Anda di halaman 1dari 13

Laporan Kasus

November 2008

PENATALAKSANAAN
PASIEN DENGAN ASPIRASI PENUMONIA
DI ICU

Oleh:
Bambang Aslamto
Peserta PPDS I Anestesiologi dan Reanimasi
FK-UGM/RSUP Dr. Sardjito
Yogyakarta

Pembimbing Moderator

dr. Calcarina, SpAn, KIC dr. Bambang S, SpAn, KIC, KNA

BAGIAN ANESTESIOLOGI DAN REANIMASI


FK UGM/RS Dr. SARDJITO
YOGYAKARTA
2008
PENATALAKSANAAN PASIEN DENGAN ASPIRASI PNEUMONIA
DI ICU

ABSTRAK
Dilaporkan penatalaksanaan pasien dengan aspirasi pneumonia di ICU
terhadap seorang laki-laki umur 52 tahun dengan berat badan 60 kg. Pasien
pindahan dari bangsal yang didiagnosis dengan aspirasi pneumonia dn akses
mandibula dengan keluhan sesak nafas.
Pasien dirawat di ICU, dilakukan intubasi dan pemasangan ventilator
dengan volume kontrol, pemberian antibiotik dan korticosteroid. Selama
perawatan di ICU juga diberikan nebulizer, dan nutrisi yang adequat. Monitoring
dilakukan terhadap fungsi kardiovaskuler, hemodinamik dan respirasi dengan
monitoring tekanan darah, EKG, saturasi dengan pulse oxymetri dan CVP.
Selama perawatan di ICU, pasien mengalami perbaikan, maka dilakukan
weaning ventilasi mekanik secara bertahap sampai akhirnya dilakukan ekstubasi
dengan kondisi klinis yang stabil. Pasien dirawat di ICU selama 6 hari, kemudian
dipindahkan ke bangsal.

I. PENDAHULUAN (1,2)
Aspirasi didefinisikan sebagai inhalasi dari orofaring atau isi lambung ke
dalam laring dan alat pernafasan bagian bawah. Beberapa pulmonary syndrom
dapat terjadi setelah aspirasi, tergantung dari jumlah dan jenis bahan yang
teraspirasi, frekwensi aspirasi dan respon pasien terhadap bahan yang teraspirasi.
Aspirasi pneumonia adalah proses infeksi yang disebabkan oleh inhalasi
sekresi orofaring yang mengandung bakteri patogen. Aspirasi paru merupakan
penyebab penyakit yang serius dan kematian yang cukup tinggi, karena sering
terjadi misdiagnosis dan terapi yang tidak adekuat.
Beberapa penelitian merumuskan bahwa 5–15% kasus community
acquired pneumonia adalah aspirasi pneumonia. Angka kejadian aspirasi
pneumonia di Amerika antara 300.000 – 600.000 penduduk pertahun.

II. PATOFISIOLOGI (3,4,5,6)


Aspirasi paru biasanya terjadi karena kondisi-kondisi tertentu yang dapat
meningkatkan resiko terjadinya aspirasi. Kondisi yang meningkatkan resiko
aspirasi adalah tercantum dalam tabel di bawah ini.
Table 34.1. Conditions with aspiration risk
Decreased conscious states
Head trauma
Drug (or alcohol) overdose
Anaesthesia
Sepsis
Metabolic coma
Seizures
Hypoxia, hypercapnia
Cerebrovascular accidents
Impaired cough and gag reflexes
Recent extubation of larynx
Guillain – Barré syndrome, myasthenia, multiple sclerosis,
motor neurone disease
Neck or pharyngeal trauma and surgery
Elderly patients
Passive regurgitation
Pregnancy
Emergency surgery with full stomach and for bowel
obstruction
Nasogastric tubes
Gastro-nesophageal reflux
Oesophagectomy
Oesophageal obstruction
Achalasia, scleroderma
Raised intra-abdominal pressure (c.g. with succinylcholine)

Aspirasi bakteri arofaring merupakan pneumonia nosokomial yang sering


terjadi. Beberapa faktor yang meningkatkan resiko pneumonia, antara lain :
 Frekwensi dan volume sekresi yang teraspirasi
 Aspirasi dari bakteri yang purulen
 Adanya kelainan pada jalan nafas bagian bawah dan kelainan mekanisme
pertahanan dari alveoli
Asprasi bahan terinfeksi dapat terjadi dalam bentuk mikroskopis maupun
makroskopis. Aspirasi mikroskopis lebih sering terjadi. Organisme umumnya tipe
gram negatif dan anaeron (berasal dari flora isi perut) tetapi kolonisasi dari flora
mulut juga dapat terjadi.
Kerusakan awal yang mengikuti aspirasi bahan yang terinfeksi mirip
dengan aspirasi bakteri asam. Proses yang terjadi setelah aspirasi adalah terjadinya
reflex vagal yang menyebabkan bronchospasme, diikuti oleh kerusakan dalam
beberapa menit pada epithel alveolus dan endothelium dan atelektasis, karena
disfungsi surfaktan. Cairan dan protein masuk ke dalam alveoli dan bronchus dan
bermanifestasi klinik sebagai odem paru dalam beberapa jam. Infiltrasi poly-
morphonuclear terjadi dalam alveolus, formasi membran hyaline terjadi dalam 48
jam dan reaksi peradangan akut biasanya terjadi dalam 72 jam.

III. GAMBARAN KLINIK (3,5,7,8)


Pada sindrom aspirasi akut, sering didapatkan adanya riwayat muntah,
darah atau sekresi di sekitar mulut atau kondisi yang meningkatkan resiko
aspirasi. Meskipun demikian, tidak adanya faktor tersebut, tidak berarti diagnosis
akan tersingkirkan. Aspirasi akut, biasanya bermanifestasi dan munculnya gejala
dan tanda klinis seperti batuk, dyspnoea, tachypnoea, wheezing, stridor, krepitasi,
ronchi, sianosis, hipotensi, takikardi, dan demam.
Gambaran klinik pada aspirasi oleh bahan terinfeksi, tergantung dari
volume aspirasi, antibiotik yang diberikan dan apakah infeksi alat pernafasan
bagian bawah ditegakkan. Meskipun hipoksia pada awal penyakit seberat aspirasi
bahan asam, trauma alveolar yang terjadi tidak begitu besar, hipotensi dan
gambaran seperti acute respiratory distress syndrome jarang terjadi. Trauma paru
dapat menetap atau pneumonia dapat berkembang menjadi lebih berat dan
memperpanjang penyembuhan.

IV. DIAGNOSIS (3,4,5)


Diagnosis aspirasi pneumonia didasarkan pada anamnesis, gejala klinis
pemeriksaan fisik dan penunjang. Pada anamnesis biasanya akan ditemuka
riwayat muntah, penurunan kesadaran ataupun faktor-faktor resiko. Setelah
kejadian aspirasi, akan ditemukan gejala klinis, seperti batuk, sesak nafas, stridor,
demam, dan sianosis. Pada pemeriksaan fisik akan ditemukan ronchi, wheezing,
hipotensi, dan takikardi.
Gambaran thorax foto pada aspirasi pneumonia tidak spesifik, tetapi dapat
membantu untuk memuat diagnosis. Infiltrat yang difus, kolaps atau odem paru
bisa terlihat pada thorax foto. Diagnosis banding aspirasi antara lain odem pulmo
akut, asma, retensi sputum dan ARDS. Untuk menyingkirkan diagnosis banding,
dapat dilakukan langkah-langkah sebagai berikut :
 Endotracheal suction, untuk mengetahui adanya bahan yang teraspirasi dan
dilakukan penyecatan gram dan kultur.
 Fiberoptic bronchoscopy untuk mengidentifikasi bahan yang teraspirasi
 Barium swallow, untuk diagnosis yang sulit pada aspirasi berulang

V. PENATALAKSANAAN (3,8, 9, 10)


A. Tindakan Segera
Pasien dimiringkan ke sisi kanan dan head-down. Cara ini bertujuan
untuk melokalisasikan aspirasi ke paru kanan dan mencegah aspirasi lebih
jauh. Suction dan oksigenasi segera diberikan. Jika kesaradan menurun dan
terjadi respiratory distress, maka segera dilakukan intubasi dan suction bahan
teraspirasi. Nasogastric tube dipasang untuk mengosongkan lambung dan
mengurangi resiko aspirasi dari isi lambung. Bronchial lavage biasanya tidak
bermanfaat, karena kerusakan epithel paru terjadi lebih awal sekresi bronkhus
akan menahan bahan aspirasi.

B. Terapi Oksigen
FiO2 tinggi diberikan pada fase awal untuk menjamin PaO 2 yang
aman. Pulse oxymetry kontinyu analisa gas darah digunakan untuk
memonitor fungsi paru-paru.

C. Ventilasi Mekanik
Bila terjadi penurunan kesadaran dan gagal nafas, maka segera
dilakukan intubasi dan ventilasi mekanik untuk menjaga ventilasi yang
adequate dari penderita. Setting awal ventilator digunakan control ventilation
dengan tidal volume yang rendah (5 – 8 mℓ/kgBB)dan pemberian PEEP yang
tinggi (10 – 20).
Tidal volume yang rendah ditujukan untuk mengurangi tekanan jalan
nafas karena akan merusak jaringan paru. PEEP diberikan untuk memelihara
alveolus recruitment dan mencegah kolap dari alveolus. Weaning ventilator
dilakukan sesuai kondisi klinis yang ada.

D. Terapi Antibiotik
Pemberian antibiotik profilaksis tanpa gejala dan tanda infeksi yang
jelas masih kontroversial. Bila aspirasi dari bahan terinfeksi, maka diberikan
antibiotik. Jenis antibiotik tergantung dari material yang teraspirasi.
Meskipun demikian, antibiotik dengan brond spectrum harus diberikan
seawal mungkin. Kultur sputum, bila mungkin, diambil setelah pemberian
antibiotik. Setelah hasil kultur ada, maka antibiotik diberikan sesuai dari hasil
kultur.

E. Terapi Supportif
Pasien dengan pneumonia, perlu dilakukan suction sekresi jalan nafas
untuk mencegah obstruksi jalan nafas. Pada kondisi tertentu, kadang-kadang
diperlukan bronchoscopy untuk mengidentifikasi adanya obstruksi
endobronchial. Pada sebagian besar pasien dengan pneumonia, diberikan
branchodicator untuk mencegah branchospasme meskipun efektivitasnya
pada pasien tanpa penyakit obstruksi paru belum diketahui.
Pada aspirasi pneumonia berat, bisa terjadi kebocoran cairan yang
kaya protein ke dalam paru dan menyebabkan penurunan preload, cardiac dan
hipotensi. Pemberian cairan intravascular diperlukan untuk mencukupi
kebutuhan cairan dan menjaga kardiovaskuler dengan menghitung balance
cairan secara cermat.
LAPORAN KASUS

IDENTITAS
Nama : Tn.S
Umur : 52 tahun
Jenis kelamin : laki-laki
Agama : Islam
Berat badan : 60 kg
Masuk RS : 7-6-2008
Masuk ICU : 12-6-2008
Keluar ICU : 18-6-2008

ANAMNESIS
a. Keluhan utama : sesak nafas
b. Riwayat penyakit sekarang :
Kira-kira 3 minggu sebelum masuk RSS, pasien cabut gigi di dokter gigi
bagian gigi kanan atas dan bawah. Dua hari setelah cabut gigi, pasien merasa
nyeri hebat di tempat gigi yang di cabut, kemudian periksa di Puskesmas,
mondok satu hari, dan keluhan berkurang.
Dua minggu sebelum masuk RSS, rahang kanan bawah pasien bengkak
dan nyeri. Pasien periksa di RS Tidar dan mondok. Sebelum mondok,
bengkak tidak berkurang, bahkan makin besar dan memerah. Empat hari
sebelum masuk RSS, ada luka di tempat yang bengkak dan keluar cairan putih
kental. Pada tanggal 7-6-2008, pasien di rujuk ke RS Sardjito.
Dari tanggal 7-12 Juli, pasien di rawat di bangsal dan mendapat terapi :
 Dressing abses dan nekrotomi
 Infus RL 20-24 tetes/menit
 Cefotaxim 2 x 1 gr
 Metronidazal 3 x 500 mg
 Ketorolac 2 x 1Amp
 Ranitidin 2 x 1 Amp
Selama perawatan di bangsal, kondisi pasien membaik dan stabil dengan
T: 110-120/70-80 mmHg, N: 90-96 x/menit, RR: 18-20x/menit, kesadaran
compos mentis.
Pemeriksaan laboratorium dan penunjang selama di rawat di bangsal:
Tgl 9-6-08: Hasil laboratorium: AL = 10,4; AE = 3,28; Hb = 10,6; Hct = 33,8;
AT:180. Thorax foto: cor dan pulmo normal.
Pada tanggal 12-6-2008 pagi, pasien mengeluh ada cairan yang keluar
dalam rongga mulut dan terasa asin. Pasien merasa takut dan gelisah. Kira-kira
jam 20.00, pasien tersedak karena cairan dalam mulut dan merasa sesak, dan
makin gelisah.
Kemudian diberi O2 nasal kanul 2 l/menit dan diperiksa AGD. Hasil
AGD (12-6-08) jam 20.30:
FiO2 = 0,3, t = 36,8
pH = 7,461 BE = 0,1
PCO2 = 31,2 AaDO2 = 123,0
PO2 = 71,5 SO2 = 92,1
HCO3 = 21,5
Pada jam 22.00, dikonsulkan oleh bagian THT untuk rawat di ICU.

PEMERIKSAAN FISIK: 12-6-08


Keadaan umum : tampak sesak nafas dan gelisah
Primary survey :
A. Tidak bebas, snoring (+/+)
B. RR 36-38 x/menit, stridor (x), V +/+, Rh +/+, wh -/-
C. T : 140/85 N : 120 x/menit
D. Kesadaran : GCS : E4 V5 M6

Assesment : - Abses mandibula


- Impending gagal nafas
- Aspirasi pneumonia
Plan : - Midazolam 5 mg IV
- Pemasangan guedel no. 6 dan suction
- Bantu ventilasi dengan bagging
- Intubasi dan pasang NGT
* Fentanyl 50 g IV
* Roculac 50 mg IV
- Setting mode ventilator dan monitoring

Secondary Survey:
M1 : bebas, terpasang ET no 8, on ventilator, setting mode VC 14, PEEP 10,
VT 450, FiO2 100%, V +/+, Rh +/+ wh -/-, terpasang NGT
M2 : t : 110/60, N :116 x/menit, temperature 36,8oC, S1S2 tanggal , murmur (-)
M3 : GCS tersedasi, RC +/+, pupil isokor 2 mm/2mm, lateralisasi (-), kaku
kuduk (-)
M4 : perut supel, distansi (-), peristaltik (+) H/L tak teraba
M5 : terpasang DC, win output 0,6 cc/jam
M6 : odem tungkai (-), akral hangat (+)

Assessment: - Abses mandibula


- Aspirasi pneumonia
Plan : - Monitoring dan stabilisasi A,B,C,D
- Ceftazidin 3x1gr
- Metronidazal 3x500mg
- Ranitidin 2x1 A
- Metoclopramide 3x10mg
- Methylprednisolar 2x 125 mg
- Periksa laboratorium lengkap
- Thorax Ro
VI. PEMBAHASAN
Aspirasi pneumonia adalah aspirasi bahan terinfeksi yang masuk ke laring
dan alat pernafasan bagian bawah. Bahan terinfeksi biasanya berasal dari rongga
mulut atau lainnya. Kejadian aspirasi biasanya terpicu oleh adanya faktor-faktor
resiko seperti penurunan kesadaran, lambung penuh dan lainnya. (1,3)
Gejala dan tanda klinis aspirasi pneunomia yang terjadi secara akut antara
lain, sesak nafas, takikardi, hipotensi, sianosis, stridor, wheezing dan demam.
Pada pemeriksaan thorax foto biasanya ditemukan infiltrat difuse atau gambaran
odem pulmo.(1,3)
Diagnosis aspirasi pneunomia didasarkan pada anamnesis, adanya faktor
resiko, gejala dan tanda klinis serta pemeriksaan penunjang thorax foto.
Pada kasus ini, diagnosis aspirasi pneumonia didasarkan pada anamnesis
yaitu adanya cairan yang keluar dari rongga mulut, tiba-tiba tersedak dan muncul
gejala dan tanda klinis berupa sesak nafas, takipneau, takikardi, gelisah, stridor,
dan ronchi. Dari thorax foto ditemukan gambaran awal odem pulmo.
Dari pemeriksaan fisik ditemukan tanda-tanda impending gagal nafas yaitu
RR 36-38 x/menit, gelisah, takikardi, dan stridor. Penatalaksanaan pertama yang
diberikan pada kasus ini adalah menjaga ventilasi pasien dan mencegah aspirasi
lebih lanjut yaitu dengan memberikan O2, suction, intubasi dan ventilasi mekanik.
Intubasi dilakukan dengan teknik RSI menggunakan midazolam 5 mg,
fentanyl 50 g dan roculac 50 mg. Teknik RSI dipilih karena lambung penuh dan
emergency untuk menghindari regurgitasi dan aspirasi isi lambung. Di samping
itu juga dilakukan penekanan cricoir. Setelah intubasi, dilakukan ventilasi
mekanik dengan ventilator.
Setting ventilator pada aspirasi penumonia diberikan dengan prinsip low
tidal volume dan PEEP yang tinggi untuk memberikan alveolar recuritment dan
mencegah kolaps alveolus. Mode setting awal ventilator dapat digunakan volume
control maupun pressure control.(3,4)
Pada kasus ini mode setting awal ventilator adalah volume control dengan
rate 14, PEEP 10, volume tidal 450 dan FiO2 100%. FiO2 diturunkan sampai 40%
sesuai kondisi pasien. Mode setting selanjutnya disesuaikan dengan respon pasien
dengan memberikan kesempatan pasien untuk secepatnya bernafas spontan.
Weaning ventilator dilakukan sesuai kondisi pasien.
Pemberian antibiotik pada aspirasi pneumonia mutlak diperlukan karena
bahan aspirasi berupa bahan terinfeksi. Pemilihan antibiotik adalah broad spectum
sampai ada hasil kultur yang sesuai untuk kuman yang menginfeksi.(3,4,5)
Pada kasus ini diberikan antibiotik broad spectrum yaitu ceftazidin 3 x 1
gr dan antibakteri anaerob yaitu metronidazal 3 x 500 mg. Sebelum pemberian
antibiotik ini, dilakukan kultur sputum untuk menentukan sensitifitas antibiotik
selanjutnya. Untuk menilai keberhasilan pemberian antibiotik, dilakukan
pemeriksaan leukosit. Pada hari pertama AL = 11,0; pada hari ketiga AL = 10,6
dan pada hari kelima AL = 9,0. Selama perawatan suhu tubuh juga dalam batas
normal, dan klinis pasien membaik. Berdasarkan hal tersebut, pemberian
antibiotik pada kasus ini sudah sesuai.
Pemberian corticosteroid pada aspirasi pneumunia bertujuan untuk
mengurangi pross inflamasi yang terjadi, meskipun masih kontroversial. Terapi
lain yang bisa diberikan adalah bronchodilator untuk mencegah bronchospasme
dan mengencerkan sekresi jalan nafas.(6,8,9)
Pada kasus ini diberikan metilprednisolan 2 x 125 mg dan nebulizer
dengan adrenalin 0,5 A plus NaCl 0,9% 4 cc setiap 6 jam. Dengan pemberian
bronchodilator, pada kasus ini tidak terjadi bronchospasme dan obstruksi oleh
sekresi mukus jalan nafas dan memperbaiki ventilasi.
Terapi supportive care amat penting dan membantu proses penyembuhan
pada pasien-pasien critical ill. Pada kasus ini diberikan ranitidin 2 x 1 A dan
metoclopramid 3 x 10 mg untuk mencegah stress ulcer karena pemasangan
ventilator. Hemodinamik dijaga dengan memberikan balance cairan sesuai klinis
pasien. Pada kasus ini, kadar albumin awal adalah 1,1 dan sudah terjadi awal
odem pulmo pada thorax foto. Untuk mencegah overload cairan, dan menilai
kecukupan cairan maka dipasang CVC. Nilai CVP dipertahankan dalam batas
normal (+6 sampai +12). Tranfusi albumin diberikan agar mencapai kadar
albumin 2,5 untuk mempertahankan tekanan onkotik plasma dan mencegah odem
pulmo yang sudah terjadi. Karena pasien tidak mampu membeli albumin maka
kadar albumin plasma tidak bisa mencapai kadar yang diharapkan sehingga
balance cairan dibuat negative dengan mempertahankan kecukupan cairan
intravaskuler berdasarkan nilai CVP.
Nutrisi pada kasus ini diberikan diet TKTP dengan kebutuhan kalori
3 x BB dan diberikan terutama melalui otot enteral. Pada kasus ini kebutuhan
kalori  1800 kkal per hari dan dapat tercukupi dengan baik.
Selama perawatan di ICU, kondisi pasien makin hari makin membaik,
hemodinamik stabil dan weaning ventilator dapat secepatnya dilakukan. Pada hari
keempat perawatan di ICU kondisi pasien stabil, hemodinamik stabil, ventilasi
adekuat, kesadaran compos mentis dan hasil AGD adalah FiO2 = 0,4; pH = 7,363;
PCO2 = 37,6; PO2 = 85,7; HCO3 = 21,7; BE = -2,9; SaO2 = 96,8 maka dilakukan
ekstubasi.
Post ekstubasi, kondisi pasien tetap stabil, ventilasi adequat dengan RR
20-24 x/menit dan hasil AGD cukup baik yaitu FiO2 = 0,3; pH = 7,406; PCO2 =
41,76; PO2 = 80,1; HCO3 = 25,5; BE = 0,8; SaO2 = 97,7.
Pada hari keenam perawatan di ICU, pasien dikembalikan ke bangsal
dengan kondisi membaik dan stabil. T = 125/65 mmHg, N = 84 x/mnt, RR = 18-
20 x/mnt, T = 36,8oC, GCS = E4V5M6. Hasil laboratorium ekstrolit dalam batas
normal dan angka lekosit normal.

VII. KESIMPULAN
Aspirasi pneunomia adalah aspirasi bahan terinfeksi yang masuk laring
dan jalan nafas bagian bawah. Gejala dan tanda klinis berupa dyspneau,
takipneau, takikardi, sianosis, hipotensi dan demam. Gambaran foto thorax tidak
khas, biasanya tampak infiltrasi difuse atau odem pulmo. Diagnosis dibuat
berdasarkan anamnesis, gejala dan tanda klinis serta pemeriksan penunjang.
Penatalaksanaan aspirasi pneumonia adalah berdasarkan gambaran klinis.
Oksigenasi, ventilasi mekanik, antibiotik dan supportive care biasanya merupakan
terapi yang diberikan pada kasus aspirasi pneumonia.
Indikasi perawatan di ICU pasien aspirasi pneumonia adalah kegagalan
ventilasi yang menyebabkan pasien jatuh dalam critical ill.
DAFTAR PUSTAKA

1. Marik P.E., 2001, Aspiration Pneumonitis and Aspiration Pneumonia, in N


Engl J Med, vol. 344 No. 9, www.nejm.org.
2. Franquet T, Gimenes A, 2000, Aspiration Diseases, Scientific Exhibit,
Marcelona, Vol. 20, p. 673-685.
3. Cooper DJ, 1977, Aspiration Syndromes, in Intensive Care Manual, 4th
edition, TE Oh, Butterworth – Heinemann, Oxford, p. 319-324.
4. Witt MD. Chu LA, 2002, Infections in the Critically Ill, in Current Critical
Care, 2th edition, Bongard F.S., McGraw-Hill, New York, p. 414-417.
5. James CF, 1996, Pulmonary Aspiration, in Complication in Anesthesiology, 2th
edition, Gravenstein N, Kirby RR, Lippincott-Raven, Philadelphia, p. 175-186.
6. Marik, PE, , 1999. The Role of Anaerobes in Patients With Ventilator-
associated Pneumonia and Aspiration Pneumonia: A Prospective Study,
http://chestjournal.org
7. Stanley Fiel, 2001, Guidelines and Critical Pathways for Severe Hospital-
Acquired Pneumonia http://chestjournal.org
8. Marik PE, 2005, Aspiration Pneumonitis and Pneumonia, in Textbook of
Critical Care, 5th edition, Fink MP, Abraham E, Vincent JL, Kochanek PM,
Elsevier Saunders, Philadelphia, p. 581-585.
9. Sandra L Kane-Gill, 2007, Multicenter Treatment and Outcome Evaluation of
Aspiration Syndromes in Critically Ill Patients, The Annals of
Pharmacotherapy: Vol. 41, No. 4, pp. 549-555
10. Kallos T, Lampe KF, Orkin FK, 1998, Pulmonary Aspiration in Complication
in Anesthesiology, Orkin FK, Cooperman LH, Lippincott-Raven, Philadelphia,
p. 152-160.

Anda mungkin juga menyukai