Dosis
dosis dan fraksinasi radioterapi definitif antara 45-80 Gy akan
memberikan hasil kosmetik yang memuaskan, dengan efek samping
hipopigmentasi (91,8%), telangiektasis (82,2%) dan perubahan
kosmetik yang paling umum 4 tahun setelah radioterapi. Batas margin
berkisar 1-2 cm disesuaikan dengan tipe lesi, untuk margin yang lebih
besar diberikan pada lesi infiltratif.
Dosis radiasi post operasi secara umum untuk kepala dan leher
meliputi 60 Gy dalam 30 fraksi dan 50 Gy dalam 20 fraksi pada
margin negatif atau tidak terdapat extra capsule extension (ECE), dan
66 Gy dalam 33 fraksi dan 55 Gy dalam 20 fraksi dengan margin
positif atau dengan ECE. Untuk keterlibatan kelenjar getah bening
aksila atau inguinal tanpa ECE dosis 45-50 Gy dalam 25 fraksi
digunakan, sedangkan dosis 60-66 Gy dalam 30-33 fraksi digunakan
pada kasus dengan ECE.
c. Sesudah
Pemeriksaan rutin setiap 4-8 minggu selama 6 bulan pertama (selanjutnya
disesuaikan dengan kebutuhan pasien)
Hindari tindakan bedah invasif termasuk ekstraksi gigi (Jika perlu, pertimbangkan
penggunaan antibiotik sebelum dan sesudah operasi).
Penanganan mulut kering dengan minum, saliva substitutes dan permen bebas
gula
Dapat dilakukan pembuatan gigi tiruan lepasan yang baru setelah 3-6 bulan
Monitoring kemungkinan timbulnya gangguan perkembangan gigi dan
kraniofasial pada pasien anak
Memberi informasi kepada pasien terhadap tetap adanya kemungkinan komplikasi
rongga mulut walaupun perawatan radioterapi telah berakhir
Sumber : Akarslan Z. 2017. Diagnosis and Management of Head and Neck
Cancer. Croatia: InTech.
b. Kronis
Dampak kronis adalah fibrosis dan atrofi mukosa, karies, nekrosis
jaringan (nekrosis jaringan lunak dan osteonekrosis), fibrosis otot dan kulit
serta disfagia. (Harshitha C, Laliytha KB. 2017. Effect of Radiotherapy on the
Oral Cavity. Journal of Pharmaceutical Sciences and Research. 9(12): 2332-
2334. )
Epidemiologi
Predisposisi
Derajat keparahan mukositis oral juga dipengaruhi oleh regimen atau
metode terapi yang diterima. Kondisi mukositis oral pasien kasus II
dipengaruhi oleh sumber radiasi, dosis kumulatif, intensitas dosis, dan
fraksinasi dari terapi radiasi yang diterima. Pasien yang menerima terapi
radiasi kepala dan leher cenderung mengalami eritema setelah 2 minggu
terapi, dengan total dosis hampir 2000 cGy. Gejala mukositis oral mencapai
puncaknya pada minggu kelima atau keenam dari terapi radiasi. Keparahan
mukositis oral meningkat sesuai sesuai peningkatan dosis radiasi, sedangkan
reaksi mukosa terburuk setelah menerima dosis total 5000-6000 cGy. Pasien
pada kasus ini menerima dosis total 34 Gy hal ini sesuai dengan
literatur,dimana pada dosis kumulatif 30 Gy atau lebih sering terjadi lesi
ulserasi pada rongga mulut.
Insidensi dan keparahan mukositis oral berkaitan dengan berbagai
faktor risiko. Faktor pertama yaitu yang berhubungan dengan pasien, meliputi:
usia, jenis kelamin, kesehatan mulut dan kebersihan mulut, faktor genetik,
penurunan produksi saliva, status nutrisi yang buruk, fungsi ginjal dan fungsi
hepatik, penyakit diabetes, infeksi HIV, konsumsi alkohol, merokok, kelainan
patologi oral termasuk xerostomia yang dapat meningkatkan keasaman saliva
sehingga meningkatkan oral flora yang infeksius atau kelainan vaskular
sebelumnya, tipe kanker, disfungsi imun dan jumlah neutrofil, defek enzim
metabolisme tertentu, kelainan pernafasan, serta adanya gigi yang tajam.
Faktor risiko kedua yaitu yang berhubungan dengan terapi kanker itu sendiri,
meliputi: agen kemoterapi atau bioterapi, transplantasi sel stem sumsum tulang
dan darah, daerah radiasi dan fraksionasi, frekuensi dan dosis radiasi, volume
jaringan yang diradiasi, serta medikasi lain yang diterima pasien berupa
opioid, antidepresan, antihistamin, diuretik, sedatif, atau terapi oksigen.
Manifestasi Klinis
Traktama DO, Sufiawan I. 2018. Keparahan Mukositis Oral
pada Pasien Kanker Kepala Leher Akibat Kemoterapi dan atau
Radioterapi. Majalah Kedokteran Gigi Indonesia. 4(1): 53-54
Penatalaksaan
b. Xerostomia
Definisi
Akibat utama dari radiasi terhadap kelenjar saliva adalah xerostomia
yang ditandai oleh penurunan volume saliva. Saliva cenderung menjadi lebih
kental. Kelenjar saliva pada tahap awal akan mengalami inflamasi akut
kemudian mengalami atrofi dan fibrosis. Selama radioterapi, sel asinar serous
dipengaruhi lebih dulu dari sel asinar mukus. Akibatnya saliva menjadi lebih
lengket dan kental. Produksi saliva turun sebanyak 50% selama satu minggu
setelah radioterapi. Perubahan komposisi saliva juga terjadi antara lain,
penurunan sekresi IgA, kapasitas buffer dan pH saliva menjadi asam
Etiologi
Epidemiologi
Predisposisi
Manifestasi Klinis
Penatalaksaan
c. Osteoradionecrosis
Definisi
Etiologi
Epidemiologi
Prevalensi kejadian ORN pada terapi radiasi konvensional 7,4%,
IMRT (Intensity Modulated RadioTherapy) 5,1%, Chemoradiotherapy 6,8%,
brachiteraphy 5,3%.
Predisposisi
Keadaan ini akan diikuti dengan kerusakan tulang yang progresif dan
akan digantikan dengan munculnya rekurensi tumor. Resiko ORN dapat
muncul dengan berbagai faktor predisposisi diantaranya oral hygiene yang
jelek, invasi sel tumor pada tulang, penyakit sistemik serta jenis radiasi yang
digunakan. (Rachmah 2019. OSTEORADIONEKROSIS PASCA
EKSTRAKSI GIGI PASIEN DENGAN RIWAYAT KANKER
NASOFARING. Odonto dental journal; 6(1): 19-22)
Manifestasi Klinis
Penatalaksaan
pasien dilakukan debridement dan sequesterectomy dengan general
anestesi dan hasil operasi dikirim ke laboratorium patologi anatomi dengan
hasil adenoma phleomorphic dan diberikan terapi injeksi antibiotika
ceftriaxon 2x1 gram, infus metronidazol 3x500 mg dan ketorolac 3x1 ampul,
pasien dintruksikan untuk menjaga oral hygiene dengan chlorheksidin sehari
3x serta roborontia berupa vitamin E (Tokoferol) untuk merangsang
pembentukan pembuluh darah baru
(Rachmah 2019. OSTEORADIONEKROSIS PASCA EKSTRAKSI
GIGI PASIEN DENGAN RIWAYAT KANKER NASOFARING. Odonto
dental journal; 6(1): 19-22)