Anda di halaman 1dari 26

LAPORAN KASUS ANESTESI

SEORANG LAKI-LAKI 63 TAHUN DENGAN POST PNL e.c


NEFROLITHIASIS DEXTRA, ANEMIA DAN SYOK HIPOVOLEMIK

Disusun oleh :
Ari Kurniawan

Pembimbing :
dr. Ery Leksana, Sp.An, KIC KAO

DEPARTEMEN/SMF ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO/
RSUP dr. KARIADI
SEMARANG

2019
LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN KASUS

SEORANG LAKI-LAKI 63 TAHUN DENGAN POST PNL e.c


NEFROLITHIASIS DEXTRA, ANEMIA DAN SYOK HIPOVOLEMIK

Disusun oleh :
Ari Kurniawan

Semarang, 24 Juni 2019


Pembimbing,

dr. Ery Leksana, Sp.An,KIC KAO


BAB I
LATAR BELAKANG

Phlegmon merupakan infeksi dan peradangan serius jaringan ikat (selulitis)


pada area di bawah lidah dan dagu. Penyakit ini termasuk dalam grup penyakit infeksi
odontogen, di mana infeksi bakteri berasal dari gigi. Infeksi gigi merupakan penyakit
yang umum terjadi di masyarakat. Infeksi gigi kebanyakan ringan, namun pada
beberapa kasus dapat berkembang menjadi komplikasi serius dan fatal. Salah satu
komplikasi tersebut adalah phlegmon. Phlegmon atau Angina Ludwig merupakan
selulitis difusa pada regio submandibular bilateral dan submental yang melibatkan
dasar mulut (sublingual). Penyakit ini termasuk kedalam grup infeksi odontogen
dimana infeksi berasal dari rongga mulut seperti lidah, gusi, dan tenggorokan.
Penyebab umum phlegmon adalah penyakit pada gigi geraham bawah terutama molar
2 dan 3.1
Prevalensi penderita phlegmon terbanyak berkisar antara usia 20-60 tahun
dengan dominasi terjadi pada laki-laki yaitu 3-4 kali lipat dibandingkan pada
perempuan. Namun ada yang melaporkan kasus ini terjadi pada rentang usia yang lebih
luas yaitu 12 hari sampai 84 tahun.2
Sebagian besar infeksi odontogenik disebabkan oleh polimikroba, baik bakteri
gram positif, gram negatif, aerob, maupun anaerob. Kondisi lain yang menjadi faktor
resiko yaitu fraktur mandibula terbuka, abses peritonsil, epiglottitis, tindik lidah, dan
infeksi saluran napas bagian atas.3
Bukti infeksi supuratif phlegmon dapat ditegakkan secara radiologis.
Tatalaksana phlegmon antara lain menjaga patensi jalan napas, pemberian antibiotik
intravena dosis tinggi, dan insisi abses serta drainase antibiotik apabila tidak ada
perbaikan setelah terapi antibiotik. Mencabut gigi yang terinfeksi juga harus dilakukan
untuk menghilangkan fokal infeksi.4
Komplikasi phlegmon yang paling serius adalah asfiksia akibat edema jaringan
lunak pada leher yang mengganggu jalan napas. Prognosis penyakit bergantung pada
pengamanan segera jalan napas dan pemberian antibiotik untuk mengatas infeksi.5
Abses submandibula adalah terkumpulnya pus pada ruang submandibula.
Ruang submandibula terdiri dari sumlingual yang berada di atas otot milohioid
dan submaksila. Nanah mengumpul di bawah lidah, yang akan mendorongnya ke
atas dan ke arah belakang tenggorok, yang dapat menyebabkan masalah
pernapasan dan gangguan menelan menelan. Penyakit ini jarang pada anak
umumnya pada remaja dan dewasa yang dihubungkan dengan infeksi gigi.
Selain bersumber dari infeksi gigi abses sumbandibula dapat berasal dari
infeksi di dasar mulut, infeksi kelenjar liur atau kelenjar getah bening
submandibular, atau merupakan perluasan dari infeksi leher dalam lain.
Pembengkanan daerah dagu/ submandibula dan nyeri leher merupakan keluhan
yang sering membuat pasien mencari pertolongan. Keluhan ini sering disertai
trismus. Pada pemeriksaan ditemukan pembengkakan daerah submandibular
yang fluktuatif, kadang-kadang dengan lidah yang terangkat.
Pengobatan berupa evakuasi abses dan pemberian antibiotika spectrum
luas dosis tinggi secara parenteral. Insisi dan drainase abses dapat dilakukan
dengan anestesi lokal apabila terlokalisir dan dangkal, sedangkan abses yang luas
dan dalam insisi dan drainase dilakukan dengan bius umum.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1. Phlegmon atau Angina Ludwig


1.1 Definisi
Plegmon atau Angina Ludwig merupakan selulitis diffusa yang potensial
mengancam nyawa yang mengenai dasar mulut dan region submandibular bilateral dan
menyebabkan obstruksi progresif dari jalan nafas.6,7 Penyakit ini pertama kali
ditemukan oleh Wilhelm Frederick von Ludwig pada tahun 1836 sebagai infeksi ruang
fasial yang hampir selalu fatal. Penyakit ini termasuk dalam grup penyakit infeksi
odontogen, di mana infeksi bakteri berasal dari rongga mulut seperti gigi, lidah, gusi,
tenggorokan, dan leher. Karakter spesifik yang membedakan angina Ludwig dari
infeksi oral lainnya ialah infeksi ini harus melibatkan dasar mulut serta kedua ruang
submandibularis (sublingualis dan submaksilaris).

1.2 Etiologi
Penyebab paling umum adalah penyakit gigi pada gigi geraham bawah terutama
geraham kedua dan ketiga yang menyumbang lebih dari 90% kasus. Setiap infeksi atau
cedera baru-baru ini di daerah tersebut dapat mempengaruhi pasien untuk terjadi angina
Ludwig. Beberapa etiologi yang umum termasuk cedera atau laserasi pada dasar mulut,
fraktur mandibula, cedera lidah, tindik mulut, osteomielitis, intubasi traumatis, abses
peritonsillar, sialadenitis submandibular, dan kista tiroglosus yang terinfeksi. Faktor
predisposisi pada pasien Angina Ludwig berupa karies dentis, perawatan gigi terakhir,
sickle cell anemia, trauma, dan tindikan pada frenulum lidah

1.3 Patofisiologi

Infeksi ontogenik mencakup 70% dari kasus. molar mandibula yang kedua
adalah tempat asal paling umum untuk Angina Ludwig, tetapi molar mandibula ketiga
juga umum terlibat. Ruang submandibular dibagi lagi oleh otot mylohyoid menjadi
ruang sublingual superior dan ruang submaxillary inferior. Setelah infeksi terjadi,
infeksi dapat menyebar secara bebas melalui bidang jaringan karena terdapat ruang
yang terhubung. Hal ini terjadi antar ruang menghasilkan sifat bilateral angina Ludwig.
Infeksi juga dapat menyebar ke pharyngomaxillary dan retropharyngeal spasi.
Meskipun infeksi ontogenik adalah yang paling umum rute untuk pengenalan bakteri
ke ruang submandibular terdapat penyebab lain yaitu fraktur rahang bawah, tindikan
frenulum lingual dan lidah, dan injeksi jugularis semuanya memberikan rute akses.
Neoplasma dan calculi saliva juga dapat mengubah anatomi normal dan menghasilkan
infeksi persisten yang mengarah ke angina Ludwig Penyebabnya adalah infeksi bakteri
polimikroba itu termasuk spesies Streptococcus kelompok A. 4

1.4 Tanda dan Gejala


Gejala angina Ludwig bervariasi tergantung pada pasien dan tingkat infeksi.
Banyak gejala umum, seperti demam, kelemahan, dan kelelahan, berkembang sebagai
hasil dari respon imun yang berhubungan dengan infeksi bakteri. Respon inflamasi
menyebabkan edema dari leher dan jaringan ruang submandibular, submaxillary, dan
sublingual. Edema yang signifikan dapat menyebabkan trismus dan ketidakmampuan
menelan air liur. Nyeri, terutama dengan gerakan lidah, umum terjadi pada Angina
Ludwig. Gejala yang menandai penyakit progresif dengan obstruksi jalan napas yang
signifikan termasuk gangguan pernapasan dengan dispnea, takipnea, atau stridor.
Kebingungan atau lainnya perubahan mental dapat terjadi karena hipoksia yang
berkepanjangan. Otalgia, disfagia, disfonia, dan disartria juga diamati. Seperti halnya
infeksi bakteri, sepsis mungkin terjadi. Tanpa perawatan segera, submandibular infeksi
juga dapat dengan cepat menyebar ke mediastinal atau ruang pharyngomaxillary atau
ke tulang, menghasilkan osteomielitis. Pemeriksaan kepala dan leher akan
menunjukkan pembengkakan submandibular ditandai sebagai penebalan yang kaku
dan tegang.

1.5 Tata Laksana


Perawatan terkonsentrasi pada empat hal, yaitu :
1. Pemeliharan jalan nafas
2. Insisi dam drainase
3. Terapi antibiotik
4. Eliminasi dari fokus infeksi
Pemeliharaan jalan nafas menjadi prioritas pada penatalaksanaan pasien ,
karena merupakan penyebab utama kematian pada saat pertama dari kasus ini adalah
asfiksia karena obstruksi. Pasien harus selalu di follow up mengenai tanda dan gejala
dari obstruksi jalan nafas seperti stridor dan penggunaan otot bantu nafas. Kontrol jalan
nafas dapat dieksekusi melalui intubasi endotrakheal atau trakheostomi.
Tahap insisi dan drainase diindikasikan untuk dekompresi ruang fascia yang
terlibat dan evakuasi supurasi. Eksekusi beberapa sayatan mungkin diperlukan.
Lokasinya dan ukuran sayatan akan tergantung pada ruang anatomi yang terlibat oleh
infeksi. Biasanya diperlukan pemisahan lobus superfisial kelenjar submandibular dan
percabangan otot milo-hyoid untuk mendekompresi fasia. pembedahan drainase
berhubungan dengan terapi antimikroba. Pembedahan biasanya berhubungan juga
dengan antimikroba yang digunakan dalam rangka pencegahan kembali ke ruang
anatomi yang lebih dalam.
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien


Nama : Tn. H
Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia : 63 tahun
Pekerjaan : Wiraswasta
Alamat : Kanguru IV RT 04/01, Semarang, Jawa Tengah
No. RM : C215515

3.2 Skrining dan Tanda Vital


Keadaan umum : Baik
Kesadaran : Composmentis (GCS E4M6V5)
Alergi : Tidak ada
Nyeri : Nyeri (+) VAS 3
Tekanan Darah : 160/90 mmHg
Nadi : 83 x/menit
Laju Pernafasan : 18 x/menit
TB : 170 cm
BB : 66 kg

3.3 Pemeriksaan Subjektif


3.3.1 Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis di Instalasi Gawat Darurat pada tanggal 16
Juni 2019 pada pukul 16.05 WIB
Keluhan Utama : nyeri pinggang kanan hilang timbul
Riwayat Penyakit Sekarang :
 2 minggu sebelum masuk rumah sakit, pasien mengeluh nyeri pinggang
kanan menjalar sampai ke punggung. Nyeri seperti ditusuk tusuk dan hilang timbul.
Nyeri muncul dengan pencetus yang tidak menentu. Nyeri saat BAk (+), mual (+),
demam (-). Pasien sebelumnya berobat ke Poli Bedah Urologi Garuda RSDK. Pasien
didiagnosis nefrolithiasis dextra dan dijadwalkan operasi tanggal 17 Juni 2019.
Riwayat Penyakit Dahulu :
- Riwayat DM disangkal
- Riwayat HT tak terkontrol (+)
- Riwayat penyakit jantung disangkal
- Riwayat operasi batu ginjal (+) tahun 2010
- Riwayat asma disangkal
Riwayat Penyakit Keluarga :
- Riwayat hipertensi disangkal
- Riwayat penyakit jantung disangkal
Riwayat Sosial Ekonomi :
Pasien bekerja sebagai Pegawai swasta. Pembiayaan menggunakan BPJS.
Kesan : sosial ekonomi cukup

3.4 Pemeriksaan Objektif


Pemeriksaan fisik dilakukan di bangsal Kepodang lt1 pada tanggal 16 juni 2019 pada
pukul 16.10 WIB
3.4.1 Status Generalis
Kondisi umum : baik
Mata : konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-)
Mulut : buka mulut II jari
Leher : benjolan (-), deviasi (-)
Sistem Kardiorespirasi :
- Inspeksi : Jejas (-), pengembangan dada normal, simetris stasis dinamis, RR
normal, sesak (-)
- Palpasi : Stem fremitus normal kiri dan kanan sama, ictus cordis teraba di
SIC V linea midclavikula sinistra
- Perkusi : Sonor seluruh lapangan paru, batas jantung paru normal
- Auskultasi : Suara dasar vesicular (+/+), Bunyi Jantung I-II regular, suara jantung
abnormal (-)
3.5 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium (12 Juni 2019)
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal Ket

HEMATOLOGI
Hematologi Paket
Hemoglobin 14.6 g/dl 13.00 – 16.00
Hematokrit 44.5 % 40 – 54
Eritrosit 4.5 10^6/Ul 4.4 – 5.9
MCH 27.2 pg 27.00 – 32.00
MCV 76.6 Fl 76 – 96
MCHC 31.6 g/Dl 29.00 – 36.00
Leukosit 7.1 10^3/Ul 3.8 – 10.6
Trombosit 399 10^3/Ul 150 – 400
RDW 12.4 % 11.60 – 14.80
MPV 11 Fl 4.00 – 11.00

KOAGULASI
Plasma
Prothrombin Time
(PTT)
Waktu
Prothrombin 10.3 detik 9.4 – 11.3
PTT Kontrol 11.0 detik
Partial
Thromboplastin
Time (PTTK)
Waktu 36.2 detik 27.7 – 40.2
Thromboplastin 32.5 detik
APTT Kontrol

KIMIA KLINIK
Ureum 32 mg/Dl 15 – 39
Kreatinin 1.6 mg/Dl 0.60 – 1.30 H
Elektrolit
Natrium mmol/L 136 – 145
Kalium mmol/L 3.5 – 5.1
Chlorida mmol/L 98 – 107

3.6 Diagnosis Kerja


Diagnosis kerja : Nefrolithiasis Dextra

VI. TINDAKAN
OPERASI

- PNL
VII. TINDAKAN
ANESTESI
Jenis anestesi : Anestesi General
Risiko anestesi : Sedang
ASA : II

A. Persiapan
Anestesi
1. Informed concent
2. Puasa 6 jam sebelum operasi
3. Infus RL untuk terapi cairan preoperatif
B. Penatalaksanaan
1. Premedikasi
- Obat : Midazolam 3 mg
- Oksigenasi : 3 L/menit selama 5 menit
2. Anestesi
Dilakukan secara general anestesi menggunakan:

- Obat : Propofol 200 mg


Roculax 30 mg
Fentanyl 100 mcg
- Maintenance : Sevoflurane, O2, N2O
- Posisi pasien : Terlentang
Mulai anestesi : 08.30 WIB
Selesai anestesi : 12.15 WIB
Lama anestesi : 225 menit
3. Teknik Anestesi
- I.V : Intermiten
- Umum Inhalasi : Semi closed, ET Uk 7,5
C. Terapi Cairan
BB : 66 kg
EBV : 70 cc/kgBB × 66 kg = 4620 cc
Jumlah perdarahan : 3.700 cc
% perdarahan = 3.700 /4620 × 100%
=80%
Jumlah urin : 400 ml
Kebutuhan cairan :
- Maintenance (M) = 2 cc × 66 kg = 132 cc/jam
- Stress operasi (SO) = 6 cc × 66 kg = 396 cc/jam
- Depresi puasa (DP) = 132 cc/jam × 6 jam = 792 cc
Total kebutuhan cairan durante operasi
- Jam I = M + SO + ½ DP = 132 + 396 + 396 =
924 cc
- Jam II = M + SO + ¼ DP = 132 + 396 + 198 =
726 cc
- Jam III = M + SO +1/4 DP = 132 + 396 + 198 =
726 cc
- Jam IV = M + SO + = 132 + 396 =
528 cc
Cairan yang diberikan :
- RL 2000 cc
- Nacl 1000 cc
- gelofusin 1000 cc

Waktu Heart Rate Tekanan SpO2


(WIB) Keterangan (x/menit) Darah (mmHg) (%)
08.30 Anestesi mulai 60 110/70 100
09.00 Operasi Mulai 72 110/70 100
09.30 110 80/50 100
10.00 110 80/50 96
10.30 136 72/68 94
11.00 134 78/52 100
11.30 140 86/62 100
12.00 Operasi selesai 86 86/52 98
12.15 Anestesi selesai 72 86/48 98

Tabel 12. Hasil Pemantauan Heart Rate, Tekanan Darah, dan


Saturasi Oksigen Selama Operasi
D. Pemakaan obat/bahan/alat
1. Obat injeksi : Propofol
Rocuronium
Fentanyl
Midazolam
Paracetamol

2. Obat inhalasi : Sevoflurane


N2O
O2

VIII. DIAGNOSIS
Post operasi, pasien dikirim ke ICU, didapatkan diagnosis:

Post Op PNL e.c Nefrolithiasis dextra, Anemia, dan Syok


Hipovolemik.
15
Penatalaksanaan paska pembedahan di ICU
Masuk Tanggal : 17 Juni 2019 jam : 13.00 WIB
S -
O Brain : tersedasi
• Breath : RR 6x/m SpO2 92%
• Blood : TD 60/40 HR 112
• Bowel : NT (-) BU (+) normal
• Bladder : UOP >0.5cc/kgBB/jam
• Bone : edema -/-

A Post op PNL e.c Nefrolithiasis dextra


Syok Hipovolemik
Anemia
P:
Posisi pasien semi fowler/ head up 30 derajat
O2 on VM , PSIMV , RR 10, PS 12, PEEP 5, Fio2 40%
Terapi :
- Infus RL loading 2000 ml
- Inj. Ciprofloxacin 400mg /12jam iv
- Inj. Metronidazole 500mg/8jam iv
- Inj. OMZ 40mg/ 12jam
- Inj. Ca Gluconas 1gr/12jam
- Inj. Asam Traneksamat 500mg/8jam
- Inj. Vit K 10mg/24jam
- Inj. Morphin 1mg/jam jika TDS >100
- Inj. Paracetamol 1000mg/8jam
- Nebulizer: ventolin: pulmicort : NaCL 0,9 =1:1:1/ 6jam
- Cek darah lengkap dan foto thoraks paska operasi
- Cek GDS, Ur Cre,elektrolit, Ca, Mg, Albumin, BGA, Prokkalsitonin,
laktat, fibrinogen, dedimer, studi koagulasi

16
Lab : 17 Juni 2019
HB 7.5

HT 28.9

Leukosit 17.5

Trombosit 199

GDS 139

Ureum /Creatinin 34/ 1.3

Laktat 4.8

Na 144

K 4,3

Cl 113

Ca 1.8

Mg 0.6

PPT/K 15.3//10,8

PTTK/k 62.0/30.8

PH 7.19

PCO2 47

PO2 183

HCO3 -8.3

BE -15,5

AaDO2 63.7

17
SO2c 99

18/06/2019 pukul 06.00 WIB


S -
O Brain : Tersedasi
Breath : RR 6x/m SpO2 89%
Blood : TD 60/40 HR 112
Bowel : NT (-) BU (+) normal
Bladder : UOP <1cc/kgBB/jam
Bone : edema -/-

A Post incisi drainase + ekplorasi + trakheostomi a/i abces submandibula


yang meluas ke retrotrakheal
Insufisiensi Renal
Hiperkalemia
Gangguan Liver Function
T2DM dengan hipoglikemia

P IVFD RL 2000 ml
- Infus RL 2000 ml per 24 jam
- Inj. Ceftriaxone 1gr/12jam iv
- Inj. Metronidazole 500mg/8jam iv
- Inj. OMZ 40mg/ 12jam
- Inj. Ca Gluconas 1gr/12jam
- Inj. Asam Traneksamat 500mg/8jam
- Inj. Vit K 10mg/24jam
- Inj. Morphin 1mg/jam jika TDS >100
- Inj. Paracetamol 1000mg/8jam

18
- Inj. Dobutamin 10mcq/kgBB/menit sp
- Inj. Norepinefrin 0,1 mcg/kgbb/menit sp
- Inj. Vasopresin 0,04 IU sp
- Inj D40% 3 flash
- Nebulizer: ventolin: pulmicort : NaCL 0,9 =1:1:1/ 6jam

Koreksi hiperkalemia
Inj D40% 2 flash + 10IU insulin jalan 12,5cc/jam
Edukasi keluarga kondisi pasien menurun
Pasien dipindah ke ruang ICU disambung Ventilator Mekanik

22/07/2018 pukul 05.00 WIB


S -
O pasien tidak sadar, apneu, nadi carotuis tidak teraba
A Cardiac Arrest
P - Edukasi keluarga kondisi pasien

- Dilakukan RJP hingga 16 ampul Adrenalin + SA 4 ampul ROSC


- Inj. Dobutamin 20mcq/kgBB/menit sp
- Inj. Norepinefrin 0,2 mcg/kgbb/menit sp
- Inj. Vasopresin 0,04 IU sp

22/07/2018 pukul 05.30 WIB


S -
O Brain : E1M2Vtrakeostomi
Breath : RR 17x/m SpO2 97%
Blood : TD 80/56 HR 80
Bowel : NT (-) BU (+) normal

19
Bladder : UOP <1cc/kgBB/jam
Bone : edema -/-

A Post ROSC
Post incisi drainase + ekplorasi + trakheostomi a/i abces submandibula
yang meluas ke retrotrakheal
Insufisiensi Renal
Hiperkalemia
Gangguan Liver Function
T2DM dengan hipoglikemia
P
- Infus RL 2000 ml per 24 jam
- Inj. Ceftriaxone 1gr/12jam iv
- Inj. Metronidazole 500mg/8jam iv
- Inj. OMZ 40mg/ 12jam
- Inj. Ca Gluconas 1gr/12jam
- Inj. Asam Traneksamat 500mg/8jam
- Inj. Vit K 10mg/24jam
- Inj. Paracetamol 1000mg/8jam
- Inj. Dobutamin 20mcq/kgBB/menit sp
- Inj. Norepinefrin 0,2 mcg/kgbb/menit sp
- Inj. Vasopresin 0,04 IU sp
- Nebulizer: pulmicort : NaCL 0,9 =1:1/ 6 jam
- Loading RL 500cc

22/07/2018 pukul 07.50 WIB


S -
O Brain : E1M1ET
Breath : RR 12x/m SpO2 90%

20
Blood : TD 56/23 HR 26
Bowel : NT (-) BU (+) normal
Bladder : UOP <1cc/kgBB/jam
Bone : edema -/-

A Post ROSC
Post incisi drainase + ekplorasi + trakheostomi a/i abces submandibula
yang meluas ke retrotrakheal
Insufisiensi Renal
Hiperkalemia
Gangguan Liver Function
T2DM dengan hipoglikemia
P - Edukasi ulang keluarga kondisi pasien  keluarga menolak
dilakukan tindakan RJP  DNR

22/05/2019 pukul 08.05 WIB


S -
O pasien apneu, nadi caroris tidak teraba, pupil midriasis
Ekg asistole
A cardiac arrest
P pasien dinyatakan meninggal dihadapan keluarga dan perawat

BAB IV
PEMBAHASAN KASUS

Pada kasus ini, pasien seorang laki-laki usia 52 tahun dilakukan tindakan
debridemen dan insisi atas indikasi abses mandibula phlegmon dasar mulut

21
dengan menggunakan anestesi umum. Anestesi umum dipilih sebagai teknik
anestesi yang dipakai pada kasus ini karena merupakan teknik anestesi yang
paling tepat pada tindakan operasi pasien tersebut. Evaluasi preoperasi pada
pasien dalam keadaan umum lemah.
Premedikasi pada pasien diberikan midazolam 3 mg agar pasien tidak
cemas saat akan dilakukan prosedur operasi. Selain itu juga memberikan efek
amnesia anterograd selama operasi berlangsung.
Obat anestesi yang diberikan meliputi obat inhalasi: 1. Sevoflurane, 2. O2;
Obat injeksi: 1. Propofol 200mg, 2. Roculax 40 mg 3. Fentanyl 100 mcg.
Pemberian terapi cairan disesuaikan berdasarkan kebutuhan cairan dan
kehilangan cairan pada waktu puasa, pembedahan, dan perdarahan.
Anestesi umum yang diberikan sesuai prinsip balans anestesi yaitu
sedasi, analgesi, dan pelumpuh otot. Anestesi ini diberikan agar pasien tidak
merasakan nyeri. Untuk efek sedasi dipilih menggunakan Propofol 200 mg/cc.
Alasan digunakannya Propofol karena onsetnya cepat dan untuk membantu
depresi sistem respirasi agar respirasi dapat dikendalikan. Sedangkan Ketamin
tidak menjadi pilihan karena dapat meningkatkan tonus otot dan hal tersebut
dapat menggaggu kerja operator karena kontraksi dari organ gastro intestinal.
Untuk efek analgesi dipilih menggunakan Fentanil 100 mg/cc. Alasan
digunakannya Fentanil karena kekuatannya jauh lebih kuat dibandingkan Morfin
dan Pethidin. Nyeri yang ditimbulkan akibat tindakan operatif insisi dapat
mencapai VAS 10 sehingga dibutuhkan analgesi yang sangat kuat. Fentanil juga
memiliki durasi kerja yang panjang.
Sedangkan untuk efek pelumpuh otot dipilih menggunakan Roculax
(rocuronium bromide) 40 mg. Rocuronium mengalami eliminasi di hepar, dan
sebagian kecil di ginjal. Atracurium tidak digunakan karena dapat menimbulkan
histamine release yang dapat menyebabkan syok anafilaktik. Suksinil kolin tidak
menjadi pilihan karena dapat memanjang efeknya pada penderita penyakit
hepar, dan durasi kerjanya yang sangat singkat yaitu 3-8 menit.

22
Ketika timbul efek samping dari obat anestesi yaitu penurunan tekanan
darah, pasien akan diberikan maintanance efedrin 10 mg melalui intravena.
Maintanance efek sedasi digunakan anestesi inhalasi. Obat anestesi
inhalasi yang dipilih yaitu sevofluran 2 % dengan oksigenasi 2 lpm dan N 20 2
lpm karena lebih nyaman digunakan daripada isofluran. Sevofluran tidak berbau
dan tidak iritatif pada jalan nafas. Sevofluran dapat berpotensiasi dengan
pelumpuh otot. Meskipun sevofluran menurunkan aliran darah portal, tetapi
meningkatkan aliran darah a.hepatica sehingga mempertahankan total aliran dan
kebutuhan oksigen hepar.
Setelah anestesi selesai dan keadaan umum serta tanda vital baik,
pasien dipindahkan ke ruang pemulihan. Di ruang pemulihan pasien dimonitor
tanda-tanda vital yaitu tekanan darah, heart rate, respiratory rate, dan saturasi
oksigen. Kemudian dipindahkan ke ruang ICU agar dipasangkan monitor dan
ventilator.
Abses submandibula adalah terkumpulnya pus pada ruang submandibula.
Ruang submandibula terdiri dari sumlingual yang berada di atas otot milohioid
dan submaksila. Nanah mengumpul di bawah lidah, yang akan mendorongnya ke
atas dan ke arah belakang tenggorok, yang dapat menyebabkan masalah
pernapasan dan gangguan menelan menelan. Penyakit ini jarang pada anak
umumnya pada remaja dan dewasa yang dihubungkan dengan infeksi gigi.
Selain bersumber dari infeksi gigi abses submandibula dapat berasal dari
infeksi di dasar mulut, infeksi kelenjar liur atau kelenjar getah bening
submandibular, atau merupakan perluasan dari infeksi leher dalam lain.
Pembengkanan daerah dagu/ submandibula dan nyeri leher merupakan keluhan
yang sering membuat pasien mencari pertolongan. Keluhan ini sering disertai
trismus. Pada pemeriksaan ditemukan pembengkakan daerah submandibular
yang fluktuatif, kadang-kadang dengan lidah yang terangkat.
Pengobatan berupa evakuasi abses dan pemberian antibiotika spectrum
luas dosis tinggi secara parenteral. Insisi dan drainase abses dapat dilakukan

23
dengan anestesi lokal apabila terlokalisir dan dangkal, sedangkan abses yang luas
dan dalam insisi dan drainase dilakukan dengan bius umum.
Pada pasien ini sangat beresiko terjadinya sepsis akibat infeksi yang meluas
yang berasal dari infeksi gigi yang tidak diobati. Pada pemeriksaan pre op pasien
sudah menandakan tanda- tanda SEPSIS dimana ditemukan RR yang meningkat
demam (+), kesadaran apatis, leukosit yang meningkat. Pengobatan berupa
evakuasi abses dan pemberian antibiotika spektrum luas merupakan kondisi yang
harus segera dilakukan pada pasien. Eksplorasi selama operasi didapatkan bahwa
abses sudah mengisi ruang retrotrakheal yang mengancam patensi jalan napas.
Obesitas dan leher pendek pada pasien juga memperberat patensi airway pada
pasien sehingga dilakukan tindakan trakheostomi untuk secure airway. Disisi lain
tindakan trakheostomi dimaksudkan juga untuk mengurangi emfisema subcutis
regio coli yang ada pada pasien.
Pada pemeriksaan laboratorium pasien post operasi didapatkan tanda –
tanda perburukan kondisi dimana leukosit, ureum, creatinin pasien semakin
meningkat. Kondisi insufisiensi renal pasein yang kemungkinan AKI oleh karena
dehidrasi semakin memburuk, sehingga dilakukan resusitasi cairan post op
dengan loading RL 1000cc. Kondisi hipoglikemi pasien (gds 19) diberikan
D40% 3 flash. Kondisi hiperkalemia (6,3) dikoreksi dengan D40% 2flash + 10IU
insulin jalan 12,5cc/jam. Sementara tekanan darah yang rendah berikan support
dobutamin yang sudah diberikan sejak pasien di label merah IGD.
Pada pemeriksaan fisik pasien post operasi ditemukan suara tambahn
berupa stridor di kedua lapang paru saat inspirasi dan wheezing saat ekspirasi
yang mengarah pada kecurigaan terjadinya partial airway obstruction. Dilakukan
suctioning melalui kanul trakheostomi didapatkan sekret putih jernih bercak
darah (+) tidak terlalu banyak dan dilakukan nebulizer. Suctioning dilakukan
secara berkala. Setelah suctioning dan nebulizer, suara stridor dan wheezing
berkurang meskipun masih terdengar.
Kondisi pasien semakin menurun dari kesadaran, tekanan darah dan
pernapasan. Loading cairan serta support Norepineprin dan kemudian vasopresin

24
diberikan kepada pasien untuk mempertahankan sirkulasi pasien. Permasalahan
pada breathing membuat pasien dipindah ke ruang ICU untuk disambung dengan
ventilator mekanik.
Selama perawatan di ICU kondisi pasien semakin menurun hingga cardiac
arrest. Semapat dilakukan RJP dan kembali ROSC. Kemudian kondisi cardiact
arrest kembali terjadi namun keluarga menolak untuk diakukan tindakan RJP
lagi. Pasien dinyatakan meninggal dihadapan keluarga dan perawat.

I. KESIMPULAN

seorang laki-laki usia 52 tahun dilakukan tindakan debridemen dan insisi


atas indikasi abses mandibula phlegmon dasar mulut dengan tata laksana post
operasi di ruang intensif. Selama perawatan di ruang instensif kondisi pasien
semakin menurun hngga meninggal. Kemungkinan penyebab kematian pada
pasien tersebut adalah partial airway obstruction yang tidak teratasi dengan baik
sehingga terjadi kegagalan pada breathing dan sirkulasi pasien.
Kegagalan dalam patency airway dapat menyebabkan kematian pasien
dalam waktu yang singkat. Apabila terjadi obstruksi airway (total maupun partial)
akan berakibat pada kegagalan fungsi sirkulasi dan breathing pasien yang
mengancam nyawa. Oleh sebab itu patency airway menjadi fokus yang sangat
penting dalam merawat pasien di ruang intensif.

DAFTAR PUSTAKA

25
1. Gadre AK, Gadre KC. Infections of the Deep Spaces of the Neck. In:
Bailey BJ, Johnson JT, Newlands SD, editors. Head & Neck Surgery –
Otolaryngology. 4th Edition. Philadelphia: Lippincott William
&Wilkins;2006. p.665-84
2. Knoop KJ. Atlas of Emergency Medicine. 2nd edition.New York:
McGraw-Hill Companies;2002
3. Riviello RJ. Otolaryngologic Procedures. In: Roberts JR, Hedges JR.
Clinical Procedures in Emergency Medicine, 4th ed. Philadelphia: Elsevier;
2004.p.
4. Reichman EF, Simon RR: Emergency Medicine Precedures.
McGraw-Hill;2003
5. Fachruddin D. Abses Leher dalam. In: Soepardi EA, Iskandar N.
Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi 5.
Jakarta:Balai penerbit FKUI; 2003. P185-9

26

Anda mungkin juga menyukai