Anda di halaman 1dari 13

EFIKASI OKSIGENASI NASAL BERALIRAN TINGGI DIBANDINGKAN DENGAN

INTUBASI TRAKEA UNTUK OKSIGENASI PADA PEMBEDAHAN MIKRO


LARING: SEBUAH STUDI RANDOMISASI NON-INFERIORITAS

ABSTRAK
Latar Belakang: Oksigenasi melalui kanul nasal beraliran tinggi (HFNC) merupakan salah
satu alternatif untuk intubasi trakea selama melakukan prosedur apnoea yang singkat. Studi
randomisasi non-inferioritas ini menilai efikasi HFNC dibandingkan dengan intubasi trakea
pada pembedahan mikro pada laring.
Metode: Sejumlah pasien (≥20 tahun) yang akan menjalani pembedahan mikro pada laring,
dengan anestesi umum dan blokade neuromuskuler, dilakukan randomisasi untuk
dikelompokkan ke dalam kelompok HFNC atau intubasi trakea. Endpoint utama penelitian
ini adalah nilai saturasi oksigen nadi terendah (SpO2) selama 30 menit pertama pembedahan.
Sedangkan endpoint sekunder penelitian ini mencakup insidensi desaturasi (SpO2 <95%),
hiperkarbia (karbon dioksida transkutan [CO2] ≥8,7 kPa), dan intervensi rescue.
Hasil: Dari 130 pasien yang dirandomisasi, sebanyak 118 pasien diikutsertakan dalam
analisis. Nilai SpO2 terendah adalah 100% (98-100) pada kelompok HFNC (n=56) dan 100
(100-100)% pada kelompok intubasi trakea (n=62), dengan perbedaan mean -1,4% (interval
kepercayaan 95%: -2,4% dan -0,3%), sehingga gagal mengkonfirmasi noninferioritas dengan
margin noninferioritas sebesar 2%. Nilai puncak CO2 transkutan dan CO2 end-tidal pada
akhir pembedahan adalah lebih tinggi pada kelompok HFNC dibandingkan dengan kelompok
intubasi trakea. Insidensi desaturasi, hiperkarbia, dan intervensi rescue lebih sering dijumpai
pada pasien yang menerima HFNC dibandingkan dengan intubasi trakea.
Kesimpulan: Oksigenasi HFNC ternyata tidak lebih inferior dibandingkan dengan intubasi
trakea dalam mempertahankan saturasi oksigen selama bedah mikro laring. Karena tingkat
desaturasi, hiperkarbia, dan kebutuhan akan intervensi rescue lebih sering terjadi pada HFNC
dibandingkan dengan intubasi trakea, maka HFNC harus selalu disertai dengan monitoring
yang cermat, bahkan untuk pembedahan jalan napas berdurasi pendek.
Registrasi uji klinis: NCT03629353.
Kata kunci: apnea; oksigenasi nasal beraliran tinggi; pembedahan mikro laring; oksigenasi;
intubasi trakea

Poin-poin penting editor


 Oksigenasi nasal beraliran tinggi sangat berguna selama pembedahan mikro laring,
tetapi efikasinya belum dibandingkan secara formal dengan intubasi trakea
konvensional.
 Studi randomisasi ini menunjukkan bahwa oksigenasi nasal beraliran tinggi mungkin
sama efektifnya dengan intubasi trakea dalam menyediakan oksigenasi selama
pembedahan mikro laring.
 Namun demikian, tingkat insidensi desaturasi dan intervensi rescue lebih sering terjadi
pada oksigenasi nasal dengan aliran tinggi dibandingkan dengan intubasi trakea..

PENDAHULUAN
Selama pembedahan saluran pernapasan, terkadang diperlukan periode apnea, dimana
biasanya digunakan metode intubasi trakea. Pada saat tindakan tersebut, selang trakea dapat
dicabut dan dipasang kembali secara berulang kali untuk prosedur apnoea. Akibatnya, pasien
dapat mengalami desaturasi dan hiperkarbia karena terhenti nya oksigenasi dan ventilasi
secara berkala. Hal ini meningkatkan risiko hipoksemia dan asidosis, serta dapat
menyebabkan cedera yang tidak disengaja pada jalan napas.
Belakangan ini, oksigenasi dengan kanula nasal beraliran tinggi (HFNC) telah banyak
diterapkan untuk periode apnea dalam berbagai prosedur klinis. Dengan menggunakan
oksigenasi nasal beraliran tinggi melalui HFNC, pasien yang memerlukan intubasi sekuensial
atau dengan riwayat saluran napas yang sulit dapat, mengalami perpanjangan periode apnea
dengan aman. Selain itu, penggunaan HFNC tidak akan mengganggu bidang pembedahan,
sehingga dapat membantu memfasilitasi prosedur pembedahan dan mempersingkat waktu
prosedur secara keseluruhan. Namun, akumulasi karbon dioksida (CO2) dan asidosis
pernapasan yang progresif dapat terjadi selama periode apnea.
Meskipun telah ada beberapa laporan kasus tentang penggunaan HFNC untuk
oksigenasi selama pembedahan laring atau trakea, namun belum ada uji klinis randomisasi
yang membahas mengenai efikasi HFNC dibandingkan dengan intubasi trakea pada pasien
yang menjalani bedah mikro laring dengan anestesi umum dan blok neuromuskuler. Kami
berhipotesis bahwa penggunaan HFNC tidak kalah efektif dengan intubasi trakea dalam hal
oksigenasi selama operasi. Untuk menilai hipotesis kami, kami mengevaluasi oksigenasi dan
ventilasi menggunakan HFNC dibandingkan dengan intubasi trakea pada pasien dewasa yang
sedang menjalani operasi bedah mikro laring.
METODE
Studi prospektif, random, kelompok paralel, non-inferioritas ini telah disetujui oleh Dewan
Peninjau Institusi Rumah Sakit Universitas Nasional Seoul (#1807-051-957; Youn Joung
Cho, peneliti utama, pada tanggal 23 Juli 2018), dan telah didaftarkan di ClinicalTrials.gov
(NCT03629353, pada tanggal 14 Agustus 2018) sebelum perekrutan pasien. Penelitian ini
dilakukan sesuai dengan pedoman Good Clinical Practice dan prinsip-prinsip Deklarasi
Helsinki. Semua partisipan memberikan persetujuan tertulis dan dapat membatalkan
persetujuannya kapan saja.
Pasien yang memenuhi syarat adalah orang dewasa (≥20 tahun) dengan status fisik
ASA 1-3, yang direncanakan untuk menjalani bedah mikro laring elektif yang membutuhkan
anestesi umum dan blok neuromuskuler di satu sentra tersier (Rumah Sakit Universitas
Nasional Seoul, Seoul, Republik Korea). Kriteria eksklusi adalah penggunaan laser CO2;
peningkatan tekanan intrakranial, defek basis kranial, penyakit paru obstruktif kronik, atau
hipertensi pulmonal; membutuhkan intubasi sekuensial cepat; atau tidak memberikan
persetujuan untuk berpartisipasi dalam penelitian ini. Setiap operasi yang dilakukan pada satu
pasien selama periode penelitian dianggap sebagai pasien yang terpisah.
Setelah memperoleh persetujuan tertulis, subjek dirandomisasi ke dalam kelompok
HFNC atau kelompok intubasi trakea. Blok randomisasi (blok empat) dilakukan dengan
menggunakan program randomisasi berbasis komputer oleh peneliti independen untuk
mengalokasikan subjek dengan rasio 1:1. Alokasi kelompok disembunyikan dalam amplop
buram, dan subjek serta peneliti yang terlibat dalam pengumpulan dan analisis data tidak
mengetahui alokasi tersebut (dibutakan).
Sebelum pembedahan, pasien tidak diberikan obat premedikasi dan dipantau dengan
menggunakan elektrokardiogram tiga sadapan, tekanan darah non-invasif, indeks bispektral,
saturasi oksigen yang diukur dengan oksimetri nadi (SpO2), CO2 transkutan, dan indeks
cadangan oksigen. CO2 transkutan dimonitor dengan sensor (V-Sign™ sensor 2; SenTec AG,
Therwil, Swiss) yang ditempelkan pada kulit lengan bawah atau dada bagian depan, yang
dihubungkan ke monitor (SenTec digital transcutaneous monitor; SenTec AG) setelah
dikalibrasi. Indeks cadangan oksigen dimonitor dengan menggunakan sensor (Masimo
SET®rainbow; Masimo Corporation, Irvine, CA, USA) yang dipasang di jari, yang
terhubung ke monitor (Root; Masimo Corporation). Indeks cadangan oksigen dikalkulasi dari
ko-oksimetri denyut nadi multigelombang, dan dapat mendeteksi hipoksemia ringan bahkan
dalam kisaran yang tidak dapat dideteksi berdasarkan SpO2.
Sebelum tindakan, subjek tidak diberikan obat pra-anestesi dan diposisikan
menghadap ke atas selama 3 menit pada kedua kelompok. Selanjutnya, subjek diberikan
oksigen 100% (30-40 L/menit) melalui HFNC menggunakan sistem aliran tinggi (Optiflow
™; Fisher & Paykel Healthcare, Auckland, Selandia Baru) pada kelompok HFNC, atau
menggunakan masker wajah dengan oksigen 100% (10 L/menit) melalui mesin anestesi
(Primus; Dragerwerk AG & Co KGaA, Lu¨ beck, Jerman) pada kelompok intubasi trakea.
Setelah pasien dipraoksigenasi, anestesi umum diinduksi dan dipertahankan dengan
TIVA menggunakan propofol i.v. (konsentrasi: 3-5 mg/ml) dan remifentanil (konsentrasi: 2-6
ng/ml). Rocuronium 0,6 mg/kg i.v. diberikan untuk memblok neuromuskuler. Konsentrasi
propofol dan remifentanil disesuaikan untuk menjaga indeks bispektral antara 40 dan 60 dan
tekanan darah yang memadai. Pada kelompok HFNC, laju aliran oksigen disesuaikan menjadi
70 L/menit dan fraksi oksigen terinspirasi (FiO2) pada 1,0 selama prosedur. Pada pasien yang
menggunakan HFNC, pembedahan dilakukan saat pasien dalam keadaan apnea tanpa
mengatur volume tidal atau frekuensi ventilasi. Sedangkan pada kelompok intubasi trakea,
tabung trakea dengan diameter internal 5,0 atau 5,5 mm (Mallinckrodt; Covidien, Mansfield,
MA, USA) dimasukkan dan pasien diberi ventilasi dengan volume tidal 6-8 ml/kg, frekuensi
ventilator 10-20 bpm, FiO2 0,4, dan PEEP 5 cmH2O. Operasi dilakukan dalam posisi
supinasi pada kedua kelompok.
Selama operasi, digunakan alat pelindung gigi dan laringoskop untuk
memvisualisasikan dan melakukan pendekatan pada struktur glotis dan periglotis. Pada
kelompok intubasi trakea, selang trakea dilepas sementara dan dimasukkan kembali secara
berulang-ulang selama operasi sesuai kebutuhan dokter bedah.
Selama pembedahan, jika kadar SpO2 menurun di bawah 95% atau CO2 transkutan
meningkat lebih dari atau sama dengan 8,7 kPa, dokter bedah dan dokter anestesi akan
memutuskan apakah perlu intervensi rescue. Untuk melakukan intervensi rescue pada
kelompok HFNC, trakea diintubasi dan paru diventilasi menggunakan mesin anestesi agar
SpO2 dan CO2 end-point tetap adekuat. Pada kelompok intubasi trakea, FiO2 disesuaikan
hingga 1,0, dan digunakan ventilasi bag and mask. Jika selang trakea dilepas untuk keperluan
pembedahan, maka dilakukan reintubasi. Alveolar rekrutmen dilakukan sesuai kebijakan ahli
anestesi yang hadir.
Setelah operasi selesai, diberikan sugammadex 4 mg/kg i.v. untuk memulihkan blok
neuromuskuler. Pada kelompok HFNC, digunakan alat bantu napas supraglotis untuk
memfasilitasi eliminasi CO2 dan pemulihan dari anestesi. Setelah melepas alat bantu napas
supraglotis atau selang trakea, pasien dipantau di PACU sebelum dipindahkan ke bangsal
umum.
Data mengenai karakteristik awal pasien yang diikutsertakan; komorbiditas;
diagnosis; durasi anestesi, pembedahan, dan apnea; serta durasi rawat inap di PACU dan
rumah sakit postoperatif dikumpulkan. Parameter oksigenasi dan ventilasi, termasuk SpO2,
CO2 transkutan, dan indeks cadangan oksigen, dicatat selama operasi. CO2 end-tidal pada
akhir prosedur dan kebutuhan akan intervensi rescue dinilai. Setiap aritmia yang signifikan
atau perubahan segmen ST pada elektrokardiogram dicatat.

Gambar 1. Digram Consolidated Standards of Reporting Trials (CONSORT)

Endpoint studi dan kalkulasi ukuran sampel


Endpoint primer adalah nilai SpO2 terendah selama 30 menit pertama pembedahan pada
kedua kelompok. Endpoint sekunder mencakup puncak CO2 transkutan, indeks cadangan
oksigen terendah, CO2 end-tidal pada akhir prosedur, insiden desaturasi (yaitu SpO2 <95%)
atau hiperkarbia (CO2 transkutan 8,7 kPa), dan kebutuhan intervensi rescue.
Untuk menentukan jumlah sampel, kami melakukan studi pendahuluan dengan
melibatkan 20 pasien yang menjalani bedah mikro laring di institusi kami. Hasil studi
pendahuluan menunjukkan SpO2 terendah adalah 97% (4%) selama 30 menit pembedahan
dengan anestesi umum menggunakan intubasi trakea. Untuk menguji apakah HFNC tidak
lebih buruk daripada intubasi trakea dalam hal SpO2 terendah selama pembedahan,
dibutuhkan 63 peserta per kelompok (total 126 pasien) dengan margin non-inferioritas 2%,
yang ditentukan berdasarkan pertimbangan klinis, dengan tingkat signifikansi satu sisi
sebesar 0,025 dan kekuatan 80%, dengan tingkat drop-out sebesar 5%.

Analisis Statistik
Kami menguji normalitas data dengan menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov. Berdasarkan
hasil distribusi data, variabel kontinu disajikan sebagai rata-rata (standar deviasi) atau median
(rentang antar kuartil [IQR]). Perbedaan rata-rata antara kelompok dibandingkan
menggunakan uji-t independen atau uji U Mann-Whitney, tergantung pada normalitas
variabel yang diuji.
Untuk penelitian ini, dilakukan uji non-inferioritas untuk perbandingan SpO2 terendah antara
kedua kelompok dengan menggunakan margin non-inferioritas sebesar 2%. Selain itu,
dilakukan model campuran linier dengan koreksi Bonferroni untuk variabel pengukuran
berulang. Dalam model campuran, efek tetap yang diperhitungkan adalah kelompok, waktu
pengukuran, dan interaksi antara waktu dan kelompok, sedangkan subjek dianggap sebagai
efek acak. Asumsi normalitas untuk residual model diperiksa dengan menggunakan
histogram dan plot kuantil-kuantil residual. Selanjutnya, plot residual vs nilai yang sesuai
dinilai untuk memeriksa apakah istilah kesalahan (residual) memiliki rata-rata nol dan varians
konstan. Jika interaksi antara waktu dan kelompok signifikan, perbandingan antar-kelompok
dilakukan pada setiap titik waktu pengukuran menggunakan uji-t independen atau Mann-
Whitney U-test dengan koreksi Bonferroni untuk beberapa perbandingan. Untuk
mengevaluasi nilai diagnostik waktu apnea menggunakan HFNC untuk oksigenasi dan
ventilasi yang memadai, dilakukan analisis kurva receiver operating characteristic (ROC).
Selanjutnya, area di bawah ROC (AUC) dihitung dengan interval kepercayaan 95% (CI), dan
titik potong terbaik ditentukan sebagai nilai yang memaksimalkan indeks Youden (jumlah
sensitivitas dan spesifisitas). Dalam analisis ROC ini, pasien dengan obesitas (BMI 30 kg
m2) tidak diikutsertakan.

Gambar2. (a) Saturasi oksigen dengan pulse oximetry, (b) karbon dioksida transkutaenus, dan
(c) indeks cadangan oksigen pada baseline, setelah preoksigenasi, pada 0, 5, 10, 15, 20, 25,
dan 30 menit dari bedah mikro laring. Dalam penelitian ini, variabel pengukuran berulang
dibandingkan menggunakan model campuran linier dengan koreksi Bonferroni. Hasil analisis
menunjukkan bahwa interaksi antara waktu dan kelompok signifikan untuk oksimetri nadi,
karbon dioksida transkutan, dan indeks cadangan oksigen (P=0,017, <0,001, dan 0,014,
masing-masing). Oleh karena itu, perbandingan antar kelompok dilakukan pada setiap titik
waktu pengukuran menggunakan Mann-Whitney U-test dengan koreksi Bonferroni untuk
beberapa perbandingan. Titik data adalah rata-rata dan error bars adalah standar deviasi..

Tabel 1 Karakteristik baseline subjek yang menjalani bedah mikro laring. Data berupa
median (rentang antar kuartil), n (%), atau rata-rata (standar deviasi). HFNC, kanula nasal
beraliran tinggi. *Diagnosis lain termasuk leukoplakia periglotis, ulkus, atau lesi pada sinus
piriformis atau pangkal lidah
HFNC Intubasi trakea
(n=56) (n=62)
Usia (tahun) 59 (rentang: 20-84) 58 (rentang: 25-78)
Wanita, n (%) 15 (27) 18 (29)
Tinggi badan (cm) 167 (7) 166 (8)
Berat badan (kg) 63.7 (60.0-73.3) 65.8 (59.0-77.2)
BMI (kg/m) 23.8 (3.5) 24.7 (3.0)
Status fisik ASA, n (%)
1 12 (21) 23 (37)
2 39 (70) 38 (61)
3 5 (9) 1 (2)
Komobiditas, n (%)
Hipertensi 23 (41) 22 (36)
Diabetes melitus 7 (13) 14 (23)
Asma 0 (0) 2 (3)
Penyakit liver kronis 4 (7) 3 (5)
Diagnosis, n (%)
Massa benigna 21 (37) 44 (71)
Tumor malignan 10 (18) 9 (15)
Stenosis subglotis 15 (27) 1 (2)
Stenosis trakea 5 (9) 4 (6)
Lainnya 5 (9) 4 (6)

Semua analisis dilakukan secara modifikasi dari metode intention-to-treat, yang


mencakup semua pasien yang secara acak menerima pengobatan tanpa penghentian selama
periode penelitian. IBM SPSS Statistics (versi 21.0; IBM Corp, Armonk, NY, USA) dan
perangkat lunak R (versi 3.4.3; R Development Core Team, Wina, Austria) untuk Microsoft
Windows digunakan. Dalam semua analisis, P<0,05 digunakan untuk menunjukkan
signifikansi statistik.
HASIL
Dari 287 pasien yang diskrining, 126 pasien diacak ke kelompok HFNC atau intubasi trakea
(masing-masing n = 63) antara 17 Agustus 2018 dan 20 Januari 2020. Setelah randomisasi,
delapan pasien dikeluarkan karena penggunaan laser CO2 yang tidak direncanakan (Gbr. 1).
Pasien-pasien ini dikeluarkan dari populasi modifikasi intention-to-treatment karena
memenuhi kriteria eksklusi. Secara total, terdapat 56 subjek dalam kelompok HFNC dan 62
subjek dalam kelompok intubasi trakea yang diikutsertakan dalam analisis.
Karakteristik pasien disajikan pada Tabel 1. Kisaran BMI pasien adalah 16,4-34,1 kg
m2 pada kelompok HFNC dan 17,4-32,7 kg m2 pada kelompok intubasi trakea. Median
(IQR) waktu operasi adalah 20 (10-26) menit, dan durasi anestesi adalah 40 (30-50) menit.
Pada awal dan akhir operasi, SpO2, CO2 transkutan, dan indeks cadangan oksigen sebanding
antara kedua kelompok. Durasi anestesi total lebih lama pada kelompok intubasi trakea
dibandingkan dengan kelompok HFNC (Tabel 2).
Untuk luaran primer, HFNC tidak terbukti lebih rendah daripada intubasi trakea,
dengan SpO2 terendah selama 30 menit pertama pembedahan adalah median (IQR) 100 (98-
100)% vs 100 (100-100)%, dengan perbedaan rerata sebesar -1,4% (95% CI: -2,4% dan -
0,3%). Untuk variabel luaran sekunder, puncak CO2 transkutan (7,8 [6,7-8,6] vs 6,1 [5,7-6,4]
kPa), insidensi hiperkarbia (23% vs 2%), dan CO2 end-tidal pada akhir pembedahan (6,8
[5,6-8,8] vs 4,9 (4,8-5,2) kPa) lebih besar pada kelompok HFNC dibandingkan dengan
kelompok intubasi trakea (semuanya P<0,001; Tabel 2). Insidens desaturasi, yaitu SpO2
<95%, (11% vs 2%) dan intervensi rescue (23% vs 3%) juga lebih tinggi pada kelompok
HFNC (P=0,037 dan 0,001). Namun, insidensi desaturasi yang berat (SpO2 <90%) tidak
berbeda di antara kedua kelompok (5% vs 0%; P=0,104; Tabel 2). Pada subjek yang
menerima HFNC, mereka yang memerlukan intervensi rescue memiliki durasi pembedahan
dan anestesi yang lebih lama dibandingkan dengan mereka yang tidak menerima intervensi
rescue (Tabel Tambahan S1).
Tabel 2. Variabel perioperatif untuk oksigenasi dan ventilasi pada subjek yang menerima
suplai oksigen menggunakan kanula nasal beraliran tinggi atau intubasi trakea selama bedah
mikro laring. Data adalah median (rentang antar kuartil) atau n (%). CO2, karbon dioksida;
HFNC, kanula nasal beraliran tinggi; NA, tidak tersedia; SpO2, saturasi oksigen nadi.
HFNC Intubasi Trakea
Nilai P
(n=56) (n=62)
SpO2 (%)
Baseline 99 (97-100) 98 (97-100) 0.363
Akhir pembedahan 100 (100-100 100 (100-100) 0.350
SpO2 terendah (%) 100 (98-100) 100 (100-100) 0.050
Insidensi SpO2 <95%, n (%) 6 (11) 1 (2) 0.037
Insidensi SpO2 <90%, n (%) 3 (5) 0 (0) 0.104
CO2 Transkutaneus (kPa)
Baseline 5.0 (4.5-5.5) 5.2 (4.7-5.6) 0.038
Akhir pembedahan 6.5 (5.8-7.0) 6.2 (5.6-6.6) 0.068
CO2 Transkutaneus Puncak (kPa) 7.8 (6.7-8.6) 6.1 (5.7-6.4) <0.001
Incidence of transcutaneous CO2 ≥8.7 kPa, n 13 (23) 1 (2) <0.001
(%)
Indeks pemeliharaan oksigen
Baseline 0.00 (0.00-0.00) 0.00 (0.00-0.00) >0.999
Akhir pembedahan 0.35 (0.23-0.50) 0.37 (0.29-0.46) 0.516
Indeks pemeliharaan oksigen terendah 0.18 (0.00-0.33) 0.20 (0.02-0.28) 0.763
CO2 End-tidal pada akhir pembedahan (kPa) 6.8 (5.6-8.8) 4.9 (4.8-5.2) <0.001
Intervensi rescue, n(%) 13 (23) 2 (3) 0.001
Durasi bedah (menit) 15 (10-25) 20 (15-30) 0.090
Durasi anestesi (menit) 35 (25-45) 45 (35-51) 0.001
Durasi apnea (menit) 20 (15-30) NA NA
Lama rawat di PACU (menit) 40 (38-42) 40 (38-41) 0.550
Lama rawat inap postoperative (hari) 3 (2-3) 2 (2-3) 0.080
Gambar 2 menunjukkan perubahan SpO2, CO2 transkutan, dan indeks cadangan
oksigen. Untuk variabel yang diukur secara berulang, waktu dan kelompok memiliki interaksi
signifikan untuk SpO2, CO2 transkutan, dan indeks cadangan oksigen (P = 0,017, <0,001,
dan 0,014 secara berturut-turut dalam model campuran). Selama operasi, tidak ada perbedaan
antara kelompok pada SpO2 dan indeks cadangan oksigen pada setiap titik waktu pengukuran
(lihat Gambar 2a dan c). Namun, CO2 transkutan lebih tinggi pada kelompok yang
menggunakan HFNC daripada kelompok yang intubasi setelah 5 menit operasi (lihat Gambar
2b). Laju peningkatan CO2 transkutan adalah 0,12 kPa per menit selama penggunaan
oksigenasi dengan HFNC.
Durasi tinggal di Unit Pemulihan Anestesi (PACU) dan di ruang rawat pasca operasi
sama di kedua kelompok (lihat Tabel 2). Tidak ada pasien yang mengalami aritmia atau
perubahan pada segmen ST selama periode penelitian. Batas waktu maksimum yang aman
untuk apnea saat menggunakan oksigenasi HFNC adalah 28 menit dengan spesifisitas 88%
dan sensitivitas 46% (AUC 0,732; 95% CI: 0,577-0,886; P=0,013) menurut analisis kurva
ROC (lihat Gambar Tambahan. S1).

DISKUSI
Penggunaan oksigenasi dengan HFNC sama efektifnya dengan intubasi trakea dalam menjaga
tingkat oksigen yang cukup selama operasi mikro laring dengan anestesi umum dan blok
neuromuskuler dalam penelitian acak noninferioritas ini. Namun, pasien yang menerima
oksigenasi dengan HFNC mengalami desaturasi dan hiperkarbia yang secara signifikan lebih
sering, dan memerlukan intervensi rescue lebih sering dalam 30 menit pertama operasi.
HFNC awalnya digunakan sebagai metode untuk memberikan oksigen suplemental
pada bayi prematur yang baru lahir. Selain memberikan oksigen, HFNC juga membersihkan
karbon dioksida di deadspace, memberikan tekanan positif pada saluran napas, dan menjaga
kadar oksigen yang relatif konstan. Selama operasi laringoskopi, dokter membutuhkan
lapangan operasi yang tidak terhalang dan pasien harus menjalani periode apnea yang
berulang. Tindakan ekstubasi dan reintubasi selang trakea secara berulang untuk mencapai
lapangan operasi yang dibutuhkan dapat meningkatkan risiko cedera napas, penurunan kadar
oksigen, dan masalah pernapasan. HFNC dapat bermanfaat dalam menghasilkan periode
apnea yang aman selama operasi saluran napas.
Dalam penelitian ini, intervensi rescue dilakukan terutama karena akumulasi CO2
atau desaturasi. Sebanyak 15 pasien mendapat intervensi rescue, tujuh di antaranya karena
hiperkarbia (enam pada kelompok HFNC dan satu pada kelompok intubasi trakea) dan
delapan pasien karena desaturasi (tujuh pada kelompok HFNC dan satu pada kelompok
intubasi trakea). Sebelumnya, penelitian kecil menunjukkan bahwa selama operasi laring,
penggunaan HFNC secara signifikan menyebabkan kadar PaCO2 dan CO2 end-tidal yang
lebih tinggi dan pH yang lebih rendah dibandingkan dengan ventilasi mekanis.
Dalam insuflasi beraliran tinggi, CO2 dapat dihilangkan dengan mencampurkan gas
flow-dependent flushing di dead-space. Namun, jika hiperkarbia tidak terdeteksi, dapat
menyebabkan asidosis respiratorik yang progresif dan mempengaruhi kontraksi dan konduksi
jantung, dan dapat meningkatkan risiko aritmia yang fatal bahkan hingga kematian. Pada
respirasi difusi, batas atas 95% CI kematian akibat asidosis adalah pH 6,9.
Pada sebagian besar penelitian, waktu apnea rata-rata menggunakan HFNC adalah 15-
20 menit. Setelah periode ini, CO2 transkutan akan meningkat secara signifikan, sebagian
besar tanpa desaturasi yang hebat. Ketika menerapkan kriteria diskontinuitas untuk
menghentikan oksigenasi apnoea pada tekanan parsial arteri serial CO2 (PaCO2) 12 kPa atau
pH 7,15, maka waktu apnoea adalah 25 (20-30) menit pada pasien dengan BMI <30 kgm2
yang menggunakan HFNC selama pembedahan laring. Demikian pula, kami menunjukkan
bahwa batas terbaik untuk periode apnea yang aman adalah 28 menit dengan menggunakan
HFNC pada pasien yang tidak mengalami obesitas. Namun, jika lebih dari waktu tersebut,
pasien dapat mengalami asidosis pernapasan yang signifikan sehingga penggunaan HFNC
tidak dianjurkan untuk waktu yang lebih lama.
Pada sebagian besar penelitian sebelumnya, hanya saturasi oksigen nadi yang
dipantau, sedangkan CO2 end-tidal hanya dapat diperiksa pada akhir pembedahan. Dalam
penelitian lain, waktu apnea dibatasi oleh akumulasi CO2 yang signifikan dan asidosis
pernapasan yang terjadi bersamaan dalam waktu 30 menit selama oksigenasi apnea dengan
HFNC. Meskipun oksigenasi cukup (rata-rata PaO2 48,6 kPa), namun terjadi asidosis yang
signifikan selama apnea dengan HFNC (pH 7,15 dalam median 25 menit).
Penilaian tingkat hiperkarbia menggunakan analisis gas darah arteri dan pengukuran
PaCO2 tidak selalu dapat dilakukan di praktik klinis. Namun, sebagai alternatif, penggunaan
pemantauan CO2 transkutan dapat digunakan untuk mengukur akumulasi CO2 secara kontinu
dan noninvasif sehingga dapat memberikan hasil yang serupa dengan pengukuran PaCO2.
Selain itu, pemantauan CO2 transkutan juga tidak menimbulkan ketidaknyamanan pada
pasien, tidak menyebabkan cedera arteri atau infeksi, dan tidak memerlukan waktu yang lama
untuk menentukan tingkat akumulasi CO2.
Kekuatan dari penelitian ini terletak pada desain uji klinis acak non-inferioritas
dengan perhitungan ukuran sampel dan kekuatan statistik yang dapat diterima. Sebelumnya,
kegunaan HFNC untuk bedah saluran napas hanya dilaporkan dalam seri kasus atau tinjauan
retrospektif dengan jumlah pasien yang sedikit. Dalam satu uji klinis, 30 pasien diacak dan
dibandingkan dengan ventilasi mekanis, namun hasil menunjukkan tidak ada perbedaan
dalam perubahan volume paru di antara kedua kelompok.
Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan yang perlu diperhatikan. Pertama,
margin non-inferioritas yang telah ditetapkan sebesar 2% terlalu kecil untuk penelitian ini.
Hal ini disebabkan oleh asumsi kami bahwa SpO2 terendah selama operasi laring adalah
97%, sehingga penilaian non-inferioritas mungkin tidak memiliki arti klinis, karena hanya
membandingkan antara hiperoksia dan hiperoksia. Meskipun demikian, kami tetap
melaporkan kejadian SpO2 yang sangat rendah (<90%) yang sama antara kedua kelompok.
Kedua, kami tidak melakukan analisis gas darah, namun kami menggunakan pemantauan
CO2 transkutan sebagai alternatif untuk menghindari asidosis pernapasan yang berlebihan.
Penggunaan teknologi pemantauan CO2 transkutan ini mungkin bermanfaat untuk operasi
kecil dengan durasi singkat, guna memastikan keselamatan pasien dan kualitas manajemen
anestesi untuk oksigenasi apnea. Terakhir, kohort kami terdiri dari sebagian kecil pasien
dengan obesitas, di mana hanya 4% (5/118) pasien yang memiliki BMI >30 kg m2
(maksimum 34,1 kg m2). Sebelumnya, beberapa laporan menyatakan bahwa pasien dengan
obesitas morbid mengalami desaturasi saat menggunakan oksigenasi HFNC. Namun, dalam
penelitian kami, hanya tiga dari 15 pasien yang memerlukan intervensi penyelamatan yang
memiliki BMI >30 kg m2. Oleh karena itu, hasil penelitian kami tidak dapat
merepresentasikan oksigenasi atau ventilasi pasien dengan obesitas morbid yang dirawat
dengan HFNC, sehingga diperlukan penelitian lebih lanjut. Selain itu, kami tidak
menyertakan pasien yang dirawat dengan laser CO2 karena keterbatasan pengalaman dan
bukti keamanan penggunaan HFNC dengan laser CO2. Meskipun ada laporan kasus
penggunaan HFNC selama perawatan laser CO2 dan laser dapat digunakan tanpa sumber
bahan bakar seperti tabung trakea, penelitian lebih lanjut masih diperlukan. Kelima, durasi
preoksigenasi yang digunakan pada kedua kelompok relatif singkat, hanya 3 menit. Namun,
apakah periode preoksigenasi yang lebih lama akan memungkinkan pemeliharaan saturasi
oksigen yang memadai selama penggunaan HFNC yang sebanding dengan intubasi trakea
masih perlu diteliti lebih lanjut. Terakhir, kami hanya mengevaluasi oksigenasi dan ventilasi
selama 30 menit pertama karena durasi operasi yang singkat. Namun, dokter mungkin perlu
memperhatikan apa yang terjadi selama prosedur yang lebih lama, dan ini perlu diselidiki
dalam penelitian lebih lanjut.

KESIMPULAN
Dalam penelitian kami, oksigenasi menggunakan HFNC selama anestesi umum dan blok
neuromuskuler untuk bedah mikro laring tidak kalah efektifnya dibandingkan dengan intubasi
trakea. Namun, penting untuk dicatat bahwa insiden desaturasi, hiperkarbia, dan kebutuhan
intervensi penyelamatan terjadi lebih sering selama oksigenasi HFNC, bahkan pada durasi
operasi yang singkat. Meskipun HFNC memiliki beberapa manfaat, namun penggunaannya
harus dilakukan dengan hati-hati dan disertai pemantauan yang ketat selama prosedur bedah
mikro laring.

Anda mungkin juga menyukai