akut masih dapat terjadi, terutama pada induksi dan harus segera dikelola dengan baik. Kata Kunci : asma, komplikasi, bronkospasme, ventilasi mekanik, resistensi saluran napas

Pendahuluan Asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran napas yang melibatkanproses inflamasi kronik menyebabkan peningkatan hiperesponsif jalan napas yang menimbulkan gejala episodik berulang, bervariasi dan seringkali bersifat reversibel dengan atau tanpa pengobatan. Di seluruh dunia, kondisi ini diperkirakan terjadi pada 300 juta orang sementara prevalensinya di Amerika Serikat sekitar 6,7 % dari populasi, dalam satu hari diperkirakan 250 orang mengalami kematian. Pasien asma seringkali menjalani pembedahan yang berisiko menimbulkan morbiditas dan mortalitas perioperatif. Sebuah tinjauan retrospektif mengungkapkan bahwa komplikasi pasca operasi lebih sering terjadi dibandingkan dengan kejadian bronkospasme intraoperatif. Sebuah analisis mengungkapkan bahwa meskipun angka kejadian bronkospasme perioperatif hanya berkisar 2%, akan tetapi lebih dari 90% kasus dapat berupa cedera otak parah dan kematian. Singkatnya, walaupun angka kejadian bronkospasme intraoperatif sangat rendah akan tetapi komplikasi perioperatif terbilang sangat merugikan. Sejarah menunjukan bahwa riwayat asma memiliki beberapa implikasi perioperatif. Seringkali pasien mengalami eksaserbasi akut di meja operasi. Hal ini disebabkan oleh hiperreaktivitas saluran napas yang dapat dengan mudah diinduksi oleh peralatan bedah,
1

berbagai agen anestesi, aspirasi, infeksi, atau trauma. Akan tetapi tindakan-tindakan anestesi seperti hambatan rangsang nyeri, pergeseran cairan, dan mobilisasi tertunda diketahui lebih berisiko menimbulkan komplikasi dibandingkan dengan tindakan yang lain. Risiko ini diperburuk dengan adanya penyakit kronis pada paru seperti penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) atau merokok aktif. Patofisiologi Asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan banyak sel dan elemennya. Inflamasi kronik menyebabkan peningkatan hiperesponsif jalan napas yang menimbulkan gejala episodik berulang. Gejala tersebut berhubungan dengan obstruksi jalan napas yang luas, bervariasi dan seringkali bersifat reversibel dengan atau tanpa pengobatan. Bronkokonstriksi adalah hasil dari kontraksi otot polos bronkus yang disebabkan faktor ekstrinsik maupun intrinsik seperti, alergen, olahraga, stres, atau udara dingin (Tabel 1). Rangsang vagal dan simpatik secara langsung memodulasi saluran napas. Inflamasi mukosa menyebabkan edema dan memperburuk aliran udara dan respons terhadap terapi bronkodilator. Proses inflamasi kronik pada asma akan menimbulkan kerusakan jaringan yang akan diikuti oleh proses penyembuhan (healing process) yang menghasilkan perbaikan (repair) dan pergantian sel-sel rusak dengan sel-sel yang baru. Pada asma, kedua proses tersebut berkontribusi dalam proses penyembuhan dan inflamasi yang kemudian akan menghasilkan perubahan struktur yang dikenal dengan airway remodeling. Jalur inflamasi yang terlibat dalam patogenesis asma sangat kompleks, termasuk limfosit (Th1 dan Th2), imunoglobulin E, eosinofil, neutrofil, sel mast, leukotrien, dan sitokin. Jalur ini dipicu dan dimodifikasi oleh faktor ekstrinsik dan faktor lingkungan seperti alergen, pernapasan infeksi, asap, dan pekerjaan. Efek Kardiopulmonal pada Bronkospasme Bronkokonstriksi akut progresif yang terjadi sangat cepat dapat meningkatkan respiration rate, retensi udara (hiperinflasi), (V/Q) missmatch, dan resistensi vaskular, mengakibatkan overload ventrikel kanan. Selama bronkospasme akan terjadi penurunan volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1), kapasitas vital paru (KVP), volume cadangan ekspirasi, kapasitas inspirasi, rasio VEP1/ KVP < 80% juga menurun, sedangkan volume residu, kapasitas residu fungsional, dan kapasitas total paru-paru meningkat. Udara yang terperangkap disertai dengan obstruksi saluran nafas menyebabkan retensi udara dalam paru-paru sehingga daya regang paru-paru tidak mampu untuk mendorong udara keluar dari paru, pada saat ini otot-otot bantu nafas digerakan semaksimal mungkin. Bersamaa dengan hal itu, kebutuhan O2 dalam tubuh semakin meningkat dan CO2 dalam tubuh semakin menumpuk yang pada akhirnya dapat menyebabkan gangguan oksigenasi miokard. Pada bronkospasme yang parah, analisis gas darah menunjukkan hasil V/Q missmatch. Obstruksi pada asma menimbulkan hiperinflasi dan hipoinflasi yang dapa menyebabkan hypoxic pulmonary vasoconstriction (HPV). Pada bronkospasme akut, hiperventilasi
2

menyebabkan alkalosis respiratorik, meningkatkan air trap level dan kelelahan otot bantu nafas sehingga tubuh mengalami retensi CO2. Pada akhirnya akan terjadi tamponade pulmo yang menyebabkan jantung kehilangan aktivitas elektriknya. Selama serangan akut, pembuluh darah paru mengalami resistensi yang mengakibatkan peningkatan tekanan alveolar yang ditandai dengan hipoksemia dan asidosis. Tingginya resistensi vaskular paru menyebabkan ketidakseimbangan oksigenasi miokard yang dapat berimbas pada ventrikel kanan, pada saat yang bersamaan, tekanan vena sentral dan tekanan diastol arteri pulmo akan meningkat yang menyebabkan gagal jantung akut pada ventrikel kanan. Pertimbangan Terapeutik Pengobatan pada penderita asma diklasifikasikan berdasarkan mekanisme dan target. Pengobatan diberikan bersamaan untuk mempercepat resolusi serangan akut. Agonis beta 2 Kerja Cepat Agonis beta 2 kerja cepat dianjurkan pada pemberian inhalasi dengan nebuliser atau dengan Metery Dosed Metery Dosed Inhaler (MDT) yang menghasilkan efek bronkodilatasi yang sama dengan cara nebulisasi, onset yang cepat, efek samping lebih sedikit dan membutuhkan waktu lebih singkat dan mudah. Termasuk golongan ini adalah salbutamol, levalbuterol, pirbuterol. Mempunyai waktu mulai kerja (onset) yang cepat. Mekanisme kerja sebagaimana agonis beta-2 yaitu relaksasi otot polos saluran napas, meningkatkan bersihan mukosilier, menurunkan permeabiliti pembuluh darah dan modulasi penglepasan mediator dari sel mast. Merupakan terapi pilihan pada serangan akut. Penggunaan agonis beta-2 kerja singkat direkomendasikan bila diperlukan untuk mengatasi gejala. Efek sampingnya adalah rangsangan kardiovaskular, tremor otot rangka dan hipokalemia. Pemberian secara inhalasi jauh lebih sedikit menimbulkan efek samping daripada oral. Dianjurkan pemberian inhalasi, kecuali pada penderita yang tidak mungkin menggunakan terapi inhalasi. Agonis beta 2 Kerja Lama Termasuk di dalam agonis beta-2 kerja lama inhalasi adalah arformoterol dan formoterol yang mempunyai waktu kerja lama (> 12 jam). Seperti lazimnya, agonis beta-2 mempunyai efek bronkoprotektif, kenyataannya pada pemberian jangka lama, mempunyai efek antiinflamasi yang kecil dan efek samping yang besar. Karena pengobatan jangka lama dengan agonis beta-2 kerja lama tidak mengubah inflamasi yang sudah ada, maka sebaiknya selalu dikombinasikan dengan glukokortikosteroid inhalasi untuk pengobatan harian. Kortikosteroid Inhalasi dan Parenteral Kortikosteroid adalah medikasi jangka panjang yang paling efektif untuk mengontrol asma. Steroid inhalasi adalah pilihan bagi pengobatan asma persisten. Steroid inhalasi ditoleransi dengan baik dan aman pada dosis yang direkomendasikan. Kemungkinan digunakan sebagai pengontrol pada keadaan asma persisten berat (setiap hari atau selang sehari), tetapi penggunaannya terbatas mengingat risiko efek sistemik. Berbagai studi menunjukkan bahwa
3

penambahan agonis beta-2 kerja lama inhalasi (salmeterol atau formoterol) pada asma yang tidak terkontrol dengan glukokortikosteroid inhalasi dosis rendah atau tinggi, akan memperbaiki gejala serta mengontrol asma lebih baik. Steroid oral atau parenteral kemungkinan digunakan sebagai pengontrol pada keadaan asma akut, tetapi penggunaannya terbatas mengingat risiko efek sistemik. Efek menguntungkan steroid pada bronkospasme dapat bertahan sampai 6 8 jam. Pasien yang telah menggunakan steroid selama > 2 minggu dalam 6 bulan terakhir harus diwaspadai mengalami supresi adrenal. Leukotrien Termodifikasi Leukotrien termodifikasi seperti zafirlukas, pranlukas, dan zileuton menghambat jalur leukotrien pada asma. Mekanisme kerja tersebut menghasilkan efek bronkodilator minimal. Selain bersifat bronkodilator, juga mempunyai efek antiinflamasi. Obat ini tidak cocok digunakan pada penderita asma yang mengalami bronkospasme akut. Oleh karena itu, leukotrien termodifikasi hanya digunakan sebagai obat alternatif asma kronik. Agen Antikolinergik Agen antikolinergik seperti ipratopropium memiliki peran yang penting dalam penatalaksanaan asma. Mekanisme kerjanya memblok efek penglepasan asetilkolin dari saraf kolinergik pada jalan napas. Menimbulkan bronkodilatasi dengan menurunkan tonus kolinergik vagal intrinsik, selain itu juga mengurangi hiperresponsivitas saluran nafas. Evaluasi Pre-Operasi Asesmen dan intervensi yang baik merupakan salah satu kunci keberhasilan manajemen penderita asma. Ketika keadaan telah terkontrol dengan baik, maka kemungkinan komplikasi perioperasi akan semakin kecil. Anamnesis Pasien dapat datang dengan tanpa gejala. Oleh karena itu perlu ditanyakan riwayat keparahan serangan yaitu frekuensi eksaserbasi, mondok, intubasi trakhea atau penggunaan ventilator mekanik. Pasien juga harus ditanya tentang alergen yang mungkin memicu serangan. Riwayat pengobatan juga menjadi perhatian penting pada pasien asma. Tanyakan bagaimana respons pengobatan selama ini dan tanyakan pula obat-obatan yang mungkin digunakan, terutama penggunaan steroid baik secara inhalasi atau sistemik, sudah berapa lama penggunaan dan tanyakan kemungkinan efek samping yang muncul. Pasien asma sedang sampai berat harus dilakukan uji Arus Puncak Ekspirasi (APE), nilai normal rata-rata APE harian didasarkan pada umur, jenis kelamin, tinggi dan berat badan (pada umumnya nilai normal 200 600 lpm). American Lung Association mengklasifikasikan derajat fluktuasi penderita asma berdasarkan nilai APE dibandingkan
4

dengan tinggi badan-berat badan, hijau (80% prediksi), kuning (50-80%), dan merah (<50% prediksi). Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan fisik pre-operasi harus difokuskan pada deteksi tanda-tanda bronkospasme akut dan infeksi aktif paru-paru, penyakit paru obstruksi kronik, dan gagal jantung kanan. Ketika APE menurun, suara dasar vesikuler menurun atau hilang, maka harus dilakukan uji screening Lama Ekspirasi Paksa (LEP) yang dapat dilakukan dengan auskultasi di trakhea selama pasien ekspirasi maksimal. Nilai LEP > 6 detik menandakan rasio antara VEP1/KVP menurun. Penunjang Pemeriksaan laboratorium adalah penunjang anamnesis, dan pemeriksaan fisik untuk menegakkan diagnosis asma, untuk mengklasifikasikan tingkat keparahan asma dapat dilakukan pulmonary function test (PFTs) walaupun terkadang hasilnya kurang signifikan. Selain itu dapat dilakukan analisis gas darah untuk mengevaluasi adanya asidosis. Pemeriksaan EKG dapat dilakukan untuk mengidentifikasi adanya hipertrofi ventrikel kanan, deviasi aksis, atau right bundle branch block (RBBB). Foto radiologi berguna juga untuk menentukan apakah terdapat hiperinflasi, oedem, infiltrat, atau kongesti paru. Rencana Tindakan Anestesi Rencana tindakan anestesi harus mempertimbangkan kemungkinan adanya bronkospasme perioperatif agar pasien aman, nyaman, dan tenang. Pilihan metode anestesi, prosedur, klinis penilaian, dan preferensi dari semua terlibat harus disesuaikan dengan kondisi pasien. Hal yang harus diwaspadai adalah kecemasan atau nyeri pada daerah anestesi yang dapat memicu bronkospasme. Jelas, risiko tertinggi adalah di mana saluran pernafasan itu sendiri menjadi objek operasi, atau operasi yang melibatkan dada atau perut bagian atas di mana intubasi trakea harus dilakukan. Persiapan Pre-Operasi Jika evaluasi dapat dilakukan dalam jangka waktu lama, pasien harus disarankan untuk berhenti merokok minimal 2 bulan sebelum pembedahan. Fungsi paru-paru harus membaik dengan mengoptimalkan obat dan kepatuhan, atau mempertimbangkan kortikosteroid oral dalam jangka waktu terbatas. Metilprednisolon oral 40 mg selama 5 hari sebelum operasi telah terbukti menurunkan angka kejadian wheezing pasca-intubasi. Konsumsi steroid sistemik selama > 2 minggu dalam jangka waktu 6 bulan pertama sebelum operasi dapat menganggu fungsi adrenal dan dapat menginduksi supresi perioperatif. Oleh karena itu, pasien harus dirawat dengan short-acting steroid seperti hidrokortison (misalnya 100 mg iv setiap 8 jam) selama periode perioperatif. Terapi profilaksis dengan MDI atau nebulizer sangat tepat untuk digunakan. Operasi elektif tidak boleh dilakukan ketika penderita sedang
5

mengalami bronkospasme aktif atau infeksi pernapasan akut dan gejala harus diobati sampai pasien kembali ke status dasar. Pre-medikasi yang optimal dapat mencegah kecemasan, menurunkan kerja pernafasan, dan mencegah bronkospasme, oversedasi, dan depresi pernafasan. Dexmedetomidine agonis alfa 2 memiliki efek yang menguntungkan sebagai anxiolysis, sympatholysis, dan pengeringan sekresi tanpa depresi pernapasan. Agen antikolinergik seperti atropin atau glycopyrrolate dapat menurunkan reaktivitas saluran napas dan harus dipertimbangkan. Pemantauan yang lain harus diarahkan pada pada penilaian mekanika saluran napas (volume, tekanan, saluran napas arus). Hal ini sangat berguna untuk mengevaluasi volume tidal dan kadar CO2 dalam darah. Manajemen Intraoperatif Bronkospasme dapat dipacu dengan tindakan laringoskopi, intubasi trakea, suction, ekstubasi trakea. Level PEEP dapat memburuk dan meningkatkan retensi CO 2 dalam paru-paru. Sementara itu, banyak obat-obatan perioperatif yang dapat menginduksi bronkospasme melalui induksi histamin. Agen blok neromuskular merupakan salah satu obat yang paling sering menyebabkan reaksi alergi, contohnya antara lain mivacurium dadn rapacuronium. Propofol tampaknya memiliki efek lebih kuat dibandingkan thiopental dan etomidate dalam menghambat peningkatan resistensi saluran napas. Perokok berat yang menjalani anestesi, formulasi propofol dengan metabisulfit memiliki efek induksi resistensi saluran napas yang lebih tinggi. Ketamine memiliki karakteristik induksi yang sangat baik dan menginduksi bronkodilatasi, cara kerjanya belum diketahui secara pasti mungkin dengan mengganggu jalur endotel. Seperti bius lainnya agen, bukti yang mendukung ketamin sebagian besar didasarkan pada studi hewan dan laporan kasus dan bukan acak. Lidokain dapat mencegah bronkospasme karena lidokain menyebabkan kelemahan respon sensorik saluran napas. Namun, inhalasi lidokain sendiri dapat memicu atau memperburuk bronkospasme. Injeksi lidokain intravena lebih dianjurkan karena lebih aman dan dapat dengan cepat mencapai saluran napas. Bronkospasme Akut Intraoperasi Tanda-tanda obstruksi jalan napas atau bronkospasme adalah peningkatan tekanan inspirasi puncak, memanjangnya fase ekspirasi, dan melambatnya pergerakan dinding dada. Pasien harus diberikan bantuan nafas agar saturasi oksigen menjadi 100% dan ventilasi manual harus segera dilakukan dengan bagging untuk menilai pernafasan. Dinding dada harus segera diauskultasi untuk menilai ada tidaknya wheezing. Suara dasar vesikuler yang rendah di kedua lapang paru menunjukkan sedikitnya udara yang masuk ke paru-paru. Diferensial diagnosis pada kasus ini termasuk obstruksi jalan nafas karena adanya lendir atau oedem paru. Wheezing yang terjadi unilateral menjadi salah satu indkasi intubasi endobronchial, bisa
6

disebabkan karena obstruksi benda asing seperti gigi copot, atau bahkan tension pneumothorax. Jika setelah ditangani kondisi ini masih tetap ada atau jika bronkospasme tetap ada setelah dikoreksi, algoritma pengobatan untuk bronkospasme akut intraoperatif harus dilakukan, seperti analisis gas darah untuk mengevaluasi hipoksemia dan hiperkarbia. Pada kasus seperti ini, pemakaian ventilasi manual lebih menguntungkan karena dapat mengatur kelegangan paru dan dapat mengatur irama ekspirasi. Ventilator manual juga dapat memfasilitasi paru untuk mencapai arus inspirasi yang cepat agar waktu ekspirasi dapat memanjang. Ringkasan dan Pedoman Insiden asma meningkat di seluruh dunia, akan tetapi morbiditas dan mortalitasnya menurun karena adanya perkembangan dalam perawatan medis. Meskipun kejadian bronkospasme perioperatif relatif rendah pada penderita asma yang menjalani anestesi, peristiwa tersebut dapat merupakan kegawatan yang mengancam jiwa. Kunci keberhasilan perioperatif tidak rumit. Agen pemicu potensial harus diidentifikasi dan dihindari. Banyak agen anestesi rutin memiliki pengaruh pada penyempitan saluran napas. Terutama pada pemakaian agen induksi dan harus segera dikelola dengan metode yang benar.

Anda mungkin juga menyukai