KONSEP KUNCI
1. Kanografi dengan cepat dan dapat diandalkan mengindikasikan intuasi esofageal – penyebab
umum bencana anestesi – tetapi tidak mendeteksi intubasi bronkial.
2. Monitoring yang ceral pada blok neuromuskuler dengan menggunakan sarana klinis dan
kuantitatif dapat mereduksi insidensi kurarisasi postoperatif.
Kontraindikaai
Instrumentasi esofagus perlu dihindari pada pasien-pasien dengan varises atau
striktur esofageal.
Pertimbangan Klinis
Informasi yang disediakan oleh stetoskop prekordial atau esofageal termasuk
konfirmasi ventilasi, kualitas suara pernafasan (misalnya, stridor, wheezing),
regularitas denyut jantung, dan kualitas tonus jantung (tonus yang teredam
berkaitan dengan penurunan output kardia).
Konfirmasi suara pernafasan bilateral setelah intubasi trakeal, akan tetapi,
dibuat dengan stetostop binaural.
PULSE OKSIMETRI
Indikasi & Kontraindikasi
Pulse oksimeter adalah monitor wajib untuk semua anestesi, termasu kasus-kasus
sedasi moderat. Tidak ada kontraindikasi.
Pertimbangan Klinis
Selain dari SpO2, pulse oksimeter memberikan indikasi perfusi jaringan (amplitude
nadi) dan mengukur denyut jantung. Karena SpO2 normalnya mendekati 100%,
hanya anormalitas besar yang dapat dideteksi pada sebagian besar pasien dengan
anestesi. Tergantung pada kurva dissosiasi oksigen-hemoglobin pasien tertentu,
saturasi 90% dapat mengindikasikan PaO2 kurang dari 65 mm Hg. Hal ini
sebanding dengan sianosis yang dapat terdeteksi secara klnis, yang memerlukan 5
g hemoglobin desaturasi dan biasanya sesuai dengan SpO2 kurang dari 80%.
Intubasi bronkial biasanya akan tidak terdeteksi dengan pulse oksimetri pada
keadaan tidak adanya penyakit paru atau fraksi konsentrasi oksigen inspirasi yang
rendah (FiO2).
Karena karboksihemoglobin (COHb) dan HbO2 mengabsorbsi cahaya pada
660 nm secara identik, pulse oksimeter yang membandingkan hanya dua panjang
gelombang cahaya akan menerima pembacaan tinggi yang salah pada pasien-
pasien dengan keracunan karbon monoksida. Methemoglobin memiliki koefisien
absorpsi yang sama pada panjang gelombang merah dan inframerah. Rasio
absorbsi 1:1 yang dihasilkan sesuai dengan pembacaan saturasi sebesar 85%.
Dengan demikian, methemoglobinemia menyebabkan pembacaan saturasi
rendah yang salah ketika SaO2 sebenarnya lebih besar dari 85% dan
pembacaan tinggi yang salah jika jika SaO2 sebenarnya kurang dari 85%.
Sebagian besar pulse oksimeter adalah tidak akurat pada SpO2 yang rendah,
dan semua menunjukkan penundaan antara perubahan pada SaO2 dan SpO2. Sebab
lainnya dari artifak pulse oksimetri termasuk sinar lingkungan yang
berlebihan, gerakan, pewarna methylene blue, pulsasi vena pada anggota
gerak yang dependen, perfus rendah (misalnya, output kardia yang rendah,
anemia berat, hipothermia, peningkatan reistensi vaskuler sistemik),
malposisi sensor, dan kebocoran cahaya dari dioda penghasil cahaya ke
fotodioda, melewati bidang arterial (shunting optikal). Akan tetapi, pulse
oksimetri dapat menjadi bantuan yang tak ternilai pada diagnosis hipoksia yang
cepat, yang dapat terjadi pada intubasi esofageal yang tidak diketahui, dan
selanjutnya bertujuan memonitoring pemberian oksigen ke organ vital. Pada
kamar pemulihan, pulse oksimetri membantu mengidentifikasi permasalahan
pulmoner postoperatif, seperti hipoventilasi berat, bronkospasme, dan atelectasis.
Dua ekstensi teknologi pulse oksimetri adalah saturasi oksigen darah vena
campuran (SvO2) dan oksimetri otak noninvasif. Ekstensi pertama memerlukan
penempatan kateter arteri pulmoner yang mengandung sensor serabut optik yang
terus-menerus menentukan SvO2 dengan cara analog terhadap pulse oksimetri.
Karena SvO2 bervariasi dengan perubahan pada konsentrasi hemoglobin, output
kardia, saturasi oksigen arterial, dan konsumsi oksigen seluruh tubuh,
interpretasinya sedikit kompleks. Variasi teknik ini termasuk menempatkan sensor
serabut optik pada vena jugular interna, yang memberikan pengukuran saturasi
oksigen bulbus juguler dalam usaha untuk menilai kecukupan pemberian oksigen
serebral.
Oksimetri otak noninvasif memonitor saturasi oksigen regional (rSO2) pada
hemoglobin di otak. Sebuah sensor yang ditempatkan pada dahi mengeluarkan
sinar yang spesifik panjang gelombang dan mengukur sinar yang dipantulkan
kembali ke sensor (spektroskopi optic dekat inframerah). Tidak seperti pulse
oksimetri, oksimetri otak mengukur saturasi oksigen darah vena dan kapiler selain
dari saturasi darah arterial. Dengan demikian, pembacaan saturasi oksigennya
menunjukkan rata-rata saturasi oksigen pada semua hemoglobin mikrovaskuler
regional (kira-kira 70%). Serangan jantung, embolisasi serebral, hipotermia
dalam, atau hipoksia berat menyebabkan penurunan dramatis pada rS O2. (Lihat
bagian “Monitor Sistem Neurologis”.)
KAPNOGRAFI
Indikasi & Kontraindikasi
Penentuan konsentrasi CO2 akhir-tidal (ETCO2) untuk mengkonfirmasi ventilasi
yang adekuat adalah wajib selama semua prosedur anestesi, tetapi khususnya
demikian untuk anestesia general. Penurunan ETCO2 yang cepat adalah indikator
yang sensitif untuk emboli udara, komplikasi mayor dari kraniotomi duduk. Tidak
terdapat kontraindikasi.
A. Nondiversi (Flowthrough)
Kapnograf nondiversi (arus utama) mengukur CO2 yang melewati adaptor yang
ditempatkan pada sirkuit pernafasan (Gambar 6-4). Transmisi sinar inframerah
melalui gas diukur dan konsentrasi CO2 ditentukan di monitor. Karena
permasalahan dengan arus, model flowthrough yang lebih tua kembali ke nol
dengan sendirinya selama inspirasi. Dengan demikian, mereka tidak ampu
mendeteksi CO2 inspirasi, seperti yang akan terjadi dengan malfungsi sirkuit
pernafasan (misalnya, kehabisan bahan pengabsorbsi, perlekatan katup satu arah).
Berat sensor menyebabkan traksi pada tube trakeal, dan panas yang dihasilkan
dapat menyebabkan luka bakar pada kulit. Desain yang lebih baru mengatasi
permasalahan ini.
B. Diversi (Aspirasi)
Kapnograf diversi (arus sisi) secara terus-menerus menghisap gas dari sirkuit
pernafasan ke ruang sampel dalam monitor. Konsentrasi CO2 ditentukan dengan
membandingkan absorpsi sinar inframerah dalam ruang sampel dengan kamar
yang bebas CO2. Aspirasi terus-menerus pada gas anestesi secara esensial
menunjukkan kebocokan pada sirkuit pernafasan yang akan mengkontaminasi
kamar operasi kecuai dibuang atau dikembalikan ke sistem pernafasan. Tingkat
aspirasi yang tinggi (sampai dengan 250 mL/menit) dan tube sampling rendah-
dead-space biasanya meningkatkan sensitifitas dan menurunkan waktu jeda. Jika
volume tidal (VT) adalah kecil (misalnya, pasien pediatri), akan tetapi, tingkat
aspirasi yang tinggi dapat mengikuti gas segar dari sirkuit dan mengencerkan
pengukuran ETCO2. Tingkat aspirasi yang rendah (kurang dari 50 mL/menit) dapat
memperlambat pengukuran ETCO2 dan menurunkan nilainya selama ventilasi cepat.
Unit yang baru melakukan autokalibrasi, tetapi unit yang lebih lama harus di-nol-
kan ke udara kamar dan terhadap konsentrasi CO 2 yang diketahui (biasanya 5%).
Unit diversi rentan terhadap presipitasi air di tube aspirasi dan ruang sampling
yang dapat menyebabkan obstruksi jalur sampling dan pembacaan yang keliru.
Malfungsi katup ekspiratori terdeteksi dengan adanya CO2 pada gas inspirasi.
Walaupun kegagalan katup inspiratori juga mengakibatkan pernafasan ulang CO2,
hal ini tidak segera tampak karena sebagian dari volume inspiratri akan masih
bebas CO2, menyebabkan monitor terbaca nl selama sebagaian fase inspiratori.
Pertimbangan Klinis
Gas-gas lainnya (missal, nitrit oksida) juga mengabsorbsi sinar inframerah,
menghasilkan efek pelebaran tekanan. Untuk meminimalkan kesalahan karena
nitrit oksida, berbagai modifikasi dan saringan terlah digabungkan dalam desain
monitor. Kapnograf dengan cepat dan dapat diandalkan mengindikasikan intubasi
esofageal – penyebab umum bencana anestesi – tetapi tidak dapat diandalkan
dalam deteksi intubasi bronchial. Walaupun mungkin terdapat beberapa CO2
dalam perut karena menelan udara ekspirasi, hal ini dapat dibilas dalam beberapa
nafas. Penghentian CO2 yang mendadak selama fase ekspiratori dapat
mengindikasikan lepasnya sambungan sirkuit. Peningkatan kecepatan metabolic
yang disebabkan oleh hipertermia maligna menyebabkan peningkatan besar pad
ETCO2.
Gradient antara PaCO2 dan ETCO2 (normalnya 2–5 mmHg) mencerminkan
dead space alveolar (alveoli yang terventilasi tetapi tidak mengalami perfusi).
Semua reduksi signifikan dalam perfusi paru (misalnya, embolisme udara),
penurunan output karida, atau penurunan tekanan darah) meningkatkan dead
space alveolar, mengencerkan ekspirasi CO2, dan mengurangi ETCO2. Kapnograf
yang sebenarnya (berbeda dengan kapnometer) menunjukkan bentuk gelombang
konsentrasi CO2 yang memungkinkan pengenalan berbagai kondisi (Gambar 6-5).
Teknik
Teknik untuk analisis berbagai gas anestesi termasuk spektrometri massa,
spektroskopi Raman, spektrofotometri inframerah, atau osilasi kristal piezoelectric
(quartz). Spektrometri massa dan spektroskopi Raman utamanya adalah dari minat
sejarah, karena sebagian besar gas anestesia sekarang diukur dengan analisis
absorbsi inframerah.
Unit inframerah menggunakan berbagai teknik yang mirip dengan yang
dideskripsikan untuk kapnografi. Peralatan-peralatan ini semuanya berdasarkan
pada hukum Beer–Lambert, yang memberikan formula untuk mengukur gas yang
tidak diketahui dalam gas inspirasi karena absorbsi sinar inframerah yang melalui
suatu bahan pelarut (gas inspirasi atau ekspirasi) adalah proporsional dengan
jumlah gas yang tidak diketahui. Oksigen dan nitrogen tidak mengabsorbsi sinar
inframerah. Terdapat sejumlah peralatan yang tersedia secara komersil yang
menggunakan sumber sinar inframerah single- atau dual-beam sinar inframerah
dan penyaring positif atau negative. Karena molekul oksigen tidak mengabsorbsi
sinar inframerah, konsentrasinya tidak dapat diukur dengan monitor yang
bergantung pada teknologi inframerah dan, dengan demikian, harus diukur dengan
sarana lainnya (lihat di bawah ini).
Pertimbangan Klinis
A. Analisis Piezoelectric
Metode piezoelectric menggunakan osilasi kristal quartz, salah satunya dilapisi
lipid. Anestesi yang mudah menguap dalam lapisan lipid dapat mengubah
frekuensi osilasi, yang, ketika dibandingkan dengan frekuensi osilasi kristal yang
tidak terlapisi, memungkinkan konsentrasi anestesi mudah menguap untuk
dihitung. Peralatan ini maupun analisis fotoakustik inframerah tidak
memungkinkan untuk membedakan agen-agen anestesi yang berbeda. Analyzer
optikal inframerah dual-beam yang baru memungkinkan gas untuk dipisahkan dan
mendeteksi penguap yang terisi dengan tidak sesuai.
B. Analisis Oksigen
Untuk mengukur To measure the FiO2 gas yang dihirup, pabrik mesin anestesia
telah bergantung pada berbagai teknologi.
C. Sel Galvanic
Sel Galvanic (sel bahan bakar) mengandung anoda timah dan katoda emas yang
terendam dalam potassium khlorida. Pada terminal emas, ion-ion hidroksil
terbentuk yang bereaksi dengan elektroda timah (dengan demikian secara bertahap
mengkonsumsinya) untuk memproduksi timah oksida, menyebabkan arus, yang
sebanding dengan jumlah oksigen yang diukur, untuk mengalir. Karena elektroda
timah terkonsumsi, masa hidup monitor dapat diperpanjang dengan
mempaparkannya ke udara kamar ketika tidak digunakan. Ini adalah monitor
oksigen yang digunakan pada banyak mesin anestesia dalam bagian inspiratori.
D. Analisis Paramagnetic
Oksigen adalah gas nonpolar, tetapi paramagnetik, dan ketika ditempatkan di
bidang magnetik, gas akan mengembang, berkontraksi ketika magnet dimatikan.
Dengan menyalakan dan mematikan bidang tersebut dan membandingkan
perubahan volume yang dihasilkan (atau tekanan atau aliran) dengan standar yang
diketahui, jumlah oksigen dapat diukur.
E. Elektroda Polarografi
Elektroda polarografi memiliki katoda emas (atau platinum) dan anoda perak,
keduanya terendam dalam elektrolit, dipisahkan dari gas untuk diukur dengan
membran semipermiabel. Tidak seperti sel galvanic, elektroda polarografi bekerja
hanya jika arus kecil diaplikasikan pada dua elektroda. Ketika voltase
diaplikasikan ke katoda, electron berkombinasi dengan oksigen untuk membentuk
ion hidroksi. Jumlah arus yang mengalir antara anoda dan katoda adalah
sebanding dengan jumlah oksigen yang ada.
F. Spirometri
Mesin anestesia yang lebih baru dapat mengukur (dan dengan demikian mengatur)
tekanan jalan nafas, volume, dan alirannya untuk menghitung resistensi dan
kompliansi dan untuk menampilkan hubungan variabel-variabel ini ketika
mengalir (misalnya, loop volume atau tekanan-volume). Pengukuran aliran dan
volume dibuat dengan peralatan mekanis yang biasanya cukup ringan dan
seringkali ditempatkan pada bagian inspiratori pada sirkuit anestesia.
Pengukuran yang paling mendasar termasuk tekanan inspiratori puncak
yang rendah dan tekanan inspiratori puncak yang tinggi, yang mengindikasikan
lepasnya sambungan ventilator atau sirkuit, atau obstruksi jalan nafas, masing-
masing. Dengan mengukur VT dan frekuensi nafa (f), ventilasi ekspirasi menit
(VE) dapat dihitung, memberikan rasa aman bahawa kebutuhan ventilasi
terpenuhi.
Loop spirometrik dan bentuk gelombang khas berubah dengan proses-
proses dan kejadian tertentu. Jika loop normal diamati segera setelah induksi
anestesi dan loop selanjutnya berbeda, anestesiologis cermat diperingatkan akan
fakta bahwa kompliansi pulmoner dan/atau jalan nafas mungkin telah berubah.
Loop spirometri biasanya menunjukkan aliran versis volume dan volume versus
tekanan (Gambar 6-6). Terdapat perubahan-perubahan khas dengan obstruksi,
intubasi bronchial, penyakit jalan nafas yang reaktif, dan seterusnya.
Pertimbangan Klinis
Untuk melakukan analisis bispektral, data yang diukur dengan EEG diambil
melalui beberapa langkah (Gambar 6-9) untuk menghitung satu angka yang
berhubungan dengan kedalaman anestesia/hipnosis.
Nilai BIS sebesar 65–85 telah dianjurkan sebagai pengukuran sedasi,
sedangkan nilai 40–65 direkomendasikan untuk anestesia general (Gambar 6-10).
Analisis bispektral dapat mereduksi kesadaran pasien selama anestesia, suatu
permasalahan yang penting bagi publik.
Banyak penelitian awal tentang penggunaannya yang tidak prospektif,
randomisasi, uji terkontrol, tetapi utamanya adalah bersifat observasional. Artifak
dapat menjadi permasalahan, monitor, dalam dan monitor itu sendiri, berharga
beberapa ribu dolar dan elektrodanya kira-kira $10 sampai $15 per anestesi dan
tidak dapat dipakai kembali.
Beberapa kasus dengan kesadaran telah teridentifikasi sebagai memiliki
nilai BIS kurang dari 65. Akan tetapi, pada kasus kesadaran lainnya, terdapat
permasalahan dengan pencatatan, ataupun kesadaran dapat dikaitkan dengan
waktu atau nilai BIS yang spesifik. Apakah teknik monitoring ini menjadi standar
perawatan di masa depan masih perlu dilihat, dan penelitian-penelitian masih
berlangsung.
Deteksi kesadaran seringkali dapat meminimalkan konsekuensinya.
Penggunakan pertanyaan Brice selama kunjungan postoperative dapat
memperingatkan penyedia anestesia akan potensi terjadinya kesadaran. Tanyakan
pasien untuk mengingat hal-hal berikut ini:
Apa yang Anda ingat sebelum tidur?
Apa yang Anda ingat tepat setelah sadar?
Apakah Anda ingat sesuatu di antara tidur dan bangun?
Apakah Anda bermimpi selama tidur?
Kontraindikasi
Walaupun tidak ada kontraindikasi spesifik untuk somatosensory-evoked
potentials (SEP), modalitas ini sangat terbatas dengan ketersediaan tempat
monitoring, peralatan, dan personel yang terlatih. Sensitifitas terhadap gas
anestesi juga dapat menjadi faktor yang membatasi, khususnya pada anak-anak.
Motor-evoked potentials (MEP) adalah kontraindikasi pada pasien-pasien dengan
metal intracranial, defek tengkorak, dan peralatan implant, juga setelah kehang
dan kerusakan serebral mayor lainnya. Kerusakan otak sekunder karena stimulasi
berulang pada korteks dan induksi kejang adalah permasalahan dengan MEP.
Pertimbangan Klinis
EP diubah oleh berbagai variabel selain kerusakan neural. Efek dari anestesi
adalah kompleks, dan tidak mudah dirangkum. Secara umum, teknik anestesi
yang seimbang (nitrit oksida, agen blok neuromuskuler, dan opioid)
menyebabkan perubahan minimal, sedangkan agen mudah menguap
(halothane, sevoflurane, desflurane, dan isoflurane) lebih baik dihindari atau
digunakan dengan dosis rendah konstan. Respon EP yang terjadi segera
(spesifik) lebih tidak terpengaruh oleh anestesi daripada yang terjadi lambat
(nonspesifik). Perubahan pada BAER dapat memberikan pengukuran kedalaman
anestesia. Faktor-faktor fisiologis (misalnya, tekanan darah, temperatur, dan
saturasi oksigen) dan farmakologis perlu dijaga sekonstan mungkin.
Hilangnya EP persisten adalah prediktif untuk deficit neurologis
postoperatif. Walaupu SEP biasanya mengidentifikasi kerusakan spinal cord,
karena perbedaan jalur anatomik mereka, preservasi EP sensorik (spinal cord
dorsal) tidak menjamin fungsi motor normal (spinal cord ventral) (negatif palsu).
Selanjutnya, SEP yang dihasilkan dari stimulasi nervus tibial posterior tidak dapat
membedakan antara iskemia perifer dan sentral (positif palsu). Teknik yang
menghasilkan MEP dengan menggunakan magnetic transkranial atau stimulasi
elektris pada kortek memungkinkan deteksi potensial aksi pada otot jika jalur
neural utuh. Keuntungan menggunakan MEP dibandingkan dengan SEP untuk
monitoring spinal cord adalah bahwa MEP memonitor ventral spinal cord, dan
jika cukup sensitive dan spesifik, dapat digunakan untuk mengindikasikan pasien
mana yang dapat mengalami deficit motor postoperatif. MEP lebih sensitive
terhadap iskemi spinal cord daipara SEP. Pertimbangan yang sama untuk SEP
dapat digunakan untuk MEP dalam hal mereka terpengaruh oleh agen inhalasi
mudah menguap, benzodiazepine dosis tinggi, dan hipotermia moderat
(temperatur kurang dari 32°C). MEP memerlukan monitoring tingkat blok
neuromuskuler. Komunikasi yang erat dengan neurofisiologis adalah penting
sebelum dimulainya kasus apapun dimana monitor ini digunakan untuk
membahas teknik anestesi optimal untuk memastikan integritas monitoring. MEP
adalah sensitif terhadap anestesi mudah menguap. Sebagai akibatnya, teknik
intravena seringkali lebih dipilih.
Monitor Lainnya
TEMPERATUR
Indikasi
Temperatur pasien yang menjalani anestesia harus dimonitor temperatur
postoperatif semakin banyak digunakan sebagai indicator kualitas anestesi.
Hipetermia dikaitkan dengan penundaan metabolism obat, peningkatan glukosa
darah, vasokonstriksi, gangguan koagulasi, dan gangguan resistensi terhadap
infeksi bedah. Hipertermia demikian pula dapat memiliki efek mengganggu pada
perioperatif, menyebabkan takikardia, vasodilatasi, dan kerusakan neurologis.
Sebagai akibatnya, temperatur harus diukur dan dicatat pada perioperatif.
Kontraindikasi
Tidak ada kontraindikasi, walaupun tempat monitoring tertentu mungkin tidak
sesuai pada pasien-pasien tertentu.
OUTPUT URIN
Indikasi
Kateterisasai kandung kemih adalah satu-satunya metode yang dapat diandalkan
untuk monitor output urin. Memasukkan kateter urin diindikasikan pada pasien-
pasien dengan gagal jantung kongestif, gagal ginjal, penyakit hepar lanjut, atau
syok. Kateterisasi adalah rutin pada beberapa prosedur bedah seperti bedah
janutng, bedah vaskuler aortic atau renal, kraniotomi, bedah abdominal mayor,
atau prosedur dimana diharapkan pergeseran cairan yang besar. Pembedahan yang
lama dan pemberian diuretic intraoperatif adalah indikasi lain yang mungkin.
Kadang, kateterisasi kandung kemih postoperatif diindikasikan pada pasien-pasien
yang mengalami kesulitan mengosongkan kamar pemulihan setelah anestesi
general atau regional.
Kontraindikasi
Kateterisasi kandung kencing perlu dilakukan dengan sangat hati-hati pada pasien
dengan resiko tinggi infeksi.
Pertimbangan Klinis
Keuntungan tambahan dari menempatkan kateter Foley adalah kemampuan untuk
menyertakan thermistor dalam ujung kateter sehingga temperatur kandung kemih
dapat dimonitor. Selama output urin adalah tinggi, temperatur kandung kemih
secara akurat menunjukkan temperatur inti. Tambahan nilai dengan penggunaan
urometer yang lebih tersebar luas adalah kemampuan untuk secara elektronis
memonitor dan mencatat output urin dan temperatur.
Outpur urin menunjukkan pefusi ginjal dan fungsinya dan indicator dari status
renal, kardiovaskuler, dan cairan. Output urin yang tidak adekuar (oliguria) sering
dengan seenaknya didefinisikan sebagai output urin kurang dari 0.5 mL/kg/jam,
tetapi sebenarnya dalah fungsi kemampuan konsentrasi dan beban osmotic pasien.
Komposisi elektrolit urin, osmolaritasw, dan gravitasi spesifik membantu dalam
differensial diagnosis oliguria.
Kontraindikasi
Tidak ada kontraindikasi untuk monitoring neuromuskuler, walaupun tempat
tertentu dapat terhalang prosedur bedah. Sebagai tambahan, otot atrofi pada area-
area hemiplegic atau kerusakan saraf dapat tampak refraktori terhadap blok
neuromuskuler sekunder karena proliferasi reseptor. Menentukan derajat blok
neuromuskuler dengan menggunakan ekstremitas tersebut dapat menyebabkan
potensi overdosis agen blok neuromuskuler kompetitif.
Pertimbangan Klinis
Derajat blok neuromuskuler dimonitor dengan menggunakan berbagai pola
stimulasi elektrik (Gambar 6-14). Semua stimuli berdurasi 200 μs dan pola
gelombang kuadrat dan intensitas arus yang sebanding. Twitch adalah pulse
tunggal yang diberikan dari setiap 1 sampai setiap 10 detik (1–0.1 Hz).
Peningkatan blok menghasilkan penurunan respon bangkitan terhadap stimulasi.
Stimulasi train-of-four menunjukkan empat stimuli 200-μs berturutan
dalam 2 detik (2 Hz). Twitch dalam pola train-of-four secara progresif
menghilang ketika blok muscle relaxant nondepolarisasi meningkat. Rasio respon
terhadap twich pertama dan keempat adalah indikator yang sensitive pada
paralisis otot nondepolarisasi. Karena sulit untuk memperkirakan rasio train-of-
four, lebih nyaman untuk mengamati secara visual sekuensi hilangnya twitch,
karena hal ini juga berhubungan dengan cakupan blok. Hilangnya twitch keempat
menunjukkan blok 75%, twitch ketiga blok 80%, dan twitch kedua 90% blok.
Relaksasi klinis biasanya memerlukan blok neuromuskuler 75% sampai 95%.
Tetani pada 50 atau 100 Hz adalah tes yang sensitive untuk fungsi
neuromuscular. Kontraksi lama selama 5 detik mengindikasikan pembalikan blok
neuromuskuler yang adekuat – tetapi tidak selalu berarti komplit. Doubleburst
stimulation (DBS) menunjukkan dua variasi tetani yang lebih tidak sakit bagi
pasien. Pola DBS 3,3 pada stimulasi saraf terdiri dari tiga ledakan frekuensi tinggi
(200-μs) yang dipisahkan dengan interval 20 ms (50 Hz) diikuti selanjutnya 750
ms dengan tiga ledakan lainnya. DBS 3,2 terdiri dari tiga 200-μs impuls pada 50
Hz yang diikuti dengan 750 ms selanjutnya dengan dua impuls tersebut. DBS
lebih sensitive daripada stimulasi train-of-four untuk evaluasi klinis (yaitu, visual)
dari pengaburan.
Karena grup otot berbeda dalam sensitifitasnya terhadap agen blok
neuromuskuler, penggunaan stimulator saraf perifer tidak dapat menggantikan
observasi langsung pada otot (misalnya, diafragma) yang perlu direlaksasikan
untuk prosedur bedah spesifik. Selanjutnya, pemulihan fugnsi adductor pollicis
tidak benar-benar paralel dengan pemulihan otot-otot yang diperlukan untuk
mempertahankan jalan nafas. Otot-otot diafragma, rectus abdominis, laryngeal
adductors, dan orbicularis oculi pulih dari blok neuromuskuler lebih cepat
daripada adductor pollicis. Indicator lainnya termasuk mengangkat kepala lama
(≥5 detik), kemampuan untukmenghasilkan tekanan inspiratorik setidaknya –25
cmH2O, dan genggaman tangan yang kuat. Tekanan twitch direduksi dengan
hipotermia pada grup otot yang dimonitor (6%/°C). Keputusan mengenai
kecukupan pemulihan blok neuromuskuler, juga waktu ekstubasi, perlu dibuat
hanya dengan mempertimbangkan presentasi klinis pasien dan penilaian stimulasi
nervus perifer yang ditentukan. Postoperatif residual curarization (PORC) tetap
menjadi masalah pada perawatan postanesthesia, memberikan potensi cedera jalan
nafas dan kompromi fungsi respiratorik. Pemulihan agen blok neuromuskuler
dijamin, karena penggunaan agen blok neuromuskuler intermediate acting
daripada obat-obat dengan kerja yang lebih lama.
DISKUSI KASUS
Monitoring selama Magnetic Resonance Imaging
Seorang laki-laki usia 50 tahun dengan onset kejang baru-baru ini
dijadwalkan untuk magnetic resonance imaging (MRI). Usaha MRI
sebelumya gagal karena reaksi klaustrofobia berat pasien tersebut.
Radiologist meminta bantuan Anda dalam memberikan sedasi atau anestesia
general.