Anda di halaman 1dari 41

Bedah Digestive

You are viewing a feed that contains frequently updated content. When you subscribe to
a feed, it is added to the Common Feed List. Updated information from the feed is
automatically downloaded to your computer and can be viewed in Internet Explorer and other
programs. Learn more about feeds.

Subscribe to this feed

studi prospektif penanganan sarkoma retroperitoneal di


rsud dr soetomo

13 Mei 2009, 14:37:28 | noreply@blogger.com (dr. Heru Seno, SpB, KBD)


BAB I
PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
Retroperitoneal sarkoma tumor merupakan kasus yang jarang terjadi, hanya berkisar 1-2 %
dari seluruh keganasan tumor padat. Sedangkan insidensi sarkoma terbanyak diluar
retroperitoneal yaitu di ekstremitas, hanya sekitar 10 % dari seluruh soft tissue sarkoma
adalah retroperitoneal sarkoma. Insidensi keseluruhan 0,3%-0,4% per 100.000 populasi .
Insidensi terbanyak pada dekade 5 kehidupan meskipun bisa terjadi pada semua usia1,2,3,4,5.
Berdasarkan asal jenisnya paling banyak terjadi adalah liposarkoma, leiomyosarkoma dan
malignant fibrous histiocytomas (MFH), akan tetapi saat ini dengan adanya pemeriksaan
immunohistokimia banyak pemeriksaan mengarah ke Leiomyosarkoma atau jenis
liposarkoma1,3,4,6,7.

Penderita cenderung datang terlambat, karena tumor berasal dari rongga retroperitoneal yang
memiliki rongga berpotensi besar dan dapat tumbuh besar tanpa keluhan kalaupun ada
keluhan yang tidak spesifik berupa nyeri perut dan rasa penuh dan keluhan yang tidak jelas.
Reseksi komplit dalam literatur bervariasi antara 38% - 74%, dengan rata-rata resektabilitas
komplit hanya 53%4,5,6,7,8. Faktor-faktor yang mempengaruhi prognosa diklasifikasikan
dalam tiga katagori antara lain5,7,9:
1. Faktor penderita, yang meliputi usia dan jenis kelamin.
2. Faktor tumor, yang meliputi tumor primer atau rekuren tumor, ukuran tumor, grading
patologi dari tumor.
3. Faktor riwayat terapi, yang meliputi radikalitas pembedahan, penggunaan ajuvant terapi
berupa radioterapi ataupun kemoterapi
Selama periode 2 tahun terdapat 21 penderita retroperitoneal sarkoma yang dilakukan
tindakan pembedahan di RSUD Dr. Soetomo tanpa mendapatkan ajuvant terapi berupa
radioterapi ataupun kemoterapi., kemudian dilakukan evaluasi faktor- faktor yang
mempengaruhi prognosa penderita.

1.2. PERUMUSAN MASALAH


Faktor-faktor apa saja yang berpengaruh terhadap prognosa penderita Retroperitoneal
sarkoma tumor yang berobat ke RSUD Dr. Soetomo selama periode 2007 sampai dengan
periode 2008
BAB II
TUJUAN PENELITIAN DAN MANFAAT
2.1. TUJUAN PENELITIAN
Evaluasi factor – factor yang mempengaruhi prognosa penderita retroperitoneal sarkoma
tumor yang berobat di RSUD Dr.Soetomo selama periode 2007 sampai dengan 2008
2.2. MANFAAT PENELITIAN
Diharapkan dengan mengetahui factor- factor prognosa penderita retroperitoneal sarkoma
tumor akan meningkatkan harapan hidup dan menurunkan angka residif penderita..

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1. DEFINISI
Sarkoma retroperitoneal adalah tumor ganas yang berasal dari sel-sel mesenkimal, yang
biasanya terdapat pada otot, lemak, dan jaringan ikat. Sarkoma retroperitoneal mempunyai
gambaran klinis yang bervariasi tergantung jenis histologisnya dan gradenya1,4,6,10. .
3.2. EPIDEMIOLOGI
Sarkoma jaringan lunak merupakan kasus yang jarang, dengan angka kejadian kurang lebih
8600 kasus baru ditemukan tiap tahunnya di USA-kurang dari 1% kasus baru yang
didiagnosa suatu keganasan. Sepertiga dari tumor ganas pada rongga retroperitoneum adalah
sarcoma dan 15% dari sarcoma jaringan lunak muncul di rongga retroperitoneum4,5,9,11.
Angka kejadian di Indonesia sampai saat ini belum didapatkan secara resmi akan tetapi
kemungkinan jumlah kasusunya lebih banyak dari catatan yang ada disebabkan tidak seluruh
penderita mendapatkan pengobatan difasilitas kesehatan yang memadai, ataupun juga karena
tidak berobat karena satu dan lain hal sehingga angka kejadiaanya tidak tercatat11.

3.3. KLASIFIKASI
Klasifikasi sebelum operasi biasanya berdasarkan pemeriksaan imaaging dan pemeriksaan
histopatologi, adapun pembagian yang biasa digunakan adalah sebagai berikut8,10,12 :

International Cancer Imaging Society


Histological grade (G)
G1 Well differentiated
G2 Moderately well differentiated
G3 Poorly or very poorly differentiated
Primary site (T)
T1 Tumor less than 5 cm in diameter
T1a Superficial tumor
T1b Deep tumor
T2 Tumor 5 cm or more in diameter
T2a Superficial tumor
T2b Deep tumor
N.B. Retroperitoneal and pelvic sarcomas are classified as deep
Tumors
Nodal involvement (N)
N0 No histologically verified metastases to lymph nodes
N1 Histologically verified regional lymph nodes
Distant metastasis (M)
M0 No distant metastases
M1 Distant metastases present
American Joint Committee staging of soft tissue sarcomas
Stage Classification Description
IA GI, T1, N0, M0 Grade 1 tumor, 60 Gy), dan EBRT dapat disertai komplikasi tinggi pasca
radiasi. Pemberitan brakiterapi intraoperatif pada lokasi sarkoma merupakan suatu
pendekatan alternatif yang dapat meningkatkan dosis radioterapi total37,38.
Pemberian radioterapi memperbaiki kontrol lokal dengan menghindarkan struktur penting,
yaitu ginjal, usus, dan hepar dari paparan radiasi. Adanya organ-organ ini membatasi dosis
radiasi yang dapat diberikan sebesar 45-50 Gy. Solusi untuk masalah ini adalah dengan
memberikan dosis radiasi tambahan intraoperatif. EBRT dapat diberikan preoperatif ataupun
postoperatif, dengan dosis umumnya antara 45-50 Gy untuk toleransi dari usus halus.
Radioterapi preoperatif memiliki keuntungan37,38:
(1) massa tumor mendesak & menggeser posisi organ abdomen sehingga membatasi paparan
terhadap organ abdomen dan meminimalkan toksisitas;
(2) dosis radiasi preoperatif dapat lebih efektif dibanding dosis yang sama postoperatif karena
terapi postoperasi melibatkan tumor bed yang potensial dalam keadaan hipoksia;
(3) dosis preoperatif dapat mengurangi ukuran tumor yang harus direseksi dan mengubah
resektabilitas tumor yang sebelumnya tidak resektabel;
(4) dosis preoperatif dapat mengurangi kemungkinan penyebaran tumor ke retroperitoneum
atau abdomen selama tindakan reseksi;
(5) menentukan daerah tumor pada CT scan lebih mudah preoperatif dibandingkan
postoperatif.

3.5.2.3. Brakiterapi intraoperatif (IOBRT)


Pemberian Brakiterapi intraoperatif dilakukan dengan insisi abdominoinguinal untuk akses
retroperitoneal pada tumor kuadran bawah atau laparotomi median untuk tumor pada
abdomen bagian tengah. Setelah eksplorasi dan reseksi tumor, penderita dievaluasi untuk
kelayakan IOBRT yaitu37,38:
(1) Keadaan umum yang baik,
(2) Hemoglobin > 9g/dL,
(3) Ketiadaan penyakit multifokal,
(4) Pembedahan radikal secara makroskopis,
(5) Tidak adanya kontraindikasi teknis yang meliputi pembuluh darah besar pada bidang
iradiasi potensial .
IOBRT sebagai radiasi dosis tinggi atau sinar elektron, memberikan hasil yang sebanding
dengan EBRT untuk kontrol lokal dari sarkoma derajat tinggi. IOBRT memberi radioterapi
dosis tinggi pada daerah resiko tinggi sementara jaringan sehat dihindarkan dari radiasi.
Keunggulan teoretis IOBRT meliputi pandangan a vue pada daerah terapi, sehingga dapat
diberi kontrol lebih baik untuk dosis. IOBRT diberikan dengan sumber laju dosis tinggi
Gammamed 12i dengan iridium 192 sebagai sumber radiasi dengan aktivitas nominal 10Ci.
Alat aplikator dimasukkan dalah jaringan tumor dan area iradiasi ditandai dengan klip
titanium. Setelah aplikator difiksasi, lokasi dipastikan dengan fluoroskopi. Radiasi 20 Gy
dosis tunggal diberikan pada volume terapi dengan kedalaman 1 cm.

3.5.2.3. Peran EBRT dan IORT Pada Penanganan Sarkoma Retroperitoneal


Peranan EBRT dan IORT telah diteliti dapat dilakukan dalam jumlah besar dan memiliki
tingkat toksisitas yang dapat diterima. Penderita yang mendapat IORT mengalami toksisitas
kronis yang lebih rendah. Meskipun peran EBRT dan IORT belum dipelajari secara pasti
dalam uji klinis acak, tetapi dapat diasumsikan bahwa terapai radiasi memberikan kontrol
lokal dengan toksisitas yang dapat diterima. Penambahan terapi radiasi dengan modulasi
intensitas pada komponen EBRT dapat mengurangi morbiditas dengan membatasi dosis
terapi pada usus, ginjal, hepar dan korda spinalis. Toksisitas yang membatasi dosis IORT
adalah neurotoksisitas, yang timbul jika dosis yang diberikan lebih dari 15 Gy. Toksisitas
lambat ureter terkadang timbul saat ureter berada dalam daerah dosis tinggi. Penggabungan
dua dosis IORT meningkatkan resiko toksisitas pada daerah yang berpotongan. Selain IORT
elektron, IORT laju dosis tinggi juga merupakan pilihan untuk memberikan dosis tambahan
radiasi terlokalisir intraoperatif37,38.

3.5.2.4 Kemotherapi
Peran kemoterapi dalam tatalaksana sarkoma retroperitoneal masih dalam penelitian.
Penelitian terkini melaporkan pemberian gabungan adriamisin intravena bersamaan dengan
raioterapi preoperatif, dilanjutkan dengan reseksi dan IORT.. Kombinasi yang diberikan pada
umumnya terfokus pada tumor yang timbul pada ekstremitas. Penelitian – penelitian yang
memasukan soft tissue sarkoma pada semua tempat, sarkoma retroperitoneal meliputi
sebagian kecil dari semua tumor yang ditherapi17,19.
Kolaborasi sarkoma meta analisis mengevaluasi 19 penelitian tentang adjuvan khemotherapi
dengan smpel 1568 pasien dengan tumor soft tissue sarkoma yang lokal resektabilitas, analisa
ini mengungkapkan peningkatan sedikit (10 %) pada laju angka harapan bebas tumor
denganm tambahan adjuvan khemotherapi terhadap operasi. Hasil akhir nya regiment therapi
telah berubah, untuk menggunakan regiment dosis tinggi yang telah diobservasi menunjukan
laju respon yang lebih tinggi bagaimanapun juga penelitian ini tidak memfokuskan pada
sarkopma retroperitoneal dan hal ini belum diketahui apakah kita dapat menjadikan hasil
penelitian soft tissue sarkoma pada semua tempat dan ekstremitas. Sejak penggunaan
adjuvant khemotherapi untuk sarkoma retroperitoneal masih dalam tahap penelitian,
kecenderungan saat ini adalah agar pemberian khemotherapi adjuvant untuk soft tissue
sarkoma dibawah protokol regiment yang ketat atau dalam konteks prospektif klinikal triall
dan khemo neo adjuvant atau preoperatif mungkin mungkin ada keuntungan praktis
dibanding khemotherapi post operasi , bukan karena apakah hal ini ada kemampuan monitor
respon dan merubah atau menghentikan therapi pada pasien yang sepertinya tidak membawa
keuntungan. Bagaimanapun juga penelitian ranpdomised tidak secara langsung
membandingkan khemotherapi preops dan post operasi untuk sarkoma retroperitoneal
sarkoma17,19.

3.6. Faktor Prognosis


Identifikasi dari factor prognosis berbeda dari satu studi terhadap studi yang lain.
Berdasarkan pengalaman dalam menangani retroperitoneal sarkoma, grade, ukuran dan
subtype pada tumor, penyebaran dan reseksi total dan subtotal , teknik operasi, fenomena
biologis, dan lokasi anatomi tumor dapat mempengaruhi prognosa pasien. Diagnosis pada
tumor ini sering tertunda karena gejala diawal asimptomatik. Tanda-tanda yang paling umum
dari penyakit ini meliputi massa abdomen yang palpable (40-90%), nyeri abdomen atau nyeri
punggung (30-75%). Adapun CTscan dan USG sering sangat membantu untuk mencegah
misdiagnosis penyakit ini16,17,19.
Angka harapan hidup jangka panjang dari pasien dengan RPS berhubungan dengan
kelengkapan reseksi secara bedah. Pada pasien ketidaklengkapan reseksi dan tidak
dilakukannya reseksi biasanya berhubungan dengan keterlibatan pembuluh-pembuluh darah
besar mesenterium, metastase jauhdan invasi pada medulla spinalis. Ukuran RPS lebih dari
diameter 15 cm dapat mempengaruhi pembuluh darah dan organ yang berhubungan,
menghasilkan kesulitan tambahan dalam reseksi dan menurunkan angka harapan hidup. RPS
mengindikasikan perlunya manajemen bedah agresif selama ini yang dikenal. Pengalaman
kebanyakan operasi dikerjakan dengan insisi median, akses langsung ke tumor, merupakan
ekstensi yang mudah langsung ke tumor dan mudah mengontrol pendarahan dari pembuluh-
pembuluh darah di dasar. Untuk menyediakan ruang yang cukup untuk operasi, dibuat
kombinasi insisi transverse dan oblik. Insisi ini termasuk “L” atau “L terbalik dan “T” bentuk
dapat menurunkan perdarahan dan kerusakan pada organ lain. Tambahan, rekonstruksi
pembuluh darah besar sehubungan dengan reseksi neoplasma tidak sering digunakan tetapi
cara pembedahan agresif dengan reseksi vascular dan replacemen vaskuler prostetik
dianjurkan pada kasus tertentu.Selebihnya bypass temporer dapat dilakukan pada
rekonstruksi dari aorta infra-renal dan vena cava setelah reseksi. Sehubungan dengan sulitnya
pembedahan dan penentuan batas negative secara mikroskopis, ada kemungkinan hidup dapat
terus berlangsung dengan transplantasi organ. Reseksi ekstensif dengan pengangkatan organ
dapat menurunkan angka kekambuhan local. Beberapa peneliti menganjurkan nefrektomi
untuk sebagian pasien, walaupun hanya sebagian kecil ginjal yang terkena. Oleh karena itu
mempertimbangkan kemungkinan reseksi total pada operasi adalah masalah utama yang
harus ditangani17,18,19.
Pada laporan Heslin, grade RPS bukan factor predictor yang signifikan untuk survival, namun
pada studi-studi lainnya pasien dengan RPS grade tinggi mempunyai angka rata-rata survival
yang lebih rendah secara bermakna dibandingkan dengan tumor grade rendah. Secara
histology, subtype RPS liposarkoma berkaitan dengan rekurensi local dan kebanyakan angka
metastase rendah. Secara anatomi ada kemiripan antara tumor dengan diferensiasi yang baik
dengan jaringan lemak yang normal, mempersulit pemindahan seluruh jaringan liposarkoma.
Insiden metastase jauh lebih tinggi secara signifikan pada pasien dengan leiomyosarcoma,
sub tipe muncul dari vena dan disrupsi tumor. Angka rata-rata survival 5 tahun dengan
leiomyosarcoma retroperitoneal rata-rata hanya 20 %17,18,19.
Jika tidak didapatkan metastasis, pembedahan adalah pilihan terapi untuk retroperitoneal
sarkoma yang mengalami rekurensi lokal. Banyak penelitian menunjukkan bahwa pada
pasien yang mengalami rekurensi yang kemudian dapat dilakukan reseksi total menunjukkan
peningkatan angka disease-free survival. Penggunaan kemoterapi atau radiasi pada terapi
pembedahan untuk rekurensi lokal masih diperdebatkan. Dalam kasus rekurensi terapi
adjuvan setelah reseksi harus dipertimbangkan. Pada semua pasien yang sebelumnya sudah
menerima kemoterapi. Dosis ifosfamide yang lebih besar (12-14 g/m2) berhubungan dengan
respon objektif pada pasien yang mengalami kegagalan / kemajuan setelah kemoterapi
dengan ifosfamide dosis rendah. Toksisitas ifosfamide dalam rentang dosis ini memandatkan
penyeleksian pasien dengan hati-hati dan mengeksklusi pasien usia tua serta pasien dengan
gangguan fungsi ginjal. Belakangan ini kombinasi gemcitabine dan docetaxel diasosiasikan
dengan angka respon objektif yang tinggi, bahkan pada pasien yang awalnya diterapi
doxorubicin + ifosfamide. Regimen ini lebih efektif pada pasien leiomyosarcoma, tapi juga
berespon pada subtipe histologis lain17,18,19.
Uji coba klinis meninggalkan pilihan yang layak untuk pasien metastase sarkoma sofá tissue
pada semua subtipe histologis. Pendekatan baru pada desain uji coba klinis juga berharga
terhadap explorasi , memberikan interaksi potencial dari macam obat, tipe, dosis, dan jadwal
pada subtipo histologis dan terapi awal17,18,19.

BAB IV
PASIEN DAN METODE
4.1. PASIEN
Dua puluh satu penderita retroperitoneal sarkoma tumor yang berobat ke RSUD Dr. Soetomo
dan dilakukan tindakan pembedahan dilakuakan evaluasi factor –faktor prognosa selama
periode 2007 sampai dengan 2008 setelah dilakukan pemeriksaan klinis lengkap,
pemeriksaan CT Scan abdomen dengan contras, FNAB, tindakan pembedahan dan hasil
patologi tumor estela pembedahan.
4.2. METODE
Studi ini menggunakan desain prospektif kohort dengan mengikuti dari awal dan periode
waktu yang lebih lama pada 21 kasus retroperitoneal sarkoma tumor periode 2007 sampai
dengan 2008 yang berobat di RSUD Dr.Soetomo
4.3. EVALUASI STAGING SETELAH PEMBEDAHAN
Paska operasi dilakukan evaluasi Faktor-faktor yang mempengaruhi prognosa
diklasifikasikan dalam tiga katagori antara lain:
1. Faktor penderita, yang meliputi usia dan jenis kelamin.
2. Faktor tumor, yang meliputi tumor primer atau rekuren tumor, ukuran tumor, grading
patologi dari tumor.
3. Faktor riwayat terapi, yang meliputi radikalitas pembedahan, penggunaan ajuvant terapi
berupa radioterapi ataupun kemoterapi

BAB V
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
5.1. HASIL PENELITIAN
Tabel 1. Karakteristik Penderita Retroperitoneal Sarkoma Tumor di RSUD dr. Sutomo
Uraian Karakteristik
Jumlah Penderita 21
Umur Penderita 27-64 tahun
Jenis Kelamin
Pria 12
Wanita 9
Dari table 1 terlihat terdapat 21 penderita retroperitoneal sarcoma tumor yang berobat ke
RSUD Dr Soetomo periode 2007 sampai 2008, dengan distribusi usia antara 27 sampai 64
tahun, 12 penderita pria dan 9 penderita wanita.
Tabel 2 Karakteristik Usia Penderita
Kelompok Usia Frekuensi
1 20-30 2
2 31-40 2
3 41-50 7
4 51-60 7
5 60-70 3
Total 21
Dari table 2 terlihat distribusi usia penderita retroperitoneal sarcoma tumor terbanyak usia
41sampai 50 tahun dan usia 51 sampai 60 tahun, dengan rata-rata usia 49,28 + 10,3 tahun
Tabel 3 Karakteristik Diameter Tumor Berdasarkan CT Scan Abdomen

Kelompok Frekuensi
0-5 cm 0
6-10 cm 1
11-15 cm 4
16-20 cm 8
21-25 cm 3
26-30 cm 4
31-35 cm 1
Total 21
Dari table 3 didapatkan ukuran tumor berdasarkan CT Scan abdomen penderita
retroperitoneal sarcoma tumor terbanyak berukuran antara 16 sampai 20 cm, tidak ada
penderita yang berobat dengan usuran tumor kurang dari 5 cm, dengan rata-rata ukuran tumor
adalah 20,2 + 6,2 cm
Tabel 4 Hasil FNAB Retroperitoneal Sarkoma Tumor
Hasil FNAB Guiding Frekuensi
Benign spindel mesenchymal tumor 3
Malignant spindle cell mesenchymal tumor 15
Lain-lain 3
Total 21
Dari table 4 didapatkan hasil FNAB guiding CT adalah Malignant spindle cell mesenchimal
tumor, Benign spindle mesenchimal tumor dan beberapa hasil FNAB tidak bisa diidentifikasi
jenis tumor setelah beberapa kali dilakukan pemeriksaan FNAB.

Tabel 5 Tumor Primer dan Residif


Jenis Tumor Frekuensi
Primer 19
Residif 2
Dari table 5 didapatkan 19 penedrita retroperitoneal sarcoma tumor merupakan tumor primer,
sedangkan 2 penderita merupakan residif local.

Tabel 6 Distribusi Jenis Operasi


Jenis Operasi Frekuensi
Reseksi 13
Debulking 4
Biopsi (unresectable) 3
Dari table 6 didapatkan setelah dilukan Laparotomi eksp0lorasi 13 penderita retoperitoneal
sarcoma tumor dapat dilakukan reseksi secara radikal, 4 penderita dilakukan debulking tumor
sedangkan 3 penderita hanya dilakukan incisional biopsy karena tumor tidak bias direseksi.

Tabel 7 Staging Tumor


Stage Frekuensi
Ia 0
Ib 0
IIa 8
IIb 7
IIc 2
III 2
IV 2
Dari table 7 didapatkan 19 penderita masih dalam stadium operasi( stadium I s/d stadium III),
sedangkan 2 penderita sudah tidak dalam stadium operasi (IV )

Tabel 8 Hasil Patologi Tumor


Patologi Frekuensi
Liposarkoma 9
Leiomiosarkoma 7
Fibrosarkoma 5
Total 21
Dari table 8 didapatkan hasil Patologi tumor setelah pembedahan terbanyak jenis
liposarkoma, kemudian leiomyosarkoma dan fibrosarkoma

Tabel 9 Derajat Differensiasi Tumor


Differensiasi Frekuensi
Well differentiated 13
Moderately Differentiated 4
Poorly Differentiated 3
Undifferentiated 1
Dari tabel 9didapatkan Hasil derajat diferentiated Patologi tumor setelah pembedahan derajat
well differentiated 13 penderita, moderately differentiated 4 penderita, poorly differentiated 3
penderita dan 1 penderta undifferentiated.
5.2. PEMBAHASAN
Sarkoma jaringan lunak merupakan kasus yang jarang, dengan angka kejadian kurang lebih
8600 kasus baru ditemukan tiap tahunnya di USA-kurang dari 1% kasus baru yang
didiagnosa suatu keganasan. Sepertiga dari tumor ganas pada rongga retroperitoneum adalah
sarcoma dan 15% dari sarcoma jaringan lunak muncul di rongga retroperitoneum. Angka
kejadian di Indonesia sampai saat ini belum didapatkan secara resmi akan tetapi
kemungkinan jumlah kasusunya lebih banyak dari catatan yang ada disebabkan tidak seluruh
penderita mendapatkan pengobatan difasilitas kesehatan yang memadai, ataupun juga karena
tidak berobat karena satu dan lain hal sehingga angka kejadiaanya tidak tercatat1,2,3,4,5.
Sarkoma retroperitoneal umumnya mencapai ukuran yang cukup besar sebelum
menimbulkan gejala bagi penderita dan sering terdeteksi karena adanya massa yang teraba
tanpa gejala lainnya.. Reseksi komplit dalam literatur bervariasi antara 38% - 74%, dengan
rata-rata resektabilitas komplit hanya 53%. Angka resektabilitas pada literatur rendah karena
pada sebagian besar operasi dilakukan dengan posisi terlentang dengan pendekatan irisan
garis tengah yang tidak memanfaatkan gaya gravitasi untuk penderita dengan tumor kuadran
atas ataupun flank. Seringkali strategi yang salah digunakan, contohnya berusaha
memisahkan massa tumor dari pembuluh darah besar retroperitoneal, sebagai penentu awal
resektabilitas. Hal ini merupakan kebijakan yang sekilas baik, tetapi dapat membawa ahli
bedah untuk menghentikan tindakan, karena memiliki resiko perdarahan yang tidak dapat
dihentikan. Strategi yang tepat untuk massa yang terletak di samping vasa retroperitoneal
adalah untuk memobilisasi dari sekitarnya, baik dari anterior, lateral dan posterior kemudian
sebagai langkah terakhir memisahkan dari aorta atau vena cava inferior. Dalam pengalaman
satu penulis, resektabilitas keseluruhan untuk sarkoma retroperitoneal primer dan rekuren
lokal adalah 95%, dengan kesintasan (survival) 5 tahun & 10 tahun mencapai 65% dan 56%
untuk sarkoma retroperitoneal. Pada sarkoma retroperitoneal rekurensi lokal kesintasan
mencapai 53% dan 34%. Masalah utama sarkoma retroperitoneal adalah rekurensi lokal
setelah suatu reseksi yang tampaknya komplit adalah kesulitan mendapatkan tepi yang lebar
di seluruh tepi tumor3,5,7,. Angka rekurensi lokal mencapai 42% untuk tumor primer dan
51% untuk penderita dengan rekurensi lokal. Angka rekurensi lokal meningkat dengan
lamanya periode follow up4,5,7,8. Angka rekurensi lokal menurun dengan radiasi
pascaoperasi. Penderita tanpa rekurensi lokal selama masa periode follow up memiliki
survival yang lebih baik. Reseksi luas menurunkan angka rekurensi lokal dibandingkan
reseksi lokal (39% vs 63%). Perbedaan survival antara eksisi lokal dan eksisi luas tidak dapat
dijelaskan dari perbedaan grade tumor7,8,9. Pada umumnya diterima bahwa reseksi luas
menurunkan angka rekurensi lokal dibandingkan eksisi lokal, tetapi hal ini masih
memerlukan penelitian lebih lanjut17,18.
. Sampai saat ini para ahli masih mencoba mengembangkan terapi yang optimal berkaitan
dengan struktur yang terkena dan resiko terjadinya residif lokal. Prognosa penderita ini
kurang baik, dilaporkan angka kematian keseluruhan selama 5 tahun antara 15%-50%.
Pembedahan merupakan terapi utama dan memiliki prognosa yang lebih baik setelah reseksi
tumor yang radikal. Retroperitoneal sarkoma memiliki prognosa yang lebih buruk
dibandingkan dengan sarkoma pada ekstremitas.5,6
Sarkoma retroperitoneal akan tumbuh membesar sebelum menimbulkan keluhan klinis dan
akan mengenai struktur organ vital yang akan mempersulit suatu tindakan pembedahan yang
radikal. Pada umumnya sulit untuk melakukan pembedahan yang radikal karena letak
anatomisnya. Berdasarkan data yang ada reseksi secara radikal hanya dapat dilakukan pada
setengah penderita. Pada penderita yang tidak dapat dilakukan reseksi yang radikal, angka
residif lokalnya sangat tinggi. Faktor-faktor yang mempengaruhi prognosa diklasifikasikan
dalam tiga katagori antara lain 1,3,4,6:
1. Faktor penderita, yang meliputi usia dan jenis kelamin.
2. Faktor tumor, yang meliputi tumor primer atau rekuren tumor, ukuran tumor, grading
patologi dari tumor.
3. Faktor riwayat terapi, yang meliputi radikalitas pembedahan, penggunaan ajuvan terapi
berupa radioterapi ataupun kemoterapi
Retroperitoneal sarkoma tumor merupakan kasus yang jarang terjadi, hanya berkisar 1-2 %
dari seluruh keganasan tumor padat. Insidensi sarkoma terbanyak diluar retroperitoneal
adalah di ekstremitas, hanya sekitar 10 % dari seluruh soft tissue sarkoma adalah
retroperitoneal sarkoma. Insidensi keseluruhan adalah 0,3%-0,4% per 100.000 populasi dan
insidensi terbanyak terjadi pada dekade 5 kehidupan, meskipun bisa terjadi pada semua usia.
Berdasarkan asal jenisnya paling banyak terjadi adalah liposarkoma, leiomyosarkoma dan
malignant fibrous histiocytomas (MFH), akan tetapi saat ini dengan adanya pemeriksaan
immunohistokimia banyak pemeriksaan mengarah ke leiomyosarkoma atau jenis
liposarkoma1,2,3,4,5.
Pada pasien kami didapati usia rata-rata penderita adalah 49,28 tahun dan pria lebih banyak
dari wanita, sesuai dengan literatur biasanya pada dekade ke5 kehidupan sedangkan jenis
kelamin secara umum tidak ada perbedaan yang bermakna1,2,3,4,5. Kesulitan pertama pada
penanganan retroperitoneal sarkoma tumor yang berobat di RSUD Dr Soetomo adalah ukuran
tumor yang besar, umumnya penderita datang dengan ukuran tumor lebih dari 20 cm
berdasarkan diameter CT Scan abdomen, akibatnya kesulitan untuk melakukan reseksi tumor
secara radikal bahkan pada beberapa penderita sudah didapati metastase jauh sehingga tidak
dapat dilakukan reseksi tumor dan hanya dilakukan incisional biopsi (3 kasus) sedangkan
pada 4 penderita tidak dapat dilakukan reseksi tumor secara radikal hanya dilakukan
debulking tumor, dua penderita yang residif sebelumnya telah dilakukan pembedahan diluar
RSUD Dr Soetomo setelah mengalami rekurensi baru dirujuk.
Semua penderita retroperitoneal sarkoma yang berobat ke RSUD DR Soetomo dilakukan
pemeriksaan FNAB dengan panduan CT Scan dengan hasil Benign mesenchimal tumor 3
kasus, Malignant mesencimal spindle cell tumor 15 kasus dan 3 kasus hasil FNAB tidak
dapat memberikan informasi setelah dilakukan beberapa kali pemeriksaan FNAB, apabila
dihubungkan dengan hasil pemeriksaan patologi tumor yang didapat setelah tindakan
pembedahan memberikan hasil semuanya suatu proses keganasan terbanyak adalah
liposarkoma 9 kasus, leiomyosarkoma 7 kasus dan fibrosarkoma 5 kasus. Dari data ini
pemeriksaan FNAB dengan tuntunan CT Scan tidak memberikan informasi yang berarti,
sesuai dengan literatur untuk diagnostik suatu sarkoma tidak dapat dilakukan dengan FNAB,
sehingga pada kasus retroperitoneal sarkoma tidak memerlukan pemeriksaan FNAB.
Sarkoma retroperitoneal adalah tumor ganas yang berasal dari sel-sel mesenkimal, yang
biasanya terdapat pada otot, lemak, dan jaringan ikat. Sarkoma retroperitoneal mempunyai
gambaran klinis yang bervariasi tergantung jenis histologisnya dan gradenya1,2,3,4,5.
Rendahnya kasus sarcoma retroperitoneal dan gambaran histologis yang dapat bervariasi
dapat sangat membingungkan kita dalam mengerti tumor ini yang dapat mempengaruhi
keefektifan terapi. Permasalahan lain adalah tidak semua retroperitoneal sarcoma berasal dari
jenis sel yang sama, liposarkoma merupakan jenis yang lebih banyak terjadi dibandingkan
jenis yang lainnya bila dilihat berdasarkan histopatologisnya. Selain itu gambaran
histopatologisnya dapat memberikan gambaran sel dengan gradasi rendah dan sel dengan
gradasi yang tinggi. Dari gambaran histology terbanyak berasal dari subtype liposarcoma
(41%), leiomyosarcoma (28%), malignant fibrous histiocytoma (7%), fibrosarcoma(6%) dan
Malignant peripheral nerve sheath tumor (3%)1,2,3,4,7.
Dari seluruh penderita retroperitoneal sarkoma tumor yang berobat ke RSUD Dr Soetomo
sebanyak 19 kasus masih dalam stadium operasi (stadium I s/d III) sedangkan 2 kasus sudah
tidak dapat dilakuakan reseksi tumor (stadium IV) akan tetapi tidak semua penderita stadium
operasi dapat dlilakukan reseksi tumor 4 kasus hanya dilakukan debulking tumor sedangkan
satu kasus hanya incisional biopsi, hal ini diesebabkan oleh karena ukuran tumor yang terlalu
besar menyulitkan untuk identifikasi struktur organ sekitarnya. Sarkoma jaringan lunak
retroperitoneal memberikan gambaran yang berbeda dibandingkan dengan sarkoma jaringan
lunak yang biasanya terjadi pada ekstremitas. Sulitnya manajemen dari sarkoma ini
berhubungan dengan ukuran mereka dan kompleksitas dari anatomi
retroperitoneal1,2,3,4,5,6. Reseksi komplit dalam literatur bervariasi antara 38% - 74%,
dengan rata-rata resektabilitas komplit hanya 53%. Angka resektabilitas pada literatur rendah
karena pada sebagian besar operasi dilakukan dengan posisi terlentang dengan pendekatan
irisan garis tengah yang tidak memanfaatkan gaya gravitasi untuk penderita dengan tumor
kuadran atas ataupun flank. Seringkali strategi yang salah digunakan, contohnya berusaha
memisahkan massa tumor dari pembuluh darah besar retroperitoneal, sebagai penentu awal
resektabilitas. Hal ini merupakan kebijakan yang sekilas baik, tetapi dapat membawa ahli
bedah untuk menghentikan tindakan, karena memiliki resiko perdarahan yang tidak dapat
dihentikan. Strategi yang tepat untuk massa yang terletak di samping vasa retroperitoneal
adalah untuk memobilisasi dari sekitarnya, baik dari anterior, lateral dan posterior kemudian
sebagai langkah terakhir memisahkan dari aorta atau vena cava inferior7,8,19. Dalam
pengalaman satu penulis, resektabilitas keseluruhan untuk sarkoma retroperitoneal primer dan
rekuren lokal adalah 95%, dengan kesintasan (survival) 5 tahun & 10 tahun mencapai 65%
dan 56% untuk sarkoma retroperitoneal. Pada sarkoma retroperitoneal rekurensi lokal
kesintasan mencapai 53% dan 34%17,18,19. Masalah utama sarkokma retroperitoneal adalah
rekurensi lokal setelah suatu reseksi yang tampaknya komplit adalah kesulitan mendapatkan
tepi yang lebar di seluruh tepi tumor. Angka rekurensi lokal mencapai 42% untuk tumor
primer dan 51% untuk penderita dengan rekurensi lokal. Angka rekurensi lokal meningkat
dengan lamanya periode follow up. Angka rekurensi lokal menurun dengan radiasi
pascaoperasi. Penderita tanpa rekurensi lokal selama masa periode follow up memiliki
survival yang lebih baik. Reseksi luas menurunkan angka rekurensi lokal dibandingkan
reseksi lokal (39% vs 63%). Perbedaan survival antara eksisi lokal dan eksisi luas tidak dapat
dijelaskan dari perbedaan grade tumor. Pada umumnya diterima bahwa reseksi luas
menurunkan angka rekurensi lokal dibandingkan eksisi lokal, tetapi hal ini masih
memerlukan penelitian lebih lanjut1,2,5,18,19.
Reseksi sampai bagian yang bebas dengan tumor sukar dilakukan. Sedangkan tempat yang
pertama kali terjadinya rekurensi pada pasien dengan sarkoma pada ekstremitas adalah
tempat yang jauh. Pasien dengan sarkoma retroperitoneal biasanya terjadi pada rongga
abdomen. Secara keseluruha angka survival dari pasien dengan sarkoma pada ekstremitas
lebih besar dibandingkan dengan retroperitoneal sarkoma. Kegagalan organ lokal didapatkan
pada 90% pasien yang meninggal akibat retroperitoneal sarkoma, sebuah fakta yang
menggambarkan ukuran tumor yang besar pada gambaran klinisnya. Ketidak mampuan untuk
mencapai batas pembedahan yang bersih, dan keterbatasan dari pengobatan adjuvan dan
kemoterapi. Kegagalan organ lokal dapat terjadi antara 5-10 tahun setelah reseksi,
memberikan perkiraan bahwa angka rekurensi jangka panjang dari sarkoma retroperitoneal
yang sudah direseksi berkisar 70 %.Seperti halnya sarkoma pada ekstremitas, pembedahan
merupakan terapi standart. Dari laporan beberapa peneliti didapatkan secara konstan
menggambarkan perbaikan yang signifikan setelah dilakukan reseksi komplit pada semua
penyakit yang berakibat perbaikan dari lokal kontrol dengan angka survival
penyakitnya1,2,3,4,5. Pada kebanyakan laporan, reseksi komplit dilakukan pada 70% kasus
dan angka rekurensinya ada pada separuh dari total penyakit yang dilakukan reseksi total.
Akibat dari rekurensi total ini tercermin pada berkurangnya angka survival secara
keseluruhan meskipun direncanakan reseksi berikutnya. Penyakit yang rekuren menunjukkan
berkurangnya kemampuan untuk menghilangkan penyakit dan mencapai angka survival
jangka panjang pada kasus rekurensi dimana sudah dilakukan reseksi kompli1,2,3,4,5t.
Dari 19 penderita retroperitoneal sarkoma tumor yang dilakukan pembedahan di RSUD Dr.
Soetomo umumnya memiliki derajat differensiasi tumor yang rendah 13 penderita well
differentiated, 4 penderita moderately differentiated, 3 penderita poorly differentiated dan 1
penderita undifferentiated, penderita dengan derajat differentsiasi tumor yang rendah
memiliki faktor prognosa yang baik, sedangkan yang memiliki derajat differensiasi yang
tinggi m,emilki faktor prognosis yang buruk. Pada sarkoma retroperitoneal yang low grade
tidak dilakukan observasi survival meski reseksi nya tidak komplit. Bagaimanapun juga
komplikasi utama identik antara reseksi parsial dan resesksi komplit. Pada pasien-pasien yang
menjalani reseksi inkomplit akan terpapar morbiditas meski tanpa potensi keuntungan
survival yang dicapai oleh mereka yang menjalani eksisi komplit sehingga hal ini perlu betul-
betul dipikirkan atau direncanakan pada pre operatif untuk menentukan resektabilitas tumor
awal sebelum operasi sehingga resesksi inkomplit tidak harus dikerjakan karena telah
melewati ”point of no return”18.
Liposarkoma retroperitoneal mewakili situasi tertentu yang mungkin menentukan pendekatan
bedah yang lebih agresif termasuk multiple reseksi karena berulang-ulang / rekurrent.
Liposarkoma cenderung memiliki insiden metastase jauh yang lebih sedikit (7%)
dibandingkan sub tipe histologi yang lain (15-39%) Shibata dkk telah mengobservasi survival
pasien-pasien dengan resesksi partial liposarkoma dibandingkan yang hanya dilakukan
insisional biopsi. Mereka juga melaporkan terapi paliatif yang efektif pada 75% pasien yang
menjalani prosedur debulking, presentasi klinis dan evaluasi radiologis dari sarkoma
retroperitoneal telah didiskusikan sebelumnya langkah selanjutnya adalah menentukan
resektabilitas tumor. Sering kali kesulitan untuk menentukan struktur vaskular atau organ-
organ yang terlibat, sebelum operasi pada review Kilkenny dkk keterlibatan vaskuler tercatat
ada 39% pasien-pasien yang menjalani reseksi. Ketika tumor mendekati pembuluh darah
utama foto CT scan rutin tidak selalu menyelesaikan masalah apakah pembuluh darah
tersebut terlibat, agar kita menggunakan MRI atau CT angiografi, reseksi multi viseral
dibutuhkan pada kasus-kasus pada umumnya (63-86%) paling banyak melibatkan ginjal
colon, usus halus, pankreas dan buli penentuan apakah organ-organ dekat menempel atau
dapat dipisahkan secara bebas dari tumor akan sulit berdasarkan radiologi perioperatif. Pada
perencanaan reseksi ada kecenderungan bahwa reseksi end block akan dibutuhkan untuk
mencapai eksisi komplit, sebuah massa retroperitoneal seharusnya tidak diterapi bedah hanya
jika dokter bedah telah siap terhadap kepentingan yang telah dibutuhkan dari reseksi
ini1,2,8,19
Untuk sarkoma retroperitoneal pada kuadran atas abdomen, suatu irisan torakoabdominal
yang berlanjut dengan insisi supraumbilikal midline dapat digunakan, dengan penderita pada
posisi lateral. Reseksi en bloc tumor dilakukan dengan struktur-struktur sekitarnya yang
terlibat yaitu meliputi diafragma, ginjal, dan kolon serta bila diperlukan lien, kauda pankreas
dan sebagian gaster atau sebagian lobus kanan hepar. Untuk sarkoma retroperitoneal daerah
flank, penderita juga diletakkan pada posisi lateral dengan pendekatan transperitoneal melalui
irisan T yang merupakan kelanjutan irisan midline18,19.
Tumor pertama-tama dimobilisasi dari semua perlekatan baik posterolateral ataupun anterior,
kemudian perlekatan medial yaitu pada aorta atau vena kava inferior ditangani. Sarkoma
retroperitoneal dari abdomen atau pelvis tengah menggunakan irisan midline dengan
penderita terlentang. Eksplorasi pembuluh darah mesenterika superior dilakukan untuk tumor
pada basis mesenterium untuk menentukan resektabilitas dan memberikan jarak aman
terlebar di sekitar tumor. Untuk sarkoma pelvis di garis tengah, insisi infraumbilikal dapat
diteruskan ke simfisis pubis dan dilanjutkan transversal ke tuberkulum pubikum di kedua sisi,
memotong rektus abdominis dan rectus sheath dari krista pubikum. Untuk sarkoma kuadran
bawah abdomen dengan perlekatan ke fossa iliaka, dinding pelvis minor atau vasa iliaka
eksterna, dapat digunakan insisi abdominoinguinal dengan penderita posisi terlentang.
Hemipelvektomi jarang dilakukan untuk sarkoma pelvis dengan invasi luas pada salah satu
sisi dinding pelvis. Identifikasi dari factor prognosis berbeda dari satu studi terhadap studi
yang lain. Berdasarkan pengalaman dalam menangani retroperitoneal sarkoma, grade, ukuran
dan subtype pada tumor, penyebaran dan reseksi total dan subtotal , teknik operasi, fenomena
biologis, dan lokasi anatomi tumor dapat mempengaruhi prognosa pasien. Diagnosis pada
tumor ini sering tertunda karena gejala diawal asimptomatik. Tanda-tanda yang paling umum
dari penyakit ini meliputi massa abdomen yang palpable (40-90%), nyeri abdomen atau nyeri
punggung (30-75%). Adapun CTscan dan USG sering sangat membantu untuk mencegah
misdiagnosis penyakit ini18,19.
Angka harapan hidup jangka panjang dari pasien dengan Retroperitoneal sarkoma tumor
berhubungan dengan kelengkapan reseksi secara bedah. Pada pasien ketidaklengkapan
reseksi dan tidak dilakukannya reseksi biasanya berhubungan dengan keterlibatan pembuluh-
pembuluh darah besar mesenterium, metastase jauhdan invasi pada medulla spinalis. Ukuran
tumor lebih dari diameter 15 cm dapat mempengaruhi pembuluh darah dan organ yang
berhubungan, menghasilkan kesulitan tambahan dalam reseksi dan menurunkan angka
harapan hidup34,35,36. Retrperitoneal sarkoma tumor mengindikasikan perlunya manajemen
bedah agresif selama ini yang dikenal. Pengalaman kebanyakan operasi dikerjakan dengan
insisi median, akses langsung ke tumor, merupakan ekstensi yang mudah langsung ke tumor
dan mudah mengontrol pendarahan dari pembuluh-pembuluh darah di dasar. Untuk
menyediakan ruang yang cukup untuk operasi, dibuat kombinasi insisi transverse dan oblik.
Insisi ini termasuk “L” atau “L terbalik dan “T” bentuk dapat menurunkan perdarahan dan
kerusakan pada organ lain. Tambahan, rekonstruksi pembuluh darah besar sehubungan
dengan reseksi neoplasma tidak sering digunakan tetapi cara pembedahan agresif dengan
reseksi vascular dan replacemen vaskuler prostetik dianjurkan pada kasus tertentu.
Selebihnya bypass temporer dapat dilakukan pada rekonstruksi dari aorta infra-renal dan vena
cava setelah reseksi. Sehubungan dengan sulitnya pembedahan dan penentuan batas negative
secara mikroskopis, ada kemungkinan hidup dapat terus berlangsung dengan transplantasi
organ. Reseksi ekstensif dengan pengangkatan organ dapat menurunkan angka kekambuhan
local. Beberapa peneliti menganjurkan nefrektomi untuk sebagian pasien, walaupun hanya
sebagian kecil ginjal yang terkena. Oleh karena itu mempertimbangkan kemungkinan reseksi
total pada operasi adalah masalah utama yang harus ditangani35,36,37,38.
Terapi radiasi adjuvant telah ditemukan efektif pada peningkatan control local paska operasi.
bagaimanapun untuk Retroperitoneal sarkoma tumor terapi tidak efektif karena tidak ada
kemiripan antara dosis radiasi kepada efek local tanpa toksisitas. Oleh karena itu aplikasi
radiasi dosis rendah intra operatif sudah teruji. Terutama untuk tumor primer, studi lebih jauh
diperlukan untuk mengukur standar radioterapi. data belum mencukupi untuk membuat
kesimpulan dari percobaan kami. Peran kemoterapi dalam mengatasi tumor ini masih belum
disebutkan pada 14 uji coba kemoterapi adjuvant yang melibatkan 1568 kasus sarcoma
jaringan lunak pada berbagai lokasi, Kesimpulannya, reseksi yang radikal, ukuran, grade, dan
sub tipe tumor mempengaruhi prognosis secara signifikan. CT scan dan USG dapat
membantu diagnosis awal, dan reseksi dan menjadikan angka rata-rata survival lebih
baik28,29.
Jika tidak didapatkan metastasis, pembedahan adalah pilihan terapi untuk retroperitoneal
sarkoma yang mengalami rekurensi lokal. Banyak penelitian menunjukkan bahwa pada
pasien yang mengalami rekurensi yang kemudian dapat dilakukan reseksi total menunjukkan
peningkatan angka disease-free survival. Penggunaan kemoterapi atau radiasi pada terapi
pembedahan untuk rekurensi lokal masih diperdebatkan. Dalam kasus rekurensi terapi
adjuvan setelah reseksi harus dipertimbangkan. Pada semua pasien yang sebelumnya sudah
menerima kemoterapi41,42. Dosis ifosfamide yang lebih besar (12-14 g/m2) berhubungan
dengan respon objektif pada pasien yang mengalami kegagalan / kemajuan setelah
kemoterapi dengan ifosfamide dosis rendah. Toksisitas ifosfamide dalam rentang dosis ini
memandatkan penyeleksian pasien dengan hati-hati dan mengeksklusi pasien usia tua serta
pasien dengan gangguan fungsi ginjal. Belakangan ini kombinasi gemcitabine dan docetaxel
diasosiasikan dengan angka respon objektif yang tinggi, bahkan pada pasien yang awalnya
diterapi doxorubicin + ifosfamide. Regimen ini lebih efektif pada pasien leiomyosarcoma,
tapi juga berespon pada subtipe histologis lain.34,35,36
Terapi radiasi adalah penggunaan radiasi mengion untuk membunuh sel kanker dan
memperkecil tumor. Terapi radiasi mencederai atau menghancurkan sel dengan kerusakan
pada materi genetik, sehingga sel tidak dapat tumbuh dan membelah. Meskipun radiasi
merusak sel kanker dan sel normal, sebagian sel normal dapat bertahan dan kembali berfungsi
normal. Tujuan terapi radiasi adalah untuk merusak sebanyak mungkin sel kanker tetapi
membatasi efek samping pada jaringan sehat18,19.
Beberapa peneliti telah menggali metode-metode untuk menurunkan insiden kegagalan lokal
setelah reseksi. Mengintisarikan dari bukti bahwa dukungan untuk memperbaiki kontrol
terhadap penyulit dari penggunaan radioterapi terhadap sarkoma dari tubuh dan extremitas.
Radioterapi telah digunakn luas sebagai tambahan terhadap operasi retroperitoneal sarkoma.
Bagaimanapun radioterapi lebih problematis dalam terapi sarkoma retroperitoneal. Sampai
saat ini tidak ada yang random yang mengevaluasi peran dari radioterapi adjuvan untuk
sarkoma retroperitoneal18,19. Pendukung dari radioterapi preoperatif mengutip keuntungan
teoritis dengan menggunakan bagian terbesar tumor untuk berpindah sehingga tidak
melibatkan organ intra abdomen keluar dari medan radiasi, oleh karena itu menurunkan
toksisitas lokal dan meningkatkan kemampuan untuk menghantarkan dosis terapetik radiasi.

BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. KESIMPULAN
6.1.1 Telah dilakukan tindakan pembedahan terhadap 21 penderita retroperitoneal sarkoma
tumor yang berobat ke RSUD Dr. Soetomo periode tahun 2007 sampai 2008 dengan umur
penderita rata-rata 49,28 + 10,3 tahun, dengan diameter tumor berdasarkan CT Scan abdomen
20,2 + 6,2 cm dan penderita pria lebih banyak dari pada wanita.

6.1.2 Secara umum penderita datang masíh dalam stadium operasi ( stadium I s/d III) dan
pada beberapa penderita sudah terdapat metastase sehingga tidak dapat dilakukan
pembedahan ( stadium IV), pada penderita stadium operasi dilakuakn reseksi tumor secara
radikal dan sebagian secara debulking, sedangkan pada penderita yang unresektable dlakukan
incisional biopsi, penentuan stadium operasi setelah dilakukan laparotomi eksplorasi dan
hasil patologi tumor.

6.1.3 Tidak ada manfaat yang didapat dengan pemeriksaan FNAB tuntunan CT Scan karena
bila dihubungkan dengan hasil patologi tumor setelah operasi tidak ada korelasinya.

6.1.4 Semua penderita retroperitoneal sarkoma yang berobat keRSUD DR Soetomo hanya
mendapat terapi pembedahan tanpa dikombinasikan dengan radioterapi ataupun khemoterapi.
6.2. SARAN
6.2.1. Pemeriksaan FNAB guiding CT tidak diperlukan pada penanganan retroperitoneal
sarkoma tumor karena tidak ada hubungannya dengan hasil patologi tumor setelah operasi.

6.2.2. Perlu pemeriksaan radikalitas operasi dengan pemeriksaan batas tumor selama operasi .

6.2.3. Perlu adanya modulasi terapi lain selain pembedahan yang radikal pada penanganan
retroperitoneal sarkoma tumor untuk mencegah terjadinya rekurensi tumor.

6.2.4. Perlunya pemeriksaan indeks mitotik tumor pada pemeriksaan patologi untuk
mengetahui prognosa penderita retroperitoneal sarkoma tumor.

Daftar Pustaka
1. Storm FK, Mahvi DM. Diagnosis and management of retroperitoneal soft-tissue sarcoma.
Ann Surg. 1991;214:2-10
2. Kaplan EL, Meier P. Nonparametric estimation from incomplete observations. J Am Stat
Assoc. 1958;53:457-481.
3. Cox DR. Regression models and life-tables. J R Stat Soc B. 1971;34:187-220.
4. Karakousis CP. Abdominoinguinal incision in resection of pelvic tumors with lateral
fixation. Am J Surg. 1992;164:366-371.
5. Cody HS, Turnbull AD, Fortner JG, Hajdu SI. The continuing challenge of retroperitoneal
sarcomas. Cancer. 1981;47:2147-2152
6. McGrath PC, Neifeld JP, Lawrence W Jr, et al. Improved survival following complete
excision of retroperitoneal sarcomas. Ann Surg. 1984;200:200-204.
7. Glenn J, Sindelar WF, Kinsella T, et al. Results of multimodality therapy of resectable
soft-tissue sarcomas of the retroperitoneum. Surgery. 1985;97:316-325.
8. Karakousis CP, Velez AF, Emrich LJ. Management of retroperitoneal sarcomas and patient
survival. Am J Surg. 1985;150:376-380
9. Braasch JW, Mon AB. Primary retroperitoneal tumors. Surg Clin North Am. 1967;47:663-
678
10. Jaques DP, Coit DG, Brennan MF. Soft tissue sarcoma of the retroperitoneum. In: Shiu
MH, Brennan MF, eds. Surgical Management of Soft Tissue Sarcoma. Philadelphia, Pa: Lea
& Febiger; 1989:157-169.
11. Dalton RR, Donohue JH, Mucha P Jr, van Heerden JA, Reiman HM, Chen SP.
Management of retroperitoneal sarcomas. Surgery. 1989;106:725-733.
12. Storm FK, Eilber FR, Mirra J, Morton DL. Retroperitoneal sarcomas: a reappraisal of
treatment. J Surg Oncol. 1981;17:1-7.
13. Jaques DP, Coit DG, Hajdu SI, Brennan MF. Management of primary and recurrent soft-
tissue sarcoma of the retroperitoneum. Ann Surg. 1990;212:51-59.
14. Zornig C, Weh HJ, Krull A, et al. Retroperitoneal sarcoma in a series of 51 adults. Eur J
Surg Oncol. 1992;18:475-480.
15. Makela J, Kiviniemi H, Laitinen S. Prognostic factors predicting survival in the treatment
of retroperitoneal sarcoma. Eur J Surg Oncol. 2000;26:552-555.
16. Stoeckle E, Coindre JM, Bonvalot S, et al for the French Federation of Cancer Centers
Sarcoma Group. Prognostic factors in retroperitoneal sarcoma: a multivariate analysis of a
series of 165 patients of the French Cancer Center Federation Sarcoma Group. Cancer.
2001;92:359-368.
17. Kilkenny III JW, Bland KI, Copeland III EM. Retroperitoneal sarcoma: the University of
Florida experience. J Am Coll Surg. 1996;182:329-339.
18. Alvarenga JC, Ball AB, Fisher C, Fryatt I, Jones L, Thomas JM. Limitations of surgery in
the treatment of retroperitoneal sarcoma. Br J Surg. 1991;78:912-916.
19. Heslin MJ, Lewis JJ, Nadler E, et al. Prognostic factors associated with long-term
survival for retroperitoneal sarcoma: implications for management. J Clin Oncol.
1997;15:2832-2839.
20. Bevilacqua RG, Rogatko A, Hajdu SI, Brennan MF. Prognostic factors in primary
retroperitoneal soft-tissue sarcomas. Arch Surg. 1991;126:328-334.
21. Karakousis CP, Gerstenbluth R, Kontzoglou K, Driscoll DL. Retroperitoneal sarcomas
and their management. Arch Surg. 1995;130:1104-1109.
22. Mettlin C, Priore R, Rao U. Results of the national soft tissue sarcoma registry. J Surg
Oncol. 1982;19:224–7.
23. McGrath P. Retroperitoneal sarcomas. Semin Surg Oncol. 1994;10:364–8.
24. Daugaard S. Current soft tissue sarcoma classification. Eur J Cancer. 2004;40:543–8.
25. Coindre JM, Mariani O, Chibon F, et al. Most malignant fibrous histiocytomas developed
in the retroperitoneum are dedifferentiated liposarcomas: a review of 25 cases initially
diagnosed as malignant fibrous histiocytomas. Mod Pathol. 2003;16:256–62.
26. Papanicolaou N, Yoder IC, Lee MJ. Primary retroperitoneal neoplasms: How close can
we come in making the correct diagnosis. Urol Radiol. 1992;14:221–8.
27. Singer S, Corson JM, Demetri GD, et al. Prognostic factors predictive of survival for
truncal and retroperitoneal soft tissue sarcoma. Ann Surg. 1995;221:185–95.
28. van Dalus T, van Geel AN, van Coevorden F, et al. Dutch soft tissue sarcoma group. Soft
tissue carcinoma in the retroperitoneum: an often-neglected diagnosis. Eur J Surg Oncol.
2001;27:74–9.
29. Arca MJ, Sondak VK, Chang AE. Diagnostic procedures and pretreatment evaluation of
soft tissue sarcomas. Semin Surg Oncol. 1994;10:323–31.
30. Karakousis CP, Kontzoglou K, Driscoll DL. Resectability of retroperitoneal sarcoma: a
matter of surgical technique. Eur J Surg Oncol. 1995;21:617–22.
31. Storm FK, Mahvi DM. Diagnosis and management of retroperitoneal soft-tissue sarcoma.
Ann Surg. 1991;214:2–10.
32. Heslin MJ, Lewis JJ, Nadler E, et al. Prognostic factors associated with long-term
survival for retroperitoneal sarcoma: Implications for management. J Clin Oncol.
1997;15:2832–9.
33. Russell WO, Cohen J, Edmonson JH, et al. Staging system for soft tissue sarcoma. Semin
Oncol. 1981;8:156–9.
34. Matsumoto K, Takada M, Okabe H, Ishizawa M. Foci of signal intensities different from
fat in well-differentiated liposarcoma and lipoma. Correlation between MR and histological
findings. Clin Imaging. 2000;24:38–43.
35. Sung MS, Kang HS, Suh JS, et al. Myxoid liposarcoma: appearance at MR imaging with
histologic correlation. Radiographics. 2000;20:1007–19.
36. Kransdorf MJ, Bancroft LW, Peterson JJ, Murphey MD, Foster WC, Temple HT.
Imaging of fatty tumors: distinction of lipoma and well-differentiated liposarcoma.
Radiology. 2002;224:99–104.
37. Blum U, Wildanger G, Winfuhr M, et al. Preoperative CT and MR imaging of inferior
vena cava leiomyosarcoma. Eur J Radiol. 1995;20:23–7.
38. Hemant D, Krantikumar R, Amita J, Chawla A, Ranjeet N. Primary leiomyosarcoma of
inferior vena cava, a rare entity: Imaging features. Aust Radiol. 2001;45:448–51.
39. Eilber FC, Eilber KS, Eilber FR. Retroperitoneal sarcomas. Curr Treat Opin Oncol.
2000;1:274–8.
40. Heslin MJ, Smith JK. Imaging of soft tissue sarcomas. Surg Oncol Clin N Am.
1999;8:91–107.
41. Varma DG. Imaging of soft tissue sarcomas. Curr Oncol Rep. 2000;2:487–90.]
42. Folpe AL, Lyles RH, Sprouse JT, Conrad EU III, Eary JF. (F-18) fluorodeoxyglucose
positron emission tomography as a predictor of pathologic grade and other prognostic
variables in bone and soft tissue sarcoma. Clin Cancer Res. 2000;6:1279–87.
43. El-Zeftawy H, Heiba SI, Jana S, et al. Role of repeated F-18 fluorodeoxyglucose imaging
in management of patients with bone and soft tissue sarcoma. Cancer Biother Radiopharm.
2001;16:37–46.
44. Messa C, Landoni C, Pozzato C, Fazio F. Is there a role for FDG PET in the diagnosis of
musculoskeletal neoplasms? J Nucl Med. 2000;41:1702–3.
45. Stoeckle E, Coinbdre JM, Bonvalot S, et al. French Federation of Cancer Centers
Sarcoma Group. Prognostic factors in retroperitoneal sarcoma: a multivariate analysis of a
series of 165 patients of the French Cancer Center Federation Sarcoma Group. Cancer.
2001;92:359–68.
46. Mahajan A. The contemporary role of the use of radiation therapy in the management of
sarcoma. Surg Clin Oncol N Am. 2000;9:503–24.
47. Pisters PWT, Ballo MT, Patel SR. Preoperative chemoradiation treatment strategies for
localized sarcoma. Ann Surg Oncol. 2002;9:535–42.
48. Alektiar KM, Hu K, Anderson L, Brennan MF, Harrison LB. High-dose rate
intraoperative radiation therapy (HD-IORT) for retroperitoneal sarcomas. Int J Radiat Oncol
Biol Phys. 2000;9:61–5.
49. Marinello P, Montresor E, Iacono C, et al. Long term results of aggressive surgical
treatment of primary and recurrent retroperitoneal sarcomas. Chir Ital. 2001;53:149–57.
50. Karakousis CP, Gerstenbluth R, Kontzglous K, Driscoll DL. Retroperitoneal sarcomas
and their management. Arch Surg. 1995;130:1104–9.
51. Ferrario T, Karakousis CP. Retroperitoneal sarcomas: grade and survival. Arch Surg.
2003;138:248.
52. Hassan I, Park SZ, Donohue JH, et al. Operative management of primary retroperitoneal
sarcomas: a reappraisal of an institutional experience. Ann Surg. 2004;239:244–50.
53. Gupta AK, Cohan RH, Francis IR, et al. Patterns of recurrent retroperitoneal sarcomas.
AJR. 2000;174:1025–30.
54. Fotiadis C, Zografos GN, Karatzas G, Papchristodoulou A, Sechas MN. Recurrent
liposarcomas of the abdomen and retroperitoneum: three case reports. Anticancer Res.
2000;20:579–83

Lampiran
Tn M, 45 th, Dx : Retroperitoneal Sarkoma

Kasus 2
Ny S, Perempuan, 57 thn

Kasus 3
Tn. S, 67 thn,

Kasus 4. Ny. M 39 tahun retroperitoneal sarkoma tumor

Kasus 5. Ny S 49 tahun retroperitoneal sarkoma tumor residif

Kasus 6. Ny S 57 tahun retroperitoneal sarkoma tumor

HERNIA ANESTESI LOKAL

13 Mei 2009, 14:24:59 | noreply@blogger.com (dr. Heru Seno, SpB, KBD)


EVALUASI PENGGUNAAN ANESTESI LOKAL PADA PENANGANAN 100 KASUS
HERNIA INGUINALIS LATERALIS DENGAN HERNIOPLASTI METODE
LICHTENSTEIN PERIODE JANUARI 2007-JUNI 2008

Oleh :
dr. Heru Seno Wibowo. SpB

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Hernia pada dinding perut merupakan penyakit yang sering dijumpai dan memerlukan suatu
tindakan pembedahan (1). Hernia inguinalis lateralis sering dijumpai pada pria. Angka
kejadian pria adalah 12 kali lebih sering dibanding wanita (2). Pada wanita kurang lebih
didapatkan 4 persen dibandingkan pria. (3). Sampai saat ini terjadinya hernia pada orang
dewasa, diketahui oleh karena penyebab sekunder atau didapat yang adekuat. Misal suatu
penyakit pembesaran prostat yang jinak, hal ini dapat menyebabkan terjadinya hernia (4).
Insidensi Hernia Inguinalis Lateralis adalah 15/1000 , dan total jumlah tindakan hernioraphi
sekitar 700.000 kasus pertahun ini akan menimbulkan masalah sosioekonomi yang besar bagi
masarakat, tindakan hernioraphi dengan penggunaan general ataupun regional anestesi
memerlukan biaya yang lebih besar dibandingkan dengan penggunaan local anestesi,. Dengan
penggunaan lokal anestesi efisiensi biaya lebih tinggi disamping itu juga penghematan biaya
untuk keluarga penderita karena tidak memerlukan perawatan paska operasi. Komplikasi
operasi yang meliputi terjadinya infeksi luka operasi, oedema skrotum dan hematom serta
kemungkinan terjadinya kekambuhan tidak begitu berbeda bila dibandingkan dengan
penggunaan general anestesi. Dari beberapa studi didapatkan dengan persiapan serta seleksi
pasien yang baik lebih dari 90% hernia dapat dilakukan dengan local anestesi, penggunaan
mesh tidak meningkatkan resiko infeksi dan apabila terjadi infeksi mesh tidak perlu diangkat.
Keuntungan lain penggunaan local anestesi dapat dilakukan uji coba hasil operasi dengan
cara batuk ataupun test valsava.Hernia inguinalis lateralis dapat terjadi pada semua umur,
namun tersering pada usia antara 45 sampai 75 tahun (2). Penyebab primer terjadinya Hernia
inguinalis lateralis sampai saat ini belum ada atau belum pernah dipublikasikan. Hal ini
penting untuk diketahui, sehingga diharapkan dapat diketahui diagnosa dini dan tindakan
pembedahan untuk mencegah terjadinya hernia yang terperangkap (inkarserata) atau hernia
yang tercekik (strangulata). Angka kemungkinan terjadinya hernia strangulata adalah 2,8
persen setelah 3 bulan munculnya hernia dan 4,5 persen setelah 2 tahun (1). Pada HIL jumlah
proliferasi dari fibroblast menurun dibanding normal dan kolagenolisis meningkat (5).
Berdasarkan uraian di atas maka pada penelitian ini akan diteliti apakah jumlah fibroblast
peritoneum sebagai penyebab primer dari hernia inguinalis lateralis pada orang dewasa dan
orang tua.

1.2 Rumusan masalah :


Adakah hubungan antara penggunaan anestesi lokal dengan efisiensi biaya ,kenyamanan
selama operasi serta angka kekambuhan

1.3 Tujuan penelitian


1.3.1 Tujuan umum :
Mencari metode alternatip penanganan penderita Hernia Inguinalis Lateralis dengan
menggunakan anestesi lokal
Tujuan khusus :
a. Menentukan peranan anestesi local pada penanganan Hernia Inguinalis Lateralis dari sisi
efisiensi biaya
b. Mengukur peranan anestesi local pada penanganan Hernia Inguinalis Lateralis dari sisi
kenyamanan penderita selama operasi.
c. Mengukur peranan anestesi local pada penanganan Hernia Inguinalis Lateralis dari angka
kekambuhan.

1.4 Manfaat penelitian


1.4.1 Manfaat teoritis
Mengetahui pemanfaatan anestesi local sebagai alternative pada penanganan Hernia
Inguinalis Lateralis.
Manfaat klinis
a. Anestesi lokal pada penanganan Hernia Inguinalis Lateralis akan menekan biaya operasi.
b. Anestesi lokal pada penanganan Hernia Inguinalis Lateralis masih dapat menekan
gangguan rasa nyaman
c. Anestesi lokal pada penanganan Hernia Inguinalis Lateralis angka rekurensi sesuai dengan
metode biasa.

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hernia
Hernia dalam bahasa latin sering disebut rupture, merupakan suatu penonjolan abnormal
melewati suatu dinding rongga yang terbuka (1,5,9). Hernia pada dinding perut merupakan
penyakit yang sering dijumpai dan memerlukan suatu tindakan pembedahan. Hernia terdiri
atas tiga bagian: kantong Hernia, isi kantong dan pelapis hernia. Kantong hernia merupakan
divertikulum peritoneum dan mempunyai leher dan badan. Isi hernia dapat terdiri atas setiap
struktur yang ditemukan dan dapat merupakan sepotong kecil omentum sampai organ padat
yang besar. Pelapis hernia dibentuk dari lapisan-lapisan dinding abdomen yang dilewati oleh
kantong hernia (5,6,9).

Gb1 Bagian-bagian hernia (dikutip dari: anatomi klinik 200)


Pada hernia disebutkan rectus sheath lebih tipis dibanding normal, jumlah proliferasi dari
fibroblast menurun dibanding normal dan kolagenolisis meningkat (5).

2.1.1 Klasifikasi Menurut Lokasi


1. Hernia Inguinalis, terjadi bila kantong dan isi hernia masuk ke dalam Annulus Internus.
2. Hernia Femoralis, terjadi bila kantong dan isi hernia masuk ke dalam Canalis Femoralis
melalui Annulus Femoralis yang berbentuk corong sejajar dengan Vena Femoralis sepanjang
kurang lebih 2 cm dan keluar pada Fosa Ovalis di pelipatan paha.
3. Hernia hiatal, Bila benjolan terjadi pada diafragma
4. Hernia ventral, Merupakan nama semua hernia yang terjadi pada anterolateral, seperti
hernia sikatriks
5. Hernia incisional, terjadi bila benjolan keluar masuk melewati luka bekas operasi
6. Hernia umbilical, merupakan hernia congenital pada umbilicus yang hanya ditutup dengan
peritoneum dan kulit (6,10,11)
Terdapat berbagai macam hernia, namun penelitian ini sebatas hernia inguinalis lateralis saja
yang dilakukan penelitian.

2.1.2 Hernia Inguinalis Lateralis (HIL)


HIL merupakan suatu benjolan yang melewati suatu dinding yang lemah pada daerah pangkal
paha (inguinal ring) sampai dengan skrotum. Benjolan ini dapat keluar masuk tergantung dari
tekanan di dalam abdominal (5). Hernia ini masuk ke canalis inguinalis melalui anulus
inguinalis profundus yang terletak lateral daripada pembuluh darah arteri dan vena gastrica
inferior . Hernia ini dapat meluas sampai ke seluruh bagian panjang canalis inguinalis
superfisialis dan turun sampai ke scrotum (9). Hernia inguinalis lateralis sering dijumpai pada
pria. Angka kejadian pria adalah 12 kali lebih sering dibanding wanita (2). Pada wanita
kurang lebih didapatkan 4 persen dibandingkan pria. (3). Sampai saat ini terjadinya hernia
pada orang dewasa, diketahui oleh karena penyebab sekunder atau didapat yang adekuat.
Misal suatu penyakit pembesaran prostat yang jinak, hal ini dapat menyebabkan terjadinya
hernia (4). Hernia inguinalis lateralis dapat terjadi pada semua umur, namun tersering pada
usia antara 45 sampai 75 tahun (2). Penyebab primer terjadinya Hernia inguinalis lateralis
sampai saat ini belum ada atau belum pernah dipublikasikan. Hal ini penting untuk diketahui,
sehingga diharapkan dapat diketahui diagnosa dini dan tindakan pembedahan untuk
mencegah terjadinya hernia yang terperangkap (inkarserata) atau hernia yang tercekik
(strangulata). Angka kemungkinan terjadinya hernia strangulata adalah 2,8 persen setelah 3
bulan munculnya hernia dan 4,5 persen setelah 2 tahun (1,8).
Faktor yang dipandang berperan pada terjadinya Hernia Inguinalis adalah 1. terbukanya
Prosessus Vaginalis, 2. tekanan intra abdominal yang meningkat dan 3. kelemahan otot
dinding perut karena usia (11). Penyebab hernia inguinalis lateralis pada orang dewasa dan
orang tua sering dikatakan sekunder oleh karena peningkatan tekanan didalam abdomen. Hal
ini bisa terjadi karena batuk kronis, ascites, peningkatan cairan peritoneum oleh karena
atresia bilier, pembesaran prostat, tumor abdomen dan obstipasi (5,17). Pada orang sehat ada
tiga mekanisme yang dapat mencegah terjadinya Hernia Inguinalis, yaitu : 1. Kanalis
inguinalis yang berjalan miring, 2. Adanya struktur M. Oblikus Internus Abdominis yang
menutup Annulus Inguinalis Internus ketika berkontraksi dan 3. Adanya Fascia Transversa
yang menutupi segitiga Hasselbach yang umumnya hampir tidak berotot. Bila terjadi ganguan
pada mekanisme diatas dapat menyebabkan terjadinya Hernia Inguinalis. Insiden hernia
meningkat dengan bertambahnya usia, yang disebabkan mungkin karena kelemahan otot
dinding perut, bagian yang membatasi annulus internus ikut kendur. Pada keadaan ini tekanan
intra abdominal tidak tinggi dan canalis ingunalis berjalan lebih vertical. Sebaliknya bila otot
dinding perut berkonstraksi, canalis ingunalis berjalan trasnversal dan annulus inguinalis
tertutup sehingga dapat mencegah masuknya usus ke dalam canalis ingunalis. Kelemahan
otot dinding perut terjadi akibat kerusakan nervus ilionguinalis dan nervus iliofemoralis (10).

Gb 2. HIL (dikutip dari "http://en.wikipedia.org/wiki/Indirect_inguinal_hernia" )

Gb3. HIL secara skematis (dikutip dari anatomi klinik 201)

2.1.1 Prosedur Anestesi lokal pada penanganan Hernia Inguinalis Lateralis.


Pilihan terbaik dari penggunaan anestesi pada penanganan Hernia Inguinalis Lateralis adalah
dengan penggunaan anestesi lokal, cara ini merupakan cara yang paling aman, sederhana,
efektif dan ekonomis tanpa ada efek samping paska anestesi. Disamping itu juga pemberian
anestesi lokal sebelum melakukan insisi akan memperpanjang kerja analgesia paska operasi,
hal ini disebabkan infiltrasi lokal secara teori akan menghambat pembentukan molekul
nosiseptik lokal dan bagaimanapun juga akan menjadikan kontrol yang terbaik pada periode
postoperatif. Dari studi eksperimental
Menunjukan perpheral tissue injury akan menghasilkan perubahan yang lebih lama pada
proses central dan akan mengurangi ambang respon dan memperlebar tempat penyerapan
setelah keluar dari saraf dorsalis.
Lidocain merupakan anestesi yang memilik onset yang cepat sedangkan bupivacain
menghasilkan durasi yang paling lama dari lokal anestesia, pengurangan waktu onset
dilaporkan dengan penambahan sodium bikarbonat 1 mEq per 10 mL lidokain, penambahan
epineprin akan memperpanjang durasi obat anestesi. Penggunaan dua obat anestesi yang
berbeda akan menurunkan dosis maksimum bila dibandingkan penggunaan obat anestesi
secara tunggal. Prosedur pemberian anestesi lokal pada penanganan Hernia Inguinalis adalah
melalui tahap sebagai berikut :
a. Infiltrasi Subdermik.
Sekitar 5 mL campuran anestesi diinfiltrasikan sepanjang garis insisi dengan menggunakan
jarun 2 inci no 25 dimasukan dijaringan subdermik paralel dengan permukaan kulit, tahap ini
yang paling tidak nyaman dari pemberian lokal anestesi.
b. Injeksi Intradermik
Tahap ini akan menyebabkan oedema pada kulit dengan cara jarum dimasukan pada
subdermik plane dan secara perlahan dimasukan sampai ujung dari jarum sampai dilevel
intradermik, pada tahap ini tanpa perlu mengangkat keseluruhan jarum infiltrasi intradermik
dilakukan dan menjadi oedama dan secara perlahan memasukan larutan sepanjang garis
insisi, penambahan sodium bikarbonat akan menaikan pH larutan dan mengurang perasaan
rasa terbakar saat infiltrasi.
c. Injeksi Subkutaneus dalam.
Insersi jarum secara vertikal diperlukan untuk memasukan 10 mL larutan anestesi ke
subkutaneus bagian dalam, kemudian dilanjutkan dengan menarik jarum untuk mencegah
resiko masuk ke intravaskuler.
d. Infiltrasi subfasial.
Sekitar 8 – 10 mL larutan anestesi disuntukan tepat dibawah aponerosis MOE setelah insisi
sampai dijaringan subkutis , suntikan cairan ini akan mencapai canalis inguinalis , infiltrasi
diberikan disekitar ketiga nervus besar disesuaikan dengan anatomisnya , perlu dilakukan
identifikasi N Ilioinguinalis di aponerosis oblikus eksternus untuk mencegah cedera saat
melakukan insisi.
e. Injeksi Tuberkulum dan sacus hernia.
Bila diperlukan infiltrasi beberapa mililiter larutan anestesi dituberkulum pubikum disekitar
cincin ataupun kantung hernia untuk lebih mendapatkan anestesi yang lebih sempurna.

2.1.2

2.1.3 Gambaran klinis


Sejarah dan pemeriksaan klinis sangat penting dalam menegakkan diagnosa penyakit hernia.
Anamnesa dari penyakit yang ada sehingga muncul suatu hernia wajib dilakukan untuk
mencari penyebabnya, seperti batuk lama, obtruksi saluran kencing, ascites dan lain
sebagainya. Keluhan penyakit ini biasanya oleh karena pasien, orang tua ataupun dokter
merasakan adanya penonjolan pada daerah pangkal pada sampai dengan ke skrotum (5,6).
Pada orang dewasa kadang dirasakan nyeri pada pangkal paha yang memberat terutama
setelah latihan atau batuk, juga adanya nyeri yang bersifat mendadak seperti ditusuk, hal ini
oleh karena distribusi dari nervus ilioinguinal sehingga menyebabkan neuralgia pada daerah
tersebut (5,6). Pada kantong hernia dapat berisi, organ-organ di dalam abdomen, seperti usus,
mesenterium dan cairan. Nyeri hebat, mual, muntah dan perut semakin membesar bila terjadi
tercekiknya usus (inkarserata) dan terjadi obstruksi usus yang pada akhirnya menimbulkan
kematian usus oleh karena terjepitnya usus beserta dengan pembuluh darah disekitarnya
(strangulata). Tidak jarang terjadi infeksi seluruh abdominal (peritonitis generalisata) bila
terjadi kebocoran usus (8).
Pemeriksaan pada orang dewasa yang paling baik dengan posisi berdiri, terkadang diperlukan
batuk untuk melihat benjolan tersebut keluar (5). Pemeriksaan fisik dapat dengan berbagai
cara, seperti thumb test dengan menggunakan ibu jari pada annulus internus, finger test
dengan jari telunjuk pada daerah canalis inguinalis dan Zieman test dengan menggunakan jari
ke dua, ketiga dan keempat (7). Bila pada pemeriksaan fisik didapatkan benjolan tidak dapat
keluar masuk lagi, serta ada warna kebiruan, kemungkinan telah terjadi strangulata usus.

Gb 8. Penempatan jari tangan pada pemeriksaan hernia ( dikutip dari : Richard A, Inguinal
Canal and Hernia Examination. 2000)

2.1.4 Penatalaksanaan
Semua pasien hernia inguinalis lateralis sebaiknya harus dilakukan tindakan pembedahan,
kecuali dengan faktor resiko tinggi atau terdapat kontra indikasi, misal hernia yang sangat
besar, usia yang lanjut dan keaadaan umum yang jelek. Menunda tindakan pembedahan pada
pasien hil dapat berakibat terjadinya inkarserata, obstruksi dan strangulata (5,12,14).

2.1.5 Hernioraphi Lichtenstein

2.1.6 Prosedur Anestesi Lokal

BAB 3
KERANGKA KONSEPTUAL

3.2 Hipotesis
Penanganan Hernia Inguinalis Lateralis dapat dikerjakan secara lokal anastesi dengan
melakukan herniotomi metode Lichtenstein.

BAB 4
METODE PENELITIAN
4.1 Jenis dan rancangan penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian untuk mengetahui penggunaan anestesi lokal pada
penanganan Hernia Inguinalis Lateralis dengan metode Herniotomi secara Lichtenstein
kemudian dievaluasi dari aspek efisiensi biaya, kenyamanan selama operasi dan angka
rekurensi yang terjadi.. Rancangan penelitian yang digunakan adalah observasional analitik
cross sectional.

4.2 Populasi, sample, besar sample, teknik pengambilan sample, kriteria inklusi dan eksklusi

4.2.1 Populasi
Populasi penelitian adalah semua kasus hernia inguinalis lateralis yang dioperasi di RSAL
Dr. Ramelan Surabaya dan Rumkital Marinir Gunung Sari Surabaya.

4.2.2 Sampel
Sampel penelitian diambil dari semua kasus hernia elektif di RSAL Dr. Ramelan Surabaya
dan Rumkital Marinir Gunung Sari Surabaya. Dilakukan operasi Herniotomi secara
Lichstenstein. Operasi dilakukan oleh trainee bedah Digestif yang telah menyetujui untuk
melakukan penelitian.

4.2.2.1 Besar sampel


Besarnya sampel ditentukan menurut perhitungan berdasarkan proporsi sampel tunggal
,dengan rumus sebagai berikut :
2
Zα+Zβ
n=+3
(1 + r)
0,5 ln
(1 - r)

Z α 0,05 = 1,96
Z β 0,20 = 0,842
r = 0,5 ( Oleh karena jumlah dan kualitas fibroblast sebagai penyebab primer hernia belum
diketahui )
Rumus korelasi :
2
1,96 + 0,842
n=+3
1 + 0,5
0,5 ln
1 – 0,5

n = ± 10 % = 33.29,05 dibulatkan menjadi 30

4.2.2.2 Pengambilan sample


Sampel dipilih secara consequtive sampling berdasarkan criteria inklusi dan eksklusi. Sampel
yang terkumpul kemudian dievaluasi kebutuhan biaya selama operasi, evaluasi kenyamanan
selama operasi dan evaluasi angka kekambuhan sampai kurun waktu tertentu.

4.2.3 Kriteria inklusi


1. Semua kasus primer elektif hernia
2. Usia dewasa muda (14-60 tahun)
3. Semua kasus operasi herniotomi elektif dengan segala penyebabnya
4. Penderita telah bebas dari penyebab terjadinya HIL, misal: batuk kronis, obstipasi kronis,
obstruksi saluran kencing
5. Menyetujui dilakukan penelitian

4.2.4 Kriteria ekslusi


1. Bukan merupakan kasus hernia yang elektif
2. Tidak bersedia dilakukan penelitian
3. Operator tidak bersedia kerjasama

4.3 Variabel penelitian


Pada penelitian ini variable penelitian yang diteliti adalah :
1. Jumlah biaya yang dikeluarkan penderita tanpa mengikutkan jasa medis.
2. Evaluasi rasa nyaman penderita selama operasi.
3. Evaluasi angka rekurensi paska operasi.

4.4 Definisi operasional


1. Hernia Inguinalis Lateralis adalah suatu hernia yang terjadi karena keluarnya organ
intraperitoneal melalui annulus internus kemudian masuk kedalam kanalis inguinalis dan
keluar ke annulus eksternus.
2. Operasi hernia yang dilakukan adalah herniotomi Lichstenstein. Lichstentein yaitu
menggunakan prolene mesh
3. Biaya.
4. Evaluasi rasa nyaman.
5. Evaluasi angka kekambuhan.

4.5 Prosedur penelitian


1. Semua penderita HIL yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi diikutkan dalam
penelitian
2. Dilakukan pencatatan identitas meliputi : nomor register, nama, umur, jenis kelamin,
alamat dan tanggal pemeriksaan.
3. Dicatat sejarah penyakit : waktu kejadian, sebab kejadian.
4. Pemeriksaan fisik secara lengkap
5. Penderita atau keluarga diberi penjelasan lengkap mengenai maksud, tujuan, dan prosedur
penelitian. Selanjutnya menandatangani surat pernyataan (informed consent) bila penderita
atau keluarga setuju ikut dalam penelitian
6. Didaftarkan jadwal operasi elektif di RSAL Dr. Ramelan Surabaya dan Rumkital Marinir
Gunung Sari Surabaya.
7. Anestesi dengan lokal tanpa sedasi. Posisi penderita terlentang
8. Desinfeksi lapangan operasi luar dengan menggunakan larutan betadine 10 %
9. Lapangan operasi dipersempit dengan menggunakan kain steril.
10. Dilakukan operasi herniotomi sesuai prosedur yang telah ditetapkan

4.6 Kerangka operasional

4.7 Lokasi dan waktu penelitian


4.7.1 Lokasi
Penelitian dilakukan di kamar operasi di RSAL Dr. Ramelan Surabaya dan Rumkital Marinir
Gunung Sari Surabaya..

4.7.2 Waktu penelitian


Penelitian dilakukan dari bulan ...... tahun.......
4.8 Tahap Penelitian
Tahap I

Tahap II

Tahap III

Tahap IV

Tahap V

Tahap VI

Tahap VII

Tahap VIII

4.9 Pengumpulan Data, Analisa Data dan Biaya Penelitian


4.9.1 Pengumpulan data
Data penelitian dikumpulkan dalam suatu formulir penelitian yang telah disiapkan kemudian
dilakukan entry data dengan menggunakan software SPSS ver 13.0

4.9.2 Analisa data


Analisa data terhadap biaya yang dibutuhkan selama operasi , kenyamanan selama operasi
dan terjadinya kekambuhan paska menggunakan uji korelasi Spearman rank-order correlation
. Skala yang dipakai adalah skala ordinal.

4.9.3 Biaya Penelitian

5. Hasil Penelitian.
Seratus penderita Hernia Inguinalis Lateralis Reponibilis yang masuk dalam kriteria
penelitian dilakukan repair hernia dengan menggunakan anestesi lokal tanpa monitor, 91
penderita merupakan hernia pada satu sisi dan 8 penderita hernia bilateral, kesemua penderita
belum pernah dilakukan tindakan hernioraphi. 8 penderita memerlukan perawatan setelah
tindakan operasi karena berasal dari luar kota sedangkan lainnya langsung bisa pulang setelah
evaluasi beberapa jam paska tindakan.
Seluruh penderita dilakukan evaluasi setelah 3 bulan baik secara langsung ataupun
komunikasi melalui telepon. Didapatkan 6 penderita mengeluh nyeri karena adanya oedema
dan hematom disekitar luka operasi dan menghilang setelah 14 hari perawatan luka.
Dari 100 lembaran isian yang kembali berjumlah 79, didapatkan 68 penderita menyatakan
setuju dengan prosedur yang telah dilakukan apabila mengalami kondisi yang sama, 5
penderita menolak bila dilakukan prosedur seperti ini bila mengalami kasus yang sama
sedangkan 6 penderita menjawab tidak tahu.Hasil penilaian kenyamnanan selama tindakan
pembedahan ataupun nyeri 10 penderita mengeluh nyeri dan tidak nyaman selama operasi
dan 5 diantaranya menyarankan perlu tindakan dan pembiusan dengan cara lainnya.
Ketidaknyamanan dan komplikasi setelah operasi didapatkan pada 6 penderita. Evaluasi
mengenai biaya dari lembaran isian yang kembali menyatakan sangat membantu karena lebih
murah disamping itu juga lebih praktis.

6. Pembahasan.
Kriteria utama keberhasilan dari tindakan pembedahan tanpa perawatan dirumah sakit adalah
meliputi aspek Reliability yaitu kemungkinan untuk dilakukan, aspek Feasibility yaitu
kemudahan untuk dilakukan dan aspek Safety dan Satisfaction yaitu keamanan dan kepuasan
pada penderita, Pemilihan teknik pembiusan sebenarnya bergantung kepada obat anestesi,
tindakan pembedahan dan faktor penderita. Tindakan operasi tanpa rawat inap pada kasus
Hernia Inguinalis Lateralis Reponibilis merupakan pilihan terbaik. Sampai saat ini
penggunaan anestesi lokal pada repair hernia belum menjadi protokol di Rumah Sakit
Pendidikan di Indonesia, demikian juga teknik tension free hernia repair (Lichtenstein
operation) masih baru digunakan pada beberapa rumah sakit pendidikan. Padahal teknik
operasi hernia dengan lokal anestesi seharusnya bisa menjadi standar bagi penanganan hernia.
Pada kasus yang telah dilakukan tindakan pembedahan tidak memerlukan pemberian sedasi
sehingga residual efeknya yang meliputi retensi urin, nausea, vomiting ataupun sedasi tidak
ada.
Kondisi preoperative dan pemilihan penderita yang masuk kriteria sangat penting untuk
menghindari konversi ke genaral anestesi. Penderita tua bukan merupakan kontra indikasi
untuk tindakan lokal anestesi, Sosial faktor yang menjadi sebab penderita perlu perawatan
rumah sakit karena berasal dari luar kota.
Dari total 100 penderita Hernia Inguinalis Lateralis Ireponibilis telah dilakukan terapi dengan
Repair hernia metode Lichtenstein selama periode 18 bulan sejak Januari 2007 sampai
dengan Juni 2008. Umur rata-rata adalah 42.16 tahun (21-76 tahun) dan keseluruhannya
penderita laki-laki
Dari evaluasi penanganan hernia inguinalis lateralis dengan anestesi lokal tanpa penggunaan
sedasi adalh mudah untuk dilakukan dan dan aman dikerjakan setelah melalui seleksi
penderita dan biarpun tidak ada yang perlu konvesri ke general anestesi harus dikerjakan
dirumah sakit dengan fasilitas untuk general anestesi.
Evaluasi nyeri selama operasi dan postoperasi dievaluasi selama 2 jam, sebelum dilakukan
tindakan pembedahan penderita terlebih dahulu diberikan ketoprofen supositoria 2 buah
kemudian dilanjutkan desinfeksi daerah operasi dan prosedur pemberian anestesi lokal
dengan menggunakan lidokain dengan atau tanpa epineprin disesuaikan dengan kondisi
penderita, evaluasi nyeri dengan menggunakan Visual Analog Scale (VAS), didapatkan hasil
sebagai berikut dari 100 penderita 6 penderita termasuk nyeri ringan atau skala 1 dari VAS
dan 2 penderita termasuk nyeri sedang atau skala 2 dari VAS, sedangkan yang lainnya tidak
mengeluh nyeri selama prosedur operasi dan 2 jam post operasi.
Dari evaluasi 3 bulan post operasi tidak didapatkan penderita yang mengalami residif dan
memerlukan tindakan pembedahan, evaluasi dilakukan secara langsung dengan pemeriksaan
ataupun komunikasi melalui telepon.

Daftar Pustaka

1. George EW, Abdominal Wall Hernias. In: Schwartz, Tom S, Frank CS, editors. Principles
of Surgery. 7nd ed. New York: McGraw-Hill; 1999.p.1585-611
2. McIntosh A, Hutchinson A, Roberts A et al. Evidence-based management of groin hernia
in primary care. Oxf j Surg 2000; 17: 442–447.
3. Anon G, Indirect Inguinal Hernia, Emerg Surg; Last up date August 15; 2007; 91; 947-52
4. Warko K, Ahmad D, editors. Dinding perut,hernia, retroperitoneum dan omentum, In:
Sjamsuhidayat R, Wim DJ, Buku Ajar Ilmu Bedah. Revisi ed. Jakarta: EGC; 1998.p.700-10
5. Alex J, Eustace SG, editors. Abdominal Hernias. Last up date16 may; 2007. Available
from : http://www.emedicine.com/MED/topic1089.htm
6. Lee C, Gale Enc Surg. Inguinal Hernia Repair 2004; Available from:
"http://en.Encyc.org/gale/Inguinal_hernia repair"
7. Richard A, Inguinal Canal and Hernia Examination. 2000; Available from :
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/bv.fcgi?rid=cm.chapter.3091
8. Henry S, The Treatment of Indirect Inguinal Hernia. ANZ J Surg 2005; 5: 366-70
9. Richard SS, editors. Clinical Anatomy for Medical Students. 3nd ed. Washington: EGC;
1995.p.155-203
10. Skandalakis JE, Gray SW, Mansberger AR et al, Hernia of the abdominal wall. In Hernia
surgical anatomy and technique, McGraw-Hill Singapore ;1989:144-56
11. Abrahamson J. Hernias. In Maingot’s Abdominal operations, 2002. Zinner MJ, Schwartz
S Ellis H, editors. 10th. Vol.1. Appleton& lange,Singapore1997;14: 479-580
12. Soetamto W, Puruhito, Setiono B, editors. Pedoman Teknik Operasi. Surabaya: Airlangga
University; 2001.p.89-98
13. Thomas C, Cells of Connective Tissues: "Fibroblasts" and "Fibrocytes", in Connective
Tissue. 2001. Available from : www. education.vetmed.vt.edu
14. Dorairajan N, Inguinal hernia-yesterday, today and tomorrow; 2003 Indian J Surg .2004
15. Jonathan D, Abrogation of fibroblast activation protein enzymatic activity attenuates
tumor growth. Am J Surgery; 2005;4:351-360
16. Marcus VC, Sylvia S, Helmut K et al, Basic Fibroblast Growth Factor Synthesis by
Human Peritoneal Mesothelial Cells; Am J Pathol. Dec 1999; 155(6): 1977–84
17. Chowbey PK, Pithawala M, Khullar R et al, Totally extraperitoneal repair of inguinal
hernia. A case for bilateral repair. J of Min Acc Surg; 2006; 2; 171-3
18. Kuga AT. Morisaki AK. Nakamura A et al, Construction of a TransplantableTissue-
Engineered Artificial Peritoneum. Eur Surg Res 2004; 36: 323–30

05 Mei 2009, 14:06:57 | noreply@blogger.com (dr. Heru Seno, SpB, KBD)


Studi Prospektif Modifikasi Hernioplastik Stoppa Prosedur pada Hernia Inguinalis bilateral
tahun 2006 s/d 2008
di Surabaya

PENDAHULUAN
Hernioplastik metode Stoppa untuk penanganan hernia inguinalis pertama kali dilakukan
pada tahun 1975, dengan cara menggunakan prostese mesh lebar pada preperitoneal, tekhnik
pendekatan melalui dinding posterior, .secara prinsip penanganan penederita hernia inguinal
cara ini termasuk penanganan secara free tension hernioraphi. Sebagai gold standart untuk
penanganan hernia inguinal yang dianut sampai saat ini adalah tehnik hernioplastik
Lichtenstein dengan menggunakan mess sebagai penguat. Apapun cara yang digunakan baik
penanganan secara tehnik repair hernioplastik ataupun cara free tention repair dengan
penggunaan mess memiliki potensi residif yang disebabkan oleh karena kesalahan dalam
tehnik penjahitan ataupun pemilihan ukuran mess ataupun penempatan yang kurang tepat
atau bias juga karena terjadinya infeksi dan hematom akibat perdarahan daerah operasi.
Demikian juga terjadinya residif bisa terjadi pada hernioplastik dengan minimal invasife.
Penanganan hernia inguinal bilateral memiliki permasalahan sendiri, karena akan memiliki
dua luka operasi yang tentunya akan mengganggu kenyamanan penderita, demikian juga pada
penderita yang sudah diprediksi akan mengalami kekambuhan seperti pada obesitas ataupun
penderita dengan riwayat batuk kronis. Hernioplastik stoppa menjadi alternative untuk dapat
mengatasi permasalahan ini, akan tetapi tehnik stoppa klasik jarang dikerjakan oleh ahli
bedah karena dianggap lebih sulit dan memiliki potensi komplikasi paska operasi, disamping
itu juga memerlukan mess yang sangat lebar sehingga secara ekonomis sangat memberatkan
penderita. Hal ini yang menjadi penyebab metode stoppa tidak lajim digunakan oleh ahli
bedah.

Hernia Inguinalis residif merupakan masalah yang cukup rumit dibidang pembedahan,
walaupun teknik pembedahan saat ini sedemikian maju dan berkembang . Berdasarkan data
register yang ada di Eropa angka residif pada tindakan pembedahan mencapai 16-18 persen
pada repair primer hernia dengan berbagai variasi teknik, Tindakan operasi pada hernia
residif dengan teknik pembedahan yang terus berkembang angka kekambuhan ulang lebih
dari 30 persen dari data yang dilaporkan. Meningkatnya penggunaan prostesa mesh
menurunkan angka kekambuhan, akan tetapi tehnik pembedahan yang sering dilakukan saat
ini melalui anterior approach merupakan cara yang kurang menguntungkan, karena akan
membuka skar operasi sebelumnya dengan resiko kerusakan pada pembuluh darah testis dan
nervus sensoris. Operasi ulang dengan teknik preperitoneal approach secara terbuka menjadi
alternative pilihan permasalan ini. Hernioplastik stoppa procedure menjadi pilihan teknik
yang terus berkembang untuk penanganan hernia inguinalis yang komplek atau yang
multiresidif dengan cara pemasangan prostese mesh yang lebar dirongga preperitoneal pada
hernia inguinalis bilateral , sedangkan pada yang residif unilateral dengan menggunakan
procedure Wantz, kedua teknik sama-sama menggunakan Giant prostetik reinforcement pada
sakus visceralis dengan menempatkan mesh berukuran 30 x30 cm, sedangkan modifikasi
Stoppa prosedur yang dilakukan di RSUD Dr. Soetomo dan RSAL Ramelan Surabaya
dengan memenggunakan prostetik mesh berukuran 10 x 15 cm dua buah tidak dalam satu
kesatuan, keuntungan cara ini adalah apabila ada permasalahan dengan sisi operasi sisi
lainnya tidak perlu dilepas, disamping itu juga karena ukuran mesh yang lebih kecil
memerlukan biaya yang lebih murah.

PASIEN DAN METODE


Pasien
Tigapuluh lima penderita hernia inguinalis laki-laki dewasa yang memenuhi indikasi untuk
dilakukan hernioplastik stoppa prosedur, yaitu hernia inguinalis bilateral dan hernia
inguinalis bilateral residif dengan resiko operasi ASA I dan II. Setuju untuk dilakukan
tindakan pembedahan. Pembiusan dilakukan dengan regional anestesi ataupun anestesi umum
bila diperlukan. Tindakan pembedahan dilakukan oleh konsultan bedah digestive dan trainee
bedah digestive

Tehnik Pembedahan.
Adapun tahapan tehnik pembedahan pada hernioplastik modifikasi Stoppa prosedur adalah
sebagai berikut :
1. Penderita diposisikan terlentang dalam pembiusan
2. Desinfeksi daerah operasi dengan betadine 10 %
3. insisi midline infraumbilical sekitar 5-6 cm sampai mencapai lapisan preperitoneal
4. diseksi daerah retropubik dari cavum Riezi di depan bladder sepanjang prostat
5. diseksi kelateral dibelakang m. rectus dan pembuluh epigastric pada rongga retro inguinal
sepanjang m. psoas mayor
6. kantung hernia direk dibalik dengan jahitan pulstring bila kantungnya besar
7. kantung hernia indirek dibuka dan secara tumpul dipisahkan dari spermatic cord, isi
spermatic cord dsisihkan, rawat perdarahan
8. dilakukan pemasangan mesh dan kemudian dilanjutkan pada hernia kontra lateral
9. mesh dijahitkan pada pada tuberkulum pubikum untuk mencegah dislikasi mesh
10. Bila diperlukan pasang satu buah drain hisap
11. luka operasi dijahit lapis demi lapis

Metode
studi ini menggunakan prospektif kohort dengan mengikuti dari awal dan periode waktu yang
lebih lama pada 35 kasus pertama penggunaan hernioplastik teknik Stoppa prosedur di RSUD
Dr. Soetomo dan RSAL Ramelan Surabaya. Sejak Januari 2006 sampai dengan Juni 2008

Evaluasi paska operasi


Paska operasi dilakukan evaluasi yang meliputi terjadinya hematome dan infeksi daerah
operasi, nyeri paska operasi, serta komplikasi lainnya yang mungkin terjadi akibat suatu
tindakan pembedahan dan angka kekambuhan selama 6 bulan , evaluasi dilakukan di
ruangan, poli bedah dan komunikasi melalui sarana komunikasi .Sebelum keluar rumah sakit
seluruh penderita mendapat instruksi untuk segera kembali kerumah sakit apabila mengalami
demam, nyeri pada luka operasi ataupun daerah inguinal, kemerahan daerah operasi,
hematome, ataupun bengkak pada skrotum. Sedangkan dipoli bedah dilakukan evaluasi untuk
mencari tanda kemerahan daerah operasi, seroma, hematom, peradangan atau tanda infeksi
didaerah umbilkal ataupun inguinal.

HASIL PENELITIAN
Dari 35 penderita yang telah dilakukan pembedahan sejak periode 2006 sampai dengan 2008
didapatkan rata-rata usia penderita adalah …….( tabel 1). Diagnosa sebelum operasi
didapatkan …penderita dengan hernia inguinalis bilateral primer, ….penderita hernia
inguinalis bilateral residif bilateral dan …….. penderita hernia inguinalis bilateral residif
pada satu sisi (tabel 2). Komplikasi yang terjadi paska operasi 2 penderita mengalami
kekambuhan pada satu sisi operasi selama periode 6 bulan evaluasi, satu penderita
mengalami seroma yang tidak memerlukan pembedahan ulang dan satu penderita mengalami
infeksi luka operasi(tabel 3) dan setelah dilakuakan perawatan hasilnya baik kecuali yang
mengalami kekambuhan dilakukan operasi ulang setelah mendapat persetujuan tindakan
pembedahan, tidak ada penderita yang mengalami keluhan nyeri hebat setelah operasi
ataupun selama evaluasi paska pembedahan (tabel 3). Lama rawat inap setelah operasi 2,3
hari (tabel 4). Dari 35 penderita yang dilakukan prosedur modifikasi Stoppa semuanya dapat
pulang dari rumah sakit tidak didapatkan penderita yang meninggal karena dilakukan
prosedur operasi ini.

IV PEMBAHASAN

Modifikasi hernioplastik Stoppa prosedur atau Giant prosthetic reinforcement of the visceral
Sac (GPRVS) adalah melakukan modifikasi dengan menggunakan 2 buah prostese mesh
terpisah dan lebih kecil dari mesh yang digunakan untuk stoppa yang klasik dan tanpa
memerlukan fiksasi mesh ke fascia ataupun dinding perut untuk mencegah dislokasi mesh,
serta penggunaan drain hanya bila diperlukan. Kami menggunakan cara seperti ini sejak
bulan Juni 2006 dengan indikasi hernia inguinalis bilateral ataupun hernia inguinalis bilateral
yang mengalami residif. Prinsip utama cara ini adalah menerapkan prinsip hukum pascal,
yaitu dengan pemasangan prostese mesh yang memperkuat dinding perut bawah, melalui
pendekatan anatomis yang baik yang tidak mengganggu struktur lipat paha, meski pada kasus
yang mengalami riwayat operasi sebelumnya.
Terjadinya kekambuhan pada awal operasi cara ini disebabkan kurang tepatnya ukuran
protese mesh serta penempatan nya yang berpotensi terjdi dislokasi dari mesh tersebut, ini
terjadi pada awal penggunaan modifikasi stoppa akibat kurang terlatihnya tenaga pembedah,
ini bisa dilihat periode berikutnya sudah tidak ada yang mengalami kekambuhan. Terjadinya
seroma ataupun hematom karena saat melakukan diseksi kurang berhati-hati, demikian juga
infeksi yang terjadi karena penderita tidak melakukan kontrol paska operasi ditempat yang
ditentukan dan berobat ke Puskesmas. Pada dasarnya penggunaan hernioplastik Stoppa lebih
diutamakan untuk repair seluruh hernia inguinal yang berpotensi residif termasuk pada
penderita gemuk dengan distensi abdomen dan pasien dengan bronchitis kronis, secara
khusus ditujukan pada hernia yang mengalami residif atau multi residif dan penderita umur
lebih dari 50 tahun dan hernia bilateral. Mekanisme terjadinya residif pada preperitoneal
herniorhapy. Perubahan tehnik penjahitan dan penggunaan mess dari yang kecil sampai
dengan yang besar untuk mencegah terjadinya tempat yang berpotensi terjadinya hernia
residif sangat dipengaruhi oleh tingginya angka rekurensi pada hernioraphi. Pada dasarnya
terjadinya rekurensi disebabkan oleh kekuatan aproksimasi jahitan defek fascia yang juga
dipengaruhi oleh defek fundamental oleh karena metabolisme kolagen berupa abnormalitas
pada fascia transversalis dan fascia endopelvic. Penyebab lainnya dari terjadinya rekurensi
oleh karena ukuran mess yang terlalu kecil dan penempatan mess yang kurang tepat ataupun
karena adanya infeksi ataupun hematome

Secara prinsip pemilihan cara penanganan hernia adalah menghindari terjadinya nyeri paska
operasi, mencegah terjadinya infeksi ataupun hematom daerah operasi serta terjadinya
kekambuhan, untuk itu kami mencoba melakukan modifikasi tehnik hernioplastik stoppa
dengan cara menggunakan dua buah mess secara terpisah untuk hernia bilateral, tehnik
diseksi preperitoneal secara tumpul lebih berhati-hati dan hanya melakukan fiksasi mess pada
tuberkulum pubikum dengan satu jahitan tanpa memerlukan penjahitan mess pada muskulus
psoas dan dinding perut untuk mencegah lesi organ ataupun perdarahan, disamping itu juga
penggunaan drain hanya bila dianggap perlu, dan pembiusan secara regional. Prosedur
penanganan hernia dengan modifikasi Stoppa seperti ini sudah dilakukan sejak periode juni
2006 dan sampai saat ini sudah dilakukan pada 35 penderita yang dirawat di RSUD Dr
SOETOMO. Dan RSAL Dr Ramelan Surabaya. Prostese mess yang digunakan berukuran
minimal 15 x 10 cm, dan sebagian menggunakan mess berukuran 15 x 15 cm pada penderita
yang gemuk. Semua penderita dievaluasi sampai dengan 6 bulan paska operasi, evaluasi yang
dilakukan meliputi usia, diagnosa,riwayat operasi sebelumnya lama operasi, penggunaan
drain, angka rekurensi selama 6 bulan, nyeri paska operasi, infeksi dan hematom paska
operasi. .Prosedur pembedahan dilakukan oleh senior bedah digestive dan treinee bedah
digestive, evaluasi dilakukan dipoli bedah dan sebagian penderita melalui komunikasi
telepon. Standar untuk merepair hernia inguinal sampai saat ini adalah tehnik Lichtenstein.
Banyak teknik yang telah digambarkan oleh berbagai penulis, tension free rapair yang
menggunakan bahan-bahan sintetik prostetik untuk memperkuat kembali dinding inguinal
posterior. Bahan- bahan prostetik sekarang disposible, memiliki bioreaktivitas yang baik,
dengan fibroplasias yang efisien, mengurangi nyeri post operatif, dan secara bermakna
mengurangi frekuensi rekurensi dan periode penyembuhan.

IV KESIMPULAN
1. Semua tehnik repair hernia inguinalis secara traddisional maupun tehnik modern memiliki
kemungkinan terjadinya kekambuhan.
2. Modifikasi stoppa prosedur dapat dilakukan pada penanganan hernia inguinalis yang
residif ataupun pada operasi hernia yang berpotensi untuk terjadinya kekambuhan oleh
karena obesitas ataupun batuk kronis.

3. Modifikasi stoppa prosedur memiliki keunggulan dari sisi luka operasi, lama operasi, dan
kemungkinan terjadinya komplikasi organ dibandingkan metode lichtensteen pada
penanganan hernia residif, multi residif dan bilateral,

Daftar Pustaka.

Crohn Diseases dan HBO Terapi

05 Mei 2009, 13:57:44 | noreply@blogger.com (dr. Heru Seno, SpB, KBD)


Penggunaan HBO sebagai therapy tambahan pada tindakan pembedahan penyakit Crohn’s
di RSAL Dr Ramelan Surabaya

I.PENDAHULUAN
Penyakit Crohn’s adalah penyakit inflamasi usus yang bersifat kronis disertai proses Penyakit
ini pertama kali dilaporkan oleh Crohn, Ginzberg dan oppenheimer paada tahun 1932,
dimana ditemukannya proses radang pada segmen ileum terminalis dan diberi nama ileitis
terminalis.. Di Amerika insidensi penyakit Crohn 5 per 100.000 penduduk. Terdapat
beberapa laporan dari seluruh dunia bahwa akhir-akhir ini insidensi penyakit tersebut
semakin meningkat(Wheelan 1990; Rowe 2004;Shapiro 2004 ). angka kejadian dan
prevalensi untuk Crohn’s disease adalah 2-3/100.000 dan 20-40/100.000 ( Kirsner 1995;
Podolsky1988;Whelan1990 ). Di Indonesia data yang dilaporkan oleh rumah sakit Cipto
Mangunkusumo, Jakarta hanya menyebutkan 5-10 kasus kolitis ulserativa pertahun ( Manan
1990 ). Ditinjau dari jenis kelamin, beberapa penulis menyatakan insidensi kolitis ulserativa
dan Crohn’s lebih banyak terjadi pada wanita dibandingkan dengan pria (Shapiro2004),
namun penulis lainnya menyatakan tidak ada perbedaan insidensi antara pria dan wanita. (
Rowe 2004). Penggunaan HBO sebagai terapi tambahan pada penyakit crohn’s masih jarang
dilaporkan akan tetapi beberapa penulis mempunyai anggapan bahwa ini dapat digunakan
sebagai terapi tambahan untuk meredakan fase akut penyakit Crohn. Secara prinsip HBO
adalh memberikan oksigen murni 100 % dengan tekanan tinggi, diharapkan dengan
meningkatnya aliran oksigen kejaringan akan mempercepat proses meredanya inflamasi pada
penderita penyakit Crohn’s.

ETIOLOGI
Penyakit Crohn disebabkan oleh karena multi faktoral pada beberapa kasuss diketahui dapat
disababkan oleh adanya suatu kerentanan factor genetic yang menyebabkan beberapa virus
atau bakteri menyebabkan terjadinya reaksi imun yang abnormal yang pada akhirnya
menyebebkan respon inflamasi pada jaringan usus, meskipun penyakit ini mempunyai
gambaran yang menyerupai penyakit aotoimmun, beberapa peneliti berpendapat dapat
ditimbulkan adanya defisiensi immunitas . Respon imun terhadap infeksi pada dasarnya
dilakukan oleh Limposit dan leukosit, limposit terbagi dalam 2 subtype yaitu sek T dan sel B
keduanya mempunyai kemempuan untuk mengenali antigen asing dan mempunyai
kemempuan untuk memeranginya, sel B memproduksi antibody yaitu subtansi yang dapat
memerangi antigen asing bersamaan dengan sl B atau dengan sendirinya. Sel T mempunyai
reseptor khusus yang dapat mengenali antigen spesifik. Sel T secara lebih lanjut
dikelompokan sebagai killer T sel dan T helper, killer Tsel secara langsung menyerang
antigen yang dihasilkan oleh sel mana saja yang mempunyai nucleus, sl T helper juga dapat
mengenali antigen namun fungsi mereka sebenarnya ada 2 yaitu menstimulasi sel B dan sel
Darah putih lainnya untuk menyerang antigen dan memproduksi citokien sebuah factor imun
yang sangat kuat mempengaruhi proses inflamasi. Pada penyakit Crohn sel T helper berperan
menstimulasi sel B untuk memproduksi antibody namun mereka cenderung memerintahkan
sel B untuk membentuk system autoantibody terhadap sel tubuh sendiri, citokin yang
diproduksi oleh sel T helper jika dalam jumlah sedikit dapat mempercepat proses
penyembuhan namun jika diproduksi terlalu banyak akan dapat menimbulkan kerusakan yang
serius termasuk proses inflamasi dan kerusakan sel, citokin yang dikenal dapat menimbulkan
inflamasi pada usus adalh tumor nekrosis factor, interferon gama dan interleukin, sel T helper
secara lebih lanjut dikatagorikan menjadi Th1 dan Th2, ketidakseimbangan diantara kedua sel
ini dapt dijumpai pada penderita penyakit Crohn
Pada penderita penyakit crohn diketahui terdapat peningkatan aktifitas sel Th1 yang
kemudian mengaktifasi interleukin 2 dan interferon gama, TNF kemungkinan merupakn
mediator yang paling berperan pada penyakit ini. Interleukin 6 kemungkinan juga berperan
pada penyakit crohn dengan cara menghambat proses apoptosis. pada beberapa kasus
diketahui jika sel berproliferasi lebih cepat dari pada proses kematiannya dapat menimbulkan
suatu respon imun yang sangat kuat.
Faktor genetik diduga mempunyai peranan yang penting, hampir meliputi 10%-20% penderta
penyakit Crohn mempunyai riwayat penyakit yang sama, salah satu penemuan terpenting
adalah ditemukannya gen farina yang disebut NOD2 yang diduga mengganggu system imun
sehingga menimbulkan reaksi yang berlebihan terhadap bakteri yang menimbulkan inflamasi,
factor genetic ini diduga didapatkan pada 15% penyakit Crohn, jika gen ini mampu
mengalami mutasi akan meningkatkan resiko terjadinya penyakit ini sampai 40 %.
Beberapa teori mengatakan bahwa infeksi virus dan bakteri dapat mengganggu keutuhan
system traktus intestinal yang lambat laun dapat memicu suatu respon inflamasi beberapa
studi mengatakan bahwa anak dengan penyakit crohn telah mendapat infeksi penyakit
campak sebelumnya, namun menurut US centre for Disesase control virus campak tidan
menimbulkan penyakit ini. Kebanyakan publikasi memfokuskan kepada apakah faksin MMR
menyebabkan autisme atan penyakit Crohn, pada studi yang terakhir ternyata berdasarkan
fakta faksin MMR tidak meningkatkan resiko terjadinya penyakit Crohn. Tipe bakteri lain
yang dapat dikaitkan dengan penyebab penyakit crohn adalah bakteri TBC, beberapa strein E
Colli dapat melekat kuat didinding usus dan menimbulkan kerusakan mukosa hal ini
dikaitkan sebagai penebab penyakit Crohn denikian juga Cytomegalo virus .
Penderita penyakit Crohn lebih tinggi pada Negara industri maju dan dengan penghasilan
yang tinggi, hal ini dikaitkan dengan adanya factor jenis makanan ikut mempengaruhi
terjadinya penyakit Crohn.

GEJALA
Gejala yang karekteristik dikaitkan dengan penyakit Crohn adalah :
1. Timbul pada usia dewasa muda
2. dapat timbul secara mendadak ataupun perlahan-lahan
3. gejala dapat merupakn sebuah relapse setelah fase remisi
4. gejala bervariasi dari yang ringan sampai sanagat berat
5. mempunyai resiko terbesar pada musim dingin dan musim semi
Sedangkan gejala yang lebih spesifik pada penyakit Crohn adalah sebagai berikut :
1. Adanya riwayat diare yang berulang merupakan gejala yang umum terjadi
2. Diare yang kadang-kadang dapat disertai darah
3. Adanya riwayat konstipasi yang disebabkan oleh adanya obstruksi di usus halus.
4. Adanya gejala episode yang berulang berupa nyeri bagian bawah perut atau diatas tulang
pelvis, adanya riwayat nyeri perut menandakan adanya kondisi yang serius, mungkin juga
sudah adanya abses perforasi organ berongga.
5. Adanya riwayat demam ringan kadang-kadang muncul.
6. Terjadinya penurunan napsu makan disertai kehilangan berat badan dan keterlambatan
pertumbuhan pada hampir semua penderita.
7. Adanya riwayat gangguan pola defekasi kadang-kadang didapati pada penderita ini.
8. Adanya ulkus pada anus ataupun fistel peranal merupakan gejala awal pada penyakit ini
9. Adanya riwayat gangguan neurologis gejala psikiatrik merupakn gejala sebagai gejala awal
.
DIAGNOSIS.
Penyakit Crohn sulit didiagnosis terutama pada anak, perlu mendapatkan riwayat penyakit
secara lengkap dan pemeriksaan fisik yang teliti, kadang kadang riwayat diare berdarah dan
penurunan berat badan tidak didapatkan , adanya keterlambatan tumbuh kembang menjadi
salah satu kunci untuk menduga terjadinya penyakit Crohn pada anak.
Laboratorium.
Pemeriksaan darah lengkap akan didapati peningkatan jumlah leukosit yang menggambarkan
adanya proses inflamasi, pemeriksaan feses untuk mengetahui adanya sumberinfeksi lain.
Standard Endoscopik
Fleksibel sigmoidoskopi dan colonoscopi diperlukan untuk menilai lumen dari usus besar
juga dapat dilakukan untuk biopsis jaringan. Sigmoidoskopi digunakan untuk menilai
rektumdan kolon kiri, memerlukan waktu sekitar 10 menit dan tanpa bantuan sedasi
sedangkan colonoscopi untuk menilai seluruh kolon dan harus dengan bantuan sedasi dan
tidak memerlukan perawatan dirumah sakit. Penggunaaan Wireless Capsule endoskopi
merupakan tehnik imeging yang baru dan lebih nyaman digunakan untuk penderita serta
memberikan gambaran yang lebih menyeluruh.Penggunaan Ultrasound intraluminer
diperlukan untuk menilai berat dan luas penyakit, ditangan ahlinya dapat digunakan untuk
membedakan Crohn dan Colitis ulserative. Pemeriksaan Upper dan Lower Gastrointestinal
Barium X-Ray dapat memberikan gambaran adanya proses inflamasi, ulkus kelainan lainnya.
Pemeriksaan CT Scans dapat digunakan untuk mengevaluasi pada penderita fase akut adanya
penebalan dinding dan komplikasi lainnya dapat terlihat. Pemeriksaan MRI dapat membantu
untuk mendiagnosis adanya abses dan komplikasi lainnya yang dapat dihubungkan dengan
penyakit Crohn. Dan juga digunakan untuk membedakan dengan Kolitis Ulserative.

KLASIFIKASI
Sachar (1990) dan Dietz etal (2001) membagi Crohn’s disease menjadi 3 kelompok
berdasarkan gejala klinis :
1. Tipe indolent/ fibrostenotik : rekurensi terjadi perlahan, terjadi obstruksi usus
2. Tipe agresif : rekurensi terjadi cepat, perforasi usus, fistula.Pasca operasi cenderung terjadi
perforasi kembali. Rekurensi terjadi lebih cepat disbanding tipe indolent.
3. Tipe inflamasi : tidak ada komplikasi yanga memerlukan tindakan bedah, gejala klinis
yang menonjol adalah gejala malabsorbsi.
Dibandingkan dengan tipe agresif, tipe indolent lebih sering dijumpai, Ini mungkin berkaitan
dengan lokasi tersering pada Crohn’s disease adalah ileokolika ( 30-45%) (Shapiro 2004;
Hodin 2001 ), sehingga gejala nyeri perut kanan bawah atau proses terbentuknya masa di
regio iliaka kanan yang sebenarnya merupakan gejala Crohn’s disease ditafsirkan sebagai
gejala apendisitis akut.
Berlainan dengan pasien Crohn’s disease yang datang dengan komplikasi akut abdomen,
pasien yang datang dalam masa remisi, pada operasi lebih menunjukkan kekhasannya : skip
phenomena dan dinding usus yang menebal,. Welton etal ( 2001 ) menyebutkan gambaran
makros klasik bagi Crohn’s disease berupa dinding usus yang menebal dan hiperemis dengan
gambaran pembuluh darah seperti ” corkscrewing”, mesenterium menebal cenderung
meliputi dinding usus seperti gambaran ”creeping fat” disertai pembentukan pseudopolip
inflamasi dan gambaran” cobble stone” pada mukosa

Indikasi penanganan secara bedah pada kasus penyakit Crohn ( Welton etal 2001) :
1. Kegagalan terapi medikamentosa
• Gejala tidak mereda setelah pemberian kortikosteroid selama lebih dari 6 bulan
• Terjadinya rekurensi pada saat dilakukan tapering kortikosteroid dosis tinggi
• Gejala klinis memburuk atau timbul komplikasi baru sekalipun dengan pemberian terapi
medis secara maksimal
• Timbul komplikasi pemberian steroid ( Cushingoid,katarak,glaukoma,hipertensi
sistemik,aseptik nekrosis pada kaput femur,myopati,fraktur korpus vertebra )
2. Terjadi komplikasi intraluminal : striktura yang menyebabkan obstruksi
3. Terjadi komplikasi sepsis
• Masa inflamasi atau abses ( intraabdominal,pelvis,perineal )
• Fistula yang menyebabkan :
Gangguan kualitas hidup ( enterokutaneus,enterovaginal,fistula ani )
Fistula yang berhubungan dengan sistem genitourinaria ( entero atau kolovesikal )
 Fistula yang menyebabkan pintasan anatomis atau fungsional yanga menyebabakan
problem malabsorbsi atau diare hebat ( fistula duodenokolik atau enterorektosigmoid )
4. Perdarahan
5. karsinoma
6. retardasi pertumbuhan
7. kolitis fulminan dengan atau tanpa toksik megakolon

Pada penyakit Crohn dapat terjadi fistula enteroenterik, enterokutaneus, enterovesikal atau
enterovaginal. Selama fistel ini tidak menyebabkan sepsis intra abdominal harus diupayakan
terapi medikamentosa. Terapi pembedahan ditujukan untuk mengatasi sepsis intra abdominal.
Pilihan jenis tindakan bedah dapat berupa prosedur by pass atau reseksi usus disertai
anastomosis. Tindakan terakhir lebih dianjurkan banyak ahli karena sekaligus menghilangkan
penyebab terjadinya fistel dan kemungkinan terjadinya carcinoma di kemudian hari. (
Hodin,2001 ).
Perforasi usus yang besar jarang terjadi pada penyakit Crohn. Pada umumnya perforasi yang
terjadi berukuran kecil atau mikroperforasi. Perforasi jenis ini dapat menyebabkan abses intra
abdominal, fistula enteroenterik atau enterokutan dengan gejala klinis demam, nyeri perut,
masa intraabdominal, abses intraabdominal dan peritonitis ( Judge2003). Kebanyakan pasien
dengan gejala ini dapat diatasi dengan pemberian antibiotika intravena dan nutrisi parenteral.
Pada abses intraabdominal, terapi drainase perkutan dengan tuntunan CT scan tenyata efektif
dengan keuntungan berupa morbiditas yang lebih rendah dan lama tinggal di rumah sakit
lebih singkat dibandingkan terapi pembedahan.Tindakan pembedahan definitif hendaknya
ditunda beberapa minggu hingga seluruh abses telah terdrainase dengan baik dan proses
radang telah terkontrol dengan pemberian immunosupressan dan atau infliximab. Tindakan
laparotomi dilakukan bila terapi konservatif mengalami kegagalan atau pada pasien dengan
perforasi berukuran besar dengan gejala klinis peritonitis generalisata (Hodin 2001). Kasus
perforasi pada penyakit Crohn dapat ditangani dengan reseksi segmen usus yang sakit dan
dilakukan stoma temporer, atau bila keadaan pasien begitu jelek dapat dilakukan stoma pada
tempat perforasi. Kesulitan pada pasien kami adalah perforasi timbul pada beberapa segmen
kolon dan seluruh segmen usus mengalami proses peritonitis ( pasien no 1dan 3. ) sehingga
sulit untuk mengenali batas segmen usus yang sehat, sehingga terjadi perforasi kembali pada
segmen usus yang tidak dilakukan reseksi.Pada ke empat pasien kami yang mengalami
perforasi, seluruhnya kami lakukan reseksi segmen usus yang sakit dan pembuatan stoma
proksimal. Dari ke empat pasien ini, 3 pasien mengalami kematian. Rowe ( 2004 )
menyebutkan angka kematian diatas 50 % pada pasien yang mengalami perforasi.
Pemberian kortikosteroid pada kasus terjadinya mikroperforasi masih menjadi bahan yang
kontroversial. Beberapa ahli mengkhawatirkan pemberian kortikosteroid akan memperburuk
kondisis pasien, namun Feder etal (1991) membuktikan pemberian kortikosteroid pada 24
pasien dengan masa intraabdominal yang teraba dari dinding abdomen memberikan
perbaikan gejala klinis pada 15 pasien.
Striktura usus yang diakibatkan penyakit Crohn dapat berupa striktura tunggal atau multiple.
Karena striktura ini jarang menimbulkan obstruksi usus komplikata, penanganan secara
konservatif harus selalu dicoba terlebih dahulu. Penanganan secara bedah untuk kasus
striktura ditujukan untuk kasus obstruksi berulang , kegagalan penanganan secara konservatif
atau obstruksi usus pada pasien dengan riwayat operasi sebelumnya.Keputusan melakukan
operasi harus didasari kondisi klinis adanya obstruksi usus, bukan karena ditemukannya
adanya gambaran radiologis striktura seperti “string sign “, karena seperti dilaporkan oleh
Goldberg etal ( 1979 ) sering tidak ada korelasi antara keadaan klinis dengan gambaran
radiologis. Untuk kasus penyakit Crohn dengan komplikasi striktura yang jelas menunjukkan
gejala obstruksi dapat dilakukan multiple reseksi pada tempat striktura dan anastomosis atau
by pass internal atau gabungan keduanya atau strikturoplasti.Keputusan melakukan reseksi
atau strikturoplasti ditentukan oleh jumlah, lokasi dan panjang striktura.Striktura yang
panjangnya 8-10 cm dapat dilakukan strikturoplasti dengan metode Heine Mikulick sedang
striktura yang panjang dapat dilakukan dengan metode Finney(Hodin 2001).Namun bila
striktura terlalu panjang untuk dilakukan strikturoplasti atau striktura multiple yang letaknya
berdekatan harus dilakukan reseksi usus.Karena pada prinsipnya penyakit Crohn tidak dapat
disembuhkan dan rekurensi hampir selalu terjadi ,harus diusahakan agar tidak melakukan
reseksi usus untuk menghindari terjadinya “ short bowel syndrome “. Selain itu, tindakan
strikturoplasti juga jarang menimbulkan komplikasi leakage karena proses perforasi di sisi
antemesenterial jarang terjadi dan daerah terjadinya striktura telah mengalami proses fibrosis
dan tidak terjadi peradangan akut( Hodin2001; Fazio1990;Korelitz1982 , Dietz 2001). Dietz
dalam penelitiannya terhadap 314 pasien yang dilakukan strikturoplasti di intestinum tenue
hanya mendapatkan angka komplikasi 5 % untuk leakage dan 2 pasien dengan perdarahan
pada tempat strikturoplasi yang membutuhkan tindakan angiografi dan 1 pasien dengan
pertumbuhan proses keganasan ditempat strikturoplasti.
Pada saat melakukan reseksi timbul masalah mengenai batas reseksi yang aman agar tempat
anastomosis kita benar-benar sehat dan tidak terjadi rekurensi pada tempat anastomosis. Hal
ini masih menjadi bahan kontroversial dikalangan para ahli.Batas reseksi yang dianjurkan
Crohn pada tulisan orisisinilnya adalah 2 feet proksimal dari bagian usus yang sakit (Hodin
2001). Pendapat lain mengenai batas reseksi yang aman adalah 5 – 10 cm dari batas jaringan
sehat secara makroskopis akan menurunkan frekwensi rekurensi, namun hal ini dapat
menimbulkan terjadinya “ short bowel syndrome “ bila segmen usus yang sakit cukup
panjang dan multiple ( Fazio 1990). Untuk itu Wolf(1983) dari klinik Mayo menyarankan
pemeriksaan ”frozen section “ untuk melihat batas segmen usus yang sehat dan yang
sakit.Beberapa ahli lain berpendapat tidak ada perbedaan frekwensi rekurensi antara tempat
anastomosis pada segmen usus normal dengan abnormal. Fazio etal (1990) membandingkan
batas reseksi 2 cm dan 12 cm pada 131 pasien dengan median follow up selama 56 bulan
mendapatkan tidak ada perbedaan angka rekurensi antara keduanya. Pendapat ini mendapat
dukungan dari kelompok studi Birmingham yang menyatakan bahwa rekurensi hampir selalu
terjadi pasca operasi, sehingga harus selalu diupayakan tindakan konservasi usus.
Pemeriksaan endoskopis pasca operasi oleh Rutgeerts etal (1990) mendapatkan adanya
rekurensi berupa ulkus apthosa preanastomosis pada 70 % pasien dalam tahun ke 1 dan pada
85 % bila pemeriksaan diulangi pada tahun ke 3 pasca operasi. Tempat rekurensi tersering
pasca reseksi usus kecil adalah pada neo ileum terminal sedang pada pasien ilekolitis 65 %
juga mengenai colon. Frekwensi rekurensi yang menunjukkan gejala klinis terjadi pada 35 %
pasien pada tahun ke 5 , 55 % pada tahun ke 10 dan 75 % pada tahun ke 15. Kesimpulan dari
data-data ini adalah bahwa rekurensi hampir pasti tejadi terlepas dari seberapa jauh batas
reseksi kita ,sehingga tindakan konservasi usus harus selalu dupayakan dan terapi
pembedahan hanya ditujukan untuk pasien dengan komplikasi klinis yang nyata. Untuk
menghindari atau menurunkan frekwensi terjadinya rekurensi beberapa peneliti menyarankan
pemberian obat mesalamine atau metronidazole pasca operasi ( Rutgeerts 1990; Mc Leod
1995 ).

Resiko terjadinya proses keganasan pada penyakit Crohn’s telah diteliti oleh banyak pakar.
Insidensi terjadinya karsinoma kolon pada penyakit Crohn’s kurang lebih 270 per 100.000, 6
kali dari resiko pada populasi normal, sedang untuk kolitis ulserativa 700 per 100.000 (
Korelitz 1990). Namun terjadinya proses karsinoma pada pasien penyakit Crohn’s terjadi
pada proses penyakit yang telah berlangsung 15-20 tahun. Welton etal ( 2001) menyebutkan
lebih dari 70 % dari pasien –pasien ini akan mengalami kelainan yang signifikan pada rektum
dan 50% diantaranya akan membutuhkan protektomi.
KOMPLIKASI
Penyakit Crohn adayang mempunyai manifestasi yang jinak sampai dengan sangat
berat,beberapa penderita mengalami suatu epsode tunggal ada juga yang mengalami episode
yang terus berulang, meskipun kekambuhan itu dianggap suatu fenomena yang normal tetapi
pada beberapa penderita ada yang bebas dari penyakit ini dalam waktu yang sangat lama.
Meskipun penyakit Crohn tidak dapat disembuhkan walaupun dengan intervensi
pembedahan, saat ini medikamentosa dapat menjadi pilihan pada sebagian besar penderita
penyakit ini, penyakit Crohn jarang menjadi penyebab langsung kematian, sebagian besar
penderita dapat hidup normal dengan penyakit ini.
Pada penderita Crohn yang ringan semakin sedikit pergerakan pada usus semakin ringan
gejala yang muncul, pada penderita ini didapatkan nyeri perut yang sangat ringan bahkan
tidak ada keluhan nyeri perut, penderita secara klinis menyerupai orang normal, sedikit
komplikasi yang muncul adalah keluhan diluar traaktus intestinal, tidak didapatkan massa
pada pemeriksaan fisik dan hasil laboratorium menbdekati normal.
Pada penyakit Crohn yang berat sering berupa peningkatan mobilitas usus hingga
memerlukan obat opiat ataupun antidiare yang poten, didapatkan keluhan nyeri perut yang
sangat hebat dan biasanya berupa nyeri dikwadran kanan bawah, lokasi nyeri tidak
mengidentifikasikan tempat sumber masalah, yang sekarang dikenal dengan referred pain,
jumlah ereitrosit rendah, penderita mengalami komplikasi berupa kehilangan berat badan,
nyeri sendi, inflamasi pada mata, kulit merah atau ulserasi pada kulit, fistel, abses dan
demam, pengobatan secara pembedahan dan non pembedahan pada kasus Crohn dengan
kolitis ulserative mempunyai komplikasi yang bisa menjadi berat.
Komplikasi di saluran cerna berupa malabsorbsi dan malnutisi yang disebabkan krena
perdarahan dan diare sebagai efek samping dari obat dan tindakan pembedahan, terjadinya
fistel karena adanya ulkus yang dalam yang dat terbentuk bersama penyakit Crohn, kalau
fistel berada di antara usus halus dan kolon, dapat terjadi gangguan penyerapan nutrisi, fistel
sering membentuk kantong abses yang dapat membahayakan bila tidak diterapi,. Perdarahan
massif dapat terjadi pada 1 sd 2% kasus dan dapat kambuh, perdarahn itu biasanya berasal
dari area yang terlokalisir dari usus, dengan pembedahan perdarahan itu bisa diatasi.
Terjadinya kanker Kolorektal lerpotensi pada penderita kolitis ulcerativ dibandingkan
penyakit Crohn, tetapi penyakit Crohn mempunyai resiko 40 kali lipat menderita kanker usus
nhalus , Obstruksi intestinal terjadi karena adanya jaringan parut yang dikenal sebagai striktur
akibat inflamasi penyakit Croh, hal ini dapat terjadinya obstruksi usus dengan kolik yang
sangat hebat disertai muntah yang profuse, striktur biasanya muncul pada usus halus akan
tetapi bisa juga terjadi pada kolon
Komplikasi siluar usus :
1. Penderta penyakit ini mempunyai resiko lebih tinggi terpapar penyakit inflamasi lain yang
menyeran paru-paru dan sistem saraf pusat
2. Menurut studi tahun 2005 penerita memiliki resiko lebih tinggi mengidap asma juga
bronkitis dan inflamasi lainnya.
3. Inflamasi pada mata merupakn tanda awal pada penyakit Crohn pada beberapa kasus,
penyakit retina dapat terjadi tetapi jarang, dengan komplikasi artritis memiliki resiko penyakit
mata yang lebih tinggi.
4. Kekakuan pada sendi disebabkan adanya artritis oleh karena inflamasi, juga disertai nyeri
sendi dipunggung serta beresiko terjadinya klubbing finger.
5. Pada tulang bisa terjadi osteppenia dan osteoporosis.
6. Terjadinya anemi disebabkan adanya ulkus di usus
7. Gangguan pada hepar dan sistem bilier berupa kolelitiasis.
8. Candidasis pada mulut merupakan komplikasi terapi.
9. Gangguan kulit berupa pembengkan pada kulit berupa ulkus.
10. Tromboembolis pembuluh darah dat terjadi pada tungkai bawah dan daerah pelvis.
11. Infeksi tartus urinarius sering terjadi dan kemungkinan terbentuknya batu salauran
kencing lebih tinggi.
12. Keterlambatan tumbuh kembang bisa terjadi bila penyakit ini mengenai anak-anak.
13. kemungkinan terjadinya prematuritas dapat terjadi pada kehamilan.
14. Gangguan siklus haid serinh terjadi pada penyakit ini.
15. Gangguan neurologis berupa dementia , gangguan pola pikir dan stroke serta
kemungkinan terjadinya multiple sclerosis dan ganngguan nervus optikus.
16. Gangguan emosi sering terjadi pada penderita dewasa muda.

IV.KESIMPULAN
Gejala klinis dari penyakit Crohn sangat beragam tergantung dari lokasi dan gradasi
penyakitnya, oleh karena itu proses menegakan diagnosa bukan hal yang mudah, apalagi bila
pasien datang dalam keadaan akut abdomen akibat komplikasi perforasi usus dimana
gambaran klasik dari segmen usus yang terkena sering tidak tampak akibat tumpang tindih
dengan gambaran peritonitis. Kecurigaan akan adanya proses penyakit Crohn perlu
dipikirkan dalam hal adanya perforasi usus pada usia muda yang tidak jelas kausanya.
Komplikasi perforasi pada crohn's disease mempunyai tingkat mortilitas yang tinggi, hal ini
sering disebabkan adanya perforasi ulangan pada segmen usus yang sebelumnya tidak
mengalami perforasi. Pada pasien kami tingkat mortalitas pada pasien dengan komplikasi
perforasi sebesar 75 %.

Kasus 1. Tn. S 51 tahun datang ke UGD dengan keluhan utama perut kembung panas badan
dan nyeri serta muntah-muntah sejak satu hari sebelum masuk rumah sakit, sebelumnya
sudah berobat ke dokter disarankan untuk MRS tapi px tidak mau, riwayat diare kronis sejak
6 bulan yang lalu, diare hilang timbul, riwayat DM tapi terkontrol. Saat datang ke RS
kesadaran menurun. T 90/50 N 132 RR 32 Suhu 39,8 .
PD Dispneu, abdomen Distended, defans muskuler, pekak hati hilang, bising usus negatif. RT
TSA lemah nyeri diseluruh permukaan, dipasang NGT keluar cairan hijau 1200 cc,
BOF/LLD tampak udara bebas.
Diagnosa Peritonitis generalisata suspek perforasi organ berongga. Sepsis
Dlikakukan explorasi Laparotomi didapatkan multiple perforasi pada ilium distal sampai
denagan kolon ascenden, sebagian mengalami nekrosis, spilege faeces 2000 cc bercampur
pus Dilakukan hemikolektomi kanan dan iliostomi dengan mukus fistel pada kolon.
Post operasi kondisi px tidak membaik dengan tanda peritonitis ulang , sepsis dan gula darah
sulit dikontrol ( > 600}, setelah dilakukan therapi oleh penyakit dalam dilakukan
relaparotomi dengan tujuan kontrol sumber infeksi pada hari ke 2, paske operasi ke 2 kondisi
px mulai membaik akan tetapi gula darah tetap sulit dikontrol. Hasil Patologi jaringan suatu
Crohn’s disease. Hari ke 10 px mulai membaik gula darah mulai terkontrol, disamping
pemberian antibiotika dan anti dibet serta nutrisi suport px mendapat therapi sulkolon 3x2
tablet. Hari ke 20 px keluar rumah sakit dalam keadaan baik, gula darah terkontrol dan luka
operasi terawat baik, px mendapat therapi sulkolon dan OAD. Setelah 6 bulan keadaan px
baik kemudian dilakukan pemeriksaan kolonoskopi dan biopsi dengan hasil baik dan tidak
ada tanda cronh lagi. Satu bulan kemudian diputuskan dilakukan tutup kostomi, setelah
dilakukan penutupan hari ke2 px panas badan dan mulai timbul tanda peritonitis dan sepsis,
diputuskan dilakukan explorasi laparotomi ulang pada hari ke 4, didapatkan , pus sekitar 200
cc putih, tidak ada perforasi usus, anastomosis baik, usus oedema dan dilatasi pada seluruh
usus, penjahitan dinding perut hanya pada kulit, dua hari kemudian kondisi semakin
memburuk dan kemudian terjadi fistel enterokutan mula mula 1 buah kemudian bertambah
menjadi 6 buah, total cairan fitel hampir 1000 cc dengan kwlitas faeces cair, karena tidak ada
tanda peritonitis dan gula darah sulit diturunkan diputuskan untuk terapi konservatip, dengan
pengaturan nutrisi TPN kombinasi dengan oral, serta perawatan fistel, hari ke 14 setelah
operasi terakhir penderita mendapat therapi tambahan HBO therapi selain obat yang sudah
diberikan, HBO diberikan 10 kali, dengan cara 5 kali setiap minggu. Setelah Hbo yang ke5
kondisi semakin membaik dan jumlah cairan yang keluar melalui fistel berkurang dan px bisa
bab melalui anus, setelah pemberian ke 10 fistel mulai menutup tinggal 2 fistel yang masih
pruduktif, dengan cairan perhari berkisar 150 cc kwalitas faeces cair, berdasarkan
pertimbangan tersebut progranm therapi HBO dilanjutkan 10 kali lagi, setelah pemberian ke
15 tinggal 1 buah fistel yang masih produktif sekitar 20 – 30 cc kwalitas pus, hasil norit test
negatif, px dipulangkan dilanjutkan perawatan poliklinis, kemudian therapi dilanjutkan
sampai HBO ke 20. Dengan hasil seluruh fistel dapat menutup.
Kasus 2. Tn. B. 44 tahun MRS dengan keluhan diare kronis disertai berak berdarah dan cair,
sejak 1 hari sebelum MRS perut kembung nyeri, muntah –muntah dan panas badan serta
lemah, pertama kali dirawat oleh sejawat penyakit dalam kemudian dikonsulkan ke bagian
bedah. Saat datang kondisi px dengan KU lemah dan anemis,
PD T 80/40 N 146 RR 36 S 40 C anemis
Thorax dbn
Abdomen Distended, defans muskuler, pekak hati negatif, Bising usus negatif
RT TSA kolaps, Nyeri diseluruh permukaan. Faeces bercampur darah .
Lab Hb 4,2 L 28000, Bun 48 SC 2,8 Albumin 2,4
Bof/LLD tampak udara bebas, USG abdomen massa besar disekitar sigmoid ukuran 10x 10 x
8 cm.
Diagnosa Peritonitis Generalisata suspek perforasi organ berongga . Sepsis. Anemi Gravis,
Dehidrasi berat, hipo albumin.
Setelah dilakukan perbaikan keadaan umum selama 20 jam diputuskan dilakukan eksplorasi
laparotomi pada tanggal 2008.
Durante Operasi didapatkan adanya massa di Sigmoid berukuran 14 x10 cm yang mengalami
perforasi dengan ulkus berukuran 2x 2 cm ada 3 buah, spilage faeces 1000 cc bercampur
darah, dan pada kolon descenden terdapat penebalan pada seluruh dindingnya, diputuskan
dilakukan sigmoidektomi dan hemikolektomi kiri, dilakukan anastomosis kolon transversum
dengan rektum dengan menggunakan CDH 33, dan iliostomi untuk proteksi, setelah
sebelumnya hasil vrees scope tidak ditemukan keganasan.
Paska operasi kondisi penderita membaik hasil PA suatu Crohn’s Disease, kemudian
dlanjutkan therapi dengan sulcolon 3x2 tablet sesuai saran sejawat Penyakit Dalam.dan HBO
therapi selama 20 kali. Setelah 3 bulan paska therapi dilakukan Colonoscopi dan ilioscopi
serta biopsi untuk persiapan penutupan iliostomi dengan hasil dalam batas normal, biopsi
tidak ditemukan tanda penyakit Crohn’s , kemudian dilakukan pemeriksaan lopografi distal
dengan kontras water soluble, dengan hasil dalam batas normal. Kemudian dilakukan
penutupan iliostomi. Dua bulan setelah operasi penderita sering demam dan nyeri perut,
beberapa hari kemudian terjadi fistel enterokutan dari bekas iliostomi dengan kwalitas faeces
cair berjumlah sekitar 300 cc. Penderita diberi therapi Salofalk 2x2 tablet sesuai saran
Penyakit Dalam. Disamping obat tersebut juga diberi HBO sebanyak 20 kali, setelah
pemberian ke10 fistel sudah tidak produksi dan keluhan nyeri serta demam menghilang, HBO
dilanjutkan sampai 20 kali dengan hasil bekas fistel sudah tertutup kulit.

PEMBAHASAN
Komplikasi perforasi pada crohn's disease mempunyai tingkat mortilitas yang tinggi, hal ini
sering disebabkan adanya perforasi ulangan pada segmen usus yang sebelumnya tidak
mengalami perforasi. Pada pasien kami tingkat mortalitas pada pasien dengan komplikasi
perforasi sebesar 75 %. Pada saat melakukan reseksi timbul masalah mengenai batas reseksi
yang aman agar tempat anastomosis kita benar-benar sehat dan tidak terjadi rekurensi pada
tempat anastomosis. Hal ini masih menjadi bahan kontroversial dikalangan para ahli.Batas
reseksi yang dianjurkan Crohn pada tulisan orisisinilnya adalah 2 feet proksimal dari bagian
usus yang sakit (Hodin 2001). Pendapat lain mengenai batas reseksi yang aman adalah 5 – 10
cm dari batas jaringan sehat secara makroskopis akan menurunkan frekwensi rekurensi,
namun hal ini dapat menimbulkan terjadinya “ short bowel syndrome “ bila segmen usus
yang sakit cukup panjang dan multiple ( Fazio 1990). Untuk itu Wolf(1983) dari klinik Mayo
menyarankan pemeriksaan ”frozen section “ untuk melihat batas segmen usus yang sehat dan
yang sakit.Beberapa ahli lain berpendapat tidak ada perbedaan frekwensi rekurensi antara
tempat anastomosis pada segmen usus normal dengan abnormal. Fazio etal (1990)
membandingkan batas reseksi 2 cm dan 12 cm pada 131 pasien dengan median follow up
selama 56 bulan mendapatkan tidak ada perbedaan angka rekurensi antara keduanya.
Pendapat ini mendapat dukungan dari kelompok studi Birmingham yang menyatakan bahwa
rekurensi hampir selalu terjadi pasca operasi, sehingga harus selalu diupayakan tindakan
konservasi usus. Pemeriksaan endoskopis pasca operasi oleh Rutgeerts etal (1990)
mendapatkan adanya rekurensi berupa ulkus apthosa preanastomosis pada 70 % pasien dalam
tahun ke 1 dan pada 85 % bila pemeriksaan diulangi pada tahun ke 3 pasca operasi. Tempat
rekurensi tersering pasca reseksi usus kecil adalah pada neo ileum terminal sedang pada
pasien ilekolitis 65 % juga mengenai colon. Frekwensi rekurensi yang menunjukkan gejala
klinis terjadi pada 35 % pasien pada tahun ke 5 , 55 % pada tahun ke 10 dan 75 % pada tahun
ke 15. Kesimpulan dari data-data ini adalah bahwa rekurensi hampir pasti tejadi terlepas dari
seberapa jauh batas reseksi kita ,sehingga tindakan konservasi usus harus selalu dupayakan
dan terapi pembedahan hanya ditujukan untuk pasien dengan komplikasi klinis yang nyata.
Untuk menghindari atau menurunkan frekwensi terjadinya rekurensi beberapa peneliti
menyarankan pemberian obat mesalamine atau metronidazole pasca operasi ( Rutgeerts 1990;
Mc Leod 1995 ).
Pemanfaatan HBO pada penyakit Crohn’s sebagai terapi tambahan dapat diberikan dengan
pertimbangan therapi ini akan membantu meningkatkan kemampuan tubuh untuk menyerap
oksigen yang akan menyokong sistem imun dengan merusak substansi yang bersifat toksik,
secara umum bakteri anaerob, jamur dan virus pada umumnya intoleran terhadap oksigen,
karena tidak tahan terhadap lingkungan yang kaya akan oksigen, selain itu akan mempercepat
pembentukan pembuluh darah baru yang akan membantu pembentukan jaringan epitel yang
diperlukan untuk memperkecil ukuran fistel enterokutan dan penyembuhan luka.
Pemanfaatan HBO pada Crohn’ s disease daerah perineum berupa fistel perianal yang
membandel sudah sering digunakan dan efeknya dapat terlihat, sedangkan untuk terapi fistel
enterokutan atau fase akut belum banyak dilakukan di Indonesia, karena pertimbangan
fasilitas HBO yang masih terbatas.
Pada kedua kasus ini kami mencoba memberikan terapi tambahan HBO selain terapi yang
digunakan dengan harapan akan memcegah terjadinya komplikasi lebih lanjut dari penyakit
Crohn’s yang mengalami perforasi dan mencegah atau menghambat rekurensi penyakit ini.
Pada perawatan fistel enterokutan terjadi perbaikan klinis yang sangat baik terutama dalam
hal pencegahan komplikasi fistel yang sudah terjadi

V..DAFTAR PUSTAKA

1. Dietz, D.W., Laureti, S., Strong, S.A., Hull, T. L., etal 2001 . Safety and longterm efficacy
of strictureplasty in 314 patients with obstructing small bowel Crohn’s disease. J.American
college of Surgeons, 192 (3) : 330-338.
2. Fazio, V.W.,1990. Conservative surgery for Crohn’s disease of the small bowel : the role
of strictureplasty. The Medical Clinics Of North America ;72 : 169-180.
3. Felder, J., Adler, D., Korelitz, B.,1991 . The Safety of Corticosteroid therapy in Crohn’s
disease with an abdominal mass. Am J Gastroenterol ;86 : 1450-1455.
4. Goldberg, H., Caruthers, S.j., Singleton J.,1979 . Radiographic findings of the national
cooperative Crohn’s Disease study. Gastroenterology ;77 : 925-937.
5. Hodin, R.A., Matteus, J.B.,2001.Small intestine. In :Norton etal,eds. Surgery, Basic
Science and Clinical Evidence. Newyork:Springer-verlag, 628—6630.
6. Jagelman, D.G.,1990. Surgical Alternatives for Ulcerative Colitis. The Medical clinics of
North America;74:155-167.
7. Judge, T.A., Lichenstein, G.R.,2003 . Inflamatory bowel disease .In : Current Diagnosis
and Treatment in Gastroenterology. Friedman,S.l.,McQuaid, K.R.,Gremdell, J.H., Eds.
Singapore :McGrawHill , 109-130.
8. Kirsner, J.B.,1995. Overview of etiology, pathogenesis, and epidemiology of inflammatory
bowel disease. In : Haubrich WS, Schaffner F, Berk JW,eds. Bockus gastroenterology. 5 th
ed. Philadelphia : W.B.Saunders company ,1293-1295.
9. Korelitz, B.I., Present, D.H., Alpert, L.I., et al 1982 . Recurrent regional enteritis after
ileostomy and colectomy for granulomatous colitis. N England J Med ,287 : 110-115
10. Korelitz, B.I.,1990.Considerations of surveillance,Dysplasia, and carcinoma of the Colon
in the Management of Ulcerative Colitis and Crohn’s disease
11. Manan C.,1990 .Kolitis ulseratif dalam : Soeparman, ed . Ilmu penyakit dalam . jilid
II.Edisi kedua. , Jakarta: Balai penerbit FKUI,137.
12. Mc Leod,R.,Wolf,B.,Steinhart,A.,etal 1995.Mesalamine treatment decreases post
operative recurrences of crohn’s disease. Gastroenterology;109:404-413.
13. Podolsky, D.K,1988. Ulcerative colitis and Crohn’s disease In : : GL Bongiovianni ,ed.
Essential of clinical Gastroenterology. Newyork: Mc.Graw Hill, 315=319
14. Rowe WA. Inflamatory Bowel Disease. http://www.emedicine.com/emerg/topic 109 htm
15. Rutgeerts, P.,Hiele ,M.,Geboes, K., et al.1990 . Controlled trial of Metronidazole
treatment for prevention of Crohn’s Recurrence after Ileal resection. Gastroenterology ,109 :
404-413.
16. Sachar, D.B.,1990. The problem of post operative Recurrence Of Crohn’s Disease. The
Medical Clinics Of North America ,72 : 183-188
17. Shapiro, W.,2004 Inflamatory Bowel Disease. http://www.emedicine.com/emerg/topic
106 htm
18. Welton, M.L.,Varma, M.G.,Amerhauser .A.,2001. Colon, Rectum, and Anus. In Norton
etal, eds . Surgery Basic Science and Clinical evidence. Newyork :Springer-verlag,672-684.
19. Whelan, G.,1990. Epidemiologi Of Inflamatory Bowel Disease. The Medical clinics of
North America ;74:1-11.
20. Wolf,B.G.,Beart,R.j.,Frydenberg, etal.,1983.The importance of disease free margins in
resecting for crohn’s disease. Dis Rectum;26:239-243

Data 8 pasien dengan inflamatory bowel disease


No Jenis kelamin Umur
Th Diagnosa awal Jenis operasi awal Jenis operasi berikutnya. keterangan Hasil PA
1 laki 30 Appendiks perforasi Laparotomi, apendektomi Relaparotomi, reseksi kolon
tranversum-sigmoid, prosedur Hartman.
Relaprotomi,hemikolektomi D,ileostomi † Crohn’s
2 laki 49 Ca caecum DD: TB intestinal Hemikolektomi kanan Relaparotomi, kolostomi †
Crohn’s
3 laki 26 High outputenterokutan fistel post apendektomi Relaparotomi, reseksi
ileum,ileostomi Relaparotomi, reseksi ileum, pembuatan ileostomi baru Kiriman
RS.kabupaten
† Crohn’s
4 Laki 21 Post laparotomi ec Ca Sigmoid ?, kolostomi. MRS untuk tutup kolostomi. FAP
Total kolektomi,ileorrektal anastomose Kiriman RS.kabpaten
Pulang sehat Crohn’s
5 Laki 21 Periapendikular mass DD : TB intestinal Laparotomi,reseksi ileum, end ileostomi †
Crohn’s
6 laki 45 Peritonitis ec apendiks perforasi Laparotomi, tranversokolektomi,divided kolostomi
Pulang sehat Kolitis ulsertativa
7 wanita 32 Obstruksi sigmoid ec Crohns disease Sigmoidektomi, end to end anastomosis
Pulang sehat Crohn’s
8 laki 39 Kolelithiasis, kolesistitis Laparotomi, drainase abses subhepatal Relaparotomi.
Reseksi ileum & caecum, ileostomi. Pulang sehat Crohn’s

Anda mungkin juga menyukai