Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN PENDAHLUAN

SCC (skuamosa cell carcinoma)

Oleh;

ACHMAD ROMDHONI

PELATIHAN ANESTESI ANGKATAN 17


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH SAIFUL ANWAR
MALANG
2019

KONSEP DASAR
A. Definisi

Karsinoma Sel Skuamosa merupakan salah satu jenis kanker yang

berasal dari lapisan tengah epidermis. Jenis kanker ini menyusup ke jaringan

di bawah kulit (dermis). Kulit yang terkena tampak coklat kemerahan dan

bersisik atau berkerompeng dan mendatar, kadang menyerupai bercak pada

psoriasis dermatitis atau infeksi jamur.

Karsinoma sel skuamosa dapat tumbuh dalam setiap epitel berlapis

skuamosa atau mukosa yang mengalami metaplasia skuamosa. Jadi bentuk

kanker ini dapat terjadi di lidah, bibir, esophagus, serviks, vulva, vagina,

bronkus atau kandung kencing. Pada permukaan mukosa mulut atau vulva,

leukoplakia merupakan predisposisi yang penting. Tetapi kebanyakan

karsinoma sel skuamosa tumbuh di kulit (90-95%). Sistem yang sering

digunakan dalam klasifikasi stadium kanker adalah sistem tumor-nodus-

metastase (TNM), yaitu T menunjukkan besarnya tumor primer (T1 = kecil;

T4 = masif), N untuk metastase ke kelenjar getah bening dan M untuk

menentukan adanya metastase ke organ tempat lain.

B. Etiologi

Faktor-faktor etiologi terbanyak yang berkaitan dengan karsinoma sel

skuamosa ialah pemakaian tembakau, konsumsi alkohol dan penggunaan zat

kimia. Termasuk tembakau yang dibakar maupun yang tidak dibakar, seperti

dihirup dan mungkin juga, sirih yang dikunyah (kebiasaan di india, Myanmar

dan Pakistan). Walaupun sebagai besar penderita perokok dan peminum

alkohol, sebanyak 10% penderita karsinoma sel skuamosa tidak mengaku

menggunakan tembakau atau alcohol, orang-orang ini cenderung pria atau

wanita yang lebih tua.

C. Tanda dan Gejala


Karsinoma sel skuamosa invasif secara klinik ditandai lesi yang

ulseratif dan induratif. Sering daerah ulserasi menunjukkan tepi melingkar,

melipat dan mukosa yang berdekatan dapat menunjukkan batas-batas yang

tampak leukoplakia dan atau eritroplakia. Bila kelenjar servikal yang terkena

metastasis sudah mencapai dimensi cukup besar, dapat diraba, membengkak

dan melekat (berbeda dengan limfadenopati yang dapat digerakkan, lunak dan

nyeri tekan bila sebagai akibat penyakit radang).

Secara mikroskopik, karsinoma sel skuamosa menunjukkan sarang-

sarang dan pulau-pulau sel epitel invasif dengan berbagai derajat diferensiasi

(misalnya keratinisasi). Stroma jaringan ikat biasanya memiliki infiltrasi sel-

sel radang mononuklear. Derajat radang dapat merupakan ukuran reaktivitas

imun terhadap antigen-antigen tumor. Beberapa penelitian menunjukkan

prognosis lebih baik pada tumor-tumor dengan radang hebat.

D. Pemeriksaan Diagnostik/Penunjang

Diagnosa ditegakkan melalui pemeriksaan klinis dan pemeriksaan

mikroskopis melalui biopsi. Seringkali, biopsi ditunda karena keputusan dari

dokter maupun pasien, terdapat infeksi atau iritasi lokal. Tetapi, penundaan

tersebut tidak boleh lebih dari 3-4 minggu. Kadang, luasnya lesi menyulitkan

untuk melakukan biopsi yang tepat untuk membedakan displasia atau kanker.

Oleh sebab itu tambahan penilaian klinis lainnya dapat membantu

mempercepat biopsi dan memilih daerah yang tepat untuk melakukan biopsi.

Penggunaan cairan toluidine blue sangat berguna sekali, karena keakuratannya

(lebih dari 90%), murah, cepat, sederhana dan tidak invasif.

Mekanisme kerjanya dengan afinitas atau menempelnya toluidine blue

dengan DNA dan sulfat mukopolisakarida, sehingga dapat dibedakan apakah

terjadi displasia atau keganasan dengan epitel yang normal dan lesi jinak.

Toluidine blue berikatan dengan membran mitokondria , dimana terikat lebih

kuat pada epitel sel displasia dan sel kanker daripada dengan jaringan normal.
Sitologi eksfoliatif telah membantu dalam menentukan diagnosa.

Namun, kesulitan pengumpulan sel, waktu yang lama dan biaya yang mahal

telah membatasi penggunaannya. Teknik brush biopsy secara luas digunakan

pada sitologi dengan pengumpulan sel yang mewakili keseluruhan epitel

berlapis skuamosa. Prosedurnya tidak menyebabkan sakit, oleh sebab itu tidak

perlu penggunaan anestetikum.

E. Komplikasi

Karsinoma sel skuamosa tidak diobati dapat merusak jaringan sehat di

dekatnya, menyebar ke kelenjar getah bening atau organ lainnya, dan dapat

berakibat fatal, meskipun hal ini jarang terjadi. Risiko karsinoma sel skuamosa

agresif dapat ditingkatkan dalam kasus di mana kanker: Sangat besar atau

mendalam; Melibatkan selaput lendir, seperti bibir; Terjadi pada orang dengan

sistem kekebalan yang lemah, seperti seseorang yang mengambil obat anti-

rejection setelah transplantasi organ

F. Penatalaksanaan

Evaluasi yang cermat terhadap gejala dan simptom sangat penting,

termasuk didalamnya biopsi dan follow- up yang rutin. Pembedahan

dilakukan dengan biopsi insisi menggunakan skapel bila lesi berukuran 5 mm.

Teknik ini cepat, tidak banyak merobek jaringan dan hanya diangkat sedikit

sampling. Apabila ukuran tumor kecil, dapat dilakukan biopsi insisi ataupun

eksisi, apabila sulit membedakan antara displasia dengan karsinoma,

dianjurkan menggunakan biopsi insisi.

Jika hasil biopsi tersebut menunjukkan sel karsinoma skuamosa

(terdapat invasi sel displasia ke jaringan ikat), klinisi dapat merencanakan

terapi kanker. Terapi yang potensial diantaranya pembedahan atupun terapi

radiasi. Kadang kemoterapi digunakan sebagai tambahan, namun beberapa

tumor kurang responsif terhadap kemoterapi. Pemilihan terapi tergantung dari

stadium kanker, stadium dini (kecil dan terlokalisasi), stadium lanjut (besar
dan menyebar). Evaluasi menggunakan teknik pencitraaan yang lebih baik

kualitasnya seperti MR (magnetic resonance) dan CT (computed tomography)

sangat dibutuhkan. Teknik terbaru yaitu menggunakan PET (positron emission

tomography), bisa menentukan metastase ke kelenjar limfe. Teknik ini

berguna bagi klinisi untuk membedakan batas dan rencana terapi, juga

menentukan prognosisnya.

Follow-up berkala perlu dilakukan pada lesi prekanker, bahkan bila

lesi tersebut menghilang, dan bila terus berlanjut perlu dilakukan pembedahan.

Pada tepi lesi yang secara klinis dan mikroskopis terlihat normal, bisa menjadi

permasalahan dan bisa terjadi rekurensi.

Penggunaan teknik laser sangat berguna pada terapi kanker dan dapat

mengontrol leukoplakia. Pencegahan menggunakan analog vitamin A

(retinoid) dan antioksidan lain (beta karoten, vitamin C, E) kurang efektif,

berdasarkan teori, antioksidan tersebut dapat membantu menjaga sel-sel tubuh

dari radikal bebas, yang merupakan promotor terjadinya mutagenesis

kromosom dan karsinogenesis. Yang menjadi permasalahan pada penggunaan

antioksidan ini adalah toksisitasnya dan rekurensinya ketika antioksidan ini

tidak dilanjutkan. Efektifitas antioksidan tergantung pada dosis, regimen dan

individu pasien.

Dapat pula dengan pendekatan nutrisional dengan diet kaya buah-

buahan dan sayur-sayuran, karena banyak mengandung antioksidan dan

protein supresor-sel yang membantu mengurangi aktifitas mutagenesis dan

karsinogenesis.

G. Prognosis

Prognosis karsinoma sel skuamosa sangat tergantung kepada:

diagnosis; cara pengobatan dan keterampilan; dan kerja sama Antara orang

yang sakit dengan dokter. Prognosis yang paling buruk bila tumor tumbuh di

atas sel kulti normal (de nova), sedangkan tumor yang ditemulam di kepala
dan leher, prognosisinya lebih baik dari pada ditempat lainnya. Demikian juga

prognosis yang ditemukan diekstremitas bawah, lebih buruk dari pada di

ekstremitas atas.

KONSEP TEORI ANESTESI

A. PENGERTIAN ANASTESI
Anestesi (pembiusan; berasal dari bahasa Yunani an-"tidak, tanpa"

dan aesthētos,"persepsi, kemampuan untuk merasa"), secara umum berarti

suatu tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan

berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh.

Anastesiologi adalah cabang ilmu kedokteran yang mendasri berbagai

tindakan meliputi pemberian anastesi maupun analgetik, pengawasan

keselamatan pasien di operasi maupun tindakan lainnya, bantuan hidup

(resusitasi), perawatan intensif pasien gawat, pemberian terapi inhalasi dan

penanggulangan nyeri menahun.

B. SKALA RESIKO “ASA”

“American Society of Anaesthesiologists” (ASA) menetapkan sistem

penilaian yang membagi status fisik penderita ke dalam lima kelompok.

Golongan Status Fisik


Tidak ada gangguan organic, biokimia dan psikiatri, misalnya

I penderita dengan hernia inguinalis tanpa kelainan lain, orang


tua sehat dan bayi muda yang sehat.
Gangguan sistemik ringan sampai sedang yang bukan
disebabkan oleh penyakit yang akan dibedah, misalnya
II penderita dengan obesitas, penderita bronchitis dan penderita
DM ringan yang akan menjalani apendektomi
Penyakit sistemik berat, misalnya penderita DM dengan

III komplikasi pembuluh darah dan datang dengan appendicitis


akut
Penyakit gangguan sistemik berat yang membahayakan jiwa

IV yang tidak selalu dapat diperbaiki dengan pembedahan,


missal insufisiensi koroner atau MCI
Keadaan terminal dengan kemungkinan hidup kecil,
pembedahan dilakukan sebagai pilihan terakhir, missal
V penderita syok berat karena perdarahan akibat kehamilan di
luar uterus yang pecah.

C. ANASTESI
 ANASTESI UMUM

Adalah tindakan menghilangkan rasa nyeri/sakit secara sentral disertai

hilangnya kesadaran dan dapat pulih kembali (reversible). Komponen trias

anastesi ideal terdiri dari hipnotik, analgesia dan relaksasi otot.

Cara pemberian anastesi umum:

a) Parenteral (intramuscular/intravena)

Digunakan untuk tindakan yang singkat atau induksi anastesi.

b) Perektal

Dapat dipakai pada anak untuk induksi anastesi atau tindakan singkat.

c) Anastesi Inhalasi

Yaitu anastesi dengan menggunakan gas atau

cairan anastesi yang mudah menguap (volatile agent) sebagai zat

anestetik melalui udara pernapasan. Zat anestetik yang digunakan

berupa campuran gas (denganO 2 ) dankonsentrasi zat anestetik

tersebut tergantung dari tekanan parsialnya.

Stadium Anestesi
Guedel (1920) membagi anestesi umum dengan eter dalam 4 stadium

(stadium III dibagi menjadi 4 plana), yaitu:

a. Stadium I

Stadium I (analgesi) dimulai dari saat pemberian zat anestetik

sampaihilangnya kesadaran. Pada stadium ini pasien masih dapat

mengikuti perintah dan terdapat analgesi (hilangnya rasa sakit).

Tindakan pembedahan ringan, seperti pencabutan gigi dan biopsi

kelenjar dapat dilakukan pada stadium ini

b. Stadium II

Stadium II (delirium/eksitasi, hiperrefleksi) dimulai dari

hilangnya kesadaran dan refleks bulu mata sampai pernapasan kembali

teratur.
c. Stadium III

Stadium III (pembedahan) dimulai dengan tcraturnya

pernapasan sampai pernapasan spontan hilang. Stadium III dibagi menjadi

4 plana yaitu:

1) Plana 1 : Pernapasan teratur, spontan, dada dan perut

seimbang, terjadi gerakan bola mata yang tidak menurut

kehendak, pupil midriasis, refleks cahaya ada, lakrimasi

meningkat, refleks faring dan muntah tidak ada, dan belum tercapai

relaksasi otot lurik yang sempurna. (tonus otot mulaimenurun).

2) Plana 2 : Pernapasan teratur, spontan, perut-dada, volume

tidak menurun, frekuensi meningkat, bola mata tidak

bergerak, terfiksasi di tengah, pupil midriasis, refleks cahaya

mulai menurun, relaksasi otot sedang, dan refleks laring

hilang sehingga dikerjakan intubasi.

3) Plana 3 : Pernapasan teratur oleh perut karena otot interkostal mulai

paralisis, lakrimasi tidak ada, pupil midriasis dan sentral, refleks

laring dan peritoneum tidak ada, relaksasi otot lurik hampir

sempuma (tonus otot semakin menurun).

4) Plana 4 : Pernapasan tidak teratur oleh perut karena otot

interkostalparalisis total, pupil sangat midriasis, refleks

cahaya hilang, refleks sfmgter ani dan kelenjar air mata tidak

ada, relaksasi otot lurik sempuma (tonus otot sangat menurun).

d. Stadium IV

Stadium IV (paralisis medula oblongata) dimulai

dengan melemahnya pernapasan perut dibanding stadium III plana 4.

pada stadium ini tekanan darah tak dapat diukur, denyut


jantung berhenti, dan akhirnya terjadi kematian. Kelumpuhan pernapasan

pada stadium ini tidak dapat diatasi dengan pernapasan buatan.

Obat-obat anestesi umum

a. Tiopenthal :

1) Bubuk berbau belerang, berwarna kuning, dalam ampul 500/1000 mg.

Dilarutkan dengan aquades sampai konsentrasi 2,5%. Dosis 3-7

mg/kgBB.

2) Melindungi otak oleh karena kekurangan O2.

3) Sangat alkalis, nyeri hebat dan vasokonstriksi bila disuntikkan ke arteri

yang menyebabkan nekrosis jaringan sekitar.

b. Propofol:

1) Dalam emulsi lemak berwarna putih susu, isotonic, dengan kepekatan

1%. Dosis induksi 2-2,5 mg/kgBB, rumatan 4-12mg/kgBB/jam, sedasi

perawatan intensif 0,2mg/kgBB. Pengenceran hanya dengan Dextrosa

5%.

2) Dosis dikurangi pada manula, dan tidak dianjurkan pada anak dibawah

3 thn dan ibu hamil.

c. Ketamin:

1) Kurang disenangi karena sering takikardi, HT, hipersalivasi, nyeri

kepala. Paska anestesi mual, muntah, pandangan kabur dan mimpi

buruk. Dosis bolus iv 1-2mg/kgBB, im 3-10mg/kgBB.

2) Dikemas dalam cairan bening kepekatan 5%, 10%, 1%.

d. Opioid:

1) Diberikan dosis tinggi, tak menggangu kardiovaskular, sehingga banyak

digunakan untuk pasien dengan kelainan jantung.

2) Untuk induksi dosis 20-50mg/kgBB, rumatan dosis 0,3-1

mg/kgBB/mnt.
Untuk memberikan cairan dalam waktu singkat dapat digunakan vena-

vena di punggung tangan, di dalam pergelangan tangan, lengan bawah atau

daerah kubiti. Pada anak kecil dan bayi digunakan punggung kaki, depan

mata kaki atau di kepala. Bayi bari lahir digunakan vena umbilikus.

D. OBAT PREMEDIKASI

Pemberian obat premedikasi bertujuan untuk:

1. Menimbulkan rasa nyaman pada pasien (menghilangkan kekhawatiran,

memberikan ketenangan, membuat amnesia, memberikan analgesi).

2. Memudahkan/memperlancar induksi, rumatan, dan sadar dari anastesi.

3. Mengurangi jumlah obat-obatan anastesi.

4. Mengurangi timbulnya hipersalivasi, bradikardi, mual dan muntah

pascaanastesi.

5. Mengurangi stres fisiologis (takikardi, napas cepat, dan lain-lain).

6. Mengurangi keasaman lambung.

Obat-obat yang dapat diberikan sebagai premedikasi pada tindakan anestesi

adalah sebagai berikut:

1. Analgetik narkotik

a. Morfin

Dosis premedikasi dewasa 5-10 mg (0,1-0,2 mg/kg BB) intramuskular

diberikan untuk mengurangi kecemasan dan ketegangan pasien menjelang

operasi, menghindari takipnu pada pemberian trikloroetilen, dan agar

anestesi berjalan dengan tenang dan dalam. Kerugiannya adalah terjadi

perpanjangan waktu pemulihan, timbul spasme serta kolik biliaris dan

ureter.

b.  Petidin
Dosis premedikasi dewasa 50-75 mg (0,5-2 mg/kg BB) intravena

diberikan untuk menekan tekanan darah dan pernafasan serta

merangsang otol polos. Dosis induksi 1-2 mg/kg BB intravena.

c. Barbiturat

Penobarbital dan sekobarbital. Diberikan untuk menimbulkan sedasi.

Dosis dewasa 100-200 mg, pada anak dan bayi 1 mg/kg BB secara oral

atau intramuslcular.

2. Antikolinergik

Atropin. Diberikan untuk mencegah hipersekresi kelenjar ludah dan dan

bronkus selama 90 menit. Dosis 0,4-0,6 mg intramuskular bekerja setelah

10-15 menit.

3. Obat penenang (tranquillizer)

a. Diazepam

Diazepam (valium) merupakan golongan benzodiazepin. Dosis

premedikasi dewasa 10 mg intramuskular atau 5-10 mg oral (0,2-0,5

mg/kgBB) dengan dosis maksimal 15 mg. Dosis sedasi pada analgesi

regional 5-10 mg (0,04-0,2mg/kgBB) intravena. Dosis induksi 0,2-1

mg/kg BB intravena.

b. Midazolam

Mempunyai awal dan lama kerja lebih pendek  dibandingkan

dengan diazepam.

E. OBAT PELUMPUH OTOT

Obat golongan ini menghambat transmisi neuromuskular

sehinggamenimbulkan kelumpuhan pada otot rangka. Menurut

mekanisme kerjanya obat ini dibagi menjadi 2 golongan, yaitu obat

penghambat secara depolarisasi resisten dan obat penghambat kompetitif

atau nondepolarisasi. Pada anestesi umum, obat ini memudahkan


dan mengurangi cedera tindakan laringoskopi dan intubasi trakhea,

sertamemberi relaksasi otot yang dibutuhkan dalam pembedahan dan ventilasi

kendali.

Perbedaan Obat Pelumpuh Otot Depolarisasi dan Nondepolarisasi


Depolarisasi Nondepolarisasi

Ada vasikulasi Tidak ada vasikulasi


otot otot
Berpotensiasi dengan antikolinesterase Berpontisiasi dengan hipokalemia,
hipotermia, obat anestetik inhalasi,
eter, halotan, enfluran dan isofluran
Tidak menunjukkan kelumpuhan Menunjukkan kelumpuhan
yangbertahap pada perangsangan yangbertahap pada perangsangan
tunggalatau tetanik tunggal atautetanik

Belum dapat diatasi dengan Dapat diantagonis oleh


obatspesifik antikolinesterase

Kelumpuhan berkurang
denganpemberian obat pelumpuh
ototnondepolarisasi dan asidosis

1. Obat Pelumpuh Otot Nondepolarisasi

a. Pavulon (pankuronium bromida). Dosis awal untuk relaksasi otot 0,008

mg/kgBB intravena pada dewasa. Dosis rumatan setengah dosis awal.

Dosis intubasi trakhea 0,15 mg/kgBB intravena.

b. Trakrium (atrakurium besilat). Keunggulannya adalah metabolisme

terjadi di dalam darah, tidak tergantung pada fungsi hati dan ginjal. Dosis

intubasi 0,5-0,6 mg/kgBB intravena. Dosis relaksasi otot 0,5-0,6 mg/kgBB

intravena. Dosis rumatan 0,1-0,2 mg/kgBB intravena.

c. Vekuronium. Dosis 0,08-0,1mg/kgbb

d. Rokuronium. Dosis intubasi 0,6-1,2 mg/kgBB. Dosis rumalan 0,1-1

mg/kgBB.

2. Obat Pelumpuh Otot Depolarisasi


Suksametonium (suksinil kolin). Mula kerja 1-2 menit dan lama kerja 3-5

menit. Dosis intubasi 1-1,5 mg/kgBB intravena.

3. Antagonis Pelumpuh Otot Nondepolarisasi

Prostigmin (neostigmin metilsulfat). Prostigmin mempunyai efek nikotik,

muskarinik, dan merupakan stimulan otot langsung. Dosis 0,5 mg bertahap

sampai 5 mg, biasa diberikan bersama atropin dosis 1- 1,5mg.

F. OBAT ANESTES1 INHALASI

Zat Untung Rugi

N2O Analgesik kuat, baunya Jarang digunakan tunggal, harus


manis, tidak iritasi, tidak disertai O2 minimal 25%, anestetik
terbakar. lemah, memudahkan hipoksia
difusi.

Halotan Baunya enak. Tidak Vasodilator serebral, meningkatkan


merangsang jalan nafas, aliran darah otak yang sulit
anestesi kuat dikendalikan, analgesik lemah.

Kelebihan dosis akan


menyebabkan depresi nafas,
menurunnya tonus simpatis,
hipotensi, bradikardi, vasodilator
perifer, depresi vasomotor, depresi
miokard.

Kontraindikasi gangguan hepar.


Paska pemberian menyebabkan
menggigil.

Enfluran Induksi dan pemulihan Pada EEG, menunjukkan kondisi


lebih cepat dari halotan. epileptik. Depresi nafas, iritatif,
Efek relaksasi terhadap depresi sirkulasi.
otot lebih baik

Isofluran Menurunkan laju meta- Meninggikan aliran darak otak dan


bolisme otak terhadap O2 TIK.

Desfluran Sangat mudah menguap, potensi


rendah. Simpatomimetik, depresi
nafas, me-rangsang jalan nafas
atas.

Sevofluran Bau tidak menyengat,


tidak merangsang jalan
nafas, kardiovaskular
stabil

G.  OBAT ANESTESI INTRAVENA

1. Natrium Tiopental (tiopental, pentotal)

2. Ketamin

3. Droperidol

4. Diprivan

H. OBAT ANESTESI REGIONAL/LOKAL

Obat anestesi regional/lokal adalah obat yang menghambat hantaran

saraf bila dikenakan secara lokal. Anestesi lokal ideal adalah yang tidak

mengiritasi atau merusak jaringan secara permanen, batas keamanan lebar,

mula kerja singkat, masa kerja cukup lama, larut dalam air, stabil dalam

larutan, dapat disterilkan tanpa mengalami perubahan, dan efeknya

reversibel. Obat anestesianya yaitu lidokain dan bupivikain.

I. INTUBASI TRAKEA

Intubasi trakea adalah tindakan memasukkan pipa endotrakeal

ke dalam trakea sehingga jalan napas bebas hambatan dan napas

mudah dibantu atau dikendalikan. Ekstubasi trakea adalah tindakan

pengeluaran pipa endotrakeal.

Tujuan
Pembersihan saluran trakeobronkial, mempertahankan jalan

napas agar tetap paten, mencegah aspirasi, serta mempermudah

pemberian ventilasi dan oksigenisasi

Indikasi
Tindakan resusitasi, tindakan anestesi, pemeliharaan jalan napas, dan

pemberian ventilasi mekanis jangka panjang.

3. Peralatan

Sebelum mengerjakan intubasi trakea, dapat diingat kata STATICS

S : scope, laringioskop dan stetoskop

T : tubes, pipa endotrakeal

A : airway tubes, pipa orofaring/nasofaring

T : tape, plester

 I : introducer, stilet, mandrin

C: connector, sambungan-sambungan

S : suction, penghisap lendir

Komplikasi

a. Komplikasi tindakan laringioskopi dan intubasi:

1) Malposisi: intubasi esofagus, intubasi endobronkial, 

malposisi laryngeal cuff.

2) Trauma jalan napas: kerusakan gigi, laserasi bibir, lidah, 

atau mukosa mulut, cedera tenggorokan, dislokasi 

mandibula, dan diseksi retrofangeal.

3) Gangguan refleks: hipertensi, takikardi, tekarian 

intrakranial meningkat, tekanan intraokular meningkat, 

dan spasme laring.

4) Malfungsi tuba: perforasi cuff.

b. Komplikasi pemasukan pipa endotrakeal:

1) Malposisi: ekstubasi yang terjadi sendiri, intubasi ke  

endobronkial, malposisi laringeal cuff.


2) Trauma jalan napas: inflamasi dan ulserasi mukosa, serta 

ekskoriasi kulit hidung.

3) Malfungsi tuba: obstruksi.

c. Komplikasi setelah ekstubasi:

1) Trauma jalan napas: edema dan stenosis (glotis, subglotis, 

atau trakea), suara serak/ parau (granuloma atau paralisis 

pita suara), malfungsi dan aspirasi laring.

2) Gangguan refleks: spasme laring.

Penentuan ukuran ETT

Usia Diameter Skala French Jarak sampai bibir

Prematur 2,0-2,5 10 10 cm

Neonatus 2,5-3,5 12 11 cm

1-6 bulan 3,0-4,0 14 11 cm

0,5-1 tahun 3,5-3,5 16 12 cm

1-4 tahun 4,0-5,0 18 13 cm

4-6 tahun 4,5-5,5 20 14 cm

6-8 tahun 5,0-5,5 22 15-16 cm

8-10 tahun 5,5-6,0 24 16-17 cm

10-12 tahun 6,0-6,5 26 17-18 cm

12-14 tahun 6,5-7,0 28-30 18-22 cm

Dewasa wanita 6,5-8,5 28-30 20-24 cm

Dewasa pria 7,5-10,0 32-34 20-24 cm

Cara memilih pipa trakhea untuk bayi dan anak kecil

a. Ф dalam pipa trakheal (mm) = 4,0 + ¼ umur (thn)


b. Panjang pipa oro trakheal (cm) = 12 + ½ umur (thn)
c. Panjang pipa nasotrakheal (cm) = 12 + ½ umur (thn)
. INTUBASI PADA OPERASI DARURAT
Pada operasi darurat dilakukan induksi cepat (crush induction) untuk

mencegah aspirasi selama tindakan intubasi. Diindikasikan terutama pada

pasien dengan lambung penuh. Selain peralatan intubasi dipersiapkan pula alat

penghisap dan pipa lambung. Pasien dipersiapkan dalam posisi setengah duduk

atau telentang dengan posisi kepala lebih rendah.

Awali dengan pemberian O2 100% (praoksigenisasi) selama 3-5 menit

kemudian obat pelumpuh otot nondepolarisasi ¼ dosis (prekurarisasi).

Suntikan obat induksi cepat diberikan sampai refleks bulu mata hilang. Tulang

krikoid ditekan ke arah posterior(Sellick manouver) dan kemudian obat

pelumpuh otot depolarisasi diberikan dengan dosis 1,5-2 kali dosis normal.

Setelah itu baru dilakukan tindakan laringioskopi dan intubasi. Bila pipa

endotrakeal telah masuk, balon pipa (cuff) segera dikembangkan

J. POSISI PASIEN DI MEJA OPERASI

Posisi pasien di meja operasi bergantung pada prosedur operasi yang

akan dilakukan juga pada kondisi fisik pasien. Faktor-faktor yang perlu

diperhatikan adalah sebagai berikut:

1. Pasien harus dalam posisi senyaman mungkin, apakah ia tetidur atau

sadar.

2. Area operatif harus terpajan secara adekuat.

3. Pasokan vascular tidak boleh terbendung akibat posisi yang salah.

4. Pernapasan pasien harus bebas dari gangguan tekanan lengan pada

dada atau konstriksi pada leher dan dada yang disebabkan oleh gaun.

5. Saraf harus dilindungi dari tekanan yang tidak perlu. Pengaturan posisi

lengan, tangan, tungkai, atau kaki yang tidak tepat dapat

mengakibatkan cedera serius atau paralisis. Bidang bahu harus

tersangga dengan baik untuk mencegah cedera saraf yang tidak dapat

diperbaiki, terutama jika posisi Trendelenburg diperlukan.


6. Tindak kewaspadaan untuk keselamatan pasien harus diobservasi,

terutama pada pasien kurus, lansia atau obes.

7. Pasien membutuhkan restrain tidak keras sebelum induksi, untuk

berjaga-jaga bila pasien melawan

.
.
K. HIPOTERMIA

Hipotermia adalah keadaan dimana suhu tubuh di bawah batas normal

fisiologis (36,6 - 37,5°C). Hipotermia yang tidak diinginkan mungkin dialami

oleh pasien sebagai akibat suhu yang rendah diruang operasi, infuse denga

cairan yang dingin, inhalasi gas-gas yang dingin, kavitas atau kula terbuka

pada tubuh, aktivitas otot yang menurun, usia lanjut atau agens obat-obatan

yang digunakan.

Penanganan hipotermi antara lain dengan membuat suhu lingkungan

dalam ruang operasi diataur pada suhu 25° - 26,6°C. Cairan intravena dan

irigasi dihangatkan sampai 37°C. Gaun dan selimut basah diganti dengan

yang kering, karena gaun dan selimut yang basah memperbesar kehilangan

panas.

Diperlukan pemantauan suhu inti tubuh, haluaran urin, EKG, tekanan

darah, gas darah dalam ateri, dan serum elektrolit yang cermat. Perhatikan

terhadap penatalaksanaan hiportemi meluas hingga keperiode pascaoperatif

untuk mencegah kehilangan nitrogen yang signifikan dan katabolisme.

Pengobatan mencakup pemberian oksigen, hidrasi yang adekuat, dan nutrisi

yang sesuai. Kehilangan panas pada pasien lansia di rung operasi dapat

dicegah dengan menutupi kepala pasien mengguanakn topi penahan panas

selama anestesi, jaga suhu ruangan operasi harus dipertahankan pada 26,6oC.

Larutan antiseptic yang digunakan dalam persiapkan awal kulit sebelum

pemasangan selimut harus cukup hangat, dan bukan yang dingin.


L. HIPERTERMIA MALIGNA SELAMA ANASTESI UMUM

Hipertermia maligna adalah gangguan otot yang diturunkan yang

secara kimiawi diinduksikan oleh anestetik. Selama anastesi agen protein

seperti anastesi inhalasi dan relaksan otot dapat memicu gejala hipertermi

maligna. Medikasi seperti simpatomimetik, teofilin, aminofilin, dan glikosida

jantung dapat juga menginduksi atau mengeluarkan reaksi tersebut, proses ini

diawali oleh setres.

Patofisiologi ini berkaitan dengan aktivitas sel-sel otot. Sel-sel otot

terdiri atas cairan bagian dalam dan membrane bagian terluar. Kalsium, suatu

factor penting dalam proses kontraksi otot, normalnya disimpan dalam froses

kontraksi otot, kalsiu dilepaskan sehingga memungkinkan terjadinya

kontraksi otot, hipertermia, dan kerusakan pada system saraf pusat. Dengan

angka moralitas yang melebihi 50%, mengidentifasikan pasien yang beresiko

adalah penting penting.

Manifestasi klinis; gejala awal hipertermia maligna adalah yang

berkaitan dengan aktivitas kardiovaskuler dan muskuloskletal. Takikardi

sering merupakan tanda dini. Selain takikardi, silmulasi saraf sinpatis

mengarah pada disrima ventikuler, hipotensi, dan penurunan curah jantung,

oliguria, dan selanjutnya henti jantung. Dengan transport kalsium yang

abnormal, kekakuan atau gerakan seperti tetani yang sering terjadi pada

rahang. Kenaikan suhu tubuh sebenarnya adalah tanda lanjut yang terjadi

dengan cepat, dan dapat meningkat 1oC setiap 5 menit.

Hipotensi arteri yang serius dapat terjadi ketika pasien digerakkan dari

satu posisi ke posisi lainya, seperti dari posisi litotomi keposisi hozontal, dari

lateral ke posisi terlentang. Bahkan memindahklan pasien yang telah

dianestesi ke brankar dapat menimbulkan masalah. Jadi pasien harus

dipindahkan secara perlahan lahan dan secara cermat.


M. UNIT PERAWATAN PASCA ANESTESIA

Setelah operasi selesai pasien dibawa ke ruang pemulihan (recovery

room) atau keruang perawatan intensif (bila ada indikasi). Secara umum,

ekstubasi terbaik dilakukan pada saat pasien dalam anestesi ringan atau sadar.

Di ruang pemulihan dilakukan pemantauan keadaan umum, kesadaran,

tekanan darah, nadi, pemapasan, suhu, sensibilitas nyeri, perdarahan dari drain,

dan lain-lain.

Kriteria yang digunakan dan umumnya yang dinilai adalah warna kulit,

kesadaran, sirkulasi, pemapasan dan aktivitas motorik, seperti ALDRETTE

SCORE atau BROMAGE SCORE. Pasien yang masih terpengaruh anestesi

atau yang pulih dari anestesi ditempatkan RR untuk kemudahan akses ke

Perawat yang disiapkan dalam merawat pasien pascaoperatif segera, Ahli

anestesi dan ahli bedah, Alat pemantau dan peralatan khusus medikasi dan

penggantian cairan.

Sasaran pelaksanan PACU adalah untuk memberikan perawatan

sampai pasien pulih dari efek anestesi (sampai kembalinya fungsi motorik dan

sensorik), terorientasi, mempunyai tanda vital yang stabil, dan tidak

memperlihatkan tanda-tanda hemoragik.

8. Informasi spesifik tentang siapa ahli bedah atau anestesi yang akan
diberitahukan
DAFTAR PUSTAKA
Latief, A. Said, dkk. Anestesiology. Jakarta: FKUI. 2009
Ganiswarna, Sulistia. Farmakologi dan Terapi. Jakarta: FKUI. 1995
Tjay, Tan Hoan. Obat-Obat Penting. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo.
2002

Anda mungkin juga menyukai