Anda di halaman 1dari 19

Tugas

PERBEDAAN ASMA BRONCHIALE DAN ASMA KARDIALE SERTA TEHNIK ANESTESINYA

Disusun oleh :
Ilham Fauzi

Pembimbing :
dr. Ery Leksana, Sp.An, KIC KAO

DEPARTEMEN/SMF ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO/

RSUP dr. KARIADI

SEMARANG

2019
Penyakit Asma

Definisi asma menurut beberapa ahli antara lain :

1. Asma adalah suatu keadaan dimana saluran dafas mengalami penyempitan


karena hiperaktivitas terhadap suatu rangsangan tertentu, yang
menyebabkan peradangan, penyempitan ini bersifat sementara (Nurarif,
2012).
2. Asma merupakan kelainan berupa inflamasi kronik saluran nafas yang
menyebabkan hiperaktivitas bronkus terhadap berbagai rangsangan yang
dapat menimbulkan gejala mengi, batuk, sesak nafas, dan dada terasa berat
terutama pada malam hari yang pada umumnya bersifat reversible baik
dengan atau tanpa pengobatan (Depkes RI, 2009).
3. Asma merupakan penyakit jalan napas obstruktif intermiten yang bersifat
reversible dimana trakhea dan bronkus berespon secara hiperaktif terhadap
stimuli tertentu yang di tandai dengan penyemptitan jalan napas, yang
mengakibatkan dispnea, batuk dan mengi (Smeltzer & Bare, 2008).

Berdasarkan pengertian tersebut dapat di simpulkan asma merupakan penyakit


pada saluran napas yang mengalami penyempitan yang di sebabkan oleh
hiperaktivitas bronkus oleh berbagai rangsangan dengan di tandai seperti batuk,
sesak napas, mengi, yang bersifat reversible.

Klasifikasi dan derajat asma

Menurut Nurarif (2012) asma di bedakan menjadi 2 jenis yaitu asma bronchial dan
asma kardial:

1. Asma bronchial

Penderita asma broncial, hipersensitif dan hiperaktif terhadap


rangsangan dari luar, seperti debu, bulu binatang, asap dan bahan lainya
yang menyebabkan alergi. Gejala kemunculnnya sangat mendadak sehingga
gangguan asma bisa datang secara tiba-tiba. Apabila tidak mendapatkan
pertolongan secepatnya, resiko kematian bisa terjadi. Gangguan asma
bronkial bisa di sebabkan karena adanya radang yang mengakibatkan
penyempitan saluran pernapasan bagian bawah. Penyempitan ini akibat
berkerutnya otot polos saluran pernapasan, pembengkakan selaput lendir,
dan pembentukan lendir yang berlebihan.

2. Asma kardial

Asma yang di sebabkan karena adanya kelainan organ jantung.


Gejalanya biasanya terjadi pada malam hari saat sedang tidur, di sertai
dengan adanya sesak napas yang hebat biasa di sebut nocturnal paroxymul.

Menurut GINA (2006) pembagian derajat asma di bedakan menjadi 4 yaitu :

1. Intermiten : gejala kurang dari 1 kali dalam 1 minggu dan


serangan yang terjadi secara singkat.
2. Persisten ringan : gejala yang terjadi lebih dari 1 kali dalam seminggu
tetapi kurang dari 1 kali dalam sehari.
3. Persisten sedang : gejala terjadi setiap hari.
4. Persisten berat : gejala terjadi setiap hari dan serangan sering kali terjadi.

Menurut Phelan dkk (2008) derajat asma di bedakan menjadi 3 yaitu :

1. Asma episodic jarang : di tandai oleh adanya episode <1x tiap 4-6 minggu,
kemudian terjadi mengi setelah melakukan aktivitas yang berat.
2. Asma episodic sering : di tandai dengan frekuensi serangan yang lebih
sering dan timbul mengi pada aktivitas yang sedang, gejala terjadi kurang 1
kali dalam seminggu.
3. Asma persisten : terjadi di tandai dengan seringnya episode akut, mengi
pada aktivitas ringan di tandai lebih 3 kali dalam seminggu.
Etiologi Asma

o Herediter
o Kebiasaan : polusi udara, stress, makanan
o Alergi : rokok, udara dingin, anjing, kucing, debu
o Obat : obat nyeri seperti NSAID

Gejala dan tanda asma


o Mengi saat ekspirasi
o Batuk berat pada malam hari dada sesak yang terjadi berulang dan nafas
tersengal-sengal.
o Hambatan pernafasan yang reversibel secara bervariasi selama siang hari.
o Adanya peningkatan gejala pada saat olah raga, infeksi virus, paparan
terhadap alergan, dan peruahan musim.
o Terbangun malam hari dengan gejala tersebut diatas.

PENANGANAN ANESTESI PREOPERATIF


Evaluasi Preoperatif
Evalusi pasien asma sebelum tindakan anestesi dan pembedahan sangat
penting untuk mencegah ataupun mengendalikan kejadian asma attack, baik
intraoperatif maupun postoperatif. Maka diperlukan evaluasi yang meliputi riwayat
penyakit, pemeriksaan fisik, laboratorium, pemeriksaan fungsi paru-paru, dan
analisa gas darah, foto rontgen thorax.16
1. Riwayat Penyakit
Meliputi lama penyakitnya, frekwensi serangan, lama serangan atau berat
serangan, faktor-faktor yang memperngaruhi serangan, riwayat penggunaan obat-
obatan dan hasilnya, riwayat perawatan dirumah sakit, riwayat alergi (makanan,
obat, minuman), Riwayat serangan terakhir, beratnya, dan pengobatannya.4 Bila
baru-baru ini mendapat infeksi saluran napas atas dan menimbulkan serangan maka
operasi elektif sebaiknya ditunda 4-5 minggu untuk mencegah reaktifitas jalan
napas.3
2. Pemeriksaan Fisik
Tanda-tanda serangan asma tergantung dari derajat obstruksi jalan napas
yang terjadi. Dapat dilihat dari inspeksi penderita tampak sesak, sianosis, ekspirasi
memanjang, Palpasi takicardi. Perkusi hipersonor, auscultasi whezing, ronchi.4
Tanda-tanda serangan asma berat meliputi penggunaan otot-otot pernapasan
tambahan, tidak mampu berhenti napas pada saat bicara, sianosis, sedikit atau tidak
ada whezing (jalan napas tertutup, sedikit gerakan udara, dan whezing menurun).5
3. Pemeriksaan Laboratorium
Pada asma eosinofil total dalam darah sering meningkat. Jumlah eosinofil
ini selain untuk menilai cukup tidaknya dosis terapi kortikosteroid dan dapat juga
untuk membedakan asma dengan bronchitis khronis. Pada pemeriksaan sputum
selain didapatkan eosinofil, juga dapat ditemukan adanya kristal charcat leyden,
spiral churschman dan mungkin juga miselium aspergilus fumigates.4
4. Pemeriksaan Rontgen Thorax
Pada umumnya hasil normal atau hiperinflasi. Pemeriksaan tersebut
umumnya dilakukan bila ada kecurigaan adanya proses patologi diparu atau adanya
komplikasi asma seperti pneumothorax, pneumomediastinum, atelektasis,
pneumonia. Kadang didapatkan gambaran air trapping, diafragma datar karena
hiperinflasi, jantung mengecil dan lapang paru yang hiperluscen.5
5. Pemeriksaan Fungsi Paru (Spirometri)
Untuk mengetahui kondisi klinis pasien asma perlu dilakukan pengukuran
aliran udara ekspirasi yaitu volum ekspirasi paksa detik pertama (FEV1) dan arus
puncak ekspirasi (PEFR). Lebih bagus lagi bila dibandingkan dengan hasil
pengukuran sebelumnya. Normalnya nilai volum ekspirasi paksa (FEV1) untuk
laki-laki adalah lebih dari 3 liter dan lebih 2 liter untuk wanita. Nilai normal arus
puncak ekspirasi (PEFR) adalah lebih dari 200 L/.mnt ( pada laki-laki dewasa muda
lebih dari 500 L/mnt). Nilai PEFR kurang dari 200 L/mnt pada pria ( < 150 L/mnt
pada wanita) menunjukkan gangguan efektivitas batuk dan akan meningkatkan
komplikasi pasca bedah. Hasil FEV1 atau PEFR < 50% menunjukan asma sedang
sampai berat. Nilai PEFR < 120 l/mnt atau FEV1 1 liter menujukan obstruksi berat.
Pemeriksaan ini penting dilakukan karena sering terjadi ketidaksesuaian gambaran
klinis asma dengan fungsi paru. Penderita yang baru sembuh dari serangan akut
atau penderita asma kronik sering tidak mengeluh, tetapi setelah diperiksa ternyata
obstruksi saluran napas. Pemeriksaan ini diindikasikan pada pasien-pasien yang
menderita penyakit paru-paru sedang sampai berat yang menjalani operasi yang
berdampak pada sistem respirasi.Pemeriksaan ini juga dapat memprediksi terhadap
resiko komplikasi paru postoperatif dan memprediksi kebutuhan bantuan ventilasi
dan respon pengobatan (Bronkodilator).2
Hubungan asma dengan pemeriksaan spirometri :
Keadaan Klinik % FEV/FVC
Normal 80-100
Asma Ringan 75-79
Asma Sedang 50-74
Asma Berat 35-49
Status Asmatikus <35

6. Pemeriksaan Analisa gas darah


Pemeriksaaan analisa gas darah biasanya dilakukan pada penderita dengan
serangan asma yang berat. Keadaaan ini bisa terjadi hipoksemia, hiperkapnia, dan
asidosis respiratorik. Kondisi yang berat akan meningkatkan resiko komplikasi
paru-paru.4
7. Fisioterapi dada.
Merupakan istilah umum yang dipakai untuk membersihkan jalan napas.
Indikasi fisoterapi dada dapat akut dan sebagai profilaksis. Keadaan akut untuk
dilakukan fisioterapi adalah pada pasien- pasien dengan retensi sputum yang
berlebihan atau abnormal akibat batuk yang terus menerus atau pada pasien yang
batuknya sangat lemah.3

Pengelolaan preoperatif
Langkah pertama persiapan penderita dengan gangguan pernapasan yang
menjalani pembedahan adalah menentukan reversibilitas kelainan. Proses obstruksi
yang reversible adalah bronkospasme, sekresi terkumpul dan proses inflamasi jalan
napas. Obstruksi yang tidak reversible dengan bronkodilator misalnya adalah
empisema, tumor.3
Pasien dengan bronkospasme yang frekuen harus diobati dengan preparat
bronkodilator yang berisi β-adenergik agonis, dosis terapi teopilin dan
kortikosteroid.2 Pada pasien dengan serangan asma balans cairan dan elektrolit perlu
dipelihara, pada kondisi ini pasien sering mengalami dehidrasi.5

Terapi medis
Preparat yang digunakan untuk asma adalah sebagai berikut :
a. Simpatomimetik, atau beta 2 adrenergik agonis, menyebabkan bronkodilatasi
melalui relaksasi otot polos yang diperantarai oleh Cyclic adenosine
monophosphate (cAMP). Obat-obat ini juga menghambat antihistamin dan juga
neurotransmiter kolinergik.
1) Obat dengan selective beta 2 adrenergik. Misalnya albuterol(ventolin) 2
puffs atau lebih dengan MDI setiap 3-4 jam atau 0,5mL/2mL salin setiap 4-
6 jam. Salmeterol(serevent) 2 puff dengan MDI setiap 12 jam dan
metaproterenol(Alupent) 2 atau lebih puffs dengan MDI setiap 3-4 jam atau
0,5mL/2mL salin setiap 4-6 jam. Pasien-pasien yang menggunakan terapi
β-bloker hendaknya β bloker yang tidak menimbulkan spasme bronkus
seperti atenolol atsumetropolol atau esmolol.3
2) Obat dengan campuran beta 1 dan beta 2 adrenergik meliputi epinefrin
(adrenalin) dan isoproteronol. Potensi kronotropik dan aritmogenik obat-
obat ini perlu diperhatikan pada pasien dengan penyakit jantung. Pemberian
intervena dosis kecil epinefrin (1g/mt) dipertimbangkan pada pasien
bronkospasme. Pada dosis 0,25-1g/mt efek agonis beta 2 dominan, dengan
meningkatkan denyut jantung akibat stimulasi betal adrenergik. Pada dosis
tinggi epinefrin, efek alfa adrenergic menjadi dominan, dengan peningkatan
tekanan darah sistemik.
b. Parasimpatolitik
Mempunyai efek bronkodilatasi langsung dengan memblok kerja asetilkolin
pada second messenger seperti cGMP. Obat-obat ini meningkatkan FEV1 pada
pasien PPOK bila diberikan secara inhalasi.
 Ipratropium bromide, merupakan obat aksi singkat yang diberikan dengan
inhaler dosis terukur atau dengan nebulizer.
 Sulfas atropine, 0,2-0,8 mg perlu diprtimbangkan karena dapat
menyebabkan takikardi.
c. Metilxantin
Menyebabkan bronkodilatasi melalui hambatan fosfodiesterase, suatu enzim
yang bertanggung jawab pada pemecahan cAMP. Efek pulmoner obat ini lebih
komplek termasuk pelepasan katekolamin, blockade pelepasan histamine, dan
stimulasi diafragma. Teofilin kerja panjang peroral digunakan pada pasien
dengan gejala nocturnal. Namun sayangya teofilin memiliki terapi range yang
sempit, level terapi dalam darah sekitar 10-20g/ml. level yang lebih rendah
mungkin efektif. Aminofilin merupakan satu-satu yang dapat diberikan secara
intravena.

d. Kortikosteroid diberikan pada pasien yang tidak berespon terhadap


bronkodilator. Mekanisme kerjanya kemungkinan dengan menurunkan
inflamasi, edema, sekresi mukosa, kontriksi otot polos, stabilisasi membran mast
sel. Meskipun sangat berguna pada eksaserbasi akut, efek klinisnya
membutuhkan waktu beberapa jam. Steroid dapat diberikan melalui inhalasi.
Steroid intravena yang sering digunakan meliputi hidrokortisone 100 mg tiap 8
jam dan metilpredisolon 0,5 mg/kg setiap 6 jam pada asma bronkiale dan dosis
lebih besar pada eksaserbasi asma berat. Kortikosteroid dapat meningkatkan efek
langsung pada otot polos, kortikosteroid juga meningkatkan jumlah reseptor beta
2 adrenergik dan responnya terhadap agonis beta 2 adrenergik.
e. Kromolin, merupakan obat inhalasi yang digunakan untuk profilaksis pada asma.
Bekerja dengan menstabilisasi membrane sel mast dan mengumpulkan pelesan
akut mediator bronkoaktif. Obat ini tidak berguna pada serangan akut
bronkospasme.
f. Mukolitik
 Asetilsitein, diberikan melalui nebulisasi, dapat menurunkan viskositas
mucus dengan memecahkan ikatan disulfide pada mukoprotein.
Premedikasi
Tujuan utama untuk menghilangkan cemas, meminimalkan reflek
bronkonstriksi terhadap iritasi jalan nafas.

a. Beberapa jam sebelum operasi sedasi yang diinginkan pada pasien asma dapat
diberikan untuk operasi elektif pada pasien terutama penyakit yang memiliki
komponen emosional. Secara umum, benzodiazepin adalah agen yang paling
aman untuk premedication. Sedatif ( Benzodiazepin) adalah efektif untuk
anxiolitik tetapi pada pasien dengan asma berat dapat menyebabkan depresi
pernapasan. Sedasi ini penting diberikan pada pasien dengan riwayat asma yang
dipicu oleh emosional.
b. Narcotik(Opioid). Penggunaan sebagai analgesia dan sedasi sebaiknya dipilih
yang tidak mempunyai efek pelepasan histamin misalnya fentanil, sufentanil14
c. Agen antikolinergik tidak diberikan kecuali pemberian dilakukan jika terdapat
sekresi berlebihan atau penggunaan ketamin sebagai agen induksi.
Antikolinergik tidak efektif untuk mencegah reflek bronkospasme oleh karena
tindakan intubasi.2
d. H2 antagonis (Cimetidin, Ranitidin) penggunaan agen pemblok H2 secara teori
dapat mengganggu, karena aktivasi reseptor H2 secara normal akan
menyebabkan bronkodilatasi dengan adanya pelepasan histamin, aktivitas H1
yang tanpa hambatan dengan blokade H2 dapat menimbulkan
bronkokonstriksi.2
e. Pada pasien asma yang sudah menggunakan bronkodilator inheler atau
kortikosteroid inheler obat-obat ini perlu dibawa masuk ke ruang operasi.
Dianjurkan pemberian kortikosteroid parenteral ( Methilprednisolon 40-80 mg)
1-2 jam sebelum induksi anestesi.6 Bronkodilator harus diberikan sampai proses
pembedahan selesai, pasien yang mendapatkan terapi lama glukokortikoid
harus diberikan tambahan untuk mengkompensasi supresi adrenal.
Hidrokortison 50-100 mg sebelum operasi dan 100mg/8 jam selama 1-3 hari
post operasi.2,9
f. Pada penderita asma intubasi dapat diberikan lidocain 1-1,5 mg/kgBB atau
Fentanyl 1-2 mcg/kgBB dapat menurunkan reaktifitas laring terhadap ETT.
Pemberian anestesi inhalasi menggunakan halothan/enfluran pada stadium
dalam dapat mengatasi spasme bronkial berat yang refrakter.9,10

PENANGANAN ANESTESI INTRAOPERATIF

Sesuai dengan bidang kecabangan anestesi, suatu pemahaman masalah


pathofisiologi yang mendasar adalah lebih penting pada pilihan tehnik anestesi
khusus atau obat. Pilihan tekhnik bisa regional anestesi saja, dengan pasien tetap
sadar, mampu mengontrol sistem napasnya sendiri, dan pada situasi lain diperlukan
kombinasi general anestesi dengan regional anestesi, karena pertimbangan atau
untuk mengendalian nyeri postoperatif.

A. Regional Anestesi

Spinal anestesi atau epidural adalah pilihan pada pembedah ektrimitas


bawah. Pada pasien asma pernapasannya tergantung pada penggunaan otot-otot
tambahan (intercostal untuk inspirasi, otot perut untuk ekspirasi paksa). Spinal
anestesi dapat memperburuk kondisi jika hambatan motorik menurunkan FRC,
mengurangi kemampuan untuk batuk dan membersihkan lendir atau memicu
gangguan respirasi atau bahkan terjadi gagal napas. Spinal tinggi atau epidural
anestesi dapat memperburuk bronkokontriksi karena terhambatnya tonus simpatis
pada jalan napas bawah(T1-T4) dan menyebabkan aktifitas parasimpatis tidak
terhambat. Kombinasi tehnik epidural dan anestesi umum dapat menjamin kontrol
jalan napas, ventilasi adekuat, dapat mencegah hypoxemia dan atelectasi. Pada
prosedur pembedahan perifer yang panjang sebaiknya dilakukan dengan general
anestesi. Faktor-faktor penting yang menghalangi keberhasilan penggunaan
regional anestesi seperti pasien tidak tahan berbaring lama dimeja operasi dalam
waktu lama, batuk spontan dan tidak terkendali dapat membahayakan yaitu pada
tahap kritis pembedahan.
B. Anestesi Umum

Waktu paling kritis pada pasien asma yang dianestesi adalah selama
instrumentasi jalan napas. Nyeri, stress, emosional atau rangsangan selama anestesi
dangkal dapat menimbulkan bronkospasme. Obat-obatan yang sering dihubungkan
dengan pelepasan histamin (seperti curare, atracurium, mivacurium, morfin,
meperidin) harus dicegah atau diberikan dengan sangat lambat jika digunakan.
Tujuan dari anestesi umum adalah smooth induction dan kedalaman anestesi
disesuaikan dengan stimulasi. Pemilihan agen anestesi tidak sepenting dalam
pencapaian anestesi yang dalam sebelum intubasi dan stimulasi pembedahan.
Penggunaan laryngeal mask airway LMA) menurunkan bronkospasme, tapi
tidak menghilangkan resiko bronkospasme sebagai akibat dari tindakan
laringkoskopi. Resiko tambahan pada penggunaan LMA ketidak mampuan untuk
ventilasi selama bronkospasme karena tekanan inspirasi dapat menambah
penutupan LMA pada laring. Yang paling bagus LMA proseal yang dapat
mengatasi keterbatasan itu.
1. Agent Inhalasi
Agent inhalasi anestesi seperti halothan akan menyebabkan bronkodilatasi
dan dapat digunakan untuk mencegah terjadinya bronkospasme. Halothan
berpengaruh pada diameter airway dengan cara memblok reflek airway dan efek
langsung relaksasi otot polos airway. Namun hati-hati dalam penggunaannya pada
pasien dengan gangguan jantung karena efek depresi miokardial dan efek
aritmianya. Isofluran dan desfluran dapat pula menimbulkan bronkodilator dengan
derajat yang setara tetapi harus dinaikkan secara lambat karena sifatrnya iritasi
ringan di jalan napas. Sevofluran tidak terlalu berbau (tidak menusuk) dan memiliki
efek bronkodilator serta sifatnya tidak iritasi di jalan napas. Agen inhalasi halothane
lebih efektif sebagai bronkodilator dibandingkan dengan isoflurane, namun bila
dibandingkan dengan desfluran, desflurane dapat menyebabkan batuk dan dapat
mencetus bronkospasme. Namun halotan tidak ideal pada pasien yang menderita
kelainan jantung karena halotan dapat mengakibatkan disaritmia karena efek
katekolamin release. Alternatif lain untuk menurunkan reflek pada jalan nafas dapat
diberikan 1,5 mg/kg i.v 1-3 menit sebelum intubasi.
2. Obat-Obat Induksi Intravena
Untuk induksi anestesi dapat digunakan obat-obat yang mempunyai onset
kerja yang cepat. Contoh obat induksi yang dapat digunakan adalah thiopenton,
propofol, dan ketamin. Ketamin, satu-satunya agen intravena dengan kemampuan
bronkodilatasi, dengan menghambat re-uptake nonadrenalin pada ujung syaraf
simpatis sehingga berefek bronkodilatasi.
Tiopenton paling banyak digunakan untuk usia dewasa tetapi kadang-
kadang dapat menimbulkan bronkospasme karena adanya pelepasan histamin,
beberapa hasil penelitian menyebutkan bahwa thiopenton dapat menyebabkan
bronkokonstriksi melalui reseptor μ2, menimbulkan kontraksi dan mengaktifkan
mekanisme umpan balik negatif dengan membatasi pelepasan ACH lebih lanjut
akibat stimulasi yang terus berlangsung. Oleh karena itu blok reseptor μ2 dapat
menghambat ACH dan potensiasi bronkokonstriksi yang disebabkan aktivitas vagal
(biasanya karena iritan)14 propofol dan ethomidat dapat sebagai alternatif.
Ketamin dan propofol dapat digunakan untuk mencegah dan mereverse
bronkokonstriksi melalui mekanisme utama penekanan neural dan melalui
penekanan langsung aktivitas otot polos airway. Dari hasil suatu penelitian,
walaupun keduanya terbukti dapat digunakan untuk terapi bronkokonstriksi,
ketamin dikatakan lebih poten daripada propofol.16 Propofol dengan dosis 2,5
mg/kgBB dapat menurunkan insidensi whezing setelah intubasi dibanding dengan
penggunaan metohexital dengan dosis setara yaitu 6 mg/kgBB. Dibandingkan
dengan benzodiazepin, propofol lebih menguntungkan karena faktor onset yang
cepat dan akhit cepat pula.16 Ketamin mempunyai efek bronkodilatasi selain efek
analgesik untuk menghindari efek depresi respirasi, ketamin diberikan dengan
pelan-pelan, ketamin juga mempunyai efek meningkatkan sekresi kelenjar saliva
dan tracheobronchial. Efek ini dapat dicegah dengan menggunakan antisialogogue
seperti atropin ataupun gycopyrrolate.17
Reflek brokospasme dapat dicegah sebelum intubasi dengan pemberian
tambahan tiopenton 1-2 mg/kgBB, pasien diventilasi dengan 2-3 MAC agen volatil
selama 5 menit atau diberikan lidocain intravena atau intratracheal 1-2 mg/kgBB.
Tetapi perlu di ingat lidocain sendiri dapat memicu bronkospasme jika dosis
tiopenton tidak adekuat. Dapat juga dengan antikolinergic (atropin 2 mg atau
glikoperolat 1 mg) tetapi dapat menyebabkan takikardi.
Penggunaan morfin masih diperdebatkan karena aktivitas pelepasan
histamine. Opioid mempunyai efek analgesi dan sedasi, tapi penggunaannya
sebaiknya dititrasi untuk menghindari depresi respirasi, terutama pada pasien
dengan disfungsi paru berat. Kodein dan morfin pada dosis besar dapat mencetus
pelepasan histamin.

3. Muscle Relaxant
Faktor lain yang perlu dipertimbangkan dalam penggunan muscle relaxan
adalah perlu tidaknya mereverse kerjanya. Dengan menghambat penghancuran
ACH endogen, inhibitor cholinesterase seperti neostigmin dapat meningkatkan
sekresi jalan napas dan dapat menimbulkan bronkospasme. Efek ini dapat dicegah
dengan penggunaan antagonis muscarinik seperti atropin 1 mg atau glycopyrrolate
0,5 mg untuk meminimalkan efek samping muskarinik. Alternatif lain dapat
digunakan muscle relaxan short acting. Meskipun suksinilkolin dapat menyebabkan
pelepasan histamin tetapi secara umum dapat digunakan dengan aman pada
kebanyakan pasien asma. Obat muscle relaksan selama maintenance sering
digunakan adalah non depolarisasi, dimana dihindari obat yang histamine release
seperti atrakurium. Secara teori obat antagonis non depolarisasi neuromuscular
menghambat antikolinesterase yang akan mengakibatkan bronkospasme.

Terapi Bronkospasme Intraoperatif

Bronkospasme pada intraoperatif ditunjukan dengan wheezing, munculnya


penurunan volume tidal ekshalasi atau munculnya suatu kenaikan pelan dari
gelombang dicapnograf, hal ini dapat diatasi dengan mendalamkan anestesinya.
Jika tidak hilang maka perlu dipikirkan hal lain seperti sumbatan tube endotracheal
dari kekakuan, balon yang terlalu keras, intubasi endobronchial, tarikan aktif karena
anestesi dangkal, oedem pulmo atau emboli dan pneumothorak semua dapat
menyebabkan bronkospasme.2 Bronkospasme harus ditangani dengan suatu beta
adrenergik agonist baik secara aerosol atau inheler kedalam jalur inspirasi dari
sirkuit napas (gas pembawa yang menggunakan dosis terukur dapat berinterferensi
dengan pembacaan massa spectrometer). Hidrokortison intervena (1,5-2 mg / kg)
dapat diberikan, terutama pada pasien dengan riwayat terapi glukokortikoid.2
Tehnik pemberian ini adalah secara matered dose inheler, berikan 5-10 puff obat
tersebut kedalam jalan napas bagian bawah. Asma sedang sampai berat perlu
diterapi dengan aminopillin intravena, terbutalin(0,25 mg) atau keduanya. Pasien
yang tidak menerima aminopillin preoperatif perlu diberikan aminopillin bolus 5-6
mg/kgBB intravena lebih dari 20 menit diberikan pemeliharaan 0,5-0,9 mg/kgBB.
Pasien asma dengan serangan asma berat sebaiknya diberikan ventilasi bantuan
untuk mempertahankan PaO2 dan PCO2 pada level normal, kecepatan ventilasi
yang rendah (6-10 napas/menit) volume tidal yang rendah dan waktu ekshalasi yang
panjang.9
Apabila terjadi bronkospasme yang berat terjadi managemen yang harus
dilakukan :
 Oksigenasi dengan pemberian oksigen 100%
 Mendalami anestesi dengan meningkatkan agen volatile
 Aminophillyn 5-7 mg/kg i.v secara pelan-pelan
 Ipratropium bromide 0,25 mg nebulizer, adrenalin bolus I.v (10μg=0,1 ml),
ketamin 2 mg/kg magnesium 2 gr i.v secara lambat
 Hidrokortison 200 mg i.v.
Penurunan diameter airway yang disebabkan bronkokontriksi yang berat
dapat mempengaruhi distribusi gas dalam paru. Dampak akibat penurunan ventilasi
pada beberapa unit paru-paru dengan rasio ventilasi dan perfusi yang lebih rendah
dapat menyebabkan hipoksemia arterial. Vasodilatasi pulmoner akibat pemberian
beberapa bronkodilator dapat memperberat rasio ventilasi perfusi yang sudah
rendah ini. Oleh karena itu pada pasien-pasien yang teranestesi, yang penting adalah
meningkatkan konsentrasi gas oksigen inspirasi menjadi 100% pada saat terjadi
bronbkospasme. Hal ini tidak hanya meminimalkan derajat hipoksia arteial tetapi
juga meyakinkan tekanan partial oksigen dalam alveoli.14
Pada akhir pembedahan sebaiknya pasien sudah bebas wheezing, aksi
pelemas otot nondepolarisasi perlu direvese dengan anticholin esterase yang tidak
memacu terjadinya bronkospasme, bila sebelumnya diberikan antikolinergik
dengan dosis sesuai. Ekstubasi dalam perlu dilakukan sebelum terjadi pulihnya
reflek jalan napas normal untuk mencegah brokospasme atau setelah pasien asma
sadar penuh. Lidocain bolus 1,5-2 mg/ kgBB diberikan intravena atau dengan
kontinue dosis 1-2 mg/ mnt dapat menekan reflek jalan napas.2

PENANGANAN POST OPERATIF


Kontrol nyeri post operasi yang bagus adalah epidural analgesia. NSAID
harus dihindari karena dapat mencetus terjadinya bronkospasme. Oksigenasi harus
tetap diberikan. Pasien asma yang selesai menjalani operasi pemberian
bronkodilator dilanjutkan lagi sesegera mungkin pada pasca pembedahan.
Pemberian bronkodilator melalui nebulator atau sungkup muka. Sampai pasien
mampu menggunakan MDI (Meteroid Dose Inheler) sendiri secara benar.3,13

1. Buka penutup dan pegang inheler tegak


2. Kocok inhaler
3. Angkat sedikit kepala kebelakang dan ekshalasi sampai frc
4. Tempatkan inheler memakai spacer (pemisah) antar aktuator dan mulut
5. Tekan kebawah (on) inheler sementara sambil menarik napas pelan dan dalam
3-5 detik
6. Tahan inspirasi paling sedikit 5-10 detik bila mungkin agar obat mencapai paru-
paru
7. Ulangi inhalasi sebagai berikut tunggu 1 menit setelah inhalasi, bronkodilator
bisa membuat inhalasi berikutnya masuk lebih dalam ke paru-paru dan ini perlu
untuk memberikan dosis yang benar
8. Bilas mulut dan keluarkan setelah memakai inhaler

Pasien akan memperoleh manfaat dari terapi MDI specer bila memenuhi
kriteria sebagai berikut;3
1. Frekuensi pernapasan < 25 kali/menit
2. Mampu menahan napas selama 5 detik atau lebih
3. Kapasitas vital > 15 ml/kgbb
4. Mampu komunikasi verbal dan mengikuti instruksi
5. Koordinasi tangan-mulut-inspirasi memadai
6. PEFR ≥ 150 Lt/menit untuk wanita dan > 200 Lt/menit untuk pria

Pada akhir pembedahan pasien harus bebas whezing, Reversal pemblok


neuromuskular nondepolarising dengan antikolinesterase tidak menimbulkan
brokospasme jika diberikan dosis antikolinergik yang tepat. Pasien yang
teridentifikasi resiko tinggi perlu dimasukkan ke unit monitoring post operatif,
dimana fisioterapi dada dan suction dapat dilakukan. Penanganan nyeri post
operatif adalah hal yang penting menurunkan bronkospasme.17 Masalah berikut
yang terjadi pasca bedah adalah penurunan volume paru akibat anestesi dan
pembedahan. Secara fisiologi hal tersebut oleh karena terjadi penurunan VA
(Ventilasi Alveolar) dan FRC (Functional Residual Capacity). Penurunan VA
diaebabkan oleh penurunan volume semenit atau VE atau oleh peningkatn dead
speace (VD). Penurunan VE pada pasca bedah disebabkan pengaruh anestesi,
narkotik, sedasi, pelemas otot atau penyakit neuromuskuler, atau myesthenia gravis,
Guillain Barre, lesi pada medula spinalis servikalis, cedera pada neervus phrenicus.
Peningkatan VD terjadi oleh emboli paru, penurunan curah jantung, bronkospasme.
Penurunan FRC biasanya disebabkan oleh atelektasis, edema paru, dan pneumonia.
Penyebab atelektasis oleh karena ventilasi tidak adekuat,intubasi endobronkhial,
penekanan atau traksi pembedahan, pelemas otot, efusi pleura, cedera nervus
phrenicus. Penurunan FRC pada posisi tegak ke posisi terlentang merupakan
predisposisi timbulnya atelektasis sehingga mobilisasi dini akan menurunkan angka
kejadian komplikasi ini. Latihan napas dalam dan incentive spirometry merupakan
cara yang sama efektifnya untuk mengembangkan paru dan mempertahankan FRC
atau dengan continous positive airway pressure (CPAP) dapat menghindarkan
atelektasis sama baiknya dengan latihan napas dalam. Disamping itu pengendalian
nyeri secara adekuat sejak awal pasca bedah akan mengurangi hambatan batuk dan
napas dalam serta mempermudah mobilisasi.3
Adapun Kriteria untuk perawatan di ICU :
1. Pasien yang butuh bantuan Ventilatory Support
2. FEV atau PEV < 50%
3. PCO2 > 50 mmHg
4. PO2 < 50 mmHg
5. Pasien nampak bingung dan lemah
6. Pasien yang membutuhkan monitoring terapi, cairan dan farmakologis
7. Pasien dengan major trauma , multitrauma, dan luka bakar berat apalagi
disertai instabilitas hemodinamika
8. Pasien major trauma yang dilakukan prosedur Damage Control Surgery
9. Pasien yang menjalani major surgery.
DAFTAR PUSTAKA

1. William R. Solomon, 1995 : Pathofisiologi, Konsep Klinis Proses-proses Penyakit


hal : 149-161
2. Morgan G.E, 2006 : Anestesi for patients with Respiratory Disease in Clinical
Anaesthesiology third edition, page : 571-576.
3. Indro Mulyono, 2000 : Pengelolaan Perioperatif pada penderita gangguan
Pernapasan dalam PIB X IDSAI diBandung, hal : 111-133.
4. Karnen B, 1999 : Asma Bronchial dalam Ilmu Penyakit Dalam, Balai Penerbit
FKUI, Jakarta, hal : 21-39.
5. Oberoi G, Phillip G, 2000 : Management of some Medical Emergency Situation,
Mc. Graw Hill, page : 315-318
6. Stoelting R.K, 1999 : Pharmacology in Pharmacology and Physiology in
Anaesthetic Practice, Fourth edition, Lippincott William & Wilkins, page : 253-
418.
7. Kevin C. Dennehy and Kenneth E. Shepherd, 2002 : Specifik Consideration with
Pulmonary Disease in Clinical Anaesthesia Prosedures of the Massachusetts
General Hospital, six edition Lippincott Williams & Wilkins page : 33-41
8. Lenfant C, Khaltaev N. GINA. NHLBI/WHO Workshop Report 2002.
9. Mark R. Ezekeil, MD,MS. Pulmonary disease, Handbook of Anesthesiology,
Current Clinical Strategies, 2004-2005 edition page : 34-35
10. St. Mulyata.2004 : Clinical Problem Solving In Postanesthesia Care Unit dalam
Konggres Nasional VII IDSAI di Makasar, hal : 305-306.
11. Faisal Y, 2002 : Terapi Controller pada Asma dalam Pertemuan Ilmiah Paru
Milenium 2002, Surabaya hal : 1-6.
12. Taib S, 2002 : Peran Kortikosteroid pada Serangan Asma dalam Pertemuan Ilmiah
Paru Milenium Surabaya, hal : 1-16.
13. William R. Solomon, 2002 : Pathologi, Konsep Klinis Proses-prose Penyakit hal:
171-186.
14. Gal, TJ, 2002, Reactive airway Disease: Anesthetic Perspective, IARS 2002
Review Course Lectures, USA.
15. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) 2004, Pedoman Diagnosis dan
penatalaksanaan Asma di Indonesia. Penerbit FKUI, Jakarta.
16. Bouquet J, Jeffery PK. Busse WW, Jhonson M, Vignola AM, Asthma. From
bronchocontriction to airwy remondelling. Am J Respir Crit Care Med, 2000
; 161:1720-45.
17. Epstein L,L,1999 : Spesific Consideration With Pulmonary Disaeae in Clinical
Anaesthesia Prosedure Of Massechusetts General Hospital,6 ed, LippinCott
Wlliam & Wilkins, page: 6, 33-41, 259-261.
18. Shirly Murphy, MD, October 1997 : Practical Guide for the Management of
Asthma, University of NewMaxico. Page 32, 35.
19. Allman KG., Wilson IH., 2003 Asthma in Respiratory desease Oxford Handbook
of Anesthesia: 57-60

Anda mungkin juga menyukai