Anda di halaman 1dari 31

Tinjauan Pustaka

Komplikasi Otitis Media Supuratif Kronis (OMSK)

Oleh :

Larasati Gilang Puji Astuti, S.Ked

NIM. 1830912320024

Pembimbing :

dr. Ida Bagus Ngurah Swabawa, Sp.THT-KL

BAGIAN/SMF TELINGA, HIDUNG DAN TENGGOROKAN

FAKULTAS KEDOKTERAN UNLAM/RSUD ULIN

BANJARMASIN

September, 2020
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...............................................................................................i

DAFTAR ISI....................................................................................................... ii

BAB I. PENDAHULUAN........................................................................... 1

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA................................................................ 3

a. Anatomi dan Fisiologi Pendengaran ......................................... 3

b. Otitis Media Supuratif Kronis………….........................................8

Definisi ..................................................................................... 8

Epidemiologi ............................................................................ 8

Etiologi ................................................................................... 9

Patofisiologi ............................................................................ 9

Manifestasi Klinis ................................................................... 11

Diagnosis ................................................................................ 12

Tatalaksana ............................................................................ 13

c. Komplikasi OMSK.................................................................. 15

BAB III. SIMPULAN .................................................................................... 26

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 28


BAB I

PENDAHULUAN

Telinga terbagi atas tiga bagian yaitu telinga luar, telinga tengah dan

telinga dalam. Telinga tengah dimulai dari membran timpani, pada telinga tengah

terdapat tulang pendengaran yang saling berhubungan satu sama lainnya. Prosesus

longus maleus melekat pada membran timpani, maleus melekat pada inkus dan

inkus melekat pada stapes. Terdapat beberapa daerah yang berdekatan dan secara

langsung terhubung dengan telinga tengah yaitu antrum mastoid dan tuba

Eustachius.1

Otitis media supuratif kronis (OMSK) adalah peradangan pada mukosa

telinga tengah dan ruang mastoid yang berlangsung lebih dari 3 bulan ditandai

dengan adanya perforasi pada membran timpani dan keluarnya cairan secara terus

menerus atau hilang timbul dari liang telinga. Otitis media supuratif kronis

dibedakan atas dua yaitu OMSK tanpa kolesteatom/ tipe aman dan OMSK dengan

kolesteatom/ tipe bahaya. Pada tipe aman peradangan terjadi pada mukosa dan

tidak mengenai tulang. Perforasi membran timpani terletak di sentral. Tipe ini

jarang menimbulkan komplikasi yang berbahaya. Otitis media supuratif kronis

tipe bahaya ditandai dengan perforasi membran timpani letaknya marginal atau di

atik. Sebagian besar komplikasi yang berbahaya atau fatal timbul pada OMSK

dengan kolesteatom ini.2

Diagnosis OMSK dibuat berdasarkan gejala klinik pada pemeriksaan

THT terutama pemeriksaan otoskopi. Mengingat OMSK tipe bahaya seringkali


menimbulkan komplikasi yang berbahaya, maka perlu ditegakkan diagnosis dini.

Terapi OMSK tidak jarang memerlukan waktu lama, serta harus berulang-ulang.

Sekret yang keluar tidak cepat kering atau selalu kambuh lagi. Ada beberapa jenis

pembedahan atau teknik operasi yang dapat dilakukan pada OMSK dengan

mastoiditis kronis, baik tipe aman atau bahaya.3

Komplikasi pada otitis media supuratif kronik terbagi menjadi 2 yaitu

komplikasi intratemporal (ekstrakranial) dan intrakranial. Komplikasi

intratemporal meliputi mastoiditis, petrositis, labirinitis, paresis nervus fasialis.

Komplikasi intracranial terdiri dari abses atau jaringan granulasi ekstradural,

tromboflebitis sinus sigmoid, abses otak, hidrosefalus otik, meningitis dan abses

subdural. Saat terjadi komplikasi, gejala biasanya berkembang dengan cepat.

Selain anamnesis dan pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang perlu dilakukan

pada pasien OMSK yang dicurigai mengalami komplikasi agar di dapatkan

prognosis yang baik.2

Prognosis pada pasien dengan OMSK ditentukan dari onset paralisis

nervus fasialis sampai dilakukannya operasi. Durasi yang lama dapat

menyebabkan kerusakan yang lebih parah dari nervus fasialis dan hasil

pembedahan yang buruk. Selain itu, perforasi membran timpani dapat menutup

secara spontan, akan tetapi gangguan pendengaran ringan sampai sedang masih

dapat menetap. Frekuensi komplikasi dapat berkurang jika pasien mendapat terapi

efektif dan tepat, akan tetapi risiko erosif dan efek penyebaran dari kolesteatoma

dapat menyebabkan prognosis yang parah.4


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi dan Fisiologi Pendengaran

1. Anatomi Pendengaran

Indra pendengaran termasuk indra yang terletak di dalam telinga. Telinga

merupakan alat untuk menerima getaran yang berasal dari benda yang bergetar,

dan memberikan kesan suara pada kita. Getarannya dapat berasal dari udara dan

dapat pula berasal dai benda padat atau benda cair, antara benda bergetar dengan

telinga harus ada medium yaitu udara.1

Gambar 2.1 Anatomi Telinga

Terdiri dari tiga bagian, yaitu :

a) Telinga bagian luar


Telinga luar terdiri dari auricula dan liang telinga sampai membran

timpani. Auricula berfungsi menentukan arah bunyi yang didengar, dan

memperkuat suara-suara yang diterima. Pada liang telinga sepertiga bagian luar

adalah rangka tulang rawan, sedangkan duapertiga bagian dalam adalah terdiri

dari tulang. Fungsinya untuk menghantarkan getaran suara dan mempertahankan

kelembaban suhu dari udara yang masuk. Dalam liang telinga terdapat bulu-bulu

dan sejumlah kelenjar yang mengeluarkan kotoran telinga (cerumen), berfungsi

untuk melindungi telinga supaya tidak kemasukan barang atau serangga.1

b) Telinga bagian tengah

Terdiri dari membran timpani sampai tuba eustachius. Auris Eksterna

dan Auris Media dibatasi oleh gendang pendengaran dinamakan membran

timpani. Membran timpani ini membatasi suatu ruangan bagian tengah yang

disebut cavum tympani, dan di dalamnya terdapat tulang pendengaran yang terdiri

dari tulang-tulang pendengaran yaitu malleus, incus dan stapes. Tulang telinga

tengah saling berhubungan satu sama lain. Prosesus malleus melekat pada

membran timpani, malleus melekat pada inkus dan inkus melekat ada stapes dan

stapes melekat pada oval window. Ketiga tulang pendengaran ini saling

berhubungan, sehingga getaran- getaran bunyi dapat dihantarkan dari gendang

pendengaran ke telinga bagian dalam. Fungsinya adalah : (a) Sebagai penyalur

getaran suara (b) Memperkuat suara (c) Melindungi alat pada telinga bagian

dalam.1
Saluran eustachius menghubungkan ruang telinga tengah dengan

nasofaring, sehinggan berfungsi sebagai penyeimbang tekanan udara pada kedua

sisi ruangan tersebut.1

Gambar 2.2 Anatomi Telinga Tengah

c) Telinga bagian dalam.

Telinga bagian dalam (Labyrin) itu merupakan bagian terpenting dari

telinga, labyrin adalah suatu rongga berisi cairan perilimpe dan letaknya di tulang

pelipis yang berfungsi melindungi bagian dalam. Telinga bagian dalam terdapat

serambi (vertibule), saluran-saluran gelung (canalis semi curcularis), rumah siput

(cochlea). Serambi ini berhubungan dengan saluran-saluran gelung dan dengan

cochlea, saluran-saluran gelung ini merupakan alat keseimbangan, sedangkan

cochlea merupakan bagian dari indra pendengaran. Kanalis semisirkularis saling

berhubungan secara tidak lengkap dan membentuk lingkaran yang tidak lengkap

pula. Skala timpani dan vestibula berisi perilimfa, skala media berisi endolimfa.

Dasar skala vestibuli disebut sebagai membran vestibule (Reissner’s membrane),

sedangkan dasar skala adalah membrane basalis, dan pada membrane tersebut

terletak organ corti. Organ corti ini merupakan suatu reseptor pendengaran yang
terletak di dalam cochlea bagian scala media tepatnya di atas membran basilaris.

Organ orti berupa suatu deretan sel-sel rambut yang jumlahnya berkisar antara

24.000 – 31.000 ke atas atau lebih. Deretan rambut-rambut tersebut dinamakan

tali pendengaran.1

Gambar 2.3 Anatomi Telinga Dalam

Telinga dalam berisi organ pendengaran dan keseimbangan. Telinga

dalam atau labyrinthus terletak di dalam pars petrosa ossis temporalis dan terdiri

atas:labyrinthus terletak di dalam pars petrosa ossis temporalis dan terdiri atas1:

1). Labyrinthus osseus Labyrinthus osseus

Terdiri atas tiga bagian: vestibulum, kanalis semisirkularis, dan koklea.

Ketiganya merupakan rongga-rongga yang terletak di dalam substansia kompakta

tulang dan dilapisi oleh endosteum serta berisi cairan bening, yaitu perilimfe.1

2). Labyrinthus membranaceus

Terletak di dalam labyrinthus osseus, dan berisi endolimfe dan dikelilingi

oleh perilimfe. Labyrinthus membranaceus terdiri atas:

– Utriculus dan sakulus yang terdapat di dalam vestibulum osseus


– Tiga duktus semisirkularis yang terletak di dalam kanalis

semisirkularis osseus

– Duktus koklearis yang terletak di dalam koklea.1

2. Fisiologi pendengaran

Proses mendengar diawali dengan ditangkapnya energi bunyi oleh telinga

luar, lalu menggetarkan membran timpani dan diteruskan ke telinga tengah

melalui rangkaian tulang pendengaran yang akan mengamplifikasi getaran

tersebut. Energi getar yang telah diamplifikasikan akan diteruskan ke telinga

dalam (koklea) dan diproyeksikan pada membran basilaris, sehingga akan

menimbulkan gerak relatif antara membran basilaris dan membran tektoria. Proses

ini merupakan rangsang mekanik yang menyebabkan terjadinya defleksi

stereosilia sel-sel rambut, sehingga kanal ion terbuka dan terjadi pelepasan ion

bermuatan listrik dari badan sel. Keadaan ini menimbulkan proses depolarisasi sel

rambut, sehingga melepaskan neurotransmiter ke dalam sinapsis yang akan

menimbulkan potensial aksi pada saraf auditorius, lalu dilanjutkan ke nukleus

auditorius sampai ke korteks pendengaran. Apabila terjadi gangguan dari

anatomis maupun saraf pendengaran, maka akan terjadi gangguan pendengaran.1

B. Otitis Media Supuratif Kronis

1. Definisi

Otitis media supuratif kronis (OMSK) adalah peradangan pada mukosa

telinga tengah dan ruang mastoid yang berlangsung lebih dari 3 bulan ditandai

dengan adanya perforasi pada membran timpani dan keluarnya cairan secara terus

menerus atau hilang timbul dari liang telinga.2


2. Epidemiologi

Menurut World Health Organization (WHO), diperkirakan OMSK

memiliki angka kejadian sebanyak 65-330 juta di seluruh dunia; 60% di antaranya

mengalami gangguan pendengaran.6 Otitis media supuratif kronik merupakan

penyakit THT yang paling banyak di negara sedang berkembang sedangkan di

negara maju seperti Inggris sekitar 0,9% dan di Israel hanya 0,0039%. Di negara

berkembang dan negara maju prevalensi OMSK berkisar antara 1-46%.5

Angka kejadian OMSK di negara-negara berkembang lebih banyak

dibandingkan negara-negara maju. Hal ini disebabkan oleh faktor sosioekonomi,

higiene buruk dan kepadatan penduduk. OMSK biasanya terjadi pada sosial

ekonomi rendah, area pedesaan dengan kebersihan dan faktor nutrisi yang kurang.

Faktor risiko OMSK lainnya yaitu infeksi saluran pernafasan atas yang sering,

status imun yang buruk dan perokok pasif. Prevalensi morbiditas pada kasus

telinga dan gangguan pendengaran di Indonesia cukup tinggi, yaitu sebesar

18,5%, sedangkan prevalensi OMSK di Indonesia antara 3-5,2% atau kurang lebih

6,6 juta penduduk Indonesia menderita OMSK. OMSK dapat mengakibatkan

beberapa komplikasi dan kadang-kadang mengancam jiwa seperti kehilangan

pendengaran, meningitis, abses serebri, mastoiditis, parese nervus fasial,

kolesteatoma, jaringan granulasi dan empiema subdural.4

3. Etiologi

Penyebab terjadinya otitis media dengan atau tanpa diikuti adanya

perforasi membran timpani adalah bakteri. Dimana pada keadaan tanpa perforasi

bakteri inilah yang menjadi pemicu timbulnya infeksi akut, sedangkan pada
keadaan dengan perforasi membran timpani, bakteri ini akan masuk ke dalam

telinga tengah dan berkolonisasi. Bakteri yang banyak ditemukan pada keadaan

akut adalah Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae, dan

Staphylococcus aureus. Pada otitis media kronik kuman aerob yang sering

ditemukan adalah Pseudomonas aeroginosa dan Proteus sp, sedangkan kuman

anaerob terbanyak adalah Bacterioides, Peptococcus dan Peptostreptococcus.3

4. Patofisiologi

Otitis media akut dengan perforasi membran timpani menjadi otitis

media supuratif kronis apabila prosesnya sudah lebih dari 2 bulan. Bila proses

infeksi kurang dari 2 bulan, disebut otitis media supuratif subakut. Beberapa

faktor yang menyebabkan OMA menjadi OMSK ialah terapi yang terlambat

diberikan, terapi yang tidak adekuat, virulensi kuman tinggi, daya tahan tubuh

pasien rendah (gizi kurang) atau higiene buruk.

Gambar 2.4 Kolesteatoma


Kolesteatoma adalah suatu kista epiterial yang berisi deskuamasi epitel

(keratin). Deskuamasi terbentuk terus lalu menumpuk sehingga kolsteatoma

bertambah besar. Istilah kolesteatoma mulai diperkenalkan oleh Johanes Muller

pada tahun pada 1838 karena disangka kolesteatoma merupakan suatu tumor,

yang ternyata bukan. Beberapa istilah lain yang diperkenalkan oleh para ahli

antara lain adalah: keratoma, squamous epiteliosis, kolesteatosis, epidermoid

kolesteatoma, kista epidermoid, epidermosis. Banyak teori dikemukakan oleh para

ahli tentang patogenesis kolesteatoma, antara lain adalah teori invaginasi, teori

migrasi, teori metaplasi, dan teori implantasi. Teori tersebut akan lebih mudah

dipahami bila diperhatikan definisi kolesteatoma menurut Gray (1964) yang

mengatakan kolesteatoma adalah epitel kulit yang berada pada tempat yang salah,

atau menurut pemahaman penulis; kolesteatoma dapat terjadi oleh karena adanya

epitel kulit yang terperangkap. Sebagaimana kita ketahui bahwa seluruh epitel

kulit (keratinizing stratified squamous epithelium) pada tubuh kita berada pada

lokas yang terbuka atau terpapar ke dunia luar. Epitel kulit di liang telinga

merupakan suatu daerah Cul-de-sac sehingga apabila terdapat serumen padat di

liang telinga dalam waktu yang lama maka dari epitel kulit yang berada medial

dari serumen tersebut seakan terperangkap sehingga membentuk kolesteatoma.3

5. Manifestasi Klinis

Secara umum pasien dengan OMSK mengeluhkan keluarnya cairan

secara terus menerus atau hilang timbul dari liang telinga selama lebih dari 3

bulan dan setelah dilakukan pemeriksaan ditemukan adanya perforasi pada

membran timpani. Otitis media supuratif kronis dibedakan atas dua yaitu OMSK
tanpa kolesteatom/ tipe aman dan OMSK dengan kolesteatom/ tipe bahaya. Pada

tipe aman peradangan terjadi pada mukosa dan tidak mengenai tulang. Perforasi

membran timpani terletak di sentral. Tipe ini jarang menimbulkan komplikasi

yang berbahaya. Otitis media supuratif kronis tipe bahaya ditandai dengan

perforasi membran timpani letaknya marginal atau di atik. Sebagian besar

komplikasi yang berbahaya atau fatal timbul pada OMSK dengan kolesteatom

ini.2,3

Letak perforasi di membran timpani penting untuk menentukan tipe atau

jenis OMSK. Perforasi membran timpani dapat ditemukan di daerah sentral,

marginal atau atik. Oleh karena itu disebut perforasi sentral, marginal atau atik.

Pada perforasi sentral, perforasi terdapat di pars tensa, sedangkan di seluruh tepi

perforasi masih ada sisa membran timpani. Pada perforasi marginal sebagian tepi

perforasi langsung berhubungan dengan anulus atau sulkus timpanikum. Perforasi

atik ialah perforasi yang terletak di pars flaksida.3

Gambar 2.5 Letak perforasi membrane timpani3

6. Diagnosis
Diagnosis OMSK ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik,

dan pemeriksaan penunjang. Anamnesis yang dilakukan guna menentukan jenis

OMSK seperti karakteristik cairan telinga, durasi keluhan, dan keluhan lainnya

yang berhubungan dengan telinga. Pemeriksaan fisik sederhana yang dapat

dilakukan seperti otoskopi untuk mengetahui letak perforasi dan keadaan telinga

tengah, pemeriksaan garpu tala untuk menilai gangguan pendengaran. Untuk

mengetahui jenis dan derajat gangguan pendengaran dapat dilakkan pemeriksaan

audiometri nada murni, audiometri tutur (speech audiometry) dan pemeriksaan

BERA (brainstem evoked respon audiometry) bagi pasien atau anak yang tidak

kooperatif dengan pemeriksaan audiometri nada murni. Pemeriksaan penunjang

lain berupa foto rontgen mastoid atau CT-scan kepala guna mengetahui adanya

penyebaran infeksi ke struktur sekitar telinga serta kultur dan uji resistensi kuman

dari secret telinga guna mengetahui mikroorganisme penyebab dan resistensi

terhadap antibiotik.6

Tabel 2.1 Perbedaan OMSK tipe jinak dan ganas

Tipe Jinak Tipe Ganas


Sekret Bening, mukopurelen, Purulen, kental,
tidak berbau menggumpal, abu
kekuningan, berbau,
kolesteatoma
Perforasi Sentral, subtotal Marginal, atik, total
Perubahan Mukosa Edema hipertropi Degenerasi, terbentuk
polip, granulasi.
Foto mastoid Perseleubungan, Perselubungan, rongga
sklerotik berisi kolesteatoma
Komplikasi Jarang Abses retro-aurikuler,
meningitis, abses otak.
7. Tatalaksana

Terapi OMSK tidak jarang memerlukan waktu lama, serta harus

berulang-ulang. Sekret yang keluar tidak cepat kering atau selalu kambuh lagi.

Keadaan ini antara lain disebabkan oleh satu atau beberapa keadaan, yaitu (1)

adanya perforasi membran timpani yang permanen, sehingga telinga tengah

berhubungan dengan dunia luar, (2) terdapat sumber infeksi di faring, nasofaring,

hidung dan sinus paranasal, (3) sudah terbentuk jaringan patologik yang

ireversibel dalam rongga mastoid dan (4) gizi dan higiena yang kurang.3

Prinsip terapi OMSK tipe aman ialah konservatif atau dengan

medikamentosa. Bila secret yang keluar terus menerus, maka diberikan obat

pencuci telinga, berupa larutan H2O2 3% selama 3-5 hari. Setelah sekret

berkurang, maka terapi dilanjutkan dengan memberikan obat tetes telinga yang

mengandung antibiotika dan kortikosteroid. banyak ahli berpendapat bahwa

semua obat tetes yang dijual di pasaran saat ini mengandung antibiotika yang

bersifat ototoksik. Oleh sebab itu, penulis menganjurkan agar obat tetes telinga

jangan diberikan secara terus menerus lebih dari 1 atau 2 minggu atau pada

OMSK yang sudah tenang. Secara oral diberikan antibiotika dari golongan

ampisilin atau eritromisin (bila pasien alergi terhadap penisilin), sebelum hasil tes

resistensi diterima.3

Pada infeksi yang dicurigai karena penyebabnya telah resisten terhadap

ampisilin dapat diberikan ampisilin asam klavulanat. Bila sekret telah kering,

tetapi perforasi masih ada setelah diobservasi selama 2 bulan, maka idealnya
dilakukan miringoplasti atau timpanoplasti. Operasi ini bertujuan untuk

menghentikan infeksi secara permanen, memperbaiki membran timpani yang

perforasi, mencega terjadinya komplikasi atau kerusakan pendegaran yang lebih

berat, serta memperbaiki pendengaran. Bila terdapat sumber infeksi yang

menyebabkan sekret tetap ada, atau terjadinya infeksi berulang, maka sumber

infeksi itu harus diobati terlebih dahulu, misalnya adenoidektomi dan tosilektomi.

Prinsip terapi OMSK tipe bahaya ialah pembedahan yaitu mastoidektomi. Jadi,

bila terdapat OMSK tipe bahaya, maka terapi yang tepat ialah dengan melakukan

mastoidektomi dengan atau tanpa timpanoplasti. Terapi konservatif dengan

medikamentosa hanyalah merupakan terapi sementara sebelum dilakukan

pembedahan. Bila terdapat abses subperiosteal retroaurikuler, maka insisi abses

sebaiknya dilakukan tersendiri sebelum mastoidektomi.3


Gambar 2.6 Algoritma tatalaksana OMSK6

C. Komplikasi OMSK

Berbagai faktor mempengaruhi terjadinya komplikasi pada OMSK.

Sangat penting sekali untuk mengetahui anatomi dimana terjadinya infeksi, rute

penyebaran dan karakteristik dari penyakit itu sendiri. Patogenesis primer

terjadinya komplikasi adalah interaksi antara mikroorganisme penyebab dengan

host. Host akan berespon dengan membentuk edema jaringan dan jaringan

granulasi. Saat infeksi di telinga tengah dan mastoid tidak teratasi, edema mukosa

terus berlangsung, eksudat meningkat, serta terjadi proliferasi kelenjer mukus.

Edema mukosa di tempat yang sempit antara mesotimpanum dengan epitimpanum

dan di dalam aditus antara epitimpanum dengan antrum mastoid menghambat

jalur aerasi normal dan mengurangi oksigenasi dan vaskularisasi. Pada saat yang

sama hambatan tersebut juga berlaku untuk antibiotik dan anti inflamasi untuk

mencapai sumber infeksi. Lingkungan seperti ini menjadi lingkungan yang

kondusif untuk pertumbuhan organisme anaerob dan proses destruksi tulang.2

Variasi anatomi juga penting dalam perkembangan komplikasi. Tuba

eustachius tidak hanya berperan penting dalam patogenesis penyakit namun juga

berpengaruh terhadap komplikasi. Edema mukosa tuba merusak fungsi tuba dan

menghambat resolusi infeksi. Faktor-faktor lain seperti integritas tulang di atas

nervus fasialis atau dura mempengaruhi akses infeksi ke struktur nervus dan ruang

intrakranial. Keberadaan kolesteatom sering berkaitan dengan destruksi tulang

yang mengekspos dura atau nervus fasialis.2


Komplikasi pada OMSK berhubungan erat dengan kombinasi dari

destruksi tulang, jaringan granulasi dan kolesteatom. Bakteri dapat mencapai

struktur yang terlibat terutama melalui jalur langsung dari mastoid atau melalui

vena dari mastoid ke struktur di sekitarnya. Jalur langsung dapat terbentuk akibat

osteitis karena kolesteatom, tindakan bedah mastoid sebelumnya, fraktur tulang

temporal, atau dehisen kongenital. Komplikasi pada otitis media supuratif kronik

terbagi dua yaitu komplikasi intratemporal (ekstrakranial) dan intrakranial.

Komplikasi intratemporal meliputi mastoiditis, petrositis, labirintitis, paresis

nervus fasialis dan fistula labirin. Komplikasi intrakranial terdiri dari abses atau

jaringan granulasi ekstradural, tromboflebitis sinus sigmoid, abses otak,

hidrosefalus otik, meningitis dan abses subdural. Adapun klasifikasi komplikasi

OMSK dapat dilihat pada Gambar 2.4 2,7

Gambar 2.7 Komplikasi OMSK7

1. Komplikasi Ekstrakranial

Mastoiditis merupakan peradangan mukoperiosteum selulae mastoid

dengan organisme penyebab sama seperti pada otitis media. Mastoiditis

merupakan komplikasi tersering ekstrakranial pada pasien OMSK.

Penatalaksanaan mastoiditis meliputi pmebedahan mastoidektomi dan

medikamentosa berupa antibiotik dosis tinggi seperti amoksisilin atau ampisilin


dan klorampenicol atau metronidazole untuk bakteri anaerob. Mastoiditis dapat

berkembang menjadi komplikasi yang mengancam jiwa dan memerlukan

penanganan segera seperti meningitis dan abses otak.6,7

Paresis nervus fasialis sering disebabkan oleh OMSK dengan

kolesteatom. Pada kasus ini terjadi penekanan akibat kolesteatom baik disertai

inflamasi lokal ataupun tidak. Bakteri dapat mencapai nervus karena dehisen

kongenital pada kanal fallopi atau karena erosi kanal oleh jaringan granulasi atau

kolesteatom. Paresis yang disebabkan oleh kolesteatom, letak lesinya berbeda-

beda. Sebagian besar penekanan nervus terjadi pada segmen timpani. Letak lesi

lainnya dapat terjadi pada regio ganglion genikulatum, segmen mastoid atau pada

kanal auditori interna. Paresis nervus fasialis merupakan paresis otot-otot wajah.

Pasien tidak dapat atau kurang dapat menggerakkan otot wajah sehingga wajah

tampak tidak simetris. Kejadiannya bisa tiba-tiba atau bertahap, namun lebih

sering terjadi secara tiba-tiba. Hal ini disebabkan oleh devaskularisasi, fibrosis

atau gangguan pada nervus fasialis. Kolesteatom sendiri dapat menyebabkan

gangguan langsung pada nervus fasialis. Derajat paresis nervus fasialis ditetapkan

berdasarkan pemeriksaan fungsi motorik yang dihitung dalam persen (%).

Pemeriksaan penurunan fungsi nervus fasialis juga dapat dilakukan dengan

metode pemeriksaan menurut HouseBrackmann. Paresis nervus fasialis akibat

komplikasi OMSK dengan atau tanpa kolesteatom ditatalaksana dengan

kombinasi antibiotik dan tindakan bedah, termasuk mastoidektomi dengan atau

tanpa dekompresi nervus. Keberhasilan dekompresi tergantung kepada kondisi


awal nervus tersebut sebelum tindakan operasi, apakah nervus sudah mengalami

degenerasi atau belum.3

Gambar 2.8 CT-scan pada pasien mastoiditis

Labirinitis dapat bersifat timpanogenik, meningogenik, hematogen, atau pasca-

trauma. Selain itu, labirinitis juga dapat disebakan oleh infeksi bakteri, virus,

sifilis, mikotik, serta autoimun, dan toksik. Labirinitis bakteri (supuratif) sering

bersifat meningogenik dan terjadi pada anak di bawah usia dua tahun, sedangkan

labirinitis supuratif timpaniogenik lebih sering terjadi pada orang dewasa tua

sebagai komplikasi otitis media kaut atau kronis. Labirinitis supuratif akut

merupakan komplikasi dari otitis media yang ditandai dengan gejala vertigo,

tinnitus, nistagmus dan gangguan pendengaran. Baru-baru ini, kejadiannya telah

menurun drastis karena penggunaan antibiotik spektrum luas yang efektif. Meski

demikian, Labirinitis supuratif akut terdiri atas tiga fase yaitu fase supuratif,

fibrosis, osifikasi. Pasien dengan labirinitis supuratif akut harus segera dirawat di

rumah sakit dan dilskuksn drainase darurat untuk mengurangi tekanan intra
labirin. Intervensi semi-mendesak penting, tidak hanya untuk mengurangi gejala,

tetapi juga untuk menghindari komplikasi intrakranial. Miringotomi, timpanotomi,

atau mastoidektomi dapat dilakukan untuk drainase, pemilihan tindakan

pembedahan disesuaikan dengan etiologi.8

Gambar 2.9 MRI pada pasien dengan labirinitis

Abses citelli merupakan salah satu komplikasi ekstratemporal otitis

media. Hal ini terjadi ketika nanah dari ujung mastoid menetes ke bagian posterior

otot digastrik ke oksipital dan daerah servikal. Pemeriksaan radiologi harus

dilakukan sebelum tindakan insisi dan drainase, untuk mencegah komplikasi.

Drainase pus dapat mengurangi rasa sakit, memperbaiki kondisi pasien, dan yang

terpenting untuk menghambat penyebaran lebih lanjut ke rongga intrakranial.

Operasi definitif dilakukan setelah pemberian antibiotik selama 2-3 minggu

selesai. Mastoidektomi radikal yang dimodifikasi dilakukan jika pendengaran

tetap terjaga. Pencabutan gigi berlubang dilakukan terutama untuk mencegah

penyebaran infeksi lebih lanjut, hal ini juga membantu dalam penyembuhan awal

dan menghindari keluarnya cairan berulang. Selian itu, penyebaran penyakit lebih

lanjut dapat menyebabkan abses Bezold, abses Lucs dan abses Zygomatic. Pada
abses bezold pus mengalir ke bagian bawah leher melalui apeks dan dinding

medial prosesus mastoid, abses meluas di sepanjang otot sternokleidomastoid atau

sepanjang posterior otot digastrik di bagian inferior. Pada tahun 1913 Henri Luc

menemukan abses tulang temporal dan kasus yang teridentifikasi tanpa

keterlibatan mastoid saat melakukan antrotomi. Dia menemukan adanya

penyebaran infeksi telinga tengah yang dapat menyebar di atas Rivinius notch,

atau di sepanjang cabang arteri aurikularis dan meatus akustikus eksternus

sehingga menyebabkan pembentukan pus ekstratemporal dan subperiosteal di

bawah otot temporal.9,10

Gambar 2.10 Pre dan post operasi pada pasien dengan abses citelli9
Gambar 2.11 Abses bezold (kiri) dan abses luc (kanan)

Kejadian fistula labirin dilaporkan meningkat dari 3,6% menjadi 13,9%

dari pasien otitis media kronis dengan kolesteatoma, dan diketahui paling sering

mempengaruhi kanal semisirkularis lateral. Gejala khas fistula labirin adalah

vertigo posisi, disequilibrium yang parah, dan gangguan pendengaran

sensorineural, secara kolektif membuatnya sulit untuk membedakan dari BPPV

maupun Meniere disease. Fistula labirin adalah fistula atau lubang yang

menyimpang antara telinga bagian dalam yang berisi perilimfe dan telinga tengah

yang berisi udara, di mana kebocoran perilimfe menyebabkan masalah pada

vestibulum dan koklea. Intervensi bedah dengan canal wall down mastoidectomy

dan penutupan fistula dianggap menjadi tatalaksana efektif untuk mengurangi

keluhan.11
Gambar 2.12 Temuan fistula labirin intra-operatif11

2. Komplikasi Intrakranial

Meningitis merupakan komplikasi intrakranial yang paling banyak terjadi

pada pasien OMSK. Meningitis dapat terjadi melalui ekstensi langsung melewati

tulang yang erosi, saluran yang sudah terbentuk sebelumnya atau melalui darah

(hematogen). Gejala utama meningitis adalah sakit kepala berat, demam tinggi,

fotofobia dan perubahan status mental. Pada kasus yang berat biasanya terjadi

penurunan kesadaran. Pada pemeriksaan neurologis ditemukan kaku kuduk yang

dapat disertai dengan tanda Kernig dan Brudzinski. Pungsi lumbal merupakan

modalitas utama untuk pemeriksaan cairan serebrospinal pada pasien meningitis.

Sebelum pemeriksaan pungsi lumbal, dilakukan pemeriksaan tomografi komputer,

untuk melihat adanya abses otak, serebritis atau empiema subdural. Pungsi lumbal

menjadi kontraindikasi pada keadaan di atas. Analisis cairan serebrospinal pada

pasien meningitis menunjukkan kadar gula menurun dan protein yang tinggi.

Pemberian antibiotik spektrum luas dengan dosis maksimal merupakan modalitas

utama dalam penatalaksanaan meningitis. Antibiotik diberikan selama 7-15 hari.


Antibiotik ditujukan untuk kuman gram negative atau positif dan kuman anerob.

Kortikosteroid intravena juga dapat membuat prognosis jadi lebih baik terutama

bila diberikan segera dengan dosis optimal. Mastoidektomi emergensi dalam 24

jam tidak dianjurkan lagi. Operasi emergensi dilakukan pada pasien dengan

mastoiditis atau dengan infeksi berat, gejala neurologis yang tidak membaik

dalam 48 jam setelah terapi inisial dan terapi antibiotik dosis tinggi. Operasi

mastoidektomi untuk mengangkat kolesteatom dilakukan apabila kondisi

neurologis telah stabil.2

Otitis media kronis dan komplikasinya saat ini cukup jarang ditemukan

karena diagnosis dini dengan modalitas pencitraan seperti CT-scan dan MRI dan

peningkatan penggunaan antibiotic secara efektif. Pasien dapat dirawat tanpa

komplikasi karena diagnosis dini. Terlepas dari semua perkembangan dan peluang

baru ini, komplikasi abses serebelar autogenous dapat berkembang dan berakibat

fatal. Pasien dengan abses seebelar mengeluhkan sakit kepala, keluarnya cairan di

telinga, mual, muntah, dan demam. Selain itu, ataksia, nistagmus vertikal, dan

gangguan koordinasi antar ekstremitas dapat diamati pada abses serebelar. Selain

itu, gejala tekanan batang otak yang terjadi sehubungan dengan efek massa abses

serebelar dapat ditemukan. Pada pasien dengan keluhan ataksia dan vertigo

disarankan dilakukan pemeriksaan otoskopi dan dipertimbangkan sebagai

diagnosis banding OMSK agar terdiagnosis secara dini guna menghindari

komplikasi lebih lanjut. Dengan terapi antibiotik yang tepat dan pendekatan

bedah, hasil yang sukses tanpa mortalitas dan morbiditas dapat diperoleh pada

pasien dengan abses serebelar.12


Gambar 2.13 Hasil pemeriksaan CT-scan pada pasien dengan abses serebelar12

Komplikasi intrakranial akibat infeksi telinga tengah meliputi 0,5–4%

kasus dan kematian 5% dan 15% di antaranya pneumocephalus adalah entitas

yang sangat jarang. Pneumocephalus didefinisikan sebagai adanya udara atau gas

di dalam rongga cranium. Etiologinya dapat trauma pada wajah, tengkorak,

prosedur bedah saraf atau otologis, otomastoiditis, atau tumor dasar tengkorak dan

jarang dapat terjadi secara spontan. Kasus pertama dari pneumocephalus otogenik

dilaporkan oleh Dandy pada tahun 1926. Salah satu komplikasi otitis media yang

terkenal adalah trombosis sinus lateral. Infeksi dan peradangan pada mastoid dan

telinga tengah merupakan predisposisi trombosis pada sinus vena dural yang dekat

dengannya. Pencitraan biasa dapat mendiagnosis pneumocephalus, tetapi CT scan

memiliki kemampuan untuk mendeteksi udara sekecil 0,5 cm sehingga menjadi

modalitas diagnosis. Pengobatan pneumocephalus didasarkan pada etiologi dan

kondisi pasien, penyakit ini sering sembuh secara spontan.13


Gambar 2.14 Gambaran CT-scan pneumocephalus13

BAB III
SIMPULAN

1. Indra pendengaran termasuk indra yang terletak di dalam telinga. Telinga

merupakan alat untuk menerima getaran yang berasal dari benda yang

bergetar, dan memberikan kesan suara pada kita. Terdiri dari tiga bagian,

yaitu (a) Telinga bagian luar ; (b) Telinga bagian tengah; dan (c) Telinga

bagian dalam.

2. Proses mendengar diawali dengan ditangkapnya energi bunyi oleh telinga

luar, lalu menggetarkan membran timpani dan diteruskan ke telinga tengah


melalui rangkaian tulang pendengaran yang akan mengamplifikasi getaran

tersebut dan masuk ke telinga dalam ditangkap oleh saraf pendengaran.

3. Otitis media supuratif kronis (OMSK) adalah peradangan pada mukosa

telinga tengah dan ruang mastoid yang berlangsung lebih dari 3 bulan

ditandai dengan adanya perforasi pada membran timpani dan keluarnya

cairan secara terus menerus atau hilang timbul dari liang telinga.

4. Penyebab terjadinya otitis media dengan atau tanpa diikuti adanya

perforasi membran timpani adalah bakteri. Dimana pada keadaan tanpa

perforasi bakteri inilah yang menjadi pemicu timbulnya infeksi akut,

sedangkan pada keadaan dengan perforasi membran timpani, bakteri ini

akan masuk ke dalam telinga tengah dan berkolonisasi.

5. Beberapa faktor yang menyebabkan OMA menjadi OMSK ialah terapi

yang terlambat diberikan, terapi yang tidak adekuat, virulensi kuman

tinggi, daya tahan tubuh pasien rendah (gizi kurang) atau higiene buruk.

6. Secara umum pasien dengan OMSK mengeluhkan keluarnya cairan secara

terus menerus atau hilang timbul dari liang telinga selama lebih dari 3

bulan dan setelah dilakukan pemeriksaan ditemukan adanya perforasi pada

membran timpani. Otitis media supuratif kronis dibedakan atas dua yaitu

OMSK tanpa kolesteatom/ tipe aman dan OMSK dengan kolesteatom/ tipe

bahaya.

7. Diagnosis OMSK dibuat berdasarkan gejala klinik pada pemeriksaan THT

terutama pemeriksaan otoskopi. Mengingat OMSK tipe bahaya seringkali


menimbulkan komplikasi yang berbahaya, maka perlu ditegakkan

diagnosis dini.

8. Terapi OMSK tidak jarang memerlukan waktu lama, serta harus berulang-

ulang. Sekret yang keluar tidak cepat kering atau selalu kambuh lagi. Ada

beberapa jenis pembedahan atau teknik operasi yang dapat dilakukan pada

OMSK dengan mastoiditis kronis, baik tipe aman atau bahaya.

9. Komplikasi pada otitis media supuratif kronik terbagi menjadi 2 yaitu

komplikasi intracranial dan ekstrakranial. Komplikasi intracranial terdiri

atas ekstratemporal dan intratemporal, sedangkan ekstrakranial terdiri atas

ekstradural dan intradural.

DAFTAR PUSTAKA

1. Iswari, M.Pd P, Nurhastuti,Dr. Anatomi, Fisiologi dan Genetika. Padang;

2018.

2. Sari JTY, Edwaard Y, Rosalinda R. Otitis media supuratif kronis tipe

kolesteatoma dengan komplikasi meningitis dan paresis nervus fasialis

perifer. Jurnal Kesehatan Andalas. 2018;7:87-85.

3. Djaafar ZA, Helmi, Restuti R. Kelainan Telinga Tengah, Dalam: Soepardi

EA. Buku Ajar THT-KL. Edisi 6. Jakarta. Balai Penerbit

FKUI.2007.h.66-77.
4. Oktaria D, Nasution SD. Laki-laki 28 tahun dengan otitis media supuratif

kronis maligna dan parese nervus fasialis perifer. J Agromed Unila.

2017;4(1):66-70.

5. Pangemanan DM, Palandeng OI, Pelealu OCP. Otitis media supuratif

kronik di Poliklinik THT-KL RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado

periode Januari 2014-Desember 2016. Jurnal e-Clinic. 2018;6(1):31-35.

6. Iskandar N, Soepardi E, Bashiruddin, et al. Buku ajar ilmu kesehatan

telinga hidung tenggorokan. Edisi 6. Jakarta. Balai Penerbit FKUI.2007.

7. Master A, Wilkinson E, Wagner R. Management of chronic suppurative

otitis media and otosclerosis in developing countries. Otolaryngol Clin N

Am. 2018;51:593-605.

8. Atmaca S, Yildirim U, Elmali M. Non-cholestetomatous chronic otitis

media complicated with suppurative labyrinthitis. B-ENT. 2018;14:41-44.

9. Sahoo AK, Preetam C, Samal DK, Sarkar S. Cetelli’s abscess following

otitis media: A case report. Irian Journal of

Otorhinolaryngology.2017;29(3):161-163.

10. Madryz EB, Leczycka MW, Robert B, Krzeski A. Head and meck

abscesses in complicated acute otitis media-pathways and classification.

Otolaryngology. 2018;8(2):1-7.

11. Kandakure VT, Khokle PD, Shah UR. Management of unsafe type of

chronic suppurative otitis media with extracranial complications at a

tertiary care. Indian Journal of Otology. 2018;24:129-134.


12. Kum RO, Ozcan M, Ulusal T, et al. A rare complication of chronic otitis

media: Cerebellar abscess. Turk Arch Otorhinolaryngol. 2017;55:140-

143.

13. Abhilasha S, Viswanatha. Lateral sinus thrombosis with pneumocephalus:

A rare complication of chronic suppurative otitis media. Journal of

Otolaryngology. 2019;11:166-169.

Anda mungkin juga menyukai

  • Bab 3
    Bab 3
    Dokumen9 halaman
    Bab 3
    Larasati Gilang Fuzi Astuti
    Belum ada peringkat
  • Jawaban 55 Soal Forensik
    Jawaban 55 Soal Forensik
    Dokumen23 halaman
    Jawaban 55 Soal Forensik
    Larasati Gilang Fuzi Astuti
    Belum ada peringkat
  • Kapan Kemoterapi Dihentikan
    Kapan Kemoterapi Dihentikan
    Dokumen23 halaman
    Kapan Kemoterapi Dihentikan
    Larasati Gilang Fuzi Astuti
    Belum ada peringkat
  • Slide Omsk
    Slide Omsk
    Dokumen28 halaman
    Slide Omsk
    Larasati Gilang Fuzi Astuti
    Belum ada peringkat
  • Referat Anestesi
    Referat Anestesi
    Dokumen36 halaman
    Referat Anestesi
    Larasati Gilang Fuzi Astuti
    Belum ada peringkat
  • Cover Hikmah
    Cover Hikmah
    Dokumen2 halaman
    Cover Hikmah
    Larasati Gilang Fuzi Astuti
    Belum ada peringkat