Anda di halaman 1dari 9

Tatalaksana Laryngospasme dan Bronkospasme selama Anestesi Umum

Hendrikus Gede Surya Adhi Putra1, Anak Agung Gde Agung Wibisana1, Dewa Ayu Mas
Shintya Dewi 2
1
Residen Anestesiologi dan Terapi Intensif, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana
2
Departemen/KSM Anestesiologi dan Terapi Intensif, Fakultas Kedokteran Universitas
Udayana/RSUP Sanglah

ABSTRAK
Bronkospasme selama prosedur anestesi umum merupakan salah satu kejadian yang tidak
diharapkan. Menurut beberapa literatur, etiologinya dapat disebabkan oleh proses anafilaksis,
factor mekanis, maupun farmakologis. Karakteristik utama dari bronkospasme adalah
pemanjangan waktu ekspirasi, mengi, dan peningkatan peak airway pressure. Identifikasi dan
penatalaksanaan segera dari bronkospasme selama anestesi umum harus dapat segera diketahui
agar tidak menyebabkan hipoksia berkepanjangan, hipotensi, dan peningkatan angka morbiditas
dan mortalitas. Pada kasus ini pasien laki – laki berusia 10 tahun, berat badan 43 kg dan tinggi
badan 150 cm. Pasien didiagnosis dengan webbed penis dan fimosis. Kesimpulan pada pasien
adalah ASA I. Pasien direncanakan untuk dilakukan eksisi web, rekonstruksi penis dan sirkumsisi
dengan anestesi umum dan dilakukan pemasangan laryngeal mask airway Rumatan anestesi
dengan O2:compressed air;sevoflurane, fentanyl berkala. Pasien mengalami desaturasi saat durasi
operasi berjalan 2 jam. Terdengar wheezing, waktu ekspirasi yang memanjang. Saturasi semakin
turun, dan tindakan operasi dihentikan sementara. Manajemen yang dilakukan oksigen dinaikkan
menjadi 100%, ventilasi manual dengan tangan, dalamkan anestesi. Setelah itu merubah teknik
anestesi menjadi anestesi umum dengan endotracheal tube. Pasien juga diberikan medikasi
dexamethasone 10 mg intravena. Setelah masalah tertangani, operasi dilanjutkan kembali.
Pascabedah pasien dirawat di ruangan. Pemberiaan anagetik yang diberikan di ruangan adalah
ibuprofen 400 mg tiap 8 jam intravena dan paracetamol 500 mg tiap 6 jam peroral. Penyebab utama
dari bronkospasme harus diketahui segera selama penatalaksanaan yang dilakukan.

Kata kunci: bronkospasme, anestesi umum

ABSTRACT

Bronchospasm during general anesthetic procedures is an unexpected event. According to some


literature, the etiology can be caused by anaphylactic processes, mechanical factors, or
pharmacological factors. The main characteristics of bronchospasm are prolonged expiration,
wheezing, and increased peak airway pressure. The identification and prompt management of
bronchospasm during general anesthesia must be known immediately so as not to cause prolonged
hypoxia, hypotension, and increased morbidity and mortality. In this case the patient is a 10 year
old male, weighing 43 kg and height 150 cm. The patient was diagnosed with webbed penis and
phimosis. The conclusion of the patient was ASA I. The patient was planned for web excision,
penile reconstruction and circumcision under general anesthesia and installation of a laryngeal
mask airway Maintenance of anesthesia with O2:compressed air; sevoflurane, periodic fentanyl.
The patient experienced desaturation when the duration of the operation was 2 hours. Wheezing is
heard, expiratory time is prolonged. The saturation is getting lower, and the operation is paused.
Management carried out oxygen was increased to 100%, manual ventilation by hand, deepen
anesthesia. After that change the anesthetic technique to general anesthesia with an endotracheal
tube. The patient was also given dexamethasone 10 mg intravenously. After the problem is
resolved, the operation is resumed. Postoperatively the patient was treated in the room. The
anesthetic given in the room was ibuprofen 400 mg every 8 hours intravenously and paracetamol
500 mg every 6 hours orally. The main cause of bronchospasm must be identified immediately
during treatment.
Keywords: bronchospasm, general anesthesia

I. Pendahuluan
Bronkospasme adalah bentuk paling sering dari reactive airway disease. Manifestasi dari
bronkospasme selama anestesi adalah wheezing ekspirasi, waktu ekspirasi yang memanjang, dan
atau peningkatan Intermittent positive pressure ventilation (IPPV). Wheezing biasanya terdengar
melalui auskultasi ataupun tanpa auskultasi, tapi hanya dapat terdengar jika terdapat aliran udara
pada jalan napas pasien. Oleh karenanya, pada kasus-kasus dengan bronkospasme berat, biasanya
tidak terdengar apapun pada auskultasi dan diagnosis hanya berdasarkan pada
peningkatan tekanan inflasi. Laringospasme merupakan keaadaan menutupnya glottis secara
mendadak akibat reflek kontriksi dari otot laring. Gejala yang timbul pasien bisa berupa batuk,
stridor, terjadi desaturasi (penurunan saturasi oksigen), dan bradikardi. Iritasi jalan napas yang
disebabkan batuk pada pasien pediatrik dapat menyebabkan laringospasme yang mengancam
jiwa.1

Laringospasme sering terjadi sebagai komplikasi pada pasien pediatrik dengan operasi jalan
napas atas, dan jika terlambat dalam penanganannya dapat menyebabkan morbiditas dan
mortalitas, seperti hipoksemia, aspirasi pulmonal, dan post obstructive pulmonary oedema. Pasien
pediatrik lebih mudah terjadi obstruksi jalan napas, ini disebabkan karena pediatrik mempunyai
lumen laring dan trakea yang sempit yang dapat terhambat oleh oedem mukosa yang disebabkan
trauma. Beberapa faktor pencetus laringospasme diantaranya: manipulasi jalan napas seperti
intubasi maupun ekstubasi, adanya benda asing di laring (misal darah atau sekret), atau stadium
light anestesi pada pasien non-intubasi seperti regurgitasi, muntah, stimulasi pembedahan, agen
inhalasi yang iritatif, atau kegagalan delivery system.1-3
Ada beberapa cara untuk mencegah terjadinya laringospasme pada saat ekstubasi diantaranya
menggunakan agen inhalasi yang tidak iritatif (sevofluran atau halotan), ekstubasi saat anestesi
dalam, lidokain dosis 1,5 –2mg/kgbb intravena, magnesium intravena dan lidokain spray pada
glottis sebelum ekstubasi. Selama emergence dari general anesthesia iritasi pada jalan napas pada
ekstubasi dapat menyebabkan batuk yang dapat menyebabkan efek yang serius, reflek batuk yang
terjadi merupakan respon proteksi jalan napas terhadap aspirasi. Batuk selama emergence dari
general anestesia dapat menyebabkan keadaan yang berpotensi menimbulkan masalah seperti
hipertensi, takikardi, aritmia, iskemia miokard, perdarahan, bronkhospasme dan peningkatan
tekanan intrakanial dan intraokuler. Untuk mencegah batuk saat ekstubasi dapat dengan cara
ekstubasi dalam, pemberian lidokain intravena, opioid, dexmedetomidine dan pemberian lidokain
topical. Lidokain sudah banyak digunakan untuk mencegah laringospasme dan batuk melalui
mekanisme menyebabkan inhibisi transmisi impuls di tingkat sinaps dan penekanan pada reflek
otonom, termasuk reflek pada faring, laring dan trakea serta interupsi jalur reflek di tingkat sentral
atau aksi langsung ke perifer. Beberapa penelitiantentang lidokain dalam mencegah laringospasme
dan batuk diantarannya pemberian lidokain 1,5-2mg/kgbb dapat menurunkan insidensi
laringospasme dan insidensi batuk sebesar. Sedangkan propofol diduga efektif mencegah
laringospasme dan batuk dengan cara menghambat reseptor NMDA di batang otak dan
menghambat jalur ascendendari trakea.1-4
Bronkospasme adalah bentuk paling sering dari reactive airway disease. Pasien dengan asma
dan chronic obstructive pulmonary disease (COPD) menunjukkan adanya hipersensitivitas jalan
napas sebagai respon terhadap iritan mekanis atau farmakologis. Terdapat kombinasi dari
konstriksi otot polos bronkus, edeme mukosa jalan napas, dan hipersekresi mukosa yang akhirnya
menyebabkan obstruksi jalan napas. Bronkospasme perioperatif pada pasien dengan reactive
airway disease sebenarnya cukup jarang terjadi. Pada pasien dengan asma dan COPD terkontrol,
insidensinya hanya sekitar 2% sedangkan insidensi bronkospasme selama anestesi umum berkisar
0.2 %.1-3
Manifestasi dari bronkospasme selama anestesi adalah wheezing ekspirasi, waktu ekspirasi
yang memanjang, dan atau peningkatan Intermittent positive pressure ventilation (IPPV).
Wheezing biasanya terdengar melalui auskultasi ataupun tanpa auskultasi, tapi hanya dapat
terdengar jika terdapat aliran udara pada jalan napas pasien. Oleh karenanya, pada kasus-kasus
dengan bronkospasme berat, biasanya tidak terdengar apapun pada auskultasi dan diagnosis hanya
berdasarkan pada peningkatan tekanan inflasi. 2 Airway soiling (misalnya karena peningkatan
sekresi jalan napas, regurgitasi atau aspirasi; lebih sering pada pasien dengan Laryngeal Mask
Airway (LMA) daripada Endotracheal Tube (ETT). 1-3

Kasus
Anamnesa
Pasien laki – laki berusia 10 tahun, berat badan 43 kg dan tinggi badan 150 cm datang dengan
sadar dengan rencana operasi rekonstruksi penis. Dikatakan ibunya keluhan pada penis dirasakan
sejak baru lahir, saat baru lahir ibunya masih rutin memeriksakan anaknya ke dokter spesialis
bedah anak sampai saat ini. Saat ini pasien hanya mengeluhkan terkadang terasa nyeri pada penis.
Keluhan nyeri saat buang air kecil, buang air kecil berpasir, dan keluar darah saat buang air kecil
disangkal. Makan dan minum dikatakan baik. Keluhan demam, batuk, pilek, dalam 2 minggu
terakhir disangkal. Pasien merupakan siswa yang masih bisa melakukan aktivitas berat di rumah
tanpa ada keluhan sesak dan nyeri dada.

Pemeriksaan Fisik
Kesadaran compos mentis dengan GCS E4V5M6. Pupil isokor 3mm/3mm, reflek cahaya positif
pada kedua mata. Tekanan darah 100/60 mmHg, laju nadi 98 x/ menit, laju nafas 18 x/menit, suhu
36,2oC. Bunyi jantung I dan II tunggal, reguler, tidak didapatkan murmur dan gallop. Paru
vesikuler, tidak didapatkan ronki dan wheezing di kedua lapang paru. Pada pemeriskaan abdomen
tidak ditemukan distensi, soepel, nyeri tekan tidak ada, bising usus normal, hepar dan lien tidak
membesar. Ekstremitas hangat, tidak ada edema, tidak sianosis dan tidak ikterik. Pada pemeriksaan
urogenital, buang air kecil spontan.

Pemeriksaan Laboratorium
Dari data hasil pemeriksaaan laboratorium didapatkan Hemoglobin 12,8 g/dl, Hematokrit 38,7%,
Leukosit 8,810 x 103/µL, Trombosit 224 x 103/µL, Ureum 13,5 mg/dl, Kreatinin 0,6 mg/dl.
Pemeriksaan faal hemostasis menunjukkan nilai PPT 10,3 detik, APTT 29,9 detik, INR 0,90.

Diagnosis dan Tatalaksana


Pasien didiagnosis dengan Webbed Penis dan Fimosis. Kesimpulan akhir status fisik ASA pada
pasien adalah ASA I. Pasien direncanakan untuk dilakukan Eksisi web, Rekonstruksi Penis dan
sirkumsisi dengan anestesi umum.

Pengelolaan Anestesi
Sebelum operasi dilakukan, pasien diminta Informed consent, SIO, puasa 2 jam (air putih),
STATICS pediatri, obat obat anestesi dan emergency, infus warmer, blanket warmer, perhitungan
dosis obat dan cairan pada anak. Pasien diberikan premedikasi beruapa midazolam 1,5 mg IV dan
ketamin 10 mg. Di kamar operasi, pasien diberikan fentanyl 1 mcg/kgbb dan sevoflurane hingga
pasien terhipnosis sambil diberikan oksigenasi. Airway dan hemodinamik tetap dijaga. Setelah
pasien tersedasi, dilakukan pemasangan laryngeal mask airway Rumatan anestesi dengan
O2:compressed air;sevoflurane, fentanyl intermitten 0,1 mcg/kgBB tiap jam. Pasien mengalami
desaturasi saat durasi operasi berjalan 2 jam. Terdengar wheezing, waktu ekspirasi yang
memanjang. Saturasi semakin turun, dan tindakan operasi dihentikan sementara. Manajemen yang
dilakukan oksigen dinaikkan menjadi 100%, ventilasi manual dengan tangan, dalamkan anestesi.
Setelah itu merubah teknik anestesi menjadi anestesi umum dengan pipa endotrakea. Pasien juga
diberikan medikasi dexamethasone 10 mg intravena. Setelah masalah tertangani, operasi
dilanjutkan kembali.
180

160

140

120

100

80

60

40

20

0
08.00 08.15 08.30 08.45 09.00 09.15 09.30 09.45 10.00 10.15 10.30

TD Sistolik (mmHg) TD Diastolik (mmHg) RR (x/menit)


Nadi (x/menit) Suhu © SpO2 (%)

Grafik 1. Hemodinamika Pasien Selama Prosedur

Pascabedah
Pascabedah pasien dirawat di Ruangan. Pemberiaan anagetik yang diberikan di ruangan adalah
ibuprofen 400 mg tiap 8 jam intravena dan paracetamol 500 mg tiap 6 jam peroral.

Diskusi
Spasme laring didefinisikan sebagai penutupan refleks dari pita suara sejati dan palsu,
patogenesis yang tepat dari refleks ini masih diperdebatkan. Spasme laring lengkap didefinisikan
sebagai penutupan pita suara palsu dan terjadi aposisi permukaan laringeus dari epiglotis dan
interaritenoid. Efeknya adalah udara tidak dapat masuk dan terjadi suara nafas tambahan, tidak
adanya pergerakan paru ataupun kapnogram. Sebaliknya, spasme laring parsial didefinisikan
sebagai aposisi yang tidak lengkap dari pita suara dengan celah kecil residual di posterior yang
menyebabkan stridor inspirasi yang persisten, gerakan terbatas dari paru, dan meningkatnya usaha
pernapasan 1-2. Spasme laring pada periode perioperatif disebabkan oleh spasme kuat involunter
dari otot laring yang disebabkan oleh stimulasi sensorik dari saraf laringeal superior. Rangsangan
pemicu termasuk sekresi faring atau saat pipa endotrakeal dilepas dari laring. Spasme laring
dicegah dengan ekstubasi dalam atau ekstubasi sadar sepenuhnya, walaupun tetap dapat terjadi
pada ekstubasi sadar.3
Sedangkan bronkospasme adalah bentuk paling sering dari reactive airway disease. Pasien
dengan asma dan chronic obstructive pulmonary disease (COPD) menunjukkan adanya
hipersensitivitas jalan napas sebagai respon terhadap iritan mekanis atau farmakologis. Terdapat
kombinasi dari konstriksi otot polos bronkus, edeme mukosa jalan napas, dan hipersekresi mukosa
yang akhirnya menyebabkan obstruksi jalan napas. Bronkospasme perioperative pada pasien
dengan reactive airway disease sebenarnya cukup jarang terjadi. Pada pasien dengan asma dan
COPD terkontrol, insidensinya hanya sekitar 2% sedangkan insidensi bronkospasme selama
anestesi umum berkisar 0.2 %.1-4
Penutupan pita suara akibat konstriksi otot laringeal intrinsic merupakan refleks protektif jalan
nafas untuk mencegah aspirasi ke paru. Secara normal dicetuskan oleh stimulus periglotis yang
dimediasi oleh nervus Vagus. Serabut sensorik dari reseptor mekanik, kimia, dan termal naik
melalui nervus Vagus melalui cabang internal dari nervus Laringeal superior. Densitas reseptor
tertinggi berada di posterior dari pita suara sejati tempat di mana benda asing biasanya berada.
Respon motoric diteruskan melalui 3 otot laringeal intrinsik utama yaitu krikoaritenoid lateral,
tiroaretenoid (aduktor glotis) dan krikoaretenoid (tensor glottis) yang semuanya dipersarafi oleh
nervus Vagus melalui nervus Laringeal superior cabang eksternal. Penutupan glotis terjadi oleh
karena aduksi pita suara sejati atau dengan penutupan pita suara palsu. Selain itu jaringan lunak
supraglotis juga mempengaruhi glotis saat terjadi penarikan ke bawah akibat peningkatan beda
tekanan translaringeal saat usaha bernafas jalan nafas yang mengalami obstruksi. Jaringan lunak
ini menekan laring sehingga tekanan intralaringeal menjadi subatmosferik yang dapat dibantu
dengan pemberian tekanan positif jalan nafas kontinu (continuous positive airway pressure /
CPAP). Pada pasien yang sadar, penutupan laring memiliki kontrol volunteer dari pusat serebral,
sehingga masih dapat dikendalikan setelah episode aspirasi potensial selesai. Namun pada saat
anestesi, spasme laring disebabkan oleh gangguan mekanisme inhibisi sentral. Refleks penutupan
glotis terjadi bukan pada fase ekspirasi namun pada fase inspirasi. Hiperkapnia melindungi
melawan reflek penutupan glotis dengan menekan aktivitas aduktor dan hipokapnia membuat
penutupan glottis lebih lama. Hipoksia (PaO2 < 50 mmHg) juga memiliki efek depresi terhadap
neuron aduktor, namun PaO2 >50 mmHg hanya memiliki sedikit efek terhadap penutupan glotis.
Hal ini mendukung pernyataan, spasme laring dapat hilang pada saat hipoksia berat.5-8

Temuan klinis awal pada spasme laring antara lain stridor inspirasi lemah, retraksi
suprasternal dan supraclavicular, dan peningkatan gerakan diafragma. Apabila usaha inspirasi
meningkat maka terdengar stridor yang lebih keras dan gerakan nafas lebih keras. Tekanan
intrathoracic negatif yang besar yang dihasilkan oleh pasien yang mengalami spasme laring dapat
mengakibatkan edema paru tekanan negatif, bahkan pada pasien yang sehat. Progresivitas spasme
laring ditandai dengan glotis yang hampir tertutup dan usaha untuk inspirasi terhenti. Akibatnya,
terjadi desaturasi oksigen yang akan diikuti dengan bradikardia dan henti jantung 8-10
Manajemen spasme laring mencakup algorithma tatalaksana yang bersifat urgensi. Segera
setelah diagnosis dicurigai, berikan oksigen 100% sungkup wajah (dengan perekat karet) harus
segera diberikan, dengan tekanan udara positif 15-20 cmH2O. Tekanan lebih dari 20 cmH2O dapat
menyebabkan inflasi gaster. Jika spasme laring disebabkan oleh adanya darah, sekresi, atau benda
asing di saluran napas, maka harus segera dikeluarkan. Apabila diperlukan dapat menggunakan
laringoskop untuk melihat adanya benda asing di dalam laring. Setelah itu lakukan manuver
dorong rahang (jaw thrust) 3-5 detik lalu lepas 5-10 detik sambil mempertahankan kerapatan
sungkup wajah. Tindakan ini akan memberikan rangsangan nyeri sehingga diharapkan pasien akan
terbangun dan membuka pita suara. Selain memberikan rangsang nyeri, manuver ini dapat
mengurangi obstruksi jalan nafas atas akibat lidah dan jaringan suprglotis pada pasien yang
teranestesi. Bila diperlukan dapat memasang alat OPA (oropharyngeal airway) untuk memastikan
patensi jalan nafas supraglotis. Manuver jaw thrust tidak efektif bila dilakukan pada sudut
mandibula karena daerah ini mengandung lebih sedikit serabut nyeri dan tidak memutar sendi
temporomandibular. Spasme laring tidak akan bertambah berat jika pita suara bergerak atau pasien
menangis. Oleh karena ini manuver jaw thrust yang efektif sangat membantu. Jika ventilasi
tekanan positif dengan oksigen 100% dan manuver jaw thrust gagal mengintervensi spasme laring,
maka anestesi dapat didalamkan dengan memberikan lidokain intravena (1–1,5 mg/kg), Atropin
IV atau IM (0,02 mg/kg), propofol IV (0.5 mg / kg) – pilihan utama, dan succinylcholine IV atau
IM (0.1 hingga 2 mg / kg IV atau 4 hingga 5 mg /kg IM). Propofol menjadi pilihan utama dengan
keberhasilan 75% kasus. Propofol dapat diberikan untuk mencegah pemberian pelumpuh otot.
Oleh karena itu pada pasien anak atua dewasa, bila direncanakan induksi dengan gas atau teknik
nafas spontan, sangat berguna untuk menyediakan propool sebagai obat emergensi selain atropin
dan suksinilkolin. Suksinilkolin merupakan pilihan kedua setelah propofol bila propofol gagal
mengurangi spasme laring. Dosis suksinilkolin 0.1 mg/kg dilaporkan dapat mengurangi spasme
laring namun tetap menjaga nafas spontan. Setelah spasme laring berhasil ditangani, ventilasi harus
didukung dengan oksigen 100%. Apabila terjadi edema paru, dapat dilakukan intubasi.5-7 Spasme
laring dapat dicegah dengan cara lidokain 2% topikal atau intravena 1 mg/kg pada saat sebelum
ekstubasi, Ekstubasi sadar, jangan melakukan ekstubasi pada saat pasien belum bangun sempurna
atau pada saat pasien terbatuk, atau lakukan ekstubasi pada saat pasien sudah sadar baik. Jangan
berikan stimulasi pada saat ekstubasi kempiskan balon cuff selang endotrakea pada saat akan
ekstubasi.4-7
Intubasi dan anestesi menurunkan forced vital capacity (FVC) yang akan menyebabkan
desaturasi. Secara klinis, pasien dengan Riwayat dispnea nokturnal, rasa dada terikat saat bangun,
sulit bernafas, dan mengi pada paparan air dingin atau iritan lainnya memiliki resiko spas
mebronkus intraoperasi. Tes faal paru (pulmonary function tests / PFT) menunjukkan konstriksi
dan reversibilitasnya. Pengukuran spirometry forced vital capacity in 1 second (FVC1)
menunjukkan derajat konstriksi dan reversilibiltasnya pada pemberian bronkodilator. Pengukuran
kecepatan aliran ekspirasi puncak (peak expiratory flow rate / PEFR) menunjukkan variabilitas
yang rendah, bila terjadi penurunan 15-20% di pagi hai menunjukkan kecurigaan jalan nafas yang
hiperreaktif. Infeksi pernafasan yang terjadi 4-6 minggu lalu pada anak-anak dapat meningkatkan
reaktivitas bronkus yang dapat dibuktikan dengan penurunan PEFR. Merokok dapat meningkatkan
resiko spasme bronkus. Delapan jam menghentikan rokok, kadar monoksida dalam darah turun
dan kapasitas angkut oksigen dari hemoglobin akan meningkat yang pada jam ke-48-72 diikuti
dengan bronkodilatasi. Pada bulan ke-1-3 terjadi pertumbuhan silier dan fungsi mukosilier
meningkat. Diagnosa banding spasme bronkus intraoperatif antara lain, obstruksi mekanik selang
endotrakea, anestesi yang kurang dalam sehingga usaha bernafas masih ada, intubasi endobronkial,
aspirasi paru, edema paru, emboli paru, pneumothoraks, dan serangan asma akut.5-9

Spasme bronkus dapat terjadi pada saat anestesi, penting untuk menambah kedalaman anestesi
dengan meningkatkan konsentrasi anestesi inhalasi halotan atau agen lainnya. Pada saat spasme
bronkus, konsentrasi alveolar lebih sedikit dibandingkan konsenstrasi inspirasi dan tidak efektif
untuk anestesi yang dalam. Mendalamkan anestesi dapat mengurangi spasme bronkus. Akan tetapi
efek samping depresi kardiovaskuler harus dipertimbangkan pada saat mendalamkan anestesi.
Pada pasien yang bernafas spontan, memberikan pelumpuh otot dapat menurunkan refleks
bronkokonstriksi dengan menghilangkan batuk dan tahanan. Efek dari spasme bronkus adalah
alveoli kurang terventilasi dengan baik sehingga risiko hipoksemia meningkat. Vasodilatasi
pembuluh darah paru akibat pemberian agen bronkodilator dapat meningkatkan kegagalan
distribusi oksgen ini sehingga resiko hipoksemia semakin meningkat. Oleh karena itu perlu
diberikan oksigen 100% untuk menjaga oksigenasi yang cukup. Epinefrin harus diberikan beserta
salbutamol nebulisasi untuk asma serangan berat. Salbutamol aerosol dengan dosis 200-400 mcg
dapat diberikan melalui sirkuit mesin nafas ke selang endotrakea disertai pemberian oksigen yang
cukup untuk menjaga saturasi oksigen 90%. Banyak obat akan terdeposisi di sirkuit atau selang
endotrakea, oleh karena itu dosis harus dinaikkan 3-4 kali dosis biasanya. Pemberian yang efektif
adalah 20-30 menit sebelum anestesi sebagai pencegahan spasme bronkus. Salbutamol juga dapat
diberikan 250 mcg intravena pelan lalu 5 mcg/menit titrasi hingga 20 mcg/menit infus drip. Dapat
juga diberikan glikopirolat 1 mg intratrakea, lidokain 1.5-2 mg/kg intravena, hidrokortison 100-
200 mg intravena atau metilprednisolon 125 mg intravena yang dapat menetralkan efek takikinin.
Kortikosteroid inhalasi dilaporkan dapat mencetuskan bronkospasme, namun dapat dicegah
dengan pemberian bronkodilator sebelumnya. Diikuti pemberian aminofilin 5-6 mg/kg IV dalam
30 menit jika spasme bronkus tidak berespon terhadap pemberian epinefrin. Aminofilin
meningkatkan cAMP intraseluler melalui penghambatan fosfodiesterase dan efek hambatan
pelepasan histamin dan interleukin yang secara teori aditif terhadap epinefrin. Dapat juga diberikan
anestesi volatil, ketamin dan magnesium sulfat 2 gram dalam 20 menit intravena atau preparasi
inhalasi terutama pasien penderita asma serangan berat.5-10

KESIMPULAN
Laringospasme dan bronkospasme perioperatif mempunyai berbagai macam gejala, mulai dari
complete silent chest ketika dilakukan auskultasi sampai dengan suara tambahan pada ekspirasi.
Penatalaksanaan yang dilakukan bukan saja terfokus pada terapi penyebabnya , tetapi juga gejala
dan tanda yang berkembang pada pasien. Sangatlah penting untuk mendokumentasikan kondisi
pasien dan pengobatan yang diberikan agar bisa menjadi pembelajaran untuk anestesiologis lain
jika kondisi yang sama terjadi, sehingga dapat diberikan terapi yang optimal.

DAFTAR PUSTAKA
1. Looseley A. Management of bronchospasm during general anaesthesia. Updat Anaesth.
2011;27(1):17-21.
2. Westhorpe RN, Ludbrook GL, Helps SC. Crisis management during anaesthesia:
bronchospasm. Qual Saf Health Care. 2005;14(3):1-6. doi:10.1136/qshc.2002.004457
3. MR A, Mojibuddin, S A, R K, KR K, D P. Bronchospasm during general anaesthesia-an
alarming. KYAMC J. 2018;8(2):27-30.
4. Sethi C, Kumar R, Shambhavi. Crisis Management of Perioperative Bronchospasm in a Neonate
with Sepsis. Sch J Appl Med Sci. 2017;5(7A):2552-2554. doi:10.21276/sjams
5. Davis P, Cladis F. Smith’s Anesthesia for Infants and Children. 9th ed. Philadelphia: Elsevier;
2016.
6. Stergiouda Z, Gkiouliava A, Koraki E. A case of persistent bronchospasm after anesthesia
induction. Greek EJournal Perioper Med. 2017;16(b):61-74.
7. Kocaturk O, Oguz E. The effect of preoperative anxiety on the incidence of perioperative
bronchospasm: a prospective observational study. Med Sci | Int Med J. 2017:1.
doi:10.5455/medscience.2017.06.8654
8. De La Cruz I, Errando C, Calaforra S. Treatment of anaphylaxis to rocuronium with
Sugammadex: A case report with bronchospasm as the only symptom. Turkish J Anaesthesiol
Reanim. 2019;47(1):69-72. doi:10.5152/TJAR.2019.21298
9. Tassoudis V, Ieropoulos H, Karanikolas M, et al. Bronchospasm in obese patients undergoing
elective laparoscopic surgery under general anesthesia. Springerplus. 2016;5(1).
doi:10.1186/s40064-016-2054-3
10. Dewachter P, Mouton-Faivre C, Emala CW, Beloucif S. Case scenario: Bronchospasm during
anesthetic induction. Anesthesiology. 2011;114(5):1200-1210. doi:
10.1097/ALN.0b013e3182172cd3

Anda mungkin juga menyukai