Anda di halaman 1dari 36

REFERAT

Anestesi Regional pada Pasien dengan Penyakit Jantung

atau Hemodinamik Tidak Stabil

Oleh:

Larasati Gilang Puji Astuti, S. Ked

1830912320024

Pembimbing:

dr. Rapto Hardian, Sp.An, KAKV

BAGIAN/SMF ANESTESI DAN TERAPI INTENSIF

FAKULTAS KEDOKTERAN ULM/RSUD ULIN

BANJARMASIN

2020
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ............................................................................. i

DAFTAR ISI.......................................................................................... ii

BAB I

PENDAHULUAN ........................................................................... 1

BAB II

2.1. Pengertian ..................................................................................... 3

2.2. Penilaian Risiko Pre Operatif ..................................................... 3

2.3. Tujuan Anestesi ............................................................................. 6

2.4. Pertimbangan Pra Anestesi .......................................................... 6

2.5. Pre medikasi ................................................................................... 6

2.6. Manajemen Pra Operasi ............................................................... 7

2.7. Pemantauan Intra Operasi Anestesi pada Pasien dengan Penyakit

Jantung/ Hemodinamik Tidak Stabil

2.7.1. Anestesi Umum ..................................................................... 7

2.7.2. Anestesi Regional ................................................................. 8

2.8. Anestesi Pada Penyakit Jantung

2.8.1. Prolaps Katup Mitral .......................................................... 10

2.8.2. Mitral Stenosis ..................................................................... 11

2.8.3. Mitral Regugirtasi ............................................................... 13

2.8.4. Aorta Stenosis ...................................................................... 15

2.8.5. Aorta Insufisiensi ................................................................ 17

ii
2.8.6. Regugirtasi Tricuspid .......................................................... 19

2.8.7. Defek Septum Ventrikel ...................................................... 20

2.8.8. Pertimbangan Anestesi pada Penyakit Jantung Bawaan.. 23

2.9. Perbandingan Teknik Anestesi Regional dengan Anestesi Umum 28

2.10. Manajemen Komplikasi Intra Operasi ..................................... 28

2.11. Manajemen Pasca Operasi .......................................................... 29

2.12. Manajemen Nyeri ........................................................................ 29

BAB III

KESIMPULAN ................................................................................ 31

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................... 32

iii
BAB I

PENDAHULUAN

Pembiusan pasien dengan penyakit jantung sebelumnya merupakan tantangan yang

menarik. Penyebab paling umum morbiditas dan mortalitas perioperatif pada pasien jantung

adalah penyakit jantung iskemik (PJI). PJI adalah penyebab nomor satu morbiditas dan

mortalitas di seluruh dunia dunia. Sekitar 25 juta pasien di Amerika Serikat yang menjalani

operasi setiap tahun, kira-kira 7 juta dianggap berisiko tinggi terkena PJI. Goldman dkk.

melaporkan bahwa 500.000 hingga 900.000 (Myocard Infarct) MI terjadi setiap tahun di seluruh

dunia dengan mortalitas 10-25%. Pengelolaan pasien ini memerlukan identifikasi faktor-faktor

risiko, evaluasi pra-operasi, optimalisasi, terapi, pemantauan, pilihan teknik anestesi yang tepat,

dan obat-obatan.1

Dalam memilih cara melakukan prosedur anestesia dipengaruhi oleh beberapa faktor,

antara lain umur, status fisik (termasuk adanya kelainan/penyakit), posisi pembedahan,

keterampilan dan kebutuhan dokter pembedah, ketrampilan dan pengalaman dokter

anestesiologi, keinginan pasien, bahaya kebakaran dan ledakan serta yang lainnya. Sebagian

besar prosedur pembedahan (70-75%) dilakukan dengan anestesia umum, sedangkan operasi

lainnya dilakukan dengan anestesia regional atau lokal. Operasi sekitar kepala, leher, intra-

torakal, intra abdominal paling baik dilakukan dengan menggunalan anestesia umum endotrakea.

Anestesia umum dilihat dari cara pemberian obat yaitu secara parenteral, perektal, perinhalasi.

Anestesia regional berdasarkan teknik pemberian yaitu infiltrasi lokal, field block, blok saraf,

analgesia permukaan (topikal), dan analgesia regional intra vena.2,3

Pada pasien dengan prolaps katub mitral, teknik anestesi yang terpilih adalah yang paling
kecil mengakibatkan takikardia atau yang menggangu status hemodinamik. Untuk prosedur

1
perifer, block syaraf atau plexus atau saddle block yang terpilih. Spinal dan epidural dapat
setidaknya secara tiba-tiba menurunkan preload dan afterload, yang dapat memberatkan MVP.
Menghindari obat-obatan yang melepaskan histamine, dan pemilihan obat muscle relacsan
haruslah dengan pertimbangan terhadap efek kardiovaskular. Atropin, ketamin hendaknya
dihindari, dan pada keadaan dehidrasi serta penggantian cairan dan darah hendaknya secara
agresif dilakukan. Jika takikardia timbul pada keadaan euvolemia maka pengobatan dengan beta-
bloker sesuai untuk diberikan. Jika vasopressor dibutuhkan pada keadaan hipovolemia relatif
(pada spinal tinggi) maka phenylepinefrin yang terpilih. 4,5
Sedangkan pada pasien dengan mitral stenosis, epidural anestesi merupakan tekhik
anestesi regional yang terpilih. Hindari hidrasi yang cepat, dan pertahankan level anestesi yang
pelan. Efedrin dapat meningkatkan denyut jantung. Epinefrin menyebabkan peningkatan
afterload ventrikel yang dapat mencetuskan gagal jantung. 4,5
Keputusan untuk menggunakan anestesi regional tergantung pada banyak faktor:

karakteristik pasien, jenis operasi yang direncanakan, dan potensi risiko anestesi; semuanya akan

berdampak pada pilihan anestesi dan manajemen perioperatif. Pada pasien dengan penyakit

kardiovaskular, teknik anestesi regional (baik tunggal atau dengan anestesi umum) bermanfaat

perioperatif dalam mengurangi respon stres, simpatektomi jantung, ekstubasi lebih awal, lama

rawat di rumah sakit lebih pendek, dan analgesia pascaoperasi yang baik. 6 Namun, anestesi

regional akan memblok saraf simpatis yang akan menurunkan kontraktilitas miokard, heart rate,

terjadinya hipotensi, dan perubahan kondisi jantung.7 Meskipun demikian, keputusan untuk

menggunakan anestesi regional harus dilakukan dengan hati-hati pada beberapa keadaan. Tujuan

bahasan ini adalah untuk memberikan gambaran tentang anestesi regional pada pasien dengan

penyakit jantung atau pasien dengan hemodinamik tidak stabil.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian

Anestesi merupakan suatu tindakan untuk menghilangkan rasa sakit ketika dilakukan

pembedahan dan berbagai prosedur lain yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh.3

Anestesi adalah menghilangnya rasa nyeri dan menurut kegunaannya dibagi menjadi

anestesi umum yang disertai hilangnya kesadaran, sedangkan anestesi regional dan anestesi lokal

menghilangnya rasa nyeri disatu bagian tubuh saja tanpa menghilangkan kesadaran. 8

Analgesia regional adalah tindakan anestesi yang dilakukan dengan cara menyuntikkan

obat anestetik lokal pada lokasi serat saraf yang menginervasi regio tertentu, yang menyebabkan

hambatan konduksi impuls aferen yang bersifat temporer. Dapat pula didefinisikan sebagai

penggunaan obat analgetik lokal untuk menghambat impuls nyeri suatu bagian tubuh sementara

pada impuls saraf sensorik, sehingga impuls nyeri dari satu bagian tubuh di blokir untuk

sementara (reversibel). Fungsi motorik dapat terpengaruh sebagian atau seluruhnya, tetapi pasien

tetap sadar.3

Hemodinamik adalah pemeriksaan aspek sirkulasi darah, fungsi jantung dan karakteristik

fisiologis vaskular perifer. Tujuan dari pemantauan hemodinamik adalah untuk mendeteksi,

mengidentifikasi kelainan fisiologis secara dini dan memantau pengobatan yang diberikan guna

mendapatkan informasi keseimbangan hemostatik tubuh. 9

2.2. Penilaian Risiko Pre operatif

Goldman membuat skor indeks untuk menilai risiko kejadian penyakit jantung pre

operatif. Skor indeks masing-masing dari berbagai kondisi termasuk penyakit jantung, usia dan
sifat serta urgensi operasi yang akan dilakukan. Skor total akan memprediksi kemungkinan

komplikasi dan kematian. Untuk operasi tertentu skor ini dapat diminimalkan dengan

menghindari anestesi umum dan menggunakan anestesi lokal. 10

Tabel 1. Cardiac risk index10


No. Variabel risiko jantung Poin Keterangan
Goldman cardiac risk index
1 Suara jantung ketiga atau distensi vena jugular 11
2 Infark miokard 10
3 Irama nonsinus atau Premature Atrial 7
Contraction (PAC) pada EKG Rate komplikasi jantung:
4 Lebih dari 5 premature ventricular contractions 7 0-5 poin= 1%
5 Usia lebih dari 70 tahun 5 6-12 poin= 7%
6 Operasi emergensi 4 13-25 poin= 14%
7 Kondisi kesehatan yang buruk 3
8 Operasi intratorasik, intraperitoneal dan aorta 3
9 Stenosis aorta 3
Detsky modified multifactorial index6
1 Angina klas 4 20
2 Suspek stenosis aorta kritis 20
3 Infark miokard dalam 6 bulan 10
4 Edema pulmonal alveolar dalam 1 minggu 10
5 Angina tidak stabil dalam 3 bulan 10
6 Angina klas 3 10
7 Operasi emergensi 10
8 Infark miokard lebih dari 6 bulan yang lalu 5 Rate komplikasi jantung:

9 Edema pulmonal alveolar membaik lebih dari 1 5 >15 poin= risiko tinggi
minggu yang lalu
10 Irama selain sinus atau PACs pada EKG 5
11 Lebih dari 5 Premature Ventricular 5
Contractions (PVC) kapan saja sebelum operasi
12 Status kesehatan umum yang buruk 5
13 Usia lebih dari 70 tahun 5
Eagle criteria for cardiac risk assessment 7
1 Usia lebih dari 70 tahun 1
2 Diabetes 1 <1= tanpa tes
3 Angina 1 1-2= tes non-invasif
4 Gelombang Q pada EKG 1 >3= angiografi
5 Ventricular arrhythmias 1

Terdapat indeks risiko yang lebih baru, termasuk satu penelitian tentang pasien yang

menjalani operasi non-jantung. Ini mengidentifikasi enam prediktor terjadinya komplikasi, yaitu
jenis pembedahan yang berisiko tinggi, riwayat penyakit jantung iskemik, riwayat gagal jantung

kongestif, riwayat penyakit serebrovaskular pengobatan pra operasi dengan insulin, dan

peningkatan serum kreatinin. American Heart Association (AHA) dan College of Cardiology

telah mengeluarkan pedoman untuk evaluasi kardiovaskular perioperatif untuk operasi non-

jantung, yang memberikan tingkat risiko pada penanda klinis tertentu, kapasitas fungsional dan

jenis operasi (tabel 2). Selain mnegidentifikasi penyakit jantung, penting untuk menentukan

tingkat keparahan, stabilitas, dan pengobatan penyakit sebelumnya.10

Tabel 2. Predictors of Cardiac Risk10

Clinical Markers

1. Prediktor mayor; Infark Miokard, angina unstable, gagal jantung yang tidak diobati,
aritmia yang tidak signifikan, dan penyakit katup jantung yang parah
2. Prediktor menengah; angina ringa, riwayat infark miokard, gagal jantung yang mendapat
pengobatan, dan diabetes
3. Prediktor minor; usia tua, EKG abnormal, irama non-sinus, riwayat stroke, dan
hipertensi yang tidak terkontrol.
Functional Capacity

Adalah ukuran kebutuhan metabolik dari aktivitas rutin dari jantung. Misalnya, pasien yang
sesak saat istirahat, atau setelah berjalan dalam jarak pendek, akan memiliki kapasitas fungsional
yang rendah, dan merupakan prediktor peningkatan risiko.
Type of Surgery

1. Operasi berisiko tinggi : keadaan darurat besar, aorta dan vaskular, vaskular perifer, dan
prosedur yang berkepanjangan terutama dengan perpindahan cairan dan kehilangan
darah.
2. Operasi risiko menengah : endartrakeotomi karotis, kepala dan leher, abdomen, thorak,
dan ortopedi
3. Operasi berisiko rendah : katarak, payudara, dan prosedur superfisial
2.3 Tujuan Anestesi

Tujuan anestesi pada pasien dengan penyakit jantung adalah pencegahan, deteksi, dan

treatment untuk menghindari cedera miokard pascaoperasi.11

2.4. Pertimbangan Pra anestesi

Kunjungan praoperasi ke pasien sangat penting, hubungan baik harus diciptakan dengan

pasien dan ditulis persetujuannya. Pasien harus dijelaskan tentang risiko operasi dan anestesi.

Hal ini penting untuk melanjutkan obat-obatan sampai hari operasi seperti beta blocker, calcium

channel blocker, dan digitalis. Kadar kalium harus normal karena hipokalemia dapat

menyebabkan toksisitas digitalis. Antikoagulan harus dihentikan.12

2.5. Premedikasi

Premedikasi yang baik untuk menghilangkan kecemasan pada pasien jantung sangatlah

penting. Untuk mencegah peningkatan tekanan darah dan denyut jantung yang dapat

mengganggu suplai oksigen dan demand pada miokard dan dapat menyebabkan iskemia. Obat

premedikasi seperti benzodiazepin: lorazepam harus diberikan satu jam sebelum sampai di ruang

operasi.12

Beta-blocker juga mengurangi takikardia, dan mencegah iskemia miokard perioperatif.

Pemberian atenolol intravena diikuti dengan pengobatan oral pasca operasi menghasilkan

penurunan morbiditas dan mortalitas selama dua tahun setelah operasi pada pasien PJI. Dengan

cara yang sama, obat agonis alfa2 seperti clonidine mengurangi pelepasan noradrenalin dari

sinapsis, menyebabkan sedasi dan analgesia, juga penurunan iskemia miokard intraoperatif.12
2.6. Manajemen Praoperasi12

Tiga terapi pilihan tersedia sebelum operasi elektif non-kardiak:

1. Optimalisasi manajemen obat;

2. Revaskularisasi dengan PCI;

3. Revaskularisasi dengan operasi (CABG).

2.7. Pemantauan Intraoperasi Anestesi pada penyakit jantung/pasien dengan hemodinamik

tidak stabil

2.7.1 Anestesi Umum

Tujuan dari induksi anestesi umum adalah untuk menghasilkan ketidaksadaran dan

memberikan analgesia, relaksasi otot, dan penekanan respon hemodinamik saat intubasi dan

stimulasi bedah.12

Ketika intubasi trakea dilakukan, pendekatan yang masuk akal adalah induksi dengan

hipnosis kerja pendek (contoh: propofol dosis rendah [sekitar 1 mg/kg]) dikombinasikan dengan

opioid dosis kecil (contoh, fentanyl 1 hingga 2 mcg/kg) dilidokain 50 hingga 100 mg untuk

menumpulkan respon simpatis terhadap laringoskopi dan intubasi. Pelemas otot juga diberikan

untuk memfasilitasi laringoskopi. Ketika agen pelumpuh otot non-depolarisasi dipilih,

kedalaman anestesi dipertahankan atau diperdalam dengan anestesi inhalasi kuat (contoh,

sevoflurane atau isoflurane) sambil menunggu beberapa menit untuk kelumpuhan otot yang

memadai untuk melakukan intubasi.12

Untuk meminimalkan hipotensi, induksi propofol di awal dikurangi dosisnya menjadi

sekitar 1 mg/ kg atau kurang, dan suntikan bolus dapat diberikan dalam dosis terbagi pada pasien

yang lebih tua dan lainnya yang rentan terhadap terjadinya hipotensi (contoh, pasien dengan

penurunan volume intravaskular dan pasien dengan disfungsi diastolik yang bergantung pada
preload yang adekuat. Dosis kecil agonis reseptor alfa (contoh, fenilefrin 40 hingga 100 mcg)

dapat diberikan sebagai profilaksis atau jika terjadi hipotensi.12

Hindari ketamin pada pasien dengan penyakit jantung iskemik karena biasanya

menghasilkan peningkatan yang signifikan dalam denyut jantung, tekanan arteri rerata, dan kadar

epinefrin plasma karena stimulasi sistem saraf simpatis yang dimediasi oleh pusat. Peningkatan

denyut jantung, sebaiknya dihindari.12

Untuk pemeliharaan anestesi, pemberian agen inhalasi volatil atau teknik total

intravenous anesthesia (TIVA) adalah pilihan yang masuk akal, berdasarkan faktor-faktor

khusus bedah atau spesifik pasien. Pada kebanyakan pasien, lebih baik anestesi volatil (contoh,

sevoflurane, isoflurane, atau desflurane) sebagai agen utama untuk mempertahankan anestesi

umum.12

Anestesi volatil mungkin memiliki efek kardioprotektif secara in vitro,16 Namun hal ini

belum terbukti signifikan secara klinis pada pasien yang menjalani operasi nonkardiak. Dalam

sebuah tinjauan sistematis tahun 2016 dari 45 percobaan acak dari efek anestesi volatil versus

TIVA pada mortalitas dan morbiditas pascaoperasi pada pasien yang menjalani anestesi umum.

Agen anestesi volatil secara signifikan mengurangi keseluruhan kejadian jantung dan morbiditas

pascaoperasi pada pasien yang menjalani operasi jantung, tetapi tidak pada pasien yang

menjalani operasi nonkardiak.12

2.7.2 Anestesi Regional

Potensi dan keunggulan anestesi regional sudah diketahui melebihi anestesi umum,

menjadi keuntungan pada pasien jantung jika operasi dapat dilakukan dengan blok regional.

Pasien harus diberi premedikasi agar tidak cemas. Kerugian dari anestesi regional termasuk

hipotensi dari blokade simpatis yang tidak terkendali dan kebutuhan untuk loading volume dapat
menyebabkan iskemia. Tatalaksana harus diambil saat memberikan anestesi lokal karena dosis

yang lebih besar dapat menyebabkan toksisitas dan depresi miokard. Menggunakan epinefrin

sebagai adjuvan dengan anestesi lokal tidak disarankan.13 Takikardi adalah satu-satunya kejadian

paling umum yang sering dikaitkan dengan iskemia dan menyebabkan peningkatan demand dan

penurunan suplai oksigen yang dapat membahayakan miokardium dan rentan menyebabkan

perubahan iskemik pada pasien.14

Anestesi neuraksial dapat menurunkan preload jantung akibat blokade simpatis. Ini lebih

mungkin terjadi pada pasien dengan penurunan volume intravaskular atau gagal jantung dan

disfungsi diastolik yang bergantung pada preload yang adekuat. Pada pasien dengan

hemodinamik tidak stabil, dapat menggunakan teknik anestesi neuraksial yang dimodifikasi

(contoh, kombinasi dosis rendah spinal-epidural dengan atau tanpa opioid intratekal, atau

anestesi epidural yang dititrasi secara perlahan).12

Selama onset blok, cairan diberikan untuk mencegah hipotensi. Namun, hindari

overhidrasi atau pemberian bolus cepat cairan dalam jumlah banyak pada pasien dengan gejala

gagal jantung. Restriksi cairan kristaloid dan pemberian yang lebih lambat lebih baik (contoh,

pemberian penambahan 250 mL sesuai kebutuhan, dengan pemantauan hemodinamik pasien dan

respon klinis untuk setiap penambahan).15

Vasopressor sering diperlukan untuk mengembalikan tekanan darah ke kadar mendekati

baseline. Hipotensi yang signifikan dikoreksi cepat dengan memberikan agonis reseptor alfa

(contoh, fenilefrin 40 hingga 100mcg) atau simpatomimetik langsung/ tidak langsung dengan

efek agonis beta dan alfa (contoh efedrin 5 hingga 10 mg),dengan dosis berulang sesuai

kebutuhan.15
2.8 ANESTESI PADA PASIEN GANGGUAN JANTUNG

2.8.1 PROLAPS KATUP MITRAL

Mitral Valve Prolapsed (MVP) adalah suatu kondisi dimana menggelembungnya

berlebihan lapisan katup mitral (umumnya, lapisan posterior) kedalam atrium kiri selama systole.

Insidensi dari sindroma MVP yang telah dilaporkan sekitar 10 % (kemungkinan overestimasi;

insidensi tepat sedikitnya 3 %). Suatu proliferasi miksomatus dari lapisan, annulus, dan chordae,

yang menyebabkan prolaps dan pada kasus yang berat dapat menyebabkan rupture chordae dan

mitral regurgitation (MR) berat.4

1. Evaluasi Klinis

Kebanyakan keluhan dari pasien dengan MVP adalah palpitasi dan dada rasa tidak

nyaman. Nyeri dada seperti angina dengan rasa ditusuk dan diiris. Pada MR yang jelas, dapat

pula terjadi gagal jantung. Terdapat klik midsistolik, yang diikuti dengan murmur sistolik

middle-to-late: semakin berat regurgitasi, semakin panjang pula murmur. Klik timbul pada awal

dan murmur bertambah panjang pada manuver valsava.4

2. Premedikasi

Pasien dengan MVP seringkali tampak cemas, dan takikardia, Sangatlah penting

persiapan yang tepat secara fisiologis dan farmakologis. Pasien dengan MR membutuhkan

antibiotik profilaksis sebelum operasi. Pasien tanpa regurgitasi dapat dengan atau tanpa

antibiotik. 4

3. Monitor

Monitoring standar diperlukan terutama pada MR yang meragukan. Pasien dengan pasti

MR diamati serupa dengan pasien dengan kelainan katup. 4,16


4. Manajemen Anestesi

Tehnik anestesi terpilih adalah yang paling kecil mengakibatkan takikardia atau yang

menggangu status hemodinamik. Untuk prosedur perifer, block syaraf atau plexus atau saddle

block yang terpilih. Spinal dan epidural dapat setidaknya secara tiba-tiba menurunkan preload

dan afterload, yang dapat memberatkan MVP. Menghindari obat-obatan yang melepaskan

histamine, dan pemilihan obat muscle relacsan haruslah dengan pertimbangan terhadap efek

kardiovaskular. Atropin, ketamin hendaknya dihindari, dan pada keadaan dehidrasi serta

penggantian cairan dan darah hendaknya secara agresif dilakukan. Jika takikardia timbul pada

keadaan euvolemia maka pengobatan dengan beta-bloker sesuai untuk diberikan. Jika

vasopressor dibutuhkan pada keadaan hipovolemia relatif (pada spinal tinggi) maka

phenylepinefrin yang terpilih. 4,5

5. Pemulihan

Monitoring tekanan darah, denyut jantung dan status volume intravaskular postoperatif

secara terus-menerus hingga hemodinamik stabil.4

2.8.2 MITRAL STENOSIS

Mitral Stenosis (MS) seringkali disebabkan penyakit jantung rheumatik dengan gambaran

klinis penyakit bermanifestasi setelah 3-5 tahun pasca infeksi. Pada kasus ini, 25% merupakan

murni MS , dan 40% merupakan kombinasi MS dan mitral regurgitasi (MR). Stenosis terjadi

karena fusi komissura, kalsifikasi, dan penebalan lapisan dan chordae tendineae.

1. Evaluasi Klinis

Gejala yang timbul akibat aktivitas yang menimbulkan gangguan hemodinamik

merupakan suatu hal yang penting dalam menilai derajat beratnya MS. Gejala utama pada MS

yaitu dyspnea yang dikarenakan berkurangnya daya komplains dari paru. Orthopnea, paroksimal
nocturnal dyspnea dan dyspnea saat istirahat seringkali berhubungan dengan tekanan atrium kiri,

sekunder karena perbedaan gradien tekanan antara atrium kiri dan ventrikel kiri. Gradien ini

dapat berubah secara cepat sebagai akibat perubahan cardiac output dan waktu pengisian

diastolik.4,5

2. Premedikasi

Pemberian obat profilaksis pada pasien dengan MS seperti penanganan gagal jantung

antara lain digitalis untuk memperlambat laju ventrikel pada atrial fibrillasi, diuretika dan retriksi

natrium. Pemberian antikoagulan 1-3 hari sebelum operasi. Terdapat beberapa obat-obatan

untuk mengobati hipertensi pulmonal yang berat antara lain inhaled prostasiklin dan nitrit

oxide.4,5

3. Monitor

Pembesaran Atrium kiri dan atrial fibrilasi merupakan gambaran utama pada EKG.

Deviasi aksis kanan dan hipertropi ventrikel kanan timbul akibat hipertensi pulmonal. Gambaran

rontgen dada menunjukkan pembesaran atrium kiri dan ventrikel kanan. Pemeriksaan

ekokardiografi bermanfaat sebagai pemeriksaan non invasif. Doppler echo juga berguna dalam

menilai derajat beratnya MS dan memperkirakan gradien transvalvular. System skoring dengan

menggunakan ekokardiografi berguna dalam menilai hasil pemakaian percutaneus ballon

valvuloplasty. Cardiac catheterization juga dapat menentukan gradien transvalvular, area katup

mitral , fungsi ventrikel kiri dan tekanan ventrikel kanan. Takikardi memperberat hemodinamik

dengan cara menurunkan waktu diastolik. Curah jantung yang menurun berkaitan tidak hanya

dikarenakan oleh derajat beratnya stenosis tetapi juga sekunder oleh penyakit vaskuler pulmonal

dan reflex vasokontriksi pada sirkulasi sistemik. Kenaikan yang mendadak pada volume darah

dapat mecetuskan edema, gagal jantung kanan, atau atrial fibrillasi. 3-16
4. Manajemen Anestesi

Epidural anestesi merupakan tekhik anestesi regional yang terpilih. Hindari hidrasi yang

cepat, dan pertahankan level anestesi yang pelan. Efedrin dapat meningkatkan denyut jantung.

Epinefrin menyebabkan peningkatan afterload ventrikel yang dapat mencetuskan gagal jantung.
4,5

5. Pemulihan

Pasien dengan MS mempunyai resiko terjadinya edema paru dan gagal jantung kanan.

Nyeri, hiperkarbia, asidosis respiratorik, dan hipoksia arteri merupakan penyebab meningkatnya

denyut jantung atau pulmonary vascular resistence (PVR). Pemberian antibiotik dan

antikoagulan dilanjutkan.4

2.8.3 MITRAL REGURGITASI

Prolapse Katup Mitral dan penyakit jantung rheumatik kronis akan menyebabkan mitral

regurgitasi (MR). Ruptur chordae tendineae dan prolaps katup mitral dapat disebabkan trauma

dan endokarditis. Derajat beratnya regurgitasi dan lesi merupakan faktor yang menentukan

perjalanan penyakit. MR berat akut yang disebabkan oleh apapun, tanpa terapi bedah memiliki

prognosis yang jelek. MR ringan kronik memiliki prognosis yang lebih baik hingga beberapa

tahun tanpa adanya tanda-tanda disfungsi ventrikel kiri. Kelelahan dan dispnoe merupakan gejala

yang timbul sebagai konsekuensi dari disfungsi ventrikel kiri. MR akut dapat menimbulkan

manifestasi gagal jantung kongestif yang berat dan edema paru, dan kadang terdapat kolaps

kardiovaskuler dan hipotensi. 4,5


1. Evaluasi Klinis

Pada MR kronis terjadi overload volume ventrikel kiri. Hipertropi ventrikel kiri

menyebabkan LV end-diastolic pressure (LVEDP) terpelihara normal, meskipun ada

peningkatan LV end-diastolic volume (LVEDV). Pembesaran atrium kiri dan distensible

menyebabkan tekanan atrium kiri normal walaupun pada keadaan volume regurgitasi yang besar.

Stroke volume ventrikel kiri meningkat. Pada MR akut, complains dari atrium kiri terbatas dan

secara jelas meningkatkan tekanan pada atrium kiri yang menyebabkan edema pulmonal serta

mencetus kontraksi dan takikardia karena kompensasi simpatis. 4,5

1. Premedikasi

Reduksi afterload bermanfaat dalam hal penatalaksanaan pasien dengan akut dan kronik

MR yang diharapkan akan mempertahankan stroke volume. Selain itu dengan menurunkan

volume ventrikel kiri dapat menurunkan ukuran annulus mitral dengan demikian terhadap

orifisium regurgitasi. Pasien ini seringkali juga diobati dengan inotropik (digitalis) dan diuretik,

karena akan menurunkan fraksi regurgitan.4,5

Beberapa tindakan pembedahan dapat lebih bijaksana dipertimbangkan sebelum

terjadinya kegagalan ventrikel kiri yang jelas, misalnya pada pasien dengan disfungsi otot

papillary mungkin memerlukan pemasangan pompa balon intraortic pre operatif. 4,5

2. Monitor
Monitoring didasarkan pada derajat disfungsi ventrikel. Pemantauan tekanan arteri
pulmonal sangat bermanfaat pada pasien dengan gejala. Penurunan afterload intraoperatif akibat
vasodilator memerlukan pengawasan penuh terhadap hemodinamik.5
Kateterisasi arteri pulmonal sangat berguna untuk menilai tekanan pengisian ventrikel,
curah jantung, dan efek pemberian vasodilator. Ukuran regurgitan dan gelombang V tidak
berkorelasi dengan derajat MR. 5,16
3. Manajemen Anestesi
Penanganan anestesi disesuaikan dengan derajat beratnya MR dan fungsi ventrikel kanan.
Faktor-faktor yang memicu regurgitasi harus dihindari, seperti denyut jantung yang lambat
(sistolik yang panjang) dan peningkatan afterload secara mendadak. Bradikardi dapat
meningkatkan volume regurgitasi akibat peningkatan volume akhir diastolik ventrikel kiri dan
annulus mitral yang melebar secara mendadak. Denyut jantung harus dipertahankan antara 80-
100x/menit. Peningkatan afterload ventrikel kiri secara mendadak, seperti akibat intubasi
endotrakeal dan stimulasi pembedahan, harus segera ditangani tetapi tanpa depresi miokardium
yang berat. Kelebihan cairan juga dapat memperburuk regurgitasi akibat melebarnya ventrikel
kiri.4,5
Anestesi spinal dan epidural dapat ditoleransi dengan baik, juga dapat menghindari
terjadinya bradikardi. Anestesi epidural dapat menurunkan tahanan vaskular sistemik (SVR),
sehingga membantu aliran darah dan mencegah kongesti paru. Pasien dengan gangguan ventrikel
yang berat sering sangat sensitif dengan efek depresan dari obat volatile. Anestetik yang
berbahan dasar opioid lebih cocok digunakan, karena menghindari bradikardia. Pemilihan
pankuronium sebagai relaksan otot disertai anestetik yang berbahan dasar opioid biasanya sangat
bermanfaat.5
4. Pemulihan
Mencegah nyeri, hipoksemia, hiperkarbia dan asidosis dapat membantu meningkatkan
SVR.4

2.8.4 AORTA STENOSIS


Aorta stenosis (AS) bisa terjadi kongenital atau didapat. Penyebab kongenital meliputi
katup unikuspid atau bikuspid dan fusi sebelum lahir. Penyebab didapat meliputi kalsifikasi
senilis dan penyakit jantung rematik. Pada AS karena kalsifikasi terjadi degenerasi dari daun
katup, pembentukan kalsifikasi, diikuti obstruksi akibat stenosis. Pada AS terjadi kelebihan
tekanan ventrikel kiri. Hipertropi konsentrik mempertahankan tekanan dinding yang normal,
sehingga fraksi ejeksi dipertahankan. Tekanan sistolik yang melampaui 50 mmHg dengan curah
jantung yang normal atau muara aorta efektif <0,75 cm2 pada rata-rata ukuran dewasa biasanya
dianggap sebagai kritis obstruksi aliran ventrikel kiri. Ventrikel kiri menghadapi peningkatan
secara bertahap untuk mengatasi ejeksi. Afterload terus meningkat sampai pada saat volume
sekuncup berkurang dan ventrikel kiri mulai membesar akibat timbunan volume.4,5
1. Evaluasi klinis
Tanda kardinal dari AS adalah trias dispnoe, angina, dan sinkop. Pasien bisa tetap
asimptomatik untuk waktu yang lama, namun onset gejala menunjukkan harapan hidup kurang
dari 5 tahun. Ekokardiagrafi sangat penting untuk menilai derajat beratnya AS. Pada pasien yang
menunjukkan gejala diperlukan kateterisasi jantung untuk menilai gradasi AS berdasarkan
pengukuran aortic valve area (AVA). Pasien bisa ditangani secara non operatif dengan ballon
valvuloplasi aorta perkutaneus. Sedangkan pada pasien senilis dengan fungsi ventrikel yang
buruk mungkin memerlukan pembedahan penggantian katup aorta untuk dapat memperbaiki
gejala klinis.4,5
2. Premedikasi
Pasien AS memerlukan antibiotika profilaksis untuk mencegah endokarditis infektif.
Teknik anestesi yang dapat menyebabkan depresi miokardium atau penurunan tekanan darah
harus dihindari, biasanya yang disebabkan oleh agen volatile. Pemilihan agen penghambat
neuromuscular didasarkan pada denyut jantung pada saat istirahat. Obat-obatan yang
menurunkan afterload dapat menurunkan tekanan diastolik aorta dan mengganggu aliran darah
subendokardial. 4,5
3. Monitor
Diperlukan pengawasan ketat pada EKG dan tekanan darah, yang bertujuan
mempertahankan irama sinus, denyut jantung, dan volume intravaskular yang normal. Hipotensi
harus dihindari dan preload harus dipertahankan adekuat. Hipotensi harus segera diatas untuk
mencegah penurunan tekanan perfusi koroner. Kebutuhan oksigenasi meningkat. Fenilefrin dosis
kecil (50-100 ug) dapat menaikkan tekanan darah dan perfusi koroner. Takikardi sangat penting
diperhatikan karena menurunkan waktu perfusi subendokardial. Bradikardi akan meningkatkan
gradient katup, yang menyebabkan hipertensi sistemik dan iskemik subendokardial. Pada EKG,
iskemia akan menunjukkan depresi segmen-ST dan kelainan gelombang-T. Takiartimia
supraventrikular harus ditangani segera karena dapat menyebabkan kekacauan hemodinamik.
Hilangnya sistolik atrial dapat mengganggu pengisian ventrikel kiri dan kongesti paru yang
berat. Disritmia atrial memerlukan DC kardioversi. 4,16
4. Manajemen Anestesi
Pada pasien dengan AS ringan sampai sedang (biasanya asimptomatik) umumnya

anestesi spinal atau epidural lumbal dapat ditoleransi dengan baik. Perhatian khusus diberikan

pada terjadinya hipotensi akibat penurunan preload, afterload, atau keduanya. Anestesi epidural

lebih disukai karena onset hipotensi lebih lambat dan memungkinkan penanganan yang lebih

agresif. 4,5

Pada pasien dengan AS yang berat, anestesi spinal dan epidural menjadi kontraindikasi.

Pemilihan obat anestesi umum sangat penting. Tekhik anestesi yang berbahan dasar opioid

biasanya menyebabkan depresi jantung minimal, sehingga lebih sesuai dipakai agen induksi non-

opioid seperti etomidat dan kombinasi ketamin dan benzodiazepine. Jika digunakan agen

volatile, konsentrasinya harus diperhatikan untuk menghindari depresi miokardium, vasodilatasi,

dan hilangnya sistolik atrium yang normal. Esmolol, pilihan penghambat beta adrenergik, lebih

disukai karena waktu paruhnya pendek.5

5. Pemulihan

Analgesia harus diberikan serta menghindari disritmia, hiperkarbia, dan hipotermia

merupakan hal yang diperhatikan post operatif.4

2.8.5 AORTA INSUFISIENSI


1. Evaluasi klinis

Aorta insufisiensi (AI) dapat disebabkan oleh penyakit katup akibat demam rematik, atau

proses degeneratif pada akar aorta yang menyebabkan kelemahan katup pada usia lanjut. AI

biasanya berkembang secara lambat dan progresif (kronis), tetapi juga bisa berkembang secara

akut. Pada AI kronis, terjadi kelebihan volume yang menyebabkan dilatasi ventrikel kiri,

hipertrofi dinding ventrikel, dan dapat berlanjut menjadi disfungsi ventrikel kiri akibat hipertrofi
yang tidak lagi adekuat untuk mengatasi tekanan pada dinding ventrikel. Pada AI yang akut,

terjadi overload diastolik ventrikel kiri yang berat, yang dapat berlanjut menjadi kegagalan

ventrikel kiri. Penurunan curah jantung mengaktifkan refleks system saraf simpatik yang

meningkatkan denyut jantung dan SVR.4,5

Gejala yang dapat ditemui antara lain takikardi dan dispnoe akibat kongesti vena

pulmonal, serta angina akibat berkurangnya tekanan perfusi koroner. Sedangkan pada AI yang

akut dengan onset kegagalan ventrikel kiri yang cepat tanpa kompensasi, menimbulkan gejala

kolaps kardiovaskular (kelelahan, dispnoe, dan hipotensi). 4,5

2. Premedikasi

Pasien AI akut sering memerlukan operasi emergensi sehingga beresiko tinggi untuk

terjadi aspirasi. Induksi dengan etomidat bermanfaat karena menurunkan SVR dengan depresi

miokardium minimal. Pankuronium merupakan pilihan yang baik sebagai relaksan otot karena

dapat mencegah bradikardi. 4,5

3. Monitor

Denyut jantung harus dipertahankan dalam batas atas normal (80-100 x/menit).

Bradikardi meningkatkan volume regurgitan. Distensi ventrikel dapat menghasilkan bradikardi

yang berat. Penderita lebih bisa mentoleransi kenaikan denyut jantung yang moderat.

Agen inotropik positif dapat bermanfaat untuk mempertahankan tekanan perfusi sistolik,

khususnya pasien pre-operatif dengan disfungsi ventrikel kiri. Sebagai vasopressor untuk

mengatasi hipotensi lebih dipilih menggunakan efedrin. Fenilefrin dosis kecil (25-50 ug) dapat

digunakan jika terjadi hipotensi akibat vasodilatasi yang berat. Penurunan afterload intraoperatif

dengan nitroprusside secara optimal membutuhkan monitoring ketat pada hemodinamik.4,5


4. Manajemen Anestesi

Penderita AI kronik dapat dengan aman diberikan anestesi umum atau regional. Sebagian

besar penderita mentoleransi dengan baik anestesi spinal dan epidural. Anestesi umum sebaiknya

menggunakan isoflurane dan desflurane karena adanya vasodilatasi. Penderita AI berat mungkin

tidak dapat mentoleransi depresi miokardium, sehingga tekhik narkosis berbahan dasar opioid

lebih sesuai.5

2.8.6 REGURGITASI TRIKUSPID

1. Evaluasi klinis

Regurgitasi trikuspid umumnya merupakan kelainan fungsional yang ditandai dilatasi

dari ventrikel kanan yang disebabkan hipertensi pulmonal. Regurgitasi trikuspid biasanya terjadi

pada hipertensi pulmonal dan overload volume dari ventrikel kanan yang sering disebabkan

kegagalan ventrikel kiri akibat penyakit katup aorta atau mitral. Angka kejadian yang signifikan

regurgitasi tricuspid yang merupakan komplikasi sekunder dari infeksi endokarditis yang sering

menyertai penderita penyalahgunaan obat secara intravena. Regurgitasi trikuspid biasanya

dikarenakan stenosis dari katup tricuspid yang merupakan komplikasi dari demam rheumatik. 17

2. Monitor

Volume cairan intravaskuler dan tekanan vena sentral dipertahankan dalam batas

maksimal normal untuk menjamin terpenuhinya stroke volume ventrikel kanan dan pengisian

dari ventrikel kiri. Tekanan intratorak yang tinggi pada tekanan positif ventilasi paru atau

venodilatasi oleh obat dapat menurunkan tekanan balik vena dan lambat laun akan

mempengaruhi stroke volume ventrikel kiri. Hindari terjadinya peningkatan resistensi vaskuler

pulmonal seperti hypoxemia arterial dan hiperkarbia.17


Pengawasan intraoperatif temasuk pengukuran tekanan pengisian atrium kanan akan

sangat membantu dalam memilih pengganti cairan intravena dan menditeksi efek yang lebih

lanjut dari obet anastesi atau tehnik pada jumlah regurgitasi tricuspid. 16,17

3. Manajemen anestesi

Manajeman anastesi dari pasien dengan regurgitasi tricuspid sama, baik dengan satu

kelainan itu saja maupun yang disertai dengan penyakit katup aorta atau mitral.

Kombinasi obat-obat anestesi atau tehnik yang spesifik tidak dianjurkan dalam

menangani pasien dengan regurgitasi tricuspid. Namun anastesi volatile yang dapat

menyebabkan vasodilatasi pulmonal dapat dipertimbangkan untuk digunakan, dan ketamin dapat

digunakan karena efeknya dalam mempertahankan aliran balik vena. Nitro-oksida adalah

vasokonstriktor yang lemahapabila dikombinasikan dengan opioid dan dapat memperparah

regurgitasi tricuspid dengan mekanisme ini. Penggunaan nitro-oksida akan membantu

mengontrol aliran darah balik vena sentral dan kemungkinan dapat membantu meningkatkan

tekanan atrium kanan. 17

2.8.7 DEFEK SEPTUM VENTRIKEL

1. Evaluasi klinis

Defek septum ventrikel yang kecil akan menimbulkan bising pansistolik yang ringan

pada intercostals ke 4 dan ke 5 kiri, foto toraks yang normal dan gambaran elektrokardiogram

right bundle branch. Tekanan intrakardial masih normal dengan shunting left-to-right yang

minimal. Ventrikel septal defek yang sedang sampai besar menimbulkan murmur pansistolik

yang keras dengan expiratory splitting pada suara jantung kedua dan adanya pembesaran jantung

kiri, akhirnya bisa juga terjadi pembesaran jantung kanan. Saturasi oksigen pada ventrikel kanan

meningkat sebagai akibat adanya left-to-right shunt. Tekanan end diastolic ventrikel kanan,
tekanan arteri pulmonal dan tekanan end diastolic ventrikel kiri juga meningkat. Ventrikel septal

defek yang sedang biasanya menyebabkan penurunan tahanan vascular pulmonal, sedangkan

VSD yang besar menyebabkan peningkatan tahanan vaskuler pulmonal tersebut. Peningkatan

tahanan vaskuler pulmonal yang berlangsung lama menyebabkan shunting yang biridectional dan

akhirnya right-to-left shunt yang disertai dengan sianosis dan clubbing.2,18

2. Manajemen anestesi

Panduan dalam premedikasi, monitoring, induksi, dan penatalaksanaan intraoperatif

dapat diaplikasikan untuk seluruh tipe defek septum. Problem khusus pada pasien defek septum

ventrikel diantaranya adalah: peningkatan PBF, CHF, dan penurunan fungsi ventrikuler.7

Pada pasien dengan defek septrum ventrikel supracristal, insufisiensi aorta merupakan

problem tambahan. Pada defek septum ventrikel kecil akan membebani ventrikel kiri, sedangkan

defek septum ventrikel besar akan membebani kedua ventrikel.2,18

Sebagian besar pasien dengan defek septum mengalami pintasan kiri-ke-kanan yang akan

cenderung menurunkan waktu induksi pada penggunaan agen inhalasi yang relative soluble,

seperti misalnya halothane. Karena darah yang melewati pintasan kemudian mengalami

resirkulasi melalui paru, sebagian akan mengalami saturasi oleh agen anestesi, oleh sebab itu

konsentrasi alveolar akan meningkat dengan lebih cepat, akibatnya induksi anestesi akan terjadi

lebih cepat. Konsentrasi agen insoluble misalnya nitrous oksida relatif lebih tidak terpengaruh

oleh mekanisme ini, sehingga tidak terjadi akselerasi induksi. Agen intravena dikatakan memiliki

efek onset yang lebih lambat, karena terjadinya dilusi tambahan oleh darah yang mengalami

resirkulasi. Anestesiolog dapat mengkompensai dampak adanya pintasan dengan meningkatkan

konsentrasi agen intra vena; meskipun terdapat risiko overdosis.2,18


Faktor–faktor tersebut, meskipun nyata, namun memiliki aspek kepentingan klinis yang

kecil dalam induksi anestesi dibandingkan dengan faktor lain, seperti misalnya kecukupan

premedikasi dan mempertahankan volume ventilasi yang adekuat.18

Teknik induksi pada pasien dengan pintasan kiri-ke-kanan bukanlah hal yang bersifat

kritis dan dapat disesuaikan menurut keinginan pasien, tingkat kooperativitas, atau ada-tidaknya

jalur infus intravena pre-induksi. Pasien yang telah terpasang infus ataupun menginginkan

induksi intravena dapat dengan aman diinduksi dengan menggunakan thiopental 2-4 mg/kg atau

preparat induksi intravena lainnya, diikuti dengan pemberian suksinilkolin atau pancuronium

sebagai agen blokade neuromuscular sebelum dilakukan intubasi. Pada pasien dengan penyakit

yang lebih parah (hipertensi pulmoner dengan gagal jantung kanan) dapat diberikan fentanyl 5-

10 μg/kg atau ketamin 1-2 mg/kg untuk menggantikan thiopental sebagai agen induksi intravena.

Setelah dilakukan induksi, kemudian ditambahkan agen inhalasi sesuai dengan kebutuhan situasi

klinis.2,18

3. Pemantauan

Pemantauan dasar untuk perbaikan ASD atau VSD adalah sama dengan sebagian besar

prosedur operasi kardiovaskuler: EKG, tekanan darah (invasif dan non-invasif), oksimetri nadi,

kapnografi, tekanan vena sentral/CVP, temperatur, produksi urin, pemeriksaan laboratoris berupa

analisis gas darah dan elektrolit. CVP merupakan panduan yang baik untuk memberikan terapi

cairan. Namun, hasilnya dapat meragukan paling tidak dalam 2 situasi berikut:

1. Segera setelah ventrikulotomi, tekanan jantung kanan akan cenderung tinggi sebagai akibat

dari penurunan fungsi jantung kanan, sedangkan fungsi jantung kiri normal.
2. Setelah penutupan ASD, tekanan atrium kiri untuk sementara waktu akan lebih tinggi

dibandingkan tekanan atrial kanan. Pemasangan kanula pada atrium kiri bias jadi berguna

pada beberapa kasus, namun tidak diperlukan secara rutin.

Kateter arteri pulmonalis yang dipasang dengan tujuan untuk mengukur tekanan atau curah

jantung digunakan pada beberapa sentra, namun hingga saat ini belum diterima secara luas

karena adanya penyulit berupa insersi pada anak kecil, perubahan letak yang terjadi saat kanulasi

atau perbaikan, kemungkinan menembus defek septum, biaya yang harus dikeluarkan, dan sejauh

mana perannya dalam mempengaruhi outcome penderita belumlah diketahui.2,18

2.1.8 PERTIMBANGAN ANESTESI PADA PENYAKIT JANTUNG BAWAAN


Dua akibat utama pada penyakit jantung bawaan yang bermakna adalah gagal jantung

kongestif dan sianosis. Gagal jantung kongestif harus dikontrol dengan digitalis, diuretik, dan

atau obatobatan yang mengurangi afterload sebelum dilakukan tindakan bedah elektif apapun.

Terapi obat-obatan harus diteruskan pada periode perioperatif. Kadar kalium serum yang adekuat

dan menghindari hipokarbia penting untuk menghindari keracunan digitalis pada pasien-pasien

yang mengkonsumsi digitalis. Pengendalian penyakit jantung kongestif dapat memperbaiki

fungsi paru dan mengurangi kemungkinan terjadinya hipoksemia perioperatif atau gagal

nafas.19,20

Sianosis merupakan ciri gangguan jantung dengan shunt kanan ke kiri. Aliran darah paru

yang terbatas, dan atau campuran vena pada sirkulasi sistemik. Hipoksemia berat menyebabkan

polisitemia yang diikuti oleh peningkatan volume dan viskositas darah, neovaskularisasi,

hiperventilasi alveolar untuk mempertahankan normokarbia pada arteri, dan koagulopati.

Clubbing atau osteoarthropati ruas distal jari-jari tangan dan kaki merupakan tanda dari penyakit

jantung sianotik yang berkepanjangan.19,20


Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik

Anamnesis harus mencakup penilaian beratnya gangguan kardiopulmonal, seperti adanya

sianosis atau gagal jantung kongestif, toleransi latihan, episode sianotik akut, tingkat aktivitas,

pola makan dan pertumbuhan, gejala-gejala lain yang bersangkutan, dan abnormalitas

anatomis.19,20

Pada pemeriksaan fisik harus diperhatikan warna kulit, tingkat aktivitas, pola dan

frekuensi nafas, dan kesesuaian perkembangan untuk usia pasien. Jantung dan paru harus

diauskultasi dan akses intravena serta jalan nafas pasien harus diperhatikan dengan seksama.

Denyut nadi perifer harus dipalpasi dan tekanan darah diukur pada kedua lengan dan tungkai

bawah bila diduga terdapat koartasio. 19,20

Rontgen toraks diperiksa untuk melihat tanda-tanda pembesaran jantung, adanya gagal

jantung kongestif, penurunan aliran darah paru, abnormalitas posisi jantung, dan adanya

abnormalitas dinding toraks. EKG dapat normal walaupun terdapat kelainan jantung bawaan.

Namun, abnormalitas pada EKG dapat menjadi petunjuk yang penting untuk menentukan

kelainan jantung yang mendasarinya. Echokardiografi akan menunjukkan abnormalitas anatomis,

dan dengan doppler, akan memberikan informasi tentang pola aliran dan gradien tekanan.

Kateterisasi jantung dapat menentukan anatomi, aliran shunt pulmonal dan sistemik, resistensi

vaskuler, dan tekanan pada ruang-ruang intrakardiak.20

Evaluasi preoperatif

Evaluasi preoperatif harus ditujukan untuk mendapatkan gambaran yang menyeluruh dari

anatomi dan semua prosedur bedah yang pernah dijalani. Hanya dengan adanya hipoksemia, hal

ini menunjukkan penanganan yang inadekuat dan terdapatnya abnormalitas jantung. Selain

menentukan derajat hipoksemia pada keadaan istirahat, riwayat episode hipersianotik termasuk
faktor pencetus atau perubahan yang mendadak pada derajat hipoksemia harus diketahui.

Walaupun penurunan toleransi latihan tidak spesifik untuk hipoksemia, ini dapat menjadi

indikator yang baik untuk fungsi kardiovaskuler secara keseluruhan dan merupakan bagian

anamnesis yang dapat mempengaruhi pengelolaan anestesi.21

Anak dengan hipoksemia biasanya lebih kecil untuk usianya. Walaupun sangat sulit

untuk membedakan apakah hipoksemia disebabkan gangguan pada jantung atau paru, usaha ini

harus dilakukan karena infeksi paru aktif merupakan indikasi untuk menunda prosedur bedah

elektif. Bila terdapat gejala yang berkaitan dengan hiperviskositas atau hemostasis abnormal,

harus dikonsultasikan dengan ahli hematologi untuk menentukan perlunya phlebotomi

preoperatif. Riwayat kerusakan neurologis sebelumnya akibat pembedahan, emboli, atau infeksi

harus diperhatikan.21

Pemeriksaan laboratorium preoperatif harus dimulai dengan hematokrit dan indeks

ukuran eritrosit. Secara umum, hematokrit berhubungan dengan tingkat keparahan hipoksemia.

Namun, anak-anak atau dewasa dapat menderita defisiensi besi atau phlebotomi yang berlebihan,

sehingga hematokrit tampak berkurang. Bergantung pada besarnya pembedahan, hemostasis

yang adekuat harus dipastikan dengan uji fungsi platelet dan koagulasi. Pemeriksaan

echocardiografi sangat penting untuk menentukan anatomi dan pola aliran darah.

Echocardiografi transesofageal harus dipertimbangkan bila dengan pemeriksaan prekordial tidak

adekuat.19,21

Hipoksemia saja bukan merupakan indikasi untuk pemantauan invasif. Besarnya

pembedahan, fungsi ventrikel, teknik anestesi dan tingkat keparahan penyakit yang mendasari

merupakan faktor-faktor yang harus dipertimbangkan sebelum memasang kateter vena sentral

atau arteri. Pemasangan kateter pada arteri pulmonalis secara teknis sulit dan informasi yang
didapat sulit untuk ditafsirkan. Tentu saja, oksimeter yang baik sangat diperlukan. Bila tersedia,

echocardiografi transesofageal dapat memberikan data yang berguna tentang fungsi ventrikel,

volume akhir diastolik dan besarnya shunt kanan ke kiri. Ruang rugi fisiologis dapat meningkat

dan pengukuran end tidal CO2 dapat lebih rendah dari PCO2 arteri.19,21

Premedikasi dan Pemilihan Obat Anestesi

Premedikasi dapat sangat berguna bila anak mempunyai riwayat hipoksemia yang

diperparah dengan eksitasi atau agitasi. Obat-obatan oral, rektal atau intramuskular semuanya

aman dan efektif. Pemberian melalui oral memiliki keuntungan yaitu menghindari rasa terkejut

atau takut saat memberikan obat premedikasi. Suplemen oksigen dapat diberikan untuk

mempertahankan saturasi oksigen pada garis dasar.21

Pilihan obat-obat anestesi kurang penting dari pada mencapai kondisi hemodinamik yang

sesuai untuk tiap kelainan jantung. Apapun kelainan jantung yang mendasarinya, tujuan utama

adalah untuk mempertahankan oksigenasi jaringan yang adekuat. Hal ini paling baik dicapai

dengan memahami penyebab yang mendasari hipoksemia pada tiap pasien. Terdapat dua

kategori umum pasien yang mengalami hipoksemia akibat kelainan jantung, yaitu pasien dengan

aliran darah pulmonal yang terbatas dan shunt darah dari kanan ke kiri, dan pasien dengan aliran

darah paru yang tidak terganggu dan terdapat pencampuran darah vena pulmonal dan vena

sistemik. Pengelolaan anestesi pada masing-masing kondisi ini cukup berbeda, bila aliran darah

pulmonal terbatas, sumber obstruksi aliran harus diidentifikasi dan dilakukan pemeriksaan aliran

darah melewati obstruksi tersebut.

Strategi umum untuk menghindari hipoksemia saat induksi dan pemeliharaan anestesi

pada pasien dengan aliran darah paru terbatas adalah dengan memastikan hidrasi yang adekuat,

mempertahankan tekanan darah sistemik arteri, meminimalkan resistensi aliran darah pulmonal,
dan menghindari peningkatan kebutuhan oksigen sistemik yang tiba-tiba (menangis, berontak,

dan anestesi yang kurang dalam).2

Pada keadaan-keadaan dimana aliran darah pulmonal tidak terganggu namun terdapat

pencampuran darah vena sistemik dan pulmonal, saturasi arteri akan bergantung pada

perbandingan aliran darah pulmonal dan sistemik (Qp/Qs ratio). Secara umum, tidak dapat

diharapkan darah arteri tersaturasi maksimal. Peningkatan perbandingan aliran darah pulmonal

dan sistemik (Qp/Qs ratio) dapat meningkatkan beban kerja jantung atau dapat pula

menyebabkan penurunan perfusi sistemik bila fungsi kardiovaskuler sudah maksimal.

Pertimbangan utama anestesi pada kategori pasien ini adalah mempertahankan fungsi ventrikel

dan mencegah terjadinya perubahan Qp/Qs ratio.2,21

Walaupun efek shunting pada kecepatan induksi harus dipertimbangkan, namun

kemaknaan klinisnya minimal. Pertimbangan harus ditujukan pada pengelolaan hemodinamik.2,19

Pertimbangan postoperatif yang penting adalah tumpulnya respon kemoreseptor terhadap

hipoksia. Situasi ini sama dengan pasien yang telah mengalami endarterektomi karotid bilateral.

Hipoksia yang berat dapat terjadi tanpa menimbulkan respon normal peningkatan ventilasi,

terutama bila diberikan obat yang menekan respirasi seperti narkotik. Saturasi oksigen harus

dipertahankan pada kadar yang sesuai dengan pemberian suplemen oksigen sampai anak sadar

penuh. Mekanisme tumpulnya respon terhadap hipoksia ini belum diketahui, namun tampaknya

respon ventilasi terhadap hipoksemia akan kembali normal setelah pembedahan untuk

mengoreksi hipoksemia. Hipoksemia kronis tidak menyebabkan perubahan respon ventilasi

terhadap karbon dioksida atau konsentrasi ion hidrogen.2,19


2.9. Perbandingan teknik anestesi regional dengan anestesi umum12

Berikut alasan perbandingan teknik anestesi regional dan anestesi umum:

1. Anestesi umum (GA) efektif, mudah diaplikasikan dan menawarkan kondisi operasi

yang optimal, khususnya selama prosedur jangka panjang. Namun demikian,

disfungsi kognitif pascaoperasi dan delirium pascaoperasi sering dikaitkan dengan

GA, serta efek samping kardiopulmonal;

2. Perkembangan teknik pembedahan yang sedikit invasif seperti endovascular

treatment untuk aortic aneurysms, laparaskopi atau prosedur robot-assisted;

3. Anestesi regional membutuhkan keterampilan yang lebih spesifik dari ahli anestesi

dan komunikasi dengan pasien. Selain itu anestesi regional memiliki tingkat

kegagalan tertentu (tergantung teknik dan operator) dan memiliki komplikasinya

sendiri: toksisitas anestesi lokal, perdarahan, komplikasi terkait saraf seperti transient

neurologic symptoms (TNS), cedera saraf tepi, hematoma epidural, abses epidural,

dan meningitis serta anterior spinal artery syndrome;

4. Anestesi regional pada dasarnya beragam teknik, yang satu lebih invasif dibanding

yang lain dan hanya sesuai untuk indikasi yang spesifik;

5. Penggunaan obat antikoagulan merupakan kontradikasi utama anestesi regional.

2.10. Manajemen Komplikasi Intraoperasi 12

1. Iskemik intraoperasi

1.1 Jika pasiendengan hemodinamik stabil: (1) beta blockers (I/V metoprolol sampai 15mg); (2)

I/V nitrogliserin (3) heparin setelah konsultasi dengan ahli bedah.

2. Komplikasi lain seperti aritmia, disfungsi pacemaker harus dikelola dengan baik.
2.11. Manajemen pasca operasi 12

Pemantauan cedera miokard

Mayoritas myocardial injury in noncardiac surgery (MINS) terjadi selama periode

pascaoperasi.10 Untuk pasien dengan penyakit jantung iskemik dengan risiko pencegahan

termasuk pemantauan terus menerus elektrokardiografi (EKG) di unit perawatan pasca-anestesi

dan kemudian di unit perawatan intensif sehingga takikardi dapat dihindari atau diobati, dan

adanya iskemia dapat dideteksi.

Tabel 3. Revised cardiac risk index (RCRI)


Enam prediktor independen dari komplikasi jantung mayor
Tipe operasi berisiko tinggi (contoh operasi vaskular dan intraperitoneal terbuka atau prosedur
intrathorak)
Riwayat penyakit jantung iskemik
Riwayat gagal jantung
Riwayat penyakit serebrovaskular
Diabetes melitus yang memerlukan terapi insulin
Serum kreatinin preoperatif >2.0 mg/dL (177 micromol/L)
Persentase cardiac death, nonfatal myocardial infarction, nonfatal cardiac arrest berdasarkan
jumlah prediktor23
Tanpa faktor risiko - 0.4% (95% CI: 0.1-0.8)
Satu faktor risiko - 1.0% (95% CI: 0.5-1.4)
Dua faktor risiko - 2.4% (95% CI: 1.3-3.5)
Tiga atau lebih faktor risiko - 5.4% (95% CI: 2.8-7.9)
Persentase myocardial infarction, pulmonary edema, ventricular fibrillation, primary cardiac arrest,
dan complete heart block22
Tanpa faktor risiko - 0.5% (95% CI: 0.2-1.1)
Satu faktor risiko - 1.3% (95% CI: 0.7-2.1)
Dua faktor risiko - 3.6% (95% CI: 2.1-5.6)
Tiga atau lebih faktor risiko - 9.1% (95% CI: 5.5-13.8)

2.12. Manajemen nyeri

Manajemen nyeri pascaoperasi yang penting efektif untuk menghindari stres, gejolak

hemodinamik, dan hiperkoagulasi. Untuk pasien kooperatif tanpa kontraindikasi yang menjalani

operasi abdominal atau thoraks mayor dengan insisi besar, anestesi epidural disarankan untuk

analgesia preemptive pascaoperasi. Sebagai alternatif, pemberian opioid subarachnoid yang


bekerja lebih lama (contoh, morfin atau hidromorfon) dapat memberikan 12 hingga 24 jam

analgesia pascaoperasi.12

Teknik anestesi regional spesifik juga efektif, dan ini dipilih berdasarkan lokasi

pembedahan dan prosedur (contoh: blok pleksus brakhialis untuk nyeri ekstremitas atas; femoral

atau blok saraf sciatic untuk nyeri ekstremitas bawah; blok saraf interkostal atau paravertebralis

untuk prosedur payudara, dada, atau perut bagian atas). Teknik lain untuk manajemen nyeri

pascaoperasi adalah patient-controlled analgesia (PCA).12 Obat antiinflamasi nonsteroid

(NSAID) dan siklooksigenase-2 (COX-2) inhibitor dihindari pada pasien dengan iskemia

miokard; obat ini berisiko pada kardiovaskular, 3 seperti cardiovascular death, infark miokard,

dan stroke. Kejadian penting lainnya termasuk gagal jantung, peningkatan tekanan darah, atrium

fibrilasi, dan tromboemboli vena.12


BAB III

KESIMPULAN

Pemilihan cara anestesia dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya penyakit

penderita. Beberapa faktor, antara lain umur, status fisik, posisi pembedahan, ketrampilan dan

kebutuhan dokter pembedah, ketrampilan dan pengalaman dokter anestesiologi, keinginan

pasien, bahaya kebakaran dan ledakan serta yang lainnya juga mempengaruhi pemilihan teknik

anestesi. Sebagian besar prosedur pembedahan (70-75%) dilakukan dengan anestesia umum,

sedangkan operasi lainnya dilakukan dengan anestesia regional atau lokal.

Pada pasien dengan penyakit kardiovaskular, teknik anestesi regional(baik tunggal atau

dengan anestesi umum) berpotensi bermanfaat perioperasi dalam mengurangi respon stres,

simpatektomi jantung, ekstubasi lebih awal, lama rawat inap di rumah sakit lebih pendek, dan

analgesia pasca operasi yang baik.

Pada pasien dengan prolaps katub mitral, teknik anestesi yang terpilih adalah yang paling

kecil mengakibatkan takikardia atau yang menggangu status hemodinamik. Pada pasien dengan

mitral stenosis, epidural anestesi merupakan tekhik anestesi regional yang terpilih.

Manajeman anastesi dari pasien dengan regurgitasi tricuspid sama, baik dengan satu

kelainan itu saja maupun yang disertai dengan penyakit katup aorta atau mitral.

Dalam pemberian obat anestesi dalam pembedahan pasien dengan kelainan jantung

bawaan, apapun kelainan jantung yang mendasarinya, tujuan utama adalah untuk

mempertahankan oksigenasi jaringan yang adekuat. Hal ini paling baik dicapai dengan

memahami penyebab yang mendasari hipoksemia pada tiap pasien.

.
DAFTAR PUSTAKA

1. Kaul TK, Tayal G. Anaesthetic Considerations in Cardiac Patients Undergoing Non


Cardiac Surgery. 2007;51(6):280–6.
2. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Petunjuk praktis anestesiologi. Edisi kedua.
Jakarta. Bagian anestesiologi dan terapi intensif Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, 2001: 1-8
3. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Clinical anesthesiology. 4th ed. The United
States of America. Appleton and lange, 2012.
4. Bready LL, Mullins RM, Noorily SH, Smith RB. Decision making in anesthesiology
an algorithmic approach. 3rd ed. Mosby. St Louis Missouri. 2000: 122-34
5. Bongard FS, Sue DY. Critical care diagnosis and treatment. 1st ed. The United States
of America. Appleton and lange. 1994: 463-77
6. Kraus M, Asgarian CD, Koyyalamudi V, Tran L, Alvord J, Kaye AD, et al.
Regional Anesthesia and Cardiovascular Disease. Essentials Reg Anesth.
2018;529–40.
7. Kristensen SD, Knuuti J, Saraste A, Anker S, Bøtker HE, De Hert S, et al. 2014
ESC/ESA Guidelines on non-cardiac surgery: Cardiovascular assessment and
management: The Joint Task Force on non- cardiac surgery: Cardiovascular
assessmentand management of the European Society of Cardiology (ESC) and
the European Society of Anaesth. Eur Heart J. 2014;35(35):2383–431.
8. Sjamsuhidajat & de jong. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta. EGC, 2010.
9. Jevon P & Ewens B. Pemantauan Pasien Kritis Edisi 2. Jakarta. Erlangga, 2009.
10. Koh Sock H, Rogers J. Anaesthesia For Patients With Cardiac Disease Undergoing
Non Cardiac Surgery. Update in Anaesthesia.
11. Abbott TEF, Pearse RM, ArchboldRA,etal.A Prospective International Multicentre
Cohort Study of Intraoperative Heart Rate and Systolic Blood Pressure and
Myocardial Injury After Noncardiac Surgery: Results of the VISION Study. Anesth
Analg 2018; 126:19.
12. Nurcahyo, WI. Anestesi Regional pada Pasien dengan Penyakit Jantung/
Hemodinamik Tidak Stabil. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Universitas
Diponegoro. Semarang, 2019.
13. Breen P, Park KW. General anesthesia versus regional anesthesia. IntAnesthesiol
Clin 2002; 40:61.
14. Madhusudhana R, Rajendra N. Anesthetic management of a Patient with ischemic
heart disease posted for open reduction internal fixation of the upper limb.
Karnataka Anaesth J.2015;1(2):69.
15. Nadia, Blakemore Hensley; Charles WH. Anesthesia for noncardiac surgery
in patients with ischemic heart disease. uptodate. 2019.
16. Stoelting RK, Dierdorf SF. Anesthesia and co-existing disease. 4th ed. Churchill
livingstone. Philadelphia. 2002: 25-43
17. Gurkowski MA, Bracken CA. Specialty Anesthesia. 2nd ed. Mosby. Pennsylvania.
2002: 279-89
18. Nasution AH. Anestesi pada Ventrikel Septal Defek. Majalah Kedokteran Nusantara,
2008; 41(2): 133-138
19. Ahmad MR. Anesthesia for Non-Cardiac Surgery in Children with Congenital Heart
Disease. The Indonesian Journal of Medical Science, 2010; 1(8): 467-476.
20. Hollinger I. Congenital Heart Disease. Clinical cases in anesthesia. 3rd edition. 2005;
69: 409-18.
21. Frankville DD, Lake CL. Anesthesia for noncardiac surgery in children and adults
with congenital heart disease. Pediatric Cardiac Anesthesia. 3nd edition. 1998; 26:
485-513.

Anda mungkin juga menyukai