A. Laparoskopi
Definisi Laparoskopi
Prosedur Laparoskopi
Prosedur praoperasi laparoskopi hampir sama dengan operasi konvensional. Pasien harus
puasa empat hingga enam jam sebelumnya, dibuat banyak buang air besar agar ususnya
mengempis. Sebelum puasa pasien laparoskopi diberikan makanan cair atau bubur, makanan yang
mudah diserap, tapi rendah sisa, untuk mengurangi jumlah kotoran di saluran cerna.
Setelah pasien teranestesi, tindakan operasi pertama yang dilakukan adalah membuat
sayatan di bawah lipatan pusar sepanjang 10 mm, kemudian jarum veres disuntikkan untuk
memasukkan gas CO2 sampai batas kira-kira 12-15 milimeter Hg. Dengan pemberian gas CO2 itu,
perut pasien akan menggembung. Itu bertujuan agar usus tertekan ke bawah dan menciptakan
ruang di dalam perut. Setelah perut terisi gas CO2, alat trocar dimasukkan. Alat itu seperti pipa
dengan klep untuk akses kamera dan alat-alat lain selama pembedahan. Ada empat trocar yang
dipasang di tubuh. Pertama, terletak di pusar. Kedua, kira-kira letaknya 2-4 cm dari tulang dada
(antara dada dan pusar) selebar 5-10 mm. Trocar ketiga dipasang di pertengahan trocar kedua
agak ke sebelah kanan (di bawah tulang iga), selebar 2-3 atau 5 mm. Trocar keempat, bilamana
diperlukan, akan dipasang di sebelah kanan bawah, selebar 5 mm. Melalui trocar inilah alat-alat,
seperti gunting, pisau ultrasonik, dan kamera, dimasukkan dan digerakkan. Trocar pertama
berfungsi sebagai ‘mata’ dokter, yaitu tempat dimasukkannya kamera. Dokter akan melihat organ-
organ tubuh kita dan bagian yang perlu dibuang melalui kamera tersebut yang disalurkan ke
monitor. Sementara itu, trocar kedua sampai keempat merupakan trocar kerja.
Dalam tayangan video terlihat bagaimana jarum untuk menjahit organ-organ yang
dipotong atau mengalami pendarahan dimasukkan melalui trocar. Selain itu, ada pula klip-klip
dari titanium, yang aman dan bisa digunakan sebagai ganti jahitan. Klip itu berfungsi
menyambungkan dua bagian yang terpisah. Klip dari titanium akan dipasang dalam tubuh secara
permanen, seumur hidup. Sebelumnya, dokter harus mengatakan kepada pasien dan keluarganya
kalau ada benda asing yang akan ditinggalkan di dalam tubuh pasien.
Posisi peralatan juga penting untuk diperhatikan agar mudah untuk dilihat oleh semua
operator karena menggunakan berbagai peralatan penunjang. Operator harus melihat jelas video
monitor dan pengaliran insuflasi CO2 sehingga dia bisa memonitor tekanan intra abdomen dan
laju gas.
CO2 adalah gas pilihan untuk insuflasi karena tidak mudah terbakar, tidak membantu
pembakaran, mudah berdifusi melewati membrane, mudah keluar dari paru-paru, mudah larut
dalam darah dan risiko embolisasi CO2 kecil. Level CO2 dalam darah mudah diukur, dan
pengeluarannya dapat ditambah dengan memperbanyak ventilasi. Selama persediaan O2 cukup,
konsentrasi CO2 darah dapat ditolelir.
Kerugian utamanya adalah fakta bahwa CO2 lembam. Hal ini menyebabkan iritasi
peritoneal langsung dan rasa sakit selama laparoskopi karena CO2 membentuk asam karbonat saat
kontak dengan permukaan peritoneum. CO2 tidak terlalu larut pada darah bila terjadi kekurangan
sel darah merah, oleh karena itu CO2 bisa tersisa di intraperitoneum dalam bentuk gas setelah
laparoskopi, sehingga menyebabkan sakit pada bahu. Hiperkarbia dan respiratory acidosis terjadi
saat kapasitas CO2 dalam darah melampaui batas. Selain itu, CO2 dapat menimbulkan efek lokal
maupun sistemik, sehingga dapat terjadi hipertensi, takikardi, vasodilatasi pembuluh darah
serebral, peningkatan CO, hiperkarbi, dan respiratory acidosis.
Dibandingkan dengan bedah terbuka, laparoskopi lebih menguntungkan karena insisi yang
kecil dan nyeri pasca operasi yang lebih ringan. Fungsi paru pasca operasi tidak terganggu dan
sedikit kemungkinan terjadi atelektasis setelah prosedur laparoskopi. Setelah operasi fungsi
pencernaan pasien pulih lebih cepat, masa rawat inap rumah sakit pendek, serta lebih cepat kembali
beraktivitas. Keuntungan ini bervariasi tergantung pasien dan tipe prosedur.
Komplikasi selama prosedur laparoskopi dapat terjadi secara langsung maupun tidak
langsung karena kebutuhan insuflasi CO2 untuk membuat ruang operasi. CO2 masuk kedalam
pembuluh darah secara cepat. Gas yang tidak larut terakumulasi didalam jantung kanan
menyebabkan hipotensi dan cardiac arrest. Emboli CO2 yang masif bisa dideteksi dengan murmur
precordial, transesofugeal echocardiografi, dan end tidal CO2 monitoring (CO2 meningkat secara
sementara kemudian turun kembali). Pengobatan dilakukan dengan menghentikan insuflasi CO2,
hiperventilasi dengan 100% O2 dan resusitasi cairan, merubah posisi pasien right side up dan
memasang kateter vena central untuk aspirasi gas.
Jika gas yang ditujukan untuk membuat pneumoperitoneum keluar atau prosedur
laparoskopi meliputi insuflasi ekstra peritoneal (prosedur untuk adrenalectomy atau perbaikan
hernia) emfisema subkutan bisa terjadi, volume tidal CO2 akhir (end tidal CO2) meningkat
mencapai level tinggi dan terdapat krepitus yang biasanya dapat sembuh tanpa intervensi. Hal
serius lain adalah pneumothorak, jika gas masuk ke dalam rongga thorax melalui luka atau insisi
yang dibuat sewaktu pembedahan atau dari jaringan cervikal subkutan. Intervensi tidak selalu
harus, karena pneumothorax biasanya pulih jika insuflasi dihentikan.
Respon Fisiologi Selama Bedah Laparoskopi
Goncangan hemodinamik dan ventilasi dapat terjadi pada pasien yang menjalani prosedur
laparoskopi. Penyebab utama perubahan fisiologis pada prosedur laparoskopi ini adalah insuflasi
CO2. Insuflasi CO2 ke dalam rongga peritoneum menyebabkan terjadinya pneumoperitoneum yang
bermanfaat untuk visualisasi selama prosedur laparoskopi. Insuflasi CO2 ini juga meningkatkan
tekanan intraabdomen dan meningkatkan resistensi pembuluh darah sehingga curah jantung
menjadi turun sementara tekanan darah meningkat. Posisi pasien bisa merubah respon ini. Pada
saat posisi tredelenburg penurunan preload dan peningkatan afterload tidak terlalu mencolok
dibandingkan posisi anti tredelenburg.
Selama prosedur Laparoskopi, efek respirasi yang disebabkan oleh insuflasi CO2
memegang peranan utama. Setelah insiflasi CO2 terjadi hiperkapnia selama beberapa menit dimana
kenaikan CO2 biasanya mencapai 30%, namun keadaan ini akan menjadi stabil kembali selama
satu jam sewaktu operasi. Hiperkapnia ini dapat menimbulkan stimulasi simpatis dan berpotensi
untuk terjadi disritmia dan respiratori asidosis. Hal ini dapat dikoreksi dengan meningkatkan
ventilasi. Pengaruh tambahan dari pneumoperitoneum adalah efek mekanik dari peningkatan
tekanan intra abdomen yang menyebabkan penurunan pulmonary compliance dan kapasitas residu
fungsional serta peningkatan dead space.
Pemilihan jenis anestesi memperhatikan beberapa faktor, antara lain : umur, jenis kelamin,
status fisik, jenis operasi, ketrampilan operator dan peralatan yang dipakai,
ketrampilan/kemampuan pelaksana anestesi dan sarananya, status rumah sakit, dan permintaan
pasien. Saat ini sekitar 70-75 % operasi pada rumah sakit, dilakukan di bawah anestesi umum
(general anesthesia). Operasi sekitar kepala, leher, dada, dan abdomen sangat baik dilakukan
dengan anestesi umum inhalasi dengan pemasangan pipa endotrakheal, sejak diketahui bahwa
dengan metode ini jalan nafas dapat dikontrol dengan baik sepanjang waktu.
Anestesi regional tidak digunakan rutin pada prosedur laparoskopi, karena iritasi yang
mengenai diafragma dari insuflasi CO2. bisa menyebabkan sakit pada pundak, ditambah lagi waktu
penyembuhan untuk pengembalian fungsi yang lengkap bisa lama. Dengan lidocaine dosis rendah
dan teknik spinal opioid, salah satu studi menemukan bahwa nyeri pasca operasi setelah
laparoskopi ginekologi lebih sedikit dibandingkan dengan general anestesi dengan desflurane.
Evaluasi Preoperasi
Secara umum sebelum memulai anestesi, dilakukan terlebih dulu anamnesis dan
pemeriksaan fisik. Karena perubahan tekanan hemodinamik dan respirasi terjadi pada pasien
selama prosedur laparoskopi, evaluasi sebelum operasi difokuskan untuk mengidentifikasi pasien
dengan penyakit paru berat dan gangguan fungsi jantung. Laparoskopi tanpa gas dapat menjadi
alternatif laparoskopi yang aman untuk semua kasus.
Pada pasien dengan penyakit respirasi, laparoskopi lebih dipilih dibandingkan dengan
laparotomi oleh karena disfungsi respirasi pasca operasi lebih ringan. Efek positif ini harus
dipertimbangkan dengan resiko terjadinya pneumothorak dan resiko ketidakadekuatan pertukaran
gas yang disebabkan oleh gangguan ventilasi perfusi.
Tes fungsi paru preoperasi seperti volume ekspirasi paksa dan kapasitas vital dan tingginya
status ASA mungkin bisa memprediksi resiko pasien akan mengalami hiperkapnea dan asidosis
selama laparoskopi . Hiperkapnea dan asidosis yang persisten mungkin memerlukan penghilangan
insuflasi dari pneumopertoneum, penurunan tekanan insuflasi atau konversikan ke prosedur
terbuka.
Karena kemungkinan terjadinya stasis vena pada tungkai bawah selama laparoskopi,
profilaksis untuk thrombosis vena dalam (DVT) dengan memberikan tromboprofilaksis low-
molecular-weight heparin (LMWH) seperti fragmin heparin sodium 2500 – 5000 IU atau Clexane
enoxaparin sodium 20 – 40 mg subkutan preoperasi dan pasca operasi, knee-length graduated
compression elastic stocking selama perawatan di rumah sakit, dan intermiten pneumatic calf
compression intraoperasi. LMWH diberikan sekali malam hari sebelum pembedahan dan
diteruskan sampai pasien keluar dari rumah sakit.
Premedikasi harus disesuaikan dengan durasi laparoskopi dan keperluan untuk pemulihan
cepat pada pasien rawat jalan. Pemberian NSAID dan opioid dapat bermanfaat mengurangi nyeri
pasca operasi. Penggunaan klonidin dan deksmedetomidin menurunkan respon stress intraoperasi
dan mempertahankan stabilitas hemodinamik. Premedikasi anxiolitik (benzodazepin) biasanya
tidak perlu kecuali pasien dengan kecemasan tinggi.
Pada pasien dengan penyakit jantung, fungsi jantung harus dievaluasi saat terjadi
perubahan hemodinamik yang ringan oleh karena pneumoperitoneum dan posisi pasien,
khususnya pada pasien dengan gangguan fungsi ventrikel. Pasien dengan gagal jantung kongestif
yang berat dan insufisiensi katup yang terminal lebih cenderung mengalami komplikasi kardiak
daripada pasien dengan penyakit jantung iskemik selama laparoskopi. Untuk pasien seperti ini
keuntungan laparoskopi pasca operasi harus dipertimbangkan dengan resiko intraoperasi dalam
menentukan pilihan apakah laparotomi atau laparoskopi.
Manajemen Intraoperatif.
Akses untuk memasukkan obat secara intravena harus memadai pada prosedur laparoskopi,
seperti pada keadaan kehilangan darah. Akses untuk memasukkan obat secara intravena yang
adekuat adalah kunci dari resusitasi cairan yang tepat untuk keadaan pendarahan yang tidak
terkontrol atau emboli gas. Akses ke vena sentral harus dipertimbangkan pada pasien dengan
gangguan vena perifer.
Untuk mencegah aspirasi paru dan menjaga jalan nafas, perlu pemasangan pipa
endotrakeal. Pemasangan sebuah pipa orogastrik atau nasogastrik setelah jalan nafas dikuasai
dapat mengurangi tekanan udara lambung, menurunkan resiko kerusakan gaster, dan memperbaiki
visualisasi selama operasi. Pada saat tekanan intraabdomen meningkat karena pneumoperitoneum,
pipa endotracheal dapat digunakan untuk memberikan tekanan ventilasi yang positif untuk
mencegah hipoksemia dan untuk mengekskresikan kelebihan CO2 yang diabsorbsi.
Pneumoperitoneum dapat menyebabkan perubahan posisi pipa endotrakeal pada pasien dengan
trakea yang pendek, dimana ketika carina bergerak ke atas pipa endotrakeal bisa masuk ke salah
satu bronkus, sehingga memasang pipa endotrakeal sebaiknya pada pertengahan trakea dan
disarankan untuk lebih sering mengecek posisi pipa endotrakeal pada pasien.
Obat anestesi yang digunakan biasanya berupa volatile agent, opioid intravena, dan obat
pelumpuh otot. Ada studi yang mengatakan bahwa N2O sebaiknya dihindari selama prosedur
laparoskopi karena ini akan meningkatkan pelebaran usus dan resiko mual pasca operasi.
Penggunaan klinis N2O ini masih menjadi perdebatkan.
Dua tujuan utama selama pemeliharaan pasien selama bedah laparoskopi dengan anestesi
umum adalah menjaga agar tetap normokapnia dan mencegah ketidakseimbangan hemodinamik.
Hiperkapnia biasanya berawal beberapa menit setelah insuflasi CO2.. Untuk menormalkan kembali
CO2 ini, ventilasi ditingkatkan biasanya dengan meningkatkan RR (respiratory rate) dengan
volume tidal yang tetap. Jika hiperkapnia memburuk, misalnya pada kasus sulit prosedur bedah
diubah menjadi prosedur bedah terbuka.
Pada ruang pemulihan pasca anestesi, hiperkapnia bisa tetap terjadi selama 45 menit setelah
prosedur selesai. Insiden mual muntah pasca operasi laparoskopi dilaporkan cukup tinggi yaitu
mencapai 42%. Mual muntah pasca operasi setelah prosedur laparoskopi dipengaruhi oleh tipe dari
prosedur, sisa dari pneumoperitoneum, dan karakteristik pasien. Beberapa obat baik itu tunggal
maupun dalam kombinasi untuk mencegah dan mengobati komplikasi ini meliputi
metoclopramide, ondansentron, dan dexamethasone. Untuk menurunkan insiden mual dan muntah
pasca operasi dapat dilakukan dengan meminimalkan dosis opioid dan mempertimbangkan
pemberian propofol untuk anestesi. Karena banyak prosedur laparoskopi direncanakan pada pasien
rawat jalan, evaluasi pada saat pasien akan pulang juga diperlukan.
Analgesik pasca operasi dilanjutkan dengan pemberian opioid intravena secara intermiten atau
medikasi nyeri peroral. Pada beberapa pasien bisa dilakukan dengan pemasangan sebuah kateter
epidural untuk manajemen nyeri pasca operasi.