Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Bronkiektasis adalah penyakit kronis progresif yang ditandai dengan dilatasi
bronkus dan bronkiolus yang bersifat menetap serta penebalan dinding bronkus. Keadaan
ini disebabkan oleh infeksi virus atau bakteri yang kronis, dan inflamasi yang diikuti
dengan pelepasan mediator (Nataprawira, 2012).
Riwayat bronkiektasis pertama kali dikemukakan oleh Rene Theophile Hyacinthe
Laennec pada tahun 1819 pada pasien dengan flegmon supuratif. Tahun 1922, Jean
Athanase Sicard dapat menjelaskan perubahan distruktif saluran respiratorik. Pada
gambaran radiologis melalui penemuannya, yaitu bronkografi dengan kontras. Dengan
pemberian imunisasi terhadap pertusis, campak dan juga regimen pengobatan penyakit
TB yang lebih baik, maka diduga pravalens penyakit ini semakin rendah. Hal ini
dikarenakan penyakit TB dan pertusis merupakan salah satu penyebab dari bronkiektasis
(Emmons, 2008).
Penelitian pada tahun 2005 didapatkan sekitar 110.000 pasien dengan bronkiektasis
di Amerika serikat. Pada tahun 2005 penyakit ini sering terjadi pada usia tua dengan dua
pertiga adalah wanita. Weycker et al melaporkan prevalensi bronkiektasis di amerika
serikat 4,2 per 100.00 orang dengan usia 18-34 tahun dan 272 per 100.000 orang dengan
usia 75 tahun. Sedangkan di Auckland, New Zealand terdapat 1 per 6.000 penderita
bronkiektasis (Syahrul,2011).
B. Rumusan Masalah
1. Apa Definisi dari Brochiectasis?
2. Apa Tanda dan Brochiectasis?
3. Apa Etiologi Brochiectasis?
4. Bagaimana Patofisiologi Brochiectasis ?
C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui definisi Brochiectasis
2. Untuk mengetahui Etiologi Brochiectasis
3. Untuk mengetahui Tanda dan gejala Brochiectasis
4. Untuk mengetahui Patofisiologi Brochiectasis

1
D. Manfaat Penelitian
Dalam penulisan makalah ini diharapkan dapat memberikan manfaat yang berarti untuk
semua pihak. Adapun manfaat yang bisa diambil dari penulisan makalah ini antara lain:
1. Bagi Rumah Sakit Hasil yang didapat dalam penulisan makalah ini diharapkan dapat
digunakan dalam menentukan tindakan yang tepat pada kasus gangguan katup
jantung.
2. Bagi Fisioterapi Membantu mengembangkan ilmu fisioterapi dan perkembangan
praktek fisioterapi sehingga dapat memberikan pelayanan dan penanganan secara
tepat terutama pada kasus Bronchiectasis.

2
BAB II

LANDASAN TEORI

A. Definisi
Bronkiektasis adalah penyakit paru supuratif yang ditandai oleh dilatasi bronkus,
pertama digambarkan Laennec pada tahun 1819. Ia menyebutkan perubahan patologi
dalam dinding bronkus dan parenkim paru serta melihat bahwa kelainan ini jarang timbul
dalam lobus superior. Penatalaksanaan bedah untuk bronkiektasis dimulai dengan
drainase abses paru dan tindakan lain mencakup pembuangan suatu lobus, baik sebagian
atau lengkap, dengan scalpel atau dengan kauter sebenarnya. Ini diikuti dengan lobektomi
sebagian dan total standar untuk lobus bronkiektatik. Pemeriksaan nantinya menunjukkan
bahwa reseksi segmental sering merupakan tindakan bedah terpilih.
Bronkiektasis umunya disebabkan infeksi paru; obstruksi bronkial; aspirasi benda
asing, muntah atau benda dari saluran pernapasan atas; dan gangguan imunologis.
Individu mungkin mempunyai predisposisi terhadap bronkietaksis sebagai akibat infeksi
pernafasan pada masa kanak-kanaknya, campak, influenza, tuberkulosis, dan gangguan
immunodefisiensi. Setelah pembedahan, bronkiektaksis dapat terjadi ketika pasien tidak
mampu untuk batuk secara efektif, dengan akibat lender menyumbat bronchial dan
mengarah pada atelektasis.
B. Etiologi
Bronkiektatis bisa merupakan kelainan kongenital atau akuisita. Jenis kongenital
mencakup bronkiektasis dengan situs inversus dan sinusitis paranalis (sindrom
Kartagener), yang ditandai oleh cacatsilia atau gerakan silia di dalam mukosa bronkus.
Hipogammaglobulinemia bisa disertai dengan bronkiektasis dan dianggap sebagai faktor
predisposisi dalam perkembangan pneumonia pada pasien ini dengan merendahkan
respon kekebalan. Sekresi bronkus kental abnormal ditemukan dalam pasien fibrosis
kistik yang menyebabkan timbulnya sumbat mukus dan dan sekrresi brochus purulenta,
yang akhirnya menimbulkan bronkiektasis.
Walaupun infeksi yang dulu menunjukkan sebab primer bronkiektasis akuisitas
(pertusis, morbili, influenza, dan pneumonia bronchial), namun penyakit ini sebagian
besar telah dikendalikan denagan antibiotika dan imunisasi. Saat ini obstruksi instriksi

3
bronkus oleh sekresi purulenta, sumbat mukus, aspirasi, benda asing, tuberculosis,
neoplasma,dan abses paru kronis merupakan penyebab yang lebih lazim. Dasar ekstrinsik
dari kelenjar limfe membesar, yang menyebabkan sindrom lobus medius dan pembuluh
darah anomali yang menyebabkan obstruksi bronkus telah menjadi lebih penting.
C. Tanda dan Gejala
1. Batuk kronik
Batuk kronik karena pembentukan sputum purulen dalam jumlah yang sangat banyak.
Spesimen sputum akan secara khas “membentuk lapisan” menjadi tiga lapisan dari
atas: lapisan atas berbusa, lapisan tengah yang bening, dan lapisan bawah berpartikel
tebal. Bronkiektaksis tidak mudah didiagnosis karena gejala-gejalanya dapat tertukar
dengan bronchitis kronik.
2. Hemoptisis
3. Jari tabuh
Jari tabuh karena insufiensi pernafasan. Pasien hampir pasti mengalami infeksi paru
berulang. Gambaran Klinis Bronkiektasis Bronkiektasis merupakan penyakit yang
sering dijumpai pada usia muda, 69 % penderita berumur kurang dari 20 tahun.
Gejala dimulai sejak masa kanak-kanak, 60 % dari penderita gejalanya timbul sejak
umur kurang dari 10 tahun. Gejalanya tergantung dari luas, berat, lokasi ada atau
tidaknya komplikasi.
1) Batuk yang menahun dengan sputum yang banyak terutama pada pagi hari,
setelah tiduran dan berbaring.
2) Batuk dengan sputum menyertai batuk pilek selama 1-2 minggu atau tidak ada
gejala sama sekali ( Bronkiektasis ringan )
3) Batuk yang terus menerus dengan sputum yang banyak kurang lebih 200 - 300
cc, disertai demam, tidak ada nafsu makan, penurunan berat badan, anemia, nyeri
pleura, dan lemah badan kadang-kadang sesak nafas dan sianosis, sputum sering
mengandung bercak darah,dan batuk darah.
4) Ditemukan jari-jari tabuh pada 30-50 % kasus (Sylvia S. Prince & Loranine M.
Wilson, 2003).

4
D. Patofisiologi
Reid mengklasifikasikan bronkiektasis kedalam tiga kelompok : (1) silindris,
dimana bronkus yang berdilatasi mempunyai bagian regular tanpa peningkatan diameter
dan berakhir mendadak; (2) varikosa dengan dilatasi lebih besar dan ketidakteraturan; tak
adanya pengisian perifer dan akhir bulbosa; serta (3) sakular (kistik), yang
memperlihatkan dilatasi bronkus dan ballooning, yang meningkat kearah tepi paru.
Bronkiektasis biasanya terletak dalam segmen basal lobus inferior disertai keterlibatan
lobus medius yang berhubungan atau lingula juga. Segmen superior lobus inferior
biasanya bebas penyakit, karena drainase gravitasi yang adekuat. Bila segmen basal kiri
sakit, lingual terlibat dalam 60 sampai 80 persen kasus; bila segmen basal kanan terlibat,
maka lobus medius kana sakit dalam 45 sampai 60 persen. Bronkiektasis timbul bilateral
dalam sekitar 40 persen pasien. Manifestasi anatomi makroskopik bronkiektasis
mencakup penebalan dan dilatasi dinding bronkus (kadang – kadang abses).
E. Komplikasi
Komplikasi
 Malnutrisi kronis
 Amiloidosis
 Gagal jantung sebelah kanan
 Kor pulmonale
 Gagal napas
F. Diagnostik
1) Pemerisaan Laboratorium
Pemeriksaan sputum meliputi Volume sputum, warna sputum, sel-sel dan bakteri
dalam sputum.
2) Pemeriksaan Darah Tepi.
Biasanya ditemukan dalam batas normal. Kadang ditemukan adanya leukositosis
menunjukkan adanya supurasi yang aktif dan anemia menunjukkan adanya infeksi
yang menahun.

5
3) Pemeriksaan Urina.
Ditemukan dalam batas normal, kadang ditemukan adanya proteinuria yang
bermakna yang disebabkan oleh amiloidosis, Namun Imunoglobulin serum biasanya
dalam batas normal kadang bisa meningkat atau menurun.
4) Pemeriksaan EKG
EKG biasa dalam batas normal kecuali pada kasus lanjut yang sudah ada komplikasi
korpulmonal atau tanda pendorongan jantung. Spirometri pada kasus ringan mungkin
normal tetapi pada kasus berat ada kelainan obstruksi dengan penurunan volume
ekspirasi paksa 1 menit atau penurunan kapasitas vital, biasanya disertai insufisiensi
pernafasan yang dapat mengakibatkan :
- Ketidakseimbangan ventilasi dan perfusi
- Kenaikan perbedaan tekanan PO2 alveoli-arteri
- Hipoksemia
- Hiperkapnia

6
BAB III

PEMBAHASAN

A. Penanganan Fisioterapi
Infra Red Tujuan : untuk mendapatkan relaksasi lokal pada daerah dada dan punggung
juga untuk memperbaiki spame pada oto bantu pernapasan.
1) Persiapan alat : Siapkan alat kemudian cek keadaan lampu, cek kabel, ada yang
terkelupas atau tidak. .
2) Persiapan pasien : Posisikan pasien senyaman mungkin, bebaskan area yang akan
diterapi, dari kain atau pakaian, sebelum diterapi kulit harus kering dan dilakukan tes
sensibilitas terlebih dahulu serta berikan informasi yang jelas tentang tujuan terapi
mengenai apa yang akan dirasakan.
3) Pelaksanaan : Alat di atur sedemikian rupa, sehingga lampu IR dapat menjangkau
daerah dada dan punggung dengan jarak kurang lebih 40 cm. Posisi lampu IR tegak
lurus daerah yang akan diterapi. Setelah semuanya siap alat dihidupkan, kemudian
atur waktu 15 menit. Selama proses terapi berlangsung fisioterapi harus mengontrol
Setiap 5 menit sekali di takutkan rasa hangat lebih yang diterima pasien, jika selama
pengobatan rasa Panas meningkat dosis harus dikurangi dengan 9 menurunkan
intensitasnya, dengan sedikit menjauhkan menurunkan intensitasnya, dengan sedikit
menjauhkan IR. Hal ini berkaitan dengan adanya overdosis. Setelah proses terapi
selesai matikan alat dan alat dirapikan seperti semula

Nebulizer Tujuan : mengecerkan sputum agar mudah di keluarkan dan melonggarkan


jalan napas. Persiapan pasien: posisi pasien di posisi kan senyaman mungkin , duduk dan
bersandar diatas bed dengan bantal supaya nyaman, Persiapan alat: siapkan alat set
nebulizer, siapkan obat bronkodilator nya dan pasangkan alat ke pasien senyaman
mungkin tanpa ada tidak kenyamanan. Pelaksanaan:

1) mendekatkan peralatan dekat dengan pasien


2) memasukan obat sesuai dosis
3) memasangkan masker pada pasien
4) menghidupkan nebulizer dan meminta pasien napas dalam sampai obat habis

7
5) matikan nebulizer dan lepas masker pada pasien (6) bersihkan mulut dan hidung
pasien dengan tisue
6) bereskan alat ke tempat semula.

Batuk efektif Tujuan : Dapat mengelurkan sputum dengan maksimal Persiapan pasien :
Posisikan pasien senyaman mungkin, pasien di posisikan dengan duduk di atas bed, tanpa
menyender ke belakang agar pada saat pelaksanaan mendapatkan hasil yang maksimal.
Pelaksanaan:

1) Mulai dengan bernafas pelan. Ambil napas secara perlahan, akhiri dengan
mengeluarkan napas secara perlahan selama 3-4 detik.
2) Tarik napas secara diafragma, lakukan secara pelan dan nyaman.
3) Setelah menarik nafas secara perlahan, tahan nafas selama 3 detik, Ini untuk
mengontrol nafas dan mempersiapkan melakukan batuk secara efektif.
4) Angkat dagu agak keatas, dan gunakan otot perut untuk melakukan pengeluaran
nafas cepat sebanyak 3 kali dengan saluran napas dan mulut terbuka, keluarkan
dengan bunyi Ha,ha,ha atau ehem,ehem,ehem. Tindakan ini membantu dan
mempermudah pengeluaran dahak.
5) Kontrol nafas, kemudian ambil nafas pelan 2 kali. Ulangi tehnik batuk diatas sampai
mucus ke belakang tenggorokkan, setelah itu batukkan dan keluarkan mucus/dahak.

8
BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
Bronkiektasis adalah penyakit paru supuratif yang ditandai oleh dilatasi bronkus,
pertama digambarkan Laennec pada tahun 1819. Ia menyebutkan perubahan patologi
dalam dinding bronkus dan parenkim paru serta melihat bahwa kelainan ini jarang timbul
dalam lobus superior. Penatalaksanaan bedah untuk bronkiektasis dimulai dengan
drainase abses paru dan tindakan lain mencakup pembuangan suatu lobus, baik sebagian
atau lengkap, dengan scalpel atau dengan kauter sebenarnya. Ini diikuti dengan lobektomi
sebagian dan total standar untuk lobus bronkiektatik. Pemeriksaan nantinya menunjukkan
bahwa reseksi segmental sering merupakan tindakan bedah terpilih.
Keadaan ini disebabkan oleh infeksi virus atau bakteri yang kronis, dan inflamasi
yang diikuti dengan pelepasan mediator (Nataprawira, 2012).
B. Saran
Suatu keberhasilan terapi ditentukan oleh terapis, sikap dari pasien itu sendiri serta dari
keluarga pasien, jadi perlu adanya kerjasama antara terapis, pasien dan keluarga pasien.
a. Saran bagi terapis Bagi fisioterapis hendaknya sebelum melakukan terapi kepada
pasien diawali dengan pemeriksaan yang teliti, mencatat permasalahan pasien,
menegakkan diagnosis dengan tepat, memilih modalitas yang sesuai dengan
permasalahan pasien, melakukan evaluasi dan memberikan edukasi pada pasien
sehingga nantinya akan memperoleh hasil yang optimal.

Anda mungkin juga menyukai