You are viewing a feed that contains frequently updated content. When you subscribe to
a feed, it is added to the Common Feed List. Updated information from the feed is
automatically downloaded to your computer and can be viewed in Internet Explorer and other
programs. Learn more about feeds.
Penderita cenderung datang terlambat, karena tumor berasal dari rongga retroperitoneal yang
memiliki rongga berpotensi besar dan dapat tumbuh besar tanpa keluhan kalaupun ada
keluhan yang tidak spesifik berupa nyeri perut dan rasa penuh dan keluhan yang tidak jelas.
Reseksi komplit dalam literatur bervariasi antara 38% - 74%, dengan rata-rata resektabilitas
komplit hanya 53%4,5,6,7,8. Faktor-faktor yang mempengaruhi prognosa diklasifikasikan
dalam tiga katagori antara lain5,7,9:
1. Faktor penderita, yang meliputi usia dan jenis kelamin.
2. Faktor tumor, yang meliputi tumor primer atau rekuren tumor, ukuran tumor, grading
patologi dari tumor.
3. Faktor riwayat terapi, yang meliputi radikalitas pembedahan, penggunaan ajuvant terapi
berupa radioterapi ataupun kemoterapi
Selama periode 2 tahun terdapat 21 penderita retroperitoneal sarkoma yang dilakukan
tindakan pembedahan di RSUD Dr. Soetomo tanpa mendapatkan ajuvant terapi berupa
radioterapi ataupun kemoterapi., kemudian dilakukan evaluasi faktor- faktor yang
mempengaruhi prognosa penderita.
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1. DEFINISI
Sarkoma retroperitoneal adalah tumor ganas yang berasal dari sel-sel mesenkimal, yang
biasanya terdapat pada otot, lemak, dan jaringan ikat. Sarkoma retroperitoneal mempunyai
gambaran klinis yang bervariasi tergantung jenis histologisnya dan gradenya1,4,6,10. .
3.2. EPIDEMIOLOGI
Sarkoma jaringan lunak merupakan kasus yang jarang, dengan angka kejadian kurang lebih
8600 kasus baru ditemukan tiap tahunnya di USA-kurang dari 1% kasus baru yang
didiagnosa suatu keganasan. Sepertiga dari tumor ganas pada rongga retroperitoneum adalah
sarcoma dan 15% dari sarcoma jaringan lunak muncul di rongga retroperitoneum4,5,9,11.
Angka kejadian di Indonesia sampai saat ini belum didapatkan secara resmi akan tetapi
kemungkinan jumlah kasusunya lebih banyak dari catatan yang ada disebabkan tidak seluruh
penderita mendapatkan pengobatan difasilitas kesehatan yang memadai, ataupun juga karena
tidak berobat karena satu dan lain hal sehingga angka kejadiaanya tidak tercatat11.
3.3. KLASIFIKASI
Klasifikasi sebelum operasi biasanya berdasarkan pemeriksaan imaaging dan pemeriksaan
histopatologi, adapun pembagian yang biasa digunakan adalah sebagai berikut8,10,12 :
3.5.2.4 Kemotherapi
Peran kemoterapi dalam tatalaksana sarkoma retroperitoneal masih dalam penelitian.
Penelitian terkini melaporkan pemberian gabungan adriamisin intravena bersamaan dengan
raioterapi preoperatif, dilanjutkan dengan reseksi dan IORT.. Kombinasi yang diberikan pada
umumnya terfokus pada tumor yang timbul pada ekstremitas. Penelitian – penelitian yang
memasukan soft tissue sarkoma pada semua tempat, sarkoma retroperitoneal meliputi
sebagian kecil dari semua tumor yang ditherapi17,19.
Kolaborasi sarkoma meta analisis mengevaluasi 19 penelitian tentang adjuvan khemotherapi
dengan smpel 1568 pasien dengan tumor soft tissue sarkoma yang lokal resektabilitas, analisa
ini mengungkapkan peningkatan sedikit (10 %) pada laju angka harapan bebas tumor
denganm tambahan adjuvan khemotherapi terhadap operasi. Hasil akhir nya regiment therapi
telah berubah, untuk menggunakan regiment dosis tinggi yang telah diobservasi menunjukan
laju respon yang lebih tinggi bagaimanapun juga penelitian ini tidak memfokuskan pada
sarkopma retroperitoneal dan hal ini belum diketahui apakah kita dapat menjadikan hasil
penelitian soft tissue sarkoma pada semua tempat dan ekstremitas. Sejak penggunaan
adjuvant khemotherapi untuk sarkoma retroperitoneal masih dalam tahap penelitian,
kecenderungan saat ini adalah agar pemberian khemotherapi adjuvant untuk soft tissue
sarkoma dibawah protokol regiment yang ketat atau dalam konteks prospektif klinikal triall
dan khemo neo adjuvant atau preoperatif mungkin mungkin ada keuntungan praktis
dibanding khemotherapi post operasi , bukan karena apakah hal ini ada kemampuan monitor
respon dan merubah atau menghentikan therapi pada pasien yang sepertinya tidak membawa
keuntungan. Bagaimanapun juga penelitian ranpdomised tidak secara langsung
membandingkan khemotherapi preops dan post operasi untuk sarkoma retroperitoneal
sarkoma17,19.
BAB IV
PASIEN DAN METODE
4.1. PASIEN
Dua puluh satu penderita retroperitoneal sarkoma tumor yang berobat ke RSUD Dr. Soetomo
dan dilakukan tindakan pembedahan dilakuakan evaluasi factor –faktor prognosa selama
periode 2007 sampai dengan 2008 setelah dilakukan pemeriksaan klinis lengkap,
pemeriksaan CT Scan abdomen dengan contras, FNAB, tindakan pembedahan dan hasil
patologi tumor estela pembedahan.
4.2. METODE
Studi ini menggunakan desain prospektif kohort dengan mengikuti dari awal dan periode
waktu yang lebih lama pada 21 kasus retroperitoneal sarkoma tumor periode 2007 sampai
dengan 2008 yang berobat di RSUD Dr.Soetomo
4.3. EVALUASI STAGING SETELAH PEMBEDAHAN
Paska operasi dilakukan evaluasi Faktor-faktor yang mempengaruhi prognosa
diklasifikasikan dalam tiga katagori antara lain:
1. Faktor penderita, yang meliputi usia dan jenis kelamin.
2. Faktor tumor, yang meliputi tumor primer atau rekuren tumor, ukuran tumor, grading
patologi dari tumor.
3. Faktor riwayat terapi, yang meliputi radikalitas pembedahan, penggunaan ajuvant terapi
berupa radioterapi ataupun kemoterapi
BAB V
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
5.1. HASIL PENELITIAN
Tabel 1. Karakteristik Penderita Retroperitoneal Sarkoma Tumor di RSUD dr. Sutomo
Uraian Karakteristik
Jumlah Penderita 21
Umur Penderita 27-64 tahun
Jenis Kelamin
Pria 12
Wanita 9
Dari table 1 terlihat terdapat 21 penderita retroperitoneal sarcoma tumor yang berobat ke
RSUD Dr Soetomo periode 2007 sampai 2008, dengan distribusi usia antara 27 sampai 64
tahun, 12 penderita pria dan 9 penderita wanita.
Tabel 2 Karakteristik Usia Penderita
Kelompok Usia Frekuensi
1 20-30 2
2 31-40 2
3 41-50 7
4 51-60 7
5 60-70 3
Total 21
Dari table 2 terlihat distribusi usia penderita retroperitoneal sarcoma tumor terbanyak usia
41sampai 50 tahun dan usia 51 sampai 60 tahun, dengan rata-rata usia 49,28 + 10,3 tahun
Tabel 3 Karakteristik Diameter Tumor Berdasarkan CT Scan Abdomen
Kelompok Frekuensi
0-5 cm 0
6-10 cm 1
11-15 cm 4
16-20 cm 8
21-25 cm 3
26-30 cm 4
31-35 cm 1
Total 21
Dari table 3 didapatkan ukuran tumor berdasarkan CT Scan abdomen penderita
retroperitoneal sarcoma tumor terbanyak berukuran antara 16 sampai 20 cm, tidak ada
penderita yang berobat dengan usuran tumor kurang dari 5 cm, dengan rata-rata ukuran tumor
adalah 20,2 + 6,2 cm
Tabel 4 Hasil FNAB Retroperitoneal Sarkoma Tumor
Hasil FNAB Guiding Frekuensi
Benign spindel mesenchymal tumor 3
Malignant spindle cell mesenchymal tumor 15
Lain-lain 3
Total 21
Dari table 4 didapatkan hasil FNAB guiding CT adalah Malignant spindle cell mesenchimal
tumor, Benign spindle mesenchimal tumor dan beberapa hasil FNAB tidak bisa diidentifikasi
jenis tumor setelah beberapa kali dilakukan pemeriksaan FNAB.
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. KESIMPULAN
6.1.1 Telah dilakukan tindakan pembedahan terhadap 21 penderita retroperitoneal sarkoma
tumor yang berobat ke RSUD Dr. Soetomo periode tahun 2007 sampai 2008 dengan umur
penderita rata-rata 49,28 + 10,3 tahun, dengan diameter tumor berdasarkan CT Scan abdomen
20,2 + 6,2 cm dan penderita pria lebih banyak dari pada wanita.
6.1.2 Secara umum penderita datang masíh dalam stadium operasi ( stadium I s/d III) dan
pada beberapa penderita sudah terdapat metastase sehingga tidak dapat dilakukan
pembedahan ( stadium IV), pada penderita stadium operasi dilakuakn reseksi tumor secara
radikal dan sebagian secara debulking, sedangkan pada penderita yang unresektable dlakukan
incisional biopsi, penentuan stadium operasi setelah dilakukan laparotomi eksplorasi dan
hasil patologi tumor.
6.1.3 Tidak ada manfaat yang didapat dengan pemeriksaan FNAB tuntunan CT Scan karena
bila dihubungkan dengan hasil patologi tumor setelah operasi tidak ada korelasinya.
6.1.4 Semua penderita retroperitoneal sarkoma yang berobat keRSUD DR Soetomo hanya
mendapat terapi pembedahan tanpa dikombinasikan dengan radioterapi ataupun khemoterapi.
6.2. SARAN
6.2.1. Pemeriksaan FNAB guiding CT tidak diperlukan pada penanganan retroperitoneal
sarkoma tumor karena tidak ada hubungannya dengan hasil patologi tumor setelah operasi.
6.2.2. Perlu pemeriksaan radikalitas operasi dengan pemeriksaan batas tumor selama operasi .
6.2.3. Perlu adanya modulasi terapi lain selain pembedahan yang radikal pada penanganan
retroperitoneal sarkoma tumor untuk mencegah terjadinya rekurensi tumor.
6.2.4. Perlunya pemeriksaan indeks mitotik tumor pada pemeriksaan patologi untuk
mengetahui prognosa penderita retroperitoneal sarkoma tumor.
Daftar Pustaka
1. Storm FK, Mahvi DM. Diagnosis and management of retroperitoneal soft-tissue sarcoma.
Ann Surg. 1991;214:2-10
2. Kaplan EL, Meier P. Nonparametric estimation from incomplete observations. J Am Stat
Assoc. 1958;53:457-481.
3. Cox DR. Regression models and life-tables. J R Stat Soc B. 1971;34:187-220.
4. Karakousis CP. Abdominoinguinal incision in resection of pelvic tumors with lateral
fixation. Am J Surg. 1992;164:366-371.
5. Cody HS, Turnbull AD, Fortner JG, Hajdu SI. The continuing challenge of retroperitoneal
sarcomas. Cancer. 1981;47:2147-2152
6. McGrath PC, Neifeld JP, Lawrence W Jr, et al. Improved survival following complete
excision of retroperitoneal sarcomas. Ann Surg. 1984;200:200-204.
7. Glenn J, Sindelar WF, Kinsella T, et al. Results of multimodality therapy of resectable
soft-tissue sarcomas of the retroperitoneum. Surgery. 1985;97:316-325.
8. Karakousis CP, Velez AF, Emrich LJ. Management of retroperitoneal sarcomas and patient
survival. Am J Surg. 1985;150:376-380
9. Braasch JW, Mon AB. Primary retroperitoneal tumors. Surg Clin North Am. 1967;47:663-
678
10. Jaques DP, Coit DG, Brennan MF. Soft tissue sarcoma of the retroperitoneum. In: Shiu
MH, Brennan MF, eds. Surgical Management of Soft Tissue Sarcoma. Philadelphia, Pa: Lea
& Febiger; 1989:157-169.
11. Dalton RR, Donohue JH, Mucha P Jr, van Heerden JA, Reiman HM, Chen SP.
Management of retroperitoneal sarcomas. Surgery. 1989;106:725-733.
12. Storm FK, Eilber FR, Mirra J, Morton DL. Retroperitoneal sarcomas: a reappraisal of
treatment. J Surg Oncol. 1981;17:1-7.
13. Jaques DP, Coit DG, Hajdu SI, Brennan MF. Management of primary and recurrent soft-
tissue sarcoma of the retroperitoneum. Ann Surg. 1990;212:51-59.
14. Zornig C, Weh HJ, Krull A, et al. Retroperitoneal sarcoma in a series of 51 adults. Eur J
Surg Oncol. 1992;18:475-480.
15. Makela J, Kiviniemi H, Laitinen S. Prognostic factors predicting survival in the treatment
of retroperitoneal sarcoma. Eur J Surg Oncol. 2000;26:552-555.
16. Stoeckle E, Coindre JM, Bonvalot S, et al for the French Federation of Cancer Centers
Sarcoma Group. Prognostic factors in retroperitoneal sarcoma: a multivariate analysis of a
series of 165 patients of the French Cancer Center Federation Sarcoma Group. Cancer.
2001;92:359-368.
17. Kilkenny III JW, Bland KI, Copeland III EM. Retroperitoneal sarcoma: the University of
Florida experience. J Am Coll Surg. 1996;182:329-339.
18. Alvarenga JC, Ball AB, Fisher C, Fryatt I, Jones L, Thomas JM. Limitations of surgery in
the treatment of retroperitoneal sarcoma. Br J Surg. 1991;78:912-916.
19. Heslin MJ, Lewis JJ, Nadler E, et al. Prognostic factors associated with long-term
survival for retroperitoneal sarcoma: implications for management. J Clin Oncol.
1997;15:2832-2839.
20. Bevilacqua RG, Rogatko A, Hajdu SI, Brennan MF. Prognostic factors in primary
retroperitoneal soft-tissue sarcomas. Arch Surg. 1991;126:328-334.
21. Karakousis CP, Gerstenbluth R, Kontzoglou K, Driscoll DL. Retroperitoneal sarcomas
and their management. Arch Surg. 1995;130:1104-1109.
22. Mettlin C, Priore R, Rao U. Results of the national soft tissue sarcoma registry. J Surg
Oncol. 1982;19:224–7.
23. McGrath P. Retroperitoneal sarcomas. Semin Surg Oncol. 1994;10:364–8.
24. Daugaard S. Current soft tissue sarcoma classification. Eur J Cancer. 2004;40:543–8.
25. Coindre JM, Mariani O, Chibon F, et al. Most malignant fibrous histiocytomas developed
in the retroperitoneum are dedifferentiated liposarcomas: a review of 25 cases initially
diagnosed as malignant fibrous histiocytomas. Mod Pathol. 2003;16:256–62.
26. Papanicolaou N, Yoder IC, Lee MJ. Primary retroperitoneal neoplasms: How close can
we come in making the correct diagnosis. Urol Radiol. 1992;14:221–8.
27. Singer S, Corson JM, Demetri GD, et al. Prognostic factors predictive of survival for
truncal and retroperitoneal soft tissue sarcoma. Ann Surg. 1995;221:185–95.
28. van Dalus T, van Geel AN, van Coevorden F, et al. Dutch soft tissue sarcoma group. Soft
tissue carcinoma in the retroperitoneum: an often-neglected diagnosis. Eur J Surg Oncol.
2001;27:74–9.
29. Arca MJ, Sondak VK, Chang AE. Diagnostic procedures and pretreatment evaluation of
soft tissue sarcomas. Semin Surg Oncol. 1994;10:323–31.
30. Karakousis CP, Kontzoglou K, Driscoll DL. Resectability of retroperitoneal sarcoma: a
matter of surgical technique. Eur J Surg Oncol. 1995;21:617–22.
31. Storm FK, Mahvi DM. Diagnosis and management of retroperitoneal soft-tissue sarcoma.
Ann Surg. 1991;214:2–10.
32. Heslin MJ, Lewis JJ, Nadler E, et al. Prognostic factors associated with long-term
survival for retroperitoneal sarcoma: Implications for management. J Clin Oncol.
1997;15:2832–9.
33. Russell WO, Cohen J, Edmonson JH, et al. Staging system for soft tissue sarcoma. Semin
Oncol. 1981;8:156–9.
34. Matsumoto K, Takada M, Okabe H, Ishizawa M. Foci of signal intensities different from
fat in well-differentiated liposarcoma and lipoma. Correlation between MR and histological
findings. Clin Imaging. 2000;24:38–43.
35. Sung MS, Kang HS, Suh JS, et al. Myxoid liposarcoma: appearance at MR imaging with
histologic correlation. Radiographics. 2000;20:1007–19.
36. Kransdorf MJ, Bancroft LW, Peterson JJ, Murphey MD, Foster WC, Temple HT.
Imaging of fatty tumors: distinction of lipoma and well-differentiated liposarcoma.
Radiology. 2002;224:99–104.
37. Blum U, Wildanger G, Winfuhr M, et al. Preoperative CT and MR imaging of inferior
vena cava leiomyosarcoma. Eur J Radiol. 1995;20:23–7.
38. Hemant D, Krantikumar R, Amita J, Chawla A, Ranjeet N. Primary leiomyosarcoma of
inferior vena cava, a rare entity: Imaging features. Aust Radiol. 2001;45:448–51.
39. Eilber FC, Eilber KS, Eilber FR. Retroperitoneal sarcomas. Curr Treat Opin Oncol.
2000;1:274–8.
40. Heslin MJ, Smith JK. Imaging of soft tissue sarcomas. Surg Oncol Clin N Am.
1999;8:91–107.
41. Varma DG. Imaging of soft tissue sarcomas. Curr Oncol Rep. 2000;2:487–90.]
42. Folpe AL, Lyles RH, Sprouse JT, Conrad EU III, Eary JF. (F-18) fluorodeoxyglucose
positron emission tomography as a predictor of pathologic grade and other prognostic
variables in bone and soft tissue sarcoma. Clin Cancer Res. 2000;6:1279–87.
43. El-Zeftawy H, Heiba SI, Jana S, et al. Role of repeated F-18 fluorodeoxyglucose imaging
in management of patients with bone and soft tissue sarcoma. Cancer Biother Radiopharm.
2001;16:37–46.
44. Messa C, Landoni C, Pozzato C, Fazio F. Is there a role for FDG PET in the diagnosis of
musculoskeletal neoplasms? J Nucl Med. 2000;41:1702–3.
45. Stoeckle E, Coinbdre JM, Bonvalot S, et al. French Federation of Cancer Centers
Sarcoma Group. Prognostic factors in retroperitoneal sarcoma: a multivariate analysis of a
series of 165 patients of the French Cancer Center Federation Sarcoma Group. Cancer.
2001;92:359–68.
46. Mahajan A. The contemporary role of the use of radiation therapy in the management of
sarcoma. Surg Clin Oncol N Am. 2000;9:503–24.
47. Pisters PWT, Ballo MT, Patel SR. Preoperative chemoradiation treatment strategies for
localized sarcoma. Ann Surg Oncol. 2002;9:535–42.
48. Alektiar KM, Hu K, Anderson L, Brennan MF, Harrison LB. High-dose rate
intraoperative radiation therapy (HD-IORT) for retroperitoneal sarcomas. Int J Radiat Oncol
Biol Phys. 2000;9:61–5.
49. Marinello P, Montresor E, Iacono C, et al. Long term results of aggressive surgical
treatment of primary and recurrent retroperitoneal sarcomas. Chir Ital. 2001;53:149–57.
50. Karakousis CP, Gerstenbluth R, Kontzglous K, Driscoll DL. Retroperitoneal sarcomas
and their management. Arch Surg. 1995;130:1104–9.
51. Ferrario T, Karakousis CP. Retroperitoneal sarcomas: grade and survival. Arch Surg.
2003;138:248.
52. Hassan I, Park SZ, Donohue JH, et al. Operative management of primary retroperitoneal
sarcomas: a reappraisal of an institutional experience. Ann Surg. 2004;239:244–50.
53. Gupta AK, Cohan RH, Francis IR, et al. Patterns of recurrent retroperitoneal sarcomas.
AJR. 2000;174:1025–30.
54. Fotiadis C, Zografos GN, Karatzas G, Papchristodoulou A, Sechas MN. Recurrent
liposarcomas of the abdomen and retroperitoneum: three case reports. Anticancer Res.
2000;20:579–83
Lampiran
Tn M, 45 th, Dx : Retroperitoneal Sarkoma
Kasus 2
Ny S, Perempuan, 57 thn
Kasus 3
Tn. S, 67 thn,
Oleh :
dr. Heru Seno Wibowo. SpB
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Hernia pada dinding perut merupakan penyakit yang sering dijumpai dan memerlukan suatu
tindakan pembedahan (1). Hernia inguinalis lateralis sering dijumpai pada pria. Angka
kejadian pria adalah 12 kali lebih sering dibanding wanita (2). Pada wanita kurang lebih
didapatkan 4 persen dibandingkan pria. (3). Sampai saat ini terjadinya hernia pada orang
dewasa, diketahui oleh karena penyebab sekunder atau didapat yang adekuat. Misal suatu
penyakit pembesaran prostat yang jinak, hal ini dapat menyebabkan terjadinya hernia (4).
Insidensi Hernia Inguinalis Lateralis adalah 15/1000 , dan total jumlah tindakan hernioraphi
sekitar 700.000 kasus pertahun ini akan menimbulkan masalah sosioekonomi yang besar bagi
masarakat, tindakan hernioraphi dengan penggunaan general ataupun regional anestesi
memerlukan biaya yang lebih besar dibandingkan dengan penggunaan local anestesi,. Dengan
penggunaan lokal anestesi efisiensi biaya lebih tinggi disamping itu juga penghematan biaya
untuk keluarga penderita karena tidak memerlukan perawatan paska operasi. Komplikasi
operasi yang meliputi terjadinya infeksi luka operasi, oedema skrotum dan hematom serta
kemungkinan terjadinya kekambuhan tidak begitu berbeda bila dibandingkan dengan
penggunaan general anestesi. Dari beberapa studi didapatkan dengan persiapan serta seleksi
pasien yang baik lebih dari 90% hernia dapat dilakukan dengan local anestesi, penggunaan
mesh tidak meningkatkan resiko infeksi dan apabila terjadi infeksi mesh tidak perlu diangkat.
Keuntungan lain penggunaan local anestesi dapat dilakukan uji coba hasil operasi dengan
cara batuk ataupun test valsava.Hernia inguinalis lateralis dapat terjadi pada semua umur,
namun tersering pada usia antara 45 sampai 75 tahun (2). Penyebab primer terjadinya Hernia
inguinalis lateralis sampai saat ini belum ada atau belum pernah dipublikasikan. Hal ini
penting untuk diketahui, sehingga diharapkan dapat diketahui diagnosa dini dan tindakan
pembedahan untuk mencegah terjadinya hernia yang terperangkap (inkarserata) atau hernia
yang tercekik (strangulata). Angka kemungkinan terjadinya hernia strangulata adalah 2,8
persen setelah 3 bulan munculnya hernia dan 4,5 persen setelah 2 tahun (1). Pada HIL jumlah
proliferasi dari fibroblast menurun dibanding normal dan kolagenolisis meningkat (5).
Berdasarkan uraian di atas maka pada penelitian ini akan diteliti apakah jumlah fibroblast
peritoneum sebagai penyebab primer dari hernia inguinalis lateralis pada orang dewasa dan
orang tua.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Hernia
Hernia dalam bahasa latin sering disebut rupture, merupakan suatu penonjolan abnormal
melewati suatu dinding rongga yang terbuka (1,5,9). Hernia pada dinding perut merupakan
penyakit yang sering dijumpai dan memerlukan suatu tindakan pembedahan. Hernia terdiri
atas tiga bagian: kantong Hernia, isi kantong dan pelapis hernia. Kantong hernia merupakan
divertikulum peritoneum dan mempunyai leher dan badan. Isi hernia dapat terdiri atas setiap
struktur yang ditemukan dan dapat merupakan sepotong kecil omentum sampai organ padat
yang besar. Pelapis hernia dibentuk dari lapisan-lapisan dinding abdomen yang dilewati oleh
kantong hernia (5,6,9).
2.1.2
Gb 8. Penempatan jari tangan pada pemeriksaan hernia ( dikutip dari : Richard A, Inguinal
Canal and Hernia Examination. 2000)
2.1.4 Penatalaksanaan
Semua pasien hernia inguinalis lateralis sebaiknya harus dilakukan tindakan pembedahan,
kecuali dengan faktor resiko tinggi atau terdapat kontra indikasi, misal hernia yang sangat
besar, usia yang lanjut dan keaadaan umum yang jelek. Menunda tindakan pembedahan pada
pasien hil dapat berakibat terjadinya inkarserata, obstruksi dan strangulata (5,12,14).
BAB 3
KERANGKA KONSEPTUAL
3.2 Hipotesis
Penanganan Hernia Inguinalis Lateralis dapat dikerjakan secara lokal anastesi dengan
melakukan herniotomi metode Lichtenstein.
BAB 4
METODE PENELITIAN
4.1 Jenis dan rancangan penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian untuk mengetahui penggunaan anestesi lokal pada
penanganan Hernia Inguinalis Lateralis dengan metode Herniotomi secara Lichtenstein
kemudian dievaluasi dari aspek efisiensi biaya, kenyamanan selama operasi dan angka
rekurensi yang terjadi.. Rancangan penelitian yang digunakan adalah observasional analitik
cross sectional.
4.2 Populasi, sample, besar sample, teknik pengambilan sample, kriteria inklusi dan eksklusi
4.2.1 Populasi
Populasi penelitian adalah semua kasus hernia inguinalis lateralis yang dioperasi di RSAL
Dr. Ramelan Surabaya dan Rumkital Marinir Gunung Sari Surabaya.
4.2.2 Sampel
Sampel penelitian diambil dari semua kasus hernia elektif di RSAL Dr. Ramelan Surabaya
dan Rumkital Marinir Gunung Sari Surabaya. Dilakukan operasi Herniotomi secara
Lichstenstein. Operasi dilakukan oleh trainee bedah Digestif yang telah menyetujui untuk
melakukan penelitian.
Z α 0,05 = 1,96
Z β 0,20 = 0,842
r = 0,5 ( Oleh karena jumlah dan kualitas fibroblast sebagai penyebab primer hernia belum
diketahui )
Rumus korelasi :
2
1,96 + 0,842
n=+3
1 + 0,5
0,5 ln
1 – 0,5
Tahap II
Tahap III
Tahap IV
Tahap V
Tahap VI
Tahap VII
Tahap VIII
5. Hasil Penelitian.
Seratus penderita Hernia Inguinalis Lateralis Reponibilis yang masuk dalam kriteria
penelitian dilakukan repair hernia dengan menggunakan anestesi lokal tanpa monitor, 91
penderita merupakan hernia pada satu sisi dan 8 penderita hernia bilateral, kesemua penderita
belum pernah dilakukan tindakan hernioraphi. 8 penderita memerlukan perawatan setelah
tindakan operasi karena berasal dari luar kota sedangkan lainnya langsung bisa pulang setelah
evaluasi beberapa jam paska tindakan.
Seluruh penderita dilakukan evaluasi setelah 3 bulan baik secara langsung ataupun
komunikasi melalui telepon. Didapatkan 6 penderita mengeluh nyeri karena adanya oedema
dan hematom disekitar luka operasi dan menghilang setelah 14 hari perawatan luka.
Dari 100 lembaran isian yang kembali berjumlah 79, didapatkan 68 penderita menyatakan
setuju dengan prosedur yang telah dilakukan apabila mengalami kondisi yang sama, 5
penderita menolak bila dilakukan prosedur seperti ini bila mengalami kasus yang sama
sedangkan 6 penderita menjawab tidak tahu.Hasil penilaian kenyamnanan selama tindakan
pembedahan ataupun nyeri 10 penderita mengeluh nyeri dan tidak nyaman selama operasi
dan 5 diantaranya menyarankan perlu tindakan dan pembiusan dengan cara lainnya.
Ketidaknyamanan dan komplikasi setelah operasi didapatkan pada 6 penderita. Evaluasi
mengenai biaya dari lembaran isian yang kembali menyatakan sangat membantu karena lebih
murah disamping itu juga lebih praktis.
6. Pembahasan.
Kriteria utama keberhasilan dari tindakan pembedahan tanpa perawatan dirumah sakit adalah
meliputi aspek Reliability yaitu kemungkinan untuk dilakukan, aspek Feasibility yaitu
kemudahan untuk dilakukan dan aspek Safety dan Satisfaction yaitu keamanan dan kepuasan
pada penderita, Pemilihan teknik pembiusan sebenarnya bergantung kepada obat anestesi,
tindakan pembedahan dan faktor penderita. Tindakan operasi tanpa rawat inap pada kasus
Hernia Inguinalis Lateralis Reponibilis merupakan pilihan terbaik. Sampai saat ini
penggunaan anestesi lokal pada repair hernia belum menjadi protokol di Rumah Sakit
Pendidikan di Indonesia, demikian juga teknik tension free hernia repair (Lichtenstein
operation) masih baru digunakan pada beberapa rumah sakit pendidikan. Padahal teknik
operasi hernia dengan lokal anestesi seharusnya bisa menjadi standar bagi penanganan hernia.
Pada kasus yang telah dilakukan tindakan pembedahan tidak memerlukan pemberian sedasi
sehingga residual efeknya yang meliputi retensi urin, nausea, vomiting ataupun sedasi tidak
ada.
Kondisi preoperative dan pemilihan penderita yang masuk kriteria sangat penting untuk
menghindari konversi ke genaral anestesi. Penderita tua bukan merupakan kontra indikasi
untuk tindakan lokal anestesi, Sosial faktor yang menjadi sebab penderita perlu perawatan
rumah sakit karena berasal dari luar kota.
Dari total 100 penderita Hernia Inguinalis Lateralis Ireponibilis telah dilakukan terapi dengan
Repair hernia metode Lichtenstein selama periode 18 bulan sejak Januari 2007 sampai
dengan Juni 2008. Umur rata-rata adalah 42.16 tahun (21-76 tahun) dan keseluruhannya
penderita laki-laki
Dari evaluasi penanganan hernia inguinalis lateralis dengan anestesi lokal tanpa penggunaan
sedasi adalh mudah untuk dilakukan dan dan aman dikerjakan setelah melalui seleksi
penderita dan biarpun tidak ada yang perlu konvesri ke general anestesi harus dikerjakan
dirumah sakit dengan fasilitas untuk general anestesi.
Evaluasi nyeri selama operasi dan postoperasi dievaluasi selama 2 jam, sebelum dilakukan
tindakan pembedahan penderita terlebih dahulu diberikan ketoprofen supositoria 2 buah
kemudian dilanjutkan desinfeksi daerah operasi dan prosedur pemberian anestesi lokal
dengan menggunakan lidokain dengan atau tanpa epineprin disesuaikan dengan kondisi
penderita, evaluasi nyeri dengan menggunakan Visual Analog Scale (VAS), didapatkan hasil
sebagai berikut dari 100 penderita 6 penderita termasuk nyeri ringan atau skala 1 dari VAS
dan 2 penderita termasuk nyeri sedang atau skala 2 dari VAS, sedangkan yang lainnya tidak
mengeluh nyeri selama prosedur operasi dan 2 jam post operasi.
Dari evaluasi 3 bulan post operasi tidak didapatkan penderita yang mengalami residif dan
memerlukan tindakan pembedahan, evaluasi dilakukan secara langsung dengan pemeriksaan
ataupun komunikasi melalui telepon.
Daftar Pustaka
1. George EW, Abdominal Wall Hernias. In: Schwartz, Tom S, Frank CS, editors. Principles
of Surgery. 7nd ed. New York: McGraw-Hill; 1999.p.1585-611
2. McIntosh A, Hutchinson A, Roberts A et al. Evidence-based management of groin hernia
in primary care. Oxf j Surg 2000; 17: 442–447.
3. Anon G, Indirect Inguinal Hernia, Emerg Surg; Last up date August 15; 2007; 91; 947-52
4. Warko K, Ahmad D, editors. Dinding perut,hernia, retroperitoneum dan omentum, In:
Sjamsuhidayat R, Wim DJ, Buku Ajar Ilmu Bedah. Revisi ed. Jakarta: EGC; 1998.p.700-10
5. Alex J, Eustace SG, editors. Abdominal Hernias. Last up date16 may; 2007. Available
from : http://www.emedicine.com/MED/topic1089.htm
6. Lee C, Gale Enc Surg. Inguinal Hernia Repair 2004; Available from:
"http://en.Encyc.org/gale/Inguinal_hernia repair"
7. Richard A, Inguinal Canal and Hernia Examination. 2000; Available from :
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/bv.fcgi?rid=cm.chapter.3091
8. Henry S, The Treatment of Indirect Inguinal Hernia. ANZ J Surg 2005; 5: 366-70
9. Richard SS, editors. Clinical Anatomy for Medical Students. 3nd ed. Washington: EGC;
1995.p.155-203
10. Skandalakis JE, Gray SW, Mansberger AR et al, Hernia of the abdominal wall. In Hernia
surgical anatomy and technique, McGraw-Hill Singapore ;1989:144-56
11. Abrahamson J. Hernias. In Maingot’s Abdominal operations, 2002. Zinner MJ, Schwartz
S Ellis H, editors. 10th. Vol.1. Appleton& lange,Singapore1997;14: 479-580
12. Soetamto W, Puruhito, Setiono B, editors. Pedoman Teknik Operasi. Surabaya: Airlangga
University; 2001.p.89-98
13. Thomas C, Cells of Connective Tissues: "Fibroblasts" and "Fibrocytes", in Connective
Tissue. 2001. Available from : www. education.vetmed.vt.edu
14. Dorairajan N, Inguinal hernia-yesterday, today and tomorrow; 2003 Indian J Surg .2004
15. Jonathan D, Abrogation of fibroblast activation protein enzymatic activity attenuates
tumor growth. Am J Surgery; 2005;4:351-360
16. Marcus VC, Sylvia S, Helmut K et al, Basic Fibroblast Growth Factor Synthesis by
Human Peritoneal Mesothelial Cells; Am J Pathol. Dec 1999; 155(6): 1977–84
17. Chowbey PK, Pithawala M, Khullar R et al, Totally extraperitoneal repair of inguinal
hernia. A case for bilateral repair. J of Min Acc Surg; 2006; 2; 171-3
18. Kuga AT. Morisaki AK. Nakamura A et al, Construction of a TransplantableTissue-
Engineered Artificial Peritoneum. Eur Surg Res 2004; 36: 323–30
PENDAHULUAN
Hernioplastik metode Stoppa untuk penanganan hernia inguinalis pertama kali dilakukan
pada tahun 1975, dengan cara menggunakan prostese mesh lebar pada preperitoneal, tekhnik
pendekatan melalui dinding posterior, .secara prinsip penanganan penederita hernia inguinal
cara ini termasuk penanganan secara free tension hernioraphi. Sebagai gold standart untuk
penanganan hernia inguinal yang dianut sampai saat ini adalah tehnik hernioplastik
Lichtenstein dengan menggunakan mess sebagai penguat. Apapun cara yang digunakan baik
penanganan secara tehnik repair hernioplastik ataupun cara free tention repair dengan
penggunaan mess memiliki potensi residif yang disebabkan oleh karena kesalahan dalam
tehnik penjahitan ataupun pemilihan ukuran mess ataupun penempatan yang kurang tepat
atau bias juga karena terjadinya infeksi dan hematom akibat perdarahan daerah operasi.
Demikian juga terjadinya residif bisa terjadi pada hernioplastik dengan minimal invasife.
Penanganan hernia inguinal bilateral memiliki permasalahan sendiri, karena akan memiliki
dua luka operasi yang tentunya akan mengganggu kenyamanan penderita, demikian juga pada
penderita yang sudah diprediksi akan mengalami kekambuhan seperti pada obesitas ataupun
penderita dengan riwayat batuk kronis. Hernioplastik stoppa menjadi alternative untuk dapat
mengatasi permasalahan ini, akan tetapi tehnik stoppa klasik jarang dikerjakan oleh ahli
bedah karena dianggap lebih sulit dan memiliki potensi komplikasi paska operasi, disamping
itu juga memerlukan mess yang sangat lebar sehingga secara ekonomis sangat memberatkan
penderita. Hal ini yang menjadi penyebab metode stoppa tidak lajim digunakan oleh ahli
bedah.
Hernia Inguinalis residif merupakan masalah yang cukup rumit dibidang pembedahan,
walaupun teknik pembedahan saat ini sedemikian maju dan berkembang . Berdasarkan data
register yang ada di Eropa angka residif pada tindakan pembedahan mencapai 16-18 persen
pada repair primer hernia dengan berbagai variasi teknik, Tindakan operasi pada hernia
residif dengan teknik pembedahan yang terus berkembang angka kekambuhan ulang lebih
dari 30 persen dari data yang dilaporkan. Meningkatnya penggunaan prostesa mesh
menurunkan angka kekambuhan, akan tetapi tehnik pembedahan yang sering dilakukan saat
ini melalui anterior approach merupakan cara yang kurang menguntungkan, karena akan
membuka skar operasi sebelumnya dengan resiko kerusakan pada pembuluh darah testis dan
nervus sensoris. Operasi ulang dengan teknik preperitoneal approach secara terbuka menjadi
alternative pilihan permasalan ini. Hernioplastik stoppa procedure menjadi pilihan teknik
yang terus berkembang untuk penanganan hernia inguinalis yang komplek atau yang
multiresidif dengan cara pemasangan prostese mesh yang lebar dirongga preperitoneal pada
hernia inguinalis bilateral , sedangkan pada yang residif unilateral dengan menggunakan
procedure Wantz, kedua teknik sama-sama menggunakan Giant prostetik reinforcement pada
sakus visceralis dengan menempatkan mesh berukuran 30 x30 cm, sedangkan modifikasi
Stoppa prosedur yang dilakukan di RSUD Dr. Soetomo dan RSAL Ramelan Surabaya
dengan memenggunakan prostetik mesh berukuran 10 x 15 cm dua buah tidak dalam satu
kesatuan, keuntungan cara ini adalah apabila ada permasalahan dengan sisi operasi sisi
lainnya tidak perlu dilepas, disamping itu juga karena ukuran mesh yang lebih kecil
memerlukan biaya yang lebih murah.
Tehnik Pembedahan.
Adapun tahapan tehnik pembedahan pada hernioplastik modifikasi Stoppa prosedur adalah
sebagai berikut :
1. Penderita diposisikan terlentang dalam pembiusan
2. Desinfeksi daerah operasi dengan betadine 10 %
3. insisi midline infraumbilical sekitar 5-6 cm sampai mencapai lapisan preperitoneal
4. diseksi daerah retropubik dari cavum Riezi di depan bladder sepanjang prostat
5. diseksi kelateral dibelakang m. rectus dan pembuluh epigastric pada rongga retro inguinal
sepanjang m. psoas mayor
6. kantung hernia direk dibalik dengan jahitan pulstring bila kantungnya besar
7. kantung hernia indirek dibuka dan secara tumpul dipisahkan dari spermatic cord, isi
spermatic cord dsisihkan, rawat perdarahan
8. dilakukan pemasangan mesh dan kemudian dilanjutkan pada hernia kontra lateral
9. mesh dijahitkan pada pada tuberkulum pubikum untuk mencegah dislikasi mesh
10. Bila diperlukan pasang satu buah drain hisap
11. luka operasi dijahit lapis demi lapis
Metode
studi ini menggunakan prospektif kohort dengan mengikuti dari awal dan periode waktu yang
lebih lama pada 35 kasus pertama penggunaan hernioplastik teknik Stoppa prosedur di RSUD
Dr. Soetomo dan RSAL Ramelan Surabaya. Sejak Januari 2006 sampai dengan Juni 2008
HASIL PENELITIAN
Dari 35 penderita yang telah dilakukan pembedahan sejak periode 2006 sampai dengan 2008
didapatkan rata-rata usia penderita adalah …….( tabel 1). Diagnosa sebelum operasi
didapatkan …penderita dengan hernia inguinalis bilateral primer, ….penderita hernia
inguinalis bilateral residif bilateral dan …….. penderita hernia inguinalis bilateral residif
pada satu sisi (tabel 2). Komplikasi yang terjadi paska operasi 2 penderita mengalami
kekambuhan pada satu sisi operasi selama periode 6 bulan evaluasi, satu penderita
mengalami seroma yang tidak memerlukan pembedahan ulang dan satu penderita mengalami
infeksi luka operasi(tabel 3) dan setelah dilakuakan perawatan hasilnya baik kecuali yang
mengalami kekambuhan dilakukan operasi ulang setelah mendapat persetujuan tindakan
pembedahan, tidak ada penderita yang mengalami keluhan nyeri hebat setelah operasi
ataupun selama evaluasi paska pembedahan (tabel 3). Lama rawat inap setelah operasi 2,3
hari (tabel 4). Dari 35 penderita yang dilakukan prosedur modifikasi Stoppa semuanya dapat
pulang dari rumah sakit tidak didapatkan penderita yang meninggal karena dilakukan
prosedur operasi ini.
IV PEMBAHASAN
Modifikasi hernioplastik Stoppa prosedur atau Giant prosthetic reinforcement of the visceral
Sac (GPRVS) adalah melakukan modifikasi dengan menggunakan 2 buah prostese mesh
terpisah dan lebih kecil dari mesh yang digunakan untuk stoppa yang klasik dan tanpa
memerlukan fiksasi mesh ke fascia ataupun dinding perut untuk mencegah dislokasi mesh,
serta penggunaan drain hanya bila diperlukan. Kami menggunakan cara seperti ini sejak
bulan Juni 2006 dengan indikasi hernia inguinalis bilateral ataupun hernia inguinalis bilateral
yang mengalami residif. Prinsip utama cara ini adalah menerapkan prinsip hukum pascal,
yaitu dengan pemasangan prostese mesh yang memperkuat dinding perut bawah, melalui
pendekatan anatomis yang baik yang tidak mengganggu struktur lipat paha, meski pada kasus
yang mengalami riwayat operasi sebelumnya.
Terjadinya kekambuhan pada awal operasi cara ini disebabkan kurang tepatnya ukuran
protese mesh serta penempatan nya yang berpotensi terjdi dislokasi dari mesh tersebut, ini
terjadi pada awal penggunaan modifikasi stoppa akibat kurang terlatihnya tenaga pembedah,
ini bisa dilihat periode berikutnya sudah tidak ada yang mengalami kekambuhan. Terjadinya
seroma ataupun hematom karena saat melakukan diseksi kurang berhati-hati, demikian juga
infeksi yang terjadi karena penderita tidak melakukan kontrol paska operasi ditempat yang
ditentukan dan berobat ke Puskesmas. Pada dasarnya penggunaan hernioplastik Stoppa lebih
diutamakan untuk repair seluruh hernia inguinal yang berpotensi residif termasuk pada
penderita gemuk dengan distensi abdomen dan pasien dengan bronchitis kronis, secara
khusus ditujukan pada hernia yang mengalami residif atau multi residif dan penderita umur
lebih dari 50 tahun dan hernia bilateral. Mekanisme terjadinya residif pada preperitoneal
herniorhapy. Perubahan tehnik penjahitan dan penggunaan mess dari yang kecil sampai
dengan yang besar untuk mencegah terjadinya tempat yang berpotensi terjadinya hernia
residif sangat dipengaruhi oleh tingginya angka rekurensi pada hernioraphi. Pada dasarnya
terjadinya rekurensi disebabkan oleh kekuatan aproksimasi jahitan defek fascia yang juga
dipengaruhi oleh defek fundamental oleh karena metabolisme kolagen berupa abnormalitas
pada fascia transversalis dan fascia endopelvic. Penyebab lainnya dari terjadinya rekurensi
oleh karena ukuran mess yang terlalu kecil dan penempatan mess yang kurang tepat ataupun
karena adanya infeksi ataupun hematome
Secara prinsip pemilihan cara penanganan hernia adalah menghindari terjadinya nyeri paska
operasi, mencegah terjadinya infeksi ataupun hematom daerah operasi serta terjadinya
kekambuhan, untuk itu kami mencoba melakukan modifikasi tehnik hernioplastik stoppa
dengan cara menggunakan dua buah mess secara terpisah untuk hernia bilateral, tehnik
diseksi preperitoneal secara tumpul lebih berhati-hati dan hanya melakukan fiksasi mess pada
tuberkulum pubikum dengan satu jahitan tanpa memerlukan penjahitan mess pada muskulus
psoas dan dinding perut untuk mencegah lesi organ ataupun perdarahan, disamping itu juga
penggunaan drain hanya bila dianggap perlu, dan pembiusan secara regional. Prosedur
penanganan hernia dengan modifikasi Stoppa seperti ini sudah dilakukan sejak periode juni
2006 dan sampai saat ini sudah dilakukan pada 35 penderita yang dirawat di RSUD Dr
SOETOMO. Dan RSAL Dr Ramelan Surabaya. Prostese mess yang digunakan berukuran
minimal 15 x 10 cm, dan sebagian menggunakan mess berukuran 15 x 15 cm pada penderita
yang gemuk. Semua penderita dievaluasi sampai dengan 6 bulan paska operasi, evaluasi yang
dilakukan meliputi usia, diagnosa,riwayat operasi sebelumnya lama operasi, penggunaan
drain, angka rekurensi selama 6 bulan, nyeri paska operasi, infeksi dan hematom paska
operasi. .Prosedur pembedahan dilakukan oleh senior bedah digestive dan treinee bedah
digestive, evaluasi dilakukan dipoli bedah dan sebagian penderita melalui komunikasi
telepon. Standar untuk merepair hernia inguinal sampai saat ini adalah tehnik Lichtenstein.
Banyak teknik yang telah digambarkan oleh berbagai penulis, tension free rapair yang
menggunakan bahan-bahan sintetik prostetik untuk memperkuat kembali dinding inguinal
posterior. Bahan- bahan prostetik sekarang disposible, memiliki bioreaktivitas yang baik,
dengan fibroplasias yang efisien, mengurangi nyeri post operatif, dan secara bermakna
mengurangi frekuensi rekurensi dan periode penyembuhan.
IV KESIMPULAN
1. Semua tehnik repair hernia inguinalis secara traddisional maupun tehnik modern memiliki
kemungkinan terjadinya kekambuhan.
2. Modifikasi stoppa prosedur dapat dilakukan pada penanganan hernia inguinalis yang
residif ataupun pada operasi hernia yang berpotensi untuk terjadinya kekambuhan oleh
karena obesitas ataupun batuk kronis.
3. Modifikasi stoppa prosedur memiliki keunggulan dari sisi luka operasi, lama operasi, dan
kemungkinan terjadinya komplikasi organ dibandingkan metode lichtensteen pada
penanganan hernia residif, multi residif dan bilateral,
Daftar Pustaka.
I.PENDAHULUAN
Penyakit Crohn’s adalah penyakit inflamasi usus yang bersifat kronis disertai proses Penyakit
ini pertama kali dilaporkan oleh Crohn, Ginzberg dan oppenheimer paada tahun 1932,
dimana ditemukannya proses radang pada segmen ileum terminalis dan diberi nama ileitis
terminalis.. Di Amerika insidensi penyakit Crohn 5 per 100.000 penduduk. Terdapat
beberapa laporan dari seluruh dunia bahwa akhir-akhir ini insidensi penyakit tersebut
semakin meningkat(Wheelan 1990; Rowe 2004;Shapiro 2004 ). angka kejadian dan
prevalensi untuk Crohn’s disease adalah 2-3/100.000 dan 20-40/100.000 ( Kirsner 1995;
Podolsky1988;Whelan1990 ). Di Indonesia data yang dilaporkan oleh rumah sakit Cipto
Mangunkusumo, Jakarta hanya menyebutkan 5-10 kasus kolitis ulserativa pertahun ( Manan
1990 ). Ditinjau dari jenis kelamin, beberapa penulis menyatakan insidensi kolitis ulserativa
dan Crohn’s lebih banyak terjadi pada wanita dibandingkan dengan pria (Shapiro2004),
namun penulis lainnya menyatakan tidak ada perbedaan insidensi antara pria dan wanita. (
Rowe 2004). Penggunaan HBO sebagai terapi tambahan pada penyakit crohn’s masih jarang
dilaporkan akan tetapi beberapa penulis mempunyai anggapan bahwa ini dapat digunakan
sebagai terapi tambahan untuk meredakan fase akut penyakit Crohn. Secara prinsip HBO
adalh memberikan oksigen murni 100 % dengan tekanan tinggi, diharapkan dengan
meningkatnya aliran oksigen kejaringan akan mempercepat proses meredanya inflamasi pada
penderita penyakit Crohn’s.
ETIOLOGI
Penyakit Crohn disebabkan oleh karena multi faktoral pada beberapa kasuss diketahui dapat
disababkan oleh adanya suatu kerentanan factor genetic yang menyebabkan beberapa virus
atau bakteri menyebabkan terjadinya reaksi imun yang abnormal yang pada akhirnya
menyebebkan respon inflamasi pada jaringan usus, meskipun penyakit ini mempunyai
gambaran yang menyerupai penyakit aotoimmun, beberapa peneliti berpendapat dapat
ditimbulkan adanya defisiensi immunitas . Respon imun terhadap infeksi pada dasarnya
dilakukan oleh Limposit dan leukosit, limposit terbagi dalam 2 subtype yaitu sek T dan sel B
keduanya mempunyai kemempuan untuk mengenali antigen asing dan mempunyai
kemempuan untuk memeranginya, sel B memproduksi antibody yaitu subtansi yang dapat
memerangi antigen asing bersamaan dengan sl B atau dengan sendirinya. Sel T mempunyai
reseptor khusus yang dapat mengenali antigen spesifik. Sel T secara lebih lanjut
dikelompokan sebagai killer T sel dan T helper, killer Tsel secara langsung menyerang
antigen yang dihasilkan oleh sel mana saja yang mempunyai nucleus, sl T helper juga dapat
mengenali antigen namun fungsi mereka sebenarnya ada 2 yaitu menstimulasi sel B dan sel
Darah putih lainnya untuk menyerang antigen dan memproduksi citokien sebuah factor imun
yang sangat kuat mempengaruhi proses inflamasi. Pada penyakit Crohn sel T helper berperan
menstimulasi sel B untuk memproduksi antibody namun mereka cenderung memerintahkan
sel B untuk membentuk system autoantibody terhadap sel tubuh sendiri, citokin yang
diproduksi oleh sel T helper jika dalam jumlah sedikit dapat mempercepat proses
penyembuhan namun jika diproduksi terlalu banyak akan dapat menimbulkan kerusakan yang
serius termasuk proses inflamasi dan kerusakan sel, citokin yang dikenal dapat menimbulkan
inflamasi pada usus adalh tumor nekrosis factor, interferon gama dan interleukin, sel T helper
secara lebih lanjut dikatagorikan menjadi Th1 dan Th2, ketidakseimbangan diantara kedua sel
ini dapt dijumpai pada penderita penyakit Crohn
Pada penderita penyakit crohn diketahui terdapat peningkatan aktifitas sel Th1 yang
kemudian mengaktifasi interleukin 2 dan interferon gama, TNF kemungkinan merupakn
mediator yang paling berperan pada penyakit ini. Interleukin 6 kemungkinan juga berperan
pada penyakit crohn dengan cara menghambat proses apoptosis. pada beberapa kasus
diketahui jika sel berproliferasi lebih cepat dari pada proses kematiannya dapat menimbulkan
suatu respon imun yang sangat kuat.
Faktor genetik diduga mempunyai peranan yang penting, hampir meliputi 10%-20% penderta
penyakit Crohn mempunyai riwayat penyakit yang sama, salah satu penemuan terpenting
adalah ditemukannya gen farina yang disebut NOD2 yang diduga mengganggu system imun
sehingga menimbulkan reaksi yang berlebihan terhadap bakteri yang menimbulkan inflamasi,
factor genetic ini diduga didapatkan pada 15% penyakit Crohn, jika gen ini mampu
mengalami mutasi akan meningkatkan resiko terjadinya penyakit ini sampai 40 %.
Beberapa teori mengatakan bahwa infeksi virus dan bakteri dapat mengganggu keutuhan
system traktus intestinal yang lambat laun dapat memicu suatu respon inflamasi beberapa
studi mengatakan bahwa anak dengan penyakit crohn telah mendapat infeksi penyakit
campak sebelumnya, namun menurut US centre for Disesase control virus campak tidan
menimbulkan penyakit ini. Kebanyakan publikasi memfokuskan kepada apakah faksin MMR
menyebabkan autisme atan penyakit Crohn, pada studi yang terakhir ternyata berdasarkan
fakta faksin MMR tidak meningkatkan resiko terjadinya penyakit Crohn. Tipe bakteri lain
yang dapat dikaitkan dengan penyebab penyakit crohn adalah bakteri TBC, beberapa strein E
Colli dapat melekat kuat didinding usus dan menimbulkan kerusakan mukosa hal ini
dikaitkan sebagai penebab penyakit Crohn denikian juga Cytomegalo virus .
Penderita penyakit Crohn lebih tinggi pada Negara industri maju dan dengan penghasilan
yang tinggi, hal ini dikaitkan dengan adanya factor jenis makanan ikut mempengaruhi
terjadinya penyakit Crohn.
GEJALA
Gejala yang karekteristik dikaitkan dengan penyakit Crohn adalah :
1. Timbul pada usia dewasa muda
2. dapat timbul secara mendadak ataupun perlahan-lahan
3. gejala dapat merupakn sebuah relapse setelah fase remisi
4. gejala bervariasi dari yang ringan sampai sanagat berat
5. mempunyai resiko terbesar pada musim dingin dan musim semi
Sedangkan gejala yang lebih spesifik pada penyakit Crohn adalah sebagai berikut :
1. Adanya riwayat diare yang berulang merupakan gejala yang umum terjadi
2. Diare yang kadang-kadang dapat disertai darah
3. Adanya riwayat konstipasi yang disebabkan oleh adanya obstruksi di usus halus.
4. Adanya gejala episode yang berulang berupa nyeri bagian bawah perut atau diatas tulang
pelvis, adanya riwayat nyeri perut menandakan adanya kondisi yang serius, mungkin juga
sudah adanya abses perforasi organ berongga.
5. Adanya riwayat demam ringan kadang-kadang muncul.
6. Terjadinya penurunan napsu makan disertai kehilangan berat badan dan keterlambatan
pertumbuhan pada hampir semua penderita.
7. Adanya riwayat gangguan pola defekasi kadang-kadang didapati pada penderita ini.
8. Adanya ulkus pada anus ataupun fistel peranal merupakan gejala awal pada penyakit ini
9. Adanya riwayat gangguan neurologis gejala psikiatrik merupakn gejala sebagai gejala awal
.
DIAGNOSIS.
Penyakit Crohn sulit didiagnosis terutama pada anak, perlu mendapatkan riwayat penyakit
secara lengkap dan pemeriksaan fisik yang teliti, kadang kadang riwayat diare berdarah dan
penurunan berat badan tidak didapatkan , adanya keterlambatan tumbuh kembang menjadi
salah satu kunci untuk menduga terjadinya penyakit Crohn pada anak.
Laboratorium.
Pemeriksaan darah lengkap akan didapati peningkatan jumlah leukosit yang menggambarkan
adanya proses inflamasi, pemeriksaan feses untuk mengetahui adanya sumberinfeksi lain.
Standard Endoscopik
Fleksibel sigmoidoskopi dan colonoscopi diperlukan untuk menilai lumen dari usus besar
juga dapat dilakukan untuk biopsis jaringan. Sigmoidoskopi digunakan untuk menilai
rektumdan kolon kiri, memerlukan waktu sekitar 10 menit dan tanpa bantuan sedasi
sedangkan colonoscopi untuk menilai seluruh kolon dan harus dengan bantuan sedasi dan
tidak memerlukan perawatan dirumah sakit. Penggunaaan Wireless Capsule endoskopi
merupakan tehnik imeging yang baru dan lebih nyaman digunakan untuk penderita serta
memberikan gambaran yang lebih menyeluruh.Penggunaan Ultrasound intraluminer
diperlukan untuk menilai berat dan luas penyakit, ditangan ahlinya dapat digunakan untuk
membedakan Crohn dan Colitis ulserative. Pemeriksaan Upper dan Lower Gastrointestinal
Barium X-Ray dapat memberikan gambaran adanya proses inflamasi, ulkus kelainan lainnya.
Pemeriksaan CT Scans dapat digunakan untuk mengevaluasi pada penderita fase akut adanya
penebalan dinding dan komplikasi lainnya dapat terlihat. Pemeriksaan MRI dapat membantu
untuk mendiagnosis adanya abses dan komplikasi lainnya yang dapat dihubungkan dengan
penyakit Crohn. Dan juga digunakan untuk membedakan dengan Kolitis Ulserative.
KLASIFIKASI
Sachar (1990) dan Dietz etal (2001) membagi Crohn’s disease menjadi 3 kelompok
berdasarkan gejala klinis :
1. Tipe indolent/ fibrostenotik : rekurensi terjadi perlahan, terjadi obstruksi usus
2. Tipe agresif : rekurensi terjadi cepat, perforasi usus, fistula.Pasca operasi cenderung terjadi
perforasi kembali. Rekurensi terjadi lebih cepat disbanding tipe indolent.
3. Tipe inflamasi : tidak ada komplikasi yanga memerlukan tindakan bedah, gejala klinis
yang menonjol adalah gejala malabsorbsi.
Dibandingkan dengan tipe agresif, tipe indolent lebih sering dijumpai, Ini mungkin berkaitan
dengan lokasi tersering pada Crohn’s disease adalah ileokolika ( 30-45%) (Shapiro 2004;
Hodin 2001 ), sehingga gejala nyeri perut kanan bawah atau proses terbentuknya masa di
regio iliaka kanan yang sebenarnya merupakan gejala Crohn’s disease ditafsirkan sebagai
gejala apendisitis akut.
Berlainan dengan pasien Crohn’s disease yang datang dengan komplikasi akut abdomen,
pasien yang datang dalam masa remisi, pada operasi lebih menunjukkan kekhasannya : skip
phenomena dan dinding usus yang menebal,. Welton etal ( 2001 ) menyebutkan gambaran
makros klasik bagi Crohn’s disease berupa dinding usus yang menebal dan hiperemis dengan
gambaran pembuluh darah seperti ” corkscrewing”, mesenterium menebal cenderung
meliputi dinding usus seperti gambaran ”creeping fat” disertai pembentukan pseudopolip
inflamasi dan gambaran” cobble stone” pada mukosa
Indikasi penanganan secara bedah pada kasus penyakit Crohn ( Welton etal 2001) :
1. Kegagalan terapi medikamentosa
• Gejala tidak mereda setelah pemberian kortikosteroid selama lebih dari 6 bulan
• Terjadinya rekurensi pada saat dilakukan tapering kortikosteroid dosis tinggi
• Gejala klinis memburuk atau timbul komplikasi baru sekalipun dengan pemberian terapi
medis secara maksimal
• Timbul komplikasi pemberian steroid ( Cushingoid,katarak,glaukoma,hipertensi
sistemik,aseptik nekrosis pada kaput femur,myopati,fraktur korpus vertebra )
2. Terjadi komplikasi intraluminal : striktura yang menyebabkan obstruksi
3. Terjadi komplikasi sepsis
• Masa inflamasi atau abses ( intraabdominal,pelvis,perineal )
• Fistula yang menyebabkan :
Gangguan kualitas hidup ( enterokutaneus,enterovaginal,fistula ani )
Fistula yang berhubungan dengan sistem genitourinaria ( entero atau kolovesikal )
Fistula yang menyebabkan pintasan anatomis atau fungsional yanga menyebabakan
problem malabsorbsi atau diare hebat ( fistula duodenokolik atau enterorektosigmoid )
4. Perdarahan
5. karsinoma
6. retardasi pertumbuhan
7. kolitis fulminan dengan atau tanpa toksik megakolon
Pada penyakit Crohn dapat terjadi fistula enteroenterik, enterokutaneus, enterovesikal atau
enterovaginal. Selama fistel ini tidak menyebabkan sepsis intra abdominal harus diupayakan
terapi medikamentosa. Terapi pembedahan ditujukan untuk mengatasi sepsis intra abdominal.
Pilihan jenis tindakan bedah dapat berupa prosedur by pass atau reseksi usus disertai
anastomosis. Tindakan terakhir lebih dianjurkan banyak ahli karena sekaligus menghilangkan
penyebab terjadinya fistel dan kemungkinan terjadinya carcinoma di kemudian hari. (
Hodin,2001 ).
Perforasi usus yang besar jarang terjadi pada penyakit Crohn. Pada umumnya perforasi yang
terjadi berukuran kecil atau mikroperforasi. Perforasi jenis ini dapat menyebabkan abses intra
abdominal, fistula enteroenterik atau enterokutan dengan gejala klinis demam, nyeri perut,
masa intraabdominal, abses intraabdominal dan peritonitis ( Judge2003). Kebanyakan pasien
dengan gejala ini dapat diatasi dengan pemberian antibiotika intravena dan nutrisi parenteral.
Pada abses intraabdominal, terapi drainase perkutan dengan tuntunan CT scan tenyata efektif
dengan keuntungan berupa morbiditas yang lebih rendah dan lama tinggal di rumah sakit
lebih singkat dibandingkan terapi pembedahan.Tindakan pembedahan definitif hendaknya
ditunda beberapa minggu hingga seluruh abses telah terdrainase dengan baik dan proses
radang telah terkontrol dengan pemberian immunosupressan dan atau infliximab. Tindakan
laparotomi dilakukan bila terapi konservatif mengalami kegagalan atau pada pasien dengan
perforasi berukuran besar dengan gejala klinis peritonitis generalisata (Hodin 2001). Kasus
perforasi pada penyakit Crohn dapat ditangani dengan reseksi segmen usus yang sakit dan
dilakukan stoma temporer, atau bila keadaan pasien begitu jelek dapat dilakukan stoma pada
tempat perforasi. Kesulitan pada pasien kami adalah perforasi timbul pada beberapa segmen
kolon dan seluruh segmen usus mengalami proses peritonitis ( pasien no 1dan 3. ) sehingga
sulit untuk mengenali batas segmen usus yang sehat, sehingga terjadi perforasi kembali pada
segmen usus yang tidak dilakukan reseksi.Pada ke empat pasien kami yang mengalami
perforasi, seluruhnya kami lakukan reseksi segmen usus yang sakit dan pembuatan stoma
proksimal. Dari ke empat pasien ini, 3 pasien mengalami kematian. Rowe ( 2004 )
menyebutkan angka kematian diatas 50 % pada pasien yang mengalami perforasi.
Pemberian kortikosteroid pada kasus terjadinya mikroperforasi masih menjadi bahan yang
kontroversial. Beberapa ahli mengkhawatirkan pemberian kortikosteroid akan memperburuk
kondisis pasien, namun Feder etal (1991) membuktikan pemberian kortikosteroid pada 24
pasien dengan masa intraabdominal yang teraba dari dinding abdomen memberikan
perbaikan gejala klinis pada 15 pasien.
Striktura usus yang diakibatkan penyakit Crohn dapat berupa striktura tunggal atau multiple.
Karena striktura ini jarang menimbulkan obstruksi usus komplikata, penanganan secara
konservatif harus selalu dicoba terlebih dahulu. Penanganan secara bedah untuk kasus
striktura ditujukan untuk kasus obstruksi berulang , kegagalan penanganan secara konservatif
atau obstruksi usus pada pasien dengan riwayat operasi sebelumnya.Keputusan melakukan
operasi harus didasari kondisi klinis adanya obstruksi usus, bukan karena ditemukannya
adanya gambaran radiologis striktura seperti “string sign “, karena seperti dilaporkan oleh
Goldberg etal ( 1979 ) sering tidak ada korelasi antara keadaan klinis dengan gambaran
radiologis. Untuk kasus penyakit Crohn dengan komplikasi striktura yang jelas menunjukkan
gejala obstruksi dapat dilakukan multiple reseksi pada tempat striktura dan anastomosis atau
by pass internal atau gabungan keduanya atau strikturoplasti.Keputusan melakukan reseksi
atau strikturoplasti ditentukan oleh jumlah, lokasi dan panjang striktura.Striktura yang
panjangnya 8-10 cm dapat dilakukan strikturoplasti dengan metode Heine Mikulick sedang
striktura yang panjang dapat dilakukan dengan metode Finney(Hodin 2001).Namun bila
striktura terlalu panjang untuk dilakukan strikturoplasti atau striktura multiple yang letaknya
berdekatan harus dilakukan reseksi usus.Karena pada prinsipnya penyakit Crohn tidak dapat
disembuhkan dan rekurensi hampir selalu terjadi ,harus diusahakan agar tidak melakukan
reseksi usus untuk menghindari terjadinya “ short bowel syndrome “. Selain itu, tindakan
strikturoplasti juga jarang menimbulkan komplikasi leakage karena proses perforasi di sisi
antemesenterial jarang terjadi dan daerah terjadinya striktura telah mengalami proses fibrosis
dan tidak terjadi peradangan akut( Hodin2001; Fazio1990;Korelitz1982 , Dietz 2001). Dietz
dalam penelitiannya terhadap 314 pasien yang dilakukan strikturoplasti di intestinum tenue
hanya mendapatkan angka komplikasi 5 % untuk leakage dan 2 pasien dengan perdarahan
pada tempat strikturoplasi yang membutuhkan tindakan angiografi dan 1 pasien dengan
pertumbuhan proses keganasan ditempat strikturoplasti.
Pada saat melakukan reseksi timbul masalah mengenai batas reseksi yang aman agar tempat
anastomosis kita benar-benar sehat dan tidak terjadi rekurensi pada tempat anastomosis. Hal
ini masih menjadi bahan kontroversial dikalangan para ahli.Batas reseksi yang dianjurkan
Crohn pada tulisan orisisinilnya adalah 2 feet proksimal dari bagian usus yang sakit (Hodin
2001). Pendapat lain mengenai batas reseksi yang aman adalah 5 – 10 cm dari batas jaringan
sehat secara makroskopis akan menurunkan frekwensi rekurensi, namun hal ini dapat
menimbulkan terjadinya “ short bowel syndrome “ bila segmen usus yang sakit cukup
panjang dan multiple ( Fazio 1990). Untuk itu Wolf(1983) dari klinik Mayo menyarankan
pemeriksaan ”frozen section “ untuk melihat batas segmen usus yang sehat dan yang
sakit.Beberapa ahli lain berpendapat tidak ada perbedaan frekwensi rekurensi antara tempat
anastomosis pada segmen usus normal dengan abnormal. Fazio etal (1990) membandingkan
batas reseksi 2 cm dan 12 cm pada 131 pasien dengan median follow up selama 56 bulan
mendapatkan tidak ada perbedaan angka rekurensi antara keduanya. Pendapat ini mendapat
dukungan dari kelompok studi Birmingham yang menyatakan bahwa rekurensi hampir selalu
terjadi pasca operasi, sehingga harus selalu diupayakan tindakan konservasi usus.
Pemeriksaan endoskopis pasca operasi oleh Rutgeerts etal (1990) mendapatkan adanya
rekurensi berupa ulkus apthosa preanastomosis pada 70 % pasien dalam tahun ke 1 dan pada
85 % bila pemeriksaan diulangi pada tahun ke 3 pasca operasi. Tempat rekurensi tersering
pasca reseksi usus kecil adalah pada neo ileum terminal sedang pada pasien ilekolitis 65 %
juga mengenai colon. Frekwensi rekurensi yang menunjukkan gejala klinis terjadi pada 35 %
pasien pada tahun ke 5 , 55 % pada tahun ke 10 dan 75 % pada tahun ke 15. Kesimpulan dari
data-data ini adalah bahwa rekurensi hampir pasti tejadi terlepas dari seberapa jauh batas
reseksi kita ,sehingga tindakan konservasi usus harus selalu dupayakan dan terapi
pembedahan hanya ditujukan untuk pasien dengan komplikasi klinis yang nyata. Untuk
menghindari atau menurunkan frekwensi terjadinya rekurensi beberapa peneliti menyarankan
pemberian obat mesalamine atau metronidazole pasca operasi ( Rutgeerts 1990; Mc Leod
1995 ).
Resiko terjadinya proses keganasan pada penyakit Crohn’s telah diteliti oleh banyak pakar.
Insidensi terjadinya karsinoma kolon pada penyakit Crohn’s kurang lebih 270 per 100.000, 6
kali dari resiko pada populasi normal, sedang untuk kolitis ulserativa 700 per 100.000 (
Korelitz 1990). Namun terjadinya proses karsinoma pada pasien penyakit Crohn’s terjadi
pada proses penyakit yang telah berlangsung 15-20 tahun. Welton etal ( 2001) menyebutkan
lebih dari 70 % dari pasien –pasien ini akan mengalami kelainan yang signifikan pada rektum
dan 50% diantaranya akan membutuhkan protektomi.
KOMPLIKASI
Penyakit Crohn adayang mempunyai manifestasi yang jinak sampai dengan sangat
berat,beberapa penderita mengalami suatu epsode tunggal ada juga yang mengalami episode
yang terus berulang, meskipun kekambuhan itu dianggap suatu fenomena yang normal tetapi
pada beberapa penderita ada yang bebas dari penyakit ini dalam waktu yang sangat lama.
Meskipun penyakit Crohn tidak dapat disembuhkan walaupun dengan intervensi
pembedahan, saat ini medikamentosa dapat menjadi pilihan pada sebagian besar penderita
penyakit ini, penyakit Crohn jarang menjadi penyebab langsung kematian, sebagian besar
penderita dapat hidup normal dengan penyakit ini.
Pada penderita Crohn yang ringan semakin sedikit pergerakan pada usus semakin ringan
gejala yang muncul, pada penderita ini didapatkan nyeri perut yang sangat ringan bahkan
tidak ada keluhan nyeri perut, penderita secara klinis menyerupai orang normal, sedikit
komplikasi yang muncul adalah keluhan diluar traaktus intestinal, tidak didapatkan massa
pada pemeriksaan fisik dan hasil laboratorium menbdekati normal.
Pada penyakit Crohn yang berat sering berupa peningkatan mobilitas usus hingga
memerlukan obat opiat ataupun antidiare yang poten, didapatkan keluhan nyeri perut yang
sangat hebat dan biasanya berupa nyeri dikwadran kanan bawah, lokasi nyeri tidak
mengidentifikasikan tempat sumber masalah, yang sekarang dikenal dengan referred pain,
jumlah ereitrosit rendah, penderita mengalami komplikasi berupa kehilangan berat badan,
nyeri sendi, inflamasi pada mata, kulit merah atau ulserasi pada kulit, fistel, abses dan
demam, pengobatan secara pembedahan dan non pembedahan pada kasus Crohn dengan
kolitis ulserative mempunyai komplikasi yang bisa menjadi berat.
Komplikasi di saluran cerna berupa malabsorbsi dan malnutisi yang disebabkan krena
perdarahan dan diare sebagai efek samping dari obat dan tindakan pembedahan, terjadinya
fistel karena adanya ulkus yang dalam yang dat terbentuk bersama penyakit Crohn, kalau
fistel berada di antara usus halus dan kolon, dapat terjadi gangguan penyerapan nutrisi, fistel
sering membentuk kantong abses yang dapat membahayakan bila tidak diterapi,. Perdarahan
massif dapat terjadi pada 1 sd 2% kasus dan dapat kambuh, perdarahn itu biasanya berasal
dari area yang terlokalisir dari usus, dengan pembedahan perdarahan itu bisa diatasi.
Terjadinya kanker Kolorektal lerpotensi pada penderita kolitis ulcerativ dibandingkan
penyakit Crohn, tetapi penyakit Crohn mempunyai resiko 40 kali lipat menderita kanker usus
nhalus , Obstruksi intestinal terjadi karena adanya jaringan parut yang dikenal sebagai striktur
akibat inflamasi penyakit Croh, hal ini dapat terjadinya obstruksi usus dengan kolik yang
sangat hebat disertai muntah yang profuse, striktur biasanya muncul pada usus halus akan
tetapi bisa juga terjadi pada kolon
Komplikasi siluar usus :
1. Penderta penyakit ini mempunyai resiko lebih tinggi terpapar penyakit inflamasi lain yang
menyeran paru-paru dan sistem saraf pusat
2. Menurut studi tahun 2005 penerita memiliki resiko lebih tinggi mengidap asma juga
bronkitis dan inflamasi lainnya.
3. Inflamasi pada mata merupakn tanda awal pada penyakit Crohn pada beberapa kasus,
penyakit retina dapat terjadi tetapi jarang, dengan komplikasi artritis memiliki resiko penyakit
mata yang lebih tinggi.
4. Kekakuan pada sendi disebabkan adanya artritis oleh karena inflamasi, juga disertai nyeri
sendi dipunggung serta beresiko terjadinya klubbing finger.
5. Pada tulang bisa terjadi osteppenia dan osteoporosis.
6. Terjadinya anemi disebabkan adanya ulkus di usus
7. Gangguan pada hepar dan sistem bilier berupa kolelitiasis.
8. Candidasis pada mulut merupakan komplikasi terapi.
9. Gangguan kulit berupa pembengkan pada kulit berupa ulkus.
10. Tromboembolis pembuluh darah dat terjadi pada tungkai bawah dan daerah pelvis.
11. Infeksi tartus urinarius sering terjadi dan kemungkinan terbentuknya batu salauran
kencing lebih tinggi.
12. Keterlambatan tumbuh kembang bisa terjadi bila penyakit ini mengenai anak-anak.
13. kemungkinan terjadinya prematuritas dapat terjadi pada kehamilan.
14. Gangguan siklus haid serinh terjadi pada penyakit ini.
15. Gangguan neurologis berupa dementia , gangguan pola pikir dan stroke serta
kemungkinan terjadinya multiple sclerosis dan ganngguan nervus optikus.
16. Gangguan emosi sering terjadi pada penderita dewasa muda.
IV.KESIMPULAN
Gejala klinis dari penyakit Crohn sangat beragam tergantung dari lokasi dan gradasi
penyakitnya, oleh karena itu proses menegakan diagnosa bukan hal yang mudah, apalagi bila
pasien datang dalam keadaan akut abdomen akibat komplikasi perforasi usus dimana
gambaran klasik dari segmen usus yang terkena sering tidak tampak akibat tumpang tindih
dengan gambaran peritonitis. Kecurigaan akan adanya proses penyakit Crohn perlu
dipikirkan dalam hal adanya perforasi usus pada usia muda yang tidak jelas kausanya.
Komplikasi perforasi pada crohn's disease mempunyai tingkat mortilitas yang tinggi, hal ini
sering disebabkan adanya perforasi ulangan pada segmen usus yang sebelumnya tidak
mengalami perforasi. Pada pasien kami tingkat mortalitas pada pasien dengan komplikasi
perforasi sebesar 75 %.
Kasus 1. Tn. S 51 tahun datang ke UGD dengan keluhan utama perut kembung panas badan
dan nyeri serta muntah-muntah sejak satu hari sebelum masuk rumah sakit, sebelumnya
sudah berobat ke dokter disarankan untuk MRS tapi px tidak mau, riwayat diare kronis sejak
6 bulan yang lalu, diare hilang timbul, riwayat DM tapi terkontrol. Saat datang ke RS
kesadaran menurun. T 90/50 N 132 RR 32 Suhu 39,8 .
PD Dispneu, abdomen Distended, defans muskuler, pekak hati hilang, bising usus negatif. RT
TSA lemah nyeri diseluruh permukaan, dipasang NGT keluar cairan hijau 1200 cc,
BOF/LLD tampak udara bebas.
Diagnosa Peritonitis generalisata suspek perforasi organ berongga. Sepsis
Dlikakukan explorasi Laparotomi didapatkan multiple perforasi pada ilium distal sampai
denagan kolon ascenden, sebagian mengalami nekrosis, spilege faeces 2000 cc bercampur
pus Dilakukan hemikolektomi kanan dan iliostomi dengan mukus fistel pada kolon.
Post operasi kondisi px tidak membaik dengan tanda peritonitis ulang , sepsis dan gula darah
sulit dikontrol ( > 600}, setelah dilakukan therapi oleh penyakit dalam dilakukan
relaparotomi dengan tujuan kontrol sumber infeksi pada hari ke 2, paske operasi ke 2 kondisi
px mulai membaik akan tetapi gula darah tetap sulit dikontrol. Hasil Patologi jaringan suatu
Crohn’s disease. Hari ke 10 px mulai membaik gula darah mulai terkontrol, disamping
pemberian antibiotika dan anti dibet serta nutrisi suport px mendapat therapi sulkolon 3x2
tablet. Hari ke 20 px keluar rumah sakit dalam keadaan baik, gula darah terkontrol dan luka
operasi terawat baik, px mendapat therapi sulkolon dan OAD. Setelah 6 bulan keadaan px
baik kemudian dilakukan pemeriksaan kolonoskopi dan biopsi dengan hasil baik dan tidak
ada tanda cronh lagi. Satu bulan kemudian diputuskan dilakukan tutup kostomi, setelah
dilakukan penutupan hari ke2 px panas badan dan mulai timbul tanda peritonitis dan sepsis,
diputuskan dilakukan explorasi laparotomi ulang pada hari ke 4, didapatkan , pus sekitar 200
cc putih, tidak ada perforasi usus, anastomosis baik, usus oedema dan dilatasi pada seluruh
usus, penjahitan dinding perut hanya pada kulit, dua hari kemudian kondisi semakin
memburuk dan kemudian terjadi fistel enterokutan mula mula 1 buah kemudian bertambah
menjadi 6 buah, total cairan fitel hampir 1000 cc dengan kwlitas faeces cair, karena tidak ada
tanda peritonitis dan gula darah sulit diturunkan diputuskan untuk terapi konservatip, dengan
pengaturan nutrisi TPN kombinasi dengan oral, serta perawatan fistel, hari ke 14 setelah
operasi terakhir penderita mendapat therapi tambahan HBO therapi selain obat yang sudah
diberikan, HBO diberikan 10 kali, dengan cara 5 kali setiap minggu. Setelah Hbo yang ke5
kondisi semakin membaik dan jumlah cairan yang keluar melalui fistel berkurang dan px bisa
bab melalui anus, setelah pemberian ke 10 fistel mulai menutup tinggal 2 fistel yang masih
pruduktif, dengan cairan perhari berkisar 150 cc kwalitas faeces cair, berdasarkan
pertimbangan tersebut progranm therapi HBO dilanjutkan 10 kali lagi, setelah pemberian ke
15 tinggal 1 buah fistel yang masih produktif sekitar 20 – 30 cc kwalitas pus, hasil norit test
negatif, px dipulangkan dilanjutkan perawatan poliklinis, kemudian therapi dilanjutkan
sampai HBO ke 20. Dengan hasil seluruh fistel dapat menutup.
Kasus 2. Tn. B. 44 tahun MRS dengan keluhan diare kronis disertai berak berdarah dan cair,
sejak 1 hari sebelum MRS perut kembung nyeri, muntah –muntah dan panas badan serta
lemah, pertama kali dirawat oleh sejawat penyakit dalam kemudian dikonsulkan ke bagian
bedah. Saat datang kondisi px dengan KU lemah dan anemis,
PD T 80/40 N 146 RR 36 S 40 C anemis
Thorax dbn
Abdomen Distended, defans muskuler, pekak hati negatif, Bising usus negatif
RT TSA kolaps, Nyeri diseluruh permukaan. Faeces bercampur darah .
Lab Hb 4,2 L 28000, Bun 48 SC 2,8 Albumin 2,4
Bof/LLD tampak udara bebas, USG abdomen massa besar disekitar sigmoid ukuran 10x 10 x
8 cm.
Diagnosa Peritonitis Generalisata suspek perforasi organ berongga . Sepsis. Anemi Gravis,
Dehidrasi berat, hipo albumin.
Setelah dilakukan perbaikan keadaan umum selama 20 jam diputuskan dilakukan eksplorasi
laparotomi pada tanggal 2008.
Durante Operasi didapatkan adanya massa di Sigmoid berukuran 14 x10 cm yang mengalami
perforasi dengan ulkus berukuran 2x 2 cm ada 3 buah, spilage faeces 1000 cc bercampur
darah, dan pada kolon descenden terdapat penebalan pada seluruh dindingnya, diputuskan
dilakukan sigmoidektomi dan hemikolektomi kiri, dilakukan anastomosis kolon transversum
dengan rektum dengan menggunakan CDH 33, dan iliostomi untuk proteksi, setelah
sebelumnya hasil vrees scope tidak ditemukan keganasan.
Paska operasi kondisi penderita membaik hasil PA suatu Crohn’s Disease, kemudian
dlanjutkan therapi dengan sulcolon 3x2 tablet sesuai saran sejawat Penyakit Dalam.dan HBO
therapi selama 20 kali. Setelah 3 bulan paska therapi dilakukan Colonoscopi dan ilioscopi
serta biopsi untuk persiapan penutupan iliostomi dengan hasil dalam batas normal, biopsi
tidak ditemukan tanda penyakit Crohn’s , kemudian dilakukan pemeriksaan lopografi distal
dengan kontras water soluble, dengan hasil dalam batas normal. Kemudian dilakukan
penutupan iliostomi. Dua bulan setelah operasi penderita sering demam dan nyeri perut,
beberapa hari kemudian terjadi fistel enterokutan dari bekas iliostomi dengan kwalitas faeces
cair berjumlah sekitar 300 cc. Penderita diberi therapi Salofalk 2x2 tablet sesuai saran
Penyakit Dalam. Disamping obat tersebut juga diberi HBO sebanyak 20 kali, setelah
pemberian ke10 fistel sudah tidak produksi dan keluhan nyeri serta demam menghilang, HBO
dilanjutkan sampai 20 kali dengan hasil bekas fistel sudah tertutup kulit.
PEMBAHASAN
Komplikasi perforasi pada crohn's disease mempunyai tingkat mortilitas yang tinggi, hal ini
sering disebabkan adanya perforasi ulangan pada segmen usus yang sebelumnya tidak
mengalami perforasi. Pada pasien kami tingkat mortalitas pada pasien dengan komplikasi
perforasi sebesar 75 %. Pada saat melakukan reseksi timbul masalah mengenai batas reseksi
yang aman agar tempat anastomosis kita benar-benar sehat dan tidak terjadi rekurensi pada
tempat anastomosis. Hal ini masih menjadi bahan kontroversial dikalangan para ahli.Batas
reseksi yang dianjurkan Crohn pada tulisan orisisinilnya adalah 2 feet proksimal dari bagian
usus yang sakit (Hodin 2001). Pendapat lain mengenai batas reseksi yang aman adalah 5 – 10
cm dari batas jaringan sehat secara makroskopis akan menurunkan frekwensi rekurensi,
namun hal ini dapat menimbulkan terjadinya “ short bowel syndrome “ bila segmen usus
yang sakit cukup panjang dan multiple ( Fazio 1990). Untuk itu Wolf(1983) dari klinik Mayo
menyarankan pemeriksaan ”frozen section “ untuk melihat batas segmen usus yang sehat dan
yang sakit.Beberapa ahli lain berpendapat tidak ada perbedaan frekwensi rekurensi antara
tempat anastomosis pada segmen usus normal dengan abnormal. Fazio etal (1990)
membandingkan batas reseksi 2 cm dan 12 cm pada 131 pasien dengan median follow up
selama 56 bulan mendapatkan tidak ada perbedaan angka rekurensi antara keduanya.
Pendapat ini mendapat dukungan dari kelompok studi Birmingham yang menyatakan bahwa
rekurensi hampir selalu terjadi pasca operasi, sehingga harus selalu diupayakan tindakan
konservasi usus. Pemeriksaan endoskopis pasca operasi oleh Rutgeerts etal (1990)
mendapatkan adanya rekurensi berupa ulkus apthosa preanastomosis pada 70 % pasien dalam
tahun ke 1 dan pada 85 % bila pemeriksaan diulangi pada tahun ke 3 pasca operasi. Tempat
rekurensi tersering pasca reseksi usus kecil adalah pada neo ileum terminal sedang pada
pasien ilekolitis 65 % juga mengenai colon. Frekwensi rekurensi yang menunjukkan gejala
klinis terjadi pada 35 % pasien pada tahun ke 5 , 55 % pada tahun ke 10 dan 75 % pada tahun
ke 15. Kesimpulan dari data-data ini adalah bahwa rekurensi hampir pasti tejadi terlepas dari
seberapa jauh batas reseksi kita ,sehingga tindakan konservasi usus harus selalu dupayakan
dan terapi pembedahan hanya ditujukan untuk pasien dengan komplikasi klinis yang nyata.
Untuk menghindari atau menurunkan frekwensi terjadinya rekurensi beberapa peneliti
menyarankan pemberian obat mesalamine atau metronidazole pasca operasi ( Rutgeerts 1990;
Mc Leod 1995 ).
Pemanfaatan HBO pada penyakit Crohn’s sebagai terapi tambahan dapat diberikan dengan
pertimbangan therapi ini akan membantu meningkatkan kemampuan tubuh untuk menyerap
oksigen yang akan menyokong sistem imun dengan merusak substansi yang bersifat toksik,
secara umum bakteri anaerob, jamur dan virus pada umumnya intoleran terhadap oksigen,
karena tidak tahan terhadap lingkungan yang kaya akan oksigen, selain itu akan mempercepat
pembentukan pembuluh darah baru yang akan membantu pembentukan jaringan epitel yang
diperlukan untuk memperkecil ukuran fistel enterokutan dan penyembuhan luka.
Pemanfaatan HBO pada Crohn’ s disease daerah perineum berupa fistel perianal yang
membandel sudah sering digunakan dan efeknya dapat terlihat, sedangkan untuk terapi fistel
enterokutan atau fase akut belum banyak dilakukan di Indonesia, karena pertimbangan
fasilitas HBO yang masih terbatas.
Pada kedua kasus ini kami mencoba memberikan terapi tambahan HBO selain terapi yang
digunakan dengan harapan akan memcegah terjadinya komplikasi lebih lanjut dari penyakit
Crohn’s yang mengalami perforasi dan mencegah atau menghambat rekurensi penyakit ini.
Pada perawatan fistel enterokutan terjadi perbaikan klinis yang sangat baik terutama dalam
hal pencegahan komplikasi fistel yang sudah terjadi
V..DAFTAR PUSTAKA
1. Dietz, D.W., Laureti, S., Strong, S.A., Hull, T. L., etal 2001 . Safety and longterm efficacy
of strictureplasty in 314 patients with obstructing small bowel Crohn’s disease. J.American
college of Surgeons, 192 (3) : 330-338.
2. Fazio, V.W.,1990. Conservative surgery for Crohn’s disease of the small bowel : the role
of strictureplasty. The Medical Clinics Of North America ;72 : 169-180.
3. Felder, J., Adler, D., Korelitz, B.,1991 . The Safety of Corticosteroid therapy in Crohn’s
disease with an abdominal mass. Am J Gastroenterol ;86 : 1450-1455.
4. Goldberg, H., Caruthers, S.j., Singleton J.,1979 . Radiographic findings of the national
cooperative Crohn’s Disease study. Gastroenterology ;77 : 925-937.
5. Hodin, R.A., Matteus, J.B.,2001.Small intestine. In :Norton etal,eds. Surgery, Basic
Science and Clinical Evidence. Newyork:Springer-verlag, 628—6630.
6. Jagelman, D.G.,1990. Surgical Alternatives for Ulcerative Colitis. The Medical clinics of
North America;74:155-167.
7. Judge, T.A., Lichenstein, G.R.,2003 . Inflamatory bowel disease .In : Current Diagnosis
and Treatment in Gastroenterology. Friedman,S.l.,McQuaid, K.R.,Gremdell, J.H., Eds.
Singapore :McGrawHill , 109-130.
8. Kirsner, J.B.,1995. Overview of etiology, pathogenesis, and epidemiology of inflammatory
bowel disease. In : Haubrich WS, Schaffner F, Berk JW,eds. Bockus gastroenterology. 5 th
ed. Philadelphia : W.B.Saunders company ,1293-1295.
9. Korelitz, B.I., Present, D.H., Alpert, L.I., et al 1982 . Recurrent regional enteritis after
ileostomy and colectomy for granulomatous colitis. N England J Med ,287 : 110-115
10. Korelitz, B.I.,1990.Considerations of surveillance,Dysplasia, and carcinoma of the Colon
in the Management of Ulcerative Colitis and Crohn’s disease
11. Manan C.,1990 .Kolitis ulseratif dalam : Soeparman, ed . Ilmu penyakit dalam . jilid
II.Edisi kedua. , Jakarta: Balai penerbit FKUI,137.
12. Mc Leod,R.,Wolf,B.,Steinhart,A.,etal 1995.Mesalamine treatment decreases post
operative recurrences of crohn’s disease. Gastroenterology;109:404-413.
13. Podolsky, D.K,1988. Ulcerative colitis and Crohn’s disease In : : GL Bongiovianni ,ed.
Essential of clinical Gastroenterology. Newyork: Mc.Graw Hill, 315=319
14. Rowe WA. Inflamatory Bowel Disease. http://www.emedicine.com/emerg/topic 109 htm
15. Rutgeerts, P.,Hiele ,M.,Geboes, K., et al.1990 . Controlled trial of Metronidazole
treatment for prevention of Crohn’s Recurrence after Ileal resection. Gastroenterology ,109 :
404-413.
16. Sachar, D.B.,1990. The problem of post operative Recurrence Of Crohn’s Disease. The
Medical Clinics Of North America ,72 : 183-188
17. Shapiro, W.,2004 Inflamatory Bowel Disease. http://www.emedicine.com/emerg/topic
106 htm
18. Welton, M.L.,Varma, M.G.,Amerhauser .A.,2001. Colon, Rectum, and Anus. In Norton
etal, eds . Surgery Basic Science and Clinical evidence. Newyork :Springer-verlag,672-684.
19. Whelan, G.,1990. Epidemiologi Of Inflamatory Bowel Disease. The Medical clinics of
North America ;74:1-11.
20. Wolf,B.G.,Beart,R.j.,Frydenberg, etal.,1983.The importance of disease free margins in
resecting for crohn’s disease. Dis Rectum;26:239-243