Anda di halaman 1dari 5

BAB 17

FOSSA POSTERIOR :
PERTIMBANGAN ANESTESI

Fossa posterior merupakan ruang yang terbatas, dengan banyak struktur saraf dan vaskuler yang
ada didalamnya, menjadikan tantangan tersendiri bagi seorang anestesiologis, dimana goal
intraoperatifnya adalah memfasilitasi akses operatif, meminimalisir trauma saraf, dan menjaga
stabilitas dari sistem respirasi dan kardiovaskuler.
Monitor untuk pembedahan Fossa Posterior
– Preinduksi dan Induksi :
EKG, Tensimeter, Pulse Oksimetri, Stetoskop precordial, Capnography
– Post Induksi :
CVC, probe precordial doppler, stetoskop esofagus, probe temperatur esofagus, EtCO2.
Pilihan posisi pasien :
1. Posisi Duduk
Pada posisi duduk, kepala difiksasi pada 3 tempat pin dengan sebelumnya diberikan infiltrasi
pada tempat fiksasi. Tulang-tulang yang menonjol diberi bantalan dengan baik dan
menimbulkan masalah khusus untuk pengelolaan anestesi. Modifikasi “Lounge Chair” dari
posisi duduk dengan sudut 30-450, mungkin berguna pada posisi lateral. Perbaikan fungsi
saraf kranial post operasi dilaporkan pada pasien reseksi akustik neuroma pada posisi duduk
dibandingkan yang dioperasi dengan posisi horizontal. Kontra indikasi relatif termasuk defek
intra kardiak, arteri venous pulmonal malformasi, kaheksia dan hipovolemia berat,
hidrosefalus berat dan lesi vaskular.
Perubahan fisiologik pada posisi duduk
Elevasi kepala diatas atrium kanan menurunkan tekanan sinus dural yang menurunkan
perdarahan vena tetapi meningkatkan resiko vena air embolism (VAE). Efek kardiovaskular
termasuk meningkatkan resistensi vaskular sistemik dan pulmonal dan menurunkan cardiac
output, venous return dan CPP untuk setiap 1,25 cm diatas level kepala, dan tekanan arteri
lokal berkurang 1 mmHg. Vital kapasitas dan FRC pulmonal meningkat, tetapi hipovolemia
dapat menurunkan perfusi paru-paru bagian atas menyebabkan perfusi atau ventilasi
abnormalitas dan hipoksemia.
Penggunaan N2O pada prosedur yang dapat menimbulkan emboli udara masih
mengundang kontroversi. Dinitrogen oksida lebih larut dalam air dan berdifusi lebih cepat ke
dalam emboli udara dibandingkan dengan difusi nitrogen keluar dari emboli. Insiden
pneumosefalus dilaporkan s/d 100% pada posisi duduk, 72% pada posisi park bench, dan 57%
pada posisi prone. Pneumosefalus biasanya asimptomatis dan menghilang secara spontan.
2. Posisi Telungkup
Posisi telungkup dihubungkan dengan lebih rendahnya insiden VAE. Tetapi kepala pasien
biasanya diangkat diatas jantung untuk menurunkan perdarahan vena; sehingga resiko VAE
tidak dapat dihapuskan. Akses struktur fossa posterior superior dan kemudahan manipulasi
kepala tidak disukai dibandingkan dengan posisi duduk. Penekanan terhadap wajah dan mata
harus diperhatikan.
3. Posisi lateral, ¾ telungkup dan park-bench.
Posisi lateral digunakan untuk prosedur neurosurgical unilateral pada fossa posterior lebih
atas. ¾ telungkup, modifikasi posisi lateral dan telungkup, dan posisi park-bench digunakan
untuk prosedur untuk memberikan rotasi kepala yang lebih besar dan akses yang lebih ke
struktur aksial. Pemilihan posisi pembedahan berdasarkan hasil diskusi antara ahli anestesi
dan bedah saraf, manfaat dan resiko yang akan dihadapi.

PERTIMBANGAN ANESTESI
Pertimbangan Pemilihan obat-obat anestesi berdasarkan kepada, pertama adalah efek inhalasi vs
anestesia intravena terhadap kemampuan paru untuk menahan udara yang masuk sirkulasi vena,
mencegah masuk ke sirkulasi arteri. Kedua adalah pemeliharaan CPP yang adekuat, anestesi
intravena kurang berefek terhadap kardiovaskular dibandingkan inhalasi. Ketiga adalah
menghindari obat-obat antikolinergik atau penghambat β-adrenergik long-acting yang dapat
membuat efek masking kardiovaskular selama manipulasi struktur batang otak dimana
merupakan informasi berharga buat ahli anestesi dan bedah. Pertimbangan tambahan adalah
penggunaan N2O dimana resiko VAE meningkat.

1. Premedikasi.
Pemberian premedikasi bersifat individual berdasarkan status fisik pasien, peningkatan TIK
dan derajat kecemasan pasien. Obat Antihipertensi tetap dilanjutkan, kortikosteroid dan AB
perioperatif, rutin dimintakan oleh ahli bedah saraf. Premedikasi narkotik dihindarkan. Oral
benzodiazepin efektif menurunkan kecemasan dan efek terhadap ICP tidak signifikan.
2. Induksi dan rumatan anestesi.
Induksi dilakukan sehalus mungkin dan menggunakan obat pelumpuh otot nondepolarisasi
yang onset cepat. Respon hipertensi saat intubasi dicegah dengan pemberian tambahan obat
anestesi intravena. Apabila terjadi hipotensi harus segera diatasi. Pada rumatan anestesi dapat
digunakan kombinasi fentanyl 4-6 mg/kg, N2O, relaksan dengan suplemen obat anestesi
inhalasi, biasanya dapat menghasilkan analgesi dan amnesia yang memadai, serta dapat
mempertahankan aktivitas sistem saraf otonom. Dengan teknik ini, apabila obat anestesi
inhalasi dihentikan pada akhir pembedahan, pasien akan segera bangun. Kewaspadaan
ditingkatkan pada waktu perubahan posisi. Monitoring yang rutin digunakan untuk anestesi
kraniotomi, juga diperlukan monitoring invasif untuk tekanan darah (arterial line) dipasang
setelah induksi. Pada keadaan tertentu perlu dipasang sebelum induksi, agar pengendalian
tekanan darah dan CPP dapat diamati lebih ketat. Monitoring suhu (core temperature) dan
produksi urine harus dilakukan. Sasaran anestesi adalah mencegah peningkatan Tekanan
darah tiba-tiba karena efek bangun cepat, kembalinya kekuatan motorik dan meminimalkan
batuk atau mengejan. pertimbangan ekstubasi pada akhir pembedahan atau melanjutkan
pernapasan buatan di ICU ditentukan oleh sifat dan lamanya operasi.
3. Emboli udara
Letak vena lebih tinggi dari atrium kanan dan tekanan intravena lebih rendah dari tekanan
vena sentral. Makin tinggi letak vena terhadap atrium kanan, makin rendah tekanan vena
tersebut, sehingga pada posisi head up 65 atau lebih, vena-vena di otak mempunyai tekanan
dibawah tekanan atmosfer, sehingga bila vena terbuka, udara dapat masuk ke dalamnya
menyebabkan terjadinya emboli udara. Gelembung udara ini akan mengikuti aliran vena ke
jantung yang selanjutnya ke sirkulasi pulmonal. Gelembung udara yang masuk perlahan-
lahan biasanya kecil, akan terhenti di kapiler paru dan menyebabkan penurunan fungsi di
kapiler bed paru sehingga terjadi peningkatan tekanan di arteri pulmonalis dan vena sentral.
Bila kenaikan tekanan arteri pulmonalis tinggi, akan terjadi gagal jantung kanan dan
penurunan curah jantung. Bila gelembung udara masuk dengan cepat, yang berupa rentetan
gelembung besar, akan menyebabkan terjadinya pusaran udara di vena cava superior, atrium
kanan atau ventrikel kanan. Meskipun kenaikan tekanan arteri pulmonalis yang terjadi
awalnya lebih rendah daripada akibat emboli yang berjalan lambat, tetapi emboli cepat
menyebabkan hambatan yang hebat pada aliran darah dari jantung kanan, sehingga curah
jantung dan tekanan darah menurun, iskemia miokardial dab cerebral, disritmia adan kolaps
kardiovaskular. Faktor terjadinya emboli udara pada lapangan operasi yang banyak
pembuluh darahnya seperti fossa posterior dan derajat elevasi kepala dan tekanan negatif
antara atrium kanan dan tempat operasi.
Monitoring emboli udara dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu precordial doppler
ultrasonografi, end-tidal CO2, end tidal nitrogen, kateterisasi arteri pulmonalis, dan
ekokardiograf. Doppler ultrasonografi merupakan monitor yang paling sensitif, karena dapat
mendeteksi emboli dengan volume yang kecil. Probe precordial ditempatkan sebelah kanan
sternum dan beberapa inchi diatas xyphoid, sampai signal maksimal dideteksi, dan secara
terus menerus didengarkan.
Capnography atau end-tidal CO2 (EtCO2) mempunyai peranan spesifik terhadap
kemungkinan deteksi lokasi emboli udara dari peningkatan gradient arterial terhadap end-
tidal CO2. Faktor-faktor yang mempengaruhi keakuratan capnography termasuk respiratory
rate yang cepat, Cardiac output yang rendah, COPD.
End-tidal nitrogen merupakan monitor yang lain untuk emboli paru, dengan keunggulan
spesifik untuk mendeteksi lebih awal dibandingkan capnography ketika udara memasuki
sirkulasi pulmonal.
4. Pencegahan emboli udara
Tidak ada tindakan apapun yang dapat mencegah 100% terjadinya VAE, jika terdapat
perbedaan antara lapangan pembedahan dan atrium kanan, tanpa memperhatikan posisi
pasien. Angka kejadian dan beratnya VAE dapat diturunkan dengan menggunakan
pernapasan positif terkontrol (PEEP), hidrasi yang memadai, posisi head-up seminim
mungkin yang tidak mengganggu jalannya pembedahan.
5. Pengelolaan VAE
Pengelolaan VAE dilakukan selama pembedahan berlangsung, dan dilanjutkan pada periode
pascabedah. Apabila selama pembedahan berlangsung terjadi VAE, maka tindakan yang
dilakukan sebagai berikut :
1. Segera menginformasikan keadaan kepada dokter bedah
2. Menghentikan N2O dan meningkatkan aliran O2
3. Mendalamkan anestesi
4. Membilas lapangan pembedahan dengan cairan
5. Manuver valvasa (menekan v.jugularis)
6. Aspirasi melalui kateter atrium kanan
7. Suport kardiovaskuler
8. Mengubah posisi pasien, menurunkan posisi kepala lebih rendah.
Pemberian terapi dilanjutkan selama periode pasca bedah dengan tujuan mencegah
hipoksemia atau ancaman gangguan napas yang lain, deteksi iskemia otot jantung, dan
melakukan tindakan bila terjadi emboli di arteri. Tindakan yang dilakukan sebagai berikut:
1. Pemberian oksigen
2. Dilakukan pemeriksaan EKG dan foto thoraks
3. Pemeriksaan analisis gas darah berkala
4. Bila dicurigai adanya emboli udara di arteri, bila mungkin dilakukan kompresi Hiperbarik

Anda mungkin juga menyukai