Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

ANESTESI PADA LAPAROSKOPI

M. FAISAL INDRASYAH 1102014167


SRY IRMA ARISCHA 1102014257

PEMBIMBING :
DR. AFLAH EDDIN, SP. AN
KEPANITERAAN KLINIK ILMU ANESTESI
PERIODE 28 JANUARI – 3 FEBRUARI 2019
FAKULTAS KEDOKTERAN YARSI – RSUD PASAR REBO
Laparoskopi
◦ Definisi
Anestesi secara umum artinya suatu tindakan menghilangkan rasa sakit ketika
melakukan pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan
rasa sakit pada tubuh.

Laparoskopi adalah sebuah prosedur pembedahan minimally invasive dengan


memasukkan gas CO2 ke dalam rongga peritoneum untuk membuat ruang
antara dinding depan perut dan organ viscera, sehingga memberikan akses
endoskopi ke dalam rongga peritoneum tersebut.
◦ Prosedur laparoskopi
 Praoperasi laparoskopi  Pasien harus puasa 4 – 6 jam sebelumnya. Sebelum
puasa pasien makan makanan cair / bubur, makanan yang mudah diserap, tapi
rendah sisa, mengurangi jumlah kotoran.

 Setelah teranestesi, tindakan pertama dilakukan membuat sayatan di bawah


lipatan pusar 10 mm, kemudian jarum veres disuntikkan memasukkan gas CO2
sampai batas 12-15 mmHg untuk menggembungkan perut pasien.

 Bertujuan agar usus tertekan ke bawah dan menciptakan ruang di dalam perut.
Setelah perut terisi gas CO2, alat trocar dimasukkan, pipa dengan klep untuk
akses kamera dan alat-alat lain selama pembedahan.
 Ada empat trocar yang dipasang di tubuh:
1. Terletak di pusar.

2. Kira-kira letaknya 2-4 cm dari tulang dada (antara dada dan pusar) selebar
5-10 mm.

3. Dipasang di pertengahan trocar kedua agak ke sebelah kanan (di bawah


tulang iga), selebar 2-3 atau 5 mm.

4. Keempat, bilamana diperlukan, akan dipasang di sebelah kanan bawah,


selebar 5 mm.

 Melalui trocar inilah alat-alat, dimasukkan dan digerakkan. Trocar pertama


berfungsi sebagai ‘mata’ dokter, yaitu tempat dimasukkannya kamera.
Sementara itu, trocar kedua sampai keempat merupakan trocar kerja.
◦ Penggunaan Gas CO2 dalam Laparoskopi
CO2 merupakan gas pilihan untuk insuflasi karena:
- tidak mudah terbakar
- tidak membantu pembakaran
- mudah berdifusi melewati membrane
- mudah keluar dari paru-paru
- mudah larut dalam darah dan risiko embolisasi CO2 kecil
- Level CO2 dalam darah mudah diukur

 Selain itu, CO2 menimbulkan efek lokal maupun sistemik, dapat terjadi
hipertensi, takikardi, vasodilatasi pembuluh serebral, ↑ CO, hiperkarbi, dan
respiratory acidosis.
◦ Keuntungan Prosedur Laparoskopi

 Dibandingkan dengan bedah terbuka, laparoskopi lebih menguntungkan karena


insisi yang kecil dan nyeri pasca operasi yang lebih ringan.

 Fungsi paru pasca operasi tidak terganggu dan sedikit kemungkinan terjadi
atelektasis setelah prosedur laparoskopi.

 Setelah operasi fungsi pencernaan pasien pulih lebih cepat, masa rawat inap
rumah sakit pendek, serta lebih cepat kembali beraktivitas.
◦ Kerugian Prosedur Laparoskopi
 Komplikasi dapat terjadi langsung / tidak langsung karena kebutuhan
insuflasi CO2 untuk membuat ruang operasi. CO2 masuk kedalam pembuluh
darah secara cepat. Gas yang tidak larut terakumulasi didalam jantung
kanan menyebabkan hipotensi dan cardiac arrest.

 Intervensi dapat dengan menghentikan insuflasi CO2, hiperventilasi dengan


100% O2 dan resusitasi cairan, merubah posisi pasien right side up dan
memasang kateter vena central untuk aspirasi gas.

 Hal serius lain adalah pneumothorak, jika gas masuk ke dalam rongga thorax
melalui luka atau insisi yang dibuat sewaktu pembedahan.
◦ Respon Fisiologi Selama Bedah Laparoskopi
 Perubahan hemodinamik dan ventilasi dapat terjadi dikarenakan insuflasi
CO2 ke dalam rongga peritoneum menyebabkan terjadinya
pneumoperitoneum yang bermanfaat untuk visualisasi selama prosedur
laparoskopi.

 Insuflasi CO2 ini juga meningkatkan tekanan intraabdomen dan ↑ resistensi


pembuluh darah sehingga curah jantung menjadi turun sementara tekanan
darah meningkat.
 Efek oleh insuflasi CO2 menimbulkan terjadinya hiperkapnia selama
beberapa menit dimana kenaikan CO2 biasanya mencapai 30%, hal ini
menimbulkan stimulasi simpatis dan berpotensi terjadi disritmia dan
respiratori asidosis. Dapat dikoreksi dengan ↑ ventilasi.

 Pengaruh tambahan dari pneumoperitoneum adalah efek mekanik dari ↑


tekanan intra abdomen yang menyebabkan ↓ pulmonary compliance dan
kapasitas residu fungsional serta ↑ dead space.
Manajemen Anestesi pada Laparoskopi
Pemilihan jenis anestesi memperhatikan beberapa faktor. Anestesi regional tidak
digunakan rutin pada prosedur laparoskopi, karena iritasi yang mengenai diafragma
dari insuflasi CO2 bisa menyebabkan sakit pada pundak, ditambah lagi waktu
penyembuhan untuk pengembalian fungsi yang lengkap bisa lama.

◦ Evaluasi Preoperasi
 Secara umum sebelum memulai anestesi, dilakukan terlebih dulu anamnesis dan
pf. Karena perubahan tekanan hemodinamik dan respirasi terjadi pada pasien
selama prosedur laparoskopi, evaluasi sebelum operasi difokuskan untuk
mengidentifikasi pasien dengan penyakit paru berat dan gangguan fungsi
jantung.
◦ Manajemen Intraoperatif
 Pengukuran TD non invasive dan kapnografi penting untuk mengikuti efek
hemodinamik dan pneumoperitoneum pada respirasi dan perubahan posisi.
Dalam situasi tertentu, monitor pengukuran tekanan arteri sebaiknya dilakukan.

 Untuk mencegah aspirasi paru dan menjaga jalan nafas, perlu pemasangan ETT
dikarenakan dapat mengurangi tekanan udara lambung, ↓ resiko kerusakan
gaster, dan memperbaiki visualisasi selama operasi. Pada saat tekanan
intraabdomen ↑ karena pneumoperitoneum, ETT dapat digunakan untuk
memberikan tekanan ventilasi yang positif untuk mencegah hipoksemia dan
untuk mengekskresikan kelebihan CO2 yang diabsorbsi.
 Obat anestesi yang digunakan berupa volatile agent, opioid intravena, dan
obat pelumpuh otot. Ada studi yang mengatakan bahwa N2O sebaiknya
dihindari selama prosedur laparoskopi karena ↑ pelebaran usus dan resiko mual
pasca operasi.

 2 tujuan utama pemeliharaan selama laparoskopi dengan anestesi umum


adalah menjaga agar tetap normokapnia dan mencegah ketidakseimbangan
hemodinamik. Hiperkapnia biasanya berawal beberapa menit setelah insuflasi
CO2. Untuk menormalkan kembali, ventilasi ditingkatkan biasanya dengan ↑ RR
dengan volume tidal tetap.
 Jika tekanan darah meningkat maka pemberian kadar obat anestesi inhalasi
dapat ditingkatkan dan dapat ditambahkan dengan pemberian obat seperti
nitropusside (nitropusside menyebabkan reflek tackikardi, berpotensi untuk
menimbulkan keracunan sianida), esmolol, atau calcium channel blocker.
◦ Manajemen Pasca Operasi
 Di ruang pemulihan pasca anestesi, hiperkapnia bisa tetap terjadi selama
45 menit setelah prosedur selesai. Insiden mual muntah pasca operasi
laparoskopi dilaporkan cukup tinggi. Untuk ↓ insiden mual dan muntah
pasca operasi dapat dilakukan dengan meminimalkan dosis opioid dan
mempertimbangkan pemberian propofol untuk anestesi.

 Penggunaan analgetik setelah prosedur laparoskopi umumnya lebih sedikit


dibandingkan dengan sesudah bedah terbuka. Pemberian opioid iv
(fentanyl, morfine) dalam kombinasi dengan NSAID intravena membantu
agar pasien nyaman pada akhir dari prosedur.
KESIMPULAN
 Anestesi berarti suatu tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan
pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit
pada tubuh.

 Laparoskopi adalah sebuah prosedur pembedahan minimally invasive


dengan memasukkan gas CO2 ke dalam rongga peritoneum untuk
membuat ruang antara dinding depan perut dan organ viscera, sehingga
memberikan akses endoskopi ke dalam rongga peritoneum tersebut.
 CO2 adalah gas pilihan untuk insuflasi karena tidak mudah terbakar, tidak
membantu pembakaran, mudah berdifusi melewati membrane, mudah
keluar dari paru-paru, mudah larut dalam darah dan risiko embolisasi CO2
kecil.
 Pemilihan jenis anestesi memperhatikan beberapa faktor, antara lain : umur,
jenis kelamin, status fisik, jenis operasi, ketrampilan operator dan peralatan
yang dipakai, ketrampilan/kemampuan pelaksana anestesi dan sarananya,
status rumah sakit, dan permintaan pasien.
 Dua tujuan utama selama pemeliharaan pasien selama bedah laparoskopi
dengan anestesi umum adalah menjaga agar tetap normokapnia dan
mencegah ketidakseimbangan hemodinamik.
DAFTAR PUSTAKA
◦ Morgan GE, Mikhail MS, J.Murray M., Clinical Anesthesiology 4th edition. McGraw Hill. New York. 2006.
◦ Sdrales, Loraine M., Miller, R D., Anesteshia Review: A Study Guide to Anesthesia, fifth edition and basic of
anesthesia forth edition. Churchill Livingstone, USA. 2001
◦ Zollinger, Robert M., Zollinger’s Atlas of Surgical Operations 8th edition, international edition: McGraw Hill.
United State Of America. 2003
◦ Cole, D.J., Schlunt, M., Adult Perioperative Anesthesia: The Requisites in Anesthesiology. Mosby. 2004
◦ Anonynim, Laparoskopi Cikal Bakal Bedah Masa Depan available:
http://www.kompas.com/LaparoskopiCikalBakalBedahMasaDepan.asp (Accessed: 2019, January 29)
◦ “Major Classification of Anesthetic Agents”. ( 2007, april 15 – last update). Available:
http://images.google.com.hk/blockspinal (accessed : 2019, january 30).
◦ Yao, F.S.F, Artusio, Anesthesiology, Problem Oriented Patient Management. Lippincott Williams and
Wilkins, USA. 2001
◦ Errawan, Laparoscopyc surgery available: http://www.mediaonline.com/ Laparoscopyc surgery.asp
(Accessed: 2019, January 29)
◦ Barash, P.G., Cullen, B.F., Stoelting, R.K., Handbook of Clinical Anesthesia, 4th edition. Lippincott Williams
and Wilkins, USA. 2001

Anda mungkin juga menyukai