Anda di halaman 1dari 7

Sasaran Belajar

1. Menjelaskan Definisi dari Radioterapi


adalah terapi menggunakan radiasi yang bersumber dari energi radioaktif.
Radioterapi yaitu suatu jenis pengobatan yang menggunakan atau memanfaatkan sinar
pengion (sinar-X, sinar-Gamma) dan partikel lain (neutron, proton, dll) untuk
mematikan sel-sel kanker tanpa akibat fatal pada jaringan sehat disekitarnya. Terapi
radiasi ini akan mematikan sel-sel kanker jika mencapai dosis tertentu. Radioterapi
merupakan salah satu terapi atau pengobatan penyakit kanker / keganasan. Enam
puluh hingga tujuh puluh persen pasien kanker memerlukan terapi radiasi dalam salah
satu terapinya. Masyarakat umum banyak yang tidak mengetahui tentang radiasi,
sehingga merasa takut atau khawatir ketika dianjurkan untuk menjalani terapi radiasi
oleh dokter. 
Radioterapi adalah metode pengobatan penyakit-penyakit maligna dengan
menggunakan sinar pengion, bertujuan untuk mematikan sel-sel tumor sebanyak
mungkin dan memelihara jaringan sehat di sekitar tumor agar tidak menderita
kerusakan terlalu berat. Radioterapi adalah jenis terapi yang menggunakan radiasi
tingkat tinggi untuk menghancurkan sel-sel kanker. Baik sel-sel normal maupun sel-
sel kanker bisa dipengaruhi oleh radiasi ini. Radiasi akan merusak sel-sel kanker
sehingga proses multiplikasi ataupun pembelahan sel-sel kanker akan terhambat.

2. Menjelaskan Tujuan dari Radioterapi


Tujuan radioterapi adalah untuk pengobatan secara radikal, sebagai terapi
paliatif yaitu untuk mengurangi dan menghilangkan rasa sakit atau tidak nyaman
akibat kanker dan sebagai adjuvant yakni bertujuan untuk mengurangi risiko
kekambuhan dari kanker. Dengan pemberian setiap terapi, maka akan semakin banyak
sel-sel kanker yang mati dan tumor akan mengecil. Sel-sel kanker yang mati akan
hancur, dibawa oleh darah dan diekskresi keluar dari tubuh. Sebagian besar sel-sel
sehat akan bisa pulih kembali dari pengaruh radiasi.
Tujuan radioterapi adalah untuk pengobatan secara radikal, sebagai terapi
paliatif yaitu untuk mengurangi dan menghilangkan rasa sakit atau tidak nyaman
akibat kanker dan sebagai adjuvant yaitu bertujuan untuk mengurangi risiko
kekambuhan dari kanker.

3. Menjelaskan Indikasi dari Radioterapi


Indikasi tatalaksana radiasi meliputi:
1. Lesi superfisial dengan ukuran besar,
2. Usia > 75 tahun,
3. Menolak operasi atau kontraindikasi dengan tindakan operasi,
4. post operasi dengan gross residu, batas sayatan positif, close margin (≤ 5 mm)
invasi perineural, invasi tulang rawan,

4. Menjelaskan Kontraindikasi dari Radioterapi


Kontraindikasi radioterapi adalah usia dibawah 35 tahun,diabetes melitus
(DM), dan hipertensi yang disertai dengan retinopati, karena radiasi
dapat memicu kanker pada usia muda.
Kontraindikasi tatalaksana radiasi meliputi :
1. Riwayat radiasi di tempat yang sama
2. Lesi pada daerah insufisiensi vaskular
3. Bagian tengah dari kelopak mata atas
4. Kulit pada daerah tulang belakang
Sumber : Fatmasari, H.M. Djakaria. 2017. Radioterapi dan onkologi
Indonesia. Jurnal radiasi onkologi Indonesia; 8(2) : 93-97
Fatmasari & Djakaria HM. 2017. Radioterapi pada Karsinoma Sel Basal.
Journal of The Indonesian Radiation Oncology Society. 8(2): 93-97.

5. Menjelaskan Perawatan dari Radioterapi


a. Sebelum 
 Pemeriksaan
 Persiapan
b. Saat 
 Teknik
Ada beberapa teknik radioterapi, diantaranya Eksternal Radiasi dan
Brakhiterapi/ internal radiasi :

Eksternal Radiasi (Sinar dari luar)


Disebut sinar luar karena sumber radiasi di letakkan di luar tubuh / di luar
target yang akan disinar sehingga ada jarak antara sumber radiasi dan target
radiasi, berkisar antara 80-100 cm. Untuk jenis pesawat Cobalt 60,
menggunakan jarak 80cm. Untuk linier accelerator (LINAC) menggunakan
jarak 100 cm.
Brakhiterapi/ internal radiasi (Sinar dari dalam) 
Sumber radiasi diletakkan di dalam tumor atau menempel di tumor (kanker).
Contoh pada penderita kanker payudara yaitu dengan menanam biji radioaktif
ke dalam jaringan payudara di samping kanker. Brakhiterapi hanya dapat
dilakukan pada jenis dan stadium kanker tertentu. Mungkin diberikan
bersamaan dengan radiasi eksternal untuk menambah power radiasi yang
ditujukan ke tumor.

 Dosis
dosis dan fraksinasi radioterapi definitif antara 45-80 Gy akan
memberikan hasil kosmetik yang memuaskan, dengan efek samping
hipopigmentasi (91,8%), telangiektasis (82,2%) dan perubahan
kosmetik yang paling umum 4 tahun setelah radioterapi. Batas margin
berkisar 1-2 cm disesuaikan dengan tipe lesi, untuk margin yang lebih
besar diberikan pada lesi infiltratif.
Dosis radiasi post operasi secara umum untuk kepala dan leher
meliputi 60 Gy dalam 30 fraksi dan 50 Gy dalam 20 fraksi pada
margin negatif atau tidak terdapat extra capsule extension (ECE), dan
66 Gy dalam 33 fraksi dan 55 Gy dalam 20 fraksi dengan margin
positif atau dengan ECE. Untuk keterlibatan kelenjar getah bening
aksila atau inguinal tanpa ECE dosis 45-50 Gy dalam 25 fraksi
digunakan, sedangkan dosis 60-66 Gy dalam 30-33 fraksi digunakan
pada kasus dengan ECE.

c. Sesudah 
Pemeriksaan rutin setiap 4-8 minggu selama 6 bulan pertama (selanjutnya
disesuaikan dengan kebutuhan pasien)
Hindari tindakan bedah invasif termasuk ekstraksi gigi (Jika perlu, pertimbangkan
penggunaan antibiotik sebelum dan sesudah operasi).
Penanganan mulut kering dengan minum, saliva substitutes dan permen bebas
gula
Dapat dilakukan pembuatan gigi tiruan lepasan yang baru setelah 3-6 bulan
Monitoring kemungkinan timbulnya gangguan perkembangan gigi dan
kraniofasial pada pasien anak
Memberi informasi kepada pasien terhadap tetap adanya kemungkinan komplikasi
rongga mulut walaupun perawatan radioterapi telah berakhir
Sumber : Akarslan Z. 2017. Diagnosis and Management of Head and Neck
Cancer. Croatia: InTech.

6. Menjelaskan Dampak dari Radioterapi


a. Akut

b. Kronis
Dampak kronis adalah fibrosis dan atrofi mukosa, karies, nekrosis
jaringan (nekrosis jaringan lunak dan osteonekrosis), fibrosis otot dan kulit
serta disfagia. (Harshitha C, Laliytha KB. 2017. Effect of Radiotherapy on the
Oral Cavity. Journal of Pharmaceutical Sciences and Research. 9(12): 2332-
2334. )

7. Menjelaskan Efek Samping dari Radioterapi


a. Mucositis
 Definisi
Secara umum mukoksitis disebabkan karena adanya kerusakan pada
sel epitel basal karena kemoterapi atau radioterapi. Saat ini telah diketahui
bahwa patogenesis dari mukositis oral menjadi lebih kompleks, meliputi
generasi dari reactive oxygen species (ROS), yaitu sebuah molekul tidak
stabil dan mengandung oksigen yang dapat dengan mudah bereaksi dengan
molekul lain di dalam sel. ROS yang berkumpul di dalam sebuah sel dapat
menyebabkan kerusakan pada DNA, RNA dan protein sehingga menyebabkan
kematian sel.
Mukositis oral adalah suatu proses peradangan dan ulseratif pada
mukosa mulut yang diakibatkan dari kemoterapi dan/ atau radioterapi.
Insidensi dan keparahan mukositis oral dapat dipengaruhi oleh
berbagai faktor risiko, yaitu faktor yang berkaitan dengan host dan
pengobatan kankernya.
 Etiologi
Secara umum, mukositis oral diketahui disebabkan karena adanya
kerusakan pada sel epitel basal karena kemoterapi atau radioterapi. Saat ini
telah diketahui bahwa patogenesis dari mukositis oral menjadi lebih kompleks,
meliputi generasi dari reactive oxygen species (ROS), yaitu sebuah molekul
tidak stabil dan mengandung oksigen yang dapat dengan mudah bereaksi
dengan molekul lain di dalam sel. ROS yang berkumpul di dalam sebuah
sel dapat menyebabkan kerusakan pada DNA, RNA dan protein sehingga
menyebabkan kematian sel.

 Epidemiologi

 Predisposisi
Derajat keparahan mukositis oral juga dipengaruhi oleh regimen atau
metode terapi yang diterima. Kondisi mukositis oral pasien kasus II
dipengaruhi oleh sumber radiasi, dosis kumulatif, intensitas dosis, dan
fraksinasi dari terapi radiasi yang diterima. Pasien yang menerima terapi
radiasi kepala dan leher cenderung mengalami eritema setelah 2 minggu
terapi, dengan total dosis hampir 2000 cGy. Gejala mukositis oral mencapai
puncaknya pada minggu kelima atau keenam dari terapi radiasi. Keparahan
mukositis oral meningkat sesuai sesuai peningkatan dosis radiasi, sedangkan
reaksi mukosa terburuk setelah menerima dosis total 5000-6000 cGy. Pasien
pada kasus ini menerima dosis total 34 Gy hal ini sesuai dengan
literatur,dimana pada dosis kumulatif 30 Gy atau lebih sering terjadi lesi
ulserasi pada rongga mulut.
Insidensi dan keparahan mukositis oral berkaitan dengan berbagai
faktor risiko. Faktor pertama yaitu yang berhubungan dengan pasien, meliputi:
usia, jenis kelamin, kesehatan mulut dan kebersihan mulut, faktor genetik,
penurunan produksi saliva, status nutrisi yang buruk, fungsi ginjal dan fungsi
hepatik, penyakit diabetes, infeksi HIV, konsumsi alkohol, merokok, kelainan
patologi oral termasuk xerostomia yang dapat meningkatkan keasaman saliva
sehingga meningkatkan oral flora yang infeksius atau kelainan vaskular
sebelumnya, tipe kanker, disfungsi imun dan jumlah neutrofil, defek enzim
metabolisme tertentu, kelainan pernafasan, serta adanya gigi yang tajam.
Faktor risiko kedua yaitu yang berhubungan dengan terapi kanker itu sendiri,
meliputi: agen kemoterapi atau bioterapi, transplantasi sel stem sumsum tulang
dan darah, daerah radiasi dan fraksionasi, frekuensi dan dosis radiasi, volume
jaringan yang diradiasi, serta medikasi lain yang diterima pasien berupa
opioid, antidepresan, antihistamin, diuretik, sedatif, atau terapi oksigen.

 Manifestasi Klinis
Traktama DO, Sufiawan I. 2018. Keparahan Mukositis Oral
pada Pasien Kanker Kepala Leher Akibat Kemoterapi dan atau
Radioterapi. Majalah Kedokteran Gigi Indonesia. 4(1): 53-54

 Penatalaksaan

dekontaminasi oral menggunakan chlorhexidine 0,2 %. Berdasarkan


hasil observasi yang dilakukan terhadap anak yang menjalani
kemoterapi di RSUPN dr. Cipto Mangunkusomo bahwa dari 5 orang
pasien, 3 diantaranya tidak menggunakan chlorhexidine 0,2 % yang
diberikan untuk berkumur dikarenakan rasa yang tidak enak dan pedas.
Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan
chlorhexidine 0,2 % tidak menunjukkan keefektifan dalam
menurunkan derakat keparahan mucositis (Utami et al. 2018.
INTERVENSI MENGUNYAH PERMEN KARET EFEKTIF
MENCEGAH DAN MENURUNKAN DERAJAT MUKOSITIS
ORAL PADA ANAK YANG MENJALANI KEMOTERAPI. Jurnal
Ners Indonesia; 9(1): 87-97)
Pemberian obat kumur klorheksidin glukonat 0,2% dengan cara
diseka keseluruh mukosa mulut dan gigi geligi, juga obat tetes nistatin
oral supension serta pemberian vitamin B12 dan asam folat.
Klorheksidin adalah obat kumur yang menunjukkan aktivitas
antimikroba dan antijamur sprektrum luas, efektif melawan bakteri
gram positif dan gram negatif, juga sel ragi dan jamur, dan terikat pada
permukaan oral secara terus menerus.26 Klorheksidin dilaporkan dapat
mengurangi tingkat keparahan mukositis pada pasien yang menjalani
kemoterapi, meningkatkan kelangsungan hidup pasien, dengan biaya
yang efektif.27,28 Terapi asam folat bersama vitamin B12
membentuksenyawaS-adenosylmethionine(SAMe) yang terlibat dalam
fungsi kekebalan tubuh. Vitamin B12 juga berfungsi menjaga dan
meningkatkan energi, serta berperan penting dalam pembentukan sel
darah merah, mempercepat penyembuhan luka, serta memperbaiki sel-
sel tubuh yang rusak dan mengaktifkan sel T yang berfungsi mengatur
respon imun serta menyerang sel yang terinfeksi, Pemberian nistatin
pada pasien yang menjalani kemoterapi dapat menurunkan insidensi
mukositis.6,25,30 Pemberian nistatin 4 x 2 ml sehari tampak efektif
setelah pemakaian hari kedua. Traktama DO, Sufiawan I. 2018.
Keparahan Mukositis Oral pada Pasien Kanker Kepala Leher Akibat
Kemoterapi dan atau Radioterapi. Majalah Kedokteran Gigi Indonesia.
4(1): 53-54

b. Xerostomia
 Definisi
Akibat utama dari radiasi terhadap kelenjar saliva adalah xerostomia
yang ditandai oleh penurunan volume saliva. Saliva cenderung menjadi lebih
kental. Kelenjar saliva pada tahap awal akan mengalami inflamasi akut
kemudian mengalami atrofi dan fibrosis. Selama radioterapi, sel asinar serous
dipengaruhi lebih dulu dari sel asinar mukus. Akibatnya saliva menjadi lebih
lengket dan kental. Produksi saliva turun sebanyak 50% selama satu minggu
setelah radioterapi. Perubahan komposisi saliva juga terjadi antara lain,
penurunan sekresi IgA, kapasitas buffer dan pH saliva menjadi asam
 Etiologi
 Epidemiologi
 Predisposisi
 Manifestasi Klinis
 Penatalaksaan
c. Osteoradionecrosis
 Definisi
 Etiologi
 Epidemiologi
Prevalensi kejadian ORN pada terapi radiasi konvensional 7,4%,
IMRT (Intensity Modulated RadioTherapy) 5,1%, Chemoradiotherapy 6,8%,
brachiteraphy 5,3%.

 Predisposisi
Keadaan ini akan diikuti dengan kerusakan tulang yang progresif dan
akan digantikan dengan munculnya rekurensi tumor. Resiko ORN dapat
muncul dengan berbagai faktor predisposisi diantaranya oral hygiene yang
jelek, invasi sel tumor pada tulang, penyakit sistemik serta jenis radiasi yang
digunakan. (Rachmah 2019. OSTEORADIONEKROSIS PASCA
EKSTRAKSI GIGI PASIEN DENGAN RIWAYAT KANKER
NASOFARING. Odonto dental journal; 6(1): 19-22)

 Manifestasi Klinis

 Penatalaksaan
pasien dilakukan debridement dan sequesterectomy dengan general
anestesi dan hasil operasi dikirim ke laboratorium patologi anatomi dengan
hasil adenoma phleomorphic dan diberikan terapi injeksi antibiotika
ceftriaxon 2x1 gram, infus metronidazol 3x500 mg dan ketorolac 3x1 ampul,
pasien dintruksikan untuk menjaga oral hygiene dengan chlorheksidin sehari
3x serta roborontia berupa vitamin E (Tokoferol) untuk merangsang
pembentukan pembuluh darah baru
(Rachmah 2019. OSTEORADIONEKROSIS PASCA EKSTRAKSI
GIGI PASIEN DENGAN RIWAYAT KANKER NASOFARING. Odonto
dental journal; 6(1): 19-22)

1. Efek samping local :


a. Keluhan di rongga mulut Dapat berupa xerosmia, lesi mukosa, moniliasis, gangguan gigi
b. Gangguan telinga
c. Gangguan mata
d. Lesi Kulit
e. Lain-lain : kelainan otot, tulang, saraf
2. Efek samping sistemik
a. Efek samping sistemik yang umum adalah anorexia, mual, muntah, sulit tidur, sakit kepala,
demam, diare dan lemah.
b. Gangguan hemopoetik akibat radiasi berupa anemi, trombositopeni dan lekopeni. Diantara
sel darah, limfosit merupakan sel yang paling peka terhadap radiasi.
c. Radiasi yang mengenai sel efektor imunologik yang beredar di sirkulasi (sistemik)
mengakibatkan penurunan respons imun dikarenakan janingan limfoid primer maupun
sekunder sangat rentan terhadap radiasi. Imunitas seluler yang menurun akibat radiasi akan
melemahkan immune surveillance, yaltu kemampuan imunologik tubuh dalam melawan
mikroorganisme dan sel kanker. Adanya progstaglandin E2 (PGE2) dengan kadar tinggi baik
yang diproduksi oleh sel-sel kanker, maupun oleh makrofag yang tersupresi akibat terkena
radiasi juga berefek imunosupresi berupa menurunnya respons imun seluler
Efek samping radiasi bergantung pada dosis, volume, lokasi dan riwayat prosedur pengobatan
sebelumnya. Efek samping lanjut yang timbul setelah pembedahan kemudian dilanjutkan
dengan radiasi lebih berat dibandingkan dengan terapi radiasi saja.

Anda mungkin juga menyukai