Anda di halaman 1dari 22

PERKEMBANGAN DALAM MANAJEMEN KURATIF PADA KANKER

ESOFAGUS

Tingkat insidensi kanker esofagus, khususnya adenokarsinoma, terus meningkat drastis


selama empat dekade terakhir, dimana adenokarsinoma menjadi subtipe yang paling dominan
di negara Barat yang kemudian menghasilkan tingkat mortalitas yang tinggi. Meskipun
demikian, tingkat kelangsungan hidup secara keseluruhan pada penderita kanker esofagus
juga meningkat dua kali lipat selama 20 tahun terakhir, dimana penegakkan diagnosis yang
lebih dini dan upaya terapi yang lebih baik sangat membantu penderita yang memerlukan
terapi kuratif. Berbagai kemajuan dalam bidang endoterapi, pendekatan pembedahan, serta
terapi multimodal dan terapi kombinasi lainnya telah banyak dilaporkan. Sejumlah gagasan
baru terkait terapi bertarget dan imunoterapi pun mulai terungkap, dengan didukung oleh
pengetahuan terkini di bidang genomik maupun biologi molekuler, sehingga mampu
memberikan harapan baru dalam terapi kanker secara individual serta untuk berbagai uji
klinis yang baru. Tinjauan ini berfokus terutama pada pendekatan terapi untuk tujuan kuratif,
dan membahas berbagai kemajuan yang sedang berkembang.

PENDAHULUAN
Kanker esofagus, yang terutama terbagi menjadi adenokarsinoma esofagus (OAC) dan
karsinoma sel skuamosa (SCC), merupakan kanker paling umum yang menduduki peringkat
ketujuh di seluruh dunia, yang menyebabkan sekitar 450.000 kematian setiap tahunnya.
Secara historis, meskipun kanker ini dipandang sebagai kanker dengan prognosis yang buruk,
namun beberapa tren yang positif kini mulai terlihat di beberapa bidang. Pertama, laporan
dari International Cancer Benchmarking Partnership (proyek ICBP-SURVMARK-2), yang
membandingkan periode penelitian tahun 1995-1999 hingga 2011-2014, menunjukkan
adanya peningkatan kelangsungan hidup lima tahun sebesar dua kali lipat pada OAC dan
SCC di tujuh negara yang berpenghasilan tinggi, dimana peningkatan terbesar terlihat pada
pasien yang berusia di bawah 75 tahun. Kedua, memasuki era di mana terapi kombinasi,
ketimbang tindakan pembedahan saja, merupakan pendekatan kuratif yang standar bagi
pasien dengan penyakit stadium lanjut, dengan patokan modern untuk kelangsungan hidup 5
tahun mencapai 50%, yang juga setara dengan peningkatan dua kali lipat dalam kurun waktu
20 tahun. Ketiga, meningkatnya kemampuan deteksi dini terhadap lesi mukosa dan
submukosa, melalui perpaduan antara peningkatan kesadaran terhadap kanker, surveilans
terhadap Barrett's oesophagus (prekursor kanker esofagus), manajemen penyakit refluks
gastroesofagus (GORD; GORD; sebuah faktor risiko untuk Barrett's oesophagus dan,
selanjutnya, untuk kanker esofagus) serta kemajuan pada penentuan stadium, memungkinkan
dilakukannya terapi yang berisiko relatif rendah pada beberapa pasien tertentu melalui
pendekatan endoterapi (endoscopic eradication therapy, EET), seperti endoscopic mucosal
resection (EMR), endoscopic submucosal dissection (ESD), dan radiofrequency ablation
(RFA) (Kotak 1).
Selain itu, berbagai perkembangan dalam penelitian genomik dan molekuler, serta
munculnya beberapa pendekatan imunoterapi dan pendekatan bertarget, semakin
meningkatkan pemahaman kita mengenai karsinogenesis esofagus serta biologi tumor, serta
memungkinkan dikembangkannya berbagai pendekatan baru yang mampu meningkatkan
luaran. Terakhir, kemajuan dalam bidang pembedahan, termasuk standarisasi tingkat reseksi
dan limfadenektomi, serta peningkatan dalam perawatan perioperatif, termasuk berbagai
teknik pembedahan, seperti teknik invasif minimal dan teknik berbantuan robotik, kini
membuka peluang untuk meningkatkan luaran onkologis dan operatif.
Meskipun demikian, terlepas dari berbagai kemajuan klinis dan ilmiah ini, ada
beberapa kekhawatiran yang timbul dalam setiap diskusi tim multidisiplin dan dalam
pengambilan keputusan terkait pasien yang memerlukan terapi kuratif. Beberapa masalah
tersebut meliputi kriteria untuk endoterapi, pilihan terapi neoadjuvan, pertimbangan
diferensial untuk SCC dan OAC, pertimbangan pendekatan surveilans non-operatif pada
pasien dengan respons klinis yang jelas dan komplit terhadap terapi neoadjuvan, pendekatan
pembedahan, serta peran imunoterapi dan terapi bertarget. Tinjauan ini berfokus secara
eksklusif terhadap topik-topik tersebut pada alur pengobatan kuratif, serta membahas standar
yang ada, kemajuan yang sedang berkembang, dan sejumlah kontroversi utama. Para penulis
menyadari adanya perkembangan yang signifikan dalam penentuan stadium, penilaian
respons pengobatan, perawatan perioperatif, radiasi bertarget dan terapi proton, pembedahan
untuk penyakit oligometastatik dan diagnostik, dan merekomendasikan pembaca untuk
membaca tinjauan yang relevan mengenai topik-topik ini. Namun demikian, karena
keterbatasan kata dan fokus klinis dan akademis kami, kami menyusun dan memprioritaskan
tinjauan ini ke dalam lima bagian utama.

ENDOTERAPI UNTUK KANKER MUKOSA DAN SUBMUKOSA


Gambar 1 menyajikan gambaran umum mengenai stadium tumor awal berdasarkan
kedalaman invasi.
Tingkat insidensi OAC terus mengalami peningkatan seiring dengan meningkatnya
insiden GORD dan esofagus Barrett pada populasi Barat. Dengan meningkatnya akses
terhadap endoskopi dan juga ambang batas endoskopi yang lebih rendah serta peningkatan
teknologi, maka pendeteksian lesi displastik dan kanker dini pun semakin meningkat. Selain
itu, di Timur, tingginya insidensi SCC pada kavitas oral, faring dan esofagus, serta kebijakan
surveilans yang ketat, membuat diagnosis lesi dini menjadi lebih baik. Penilaian dan
manajemen penyakit mukosa dan submukosa yang nyata, kini dapat disempurnakan dengan
kromoendoskopi menggunakan asam asetat atau yodium Lugol, kromoendoskopi virtual, dan
protokol biopsi bertarget.

Kotak 1: Endoterapi yang saat ini banyak digunakan pada kanker esofagus
Endoterapi Penggunaan Keunggulan Kelemahan
Ablasi Penggunaan arus Berpotensi untuk eradikasi Membutuhkan beberapa
radiofrekuensi alternating frekuensi Barrett's kali sesi
sedang untuk mengablasi Mencegah perkembangan Berpotensi membentuk
mukosa Barrett dengan menjadi keganasan invasif striktur
displasia tingkat rendah Mencegah morbiditas dan Berpotensi melewatkan
atau tinggi mortalitas yang sebelumnya lesi submukosa
terkait dengan esofagektomi
karena displasia
Reseksi mukosa Area mukosa terhisap ke Memungkinkan reseksi Komplikasi termasuk
endoskopi dalam tutup endoskopi, komplit pada kanker stadium perdarahan dan perforasi
ditangkap, dibedah, dan awal (T1a m1-3 dan sm1) Berpotensi
dikirim untuk analisis Dapat berfungsi sebagai menimbulkan
histologis prosedur penentuan stadium penyempitan
Dapat melakukan reseksi nodul Mungkin memerlukan
dan kemudian dilanjutkan beberapa kali tindakan
dengan RFA EMR
Membutuhkan
surveilans yang ketat
Tidak dapat
mengestimasi beban
nodal
Diseksi Lesi diangkat dengan Memungkinkan reseksi lesi Teknik yang cukup sulit
submukosa injeksi submukosa secara en-blok Risiko perdarahan dan
endoskopik kemudian direseksi secara Memungkinkan penilaian perforasi lebih tinggi
en-blok dan dikirim untuk margin dan potensi invasi yang dibandingkan dengan
analisis histologis lebih akurat EMR
Kromoendoskopi Penggunaan agen Memungkinkan deteksi dan Variabilitas inter-
pewarnaan seperti asam monitoring lesi mukosa dini observer
asetat atau yodium Lugol
untuk menemukan area
mukosa yang abnormal

Gbr. 1 Gambaran umum untuk penentuan stadium kanker esofagus dini berdasarkan
kedalaman invasi. Displasia tingkat rendah dan tingkat tinggi terbatas pada epitel. Tumor T1a
dikelompokkan berdasarkan kedalaman invasi (m1-3). Tumor T1b menginvasi lapisan
submukosa dan dibagi lagi berdasarkan kedalaman invasi (sm1-3).

Sebelumnya, esofagektomi merupakan pendekatan yang standar untuk pasien dengan


displasia tingkat tinggi (HGD) atau invasi mukosa (T1a), namun karena jarangnya metastasis
kelenjar limfonodi (<2%) dalam konteks ini, maka pendekatan lokal yang ditargetkan kini
lebih banyak digunakan. Oleh karena itu, dalam pedoman American Gastroenterological
Association terbaru, EET, berupa EMR dan ESD, lebih direkomendasikan dibandingkan
dengan surveilans berkelanjutan atau esofagektomi. Algoritme penatalaksanaan saat ini
menyisihkan tindakan esofagektomi untuk pasien dengan klasifikasi T1b, yang
memperlihatkan adanya invasi submukosa, di mana metastasis kelenjar limfonodi terjadi
pada sekitar 20% kasus, serta untuk kasus karsinoma multifokal atau lesi yang tidak dapat
dilakukan reseksi endoskopi. Dengan demikian, adanya kemudahan dalam membedakan
invasi mukosa (T1a) dan submukosa (T1b) akan sangat bermanfaat. Namun, baik
ultrasonografi endoskopi maupun CT-PET sama-sama memiliki tingkat sensitivitas yang
rendah.

ENDOSCOPIC FEATURES
Fitur pada pemeriksaan endoskopi dapat membantu dalam proses seleksi pasien untuk EMR
dan ESD. Klasifikasi Paris (Gbr. 2) dikembangkan dari klasifikasi Jepang sebelumnya, dan
menggambarkan lesi sebagai lesi yang berprotrusi, terekskavasi, atau datar (tidak berprotrusi
atau terekskavasi). Klasifikasi ini mencakup tipe 0-I, yang menunjukkan bentuk yang elevasi
atau polipoid (pedunculated (Ip) dan sessile atau broad-based (Is)); tipe 0-II, datar atau
superfisial (IIa datar dan terelevasi, IIb benar-benar datar, dan IIc depresi secara superfisial);
dan tipe 0-III, yang mengindikasikan ekskavasi atau ulserasi. Lesi tipe III dan, pada tahap
tertentu, tipe IIc, kemungkinan berhubungan dengan pertumbuhan tumor yang lebih agresif,
dan lesi yang mengalami ulserasi biasanya mencerminkan kondisi yang lebih dalam yang
kurang sesuai untuk terapi endoskopi dikarenakan oleh alasan teknis dan juga karena
merupakan proksi dari stadium yang lebih rendah.

EET UNTUK OAC


Ketika reseksi endoskopi mulai dianggap sebagai teknik yang layak, tindakan EMR menjadi
standar perawatan untuk OAC (T1a-m1-3-sm1, tumor awal yang terbatas pada mukosa atau
sepertiga bagian paling superfisial dari submukosa) di Barat, dimana ESD lebih banyak
digunakan di Jepang-minimal untuk menentukan klasifikasi T, namun kebanyakan sebagai
terapi definitif. ESD kini semakin banyak digunakan untuk lesi yang lebih besar dan
mencurigakan, di mana EMR en bloc tidak dapat dilakukan. Kriteria modern untuk reseksi
kuratif meliputi margin lateral dan dalam yang negatif (R0), tidak ada invasi limfatik atau
vaskular (LVI), kelas G1 atau G2, terdiferensiasi dengan baik atau cukup baik, dan tidak ada
penetrasi di luar lapisan pertama (SM1) submukosa, dengan estimasi kedalaman <500 μm.
Reseksi endoskopi sebaiknya dilakukan sekitar 8 minggu kemudian dengan biopsi terhadap
bantalan tumor serta biopsi mapping (sampel biopsi mukosa yang diambil secara sekuensial
dari proksimal ke distal) dari seluruh segmen yang berisiko, mulai dari 10mm di atas junction
squamo-kolumner hingga 5-10mm distal ke garis Z esofagus. RFA umumnya
dikombinasikan dengan pembedahan endoskopi, meskipun terapi fotodinamik, koagulasi
sinar argon atau krioablasi juga dapat mengablasi epitel berisiko di sekitarnya. Dengan
intervensi tersebut, tingkat rekurensi dilaporkan antara 4,5% dan 14,5%, dengan median
waktu rekurensi sekitar 2 tahun, sehingga diperlukan surveilans endoskopik secara teratur,
biasanya 3, 6 dan 12 bulan.
Gbr. 2 Sistem klasifikasi endoskopi Paris menggambarkan lesi sebagai lesi yang berprotrusi,
terekskavasi, atau datar (nonprotrusi, nonekskavasi Sistem ini belum divalidasi sebagai alat
prognostik pada esofagus Barrett, tetapi penelitian menunjukkan bahwa lesi sesil dan
terdepresi berpeluang besar mengandung kanker invasif, dengan lesi IIa dan IIb berisiko lebih
tinggi mengalami keganasan invasif.

EET UNTUK SCC


Terapi endoskopi belum banyak dikembangkan untuk SCC. Japanese Esophageal Society
merekomendasikan penggunaan iregularitas vaskular, seperti hilangnya loop formation dan
adanya pembuluh darah yang berdilatasi dan tortuosa, sebagai petunjuk untuk memprediksi
kedalaman invasi. Jika dikombinasikan dengan endoskopi konvensional, pencitraan
magnifying blue laser telah terbukti lebih unggul dalam menentukan kedalaman invasi; selain
itu, metode ini memiliki variabilitas inter-observer yang rendah. Pembedahan endoskopi
untuk SCC lebih banyak dipelajari di Jepang-karena itu, sebagian besar literatur berkaitan
dengan ESD ketimbang EMR. Lesi awal dapat direseksi, dengan asumsi bahwa lesi tersebut
berukuran kurang dari 5 cm pada dimensi aksial dan tidak sirkumferensial sepenuhnya,
seperti halnya semua lesi dengan pola vaskular B1 ( prediksi infiltrasi T1a yang superfisial
terhadap mukosa muskularis), dan pola vaskular B2, yang menunjukkan perluasan terhadap
mukosa muskularis atau submukosa superfisial (SM1). Nilai R0, G1/G2, dan tidak adanya
LVI merupakan indikator prognostik yang baik, dan infiltrasi submukosa superfisial (≤200
μm) masih dapat dipertimbangkan pada beberapa kasus. Adanya keterlibatan margin dan
patologi buruk, seperti LVI, merupakan indikasi perlunya pengobatan tambahan-baik
esofagektomi atau kemoradioterapi tambahan. Sebuah seri terhadap 176 pasien yang pada
awalnya menjalani ESD, 87 di antaranya memiliki pT1a dengan LVI dan lainnya memiliki
tumor pT1b, dan yang menerima kemoradioterapi tambahan, melaporkan tingkat
kelangsungan hidup 3 tahun yang sangat baik yaitu 90%, sehingga pendekatan ini merupakan
alternatif yang valid untuk esofagektomi.

PENDEKATAN OPTIMAL UNTUK OAC DAN SCC YANG BERKEMBANG


SECARA LOKAL
Uji coba acak seminal (RCT) yang meneliti penggunaan terapi neoadjuvant pada kanker
esofagus, yang menjadi patokan modern untuk uji coba selanjutnya pada OAC dan SCC,
yaitu CROSS Trial, merupakan sebuah penelitian multisenter di Belanda yang melibatkan
366 pasien, 75% di antaranya menderita OAC, yang direkrut dari tahun 2004 hingga 2008,
dan dipublikasikan pertama kali pada tahun 2012. RCT ini secara konklusif membuktikan
bahwa kemoradioterapi neoadjuvant (paclitaxel, carboplatin dan 41,4 Gy/23 fraksi) sebelum
reseksi lebih unggul daripada pembedahan saja pada pasien dengan kanker stadium lanjut.
Tingkat kelangsungan hidup median adalah 45 bulan untuk OAC dan 81,6 bulan untuk SCC,
dibandingkan dengan 24 bulan pada kelompok yang hanya melakukan pembedahan. Tingkat
kelangsungan hidup 5 tahun secara keseluruhan adalah 47% dengan terapi multimodal (terapi
neoadjuvant diikuti dengan reseksi bedah definitif), dan tidak ditemukan bukti adanya
peningkatan mortalitas atau morbiditas operatif. Terlepas dari keberhasilan yang luar biasa
ini, masih ada beberapa kekhawatiran utama - secara khusus, apakah pendekatan ini lebih
unggul dibandingkan kemoterapi perioperatif tanpa radiasi, dan apakah kemoradioterapi
definitif merupakan alternatif yang valid untuk kemoterapi perioperatif. Dikarenakan adanya
perbedaan dalam biologi tumor, yang sangat relevan dengan respons terhadap terapi radiasi,
setiap jenis patologis kanker esofagus akan dibahas secara terpisah.

OAC
Di beberapa bagian dunia - khususnya Inggris, Prancis dan Jerman - kemoterapi sebelum dan
sesudah operasi merupakan pendekatan yang dominan sebelum uji coba CROSS, dan
kemudian perlahan-lahan mulai berubah.

Menantang uji coba CROSS


Keraguan untuk berubah ini, sebagian besar disebabkan oleh bukti level I (di Inggris dan
Prancis) dari RCT adenokarsinoma gaster dan OAC sebelum CROSS yang secara jelas
menunjukkan kelebihan kemoterapi perioperatif dibandingkan dengan pembedahan saja.
Selain itu, beberapa laporan mengenai luaran operasi yang buruk setelah terapi radiasi pra-
operasi pada saat itu, mengangkat masalah keamanan mengenai kemungkinan adanya risiko
operasi tambahan. MAGIC RCT, yang dirancang untuk tumor lambung dan gastroesofagus,
dan yang kemudian mencakup tumor esofagus, dapat dikatakan memiliki dampak terbesar
dalam mengubah beberapa pendekatan terapi. Tiga siklus epirubisin, cisplatin dan
fluorourasil sebelum dan sesudah pembedahan menghasilkan tingkat kelangsungan hidup 5
tahun sebesar 36% pada kelompok yang diterapi dibandingkan dengan 23% untuk
pembedahan saja. Temuan serupa juga diamati pada uji coba French Accord kontemporer, di
mana 75% penderita memiliki adenokarsinoma junctional atau esofagus, dengan tingkat
kelangsungan hidup 5 tahun sebesar 38% pada penderita yang menerima terapi perioperatif
dibandingkan dengan 24% penderita yang menjalani pembedahan saja. Dalam UK Medical
Research Council OE05 RCT, yang diterbitkan pada tahun 2017, sebanyak 897 pasien dari 78
pusat di Inggris diacak untuk menerima dua siklus cisplatin dan fluorourasil atau empat siklus
epirubisin, cisplatin, dan capecitabine sebelum pembedahan, dimana pembedahannya
distandardisasi menjadi reseksi en bloc radikal dua tahap. Median kelangsungan hidup
masing-masing adalah 23,4 (95% CI, 20,6-26,3) dan 26,1 (22,5-29,7) bulan, yang berarti
tidak perlu melakukan terapi tiga siklus.
Secara keseluruhan, hasil dari FLOT-4 RCT Jerman, yang dipublikasikan pada tahun
2019, sepertinya akan menjadi game changer secara global dan telah mengubah pola
perawatan yang ada saat ini. Dalam RCT Fase II/III ini, sebanyak 716 pasien dengan
adenokarsinoma gaster, esofagus bagian bawah, atau gastroesofagus menerima protokol
MAGIC yang dimodifikasi atau rejimen FLOT yang terdiri atas fluorourasil plus leucovorin,
oxaliplatin, dan docetaxel, yang diberikan dalam empat siklus preoperatif dan empat siklus
postoperatif. Tingkat kelangsungan hidup median 50 bulan dibandingkan 35 bulan untuk
FLOT sangat mengesankan, dan tingkat respons patologis komplit (pCR) sebesar 16%
dibandingkan dengan 6% untuk kelompok kontrol (protokol MAGIC yang dimodifikasi)
mendekati hasil pCR yang dipublikasikan dengan menggunakan kemoradiasi neoadjuvan.
Namun, satu-satunya kelemahan utama adalah tingginya insiden neutropenia tingkat 3 atau 4,
yaitu 51%, dan infeksi berat, yaitu 18%, dan hanya 46% pasien yang menyelesaikan semua
siklus kemoterapi. Sebuah seri kasus (n = 131) pada pasien dengan OAC juga melaporkan
hasil yang mengesankan terkait respons terhadap FLOT, dengan tingkat respons patologis
utama (MPR) sebesar 31%, kelangsungan hidup 5 tahun sebesar 51%, dan insiden rekurensi
sebesar 35% (dengan hanya 16% yang merupakan rekurensi lokal)

Tabel 1. Laporan uji coba terkontrol acak (RCT) pada pasien dengan OAC, menekankan
kelangsungan hidup keseluruhan yang setara setelah kemoterapi saja atau rejimen
multimodal, meskipun dengan tingkat respons lengkap patologis (pCR) yang lebih tinggi dan
margin reseksi negatif (R0) dengan terapi multimodal
Kelangsungan Kelangsunga
hidup n hidup
Uji coba Perbandingan R0 pCR
keseluruhan keseluruhan
Kelompok A Kelompok B
POET Arm A: CF/w x 24% 5 years 40% 5 years, 79% versus 2% versus 12%
(n = 119) 14 versus P = 0.0055 88% (1/59 versus
Arm B: Same + 41/52 versus 7/60),
30 Gy+ CEt 43/49 P = 0.03
AUSTRALIA Arm A: CF/q21d 36% 5 years 45% 5 years 88% versus 0 versus 13%
N x2 versus 100% (0/36 versus
(n = 75) Arm B: Same + 29/33 versus 5/39),
35 Gy 33/33 P = 0.05
NEORES I Arm A: CF/q21d 49% 3 years 47% 3 years 74% versus 8% versus 24%
(n = 181) x 3 versus 87% 58/78 (7/91 versus
72% Adeno Arm B: Same + versus 68/78, 22/90),
40 Gy P = 0.042 P = 0.002

Terapi multimodal versus kemoterapi


Oleh karena itu, apakah kemoradioterapi neoadjuvan, yang direpresentasikan dengan baik
oleh rejimen CROSS, lebih unggul dibandingkan dengan kemoterapi perioperatif yang
optimal, dimana FLOT semakin dianggap sebagai metode standar, menjadi hal yang sangat
menarik saat ini. Penelitian sebelumnya, termasuk POET RCT Fase III, yang dihentikan lebih
awal, RCT Fase II (NeoRES-1), dan RCT kecil di Australia, gagal menunjukkan keunggulan
kelangsungan hidup menggunakan protokol multimodal dibandingkan dengan kemoterapi
perioperatif (Tabel 1). Pada NeoRES-1, tingkat kelangsungan hidup 3 tahun adalah 47%
berbanding 49%, P = 0,77, masing-masing pada multimodal dibandingkan dengan
kemoterapi saja, meskipun tingkat pCR lebih tinggi (28% berbanding 9%) dan jumlah nodus
yang terlibat secara patologis (ypN0) lebih rendah (38% berbanding 65%, P = 0,001). Catatan
penting lainnya adalah terjadinya peningkatan angka mortalitas perioperatif, yaitu 6% vs 3%
untuk NeoRES dan 10,2% vs 3,8% untuk POET untuk multimodal dibandingkan kemoterapi
saja.
Saat ini sedang berlangsung beberapa RCT fase III yang telah dirancang dengan baik
dan akan menentukan apakah pendekatan multimodal lebih unggul dibandingkan kemoterapi
saja (Gbr. 3). ESOPEC adalah RCT multisenter di Jerman (n = 428) yang secara langsung
membandingkan FLOT dengan CROSS untuk OAC, dengan perhitungan kekuatan
berdasarkan FLOT yang 13% lebih unggul daripada CROSS. Neo-AEGIS (n = 540) adalah
RCT Eropa yang pada awalnya menggunakan rejimen MAGIC yang dimodifikasi (EOX)
untuk kelompok kontrol dibandingkan dengan CROSS, tetapi sejak tahun 2018 sudah
mengizinkan penggunaan FLOT. Perhitungan kekuatan awal untuk 10% keunggulan terhadap
CROSS disesuaikan untuk non-inferioritas setelah analisis futilitas awal. TOPGEAR (n =
570) membandingkan kemoterapi perioperatif (MAGIC yang dimodifikasi tetapi FLOT
diizinkan sejak 2017) dengan kemoradioterapi neoadjuvan (45 Gy dan cisplatin / fluorourasil
(capecitabine, obat pro 5-FU) pada adenokarsinoma gaster dan esofagus, dan diperkuat oleh
keunggulan kelompok multimodal. Uji coba ini melibatkan lebih dari 1000 pasien secara
acak dan akan memberikan data baru yang cukup besar, dan seharusnya dapat menentukan
apakah ada kelompok yang lebih unggul dan baku emas yang baru, atau apakah kedua
pendekatan tersebut ekuivalen. Endpoint sekunder yang utama termasuk pola rekurensi,
tingkat morbiditas dan mortalitas post operasi, dan toksisitas terkait pengobatan. Terlepas
dari kesimpulan menyeluruh, keterbatasan RCT ini adalah skenario klinis tertentu yang
mungkin tidak disertakan, seperti cT4a, serta manajemen optimal cN3, ypN1-3 pasca
kemoradioterapi neoadjuvan, dan karsinoma sel signet ring/subtipe patologis yang difus yang
berbeda dengan subtipe patologis intestinal yang lebih umum. RCT lain mengenai topik ini,
yaitu RACE, yang telah dimulai di Jerman; RCT ini dirancang sebagai uji klinis fase III
prospektif, acak, dan terstratifikasi yang membandingkan FLOT standar dengan FLOT plus
terapi radiasi pra operasi menggunakan dosis 45 Gy. RCT ini dirancang untuk merekrut 340
pasien, dengan kelangsungan hidup bebas progresivitas sebagai endpoint primer.

Terapi radiasi optimal plus kemoterapi


Strategi multimodal lainnya adalah mengeksplorasi kombinasi optimum dari terapi radiasi
dengan kemoterapi pada pengaturan neoadjuvan. NEOSCOPE merandomisasi 85 pasien
untuk menerima neoadjuvant oxaliplatin-capecitabine atau carboplatin-paclitaxel dengan
terapi radiasi secara bersamaan sebesar 45 Gy, dan melaporkan angka pCR yang lebih tinggi
pada kelompok carboplatin-paclitaxel. PROTECT-1402 membandingkan radiasi FOLFOX
plus dengan rejimen CROSS. Penelitian ini bertujuan untuk merekrut 106 pasien, dengan
luaran primer berupa tingkat reseksi R0. Dalam Uji Coba Aliansi, pasien (n = 257) diacak
untuk mendapatkan FOLFOX yang dimodifikasi atau carboplatin-paclitaxel yang
dikombinasikan dengan radioterapi (50,4 Gy / 28 fraksi). Menariknya, jika seorang pasien
dianggap sebagai non-responden pada CT-PET kedua [<35% penurunan nilai uptake
terstandardisasi (SUVmax)], pasien tersebut kemudian dialihkan ke rejimen kemoterapi
lainnya. Tingkat kelangsungan hidup keseluruhan selama 2 tahun adalah 61,8% (95% CI
55,7-68,5%), dengan median 40,2 bulan untuk responden dan 27,4 bulan untuk non-
responden, dan luaran terbaik untuk responden adalah dengan terapi kombinasi FOLFOX.
RCT ini juga menunjukkan dampak prediktif positif dari respons metabolik yang ditentukan
oleh CT-PET terhadap prognosis dan bagaimana hal tersebut dapat diadaptasi ke dalam
desain uji coba, seperti yang dilaporkan pada uji coba MUNICON.

Gbr. 3 Uji coba penting yang sedang berlangsung untuk terapi perioperatif dan neoadjuvan
untuk adenokarsinoma esofagus. FLOT fluorourasil, leucovorin, oxaliplatin dan docetaxel,
CROSS paclitaxel, karboplatin dan fraksi 41,4 Gy/23, EOX epirubisin, oxaliplatin,
capecitabine, EC (O) F (X) epirubisin, cisplatin (atau oxaliplatin), fluorourasil (atau
capecitabine).

SCC
Meskipun sebagian besar uji coba pada kanker esofagus melibatkan pasien OAC dan SCC
secara bersamaan, namun tingkat pCR setelah kemoradioterapi neoadjuvant masing-masing
sebesar 49% dan 23% untuk SCC dan adenokarsinoma dalam uji coba CROSS menunjukkan
tingginya tingkat kepekaan SCC terhadap rejimen radiasi. Meskipun jumlah pasien SCC yang
diterapi cukup kecil (n = 41), namun tingkat respons dan kelangsungan hidup yang luar biasa
ini telah menjadi tolok ukur modern. Di sebuah pusat nasional dengan volume pasien yang
tinggi, terapi multimodal dikaitkan dengan tingkat kelangsungan hidup spesifik penyakit
selama 5 tahun sebesar 62% pada sebuah serial terhadap 75 pasien SCC. Sebuah RCT
internasional (NEOCRTE5010) terhadap 451 pasien dengan SCC menemukan tingkat
kelangsungan hidup median selama 100 bulan dibandingkan 66,5 bulan untuk terapi
multimodal, dengan tingkat pCR 43,2% (P = 0,025).

Pendekatan perawatan yang berbeda


Namun, terlepas dengan suksesnya terapi multimodal untuk pasien SCC, masih ada
perbedaan pendapat mengenai topik ini, sehingga praktiknya pun sangat bervariasi. Negara-
negara Timur mulai melihat pergeseran algoritme pengobatan SCC secara bertahap dari
terapi adjuvan ke pendekatan neoadjuvan, dengan preferensi sebagian besar pada kemoterapi
saja, dengan peningkatan penggunaan docetaxel, suatu komponen kunci dari rejimen FLOT.
Tingkat respons yang dilaporkan mencapai lebih dari 60%. Saat ini, sebuah RCT
(JCOG1109, studi NExT) yang dilakukan oleh Japan Esophageal Oncology Group sudah
menyelesaikan perekrutan dengan tujuan untuk membandingkan tiga rejimen terapi
neoadjuvant: cisplatin dan 5-fluorourasil versus cisplatin, 5-fluorourasil dan docetaxel versus
cisplatin, 5-fluorourasil, dan terapi radiasi (41,4 Gy). Sedangkan di negara Barat, perdebatan
sebagian besar berkaitan dengan terapi multimodal versus kemoradioterapi definitif, dan
keduanya dianggap ekuivalen dalam pedoman internasional dan dalam database tinjauan
sistematis Cochrane. Penilaian ekuivalensi ini sebagian besar didasarkan pada dua RCT.
Sebuah uji coba di Jerman (n = 189) yang diterbitkan pada tahun 2005 membandingkan
kemoradioterapi (cisplatin, etoposide-40 Gy) yang diikuti dengan pembedahan dengan
kemoradioterapi lanjutan yang meningkat menjadi 65 Gy pada pasien dengan tumor cT3 dan
cT4, dengan semua pasien yang telah menjalani kemoterapi induksi awal dengan fluorourasil,
leucovorin, etoposide, dan cisplatin. Pasien yang menjalani pembedahan menunjukkan
peningkatan kelangsungan hidup bebas progresivitas selama 2 tahun (64% berbanding 40%,
P = 0,003) dibandingkan dengan pasien yang menerima CRT lanjutan, tetapi tidak
menunjukkan adanya peningkatan tingkat kelangsungan hidup secara keseluruhan dan angka
mortalitas di rumah sakit yang tinggi (11,3%). Sebuah RCT di Prancis (FFCD 9102) juga
tidak menemukan adanya perbedaan pada tingkat kelangsungan hidup pada pasien yang
menjalani terapi induksi (cisplatin dan 5-fluorourasil-RT) dan pasien yang diacak, baik untuk
melanjutkan kemoradioterapi maupun pembedahan, tetapi kekambuhan lokal lebih tinggi
pada kelompok yang menjalani kemoradioterapi. Sebaliknya, kedua RCT melaporkan
peningkatan yang signifikan dalam mortalitas terkait pengobatan pada kelompok multimodal.
Dengan demikian, belum ada data tingkat I yang menetapkan standar perawatan untuk SCC
stadium lanjut secara global. Namun demikian, luaran yang cukup mengesankan dari CROSS
dan seri terapi multimodal lainnya, dan baru-baru ini, analisis data dari National Cancer
Database (AS) yang terdiri atas 19.532 pasien, yang melaporkan peningkatan kelangsungan
hidup dua kali lipat pada multimodal dibandingkan dengan kemoradioterapi definitif pada
perbandingan non-acak, menjadi landasan bagi pendekatan yang menyertakan pembedahan
sebagai standar praktik modern, terutama di era modern di mana risiko kematian akibat
pembedahan tergolong rendah. Di Jepang, meskipun kemoterapi preoperatif lebih standar
dilakukan dibandingkan dengan terapi multimodal, namun uji coba JCOG (0909) dengan 50
Gy RT dengan cisplatin dan 5-fluorourasil pada pasien SCC stadium II/III memberikan hasil
yang sangat baik, dan rejimen ini saat ini digunakan sebagai terapi standar pada pasien yang
tidak ingin menjalani pembedahan atau yang relatif tidak sehat.

Pengaruh dosis radiasi


Bagaimana dengan dosis radiasi yang lebih tinggi pada prosedur kemoradioterapi definitif?
Protokol yang sudah baku adalah 50,4 Gy, khususnya di Amerika Utara, dan tidak ada bukti
yang jelas mengenai manfaat peningkatan dosis. Uji coba ARTDECO (61,6 vs 50,4 Gy) dan
CONCORDE/PRODIGE 26 (76 vs 50 Gy) membandingkan dosis yang lebih tinggi dengan
dosis standar terapi radiasi. Pada tahun 2020, ARTDECO melaporkan tidak ada peningkatan
(P = 0,08) dalam tingkat kelangsungan hidup bebas perkembangan lokal dengan dosis terapi
radiasi yang lebih tinggi, dan peningkatan toksisitas tingkat 4/5. Di Inggris, SCOPE 2
(NCT02741856) sedang meneliti eskalasi dosis dari 50 menjadi 60 Gy dalam
kemoradioterapi definitif.

Pendekatan alternatif
Karena SCC lebih jarang terjadi pada pasien di Barat, sebuah RCT yang diajukan yang
menggunakan pembedahan sebagai komponen kontrol mengalami kesulitan untuk merekrut
pasien yang memenuhi syarat. Berdasarkan aplikasi pedoman, preferensi sentra, kesesuaian
atau preferensi pasien, beberapa pasien yang mengalami kekambuhan secara lokal mungkin
cocok untuk menjalani tindakan yang disebut esofagektomi salvage. Menariknya, dalam
sebuah studi populasi besar, tidak ada perbedaan yang signifikan dalam median kelangsungan
hidup pasien yang menjalani kemoradioterapi neoadjuvant ditambah pembedahan
dibandingkan dengan pasien dengan kekambuhan lokal yang menjalani salvage
oesophagectomy (36 bulan versus 35,5 bulan, P = 0,8). Hasil perioperatif juga serupa, dengan
tidak ada perbedaan untuk mortalitas perioperatif. Hasil ini relatif lebih baik dibandingkan
dengan penelitian sebelumnya yang melaporkan angka mortalitas hingga 25% pada pasien
yang menjalani prosedur salvage. Terakhir, terapi sinar proton (PBT) kini muncul sebagai
alternatif yang menarik untuk rejimen terapi radiasi standar, meskipun data uji coba saat ini
masih kurang. PBT berpotensi mengurangi efek samping off-target dengan tetap
mempertahankan distribusi dosis ke tumor primer. Penelitian awal menunjukkan bahwa PBT
mungkin efektif pada OAC dan SCC.

PEMBEDAHAN SESUAI KEBUTUHAN ('WATCH AND WAIT') UNTUK


RESPONDEN YANG KOMPLIT SECARA KLINIS SETELAH TERAPI
NEOADJUVANT
Meskipun bedah salvage banyak digunakan setelah kemoradioterapi definitif untuk rekurensi
lokal yang terisolasi, atau penyakit persisten, namun terdapat sebuah konsep baru yang
sedang berkembang, yaitu apakah pasien yang berespons komplit terhadap terapi neoadjuvan
sebelum tindakan pembedahan, dapat terus dilakukan surveilans yang ketat, dan baru akan
dioperasi apabila terbukti ada penyakit lokal pada follow-up. Manfaatnya pendekatan ini
cukup jelas, diantaranya termasuk terhindar dari operasi besar dengan risiko kematian hingga
5% (serta morbiditas utama yang menyertainya), serta preservasi organ. Konsep ini mungkin
semakin penting selama pandemi SARS-CoV-2, yang mengakibatkan perubahan pada alur
perawatan standar dan pertimbangan pragmatis terhadap pendekatan tersebut.

MENILAI PENDEKATAN 'WATCH AND WAIT'


Rasionale dari konsep 'watch and wait' tampaknya lebih menarik bagi pasien dengan SCC,
yang mana hampir 50% di antaranya mengalami pCR dalam CROSS Trial, dibandingkan
dengan 25% pasien dengan OAC. Namun, masih diperlukan bukti untuk membuktikan bahwa
respons klinis yang komplit sepadan dengan pCR, dan untuk itu, maka dirancanglah
penelitian PreSANO (Surgery as Needed for Oesophageal Cancer). PreSANO merupakan
penelitian multisenter dengan satu kelompok dari enam pusat di Belanda, dan melibatkan
pasien dengan OAC dan SCC. Dalam desainnya, pasien dengan respons klinis komplit
berdasarkan penilaian endoskopi, biopsi bite per bite (dalam) dan ultrasonografi endoskopi
pada 6 minggu, menjalani evaluasi respons klinis lebih lanjut pada 12 minggu, yang meliputi
CT-PET, ultrasonografi endoskopi ditambah aspirasi jarum halus pada limfonodi yang
mencurigakan, dan biopsi tambahan. Studi ini melaporkan tingkat sensitivitas yang baik
(90%) untuk mendeteksi penyakit residual (>10% sel tumor residual yang vital) tetapi
sensitivitas yang buruk untuk mendeteksi absennya penyakit residual, dimana penyakit
residual kebanyakan bersifat mikroskopis dan terbatas pada submukosa. Sebuah presentasi
dari Van Der Wilk B, dkk. pada the 2020 International Society of Diseases of the Esophagus
(ISDE) Meeting yang terdiri dari 256 pasien dari tujuh studi yang menjalani pendekatan
watch and wait melaporkan tingkat kelangsungan hidup 5 tahun sebesar 58%, dengan
rekurensi lokal sebesar 33% pada 2 tahun. Tingkat sensitivitas yang rendah yang ditunjukkan
pada preSANO dan seri lainnya terhadap elemen individual dari evaluasi respons klinis -
khususnya CT-PET dan ultrasonografi endoskopi - menjadi peringatan penting sehubungan
dengan pendekatan 'watch and wait' di luar RCT, khususnya untuk OAC. Kelompok
preSANO tersebut kemudian menginisiasi uji coba SANO, yang akan menjadi end point
primer yang tidak kalah pentingnya dengan program surveilans yang ketat dibandingkan
dengan pembedahan, jika evaluasi respons klinis selama 12 minggu tidak menunjukkan
adanya penyakit residual. Studi Esostrate-Prodige 32 di Prancis dirancang serupa dengan
SANO, tetapi metode randomisasinya berbeda. Untuk SCC saja, di empat sentra di Asia,
studi awal preSINO (pembedahan jika diperlukan untuk kanker esofagus) juga sedang
dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip preSANO; studi ini mungkin akan berlanjut ke RCT.

TERAPI MULTIMODAL VERSUS KEMOTERAPI DEFINITIF DAN PELUANG


PEMBEDAHAN SALVAGE
Meskipun pasien kemungkinan dapat memaklumi sejumlah risiko terkait penolakan
pembedahan, namun terdapat beberapa potensi kerugian karena surveilans yang intensif
mengharuskan pasien untuk sering datang ke rumah sakit untuk menjalani prosedur, yang
dapat menimbulkan kecemasan dan berdampak pada kualitas hidup, di samping kemungkinan
diperlukannya pembedahan 'salvage' pada sekitar satu dari tiga pasien. Kemoradioterapi
NEoadjuvant untuk karsinoma sel skuamosa esofagus versus kemoradioterapi definitif
dengan pembedahan salvage sesuai kebutuhan (uji coba NEEDS - EudraCR 2020-000149-15)
adalah RCT internasional terbaru yang sangat signifikan, yang dipimpin oleh Karolinska
Institute, yang baru-baru ini telah memulai perekrutan. Uji coba ini membandingkan terapi
multimodal rejimen CROSS dengan kemoradioterapi definitif dan pembedahan salvage
sesuai kebutuhan, dan tidak memiliki kelemahan, dengan target untuk merekrut 1.200 pasien
dan estimasi penyelesaian studi pada tahun 2031.

IMUNOTERAPI DAN TERAPI BERTARGET DALAM KONTEKS NEOADJUVAN


DAN ADJUVAN
Berbagai kemajuan dalam genomik kanker, biologi molekuler dan imunologi telah
menghadirkan revolusi modern dalam terapi kanker. Terkait dengan kanker esofagus,
revolusi ini terutama terlihat pada penyakit metastasis atau penyakit lanjut yang tidak dapat
disembuhkan, di mana beberapa pendekatan baru telah disetujui untuk protokol lini pertama,
kedua, dan ketiga.

TERAPI BERTARGET
Beberapa uji coba utama terkait terapi bertarget adalah TOGA, di mana trastuzumab, suatu
antibodi monoklonal yang menargetkan HER2, yang dikombinasikan dengan kemoterapi,
dapat meningkatkan luaran dibandingkan dengan kemoterapi saja pada pasien dengan tumor
HER2+; serta REGARD dan RAINBOW, di mana inhibitor reseptor vascular endothelial
growth factor (VEGF), ramucirumab, ditemukan bermanfaat sebagai agen tunggal atau
dikombinasikan dengan paclitaxel. PETRARCA melaporkan adanya peningkatan tingkat
kelangsungan hidup bebas penyakit dan kelangsungan hidup secara keseluruhan dengan
penambahan trastuzumab dan antibodi monoklonal penargetan HER2 lainnya, yaitu
pertuzumab, pada rejimen FLOT pada pasien dengan kanker esofagogastrik HER2+ yang
dapat direseksi pada uji coba fase II, dengan pCR yang luar biasa yaitu 35% untuk terapi
kombinasi.

IMUNOTERAPI
Terapi imun yang menargetkan 'immune checkpoint', seperti programmed cell death protein 1
(PD-1) dan ligan PD-L1, atau cytotoxic lymphocyte antigen 4 (CTLA-4), kini sangat banyak
digemari. Tingkat respons sebesar 10-15% pada terapi imun telah dilaporkan pada pasien
dengan kanker esofagus rekuren atau metastasis. Kemajuan dalam penggunaan inhibitor
immune checkpoint untuk kanker esofagus diperoleh dari hasil studi kombinasi pada lini
pertama. Dalam KEYNOTE-590, kombinasi antara inhibitor PD-1 pembrolizumab dengan
kemoterapi menunjukkan peningkatan kelangsungan hidup dibandingkan dengan kemoterapi
saja pada pasien dengan OAC atau SCC, terutama pada tumor dengan skor kombinasi positif
(CPS, berdasarkan jumlah sel positif PD-L1 dalam kaitannya dengan jumlah total sel tumor)
≥10. Dalam CHECKMATE-649, di mana pasien dengan kanker lambung dan OAC diacak
untuk menerima kemoterapi atau kemoterapi plus nivolumab, ditemukan adanya manfaat
kelangsungan hidup secara keseluruhan dengan penambahan inhibitor PD-1, terutama pada
pasien dengan CPS ≥ 5. Uji coba monoterapi penting lainnya, termasuk ATTRACTION-3,
merupakan penelitian internasional pada pasien dengan SCC stadium lanjut, yang
melaporkan peningkatan tingkat kelangsungan hidup dengan nivolumab dibandingkan
dengan kemoterapi pilihan peneliti pada lini kedua, sedangkan KEYNOTE 181 menunjukkan
manfaat pembrolizumab dibandingkan kemoterapi pada lini kedua untuk pasien dengan SCC
dan CPS ≥ 10, tetapi tidak untuk pasien dengan OAC. Menariknya, kombinasi
pembrolizumab dan trastuzumab dengan kemoterapi menghasilkan tingkat kelangsungan
hidup bebas perkembangan yang sangat baik pada pasien HER2+, dan sedang dievaluasi
dalam uji coba fase III secara acak. Biomarker optimal untuk respons terhadap inhibisi
immune checkpoint masih belum diketahui; selain overekspresi PD-L1, instabilitas
mikrosatelit (MSI), beban mutasi yang tinggi, dan defek pada perbaikan mismatch DNA juga
dapat memprediksi respons yang bertahan lama.

TERAPI BERTARGET DAN IMUNOTERAPI DALAM KONDISI KURATIF


Apakah perkembangan dalam pengobatan penyakit metastasis dan tidak dapat disembuhkan
ini dapat ditranslasikan menjadi luaran terapi kuratif yang lebih baik? Seperti halnya FLOT
yang merupakan game changer potensial untuk OAC, imunoterapi ajuvan mungkin juga
memiliki potensi yang sama di masa depan untuk OAC dan SCC. Dalam RCT
CHECKMATE-577, 794 pasien dengan kanker esofagus stadium II/III menjalani pengobatan
dengan kemoradiasi neoadjuvan; pasien yang tidak mencapai pCR setelah reseksi diacak
dengan perbandingan 2:1 untuk mendapatkan nivolumab atau plasebo. Pada analisis interim,
median kelangsungan hidup bebas penyakit meningkat dua kali lipat (22,4 berbanding 11
bulan, HR 0,69 [CI: 0,56-0,86) P = 0,0003) pada pasien yang menerima nivolumab. Selain
menggembirakan, temuan ini juga cukup logis secara ilmiah, karena terapi radiasi
menginduksi ekspresi PD-L1 dan perekrutan sel imun dalam lingkungan mikro tumor.
CHECKMATE-577 menjadi dasar bukti kuat yang mendukung imunoterapi pada
kondisi adjuvan postoperatif setelah kemoradioterapi neoadjuvan, dan merupakan kemajuan
yang signifikan dalam terapi adjuvan untuk kanker esofagus. Mengenai apakah pendekatan
ini efektif dalam konteks neoadjuvant masih belum diketahui, dan apakah terapi adjuvan
dapat melengkapi efek rejimen kemoterapi perioperatif yang optimal, seperti FLOT, juga
masih perlu dievaluasi. Penelitian saat ini sedang aktif menggunakan pembrolizumab,
durvalamab (mAb anti PD-L1), dan tremelimumab (mAb anti CTLA-4) dalam konteks ini,
demikian pula uji coba yang menggabungkan rejimen kemoterapi, termasuk FLOT, dengan
imunoterapi atau terapi bertarget yang telah terbukti efektif. Regimen kombinasi ini termasuk
FLOT-8/DANTE (NCT03421288), yang membandingkan rejimen FLOT perioperatif standar
ditambah dengan inhibitor PD-L1 atezolizumab, dan FLOT-7/RAMSES (NCT02661971),
yang menggunakan rejimen FLOT ditambah ramucirumab.

Imunoterapi neoadjuvan dan pemulihan


Isu lainnya yang juga penting adalah apakah imunoterapi dapat diberikan secara aman pada
kondisi neoadjuvant tanpa meningkatkan komplikasi yang terkait dengan pembedahan
esofagus - khususnya pemulihan luka dan anastomosis - atau respons inflamasi sistemik atau
organ spesifik pasca operasi. Data yang relevan sehubungan dengan pendekatan yang
berdampak pada inflamasi dan penyembuhan dapat diperoleh dari uji coba MRC ST03 di
Inggris, yang mengacak 1063 pasien dengan adenokarsinoma gaster, esofagus, atau
gastroesofagus untuk menerima epirubisin, cisplatin, dan capecitabine secara tunggal atau
dalam kombinasi dengan inhibitor VEGF, yaitu bevacizumab. Uji coba ini melaporkan
tingkat kelangsungan hidup 3 tahun ekuivalen masing-masing sebesar 50,3% (95% CI 45,5-
54,9) dan 48,1% (95% CI 48,1% (43,2-52,7), tetapi, yang menjadi perhatian adalah
kebocoran anastomosis yang meningkat dua kali lipat (24% berbanding 10%) pada pasien
yang menjalani anastomosis esofagus-gaster; oleh karena itu, berdasarkan analisis ini,
perekrutan pasien pada kohort ini dihentikan. Saat ini, dengan terbatasnya data yang
dipublikasikan, belum ada bukti yang mendukung bahwa imunoterapi dalam konteks
neoadjuvant berdampak pada luaran utama operatif; namun demikian, skenario ini harus
diteliti secara mendalam melalui evaluasi prospektif.

PERKEMBANGAN PEMBEDAHAN DI ERA INVASIF MINIMAL


Pembedahan terbuka merupakan metode pembedahan andalan selama beberapa generasi,
dimana isu utama dalam konteks kanker esofagus adalah manfaat dari transthoracic
oesophagectomy (TTO) dibandingkan dengan pendekatan transhiatal (TH), yang dapat
mencegah dilakukannya torakotomi, serta apakah TTO lebih unggul dibandingkan dengan
gastrektomi total ekstensif dan anastomosis mediastinum pada adenokarsinoma kardia
(Siewert tipe II). TTO terdiri dari esofagektomi dua tahap (Ivor Lewis) dengan anastomosis
intratoraks atau esofagektomi tiga tahap dengan anastomosis servikal. Salah satu keunggulan
TTO dibandingkan TH adalah luasnya limfadenektomi yang dapat dilakukan di dalam dada,
dan reseksi en bloc di sepanjang bidang jaringan pada aorta dan trakeobronkial. TTO
memungkinkan penentuan stadium limfonodi yang lebih akurat karena perolehan nodal, dan
karena pembedahan dari struktur di sekitarnya dilakukan berdasarkan penglihatan langsung,
maka TTO dapat meningkatkan batas margin reseksi sirkumferensial.

PENDEKATAN INVASIF MINIMAL UNTUK ESOFAGEKTOMI


Sejalan dengan tren pembedahan secara keseluruhan, di era modern ini semakin banyak
bermunculan pendekatan invasif minimal dan yang berbantuan robotik, dengan banyak bukti
baru yang menunjukkan ekuivalensi onkologis dibandingkan dengan pembedahan terbuka,
tetapi mungkin berkaitan dengan morbiditas yang lebih rendah. Meskipun esofagektomi
invasif minimal (MIO) pertama kali dilaporkan pada awal tahun 1990-an, namun baru pada
dekade terakhir ini metode ini berkembang secara internasional dan mulai menggeser metode
bedah terbuka.
Meskipun secara logika, penggunaan MIO lebih baik dibandingkan dengan operasi
terbuka jika dapat dilakukan dengan aman, namun RCT masih merupakan standar emas
untuk membuktikan superioritas atau non-inferioritas; namun, dasar bukti terkait hal ini
masih terbatas, dan sebagian besar masih berfokus pada terjadinya komplikasi paru
postoperatif. Beberapa uji coba penting diuraikan dalam Tabel 2. Uji coba TIME di Belanda
membandingkan pendekatan invasif minimal komplit dengan bedah terbuka pada 115 pasien.
Luaran primer - infeksi saluran pernapasan pasca operasi yang terbukti secara mikrobiologis
dalam waktu 14 hari - secara signifikan berbeda, yaitu 9% pada kelompok MIO dibandingkan
29% pada kelompok terbuka (P = 0,05). Uji coba MIRO di Prancis mengacak 207 pasien
untuk menjalani TTO terbuka tradisional atau pendekatan MIO hibrida yang terdiri dari fase
abdomen laparoskopi yang dikombinasikan dengan torakotomi terbuka. Luaran primer untuk
komplikasi utama 30 hari pasca operasi menurun secara signifikan, dari 64 menjadi 36% (P
<0,001), dengan menggunakan pendekatan hibrida, yang terutama berkaitan dengan
penurunan komplikasi respiratorik mayor.
Akan tetapi, masih terdapat beberapa masalah. Dalam uji coba TIME, endpoint
primer, yaitu bukti pneumonia, ditemukan lebih tinggi pada kelompok terbuka dibandingkan
dengan yang diantisipasi dan dilaporkan sebelumnya. Dalam MIRO, komplikasi dengan
tingkat keparahan kelas II Clavien-Dindo, yang disebut sebagai 'mayor', yang kemungkinan
tidak dapat diterima karena kelas II tidak memerlukan intervensi bedah atau radiologis;
dimana hasilnya setara untuk kedua kelompok perlakuan terkait dengan komplikasi dengan
tingkat keparahan ≥ kelas III, yang menunjukkan bahwa esofagektomi hibrida kemungkinan
memiliki dampak yang lebih signifikan terhadap komplikasi dengan tingkat keparahan yang
lebih ringan. Selain itu, sebuah studi registri dari Belanda, yang membandingkan pendekatan
MIO dan pendekatan terbuka, menemukan adanya peningkatan komplikasi perioperatif,
tingkat operasi ulang, dan lama rawat inap pasien yang menjalani MIO. Perbedaan hasil ini
mungkin merefleksikan kurva pembelajaran bagi mereka yang mengikuti pelatihan MIO, atau
mungkin terkait dengan sejumlah institusi yang jarang melakukan prosedur ini, tetapi yang
jelas, masih dibutuhkan data riil lebih lanjut dan audit klinis yang cermat untuk memastikan
luaran pasien tidak terganggu oleh penerapan teknik pembedahan yang baru. Sehubungan
dengan RCT saat ini, tidak ada perbandingan langsung antara pendekatan hibrida dan
pendekatan MIO yang dilakukan. Uji coba ROMIO bertujuan untuk membandingkan
pendekatan terbuka, hibrida dan MIO pada lebih dari 400 pasien, dengan luaran utama berupa
status fisik pasca operasi yang dilaporkan oleh pasien.

Table 2. Penelitian acak terkontrol (RCT) utama yang membandingkan esofagektomi invasif
minimal (MIO), pendekatan hibrida, dan esofagektomi invasif minimal berbantuan robot
(RAMIE) dengan bedah transthoracic terbuka
Uji coba Perbandingan Kelompok A Kelompok B p Komentar
MIRO Kelompok A: 64% komplikasi 36% komplikasi <0.001 Kecenderungan peningkatan
N = 207 open TTO mayor mayor kelangsungan hidup dengan
Kelompok B: 30% komplikasi 18% komplikasi pendekatan hibrida,
Hybrid 2 pulmonal pulmonal kelangsungan hidup 3 tahun 67%
resection hibrida berbanding 55% terbuka,
NS
TIME Kelompok A: 34% infeksi Infeksi 0.005 Kelangsungan hidup 3 tahun
N = 115 MIO pulmonal (pada pulmonal 9% 51,5% MIO versus 40,4%
Kelompok B: 30 hari) (pada 30 hari) terbuka (P = 0,02)
open TTO
ROBOT Kelompok A: 80% komplikasi 59% komplikasi 0.02 Berkurangnya kehilangan darah
N = 112 open TTO keseluruhan keseluruhan (P <0,001) dan komplikasi paru
Kelompok B: (P = 0,005), dan pemulihan
RAMIE fungsional yang lebih baik (P =
0,03) dengan RAMIE.
Kelangsungan hidup 5 tahun
41% RAMIE, 40% terbuka, NS

PENDEKATAN BERBANTUAN ROBOT


Pada sebagian besar bidang pembedahan, pendekatan berbantuan robotik masih sedang dalam
tahap pengujian dan evaluasi, dimana trainee modern semakin fokus untuk mempelajari
keterampilan robotik dan akreditasi. Keunggulan dari pendekatan robotik dapat berupa
artikulasi instrumen, minimalisasi pergerakan yang besar bagi dokter bedah, dan ergonomi
yang lebih baik, serta dapat dianggap sebagai pendekatan yang mungkin bisa menggantikan
pendekatan invasif minimal, jika dapat menekan biaya yang besar. Dalam pembedahan
kanker esofagus, pendekatan robotik pertama kali dijelaskan oleh Kernstine dkk., dan
dikembangkan di Eropa terutama oleh Profesor Van Hillegersberg dan rekan-rekannya di
Utrecht, Belanda, dan bidang robotik dengan bantuan esofagektomi invasif minimal
(RAMIE) ini semakin berkembang pesat dalam satu dekade terakhir. Percobaan ROBOT
membandingkan esofagektomi tiga tahap berbantuan robot dan esofagektomi tiga tahap
terbuka dalam sebuah penelitian terhadap 109 pasien, dengan endpoint primer berupa
komplikasi pasca operasi. RAMIE diketahui dapat menurunkan tingkat komplikasi secara
keseluruhan (59% berbanding 80%, P = 0,02), serta penurunan kehilangan darah,
berkurangnya nyeri juga proses pemulihan fungsional yang lebih awal, dimana ditemukan
tingkat kelangsungan hidup 5 tahun yang setara antara kedua pendekatan tersebut, yaitu 42%
berbanding 43% (P = 0,74), masing-masing untuk RAMIE dan metode terbuka.
Kelemahan dari pendekatan robotik untuk MIO adalah tingkat kebocoran
anastomosis, sehingga diperlukan mentoring dan akreditasi yang ketat, serta pengawasan saat
pelatihan nantinya. Sebuah studi registri internasional tahun 2020 melaporkan tingkat
kebocoran sebesar 33% untuk anastomosis yang dijahit tangan dengan bantuan robot, 17%
untuk anastomosis stapel sirkuler, dan 15% untuk anastomosis stapel linier dengan
menggunakan RAMIE pada prosedur tertentu. Angka-angka ini cukup tinggi, dan jauh di atas
angka yang dilaporkan dari sejumlah sentra bervolume tinggi dengan teknik stapel atau jahit
tangan yang terstandardisasi. Untuk itu, Audit Anastomosis Esofago-Lambung yang meneliti
anastomosis esofagus-lambung dapat memberikan sedikit informasi mengenai teknik
anastomosis yang optimal pada esofagektomi standar, MIO, dan RAMIE.

KESIMPULAN
Terlepas dari besarnya hambatan dalam menyembuhkan kanker, yang biasanya ditemukan
pada stadium lanjut dan disertai dengan fitur biologis yang merugikan sehingga menimbulkan
resistensi terhadap terapi standar, namun terdapat sejumlah perkembangan yang signifikan
yang telah dicapai terkait pendekatan kuratif terhadap kanker esofagus. Meningkatnya jumlah
RCT yang hampir selesai, serta kemajuan dalam endoterapi, penentuan stadium,
pembedahan, dan analisis ilmiah tingkat tinggi, serta peningkatan pemahaman tentang
genomik dan lingkungan mikro tumor, semakin memberikan harapan terkait penemuan baru
yang lebih lanjut dan peningkatan tingkat kesembuhan. Metode pendekatan kuratif untuk
kanker esofagus local stadium lanjut kemungkinan besar akan berubah dalam waktu yang
dekat. Informasi mengenai status HER2, ekspresi PD-L1, MSI, dan beban mutasi secara
keseluruhan - yang saat ini merupakan bagian dari algoritme penyakit metastasis -
kemungkinan besar akan semakin mendukung untuk menyertakan metode terapi bertarget
dalam rencana terapi, dan dapat membantu dalam menentukan respons terhadap terapi.
Namun demikian, masih terdapat beberapa kendala, yaitu sedikitnya mutasi pada kanker
esofagus yang dapat ditargetkan, dan frekuensi mutasi yang tinggi pada tumor heterogen.
Faktor biaya juga menjadi masalah, seperti halnya sekuensing high-throughput yang efisien
dan terjangkau dengan aplikasi klinis yang jelas, baik dalam stratifikasi prognosis maupun
dalam penyesuaian terapi. Selain itu, penentuan biomarker juga diperlukan dan, dalam
konteks ini, DNA tumor yang bersirkulasi juga telah menunjukkan beberapa potensi yang
menjanjikan. Seiring dengan berkembangnya teknologi dan teknik dalam EET dan Teknik
pembedahan, termasuk potensi peningkatan penggunaan kecerdasan artifisial, akan ada
tantangan yang signifikan dalam memperkenalkan teknologi ini. Selain implikasi biaya yang
signifikan, diperlukan akses yang merata terhadap teknik-teknik baru tersebut untuk
memastikan semua pasien mendapatkan manfaat yang setara. Tinjauan ini, yang ditulis
berdasarkan sudut pandang ahli bedah dan ahli onkologi akademis, meskipun difokuskan
pada lima tema utama, juga membahas perkembangan penting dalam bidang kedokteran dan
ilmu pengetahuan, serta berbagai harapan baru yang semakin meningkatkan optimisme.

Anda mungkin juga menyukai