Disusun oleh :
Arinda Rizky Febyantari
135070200111011
2. Etiologi
Faktor-faktor etiologi terbanyak yang berkaitan dengan karsinoma sel skuamosa
ialah pemakaian tembakau, konsumsi alkohol dan virus-virus (kurang jelas). Termasuk
tembakau yang dibakar maupun yang tidak dibakar, seperti dihirup dan mungkin juga,
sirih yang dikunyah (kebiasaan di India, Myanmar dan Pakistan). Walaupun sebagian
besar penderita perokok dan peminum alkohol, sebanyak 10% penderita karsinoma sel
skuamosa tidak mengaku menggunakan tembakau atau alkohol; orang-orang ini
cenderung pria atau wanita yang lebih tua (Suzanne, 2004).
3. Epidemiologi
Lebih dari 90% kanker rongga mulut adalah kanker sel skuamosa. Setiap tahun
kurang dari 3% kejadian kanker terjadi di Amerika Serikat, di negara-negara
berkembang jumlah tersebut lebih besar lagi dan lebih banyak terjadi pada pria daripada
wanita dengan perbandingan 6:1 pada tahun 1950, dan 2:1 pada tahun 1997.
perubahan tersebut dikarenakan peningkatan jumlah perokok wanita pada 3 dekade
terakhir. (Corwin Elizabeth, 2000)
Pada negara berkembang terdapat peningkatan jumlah penderita dibawah usia
40 tahun, hal ini dikarenakan meningkatnya perubahan genetik pada populasi dewasa
muda dan perubahan zat karsinogenik penyebab kanker tersebut (Corwin Elizabeth,
2000).
4. Faktor Resiko
Faktor risiko yang terkait dengan perkembangan karsinoma sel skuamosa, meliputi
hal-hal berikut:
1. Faktor Genetik: Seseorang yang memiliki riwayat keluarga menderita kanker
memiliki risiko terkena kanker sebanyak 3 sampai 4 kali lebih besar dari yang
tidak memiliki riwayat keluarga menderita kanker.
2. Usia tua lebih dari 50 tahun.
3. Jenis kelamin laki-laki. Laki-laki leih cenderung mengalami karsinoma sel
skuamosa dibanding wanita, karena pajanan terhadap UV yang lebih besar
4. Kulit putih terang, rambut pirang atau coklat terang, mata hijau, biru, atau abu-
abu. Queensland, Australia, memiliki angka kejadian kanker kulit tertinggi di
dunia karena jumlah pajanan UV yang tinggi dan kebanyakan peduduknya
adalah orang Inggris atau Irlandia yng mempuya kulit sensitif UV
5. Kulit yang mudah mengalami luka bakar akibat sinar matahari (jenis Fitzpatrick I
dan II)
6. Geografi (lebih dekat ke katulistiwa)
7. Sejara kanker kulit nonmelanoma sebelumnya. Sekali terkena karsinoma sel
skuamosa, ada kemungkinan untuk seseorang tersebut terkena kanker
karsinoma sel skuamosa kembali
8. Paparan sinar UV matahari dengan kumulatif tinggi
9. Paparan karsinogen kimia (misalnya Arsen, Tar, merokok) 75% dari seluruh
kanker mulut dan faring di Amerika Serikat berhubungan dengan penggunaan
tembakau yaitu termasuk merokok dan mengkonsumsi alkohol. Penggunaan
alkohol dengan rokok bersama-sama secara signifikan memiliki resiko yang lebih
tinggi daripada digunakan secara terpisah. Merokok cerutu dan merokok
menggunakan pipa mempunyai resiko yang lebih tinggi terhadap kanker mulut
dibandingkan dengan merokok kretek
10. Imunosupresi kronis.
11. Infeksi Human Papiloma Virus (HPV)
5. Manifestasi Klinis
Karsinoma sel skuamosa invasif secara klinik ditandai lesi yang ulseratif dan
induratif. Sering daerah ulserasi menunjukkan tepi melingkar, melipat dan mukosa yang
berdekatan dapat menunjukkan batas-batas yang tampak leukoplakia dan atau
eritroplakia. Bila kelenjar servikal yang terkena metastasis sudah mencapai dimensi
cukup besar, dapat diraba, membengkak dan melekat (berbeda dengan limadenopati
yang dapat digerakkan, lunak dan nyeri tekan bila sebagai akibat penyakit radang).
Secara mikroskopik, karsinoma skuamosa menunjukkan sarang- sarang dan
pulau-pulau sel epitel invasif dengan berbagai derajat diferensiasi (misalnya
keratinisasi). Stroma jaringan ikat biasanya memiliki infiltrasi sel-sel radang
mononuklear. Derajat radang dapat merupakan ukuran reaktivitas imun terhadap
antigen-antigen tumor. Beberapa penelitian menunjukkan prognosis lebih baik pada
tumor-tumor dengan radang hebat.
6. Patofisiologi
(Terlampir)
7. Pemeriksaan Diagnostik
Diagnosa ditegakkan melalui pemeriksaan klinis dan pemeriksaan mikroskopis
melalui biopsi. Seringkali, biopsi ditunda karena keputusan dari dokter maupun pasien,
terdapat infeksi atau iritasi lokal. Tetapi, penundaan tersebut tidak boleh lebih dari 3-4
minggu. Kadang, luasnya lesi menyulitkan untuk melakukan biopsi yang tepat untuk
membedakan displasia atau kanker. Oleh sebab itu tambahan penilaian klinis lainnya
dapat membantu mempercepat biopsi dan memilih daerah yang tepat untuk melakukan
biopsi. Penggunaan cairan toluidine blue sangat berguna sekali, karena keakuratannya
(lebih dari 90%), murah, cepat, sederhana dan tidak invasif. (Corwin, 2000)
Mekanisme kerjanya dengan afinitas atau menempelnya toluidine blue dengan
DNA dan sulfat mukopolisakarida, sehingga dapat dibedakan apakah terjadi displasia
atau keganasan dengan epitel yang normal dan lesi jinak. Toluidine blue berikatan
dengan membran mitokondria , dimana terikat lebih kuat pada epitel sel displasia dan
sel kanker daripada dengan jaringan normal. (Corwin, 2000)
Sitologi eksfoliatif telah membantu dalam menentukan diagnosa. Namun,
kesulitan pengumpulan sel, waktu yang lama dan biaya yang mahal telah membatasi
penggunaannya. Teknik brush biopsy secara luas digunakan pada sitologi dengan
pengumpulan sel yang mewakili keseluruhan epitel berlapis skuamosa. Prosedurnya
tidak menyebabkan sakit, oleh sebab itu tidak perlu penggunaan anestetikum. (Corwin,
2000)
8. Penatalaksanaan Medis
Evaluasi yang cermat terhadap gejala dan simptom sangat penting, termasuk
didalamnya biopsi danfollow- up yang rutin. Pembedahan dilakukan dengan biopsi insisi
menggunakan skapel bila lesi berukuran 5 mm. Teknik ini cepat, tidak banyak merobek
jaringan dan hanya diangkat sedikit sampling. Apabila ukuran tumor kecil, dapat
dilakukan biopsi insisi ataupun eksisi, apabila sulit membedakan antara displasia
dengan karsinoma, dianjurkan menggunakan biopsi insisi. (Suzanne, 2004)
Jika hasil biopsi tersebut menunjukkan sel karsinoma skuamosa (terdapat invasi
sel displasia ke jaringan ikat), klinisi dapat merencanakan terapi kanker. Terapi yang
potensial diantaranya pembedahan atupun terapi radiasi. Kadang kemoterapi digunakan
sebagai tambahan, namun beberapa tumor kurang responsif terhadap kemoterapi.
Pemilihan terapi tergantung dari stadium kanker, stadium dini (kecil dan terlokalisasi),
stadium lanjut (besar dan menyebar). Evaluasi menggunakan teknik pencitraaan yang
lebih baik kualitasnya seperti MR (magnetic resonance) dan CT (computed tomography)
sangat dibutuhkan. Teknik terbaru yaitu menggunakan PET (positron emission
tomography), bisa menentukan metastase ke kelenjar limfe. Teknik ini berguna bagi
klinisi untuk membedakan batas dan rencana terapi, juga menentukan prognosisnya.
(Suzanne, 2004)
Follow-up berkala perlu dilakukan pada lesi prekanker, bahkan bila lesi tersebut
menghilang, dan bila terus berlanjut perlu dilakukan pembedahan. Pada tepi lesi yang
secara klinis dan mikroskopis terlihat normal, bisa menjadi permasalahan dan bisa
terjadi rekurensi. (Suzanne, 2004)
Penggunaan teknik laser sangat berguna pada terapi kanker dan dapat
mengontrol leukoplakia. Pencegahan menggunakan analog vitamin A (retinoid) dan
antioksidan lain (beta karoten, vitamin C, E) kurang efektif, berdasarkan teori,
antioksidan tersebut dapat membantu menjaga sel-sel tubuh dari radikal bebas, yang
merupakan promotor terjadinya mutagenesis kromosom dan karsinogenesis. Yang
menjadi permasalahan pada penggunaan antioksidan ini adalah toksisitasnya dan
rekurensinya ketika antioksidan ini tidak dilanjutkan. Efektifitas antioksidan tergantung
pada dosis, regimen dan individu pasien. (Suzanne, 2004)
Dapat pula dengan pendekatan nutrisional dengan diet kaya buah-buahan dan
sayur-sayuran, karena banyak mengandung antioksidan dan protein supresor-sel yang
membantu mengurangi aktifitas mutagenesis dan karsinogenesis. (Suzanne, 2004)
Pengenalan dan pengontrolan lesi pre-kanker efektif mengurangi angka morbiditas dan
mortalitas kanker mulut.
9. Komplikasi
Karsinoma sel skuamosa tidak diobati dapat merusak jaringan sehat di dekatnya,
menyebar ke kelenjar getah bening atau organ lainnya, dan dapat berakibat fatal,
meskipun hal ini jarang terjadi. Risiko karsinoma sel skuamosa agresif dapat
ditingkatkan dalam kasus di mana kanker: Sangat besar atau mendalam; Melibatkan
selaput lendir, seperti bibir; Terjadi pada orang dengan sistem kekebalan yang lemah,
seperti seseorang yang mengambil obat anti-rejection setelah transplantasi organ
Intervensi Rasional
1. Mengkaji tingkat nyeri, skala, 1. Nyeri tajam, intermitten sekitar
intensitas, lokasi dan daerah perdarahan
penyebarannya
2. Observasi TTV
2. Perubahan TTV yang signifikan
3. Berikan rasa nyaman (sentuhan, merupakan indikator nyeri
teraupetik) dan dorong 3. Untuk memberikan rasa nyaman
penggunaan teknik relaksasi dan mengurangi rasa nyeri
(latihan nafas dalam)
4. Kolaborasi pemberian obat
analgetik 4. Relaksasi dengan nafas dalam
mengurangi rasa nyeri dan memper-
lancar sirkulasi O2 ke seluruh tubuh.
b. Potensial terhadap resiko infeksi berhubungan dengan pertahanan primer tidak adekuat
Tujuan:
1) Luka sembuh dengan adekuat
2) Jaringan sekitar bersih, kering dan utuh
Kriteria hasil:
1) Adanya tanda-tanda infeksi seperti pus
2) Luka bersih tidak lembab dan tidak kotor
3) Tanda-tanda vital normal
Intervensi Rasional
1. Mengkaji adanya tanda-tanda 1. Mencegah secara dini tanda-tanda
infeksi seperti: kolor, rubor, dolor, infeksi dan untuk memudahkan
tumor dan functiolaesia tindakan selanjutnya
2. Observasi TTV 2. Peningkatan TTV merupakan salah
satu indikasi adanya infeksi
3. Menurunkan resiko kolonisasi
3. Bersihkan luka dengan teknik bakteri
septik dan aseptik 4. Antibiotik berguna utk menghambat
4. Kolaborasi pemberian antibiotik dan mencegah perkembangan
mikroorganisme penyebab infeksi
Intervensi Rasional
Suzzane C. Smeltzer, Brenda G. Bare. 2002. Keperawatan Medikal Bedah Vol.1.Jakarta : EGC.
Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia :
Jakarta.