Anda di halaman 1dari 24

Referat

Oktober 2007

PENANGANAN ANESTESI
PADA PENDERITA ASMA BRONKIALE

Oleh :
CECEP HIDAYAT
Peserta PPDS-I Anestesiologi dan Reanimasi
FK UGM/RS Dr. Sardjito
Yogyakarta

Pembimbing: Moderator

dr. IG. Ngurah Rai Artika, SpAn.K dr. Djayanti Sari SpAn

BAGIAN ANESTESIOLOGI DAN REANIMASI


FAKULTAS KEDOKTERAN UGM / RS Dr. SARDJITO
YOGYAKARTA
2007
I. Pendahuluan
Asma adalah Suatu penyakit saluran pernapasan yang ditandai oleh
peningkatan respon batang trakeobronkial terhadap bermacam2 stimuli, secara
fisiologi asma dimanifestasikan sebagai penyempitan luas saluran udara yang
mungkin membaik secara spontan atau sebagai hasil terapi.1,2
Gejala-gejala yang umum dijumpai adalah batuk, mengi (wheezing), sesak
hingga sulit bernafas. Faktor-faktor yang dapat memicu terjadinya asma di
antaranya : alergi (serbuk sari putik bunga, jamur, kutu, hewan peliharaan),
cuaca dingin, olah raga, infeksi saluran nafas yang disebabkan oleh virus,
stimulus psikologi (misal: stress, cemas) obat (aspirin, ibuprofen), polutan
industri kimia.
Gejala serangan asma berupa sesak nafas yang paroksismal, berulang-ulang
dengan mengi (wheezing), batuk, peradangan mukosa bronkus dan produksi
lendir kental yang berlebihan. Ada beberapa faktor pencetus spesifik (olah raga
atau alergi) yang menyebabkan timbulnya gejala. Penyakit yang kurang
terkontrol sering menyebabkan memburuknya gejala pada malam hari 1,2.
Angka kejadian asma dipengaruhi oleh banyak faktor, antar lain jenis
kelamin, umur pasien, faktor keturunan, serta faktor lingkungan. Asma dapat
timbul pada setiap usia, pada setiap lapisan masyarakat dan tidak bergantung
pada status sosial ekonomi tertentu. Pada masa kanak-kanak ditemukan
prevalensi anak laki-laki berbanding perempuan 1,5:1,
Berdasarkan penyebabnya, asma dapat dibedakan menjadi dua macam,
asma ekstrinsik dan asma intrinsik. Asma ekstrinsik (asma alergi) ditimbulkan
karena alergi dan biasanya terjadi pada anak-anak. Sedangkan asma intrinsik
(asma yang tidak diketahui penyebabnya) dipicu oleh faktor-faktor non alergenik,
seperti infeksi oleh virus, iritasi, emosi dan olah raga. Asma ini umumnya
berkembang pada orang dewasa. Kematian akibat asma seringkali karena tidak
disadari bahwa asma yang dialami cukup parah sehingga kondisi tersebut tidak di
terapi dengan baik-baik.3 Pada pasien asma yang menjalani tindakan
pembedahan/anestesi dapat terjadi resiko bronchospasme berat. Insiden
timbulnya bronchospame adalah 1,7/1000 pasien dan insiden lebih banyak lagi
pada kasus kasus dengan instrumentasi jalan nafas.
Asma bisa timbul pada semua kelompok umur. Terdapat peningkatan
prevalensi asma baik di negara maju maupun di negara yang sedang
berkembang. Meskipun angka kematian karena asma rendah, tetapi penyakit ini
mempunyai dampak sosial yang cukup besar karena penderita asma sering
mengalami serangan hingga angka kehilangan hari sekolah atau hari kerja cukup
tinggi.
Pada umumnya pasien dengan ganguan fungsi paru derajat tertentu yang
mengalami pembedahan, masih memiliki kemampuan toleransi terhadap
ganguan pernafasan pasca bedah. Tetapi pasien dengan penyakit paru memiliki
peluang resiko lebih tinggi terjadinya komplikasi paru pasca bedah dibandingkan
pasien dengan paru normal, oleh karena itu diperlukan pengelolaan perioperatif
yang memadai untuk mencegah komplikasi tersebut.
Referat ini disusun untuk lebih mendalami aspek-aspek asma baik
riwayatnya, pemeriksaan fisik, pemeriksaan tambahan sampai pada
management serangan baik preoperative maupun durante dan post operatif.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam tulisan ini, oleh karena itu
sudilah kiranya pembaca memberi masukan untuk lebih memadainya tulisan ini.

II. Definisi
Asma adalah suatu penyakit paru yang ditandai oleh :
 Sumbatan jalan nafas yang revesibel (tetapi tidak komplit pada beberapa
kasus) secara spontan atau dengan pengobatan.
 Peradangan jalan nafas.
 Kenaikan reaktifitas jalan nafas terhadap berbagai macam rangsang.
Konsep peradangan jalan nafas pada asma telah dikembangkan pada workshop
WHO yang menjelaskan asma sebagai suatu kelainan peradangan kronis jalan
nafas dimana beberapa macam sel memainkan peran, khususnya sel mast,
eosinofil, lymposit T. Pada individu yang dicurigai, peradangan ini menyebabkan
episode kambuh berupa wheezing, nafas sesak, dada sesak dan batuk khususnya
pada malam hari dan atau awal pagi. Gejala-gejala tersebut umumnya berkaitan
dengan perkembangan penyakit dan hambatan aliran udara yang dapat
reversibel (minimal sebagian) secara spontan atau dengan pengobatan,
peradangan ini menyebabkan kenaikan reaktifitas jalan nafas terhadap berbagai
macam rangsangan.4,5,11

III. Patofisiologi
Karena asma merupakan penyakit radang kronis saluran nafas, maka
disertai perubahan morfologi saluran nafas berupa edema, pembengkakan sel-
sel epitel saluran nafas, kongesti pembuluh darah, infeksi sel-sel radang neutrofil,
sel mast dan terutama eosinofil. Disertai deskuamasi epitel dan kadang dijumpai
mukus plug di dalam saluran nafas sebagai penyebab sumbatan. Diduga
peradangan ini sebagai penyebab terjadinya hiperreaktifitas jalan nafas,
meskipun hubungan pasti antara peradangan dengan hiperreaktifitas saluran
nafas dan gejala asma belum diketahui tetapi secara langsung peradangan akan
menyebabkan timbulnya gejala-gejala asma.1,2
Pada asma alergi yang klasik, antigen terikat pada IgE pada permukaan
sel mast sehingga terjadi proses degranulasi, selanjutnya terjadi rangkaian
pelepasan histamin, bradikinin, leukotrin C dengan D serta E, platelet aktiviting
faktor, prostaglandin PGE2 dan PGF2x serta PGD2, neutrofil dan eosinofil
kemotaktik faktor sehingga menyebabkan bronkokonstriksi. 1,2
Pada asma terjadi proses radang kronis saluran nafas. Antigen/alergen
yang masuk akan dibawa oleh makrofag ke limfosit-T, menyebabkan terjadinya
pelepasan beberapa mediator radang (IL-5, GM-CSF) yang akan meningkatkan
jumlah easinofil yang migrasi ke perifer. Beberapa enzim proteolitik yang
terlepas, akan menyebabkan degranulasi easinofil sehingga akan melepaskan
mediator radang seperti histamin dan SRS-A. Mediator ini akan memperburuk
kondisi penderita asma, karena SRS-A merupakan prekursor LTE-4 yang sangat
kuat aksi bronkokonstriksinya.1,2
Pada asma, baik dengan maupun tanpa mekanisme alergi, memiliki
kelabilan bronkus abnormal yang mempermudah penyempitan saluran nafas
oleh banyak faktor; saluran nafas ini berkelakuan seakan-akan persyarafan -
adrenergik tidak kompeten, dan banyak bukti memberi kesan bahwa paling tidak
secara fungsional terdapat hambatan partial pada reseptor -adrenergik pada
penderita asma yang khas ini.6
Pada asma sistem syaraf parasimpatis memainkan peran penting dalam
pemeliharaan tonus bronkus yang normal. Vagal afferen pada bronkus sensitif
terhadap histamin dan multipel naxious stimuli, termasuk udara dingin, irritan
hirup dan instrumentasi (contoh endotrakeal intubasi). Aktivasi reflex vagal akan
menyebabkan bronkokonstriksi, yang dimediasi oleh kenaikan cGMP
intraselluler.1,2
Selama serangan asma (bronkokonstriksi) udem mukosa, dan sekresi
akan meningkatkan tahanan aliran udara pada semua level airway bagian bawah.
Bila serangan asma membaik, tahanan jalan nafas menjadi normal dimulai pada
jalan nafas yang lebih besar, lalu jalan nafas yang lebih perifer. Akibatnya,
kecepatan aliran ekspirasi mengalami penurunan, pada awalnya kapasitas vital,
tetapi selama penyembuhan serangan asma kecepatan aliran ekspirasi
mengalami penurunan hanya pada volume paru bagian bawah. Kapasitas paru
total, volume residu dan kapasitas residu fungsional semua meningkat. Pada
serangan akut, volume residu dan FRC sering meningkat masing-masing lebih
dari 400% dan 100%. Serangan yang berat atau berkepanjangan ditandai dengan
peningkatan kerja pernafasan dan otot pernafasan dapat mengalami kecapaian.
Sejumlah alveolus dengan rasio ventilasi/perfusi (V/Q) yang rendah akan
meningkat, menyebabkan hypoxaemia. Rangsangan terhadap reseptor di
bronkus akan menyebabkan takipnea sehingga terjadi hypokapnia. Adanya PCO 2
yang tinggi sering menunjukkan adanya ancaman gagal nafas.
PENANGANAN PREOPERATIF
A. Evaluasi Preoperatif
Evaluasi pasien asma yang akan menjalani tindakan anestesi dan
pembedahan penting dilakukan untuk mencegah dan mengendalikan kejadian
bronkospasme baik intra operatif atau post operatif. 8 Data-data yang diperlukan
pada evaluasi penderita meliputi riwayat penyakit, pemeriksaan fisik,
laboratorium, pemeriksaan fungsi paru dan analisa gas darah, Rontgen thorax. 8,9
1. Riwayat penyakit
Data penting pada riwayat penyakit meliputi lama penyakitnya; frekwensi
serangan; hebat/lamanya serangan; keluhan/gejala penyakit; faktor-faktor
yang mempengaruhi serangan; riwayat penggunaan obat-obatan dan
hasilnya; riwayat perawatan di rumah sakit; riwayat serangan terakhir,
beratnya dan pengobatannya.10 Bila baru-baru ini mendapat infeksi saluran
nafas atas dan menimbulkan serangan asma, maka operasi elektif sebaiknya
ditunda 4-5 minggu untuk mencegah reaktifitas jalan nafas. 11
2. Pemeriksaan fisik
Tanda-tanda asma tergantung dari derajat obstruksi jalan nafas yang terjadi.
Ekspirasi memanjang, mengi, hiperinflasi dada, takikardia, nafas cepat
sampai sianosis dapat dijumpai pada penderita asma dalam serangan. 10
Tanda-tanda serangan asma yang berat meliputi penggunaan otot-otot
respirasi-respirasi tambahan, tidak mampu berhenti nafas yang panjang saat
bicara, sianosis, sedikit atau tak ada wheezing (jalan nafas tertutup, sedikit
gerakan udara, dan penurunan wheezing).9
3. Pemeriksaan laboratorium
Pada asma eosinofil total dalam darah sering meningkat. Jumlah eosinofil ini
selain berguna untuk menilai cukup tidaknya dosis terapi kortikosteroid dan
juga bisa membedakan asma dari bronkhitis khronis. Pada pemeriksaan
sputum selain didapatkan eosinofil, juga dapat ditemukan adanya kristal
Charcat leyden, spiral churschman dan mungkin juga miselium aspergillus
fumigatus.10
4. Pemeriksaan Rontgen thorax
Pada umumnya hasilnya normal atau hiperinflasi. 9 Pemeriksaan tersebut
umumnya dilakukan bila ada kecurigaan adanya proses patologi di paru atau
adanya komplikasi asma seperti pneumothorax, pneumomediastinum,
atelektasis, pneumonia.9 Kadang didapatkan gambaran air trapping,
diafragma datar karena hiperinflasi, jantung mengecil dan lapangan paru
yang hiperluscen.
5. Pemeriksaan fungsi paru (Spirometri)
Untuk mengetahui kondisi klinis pasien asma perlu dilakukan pengukuran
aliran udara ekspirasi yaitu volume ekspirasi paksa detik pertama (FEV 1) dan
arus puncak ekspirasi (PEFR). Lebih bagus lagi bila dibandingkan dengan hasil
pengukuran sebelumnya. Normalnya nilai volume ekspirasi paksa (FEV 1)
untuk laki-laki adalah lebih dari 3 liter dan lebih dari 2 liter untuk wanita.
Nilai normal arus puncak ekspirasi (PEFR) adalah lebih dari 200 l/menit (pada
laki-laki dewasa muda bisa lebih dari 500 1/menit.). Nilai PEFR kurang dari
200 1/menit pada pria (< 150 1/menit pada wanita) menunjukkan gangguan
efektifitas batuk dan akan meningkatkan komplikasi paska bedah. Hasil FEVi
atau PEFR < 50% menunjukkan asma sedang – berat. 2 Nilai PEFR < 120
l/menit atau FEV1, 1 liter menunjukkan adanya obstruksi berat.11
Pemeriksaan ini penting dilakukan, oleh karena sering terjadi ketidaksesuaian
antara gambaran klinis penderita asma dengan fungsi paru. Penderita yang
baru sembuh dari serangan akut atau penderita asma kronik sering tidak
mengeluh, tetapi bila diperiksa ternyata terdapat obstruksi saluran nafas. 2
Pemeriksaan ini diindikasikan pada pasien-pasien yang menderita penyakit
paru sedang sampai berat yang menjalani operasi yang berdampak pada
sistem respirasi.11 Pemeriksaan ini juga dapat memprediksi terhadap resiko
komplikasi paru postoperatif, memprediksi kebutuhan bantuan ventilasi dan
menilai respon pengobatan (contoh bronchodilator preoperatif). 15
6. Pemeriksaan analisa gas darah
Pemeriksaan analisa gas darah biasanya dilakukan pada penderita dengan
serangan asma yang berat. Pada keadaan ini bisa terjadi hipoksemia,
hiperkapnia dan asidosis respiratorik. Kondisi yang berat akan meningkatkan
resiko komplikasi paru-paru.10

B. Persiapan Preoperatif
Tujuan mempersiapkan pasien asma preoperatif adalah untuk
meningkatkan kondisi pasien agar gangguan penyakit yang dialami pasien bisa
reversibel .15
Operasi elektif pada pasien asma yang dalam kondisi kambuh.
(eksaserbasi) harus dihindari, dan pengobatan bronkodilator harus dilanjutkan
sampai saat operasi.12 Kondisi optimal preoperatif adalah bebas gejala dyspnea,
batuk dan mengi atau gejala tersebut minimal. Penyembuhan dari episode
serangan (eksaserbasi) harus diyakinkan dengan auskultasi dada. Pasien dengan
bronkospasme yang frekwen atau kronis harus diobati dengan preparat
bronkodilator yang berisi 2-adrenergik agonis dan dosis terapi teopilin; bila
perlu kortikosteroid.2 Sumber lain menganjurkan untuk dilakukan tambahan
latihan nafas dan fisioterapi dada.12,13
Adanya kemungkinan komplikasi pneumothorax perlu dicari. Bila
didapatkan, drainase sering bisa meningkatkan respirasi dengan cepat. Pada
pasien dengan serangan asma balans cairan dan elektrolit perlu dipelihara. Pada
kondisi ini pasien sering mengalami dehidrasi. 9
Pasien asma dengan serangan bronkospasme aktif yang akan menjalani
pembedahan emergensi harus dilakukan perawatan intensif bila memungkinkan.
Pemberian oksigenasi, aminophylline intravena, glukokorticoid dan 2-agoinst
aerosol dapat secara cepat meningkatkan fungsi paru dalam beberapa jam.
Analisa gas darah mungkin bermanfaat pada kasus berat. Hypoxaemia dan
hypokapnia sering terjadi pada serangan asma sedang dan berat; bahkan
hyperkapnia ringan rnenunjukkan adanya air trapping berat dan dapat
merupakan indikasi ancaman gagal nafas.2 Adanya infeksi pada saluran nafas
harus diobati dengan antibiotik.13
Sesuai dengan patofisiologinya, maka pengobatan pada asma terdiri atas
korticosteroid untuk mencegah gejala, menurunkan hiperreaktifitas bronkus dan
menurunkan eksaserbasi, dan bronkodilator yang berfungsi rnemperbaiki fungsi
paru dan mengurangi beratnya gejala. Panduan pengobatan terbaru
menganjurkan pemakaian kortikosteroid sedini mungkin pada pasien yang
menggunakan agonis 2 inhalasi. Terapi kombinasi saalmeteral 50 mg dan
flutikason dalam satu sediaan terbukti lebih efektif dibanding peningkatan dua
kali lipat dosis budesonide 80 mg.17

Pada pasien perlu diberikan latihan nafas dalam dan upaya batuk yang
kuat pada masa paska bedah, bertujuan untuk meningkatkan pengembangan
paru dan pembersihan sekresi lendir.11

C. Penatalaksanaan Medis
1. Sympathomimetics, atau -agonis agen, menyebabkan bronchodilatasi
melalui cyclic adenosine monophosphate (cAMP) yang memediasi relaxasi
otot polos bronchus.15 Obat-obat ini juga menghambat pelepasan histamin
dan juga neurotransmitter kholinergik.
a. Obat-obat dengan campuran efek 1 dan 2 termasuk epinefrine
(Adrenaline), isoproterenol (Isuprel), dan Isoetharine (bronkosol). Efek
samping takikardi dan arithmogenik obat ini membahayakan pada
penderita penyakit jantung.15
b. Obat-obat dengan selektif 2 termasuk albuterol (Ventolin), terbutaline
(Brethine) dan metaproterenol (Alupent). Umumnya obat-obat ini
diberikan secara inhaler.I5 Agonis 2 inhalasi sampai saat ini merupakan
bronkodilator yang paling efektif dan paling banyak dipakai. Ada 2 jenis
sediaan bronkodilator inhalasi yaitu agonis 2 aksi pendek dan aksi
panjang. Agonis 2 aksi pendek seperti salbutamal, fenoterol dan
terbutaline ini sangat efektif, cepat dan aman untuk mengobati serangan
asma akut. Agonis 2 aksi panjang adalah salmeterol dan formotero1.I7
2. Phosphodiesterase inhibitor (Theophylline), obat ini menyebabkan
bronkodilatasi dengan cara meningkatkan kadar cAMP intraselluler yang
menghambat kerja ensim phosphodiesterase.15 Selain bekerja sebagai
inhibitor phosphodiesterase, theophylline juga bekerja sebagai antagonis
prostaglandin, inhibitor transport kalsium, meningkatkan clearans
mucosiliare dan meningkatkan kerja diafragma. 16
Loading dose aminophylline adalah 5-6 mg/kg BB lebih dari 30 menit diikuti
infus kontinyu 0,4-0,9 mg/kg BB.16 Kadar theophylline dalam darah perlu
diperiksa dan dosisnya disesuaikan untuk menjaga kadar terapi yang sempit
antara 10-20 g/d1. Penggunaan obat ini perlu dilanjutkan sampai pagi
menjelang operasi.15 Level obat di atas 20 g/d1 sering menyebabkan tanda-
tanda toxic berupa mual, muntah, headache, cemas, takikardia, arithmia dan
kejang.15
3. Kortikosteroid, sering digunakan pada pasien yang tidak respon terhadap
terapi teopillin dan antagonis beta-2 adronergik. 15 Terutama bentuk
parenteral yang digunakan untuk terapi serangan asma berat. Mekanisme
kerja obat ini melalui pengurangan oedem mukosa, stabilisasi membrane
mast sel. Sebagai anti inflamasi, kortikosteroid bekerja melalui mekanisme
antara lain:1
- Menghambat metabolisme asam arakidonat sehingga mempengaruhi
leukotrien dan prostaglandin.
- Mengurangi kebocoran mikrovaskuler.
- Mencegah migrasi langsung sel-sel inflamasi.
- Menghambat produksi cytokins.
- Meningkatkan kepekaan reseptor beta pada otot polos bronkus.
Kortokiksteroid yang diberikan secara sistemik dalam jangka panjang dapat
menimbulkan efek samping, oleh karena itu dianjurkan pemberian obat
secara inhalasi.1 (Kortokosteroid inhalasi yang dapat digunakan misalnya
budesonide, beclometasone) dengan dosis maksimal 2000 mcg, sangat
efektif dalam pengendalian gejala asma dan dalam mencegah eksaserbasi. 10
Bila pemberian secara inhalasi belum hisa mengontrol serangan asma, maka
dianjurkan pemberian secara parenteral. Kortikosteroid parenteral yang
biasa digunakan adalah (1-2 mg/kg) hydrocortyone 100 mg IV per 8 jam dan
methyl prednisolone 40-80 mg IV per 4-6 jain, 15 atau 80 mg IV per 8 jam, 16

atau 0,8 mg/kg.11


Pada pasien yang sudah dapat terapi steroid lebih dari dua minggu
diperlukan dosis dua kali lebih besar, sebab kadar plasma kortikosteroid lebih
rendah akibat pemakaian lama yang menimbulkan supresi pada supra
renale.11
4. Sodium Cromolyn dan Iodium nedokromil, adalah preparat inhalasi yang
digunakan sebagai profilaksis pada asma. Mekanisme kerja obat ini melalui
stabilisasi membrane mast cell dan antiinflamasi. Obat-obat ini sering
digunakan pada anak untuk mencegah efek samping kortikosteroid pada
pertumbuhan anak.1
5. Anticholinergik, mempunyai efek langsung berupa bronkodilatasi dengan
menghambat pembentukan cGMP. Atropine sulphat sebagai obat
antikholinergik mempunyai efek samping takikardia, sehingga jarang
digunakan. Glycopyrolate digunakan dengan nebulizer dosis 0,4-0,8 mg.
Ipratopriurn bromide adalah turunana atropin dan bekerja sebagaian
antikholinergik. Pada serangan asma acut dapat memperbesar efek
bronkodilatasi dari beta-agonis dengan dosis 0,25-0,5 mg secara metered
dose inhaler.
6. Antileukotrien, obat golongan ini bekerja dengan menghambat enzim yang
mensintesa leukotrin atau mempengaruhi ikatannya pada reseptor.
Termasuk antagonis reseptor leukotrin antara lain “zafirlukast, pranlukast
dan montelukast”. Zafirlukast dapat digunakan sebagai pengganti
kortikosteroid inhalasi.1 Termasuk inhibor 5-lipooxygenase adalah “Zilueton”.
Obat-obat antileukotrin ini biasa digunakan untuk terapi asma kronik.

D. Premedikasi
1. Sedatif, Benzodiazepine adalah efektif sebagai anxiolitik, tetapi pada pasien
yang berat bisa menyebabkan depresi respirasi.15 Sedatif ini penting
diberikan pada pasien dengan riwayat emosional sebagai pencetus serangan
asma.2
2. Narcotic, memberikan analgesia, namun perlu waspada pada dosis besar bisa
menyebabkan depresi respirasi. Penggunaan analgesia ini dipilih yang non
histamin release. Pada pasien dengan disfungsi paru yang berat, narkotik
paling baik dihindari.15
3. Antikholinegik, umumnya tidak diberikan kecuali ada sekresi lendir yang
banyak atau jika ketamine mau digunakan untuk induksi anestesi. 12,13,14
Pemberian secara parenteral tidak akan memberikan bronkodilatasi, tetapi
justru menyebabkan lendir kering dan meningkatkan viskositas lendir. 15
4. H2 antagonist (Cunetidine, ranitidine) dapat menyebabkan exaserbasi
asmanya, karena blokade pada reseptor dapat menyebabkan
bronkokonstriksi.15
5. Pada pasien asma yang sudah menggunakan bronkodolator inhaler atau
kortikosteroid inhaler, obat-obat ini perlu dibawa masuk ke ruang operasi.
Dianjurkan pemberian kortikosteroid parenteral (Cortisol 1-2 mg/kgBB atau
methyl predaisolone 40-80 mg) 1-2 jam sebelum induksi anestesi. 18

PENANGANAN INTRAOPERATIF
Sesuai dengan bidang kecabangan anestesi, suatu pemahaman masalah
patofisiologi yang mendasari adalah lebih penting dari pada pilihan teknik
anestesi khusus atau obat. Pilihan teknik anestesi bisa regional atau general
anestesi atau kombinasi keduanya. Pada suatu situasi dapat digunakan regional
anestesi saja, dengan pasien tetap sadar, mampu mengontrol sistem nafasnya
sendiri, dan pada situasi lain diperlukan kombinasi general anestesi dengan
regional anestesi, karena pertimbangan pembedahannya atau untuk
mengendalikan nyeri postoperasi.12
A. Regional Anestesi
Termasuk di sini adalah blok syaraf perifer atau lokal anestesi, dapat menjadi
pilihan teknik anestesi terbaik bagi pasien dengan penyakit paru, dimana
tempat operasinya di bagian perifer, seperti mata atau extremitas. 15
B. Spinal atau epidural anestesi, adalah pilihan, yang beralasan untuk
pembedahan pada ekstremitas bawah. Pasien dengan asma berarti nafasnya
tergantung pada penggunaan otot tambahan, yaitu interkostal untuk
inspirasi dan otot perut untuk ekspirasi paksa. Spinal anestesi dapat
memperburuk kondisi jika hambatan motorik menurunkan FRC, mengurangi
kemampuan pasien untuk batuk dan membersihkan lendir, atau memicu
gangguan respirasi atau bahkan gagal nafas. 15 Para klinisi percaya bahwa
spinal tinggi atau epidural anestesi dapat memperburuk bronkokonstriksi
dengan terjadinya hambatan tonus sympatis pada jalan nafas bagian bawah
dan menyebabkan aktivitas parasympatis tak terhambat. 2 Kombinasi teknik
epidural dan anestesi umum dapat menjamin kontrol jalan nafas,
memberikan ventilasi adekuat, mencegah hypoxaemia dan atelectasis.
Prosedur pembedahan perifer yang panjang sebaiknya dilakukan anestesi
umum.15 Faktor-faktor penting yang menghalangi keberhasilan penggunaan
regional anestesi, adalah :12
a. Pasien tidak tahan berbaring di meja operasi dalam waktu yang lama.
b. Batuk spontan dan tidak terkendali dapat membahayakan, yaitu pada
tahap kritis pembedahan.
c. Teknik anestesi regional tidak dapat seluruhnya memuaskan untuk
operasi besar, khususnya thoracotomy.
C. Anestesi Umum
Teknik anestesi umum sering dipakai pada operasi abdomen bagian atas dan
operasi thorax, meskipun kadang-kadang perlu dikombinasi dengan epidural
anestesi.15 Obat-obat anstesi inhalasi memberikan bronchodilatasi sebanding
kedalaman anestesi untuk menurunkan hiperreaktifitas airway yang sensitif.
Saat paling kritis bagi pasien asma yang menjalani operasi adalah waktu
instrumentasi jalan nafas. Nyeri, stress emosi, atau stimulasi pada anestesi
umum yang dangkal dapat mencetuskan bronkospasme. Obat-obat yang
menyebabkan pelepasan histamin (misalnya curare, atracurium, mivacurium,
morphine) harus dihindari atau diberikan dengan sangat lambat jika
digunakan. Tugas utama ahli anestesi pada pelaksanaan anestesi umum
terhadap pasien dengan hiperreaktif airway adalah mencegah
bronkokonstriksi, dan jika terjadi, perlu meminimalkan sehingga cepat
reversibel.8
Pemilihan obat induksi anestesi adalah tidak sepenting pencapaian anestesi
yang dalam sebelum dilakukan intubasi dan stimulasi pembedahan.
Thiopental adalah paling umum dipakai pada orang dewasa, tetapi kadang-
kadang dapat mencetuskan bronkospasme sebagai hasil pelepasan histamin
yang berlebihan. Propofol dan etomidate adalah pilihan yang cocok, dan
banyak disukai oleh para klinisi. Ketamine dengan sifat bronkodilatasi adalah
pilihan yang bagus untuk pasien dengan hemodinamik yang tidak stabil.
Ketamine sebaiknya tidak digunakan pada pasien dengan kadar teophilline
yang tinggi, karena kombinasi kerja dua obat tersebut dapat mencetuskan
serangan kejang.8 Pemakaian laryngeal mask airway (LMA) dengan atau
tanpa nafas kendali tetap memberi iritasi airway, meskipun tidak seberat
intubasi endotrakeal.
Untuk mencegah reflex bronkospasme, maka sebelum intubasi perlu
diberikan suntikan lidocaine intravena 1-2 mg/kgBB. Anticholinergik dosis
besar (atropine 2 mg, glycopyrolate 1 mg) dapat juga mencegah reflex
bronkospasme, tetapi menyebabkan takikardia.2,8 Dapat juga dipakai
albuteral inhalasi sebelum induksi anestesi. 11 Succinil choline meskipun
kadang-kadang merangsang pelepasan histamin, secara umum dapat
digunakan dengan aman pada kebanyakan pasien asma. Jika tidak terdapat
alat capnograf, konfirmasi penempatan endotracheal yang benar dengan
auscultasi dada dapat mengalami kesulitan jika muncul bronchospasme. 2
Cara lain untuk mcncegah timbulnya reflex bronchospasme adalah dengan
mendalamkan anestesinya dengan cara menambahkan obat induksi atau
agen inhalasi.2,19
Obat-obat anestesi inhalasi paling sering digunakan untuk pemeliharaan
anestesi, yang menguntungkan karena sifat bronkodilatasinya. Halothan
dapat mensensititasi jantung pada pemberian aminophilline dan beta-
adrenergik agonis selama pembiusan dan dapat menyebabkan aritmia
jantung.20 Oleh karena itu, karena halothan juga mempunyai sifat hepatoxic,
maka umumnya pemakaian halothan dihindari pada orang tua. 2 Untuk
melindungi jantung dari bahaya arithmia maka pada pemberian adrenaline
perlu diberikan lidocain secara bersamaan. Karena halothan adalah bersifat
bronchodilator kuat, maka halothan dijadikan pilihan terbaik untuk
pemeliharaan anestesi pada pasien dengan asma. 20 Ventilasi perlu dikontrol
dengan udara yang dihangatkan/ dilembabkan bila memungkinkan.
Sumbatan aliran udara selama ekspirasi nampak pada Capnografy sebagai
kenaikan yang tertunda dari nilai end–tidal; beratnya sumbatan umumnya
berbanding terbalik dengan kecepatan naiknya end-tidal CO2.
Bronchospasme yang berat muncul sebagai kenaikan tekanan puncak
inspirasi dan ekshalasi inkomplit. Volume tidal yang diharapkan adalah 10-12
ml/kg dengan kecepatan ventilasi 8-10 nafas/menit.
Waktu inspirasi dan ekspirasi yang relatif panjang memberi kesempatan
terhadap distribusi aliran udara pada kedua paru dan dapat mencegah air
trapping. Beberapa penelitian menganjurkan peningkatan pertukaran udara
dengan aliran udara inspirasi relatif tinggi dan waktu inspirasi yang pendek
untuk memberi waktu ekshalasi yang lebih besar.
Bronchospasme intraoperatif biasanya muncul berupa wheezing, kenaikan
tekanan puncak inflasi (compliance menurun), penurunan volume tidal
ekshalasi; atau suatu kenaikan pelan dari bentuk gelombang pada Capnograf.
Diagnose bronchospasme adalah adanya kesulitan ventilasi secara manual,
inflasi terasa berat dan terdapat peningkatan peak airway pressure serta
wheezing ekspirasi. Hal ini perlu diatasi dengan menaikkan konsentrasi gas
anestesi (kedalaman anestesi). Pada waktu mendalamkan anestesi perlu hati-
hati terhadap timbulnya interaksi, arithmia dan penurunan tekanan darah. 11
Bila wheezing tidak teratasi, perlu dipertimbangkan pemberian obat-obatan
yang spesifik (lampiran 1). Hal-hal yang dapat merangsang bronchospasme
antara lain adalah sumbatan endotracheal tube karena kinking, secresi lendir,
atau overinflasi balon; intubasi endobronchial; usaha expirasi aktif karena
anestesi yang dangkal; oedem atau emboli paru; dan pneumothorak.
Bronchospasme ringan sampai sedang dapat diobati dengan suatu beta-
adrenergik agonist secara aerosol ke dalam jalur inspirasi sirkuit nafas. Teknik
pemberian lain adalah secara matered dose inhaler, namun perlu adaptor
khusus sebagai penghubung antara endotracheal tube dan sirkuit nafas.
Berikan 5-10 puff obat tersebut ke dalam jalan nafas bagian bawah. 2,19 Asma
sedang sampai berat perlu diterapi dengan aminophylline intravena,
terbutaline subcutan (0,25 mg) atau keduanya. Pasien yang tidak menerima
aminophylline preoperatif perlu diberikan aminophylline bolus sebesar 5-6
mg/kg intravena lebih dari 20 menit dilanjutkan pemeliharaan 0,5-0.9
mg/kg/jam.
Pasien yang telah menerima theophylline preoperatif dapat diberi tambahan
loading dosis normal (biasanya seperempat atau setengah), tergantung dari
kadar theophylline preoperatif. Kortokosteroid intravena (Hydrocartisone
1,5-2 mg/kg atau methyl prednisolone 60-80 mg) perlu diberikan, khususnya
pada pasien dengan riwayat terapi kortikosteroid. 2,15,20 Manfaat
kortikosteroid intravena ini diharapkan dalam beberapa jam, oleh karena itu
perlu digunakan/ditambahkan sympatomimetik secara hati-hati (Epinefrin
atau isoprate renal dosis kecil 5-10 g dilanjutkan infus titrasi dimulai
dengan 1 g/menit).11
Pasien asma dengan serangan asma berat sebaiknya diberikan ventilasi
bantuan untuk mempertahankan PaO2 dan PCO2 pada level normal,
kecepatan ventilasi yang rendah (6-10 nafas/menit), volume tidal yang
rendah dan waktu ekshalasi yang panjang.19 Cara tradisional untuk
memperkirakan beratnya asma acut dalam kaitannya untuk pemeliharaan
homeostatis respirasi adalah mengklasifikasikan analisa gas darah ke dalam 4
kategori sebagai berikut :20
1. Stadium 1. Hypoxaemia ringan dengan PH dan PaCO, normal.
2. Stadium 2. Hypoxaemia ringan dengan alkalosis respiratorik (PH > 7,45
dan PCO, < 35 mmHg).

3. Stadium 3. Hypoxaemia berat (butuh  0,4 FiO2) dengan normalizing PH


dan PaCO2.
4. Stadium 4. Acidosis respiratorik acut (PH < 7,30, PaCO 2  55 mmHg)
dengan hypoxaemia berat.
Pada akhir pembedahan, idealnya pasien sudah bebas dari wheezing. Aksi
nondepolarisasi pelemas otot perlu direveus dengan anticholin esterase yang
tidak akan memicu terjadinya bronkokonstriksi, bila sebelumnya diberikan
anticholinergik dengan dosis yang sesuai.
Ekstubasi dalam perlu dilakukan sebelum terjadi pulihnya refleks jalan nafas
normal untuk mencegah bronchospasme atau setelah pasien asma telah
sadar penuh.20 Lidocain balus 1,5-2 mg/kg diberikan intravena atau dengan
infus kontinyu dosis 1-2 mg/menit dapat menekan refleks jalan nafas. 2,20
PENANGANAN POST OPERATIF
Pada pasien asma yang selesai menjalani operasi pemberian
branchodilator harus dilanjutkan lagi sesegera mungkin pada pasca bedah.
Pemberian bronchodilator aerosol melalui nebulizer atau sungkup muka, sampai
pasien mampu menggunakan dengan MDI (Metered Dose Inhaler) sendiri secara
benar.
Pasien-pasien yang terindentifikasi dengan resiko tinggi perlu dimasukkan
ke unit monitoring postoperatif, dimana fisioterapy dada dan suction dapat
dilakukan. Penanganan nyeri postoperatif adalah hal yang penting untuk
menurunkan komplikasi respirasi.15

Lampiran 1. Pengobatan bronkospasme


A. Posisi pipa endotrakeal perlu dievaluasi dan ditarik sedikit, karena
rangsangan pada carina adalah penyebab bronkospasme yang potensial.
B. Pendalaman level anestesi, sering dapat mengembalikan bronkospasme yang
dikarenakan oleh kondisi anestesi yang dangkal. Hal ini biasanya dilakukan
dengan agen inhalasi, tetapi obat-obat intravena mungkin juga dibutuhkan
bila ventilasi tidak adekuat. Ketamin adalah menguntungkan karena
menghasilkan bronkodilatasi dengan menyebabkan pelepasan katekolamin
endogen, tetapi propofol atau barbiturat biasanya lebih dipilih. Bila
oksigenasi tidak adekuat maka konsentrasi oksigen inspirasi perlu dinaikkan.
C. Bronkodilator inhalasi, mempunyai absorbsi sistemik yang minimal, sehingga
dapat meminimalkan efek samping kardiovaskuler. Bentuk nebuliser berisi
partikel-partikel besar yang akan tersimpan secara besar di pipa sirkuit dan
jalan nafas bagian atas. MDI adalah afeektif bila digunakan secara benar.
Termasuk obat-obat spesifik adalah:
1. Agonist beta-adrenergik, obat-obat ini merangsang reseptor beta-2 pada
otot polos bronkus, sehingga menghasilkan bronkodilatasi. 15 Golongan
oat ini paling cepat memperbaiki sumbatan jalan nafas dengan jalan
melumpuhkan kontraksi otot olos jalan nafas, lebih kuat
bronkodilatasinya dibanding epinefrin subcutan atau infus teofilin
intravena.
a) Isotharine (bronkosol, 0,5 ml dalam 2,5 ml salin diberikan tiap 3-4
jam) merupakan beta-2 selektif yang paling rendah.
b) Albuterol (Proventil atau ventolin – MDI, 2 puff tiap 3-4 jam, atau
nebuliser dengan 0,3 ml dalam 2,5 ml saline tiap 4-6 jam adalah
merupakan beta-2 yang lebih selektif.
c) Metaproterenol (Alupent – MDI, 2 puff tiap 3-4 jam, atau nebuliser
dengan 0,3 ml dalam 2,5 ml salin tiap 4-6 jam) adalah lebih selektif
dari isotharine, dan kurang selektif dibanding albuterol.
2. Kortikosteroid, Beclometason (vanceril-MDI, 2 puff tiap 6 jam) adalah
kortikosteroid inhalasi yang biasa digunakan pada asma kronis. Obat-obat
steroidinhalasi diantaranya adalah Dexametason fosfat, beclometason
dipropionat, budesonidd, flutikason propionat.
3. Antikolinergik, ipratroprium bromid-MDI dapat memperbesar efek
bronkodilatasi yang dihasilkan oleh beta-2 agonist pada serangan asma
akut. Dosis yang dipakai adalah 0,25 mg-0,5 mg dengan waktu pemberian
> 10-15 menit/jam atau 4-10 puff dengan MDI.16
D. Obat-obat intravena
1. Simpatomimetik, obat-obat ini merangsang reseptor beta-2 sehingga
menghasilkan relaksasi otot polos bronkus.
a. Epinefrine dosis rendah (0,25-1,0 mikrogr/mnt) adalah bronkodilator
yang sangat kuat dan efek beta-2 predominan, dengan efek samping
denyut jantung meningkat. Pada dosis yang lebih besar efek terhadap
reseptor alfa lebih besar.
b. Isoproterenol adalah termasuk beta agonis non selektif dan
menyebabkan takikardi tergantung dosis pemberian.
c. Terbutaline sulfate 0,25 mg SQ, dapat diulang setelah 15 menit,
tetapi tidak boleh lebih dari 0,5 mg dalam periode waktu 4 jam dan
relatif lebih selektif terhadap reseptor beta-agonis.
2. Methylxantine (aminopilline, 5 mg/kg/30 mnt IV loading, dilanjutkan
infus kontinyu 0,5-1,0 mg/kg/jam. Mekanisme kerja obat ini dengan cara
meningkatkan kadar cAMP intraselluler yang menghambat erja enzim
fosfodiesterase sehingga menghasilkan kronkodilatasi. Kadar teopilline
dalam darah perlu diperiksa dan dosisnya disesuaikan untuk menjaga
kadar terapi teopilline antara 10-20 mikrogr/dl. Pada pasien yang telah
mendapat terapi teopilline preoperatif maka loading dosenya ¼ atau ½
nya.
3. Steroid, glukokortikoid (methylprednisolone [solu-medrol], 30-60 mgIV
per 6 jam) sangat berguna pada asma eksaserbasi akut, atau
hidrokortisone 14 mg/kg/ hari. Obat-obat ini bekerja dengan
menurunkan peradangan dan menghambat pelepasan histamin dan
metabolisme asam arakidonat. Karena efeknya timbul dalam beberapa
jam, maka perlu dibantu oleh effek simpatomimietik yang cepat secara
hati-hati.

KESIMPULAN
2. Asma adalah suatu penyakit paru –paru yang ditandai oleh:
3. Penilaian terhadap reversibilitas penyakit penting dilakukan dengan
anamnesa, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan
radiologi, pemeriksaan analisa gas darah khususnya test fungsi
paru( Spirometri).
4. Pasien dengan serangan asma yang frekwen atau kronis perlu mendapat
pengobatan sampai tercapai kondisi optimal untuk operasi, berupa kondisi
bebas gejala atau gejala-gejala asma minimal.
5. Pencegahan terhadap serangan bronkospasme durante operasi penting
dilakukan terutama pada saat manipulasi jalan nafas.
6. Obat-obatan dan tindakan yang potensial menyebabkan bronchospasme
atau serangan asma perlu dihindari agar hal tersebut tidak terjadi.
7. Rencana tindakan/pengobatan dan obat-obatan untuk serangan
bronchospasme harus disiapkan, agar bila terjadi serangan bronchospasme,
kondisi reversibel dapat dicapai.
Kepustakaan

1. Mc Fadden ER et al : Acute bronchial astma: Relation between clinical and


physiological manifestation. N Engl J Med 288:221, 1973 ; Harrison,
Principles of internal medicine, 12th ed, 1996, Mc Graw Hill, New York :273

2. Taib S., 2002, Peran Kortikosteroid pada Serangan Asma dalam Pertemuan
Ilmiah Paru Milenium, Surabaya, hal: 1-16.

3. Morgan G.E., 1996, Anestesi and Respiratory Disease in Clinical Anaesthesia,


2nd ed., Stanford, Appleton and Lange page: 442-445.

4. Faisal Y., 2002, Terapi Controller pada Asma dalam Pertemuan Ilmiah paru
Millenium 2002, Surabaya, hal: 1-6.

5. Augusto A.L., Scott T.W., 1999, Definition, Diagnostic Criteria; and


Prevalence of Asthma in Up to date vol. 7 No. 3., page: 1-4.

6. Caecilia F.L., Kardjito T., 2000, Asma dalam Buletin Rasional, Surabaya, hal: 1-
7.

7. Price S.A., Wilson L.M., 1992, Asma Bronkiale-Alergi dan sebaliknya dalam
Patofisiologi, Mc Graw Hill, hal: 146-158.

8. Melissa D.C., Reynold A.P., 2001, Acut Respiratory Failure to Asthma and
COPD in The Intensive Care Unit Manual, W.B., Saunders Company, page:
835-845.

9. Thomas J.G., 1996, Bronchospasme in Complication of Anaesthesia, 2 nd ed.,


Lippin Catt-Raven, page: 67, 199-209, 246.

10. Oberoi G., Phillips G., 2000, Management of Some Medical Emergency
Situations, Mc Graw Hill, page: 315-318.

11. Karnen B., 1990, Asma Bronkiale dalam Ilmu Penyakit Dalam, Balai Penerbit
FKUI, Jakarta, hal: 21-39.

12. Indro, M., 2000, Pengelolaan Perioperatif pada Penderita Gangguan


Pernafasan dalam PIB X IDSAI di Bandung, hal: 111-133.

13. Nunn J.F., 1990, Anaesthesia for Patients with Respiratory Disease in General
Anaesthesia, 5th ed, Butterworth International, page: 699-702.
14. Deepthi A., 1992, Anaesthesia in Respiratory Disease in a Handbook of
Anaesthesia, Colombo, Srilangka, page: 58.

15. Rushman G.B., Davies NSH., Cashman JNV., 1999, Medical Disease
Influencing Anaesthesia in Lee’s of Anaesthesia, 12 th ed, Butterworth
Heinmann, page: 321.

16. Epstein P.L., 1999, Spesific Consideration with Pulmonary Disease in Clinical
Anaesthesia Procedures of Massachussetts General Hospital, 6 th ed, Lippin
Cott William & Wilkins, page: 6, 33-41, 259-261.

17. Venu G.R., 2002, Pharmacological support in status asmaticus in 4th


International Meeting on Respiratory Care Indonesia, Nusa Dua Bali, page:
42-48.

18. Heru S., 2002, Terapi Kombinasi pada Asma Bronkialedalam The First
Symposium Cardiovasculer Respiratory Immunology from Patogenesis to
Clinical Application, Jakarta, hal: 33-38.

19. Stoelting R.K., 1999, Pharmacology in Pharmacology and Physiology in


anaesthetic Practice, 3rd ed, LippinCott-Raven, page: 253, 297, 418.

20. Mark R.E., 2002, Pulmonary Disease in Handbook of Anaesthesiology, 2002-


2003 edition, Current Clinical Strategy, California, page: 29.

21. Michael F.R., 2000, Anaesthetic Implication of Concurrent Disease, 5 th ed,


Livingstone, page: 996-997, 2436-2437.

Anda mungkin juga menyukai