Anda di halaman 1dari 25

Bab 6 Monitoring Nonkardiovaskuler

KONSEP KUNCI
1. Kanografi dengan cepat dan dapat diandalkan mengindikasikan intuasi esofageal – penyebab
umum bencana anestesi – tetapi tidak mendeteksi intubasi bronkial.
2. Monitoring yang ceral pada blok neuromuskuler dengan menggunakan sarana klinis dan
kuantitatif dapat mereduksi insidensi kurarisasi postoperatif.

Bab sebelumnya membahas tentang monitoring hemodinamik rutin yang


digunakan oleh anestesiologis. Bab ini memeriksa berbagai macam teknik dan
peralatan yang digunakan perioperatif untuk memonitor transmisi neuromuskuler,
kondisi neurologis, pertukaran gas respiratorik, dan temperatur tubuh.

Monitor Pertukaran Gas Respiratorik


STETOSKOP PREKORDIAL & ESOFAGEAL
Indikasi
Sebelum tersedianya monitor pertukaran gas rutin, anestesiologis menggunakan
stetoskop prekordial atau esofageal untuk memastikan bahwa paru terventilasi
pada keadaan dimana sirkuit terlepas sambungannya. Sama seperti itu, tonus
jantung dapat diauskultasi untuk mengkonfirmasi detak jantung. Walaupun
kurang penting saat ini karena modalitas lainnya telah tersedia, jari pada nadi dan
auskultasi tetap menjadi monitor lini pertama, terutama ketika teknologi gagal.
Auskultasi dada tetap menjadi metode utama untuk mengkonfirmasi ventilasi paru
bilateral pada kamar operasi, bahkan jika deteksi CO2 tidal-end adalah
mekanisme utama untuk mengeksklusikan intubasi esofageal.

Kontraindikaai
Instrumentasi esofagus perlu dihindari pada pasien-pasien dengan varises atau
striktur esofageal.

Teknik & Komplikasi


Stetoskop prekordial (Wenger chestpiece) adalah potongan metal berat berbentuk
bel yang ditempatkan di atas dada atau lekuk suprasternal. Walaupun beratnya
cenderung mempertahankan posisinya, piringan adhesif sisi ganda memberikan
segel akustik pada kulit pasien. Tersedia berbagai chestpieces, tetapi ukuran anak
adalah yang paling berhasil untuk sebagian besar pasien. Bel tersebut
dihubungkan ke anestesiologis dengan tube ekstensi.
Stetoskop esofageal adalah kateter plastik lunak (8–24F) dengan ujung
distal tertutup balon (Gambar 6-1). Walaupun kualitas nafas dan suara jantung
adalah jauh lebih baik daripada dengan stetoskop prekordial, penggunaannya
terbatas pada pasien berintubasi. Probe temperature, lead elektrokardiogram
(ECG), probe ultrasound, dan bahkan elektroda pacemaker atrial telah
digabungkan dalam stetoskop esofageal. Penempatan melalui mulut atau hidung
kadang dapat menyebabkan iritasi mukosal dan perdarahan. Jarang, stetokop
bergeser ke dalam trakea bukannya esophagus, mengakibatkan kebocoran gas di
sekitar manset tube trakeal.

Pertimbangan Klinis
Informasi yang disediakan oleh stetoskop prekordial atau esofageal termasuk
konfirmasi ventilasi, kualitas suara pernafasan (misalnya, stridor, wheezing),
regularitas denyut jantung, dan kualitas tonus jantung (tonus yang teredam
berkaitan dengan penurunan output kardia).
Konfirmasi suara pernafasan bilateral setelah intubasi trakeal, akan tetapi,
dibuat dengan stetostop binaural.

PULSE OKSIMETRI
Indikasi & Kontraindikasi
Pulse oksimeter adalah monitor wajib untuk semua anestesi, termasu kasus-kasus
sedasi moderat. Tidak ada kontraindikasi.

Teknik & Komplikasi


Pulse oksimeter mengkominasikan prinsip-prinsip oksimetri dan plethysmography
untuk secara noninvasif mengukur saturasi oksigen dalam darah arterial. Sensor
yang mengandung sumber cahaya (dua atau tiga dioda yang menghasilkan
cahaya) dan detektor cahaya (fotodioda) ditempatkan pada jari tangan, jari kaki,
cuping telinga, atau jaringan perfusi lainnya yang dapat di-transilluminasi. Ketika
sumber cahaya dan detektor ada berhadapan satu sama lain melewati jaringan
perfusi, oksimetri transmittans digunakan. Ketika sumber cahaya dan detektor
ditempatkan pada sisi yang sama pada pasien (misalnya, dahi), sebaran balik
(pantulan) cahaya dicatat oleh detektor.
Oksimetri bergantung pada observasi bahwa hemoglobin beroksigen dan
yang tereduksi adalah berbeda dalam absorbsi sinar merah dan infra merah
mereka (hokum Lambert–Beer). Khususnya, oksihemoglobin (HbO2)
mengabsorbsi lebih banyak sinar inframerah (940 nm), sedangkan
deoksihemoglobin mengabsorbsi lebih banyak sinar merah (660 nm) dan dengan
demikian tampak biru, atau sianotik, pada mata telanjang. Perubahan pada
absorbsi sinar selama pulsasi arterial adalah basis dari penentuan oksimetrik
(Gambar 6-2). Rasio dari absorpsi panjang gelombang merah dan inframerah
dianalisis dengan mikroprosesor untuk memberikan saturasi oksigen (SpO2) darah
arterial berdasarkan pada nilai yang ditetapkan. Semakin besar rasio absorbsi
merah/inframerah, semakin rendah saturasi arterial. Pulsasi arterial diidentifikasi
dengan plethysmography, memungkinkan koreksi untuk absorbsi cahaya oleh
darah vena dan jaringan nonpulsasi. Panas dari sumber cahaya atau sensor tekanan
dapat, jarang terjadi, mengakibatkan kerusakan jaringan jika monitor tidak digeser
secara periodic. Tidak diperlukan kalibrasi pengguna.

Pertimbangan Klinis
Selain dari SpO2, pulse oksimeter memberikan indikasi perfusi jaringan (amplitude
nadi) dan mengukur denyut jantung. Karena SpO2 normalnya mendekati 100%,
hanya anormalitas besar yang dapat dideteksi pada sebagian besar pasien dengan
anestesi. Tergantung pada kurva dissosiasi oksigen-hemoglobin pasien tertentu,
saturasi 90% dapat mengindikasikan PaO2 kurang dari 65 mm Hg. Hal ini
sebanding dengan sianosis yang dapat terdeteksi secara klnis, yang memerlukan 5
g hemoglobin desaturasi dan biasanya sesuai dengan SpO2 kurang dari 80%.
Intubasi bronkial biasanya akan tidak terdeteksi dengan pulse oksimetri pada
keadaan tidak adanya penyakit paru atau fraksi konsentrasi oksigen inspirasi yang
rendah (FiO2).
Karena karboksihemoglobin (COHb) dan HbO2 mengabsorbsi cahaya pada
660 nm secara identik, pulse oksimeter yang membandingkan hanya dua panjang
gelombang cahaya akan menerima pembacaan tinggi yang salah pada pasien-
pasien dengan keracunan karbon monoksida. Methemoglobin memiliki koefisien
absorpsi yang sama pada panjang gelombang merah dan inframerah. Rasio
absorbsi 1:1 yang dihasilkan sesuai dengan pembacaan saturasi sebesar 85%.
Dengan demikian, methemoglobinemia menyebabkan pembacaan saturasi
rendah yang salah ketika SaO2 sebenarnya lebih besar dari 85% dan
pembacaan tinggi yang salah jika jika SaO2 sebenarnya kurang dari 85%.
Sebagian besar pulse oksimeter adalah tidak akurat pada SpO2 yang rendah,
dan semua menunjukkan penundaan antara perubahan pada SaO2 dan SpO2. Sebab
lainnya dari artifak pulse oksimetri termasuk sinar lingkungan yang
berlebihan, gerakan, pewarna methylene blue, pulsasi vena pada anggota
gerak yang dependen, perfus rendah (misalnya, output kardia yang rendah,
anemia berat, hipothermia, peningkatan reistensi vaskuler sistemik),
malposisi sensor, dan kebocoran cahaya dari dioda penghasil cahaya ke
fotodioda, melewati bidang arterial (shunting optikal). Akan tetapi, pulse
oksimetri dapat menjadi bantuan yang tak ternilai pada diagnosis hipoksia yang
cepat, yang dapat terjadi pada intubasi esofageal yang tidak diketahui, dan
selanjutnya bertujuan memonitoring pemberian oksigen ke organ vital. Pada
kamar pemulihan, pulse oksimetri membantu mengidentifikasi permasalahan
pulmoner postoperatif, seperti hipoventilasi berat, bronkospasme, dan atelectasis.
Dua ekstensi teknologi pulse oksimetri adalah saturasi oksigen darah vena
campuran (SvO2) dan oksimetri otak noninvasif. Ekstensi pertama memerlukan
penempatan kateter arteri pulmoner yang mengandung sensor serabut optik yang
terus-menerus menentukan SvO2 dengan cara analog terhadap pulse oksimetri.
Karena SvO2 bervariasi dengan perubahan pada konsentrasi hemoglobin, output
kardia, saturasi oksigen arterial, dan konsumsi oksigen seluruh tubuh,
interpretasinya sedikit kompleks. Variasi teknik ini termasuk menempatkan sensor
serabut optik pada vena jugular interna, yang memberikan pengukuran saturasi
oksigen bulbus juguler dalam usaha untuk menilai kecukupan pemberian oksigen
serebral.
Oksimetri otak noninvasif memonitor saturasi oksigen regional (rSO2) pada
hemoglobin di otak. Sebuah sensor yang ditempatkan pada dahi mengeluarkan
sinar yang spesifik panjang gelombang dan mengukur sinar yang dipantulkan
kembali ke sensor (spektroskopi optic dekat inframerah). Tidak seperti pulse
oksimetri, oksimetri otak mengukur saturasi oksigen darah vena dan kapiler selain
dari saturasi darah arterial. Dengan demikian, pembacaan saturasi oksigennya
menunjukkan rata-rata saturasi oksigen pada semua hemoglobin mikrovaskuler
regional (kira-kira 70%). Serangan jantung, embolisasi serebral, hipotermia
dalam, atau hipoksia berat menyebabkan penurunan dramatis pada rS O2. (Lihat
bagian “Monitor Sistem Neurologis”.)

KAPNOGRAFI
Indikasi & Kontraindikasi
Penentuan konsentrasi CO2 akhir-tidal (ETCO2) untuk mengkonfirmasi ventilasi
yang adekuat adalah wajib selama semua prosedur anestesi, tetapi khususnya
demikian untuk anestesia general. Penurunan ETCO2 yang cepat adalah indikator
yang sensitif untuk emboli udara, komplikasi mayor dari kraniotomi duduk. Tidak
terdapat kontraindikasi.

Teknik & Komplikasi


Kapnografi adalah moitor yang berharga pada sistem pernafasan pulmoner,
kardiovaskuler, dan anestetik. Kapnograf dalam penggunaan umum bergantung
pada absorpsi cahaya inframerah oleh CO2 (Gambar 6-3). Seperti dengan
oksimetri, absorpsi sinar inframerah oleh CO2 diatur dengan hokum Beer–
Lambert.

A. Nondiversi (Flowthrough)
Kapnograf nondiversi (arus utama) mengukur CO2 yang melewati adaptor yang
ditempatkan pada sirkuit pernafasan (Gambar 6-4). Transmisi sinar inframerah
melalui gas diukur dan konsentrasi CO2 ditentukan di monitor. Karena
permasalahan dengan arus, model flowthrough yang lebih tua kembali ke nol
dengan sendirinya selama inspirasi. Dengan demikian, mereka tidak ampu
mendeteksi CO2 inspirasi, seperti yang akan terjadi dengan malfungsi sirkuit
pernafasan (misalnya, kehabisan bahan pengabsorbsi, perlekatan katup satu arah).
Berat sensor menyebabkan traksi pada tube trakeal, dan panas yang dihasilkan
dapat menyebabkan luka bakar pada kulit. Desain yang lebih baru mengatasi
permasalahan ini.

B. Diversi (Aspirasi)
Kapnograf diversi (arus sisi) secara terus-menerus menghisap gas dari sirkuit
pernafasan ke ruang sampel dalam monitor. Konsentrasi CO2 ditentukan dengan
membandingkan absorpsi sinar inframerah dalam ruang sampel dengan kamar
yang bebas CO2. Aspirasi terus-menerus pada gas anestesi secara esensial
menunjukkan kebocokan pada sirkuit pernafasan yang akan mengkontaminasi
kamar operasi kecuai dibuang atau dikembalikan ke sistem pernafasan. Tingkat
aspirasi yang tinggi (sampai dengan 250 mL/menit) dan tube sampling rendah-
dead-space biasanya meningkatkan sensitifitas dan menurunkan waktu jeda. Jika
volume tidal (VT) adalah kecil (misalnya, pasien pediatri), akan tetapi, tingkat
aspirasi yang tinggi dapat mengikuti gas segar dari sirkuit dan mengencerkan
pengukuran ETCO2. Tingkat aspirasi yang rendah (kurang dari 50 mL/menit) dapat
memperlambat pengukuran ETCO2 dan menurunkan nilainya selama ventilasi cepat.
Unit yang baru melakukan autokalibrasi, tetapi unit yang lebih lama harus di-nol-
kan ke udara kamar dan terhadap konsentrasi CO 2 yang diketahui (biasanya 5%).
Unit diversi rentan terhadap presipitasi air di tube aspirasi dan ruang sampling
yang dapat menyebabkan obstruksi jalur sampling dan pembacaan yang keliru.
Malfungsi katup ekspiratori terdeteksi dengan adanya CO2 pada gas inspirasi.
Walaupun kegagalan katup inspiratori juga mengakibatkan pernafasan ulang CO2,
hal ini tidak segera tampak karena sebagian dari volume inspiratri akan masih
bebas CO2, menyebabkan monitor terbaca nl selama sebagaian fase inspiratori.

Pertimbangan Klinis
Gas-gas lainnya (missal, nitrit oksida) juga mengabsorbsi sinar inframerah,
menghasilkan efek pelebaran tekanan. Untuk meminimalkan kesalahan karena
nitrit oksida, berbagai modifikasi dan saringan terlah digabungkan dalam desain
monitor. Kapnograf dengan cepat dan dapat diandalkan mengindikasikan intubasi
esofageal – penyebab umum bencana anestesi – tetapi tidak dapat diandalkan
dalam deteksi intubasi bronchial. Walaupun mungkin terdapat beberapa CO2
dalam perut karena menelan udara ekspirasi, hal ini dapat dibilas dalam beberapa
nafas. Penghentian CO2 yang mendadak selama fase ekspiratori dapat
mengindikasikan lepasnya sambungan sirkuit. Peningkatan kecepatan metabolic
yang disebabkan oleh hipertermia maligna menyebabkan peningkatan besar pad
ETCO2.
Gradient antara PaCO2 dan ETCO2 (normalnya 2–5 mmHg) mencerminkan
dead space alveolar (alveoli yang terventilasi tetapi tidak mengalami perfusi).
Semua reduksi signifikan dalam perfusi paru (misalnya, embolisme udara),
penurunan output karida, atau penurunan tekanan darah) meningkatkan dead
space alveolar, mengencerkan ekspirasi CO2, dan mengurangi ETCO2. Kapnograf
yang sebenarnya (berbeda dengan kapnometer) menunjukkan bentuk gelombang
konsentrasi CO2 yang memungkinkan pengenalan berbagai kondisi (Gambar 6-5).

ANALISIS GAS ANESTESI


Indikasi
Analisis sistemik pada gas anestesi adalah penting selama semua prosedur yang
memerlukan anestesia inhalasi. Tidak terdapat kontraindikasi untuk analisis gas-
gas tersebut.

Teknik
Teknik untuk analisis berbagai gas anestesi termasuk spektrometri massa,
spektroskopi Raman, spektrofotometri inframerah, atau osilasi kristal piezoelectric
(quartz). Spektrometri massa dan spektroskopi Raman utamanya adalah dari minat
sejarah, karena sebagian besar gas anestesia sekarang diukur dengan analisis
absorbsi inframerah.
Unit inframerah menggunakan berbagai teknik yang mirip dengan yang
dideskripsikan untuk kapnografi. Peralatan-peralatan ini semuanya berdasarkan
pada hukum Beer–Lambert, yang memberikan formula untuk mengukur gas yang
tidak diketahui dalam gas inspirasi karena absorbsi sinar inframerah yang melalui
suatu bahan pelarut (gas inspirasi atau ekspirasi) adalah proporsional dengan
jumlah gas yang tidak diketahui. Oksigen dan nitrogen tidak mengabsorbsi sinar
inframerah. Terdapat sejumlah peralatan yang tersedia secara komersil yang
menggunakan sumber sinar inframerah single- atau dual-beam sinar inframerah
dan penyaring positif atau negative. Karena molekul oksigen tidak mengabsorbsi
sinar inframerah, konsentrasinya tidak dapat diukur dengan monitor yang
bergantung pada teknologi inframerah dan, dengan demikian, harus diukur dengan
sarana lainnya (lihat di bawah ini).

Pertimbangan Klinis
A. Analisis Piezoelectric
Metode piezoelectric menggunakan osilasi kristal quartz, salah satunya dilapisi
lipid. Anestesi yang mudah menguap dalam lapisan lipid dapat mengubah
frekuensi osilasi, yang, ketika dibandingkan dengan frekuensi osilasi kristal yang
tidak terlapisi, memungkinkan konsentrasi anestesi mudah menguap untuk
dihitung. Peralatan ini maupun analisis fotoakustik inframerah tidak
memungkinkan untuk membedakan agen-agen anestesi yang berbeda. Analyzer
optikal inframerah dual-beam yang baru memungkinkan gas untuk dipisahkan dan
mendeteksi penguap yang terisi dengan tidak sesuai.

B. Analisis Oksigen
Untuk mengukur To measure the FiO2 gas yang dihirup, pabrik mesin anestesia
telah bergantung pada berbagai teknologi.

C. Sel Galvanic
Sel Galvanic (sel bahan bakar) mengandung anoda timah dan katoda emas yang
terendam dalam potassium khlorida. Pada terminal emas, ion-ion hidroksil
terbentuk yang bereaksi dengan elektroda timah (dengan demikian secara bertahap
mengkonsumsinya) untuk memproduksi timah oksida, menyebabkan arus, yang
sebanding dengan jumlah oksigen yang diukur, untuk mengalir. Karena elektroda
timah terkonsumsi, masa hidup monitor dapat diperpanjang dengan
mempaparkannya ke udara kamar ketika tidak digunakan. Ini adalah monitor
oksigen yang digunakan pada banyak mesin anestesia dalam bagian inspiratori.

D. Analisis Paramagnetic
Oksigen adalah gas nonpolar, tetapi paramagnetik, dan ketika ditempatkan di
bidang magnetik, gas akan mengembang, berkontraksi ketika magnet dimatikan.
Dengan menyalakan dan mematikan bidang tersebut dan membandingkan
perubahan volume yang dihasilkan (atau tekanan atau aliran) dengan standar yang
diketahui, jumlah oksigen dapat diukur.

E. Elektroda Polarografi
Elektroda polarografi memiliki katoda emas (atau platinum) dan anoda perak,
keduanya terendam dalam elektrolit, dipisahkan dari gas untuk diukur dengan
membran semipermiabel. Tidak seperti sel galvanic, elektroda polarografi bekerja
hanya jika arus kecil diaplikasikan pada dua elektroda. Ketika voltase
diaplikasikan ke katoda, electron berkombinasi dengan oksigen untuk membentuk
ion hidroksi. Jumlah arus yang mengalir antara anoda dan katoda adalah
sebanding dengan jumlah oksigen yang ada.

F. Spirometri
Mesin anestesia yang lebih baru dapat mengukur (dan dengan demikian mengatur)
tekanan jalan nafas, volume, dan alirannya untuk menghitung resistensi dan
kompliansi dan untuk menampilkan hubungan variabel-variabel ini ketika
mengalir (misalnya, loop volume atau tekanan-volume). Pengukuran aliran dan
volume dibuat dengan peralatan mekanis yang biasanya cukup ringan dan
seringkali ditempatkan pada bagian inspiratori pada sirkuit anestesia.
Pengukuran yang paling mendasar termasuk tekanan inspiratori puncak
yang rendah dan tekanan inspiratori puncak yang tinggi, yang mengindikasikan
lepasnya sambungan ventilator atau sirkuit, atau obstruksi jalan nafas, masing-
masing. Dengan mengukur VT dan frekuensi nafa (f), ventilasi ekspirasi menit
(VE) dapat dihitung, memberikan rasa aman bahawa kebutuhan ventilasi
terpenuhi.
Loop spirometrik dan bentuk gelombang khas berubah dengan proses-
proses dan kejadian tertentu. Jika loop normal diamati segera setelah induksi
anestesi dan loop selanjutnya berbeda, anestesiologis cermat diperingatkan akan
fakta bahwa kompliansi pulmoner dan/atau jalan nafas mungkin telah berubah.
Loop spirometri biasanya menunjukkan aliran versis volume dan volume versus
tekanan (Gambar 6-6). Terdapat perubahan-perubahan khas dengan obstruksi,
intubasi bronchial, penyakit jalan nafas yang reaktif, dan seterusnya.

Monitor Sistem Neurologis


ELEKTROENSEFALOGRAFI
Indikasi & Kontraindikasi
Elektroensefalogram (EEG) kadang digunakan selama pembedahan
serebrovaskuler untuk memastikan kecukupan oksigenasi serebral. Monitoring
kedalaman anestesia dengan EEG penuh 16-lead, 8-saluran tidak disarankan,
dengan mempertimbangkan tersedianya teknik yang lebih sederhana. Tidak ada
kontraindikasi.

Teknik & Komplikasi


EEG adalah penceatatan potensi elektrik yang dihasilkan oleh sel-sel pada korteks
serebral. Walaupun elektroda ECG standar dapat digunaka, piringan perak yang
mengandung gel konduktif lebih dipilih. Elektroda jarum platinum atau stainless
steel menyebabkan trauma pada kulit kepala dan memiliki impedensi (resistensi)
tinggi; akan tetapi, hal tersebut dapat disterilkan dan ditempatkan pada bidang
bedah. Posisi elektroda (montage) diatur oleh sistem internasional 10-20 (Gambar
6-7). Perbedaan potensial elektrik antara kombinasi elektroda disaring,
diamplifikasi, dan ditampilkan dengan sebuah osiloskop atau pena pencatat.
Aktifitas EEG terjadi utamanya pada frekuensi antara 1–30 siklus/detik (Hz).
Gelombagn alfa memiliki frekuensi 8–13 Hz dan sering ditemukan pada dewasa
saat istirahat dengan mata tertutup. Gelombang beta sebesar 8–13 Hz ditemukan
pada individu yang sedang berkonsentrasi, dan kadang, pada individu dengan
anstesia. Gelombang delta memiliki frekuensi 0.5–4 Hz dan dan ditemukan pada
cedera otak, tidur dalam, dan anestesia. Gelombang theta (4–7 Hz) juga
ditemukan pada individu yang tidur dan selama anestesia. Gelombang EEG juga
ditandai dengan amplitudonya, yang berkaitan dengan potensialnya (amplitudo
tinggi, >50 microV; amplitude medium, 20–50 microV; dan amplitude rendah,
<20 microV). Terakhir, EEG diperiksa sebagai simetri antara hemisfer kiri dan
kanan.
Pemeriksaan EEG multi-saluran kadang dilakukan selama pembedahan
untuk mendeteksi area-area iskemia serebral, seperti selama carotid
endarterektomi juga selama pembedahan epilepsy. Demikian juga, ini dapat
digunakan untuk mendeteksi isoelektrisitas EEG dan perlindungan serebral
maksimum selama serangan hipothermi. Diagram garis EEG tidak praktis untuk
digunakan di kamar operasi, dan seringkali EEG diproses dengan menggunakan
analisis tenaga spectral. Analisis grekuensi membagi EEG dalam suatu seri
gelombang sinus pada frekuensi yang berbeda-beda dan kemudian memplotkan
tenaga sinyal pada masing-masing frekuensi, memungkinkan presentasi aktifitas
EEG dengan cara yang lebih dapat diatur daripada melihat EEG mentah (Gambar
6-8). Selama anestesi inhalasi, aktifasi beta awal diikuti dengan pelambatan,
supresi tiba-tiba, dan isoelektrisitas. Agen intravena, tergantung dari dois dan obat
yang digunakan, dapat menghasilkan berbagai pola EEG.
Untuk mereduksi insidensi kesadaran anestesia, telah dikembangkan
peralatan dalam beberapa tahun terakhir yang memproses sinyal EEG dua-saluran
dan menciptakan variabel tanpa dimensi untuk mengindikasikan kesadaran.
Indeks bispektral (BIS) adalah yang paling umum digunakan dalam hal ini.
Monitor BIS memeriksa empat komponen dalam EEG yang berkaitan dengan
keadaan anestetik: (1) frekuensi rendah, seperti yang ditemukan selama anestesia
dalam; (2) aktifasi beta frekuensi tinggi yang ditemukan selama anestesia
”ringan”; (3) gelombang EEG supresi; dan (4) supresi tiba-tiba.
Peralatan lain berusaha untuk menyertakan pengukuran aktifitas otot
spintan, seperti yang dipengaruhi dengan aktifitas struktur subkortikal yang tidak
berkontribusi pada EEG untuk selanjutnya memberikan penilaian kedalaman
anestesi. Berbagai peralatan, masing-masing dengan alogaritmanya sendiri untuk
memproses EEG dan/atau menggabungkan variabel lainnya untuk memastikan
kesadaran pasien, dapat tersedia di masa yang akan datang (Tabel 6-1).
Masih terdapat kontroversi mengenai peranan pasti dari peralatan proses
EEG dalam menilai kedalaman anestetik. Beberapa penelitian telah menunjukkan
reduksi kesadaran ketika peralatan ini digunakan, sedangkan penelitian lainnya
tidak menunjukkan keuntungan apapun dari pemakaian pengukuran gas inhalasi
untuk memastikan konsentrasi alveolar minimal dari agen anestetik. Karena
responsifitas EEG terhadap agen anestetik dapat bervariasi, monitor EEG untuk
menilai kedalaman anestesia atau untuk titrasi pemberian anestetik mungkin tidak
selalu memastikan tidak adanya kesadaran. Terlebih lagi, banyak monitor
memiliki jeda, yang mungkin hanya mengindikasikan resiko pasien menjadi tahu
setelah ia telah sadar (Tabel 6-2).

Pertimbangan Klinis
Untuk melakukan analisis bispektral, data yang diukur dengan EEG diambil
melalui beberapa langkah (Gambar 6-9) untuk menghitung satu angka yang
berhubungan dengan kedalaman anestesia/hipnosis.
Nilai BIS sebesar 65–85 telah dianjurkan sebagai pengukuran sedasi,
sedangkan nilai 40–65 direkomendasikan untuk anestesia general (Gambar 6-10).
Analisis bispektral dapat mereduksi kesadaran pasien selama anestesia, suatu
permasalahan yang penting bagi publik.
Banyak penelitian awal tentang penggunaannya yang tidak prospektif,
randomisasi, uji terkontrol, tetapi utamanya adalah bersifat observasional. Artifak
dapat menjadi permasalahan, monitor, dalam dan monitor itu sendiri, berharga
beberapa ribu dolar dan elektrodanya kira-kira $10 sampai $15 per anestesi dan
tidak dapat dipakai kembali.
Beberapa kasus dengan kesadaran telah teridentifikasi sebagai memiliki
nilai BIS kurang dari 65. Akan tetapi, pada kasus kesadaran lainnya, terdapat
permasalahan dengan pencatatan, ataupun kesadaran dapat dikaitkan dengan
waktu atau nilai BIS yang spesifik. Apakah teknik monitoring ini menjadi standar
perawatan di masa depan masih perlu dilihat, dan penelitian-penelitian masih
berlangsung.
Deteksi kesadaran seringkali dapat meminimalkan konsekuensinya.
Penggunakan pertanyaan Brice selama kunjungan postoperative dapat
memperingatkan penyedia anestesia akan potensi terjadinya kesadaran. Tanyakan
pasien untuk mengingat hal-hal berikut ini:
 Apa yang Anda ingat sebelum tidur?
 Apa yang Anda ingat tepat setelah sadar?
 Apakah Anda ingat sesuatu di antara tidur dan bangun?
 Apakah Anda bermimpi selama tidur?

Follow-up yang cermat dan keterlibatan pakar kesehatan mental dapat


menghindari stress traumatik yang dapat dikaitkan dengan peristiwa kesadaran.
Semakin banyak, pasien ditangani dengan anestesia regional dan sedasi propofol.
Pasien yang menjalani anestesi seperti tersebut perlu disadarkan bahwa mereka
tidak menjalani anestesia genral dan mungkin mengingat kejadian-kejadian
perioperatif. Klarifikasi teknik yang digunakan dapat mencegah pasien yang
ditangani meyakini bahwa mereka ”terbangun” selama anestesia.
.
BANGKITAN POTENSIAL
Indikasi
Indikasi untuk monitoring intraoperatif bangkitan potensial (EP) termasuk
proedur bedah yang berkaitan dengan kemungkinan kerusakan neurologis: fusi
spinal dengan instrumentasi, reseksi tumor tulang belakang dan spinal cord,
perbaikan pleksus brachialis, perbaikan aneurisma aortik thorakoabdoinal, bedah
epilepsy, dan reseksi tumor serebral. Iskemia pada spinal cord atau korteks
serebral dapat dideteksi dengan EP. Monitoring EP memfasilitasi lokalisasi probe
selama bedah saraf stereotaktik. EP auditorik juga telah digunakan untuk menilai
efek dari anestesia general pada otak. Latensi tengah EP auditori dapat menjadi
indikator yang lebih sensitif daripada BIS mengenai kedalaman anestesi.
Amplitude dan latensi sinyal ini setelah stimulus audtorik dipengaruhi oleh
anestesi

Kontraindikasi
Walaupun tidak ada kontraindikasi spesifik untuk somatosensory-evoked
potentials (SEP), modalitas ini sangat terbatas dengan ketersediaan tempat
monitoring, peralatan, dan personel yang terlatih. Sensitifitas terhadap gas
anestesi juga dapat menjadi faktor yang membatasi, khususnya pada anak-anak.
Motor-evoked potentials (MEP) adalah kontraindikasi pada pasien-pasien dengan
metal intracranial, defek tengkorak, dan peralatan implant, juga setelah kehang
dan kerusakan serebral mayor lainnya. Kerusakan otak sekunder karena stimulasi
berulang pada korteks dan induksi kejang adalah permasalahan dengan MEP.

Teknik & Komplikasi


Monitoring EP secara noninvasif menilai fungsi neural dengan mengukur respon
elektrofisiologis terhadap stimulasi jalur sensorik atau motor. Monitor EP yang
umum digunakan adalah brainstem auditory evoked responses (BAER), SEP, dan
semakin banyak, MEP (Gambar 6-11).
Untuk SEP, arus listrik singkat diberikan pada nervus perifer sensorik atau
campuran oleh sepasang elektroda. Jika jalur yang menhubungkan utuh, potensial
aksi saraf akan ditransmisikan pada korteks sensorik kontralateral untuk
menghasilkan EP. Potensial ini dapat diukur dengan elektroda permukaan
kortikal, tetapi biasanya diukur dengan elektroda kulit kepala. Untuk membedakan
respon kortikal pada stimulus spesifik, berbagai respon dirata-rata dan kebisingan
latar belakang dieliminasi. EP ditunjukkan dalam bentuk plot voltase versus
waktu. Bentuk gelombang yang dihasilkan dianalisis untuk latensi
poststimulusnya (waktu antara stimulasi dan deteksi potensial) dan puncak
amplitude. Ini dibandingkan dengan catatan awal. Penyebab teknis dan fisiologis
dari perubahan EP harus dibedakan dari perubahan-perubahan karena kerusakan
neural. Komplikasi moitoring EP adalah jarang, tetapi termasuk iritasi kulit dan
iskemia karena tekanan pada tempat aplikasi elektroda.

Pertimbangan Klinis
EP diubah oleh berbagai variabel selain kerusakan neural. Efek dari anestesi
adalah kompleks, dan tidak mudah dirangkum. Secara umum, teknik anestesi
yang seimbang (nitrit oksida, agen blok neuromuskuler, dan opioid)
menyebabkan perubahan minimal, sedangkan agen mudah menguap
(halothane, sevoflurane, desflurane, dan isoflurane) lebih baik dihindari atau
digunakan dengan dosis rendah konstan. Respon EP yang terjadi segera
(spesifik) lebih tidak terpengaruh oleh anestesi daripada yang terjadi lambat
(nonspesifik). Perubahan pada BAER dapat memberikan pengukuran kedalaman
anestesia. Faktor-faktor fisiologis (misalnya, tekanan darah, temperatur, dan
saturasi oksigen) dan farmakologis perlu dijaga sekonstan mungkin.
Hilangnya EP persisten adalah prediktif untuk deficit neurologis
postoperatif. Walaupu SEP biasanya mengidentifikasi kerusakan spinal cord,
karena perbedaan jalur anatomik mereka, preservasi EP sensorik (spinal cord
dorsal) tidak menjamin fungsi motor normal (spinal cord ventral) (negatif palsu).
Selanjutnya, SEP yang dihasilkan dari stimulasi nervus tibial posterior tidak dapat
membedakan antara iskemia perifer dan sentral (positif palsu). Teknik yang
menghasilkan MEP dengan menggunakan magnetic transkranial atau stimulasi
elektris pada kortek memungkinkan deteksi potensial aksi pada otot jika jalur
neural utuh. Keuntungan menggunakan MEP dibandingkan dengan SEP untuk
monitoring spinal cord adalah bahwa MEP memonitor ventral spinal cord, dan
jika cukup sensitive dan spesifik, dapat digunakan untuk mengindikasikan pasien
mana yang dapat mengalami deficit motor postoperatif. MEP lebih sensitive
terhadap iskemi spinal cord daipara SEP. Pertimbangan yang sama untuk SEP
dapat digunakan untuk MEP dalam hal mereka terpengaruh oleh agen inhalasi
mudah menguap, benzodiazepine dosis tinggi, dan hipotermia moderat
(temperatur kurang dari 32°C). MEP memerlukan monitoring tingkat blok
neuromuskuler. Komunikasi yang erat dengan neurofisiologis adalah penting
sebelum dimulainya kasus apapun dimana monitor ini digunakan untuk
membahas teknik anestesi optimal untuk memastikan integritas monitoring. MEP
adalah sensitif terhadap anestesi mudah menguap. Sebagai akibatnya, teknik
intravena seringkali lebih dipilih.

OKSIMETRI SEREBRAL DAN MONITOR OTAK LAINNYA


Oksimetri serebral menggunakan near infrared spectroscopy (NIRS). Dengan
menggunakan spektroskopi reflektansi sinar mendekati inframerah dihasilkan oleh
sebuah probe pada kulit kepala (Gambar 6-12). Reseptor demikian juga
diposisikan untuk mendeteksi cahaya pantulan dari struktur dalam dan superficial.
Seperti dengan pulse oksimetri, hemoglobin teroksigen asi dan deoksigenasi
mengabsorbsi sinar pada frekuensi yang berbeda. Demikian pula, sitokrom
mengabsorbsi sinar inframerah di mitokondria. Saturasi NIRS sebagian besar
memantulkan absorbsi hemoglobin vena, karena tidak memiliki kemampuan
untuk mengidentifikasi komponen arterial pulsatil. Saturasi regional kurang dari
40% pada pengukuran NIRS, atau perubahan lebih dari 25% pengukuran dasar,
dapat menandakan peristiwa neurologis sekunder karena penurunan oksigenasi
serebral. Pengukuran saturasi bulbus vena juguler juga dapat memberikan
esteimasi ekstraksi oksigen jaringan serebral/penurunan pemberian oksigen
serebral. Penurunan saturasi dapat mengindikasikan hasil yang buruk. Monitoring
oksigen langsung pada otak didapatkan dengan penempatan probe untuk
menentukan tekanan oksigen di jaringan otak. Selain mempertahankan tekanan
perfusi serebral yang lebih besar dari 60 mmHg dan tekanan intracranial yang
kurang dari 20 mmHg,neuroanestesiologis/intensifies berusaha mempertahankan
oksigenasi jaringan otak dengan mengintervensi ketika tekanan oksigen jaringan
adalah kurang dari 20 mmHg. Intervensi tersebut berpusat pada perbaikan
pemberian oksigen dengan meningkatkan FiO2, menambah hemoglobin,
menyesuaikan output kardia, atau menurunkan kebutuhan oksigen.

Monitor Lainnya
TEMPERATUR
Indikasi
Temperatur pasien yang menjalani anestesia harus dimonitor temperatur
postoperatif semakin banyak digunakan sebagai indicator kualitas anestesi.
Hipetermia dikaitkan dengan penundaan metabolism obat, peningkatan glukosa
darah, vasokonstriksi, gangguan koagulasi, dan gangguan resistensi terhadap
infeksi bedah. Hipertermia demikian pula dapat memiliki efek mengganggu pada
perioperatif, menyebabkan takikardia, vasodilatasi, dan kerusakan neurologis.
Sebagai akibatnya, temperatur harus diukur dan dicatat pada perioperatif.

Kontraindikasi
Tidak ada kontraindikasi, walaupun tempat monitoring tertentu mungkin tidak
sesuai pada pasien-pasien tertentu.

Teknik & Komplikasi


Pada intraoperatif, temparatur biasanya diukur dengan menggunakan thermistor
atau thermocouple. Thermistor adalah semikonduktor yang resistensinya menurun
sesuai perkiraan dengan penghangatan. Thermocouple adalah sirkuit dua metal
berbeda yang digabungkan sehingga dihasilkan perbedaan potensial ketika metal
berada pada temperatur yang berbeda. Probe thermocouple dan thermistor sekali
pakai tersedia untuk monitoring temperatur membrane timpani, nasofaring,
esophagus, kandung kencing, rectum, dan kulit. Sensor inframerah mengestimasi
temperatur dari energi inframerah yang diproduksi. Temperatur membrane timpai
mencerminkan temperatur inti tubuh; akan tetapi, peralatan yang digunakan
mungkin tidak dapat diandalkan mengukur temperatur pada membrane timpani.
Komplikasi monitoring temperatur biasanya berhubungan dengan trauma yang
disebabkan oleh probe (misalnya, perforasi rectal atau membrane timpani).
Masing-masing tempat monitoring memiliki keuntungan dan kerugian.
Membrane timpani secara teori mencerminkan temparatur otak karena suplai
darah kanalis auditorik adalah arteri carotid eksterna. Trauma selama insersi dan
isolasi serumen berkurang dari pemakaian probe timpani rutin. Temparatur rectal
memiliki respon lambat terhadap perubahan pada temperatur inti. Probe
nasofaringeal berkurang dari pemakaian rutin probe timpani. Temperatur rectal
memiliki respon lambat terhadap perubahan pada temperatur inti. Probe
nasofaringeal rentan menyebabkan epistaxis, tetapi mengukur temperatur inti
dengan akurat jika ditempatkan berdekatan dengan mukosa nasofaringeal.
Thermistor pada kateter arteri pulmoner juga mengukur temperatur inti. Terdapat
korelasi variabel antara suhu axiler dan suhu inti, tergantung pada perfusi kuit.
Strip adhesive kristal cair yang ditempatkan pada kulit adalah indikator yang tidak
adekuat untuk suhu tubuh inti selama pembedahan. Sensor suhu esofageal,
surgery. Esofageal temperature sensor, digabungkan dalam stetoskop esofageal,
memberikan kombinasi terbaik dari ekonomi, performa, dan keamanan. Untuk
menghindari mengukur temperatur gas trakea, sensor suhu perlu diposisikan di
belakang jantung pada sepertiga bawah esophagus. Jelas, suara jantung adalah
yang paling menonjol pada lokasi ini. Untuk pertimbangan klinis kontrol suhu
lainnya, lihat Bab 52.

OUTPUT URIN
Indikasi
Kateterisasai kandung kemih adalah satu-satunya metode yang dapat diandalkan
untuk monitor output urin. Memasukkan kateter urin diindikasikan pada pasien-
pasien dengan gagal jantung kongestif, gagal ginjal, penyakit hepar lanjut, atau
syok. Kateterisasi adalah rutin pada beberapa prosedur bedah seperti bedah
janutng, bedah vaskuler aortic atau renal, kraniotomi, bedah abdominal mayor,
atau prosedur dimana diharapkan pergeseran cairan yang besar. Pembedahan yang
lama dan pemberian diuretic intraoperatif adalah indikasi lain yang mungkin.
Kadang, kateterisasi kandung kemih postoperatif diindikasikan pada pasien-pasien
yang mengalami kesulitan mengosongkan kamar pemulihan setelah anestesi
general atau regional.

Kontraindikasi
Kateterisasi kandung kencing perlu dilakukan dengan sangat hati-hati pada pasien
dengan resiko tinggi infeksi.

Teknik & Komplikasi


Kateterisasi kandung kemih biasanya dilakukan oleh personel bedah atau perawat.
Untuk menghindari trauma yang tidak perlu, urologist perlu mengkateter pasien
yang dicurigai memiliki anatomi uretral abnormal. Kateter Foley karet yang lunak
dimasukkan dalam kandung kemih secara transurethral dan dihubungkan ke ruang
pengumpulan berkalibrasi sekali pakai. Untuk menghindari rfluks urin dan
meminimalkan resiko infeksi, ruang tersebut harus tetal berada pada ketinggian di
bawah kandung kemih. Komplikasi kateterisasi termasuk trauma uretral dan
infeksi traktus uriner. Dekompresi cepat pada kandung kemih yang terdistensi
dapat menyebabkan hipotensi. Kateterisasi suprapubik pada kandung kemih
dengan tube dimasukkan melalui jarung ukuran besar adalah alternatif yang tidak
biasa.

Pertimbangan Klinis
Keuntungan tambahan dari menempatkan kateter Foley adalah kemampuan untuk
menyertakan thermistor dalam ujung kateter sehingga temperatur kandung kemih
dapat dimonitor. Selama output urin adalah tinggi, temperatur kandung kemih
secara akurat menunjukkan temperatur inti. Tambahan nilai dengan penggunaan
urometer yang lebih tersebar luas adalah kemampuan untuk secara elektronis
memonitor dan mencatat output urin dan temperatur.
Outpur urin menunjukkan pefusi ginjal dan fungsinya dan indicator dari status
renal, kardiovaskuler, dan cairan. Output urin yang tidak adekuar (oliguria) sering
dengan seenaknya didefinisikan sebagai output urin kurang dari 0.5 mL/kg/jam,
tetapi sebenarnya dalah fungsi kemampuan konsentrasi dan beban osmotic pasien.
Komposisi elektrolit urin, osmolaritasw, dan gravitasi spesifik membantu dalam
differensial diagnosis oliguria.

STIMULASI NERVUS PERIFER


Indikasi
Karena variasi pada sensitifitas pasien terhadap agen blok neuromuskuler, fugnsi
neuromuskuler pada semua pasien yang mendapatkan agen blok neuromuskuler
intermediate atau long-acting perlu dimonitor. Selain itu, stimulasi nervus perifer
membantu dalam menilai paralisis selama induksi sekuensi-cepat atau selama
infuse kontinyu agen short-acting. Selanjutnya. Stimulator nervus perifer dapat
membantu menemukan lokasi saraf yang akan diblok oleh anestesia regional.

Kontraindikasi
Tidak ada kontraindikasi untuk monitoring neuromuskuler, walaupun tempat
tertentu dapat terhalang prosedur bedah. Sebagai tambahan, otot atrofi pada area-
area hemiplegic atau kerusakan saraf dapat tampak refraktori terhadap blok
neuromuskuler sekunder karena proliferasi reseptor. Menentukan derajat blok
neuromuskuler dengan menggunakan ekstremitas tersebut dapat menyebabkan
potensi overdosis agen blok neuromuskuler kompetitif.

Teknik & Komplikasi


Stimulator saraf perifer memberikan arus (60-80 mA) pada sepasang bantalan
khlorida perak ECG atau jarum subkutaneus yang ditempatkan pada nervus motor
perifer. Bangkitan mekanis atau respon elektris otot yang dipersarafi teramati.
Walaupun elektromiografi memberikan pengukuran transmisi neuromuskuler
yang cepat, akurat dan kuantitatif, observasi visual atau taktil pada kontraksi otot
biasanya diandalkan pada praktik klinis. Stimulasi nervus ulnar pada otot adductor
pollicis dan stimulasi nervus facial pada orbicularis oculi adalah yang paling
umum dimonitor (Gambar 6-13). Karena inhibisi reseptor neuromuskuler yang
perlu dimonitor, stimulasi langsung pada otot perlu dihindari dengan
menempatkan elektroda pada perjalanan saraf dan tidak pada otot itu sendiri.
Untuk memberika stimulasi supramaksimal pada nervus di bawahnya, stimulator
nervus perifer harus mampu menghasilkan setidaknya arus 50-mA pada beban
1000-Ω. Arus ini tidak nyaman untuk pasien sadar. Komplikasi stimulasi nervus
terbatas pada iritasi kulit dan abrasi pada tempat pelekatan elektroda.
Karena permasalahan blok neuromuskuler residual, semakin banyak
perhatian yang difokuskan pada memberikan pengukuran kuantitatif pada derajat
blok neuromuskuler perioperatif. Acceleromyography menggunakan transduser
piezoelectric pada otot yang akan distimulasi. Gerakan otot menghasilkan arus
elektris yang dapat dikuantifikasi dan ditampilkan. Memang. Acceleromyography
dapat lebih baik dalam memprediksi paralisis residual, dibandingkan dengan
monitoring taktil train-of-four rutin yang digunakan pada sebagian besar kamar
operasi, jika dikalibrasikan dari awal periode operatif untuk menetapkan nilai
awal sebelum pemberian agen blok neuromuskuler.

Pertimbangan Klinis
Derajat blok neuromuskuler dimonitor dengan menggunakan berbagai pola
stimulasi elektrik (Gambar 6-14). Semua stimuli berdurasi 200 μs dan pola
gelombang kuadrat dan intensitas arus yang sebanding. Twitch adalah pulse
tunggal yang diberikan dari setiap 1 sampai setiap 10 detik (1–0.1 Hz).
Peningkatan blok menghasilkan penurunan respon bangkitan terhadap stimulasi.
Stimulasi train-of-four menunjukkan empat stimuli 200-μs berturutan
dalam 2 detik (2 Hz). Twitch dalam pola train-of-four secara progresif
menghilang ketika blok muscle relaxant nondepolarisasi meningkat. Rasio respon
terhadap twich pertama dan keempat adalah indikator yang sensitive pada
paralisis otot nondepolarisasi. Karena sulit untuk memperkirakan rasio train-of-
four, lebih nyaman untuk mengamati secara visual sekuensi hilangnya twitch,
karena hal ini juga berhubungan dengan cakupan blok. Hilangnya twitch keempat
menunjukkan blok 75%, twitch ketiga blok 80%, dan twitch kedua 90% blok.
Relaksasi klinis biasanya memerlukan blok neuromuskuler 75% sampai 95%.
Tetani pada 50 atau 100 Hz adalah tes yang sensitive untuk fungsi
neuromuscular. Kontraksi lama selama 5 detik mengindikasikan pembalikan blok
neuromuskuler yang adekuat – tetapi tidak selalu berarti komplit. Doubleburst
stimulation (DBS) menunjukkan dua variasi tetani yang lebih tidak sakit bagi
pasien. Pola DBS 3,3 pada stimulasi saraf terdiri dari tiga ledakan frekuensi tinggi
(200-μs) yang dipisahkan dengan interval 20 ms (50 Hz) diikuti selanjutnya 750
ms dengan tiga ledakan lainnya. DBS 3,2 terdiri dari tiga 200-μs impuls pada 50
Hz yang diikuti dengan 750 ms selanjutnya dengan dua impuls tersebut. DBS
lebih sensitive daripada stimulasi train-of-four untuk evaluasi klinis (yaitu, visual)
dari pengaburan.
Karena grup otot berbeda dalam sensitifitasnya terhadap agen blok
neuromuskuler, penggunaan stimulator saraf perifer tidak dapat menggantikan
observasi langsung pada otot (misalnya, diafragma) yang perlu direlaksasikan
untuk prosedur bedah spesifik. Selanjutnya, pemulihan fugnsi adductor pollicis
tidak benar-benar paralel dengan pemulihan otot-otot yang diperlukan untuk
mempertahankan jalan nafas. Otot-otot diafragma, rectus abdominis, laryngeal
adductors, dan orbicularis oculi pulih dari blok neuromuskuler lebih cepat
daripada adductor pollicis. Indicator lainnya termasuk mengangkat kepala lama
(≥5 detik), kemampuan untukmenghasilkan tekanan inspiratorik setidaknya –25
cmH2O, dan genggaman tangan yang kuat. Tekanan twitch direduksi dengan
hipotermia pada grup otot yang dimonitor (6%/°C). Keputusan mengenai
kecukupan pemulihan blok neuromuskuler, juga waktu ekstubasi, perlu dibuat
hanya dengan mempertimbangkan presentasi klinis pasien dan penilaian stimulasi
nervus perifer yang ditentukan. Postoperatif residual curarization (PORC) tetap
menjadi masalah pada perawatan postanesthesia, memberikan potensi cedera jalan
nafas dan kompromi fungsi respiratorik. Pemulihan agen blok neuromuskuler
dijamin, karena penggunaan agen blok neuromuskuler intermediate acting
daripada obat-obat dengan kerja yang lebih lama.

DISKUSI KASUS
Monitoring selama Magnetic Resonance Imaging
Seorang laki-laki usia 50 tahun dengan onset kejang baru-baru ini
dijadwalkan untuk magnetic resonance imaging (MRI). Usaha MRI
sebelumya gagal karena reaksi klaustrofobia berat pasien tersebut.
Radiologist meminta bantuan Anda dalam memberikan sedasi atau anestesia
general.

Mengapa kamar MRI memberikan permasalahan khusus untuk pasien dan


anestesiologis?
Pemeriksaan MRI cenderung panjang (sering lebih dari 1 jam) dan banyak
scanner yang mengelilingi tubuh sepenuhnya, menyebabkan insidensi
klaustrofobia yang tinggi pada pasien yang sudah merasa cemas tentang kesehatan
mereka. Pencitraan yang baik memerlukan immobilitas, sesuatu yang sulit
didapatkan pada banyak pasien tanpa sedasi atau anestesia general.
Karena MRI menggunakan magnet yang kuat, tidak ada objek
ferromagnetic yang dapat ditempatkan dekat scanner. Hal ini termasuk sendi
prosthetic implant, pacemaker buatan, klip bedah, baterai, mesin anestesia biasa,
jam, pena, atau kartu kredit. Kabel lead metal biasa untuk pulse oksimeter atau
elektrokardiografi berperan sebagai antena dan dapat menarik energi
radiofrekuensi yang cukup untuk mengganggu gambar MRI atau bahkan
menyebabkan luka bakar pada pasien. Sebagai tambahan, bidang magnetic
scanner menyebabkan artifak monitor. Semakin kuat magnet scanner, seperti yang
diukur dalam unit Tesla (1 T = 10.00 gauss), semakin besar potensi permasalahan.
Hambatan lainnya termasuk akses yang buruk pada pasien selama pencitraan
(khususnya jalan nafas pasien), hipotermia pada pasien pediatrik, pencahayaan
yang redup dalam terowongan pasien, dan suara yang sangat berisik (sampai
dengan 100 dB).
Bagaimana permasalahan monitoring dan mesin anestesia ini diatasi?
Pabrik peralatan telah memodifikasi monitor sehingga sesuai dengan lingkungan
MRI. Modifikasi-modifikasi ini termasuk elektroda elektrokardiograf
nonferromagnetik, grafit dan kabel tembaga, penyaring dan pintu sinyal yang
panjang, tube manset tekanan darah yang ekstra panjang, dan penggunaan
teknologi serabut optic. Mesin anestesia tanpa komponen ferromagnetic
(misalnya, silinder gas aluminium) telah disesuaikan dengan ventilator yang
sesuai dengan MRI dan sistem lingkaran atau sirkuit pernafasan Mapleson D yang
panjang.

Apa faktor-faktor yang memperngaruhi pilihan antara anestesia general dan


sedasi intravena?
Walaupun sebagian besar pasien akan mentoleransi pemeriksaan MRI dengan
sedasi, pasien dengan cedera kepala dan pasien pediatri yang memberikan
tantangan khusus dan akan sering memerlukan anestesia general. Karena
keterbatasan mesin dan monitoring, dapat muncul argument bahwa sedasi, bila
dimungkinkan, akan menjadi pilihan yang lebih aman. Pada sisi lain, hilangnya
kontrol jalan nafas dari sedasi dalam dapat menjadi bencana karena akses pasien
yang buruk dan deteksi yang lambat. Pertimbangan penting lainnya termasuk
modalitas monitoring yang tersedia pada fasilitas tertentu dan kondisi medis
umum dari pasien tersebut.

Monitor mana yang perlu dianggap wajib pada kasus ini?


Pasien perlu mendapatkan tingkat monitoring dan perawatan di kamar MRI yang
setidaknya sama dengan kamar operasi untuk prosedur noninvasive yang serupa.
Dengan demikian, American Society of Anestesiologiss Standards for Basic
Anesthetic Monitoring (lihat Panduan pada halaman berikutnya) berlaku seperti
pada pasien yang menjalani anestesia general.
Auskultasi kontinyu pada suara pernafasan dengan stetoskop prekordial
plastik (bukan metal) dapat membantu untuk mengidentifikasi obstruksi jalan
nafas yang disebabkan oleh sedasi yang berlebihan. Palpasi pada nadi perifer atau
mendengarkan suara Korotkoff adalah tidak praktis dalam kondisi ini.
Memastikan kecukupan sirkulasi tergantung pada monitoring elektrokardiografi
dan osilometrik tekanan darah. Analizer end-tidal CO2 dapat diadaptasi untu kasus
sedasi dengan menghubungkan jalur sampling ke tempat di dekat mulut atau
hidung pasien jika kanula nasal dengan saluran sampling CO2 tidak tersedia.
Karena aliran udara kamar menghalangi pengukuran yang tepat, teknik ini
memberikan indikator kualitatif dari ventilasi. Kapanpun sedasi direncanakan,
peralatan untuk konversi kegawatan menjadi anestesia general (misalnya, tube
trakeal, kantung resusitasi) harus segera tersedia.

Apakah adanya personel anestesia secara terus-menerus diperlukan selama


kasus-kasus ini?
Pastinya, ya. Pasien sedasi memerlukan perawatan anestesia termonitor yang
terus-menerus untuk mencegah berbagai komplikasi yang tidak diketahui, seperti
apneu atau emesis.

Anda mungkin juga menyukai