Disusun oleh :
Ilham Fauzi
Pembimbing :
dr. Ery Leksana, Sp.An, KIC KAO
SEMARANG
2019
Penyakit Asma
Menurut Nurarif (2012) asma di bedakan menjadi 2 jenis yaitu asma bronchial dan
asma kardial:
1. Asma bronchial
2. Asma kardial
1. Asma episodic jarang : di tandai oleh adanya episode <1x tiap 4-6 minggu,
kemudian terjadi mengi setelah melakukan aktivitas yang berat.
2. Asma episodic sering : di tandai dengan frekuensi serangan yang lebih
sering dan timbul mengi pada aktivitas yang sedang, gejala terjadi kurang 1
kali dalam seminggu.
3. Asma persisten : terjadi di tandai dengan seringnya episode akut, mengi
pada aktivitas ringan di tandai lebih 3 kali dalam seminggu.
Etiologi Asma
o Herediter
o Kebiasaan : polusi udara, stress, makanan
o Alergi : rokok, udara dingin, anjing, kucing, debu
o Obat : obat nyeri seperti NSAID
Pengelolaan preoperatif
Langkah pertama persiapan penderita dengan gangguan pernapasan yang
menjalani pembedahan adalah menentukan reversibilitas kelainan. Proses obstruksi
yang reversible adalah bronkospasme, sekresi terkumpul dan proses inflamasi jalan
napas. Obstruksi yang tidak reversible dengan bronkodilator misalnya adalah
empisema, tumor.3
Pasien dengan bronkospasme yang frekuen harus diobati dengan preparat
bronkodilator yang berisi β-adenergik agonis, dosis terapi teopilin dan
kortikosteroid.2 Pada pasien dengan serangan asma balans cairan dan elektrolit perlu
dipelihara, pada kondisi ini pasien sering mengalami dehidrasi.5
Terapi medis
Preparat yang digunakan untuk asma adalah sebagai berikut :
a. Simpatomimetik, atau beta 2 adrenergik agonis, menyebabkan bronkodilatasi
melalui relaksasi otot polos yang diperantarai oleh Cyclic adenosine
monophosphate (cAMP). Obat-obat ini juga menghambat antihistamin dan juga
neurotransmiter kolinergik.
1) Obat dengan selective beta 2 adrenergik. Misalnya albuterol(ventolin) 2
puffs atau lebih dengan MDI setiap 3-4 jam atau 0,5mL/2mL salin setiap 4-
6 jam. Salmeterol(serevent) 2 puff dengan MDI setiap 12 jam dan
metaproterenol(Alupent) 2 atau lebih puffs dengan MDI setiap 3-4 jam atau
0,5mL/2mL salin setiap 4-6 jam. Pasien-pasien yang menggunakan terapi
β-bloker hendaknya β bloker yang tidak menimbulkan spasme bronkus
seperti atenolol atsumetropolol atau esmolol.3
2) Obat dengan campuran beta 1 dan beta 2 adrenergik meliputi epinefrin
(adrenalin) dan isoproteronol. Potensi kronotropik dan aritmogenik obat-
obat ini perlu diperhatikan pada pasien dengan penyakit jantung. Pemberian
intervena dosis kecil epinefrin (1g/mt) dipertimbangkan pada pasien
bronkospasme. Pada dosis 0,25-1g/mt efek agonis beta 2 dominan, dengan
meningkatkan denyut jantung akibat stimulasi betal adrenergik. Pada dosis
tinggi epinefrin, efek alfa adrenergic menjadi dominan, dengan peningkatan
tekanan darah sistemik.
b. Parasimpatolitik
Mempunyai efek bronkodilatasi langsung dengan memblok kerja asetilkolin
pada second messenger seperti cGMP. Obat-obat ini meningkatkan FEV1 pada
pasien PPOK bila diberikan secara inhalasi.
Ipratropium bromide, merupakan obat aksi singkat yang diberikan dengan
inhaler dosis terukur atau dengan nebulizer.
Sulfas atropine, 0,2-0,8 mg perlu diprtimbangkan karena dapat
menyebabkan takikardi.
c. Metilxantin
Menyebabkan bronkodilatasi melalui hambatan fosfodiesterase, suatu enzim
yang bertanggung jawab pada pemecahan cAMP. Efek pulmoner obat ini lebih
komplek termasuk pelepasan katekolamin, blockade pelepasan histamine, dan
stimulasi diafragma. Teofilin kerja panjang peroral digunakan pada pasien
dengan gejala nocturnal. Namun sayangya teofilin memiliki terapi range yang
sempit, level terapi dalam darah sekitar 10-20g/ml. level yang lebih rendah
mungkin efektif. Aminofilin merupakan satu-satu yang dapat diberikan secara
intravena.
a. Beberapa jam sebelum operasi sedasi yang diinginkan pada pasien asma dapat
diberikan untuk operasi elektif pada pasien terutama penyakit yang memiliki
komponen emosional. Secara umum, benzodiazepin adalah agen yang paling
aman untuk premedication. Sedatif ( Benzodiazepin) adalah efektif untuk
anxiolitik tetapi pada pasien dengan asma berat dapat menyebabkan depresi
pernapasan. Sedasi ini penting diberikan pada pasien dengan riwayat asma yang
dipicu oleh emosional.
b. Narcotik(Opioid). Penggunaan sebagai analgesia dan sedasi sebaiknya dipilih
yang tidak mempunyai efek pelepasan histamin misalnya fentanil, sufentanil14
c. Agen antikolinergik tidak diberikan kecuali pemberian dilakukan jika terdapat
sekresi berlebihan atau penggunaan ketamin sebagai agen induksi.
Antikolinergik tidak efektif untuk mencegah reflek bronkospasme oleh karena
tindakan intubasi.2
d. H2 antagonis (Cimetidin, Ranitidin) penggunaan agen pemblok H2 secara teori
dapat mengganggu, karena aktivasi reseptor H2 secara normal akan
menyebabkan bronkodilatasi dengan adanya pelepasan histamin, aktivitas H1
yang tanpa hambatan dengan blokade H2 dapat menimbulkan
bronkokonstriksi.2
e. Pada pasien asma yang sudah menggunakan bronkodilator inheler atau
kortikosteroid inheler obat-obat ini perlu dibawa masuk ke ruang operasi.
Dianjurkan pemberian kortikosteroid parenteral ( Methilprednisolon 40-80 mg)
1-2 jam sebelum induksi anestesi.6 Bronkodilator harus diberikan sampai proses
pembedahan selesai, pasien yang mendapatkan terapi lama glukokortikoid
harus diberikan tambahan untuk mengkompensasi supresi adrenal.
Hidrokortison 50-100 mg sebelum operasi dan 100mg/8 jam selama 1-3 hari
post operasi.2,9
f. Pada penderita asma intubasi dapat diberikan lidocain 1-1,5 mg/kgBB atau
Fentanyl 1-2 mcg/kgBB dapat menurunkan reaktifitas laring terhadap ETT.
Pemberian anestesi inhalasi menggunakan halothan/enfluran pada stadium
dalam dapat mengatasi spasme bronkial berat yang refrakter.9,10
A. Regional Anestesi
Waktu paling kritis pada pasien asma yang dianestesi adalah selama
instrumentasi jalan napas. Nyeri, stress, emosional atau rangsangan selama anestesi
dangkal dapat menimbulkan bronkospasme. Obat-obatan yang sering dihubungkan
dengan pelepasan histamin (seperti curare, atracurium, mivacurium, morfin,
meperidin) harus dicegah atau diberikan dengan sangat lambat jika digunakan.
Tujuan dari anestesi umum adalah smooth induction dan kedalaman anestesi
disesuaikan dengan stimulasi. Pemilihan agen anestesi tidak sepenting dalam
pencapaian anestesi yang dalam sebelum intubasi dan stimulasi pembedahan.
Penggunaan laryngeal mask airway LMA) menurunkan bronkospasme, tapi
tidak menghilangkan resiko bronkospasme sebagai akibat dari tindakan
laringkoskopi. Resiko tambahan pada penggunaan LMA ketidak mampuan untuk
ventilasi selama bronkospasme karena tekanan inspirasi dapat menambah
penutupan LMA pada laring. Yang paling bagus LMA proseal yang dapat
mengatasi keterbatasan itu.
1. Agent Inhalasi
Agent inhalasi anestesi seperti halothan akan menyebabkan bronkodilatasi
dan dapat digunakan untuk mencegah terjadinya bronkospasme. Halothan
berpengaruh pada diameter airway dengan cara memblok reflek airway dan efek
langsung relaksasi otot polos airway. Namun hati-hati dalam penggunaannya pada
pasien dengan gangguan jantung karena efek depresi miokardial dan efek
aritmianya. Isofluran dan desfluran dapat pula menimbulkan bronkodilator dengan
derajat yang setara tetapi harus dinaikkan secara lambat karena sifatrnya iritasi
ringan di jalan napas. Sevofluran tidak terlalu berbau (tidak menusuk) dan memiliki
efek bronkodilator serta sifatnya tidak iritasi di jalan napas. Agen inhalasi halothane
lebih efektif sebagai bronkodilator dibandingkan dengan isoflurane, namun bila
dibandingkan dengan desfluran, desflurane dapat menyebabkan batuk dan dapat
mencetus bronkospasme. Namun halotan tidak ideal pada pasien yang menderita
kelainan jantung karena halotan dapat mengakibatkan disaritmia karena efek
katekolamin release. Alternatif lain untuk menurunkan reflek pada jalan nafas dapat
diberikan 1,5 mg/kg i.v 1-3 menit sebelum intubasi.
2. Obat-Obat Induksi Intravena
Untuk induksi anestesi dapat digunakan obat-obat yang mempunyai onset
kerja yang cepat. Contoh obat induksi yang dapat digunakan adalah thiopenton,
propofol, dan ketamin. Ketamin, satu-satunya agen intravena dengan kemampuan
bronkodilatasi, dengan menghambat re-uptake nonadrenalin pada ujung syaraf
simpatis sehingga berefek bronkodilatasi.
Tiopenton paling banyak digunakan untuk usia dewasa tetapi kadang-
kadang dapat menimbulkan bronkospasme karena adanya pelepasan histamin,
beberapa hasil penelitian menyebutkan bahwa thiopenton dapat menyebabkan
bronkokonstriksi melalui reseptor μ2, menimbulkan kontraksi dan mengaktifkan
mekanisme umpan balik negatif dengan membatasi pelepasan ACH lebih lanjut
akibat stimulasi yang terus berlangsung. Oleh karena itu blok reseptor μ2 dapat
menghambat ACH dan potensiasi bronkokonstriksi yang disebabkan aktivitas vagal
(biasanya karena iritan)14 propofol dan ethomidat dapat sebagai alternatif.
Ketamin dan propofol dapat digunakan untuk mencegah dan mereverse
bronkokonstriksi melalui mekanisme utama penekanan neural dan melalui
penekanan langsung aktivitas otot polos airway. Dari hasil suatu penelitian,
walaupun keduanya terbukti dapat digunakan untuk terapi bronkokonstriksi,
ketamin dikatakan lebih poten daripada propofol.16 Propofol dengan dosis 2,5
mg/kgBB dapat menurunkan insidensi whezing setelah intubasi dibanding dengan
penggunaan metohexital dengan dosis setara yaitu 6 mg/kgBB. Dibandingkan
dengan benzodiazepin, propofol lebih menguntungkan karena faktor onset yang
cepat dan akhit cepat pula.16 Ketamin mempunyai efek bronkodilatasi selain efek
analgesik untuk menghindari efek depresi respirasi, ketamin diberikan dengan
pelan-pelan, ketamin juga mempunyai efek meningkatkan sekresi kelenjar saliva
dan tracheobronchial. Efek ini dapat dicegah dengan menggunakan antisialogogue
seperti atropin ataupun gycopyrrolate.17
Reflek brokospasme dapat dicegah sebelum intubasi dengan pemberian
tambahan tiopenton 1-2 mg/kgBB, pasien diventilasi dengan 2-3 MAC agen volatil
selama 5 menit atau diberikan lidocain intravena atau intratracheal 1-2 mg/kgBB.
Tetapi perlu di ingat lidocain sendiri dapat memicu bronkospasme jika dosis
tiopenton tidak adekuat. Dapat juga dengan antikolinergic (atropin 2 mg atau
glikoperolat 1 mg) tetapi dapat menyebabkan takikardi.
Penggunaan morfin masih diperdebatkan karena aktivitas pelepasan
histamine. Opioid mempunyai efek analgesi dan sedasi, tapi penggunaannya
sebaiknya dititrasi untuk menghindari depresi respirasi, terutama pada pasien
dengan disfungsi paru berat. Kodein dan morfin pada dosis besar dapat mencetus
pelepasan histamin.
3. Muscle Relaxant
Faktor lain yang perlu dipertimbangkan dalam penggunan muscle relaxan
adalah perlu tidaknya mereverse kerjanya. Dengan menghambat penghancuran
ACH endogen, inhibitor cholinesterase seperti neostigmin dapat meningkatkan
sekresi jalan napas dan dapat menimbulkan bronkospasme. Efek ini dapat dicegah
dengan penggunaan antagonis muscarinik seperti atropin 1 mg atau glycopyrrolate
0,5 mg untuk meminimalkan efek samping muskarinik. Alternatif lain dapat
digunakan muscle relaxan short acting. Meskipun suksinilkolin dapat menyebabkan
pelepasan histamin tetapi secara umum dapat digunakan dengan aman pada
kebanyakan pasien asma. Obat muscle relaksan selama maintenance sering
digunakan adalah non depolarisasi, dimana dihindari obat yang histamine release
seperti atrakurium. Secara teori obat antagonis non depolarisasi neuromuscular
menghambat antikolinesterase yang akan mengakibatkan bronkospasme.
Pasien akan memperoleh manfaat dari terapi MDI specer bila memenuhi
kriteria sebagai berikut;3
1. Frekuensi pernapasan < 25 kali/menit
2. Mampu menahan napas selama 5 detik atau lebih
3. Kapasitas vital > 15 ml/kgbb
4. Mampu komunikasi verbal dan mengikuti instruksi
5. Koordinasi tangan-mulut-inspirasi memadai
6. PEFR ≥ 150 Lt/menit untuk wanita dan > 200 Lt/menit untuk pria