Anda di halaman 1dari 10

LAPORAN PENDAHULUAN

KEGAWATDARURATAN PADA SISTEM PERNAFASAN : ASMA ATTACK


DI RUANG INSTALASI GAWAT DARURAT RSUD dr. M. ASHARI KABUPATEN
PEMALANG

Oleh:

AMALIYAH HUSNI
G3A016123

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG
2017
LAPORAN PENDAHULUAN
ASTHMA ATTACK

A. Pengertian
Asma merupakan penyakit inflamasi kronik saluran napas yang disebabkan oleh
reaksi hiperresponsif sel imun tubuh seperti sel mast, eosinofil, dan limfosit-T terhadap
stimulus tertentu dan menimbulkan gejala dyspnea, wheezing, dan batuk akibat obstruksi
jalan napas yang bersifat reversibel dan terjadi secara episodik berulang (Brunner &
Suddarth, 2001). Pendapat serupa juga menyatakan bahwa asma merupakan reaksi
hiperresponsif saluran napas yang berbeda-beda derajatnya dan menimbulkan fluktuasi
spontan terhadap obstruksi jalan napas (Lewis et al., 2000).
B. Faktor Pencetus
Menurut The Lung Association of Canada, ada dua faktor yang menjadi pencetus
asma yaitu Pemicu Asma (Trigger) dan Penyebab Asma (Inducer). Sedangkan Lewis et al
(2000) tidak membagi pencetus asma secara spesifik. Menurut mereka, secara umum
pemicu asma adalah:
1. Alergen
Dimana alergen dapat dibagi menjadi 3 jenis, yaitu:
a. Inhalan, yang masuk melalui saluran pernapasan seperti debu, bulu binatang,
serbuk bunga, spora jamur, bakteri dan polusi.
b. Ingestan, yang masuk melalui mulut yaitu makanan (seperti buah-buahan dan
anggur yang mengandung sodium metabisulfide) dan obat-obatan (seperti aspirin,
epinefrin, ACE- inhibitor, kromolin).
c. Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit.
Pada beberapa orang yang menderita asma respon terhadap Ig E jelas merupakan
alergen utama yang berasal dari debu, serbuk tanaman atau bulu binatang. Alergen ini
menstimulasi reseptor Ig E pada sel mast sehingga pemaparan terhadap faktor
pencetus alergen ini dapat mengakibatkan degranulasi sel mast. Degranulasi sel mast
seperti histamin dan protease sehingga berakibat respon alergen berupa asma.
2. Olahraga
Sebagian besar penderita asma akan mendapat serangan jika melakukan aktivitas
jasmani atau olahraga yang berat. Serangan asma karena aktifitas biasanya terjadi
segera setelah selesai beraktifitas. Asma dapat diinduksi oleh adanya kegiatan fisik
atau latihan yang disebut sebagai Exercise Induced Asthma (EIA) yang biasanya
terjadi beberapa saat setelah latihan.misalnya: jogging, aerobik, berjalan cepat,
ataupun naik tangga dan dikarakteristikkan oleh adanya bronkospasme, nafas pendek,
batuk dan wheezing. Penderita asma seharusnya melakukan pemanasan selama 2-3
menit sebelum latihan.
3. Infeksi bakteri pada saluran napas
Infeksi bakteri pada saluran napas kecuali sinusitis mengakibatkan eksaserbasi pada
asma. Infeksi ini menyebabkan perubahan inflamasi pada sistem trakeo bronkial dan
mengubah mekanisme mukosilia. Oleh karena itu terjadi peningkatan hiperresponsif
pada sistem bronkial.
4. Stres
Stres / gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan asma, selain itu juga bisa
memperberat serangan asma yang sudah ada. Penderita diberikan motivasi untuk
mengatasi masalah pribadinya, karena jika stresnya belum diatasi maka gejala
asmanya belum bisa diobati.
5. Gangguan pada sinus
Hampir 30% kasus asma disebabkan oleh gangguan pada sinus, misalnya rhinitis
alergik dan polip pada hidung. Kedua gangguan ini menyebabkan inflamasi membran
mukus.
C. Manifestasi Klinik
Menurut Jones dan Barlett (2001) ada beberapa gejala serangan asma, yaitu:
Batuk. Batuk adalah respon tubuh terhadap iritasi pada saluran napas. Pada
penderita asma akan membatukkan lender untuk melonggarkan jalan napas. Batuk
akan meningkat jika berbaring.
Mengi. Bunyi ini disebabkan oleh menyempitnya jalan napas daan terdengar pada
saat menghirup dan menghembuskan napas.
Sesak dada dan napas pendek. Ini terutama terjadi pada latihan yang keras. Selama
serangan yang parah, cuping hidung mengembang dan otot bantu pernapasan
digunakan.
Peningkatan denyut nadi dan kecepatan pernapasan
Kulit pucat
Keletihan
Gelisah
D. Klasifikasi
Asma dapat diklasifikasikan berdasarkan etiologi, berat penyakit dan pola
keterbatasan aliran udara. Klasifikasi asma berdasarkan berat penyakit penting bagi
pengobatan dan perencanaan penatalaksanaan jangka panjang. Semakin berat asma
semakin tinggi tingkat pengobatan (Depkes RI, 2007). Pengklasifikasian asma dapat
dilakukan dengan pengkajian terhadap gejala dan kemampuan fungsi paru. Semakin
sering gejala yang dialami, maka semakin parah asma tersebut. Begitu juga dengan
kemampuan fungsi paru yang diukur dengan Peak Flow Meters untuk mengetahui Peak
Expiratory Flow (PEF) dan Spyrometers untuk mengukur Force Expiratory Volume
dalam satu detik (FEV1) disertai dengan Force Vital Capacity (FVC). Semakin rendah
kemampuan fungsi paru, maka semakin parah asma tersebut (GINA, 2004).
Menurut Somantri (2008), berdasarkan etiologinya, asma bronkial dapat diklasifikasikan
menjadi 3 tipe, yaitu:
1. Ekstrinsik (alergik)
Tipe asma ini merupakan jenis asma yang ditandai dengan reaksi alergi oleh karena
faktor-faktor pencetus yang spesifik, seperti debu, serbuk bunga, bulu binatang, obat-
obatan (antibiotik dan aspirin) dan spora jamur. Asma ekstrinsik sering dihubungkan
dengan adanya suatu predisposisi genetik terhadap alergi. Paparan terhadap alergi akan
mencetuskan serangan asma. Gejala asma umumnya dimulai saat kanak-kanak.

2. Intrinsik (idiopatik atau non alergik)


Tipe asma ini merupakan jenis asma yang ditandai dengan adanya reaksi non alergi yang
bereaksi terhadap pencetus yang tidak spesifik atau tidak diketahui, seperti udara dingin
atau bisa juga disebabkan oleh adanya infeksi saluran pernapasan, emosi dan aktivitas.
Serangan asma ini menjadi lebih berat dan sering sejalan dengan berlalunya waktu dan
dapat berkembang menjadi bronkitis kronik dan emfisema. Pada beberapa pasien, asma
jenis ini dapat berkembang menjadi asma gabungan.

3. Asma gabungan
Jenis asma ini merupakan bentuk asma yang paling umum dan sering ditemukan. Asma
ini mempunyai karakteristik dari bentuk alergi maupun bentuk idiopatik atau nonalergik.

E. Patofisiologi
Kejadian patofisiologis ini
mengakibatkan obstruksi jalan napas
yang memburuk saat ekspirasi.
Obstruksi jalan napas menyebabkan
ketidakcocokan V/Q dan hipoksemia
sejak dini. Terperangkapnya udara
menyebabkan otot-otot pernapasan
berada pada posisi mekanis yang
tidak menguntungkan dengan
peningkatan beban kerja pernapasan
yang kemudian mengakibatkan
penurunan ventilasi dan hiperkapnia. Dengan demikian, sebagian besar pasien dengan
gejala akut mulai dengan respirasi cepat, hipoksemia, dan alkalosis respirasi, tetapi
obstruksi jalan napas persisten mengakibatkan ventilasi dangkal yang tidak efisien dan
asidosis respirasi.

F. Pathway
G. Pemeriksaan Diagnostik
1. Spirometri
Untuk menunjukkan adanya obstruksi jalan nafas.
2. Tes provokasi :
1) Untuk menunjang adanya hiperaktifitas bronkus.
2) Tes provokasi dilakukan bila tidak dilakukan lewat tes spirometri.
3) Tes provokasi bronkial seperti :
a. Tes provokasi histamine
b. Metakolin
c. Alergen
d. Kegiatan jasmani
e. Hiperventilasi dengan udara dingin
f. Inhalasi dengan aqua destilata.
4) Tes kulit : Untuk menunjukkan adanya anti bodi Ig E yang spesifik dalam tubuh.
3. Pemeriksaan kadar Ig E total dengan Ig E spesifik dalam serum.
4. Pemeriksaan radiologi umumnya rontgen foto dada normal.
5. Analisa gas darah dilakukan pada asma berat.
6. Pemeriksaan eosinofil total dalam darah.
7. Pemeriksaan sputum.

H. Pengkajian
1. Pengkajian Primer
a. Airway
Krekels, ronkhi, batuk keras, kering/produktif. Penggunaan otot otot aksesoris
pernapasan ( retraksi interkosta)
b. Breathing
Perpanjangan ekspirasi , mengi, perpendekan periode inspirasi, sesak napfas,
hipoksia
c. Circulation
Hipotensi, diaforesis, sianosis, pulsus paradoxus > 10 mm
2. Pengkajian sekunder
a. Riwayat penyakit sebelumnya
Alergi, batuk pilek, menderita penyakit infeksi saluran nafas bagian atas
b. Riwayat perawatan keluarga
Adakah riwayat penyakit asma pada keluarga
c. Riwayat sosial ekonomi
Jenis pekerjaan dan waktu luang, jenis makanan yang berhubungan dengan
alergen, hewan piaraan, lingkungan tempat tinggal dan stressor emosi

I. Asuhan Keperawatan
1. Diagnosa 1
Diagnosa:
Bersihan jalan nafas tak efektif berhubungan dengan akumulasi mukus.
Tujuan :
Dalam asuhan keperawatan 1 x 24 jam, Jalan nafas kembali efektif
Kriteria Hasil :
a. Sesak berkurang
b. Batuk berkurang
c. Klien dapat mengeluarkan sputum
d. Wheezing berkurang/hilang
e. Vital dalam batas normal
f. Keadaan umum baik.
Intervensi :
a. Observasi system pernafasan klien
Rasional : Beberapa derajat spasme bronkus terjadi dengan obstruksi jalan nafas.
Bunyi nafas redup dengan ekspirasi mengi (empysema), tak ada fungsi nafas (asma
berat).
b. Berikan Air Hangat
Rasional : penggunaan cairan hangat dapat menurunkan spasme bronkus.
c. Beritahu tentang batuk efektif
Rasional : Batuk efektif akan sangat membantu dalam mengurangi akumulasi
mukus
d. Kolaborasi obat sesuai indikasi
Membebaskan spasme jalan nafas akan sangat membantu keefektifan bersihan
jalan nafas klien.

2. Diagnosa 2
Diagnosa:
Tidak efektifnya pola nafas berhubungan dengan penurunan ekspansi paru.
Tujuan :
Dalam asuhan keperawatan 1 x 24 jam, pola nafas klien kembali efektif
Kriteria Hasil :
a. Pola nafas efektif dengan perbandingan inspirasi dan ekspirasi 1 : 2
b. Bunyi nafas normal atau bersih
c. TTV dalam batas normal
d. Batuk berkurang
e. Ekspansi paru mengembang.
Intervensi :
a. Observasi frekuensi kedalaman pernafasan dan ekspansi dada. Catat upaya
pernafasan termasuk penggunaan otot bantu pernafasan / pelebaran nasal.
Rasional : kecepatan biasanya mencapai kedalaman pernafasan bervariasi
tergantung derajat gagal nafas. Expansi dada terbatas yang berhubungan dengan
atelektasis dan atau nyeri dada.
b. Tinggikan kepala dan bantu mengubah posisi.
Rasional : duduk tinggi memungkinkan ekspansi paru optimal dan memudahkan
dalam pernafasan.
c. Beritahu tentang batuk efektif
Rasional : Batuk efektif akan sangat membantu dalam mengurangi akumulasi
mukus
d. Kolaborasikan pemberian humidifikasi
Rasional : memaksimalkan bernafas dan menurunkan kerja nafas, memberikan
kelembaban pada membran mukosa dan membantu pengenceran sekret.

3. Diagnosa 3
Diagnosa:
Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik akibat kekurangan energi
oksigen
Tujuan :
Dalam asuhan keperawatan 1 x 24 jam, klien dapat melakukan aktivitas sehari-hari
secara mandiri.
Kriteria Hasil :
a. KU klien baik
b. Badan tidak lemas
c. Klien dapat beraktivitas secara mandiri
d. Kekuatan otot terasa pada skala sedang
Intervensi :
a. Kaji respons pasien terhadap aktivitas. Catat laporan dyspnea peningkatan
kelemahan/kelelahan dan perubahan tanda vital selama dan setelah aktivitas.
Rasional : menetapkan kebutuhan/kemampuan pasien dan memudahkan pilihan
intervensi.
b. Bantu pasien memilih posisi nyaman untuk istirahat dan atau tidur.
Rasional : posisi yang nyaman dalam beristrirahat mampu meningkatkan kualitas
istirahat yang dijalani pasien
c. Jelaskan pentingnya istirahat dalam rencana pengobatan dan perlunya
keseimbangan aktivitas dan istirahat.
Rasional : Tirah baring dipertahankan selama fase akut untuk menurunkan
kebutuhan metabolik, menghemat energi untuk penyembuhan.
d. Kolaborasikan tentang pemberian kruk
Rasional : pemberian kruk akan membantu keseimbangan pasien yang mengalami
kelemahan fisik dalam beraktifitas
DAFTAR PUSTAKA

Brunner dan Suddarth. (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah edisi 8, Jakarta :
EGC.
Lewis , Heitkemper, Dirksen. (2000). Medical Surgical Nursing fifth edition, St Louis
Missouri : Mosby.
Jones and Barlett. (2001). Pertolongan Pertama Dan RJP Pada Anak Ed. 4. Jakarta: Arcan
Brashers, Valentina L. (2008). Aplikasi Klinis Patofisiologi Pemeriksaan & Manajemen Edisi
2. Jakarta: EGC
Muttaqin, Arif. (2008). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem
Pernapasan. Jakarta: Salemba Medika
Doegoes, Marilynn E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta : EGC

Anda mungkin juga menyukai