Anda di halaman 1dari 12

ANESTESI PADA LAPAROSKOPI

A. Laparoskopi
Definisi Laparoskopi

Laparoskopi adalah sebuah prosedur pembedahan minimally invasive dengan memasukkan


gas CO2 ke dalam rongga peritoneum untuk membuat ruang antara dinding depan perut dan organ
viscera, sehingga memberikan akses endoskopi ke dalam rongga peritoneum tersebut. Teknik
laparoskopi atau pembedahan minimally invasive diperkirakan menjadi trend bedah masa depan.
Di Indonesia, teknik bedah laparoskopi mulai dikenal di awal 1990-an ketika tim dari RS
Cedar Sinai California AS mengadakan live demo di RS Husada Jakarta. Selang setahun
kemudian, Dr Ibrahim Ahmadsyah dari RS Cipto Mangunkusumo melakukan operasi laparoskopi
pengangkatan batu dan kantung empedu (Laparoscopic Cholecystectomy) yang pertama. Sejak
1997, Laparoscopic Cholecystectomy menjadi prosedur baku untuk penyakit-penyakit kantung
empedu di beberapa rumah sakit besar di Jakarta dan beberapa kota besar di Indonesia.

Prosedur Laparoskopi

Prosedur praoperasi laparoskopi hampir sama dengan operasi konvensional. Pasien harus
puasa empat hingga enam jam sebelumnya, dibuat banyak buang air besar agar ususnya
mengempis. Sebelum puasa pasien laparoskopi diberikan makanan cair atau bubur, makanan yang
mudah diserap, tapi rendah sisa, untuk mengurangi jumlah kotoran di saluran cerna.

Setelah pasien teranestesi, tindakan operasi pertama yang dilakukan adalah membuat
sayatan di bawah lipatan pusar sepanjang 10 mm, kemudian jarum veres disuntikkan untuk
memasukkan gas CO2 sampai batas kira-kira 12-15 milimeter Hg. Dengan pemberian gas CO2 itu,
perut pasien akan menggembung. Itu bertujuan agar usus tertekan ke bawah dan menciptakan
ruang di dalam perut. Setelah perut terisi gas CO2, alat trocar dimasukkan. Alat itu seperti pipa
dengan klep untuk akses kamera dan alat-alat lain selama pembedahan. Ada empat trocar yang
dipasang di tubuh. Pertama, terletak di pusar. Kedua, kira-kira letaknya 2-4 cm dari tulang dada
(antara dada dan pusar) selebar 5-10 mm. Trocar ketiga dipasang di pertengahan trocar kedua
agak ke sebelah kanan (di bawah tulang iga), selebar 2-3 atau 5 mm. Trocar keempat, bilamana
diperlukan, akan dipasang di sebelah kanan bawah, selebar 5 mm. Melalui trocar inilah alat-alat,
seperti gunting, pisau ultrasonik, dan kamera, dimasukkan dan digerakkan. Trocar pertama
berfungsi sebagai ‘mata’ dokter, yaitu tempat dimasukkannya kamera. Dokter akan melihat organ-
organ tubuh kita dan bagian yang perlu dibuang melalui kamera tersebut yang disalurkan ke
monitor. Sementara itu, trocar kedua sampai keempat merupakan trocar kerja.

Dalam tayangan video terlihat bagaimana jarum untuk menjahit organ-organ yang
dipotong atau mengalami pendarahan dimasukkan melalui trocar. Selain itu, ada pula klip-klip
dari titanium, yang aman dan bisa digunakan sebagai ganti jahitan. Klip itu berfungsi
menyambungkan dua bagian yang terpisah. Klip dari titanium akan dipasang dalam tubuh secara
permanen, seumur hidup. Sebelumnya, dokter harus mengatakan kepada pasien dan keluarganya
kalau ada benda asing yang akan ditinggalkan di dalam tubuh pasien.

Posisi peralatan juga penting untuk diperhatikan agar mudah untuk dilihat oleh semua
operator karena menggunakan berbagai peralatan penunjang. Operator harus melihat jelas video
monitor dan pengaliran insuflasi CO2 sehingga dia bisa memonitor tekanan intra abdomen dan
laju gas.

Penggunaan Gas CO2 dalam Laparoskopi

CO2 adalah gas pilihan untuk insuflasi karena tidak mudah terbakar, tidak membantu
pembakaran, mudah berdifusi melewati membrane, mudah keluar dari paru-paru, mudah larut
dalam darah dan risiko embolisasi CO2 kecil. Level CO2 dalam darah mudah diukur, dan
pengeluarannya dapat ditambah dengan memperbanyak ventilasi. Selama persediaan O2 cukup,
konsentrasi CO2 darah dapat ditolelir.

Kerugian utamanya adalah fakta bahwa CO2 lembam. Hal ini menyebabkan iritasi
peritoneal langsung dan rasa sakit selama laparoskopi karena CO2 membentuk asam karbonat saat
kontak dengan permukaan peritoneum. CO2 tidak terlalu larut pada darah bila terjadi kekurangan
sel darah merah, oleh karena itu CO2 bisa tersisa di intraperitoneum dalam bentuk gas setelah
laparoskopi, sehingga menyebabkan sakit pada bahu. Hiperkarbia dan respiratory acidosis terjadi
saat kapasitas CO2 dalam darah melampaui batas. Selain itu, CO2 dapat menimbulkan efek lokal
maupun sistemik, sehingga dapat terjadi hipertensi, takikardi, vasodilatasi pembuluh darah
serebral, peningkatan CO, hiperkarbi, dan respiratory acidosis.

Keuntungan Prosedur Laparoskopi

Dibandingkan dengan bedah terbuka, laparoskopi lebih menguntungkan karena insisi yang
kecil dan nyeri pasca operasi yang lebih ringan. Fungsi paru pasca operasi tidak terganggu dan
sedikit kemungkinan terjadi atelektasis setelah prosedur laparoskopi. Setelah operasi fungsi
pencernaan pasien pulih lebih cepat, masa rawat inap rumah sakit pendek, serta lebih cepat kembali
beraktivitas. Keuntungan ini bervariasi tergantung pasien dan tipe prosedur.

Kerugian Prosedur Laparoskopi

Komplikasi selama prosedur laparoskopi dapat terjadi secara langsung maupun tidak
langsung karena kebutuhan insuflasi CO2 untuk membuat ruang operasi. CO2 masuk kedalam
pembuluh darah secara cepat. Gas yang tidak larut terakumulasi didalam jantung kanan
menyebabkan hipotensi dan cardiac arrest. Emboli CO2 yang masif bisa dideteksi dengan murmur
precordial, transesofugeal echocardiografi, dan end tidal CO2 monitoring (CO2 meningkat secara
sementara kemudian turun kembali). Pengobatan dilakukan dengan menghentikan insuflasi CO2,
hiperventilasi dengan 100% O2 dan resusitasi cairan, merubah posisi pasien right side up dan
memasang kateter vena central untuk aspirasi gas.

Jika gas yang ditujukan untuk membuat pneumoperitoneum keluar atau prosedur
laparoskopi meliputi insuflasi ekstra peritoneal (prosedur untuk adrenalectomy atau perbaikan
hernia) emfisema subkutan bisa terjadi, volume tidal CO2 akhir (end tidal CO2) meningkat
mencapai level tinggi dan terdapat krepitus yang biasanya dapat sembuh tanpa intervensi. Hal
serius lain adalah pneumothorak, jika gas masuk ke dalam rongga thorax melalui luka atau insisi
yang dibuat sewaktu pembedahan atau dari jaringan cervikal subkutan. Intervensi tidak selalu
harus, karena pneumothorax biasanya pulih jika insuflasi dihentikan.
Respon Fisiologi Selama Bedah Laparoskopi

Goncangan hemodinamik dan ventilasi dapat terjadi pada pasien yang menjalani prosedur
laparoskopi. Penyebab utama perubahan fisiologis pada prosedur laparoskopi ini adalah insuflasi
CO2. Insuflasi CO2 ke dalam rongga peritoneum menyebabkan terjadinya pneumoperitoneum yang
bermanfaat untuk visualisasi selama prosedur laparoskopi. Insuflasi CO2 ini juga meningkatkan
tekanan intraabdomen dan meningkatkan resistensi pembuluh darah sehingga curah jantung
menjadi turun sementara tekanan darah meningkat. Posisi pasien bisa merubah respon ini. Pada
saat posisi tredelenburg penurunan preload dan peningkatan afterload tidak terlalu mencolok
dibandingkan posisi anti tredelenburg.

Selama prosedur Laparoskopi, efek respirasi yang disebabkan oleh insuflasi CO2
memegang peranan utama. Setelah insiflasi CO2 terjadi hiperkapnia selama beberapa menit dimana
kenaikan CO2 biasanya mencapai 30%, namun keadaan ini akan menjadi stabil kembali selama
satu jam sewaktu operasi. Hiperkapnia ini dapat menimbulkan stimulasi simpatis dan berpotensi
untuk terjadi disritmia dan respiratori asidosis. Hal ini dapat dikoreksi dengan meningkatkan
ventilasi. Pengaruh tambahan dari pneumoperitoneum adalah efek mekanik dari peningkatan
tekanan intra abdomen yang menyebabkan penurunan pulmonary compliance dan kapasitas residu
fungsional serta peningkatan dead space.

B. Manajemen Anestesi pada Laparoskopi

Pemilihan jenis anestesi memperhatikan beberapa faktor, antara lain : umur, jenis kelamin,
status fisik, jenis operasi, ketrampilan operator dan peralatan yang dipakai,
ketrampilan/kemampuan pelaksana anestesi dan sarananya, status rumah sakit, dan permintaan
pasien. Saat ini sekitar 70-75 % operasi pada rumah sakit, dilakukan di bawah anestesi umum
(general anesthesia). Operasi sekitar kepala, leher, dada, dan abdomen sangat baik dilakukan
dengan anestesi umum inhalasi dengan pemasangan pipa endotrakheal, sejak diketahui bahwa
dengan metode ini jalan nafas dapat dikontrol dengan baik sepanjang waktu.

Anestesi regional tidak digunakan rutin pada prosedur laparoskopi, karena iritasi yang
mengenai diafragma dari insuflasi CO2. bisa menyebabkan sakit pada pundak, ditambah lagi waktu
penyembuhan untuk pengembalian fungsi yang lengkap bisa lama. Dengan lidocaine dosis rendah
dan teknik spinal opioid, salah satu studi menemukan bahwa nyeri pasca operasi setelah
laparoskopi ginekologi lebih sedikit dibandingkan dengan general anestesi dengan desflurane.

Evaluasi Preoperasi

Secara umum sebelum memulai anestesi, dilakukan terlebih dulu anamnesis dan
pemeriksaan fisik. Karena perubahan tekanan hemodinamik dan respirasi terjadi pada pasien
selama prosedur laparoskopi, evaluasi sebelum operasi difokuskan untuk mengidentifikasi pasien
dengan penyakit paru berat dan gangguan fungsi jantung. Laparoskopi tanpa gas dapat menjadi
alternatif laparoskopi yang aman untuk semua kasus.

Pada pasien dengan penyakit respirasi, laparoskopi lebih dipilih dibandingkan dengan
laparotomi oleh karena disfungsi respirasi pasca operasi lebih ringan. Efek positif ini harus
dipertimbangkan dengan resiko terjadinya pneumothorak dan resiko ketidakadekuatan pertukaran
gas yang disebabkan oleh gangguan ventilasi perfusi.
Tes fungsi paru preoperasi seperti volume ekspirasi paksa dan kapasitas vital dan tingginya
status ASA mungkin bisa memprediksi resiko pasien akan mengalami hiperkapnea dan asidosis
selama laparoskopi . Hiperkapnea dan asidosis yang persisten mungkin memerlukan penghilangan
insuflasi dari pneumopertoneum, penurunan tekanan insuflasi atau konversikan ke prosedur
terbuka.
Karena kemungkinan terjadinya stasis vena pada tungkai bawah selama laparoskopi,
profilaksis untuk thrombosis vena dalam (DVT) dengan memberikan tromboprofilaksis low-
molecular-weight heparin (LMWH) seperti fragmin heparin sodium 2500 – 5000 IU atau Clexane
enoxaparin sodium 20 – 40 mg subkutan preoperasi dan pasca operasi, knee-length graduated
compression elastic stocking selama perawatan di rumah sakit, dan intermiten pneumatic calf
compression intraoperasi. LMWH diberikan sekali malam hari sebelum pembedahan dan
diteruskan sampai pasien keluar dari rumah sakit.
Premedikasi harus disesuaikan dengan durasi laparoskopi dan keperluan untuk pemulihan
cepat pada pasien rawat jalan. Pemberian NSAID dan opioid dapat bermanfaat mengurangi nyeri
pasca operasi. Penggunaan klonidin dan deksmedetomidin menurunkan respon stress intraoperasi
dan mempertahankan stabilitas hemodinamik. Premedikasi anxiolitik (benzodazepin) biasanya
tidak perlu kecuali pasien dengan kecemasan tinggi.
Pada pasien dengan penyakit jantung, fungsi jantung harus dievaluasi saat terjadi
perubahan hemodinamik yang ringan oleh karena pneumoperitoneum dan posisi pasien,
khususnya pada pasien dengan gangguan fungsi ventrikel. Pasien dengan gagal jantung kongestif
yang berat dan insufisiensi katup yang terminal lebih cenderung mengalami komplikasi kardiak
daripada pasien dengan penyakit jantung iskemik selama laparoskopi. Untuk pasien seperti ini
keuntungan laparoskopi pasca operasi harus dipertimbangkan dengan resiko intraoperasi dalam
menentukan pilihan apakah laparotomi atau laparoskopi.

Manajemen Intraoperatif.

Pasien biasanya menjalani prosedur laparoskopi dengan anestesi umum dengan


menggunakan monitor standar. Pengukuran tekanan darah noninvasive dan kapnografi penting
untuk mengikuti efek hemodinamik dan pneumoperitoneum pada respirasi dan perubahan posisi.
Dalam situasi tertentu, monitor pengukuran tekanan arteri sebaiknya dilakukan. Indikasi tindakan
monitor tekanan arteri secara invasif antara lain: penyakit paru berat, end tidal CO 2. arteri yang
sangat tinggi, dan fungsi ventrikel yang menurun. Sama halnya dengan monitor pengukuran
tekanan vena sentral, pemasangan kateter arteri paru atau transesofageal echocardiografi bisa
berguna untuk pasien dengan gangguan fungsi jantung atau hipertensi paru.

Akses untuk memasukkan obat secara intravena harus memadai pada prosedur laparoskopi,
seperti pada keadaan kehilangan darah. Akses untuk memasukkan obat secara intravena yang
adekuat adalah kunci dari resusitasi cairan yang tepat untuk keadaan pendarahan yang tidak
terkontrol atau emboli gas. Akses ke vena sentral harus dipertimbangkan pada pasien dengan
gangguan vena perifer.

Untuk mencegah aspirasi paru dan menjaga jalan nafas, perlu pemasangan pipa
endotrakeal. Pemasangan sebuah pipa orogastrik atau nasogastrik setelah jalan nafas dikuasai
dapat mengurangi tekanan udara lambung, menurunkan resiko kerusakan gaster, dan memperbaiki
visualisasi selama operasi. Pada saat tekanan intraabdomen meningkat karena pneumoperitoneum,
pipa endotracheal dapat digunakan untuk memberikan tekanan ventilasi yang positif untuk
mencegah hipoksemia dan untuk mengekskresikan kelebihan CO2 yang diabsorbsi.
Pneumoperitoneum dapat menyebabkan perubahan posisi pipa endotrakeal pada pasien dengan
trakea yang pendek, dimana ketika carina bergerak ke atas pipa endotrakeal bisa masuk ke salah
satu bronkus, sehingga memasang pipa endotrakeal sebaiknya pada pertengahan trakea dan
disarankan untuk lebih sering mengecek posisi pipa endotrakeal pada pasien.

Obat anestesi yang digunakan biasanya berupa volatile agent, opioid intravena, dan obat
pelumpuh otot. Ada studi yang mengatakan bahwa N2O sebaiknya dihindari selama prosedur
laparoskopi karena ini akan meningkatkan pelebaran usus dan resiko mual pasca operasi.
Penggunaan klinis N2O ini masih menjadi perdebatkan.

Selama prosedur laparoskopi, pasien biasanya diposisikan Trendelenburg atau Reverse


Trendelenburg. Trauma saraf pada pasien sebaiknya dihindari dengan mengamankan dan
membantali seluruh ekstremitas. Tekanan pernafasan bisa meningkat dengan perubahan posisi dan
ventilasi, biasanya butuh penyesuaian.

Dua tujuan utama selama pemeliharaan pasien selama bedah laparoskopi dengan anestesi
umum adalah menjaga agar tetap normokapnia dan mencegah ketidakseimbangan hemodinamik.
Hiperkapnia biasanya berawal beberapa menit setelah insuflasi CO2.. Untuk menormalkan kembali
CO2 ini, ventilasi ditingkatkan biasanya dengan meningkatkan RR (respiratory rate) dengan
volume tidal yang tetap. Jika hiperkapnia memburuk, misalnya pada kasus sulit prosedur bedah
diubah menjadi prosedur bedah terbuka.

Perubahan hemodinamik harus diantisipasi dan dimanajemen selama prosedur laparoskopi.


Jika tekanan darah meningkat maka pemberian kadar obat anestesi inhalasi dapat ditingkatkan dan
dapat ditambahkan dengan pemberian obat seperti nitropusside (nitropusside menyebabkan reflek
tackikardi, berpotensi untuk menimbulkan keracunan sianida), esmolol, atau calcium channel
blocker. Pengobatan dengan alpha agonist seperti clonidine atau dexmedetomidine adalah strategy
lain (alpha agonist dapat menyebabkan penurunan MAC untuk anestesi inhalasi, berpotensi
menjadi bradikardi). Walaupun pasien yang sehat dapat mentoleransi perubahan hemodinamik,
namun pasien dengan fungsi jantung yang buruk bisa dipengaruhi menjadi lebih buruk. Hal ini
dapat dicegah dengan penggunaan monitor secara invasif (arterial line, central line,
transesofageal ochocardiografi) selama prosedur berlangsung.
Manajemen Pasca Operasi

Pada ruang pemulihan pasca anestesi, hiperkapnia bisa tetap terjadi selama 45 menit setelah
prosedur selesai. Insiden mual muntah pasca operasi laparoskopi dilaporkan cukup tinggi yaitu
mencapai 42%. Mual muntah pasca operasi setelah prosedur laparoskopi dipengaruhi oleh tipe dari
prosedur, sisa dari pneumoperitoneum, dan karakteristik pasien. Beberapa obat baik itu tunggal
maupun dalam kombinasi untuk mencegah dan mengobati komplikasi ini meliputi
metoclopramide, ondansentron, dan dexamethasone. Untuk menurunkan insiden mual dan muntah
pasca operasi dapat dilakukan dengan meminimalkan dosis opioid dan mempertimbangkan
pemberian propofol untuk anestesi. Karena banyak prosedur laparoskopi direncanakan pada pasien
rawat jalan, evaluasi pada saat pasien akan pulang juga diperlukan.

Penggunaan analgetik setelah prosedur laparoskopi umumnya lebih sedikit dibandingkan


dengan sesudah bedah terbuka. Modalitas penggunaan analgesik harus menghilangkan nyeri yang
bisa terjadi karena insisi, visceral, atau akibat gas residu dan pneumoperitoneum. Manajemen nyeri
diawali sebelum atau selama prosedure pembedahan. Pemberian opioid intravena (fentanyl,
morfine) dalam kombinasi dengan NSAID intravena membantu agar pasien nyaman pada akhir
dari prosedur. Infiltrasi dari anestesi lokal, seperti bupivacaine pada port sites kulit dan peritoneum
memblock nyeri somatik dan visceral.

Analgesik pasca operasi dilanjutkan dengan pemberian opioid intravena secara intermiten atau
medikasi nyeri peroral. Pada beberapa pasien bisa dilakukan dengan pemasangan sebuah kateter
epidural untuk manajemen nyeri pasca operasi.

Komplikasi Intraoperasi yang Spesifik


Kompikasi intraoperasi selama prosedur laparoskopi dengan pneumoperitoneum CO2
meliputi :
1. Trauma vaskular
Trauma vaskular mayor isa terjadi saat insersi alat – alat pembedahan terutama veress
needle atau trokars. Insiden trauma vaskular selama laparoskopi abdomen atas ± 0,03 – 0,06% dan
menurun dengan meningkatnya pengalaman pembedahan. Perdarahan bisa terjadi oleh karena
insersi veress needle atau trokar mengenai pembuluh darah besar intraabdomen atau trauma pada
pembuluh darah dinding abdomen, seperti aorta, vena cava inferior, pembuluh darah iliaka, dan
hematom retroperitoneum, biasanya merupakan trauma vaskular yang terdiagnosa terlambat oleh
karena terbatasnya visualisasi, yang awalnya ditandai dengan terjadinya hipotensi yang tidak bisa
diterangkan.
2. Trauma Gastrointestinal
Trauma abdomen lain yang berhubungan dengan insersi veress needle dan trokar meliputi
perforasi traktus gastrointestinal baik usus besar dan usus halus yang bisa menyebabkan peritonitis,
robekan hepar dan lien dan laserasi mesenterium. Trauma gastrointestinal yang tidak bisa dikenali
mempengaruhi morbiditas dan mortalitas. Faktor resiko terjadi trauma gastrointestinal meliputi
distensi lambung dan adhesi yang disebabkan oleh operasi abdomen sebelumnya.
3. Aritmia jantung
Aritmia selama prosedur laparoskopi bisa disebabkan oleh berbagai penyebab meliputi :
hiperkapnea sebagai akibat insuflasi CO2 intraperitoneum dan peningkatan reflek tonus vagus saat
insersi trokar, insuflasi peritoneum, tarikan peritoneum, dan manipulasi organ visceral, khususnya
bila anestesi kurang dalam. Jenis gangguan aritmia jantung yang pernah dilaporkan adalah
bradikardia sampai asistol.
Walaupun aritmia ini bisa membaik dan hilang dengan spontan, namun harus
dipertimbangkan untuk melakukan tindakan: menghilangkan stimulus (pengurangan insuflasi
intraperitoneum) dan pemberian obat vagolitik (sulfas atropine)
4. Emfisema Subkutis
Emfisema subkutis bisa disebabkan oleh insuflasi CO2 ekstraperitoneum yang disengaja
(pada operasi hernia inguinalis, pembedahan ginjal, limfadenektomi pelvis) dan insuflasi CO2
ekstraperitoneum yang tidak disengaja. Akses keruang peritoneum pada laparoskopi dicapai
dengan cara insersi buta veress needle melalui insisi kecil subumbilikus. Insuflasi CO2
ekstraperitoneum bisa terjadi jika ujung jarum ditempatkan di subkutan, jaringan preperitoneum
atau retroperitoneum saat insuflasi. Insiden dari komplikasi insuflasi ekstraperitoneum bervariasi
antara 0,4 – 2%. Emfisema subkutan yang luas bisa mengenai abdomen,dada, leher, dan paha.
Emfisema subkutis ditandai ditandai dengan adanya krepitasi diatas dinding abdomen.
Peningkatan absorbsi CO2 menyebabkan peningkatan tiba – tiba ETCO2 dan hiperkapnea, dan
asidosis respirasi yang berhubungan dengan emfisema subkutis karena insuflasi ekstraperitoneum.
Kehati – hatian teknik pembedahan saat insersi veress needle dan penilaian lokasi jarum
intraperitoneum sebelum insuflasi mengurangi insiden komplikasi ini.
5. Pneumothorak, Pneumomediastinum dan Pneumoperikardium
Pneumothorak bisa terjadi saat prosedur laparoskopi intraperitoneum atau
ekstraperitoneum, walaupun jarang, komplikasi ini adalah komplikasi yang mengancam nyawa.
Faktor penyebab komplikasi ini berupa defek embrional, defek diafragma (hiatus
aorta/esophagus), robekan pleura, rupture bulla emfisematus. Pada laparoskopi kolesistektomi,
pneumothorak dapat terjadi saat insersi veress needle dan trokar, CO2 insuflasi, dan diseksi
kandung empedu. Diduga mekanisme terjadinya pneumothorak ini meliputi insuflasi CO2 sekitar
aorta dan hiatus esophagus diafragma kedalam ruang mediastinum yang selanjutnya terjadi rupture
ruang pleura. Perjalanan gas melewati defek anatomi diafragma atau melalui defek kongenital pada
hiatus pleuroperitoneum (paten canalis pleuroperitoneum).
Tension pneumothorak pernah ditemukan selama laparoskopi kolesistektomi, dan
berhubungan dengan defek diafragma kongenital. Rupture dari bulla paru dapat menyebabkan
tension pneumothorak terpisah dari pneumoperitoneum. Pneumothorak bisa tidak terdeteksi
intraoperasi, atau keberadaannya bisa dicurigai dengan adanya peningkatan tekanan jalan nafas
yang tidak bisa dijelaskan, hipoksemia – hiperkapnea, emfisema bedah, atau jika tension
pneumothorak terjadi gangguan kardiovaskular dengan gejala hipotensi yang berat. Jika diduga
ada pneumotorak, foto thorak harus dilakukan untuk mengkonfirmasi diagnosis. Pada keadaan
hemodinamik tidak stabil atau secara klinis nyata menunjukkan pneumothorak tension, segera
lakukan pengempisan abdomen dan pemasangan WSD sebelum dilakukan foto thorak.
Selanjutnya penatalaksanaannya tergantung dari status hemodinamik. Jika pasien stabil, abdomen
bisa diinsuflasi kembali dan prosedur dapat diteruskan. Pneumothorak kecil yang terdeteksi saat
akhir operasi dan tidak menyebabkan gangguan hemodinamik dapat diterapi secara konservatif.
CO2 dalam ruang pleura sangat cepat diabsorbsi setelah pengempisan abdomen dan tidak
memerlukan pemasangan WSD.
Pneumomediastinum dan pneumoperikardium juga dapat terjadi saat prosedur laparoskopi.
Tekanan intraabdomen yang tinggi saat insuflasi memegang peranan terjadinya komplikasi ini.
Penatalaksanaan tergantung pada tingkat gangguan hemodinamik yang terjadi. Pengempisan
pneumoperitoneum dan observasi ketat harus dilakukan pada pasien dengan komplikasi ini.
6. Emboli Gas CO2
Komplikasi intraoperasi serius berupa terjadinya emboli gas saat prosedur laparoskopi.
Emboli CO2 vena ditandai dengan hipotensi berat, sianosis, dan asistol setelah tindakan
pneumoperitoneum. Kemungkinan mekanisme emboli gas meliputi penempatan veress needle
intravena yang tidak disengaja, aliran CO2 kedalam pembuluh darah dinding abdomen dan
pembuluh darah peritoneum selama insuflasi, atau ke dalam pembuluh darah pada permukaan
hepar saat diseksi kandung empedu.
Tanda dan beratnya efek emboli CO2 meliputi hipotensi dengan kolap kardiovaskular,
hipoksemia, hipertensi pulmoner, edema paru, deteksi dari ‘mill wheel murmur’, tidak seperti
emboli udara biasa, pada emboli gas CO2, ETCO2 meningkat sementara setelah itu baru terjadi
penurunan ETCO2 karena penurunan aliran darah ke paru. Emboli paradoksikal yang melewati
defek paten foramen ovale,defek septum atrium bisa menyebabkan emboli CO2 serebral.
Insiden emboli gas yang dideteksi menggunakan ekhokardiografi transesofageal sekitar
69% pasien yang menjalani laparoskopi kolesistektomi, tetapi tanpa efek kardiopulmoner yang
signifikan. Wadhwa dkk. tidak menemukan emboli gas pada 100 pasien yang menjalani prosedur
laparoskopi ginekologi dengan menggunakan Doppler prekordial. Monitoring yang baik dan
meningkatkan kewaspadaan kita dapat menghasilkan deteksi dini dan mencegah komplikasi lebih
berat dari emboli CO2 ini
Penatalaksanaan emboli gas CO2 ini meliputi :

 Penghentian segera insuflasi dan menghilangkan pneumoperitoneum.


 Pasien diposisikan head down dan lateral kiri dekubitus. Pada posisi ini sejumlah gas yang
masuk melalui jantung kanan kesirkulasi pulmonal berkurang karena busa yang ringan
berpindah kebagian lateral dan kaudal outflow ventrikel kanan.
 Hentikan pemakaian N2O, diikuti dengan ventilasi O2 100% untuk memperbaiki
hipoksemia dan pengurangan ukuran emboli gas dan dampak emboli gas.
 Hiperventilasi untuk meningkatkan ekskresi CO2 dan dilakukan seperlunya dengan
memperbesar ruang rugi fisiologis.
 Jika cara – cara sederhana ini tidak efektif, dilakukan pemasangan kateter vena sentral atau
kateter arteri pulmonalis untuk mengaspirasi udara.
 Resusitasi kardiopulmoner dimulai jika perlu, kompresi jantung luar mungkin bermanfaat
untuk memecah emboli CO2 menjadi gelembung yang kecil.
DAFTAR PUSTAKA

1. Errawan, Laparoscopyc surgery available: http://www.mediaonline.com/Laparoscopyc


surgery.asp
2. Morgan GE, Mikhail MS, J.Murray M., Clinical Anesthesiology 4th edition. McGraw Hill. New
York. 2006.
3. Muralidhar V. Physiology of Pneumopritoneum and Anaesthesia in Laparoscopic Surgery in
Comprehensive Laparoscopic Surgery; 6; 52 – 6.
4. Mehler SJ. Minimally Invasif Surgery (Laparoscopy and Thoracoscopy) available at
mehlerst@cvm.msu.edu. pp. 1 - 8
5. Ramachandra. Anaesthesia for Laparoscopy. IAGES journal.
6. Sdrales, Loraine M., Miller, R D., Anesteshia Review: A Study Guide to Anesthesia, fifth
edition and basic of anesthesia forth edition. Churchill Livingstone, USA.
7. Slodzinski M., Merritt WT. Anesthesia for Gastrointestinal Surgery. Longnecker
Anesthesiology 2008; 55; 1317 - 19

Anda mungkin juga menyukai