Anda di halaman 1dari 12

PERAN BRAKHITERAPI PADA KASUS KANKER NASOFARING RESIDIF DI UNIT

RADIOTERAPI RSUP DR KARIADI SEMARANG


THE ROLE OF BRACHYTHERAPY IN CASE OF RECIDIVE NASOPHARYNX CANCER
IN THE RADIOTHERAPY UNIT, RSUP DR KARIADI SEMARANG
Muhammad Amin¹ dr Dion Firli Bramantyo² Agung Nugroho Setiawan³
1)
Mahasiswa Prodi Teknologi Radiologi Pencitraan Program Sarjana Terapan Poltekkes Kemenkes Semarang.
2)
Dokter Spesialis Radiologi Onkologi Radiasi RSUP DR Kariadi Semarang
3)
Dosen Jurusan Teknik Radiodiagnostik dan Radioterapi Poltekkes Kemenkes Semarang

Author Mail : m.amin.ma333@gmail.com

INTISARI

Kanker nasofaring residif merupakan keganasan yang sering tumbuh kembali setelah diangkat atau
diberikan penyinaran, disebabkan adanya sel tumor yang tertinggal, kemudian tumbuh membesar di area
yang sama. Brakhiterapi berperan penting dalam pengobatan kanker nasofaring dengan mendekatkan sumber
radioaktif pada tumor primer dengan memperhatikan organ sehat sekitarnya. Semakin majunya teknologi di
bidang radioterapi, pemeriksaan brakhiterapi nasofaring sudah jarang digunakan dan lebih sering dilakukan
radioterapi teknik Intensity Modulated Radiotherapy (IMRT). Penelitian dilakukan di Unit Radioterapi RSUP
Dr. Kariadi Semarang, bertujuan mengetahui teknik brakhiterapi pada kanker nasofaring residif dan
menjelaskan Peran brakhiterapi pada kanker Nasofaring residif.
Jenis penelitian deskriptif kualitatif pendekatan studi kasus, pengambilan data dilakukan di Unit
Radioterapi RSUP Dr. Kariadi Semarang. Pengumpulan data dengan observasi langsung, wawancara
mendalam dan dokumentasi. Analisa data dengan empat tahap yaitu pengumpulan data, reduksi data,
penyajian data dan penarikan kesimpulan.
Hasil penelitian tatalaksana peran brakhiterapi pada kanker nasofaring residif di Unit Radioterapi RSUP
Dr. Kariadi Semarang, meliputi tahapan konsultasi dan pemeriksaan oleh dokter spesialis onkologi radiasi,
pemeriksaan keadaan umum, swab antigen/PCR, persiapan pasien, laboratorium lengkap, pemasangan
aplikator nasofaring, foto x-ray c-arm cranium AP lateral. TPS ditentukan titik jaringan tumor dan jaringan
normal, yaitu nasofaring mendapatkan dosis 100% dan jaringan sehat mendapatkan dosis maksimal 60% dari
perolehan dosis 30Gy, dosis 5 x 6Gy per fraksi diberikan sehari dua kali, pagi 3Gy sore 3Gy interval 6 Jam
dengan sumber Cobalt-60. Alasan menggunakan teknik brakhiterapi pada kanker nasofaring residif di Unit
Radioterapi RSUP Dr. Kariadi adalah untuk memberikan dosis homogen pada target tumor dan
meminimalkan dosis yang diterima organ at risk.

Kata kunci : Brachytherapy, Applicator, Nasopharyngeal Cancer, Residif

PENDAHULUAN Kanker nasofaring merupakan keganasan


Kanker nasofaring merupakan kanker yang terbanyak ke 4 setelah kanker payudara, kanker
muncul pada daerah nasofaring (area di atas leher rahim, dan kanker paru di Indonesia. Kasus
tenggorokan dan di belakang hidung), merupakan baru nasofaring muncul setiap tahunnya 87.000
tumor ganas yang berasal dari sel epitel yang (dengan 61.000 kasus baru terjadi pada laki-laki
melapisi nasofaring, tidak termasuk tumor dan 26.000 kasus baru pada perempuan), 51.000
kelenjar atau limfoma. Menunjukkan bukti adanya kematian akibat kanker nasofaring (36.000 pada
diferensiasi skuamosa mikroskopik ringan atau laki-laki, dan 15.000 pada perempuan). Kanker
ultrastruktur (Komite Penanggulangan Kanker nasofaring terutama ditemukan pada pria usia
Nasional Kemenkes RI, 2015). produktif (perbandingan pasien pria dan wanita
adalah 1:2) dan 60% pasien berusia antara 25

1
hingga 60 tahun. Angka kejadian tertinggi di tumor ditempat yang sama (Jessy Chrestella,
dunia terdapat di provinsi Cina Tenggara yakni 2010).
sebesar 40 - 50 kasus kanker nasofaring diantara Brakhiterapi berasal dari bahasa Yunani,
100.000 penduduk. Kanker nasofaring sangat yang berarti terapi jarak dekat. Keuntungan
jarang ditemukan di daerah Eropa dan Amerika brakhiterapi karena menempatkan sumber radiasi
Utara dengan angka kejadian sekitar 1 per sangat dekat dengan target radiasi. Penempatan
100.000 penduduk (Komite Penanggulangan sumber radiasi tersebut memungkinkan kecilnya
Kanker Nasional Kemenkes RI, 2015). volume jaringan normal yang akan diradiasi,
Banyak orang yang tidak menyadari gejala dengan dosis yang sangat tinggi pada kanker dan
kanker ini, karena gejalanya hanya seperti gejala dosis yang cukup pada batas antara kanker dan
flu biasa. Kanker nasofaring banyak dijumpai jaringan normal. Pemilihan titik preskripsi dan
pada orang-orang ras mongoloid, yaitu penduduk permukaan isodosis yang tepat sangat penting
Cina bagian selatan, Hong Kong, Thailand, untuk mencapai rasio terbaik antara kanker dan
Malaysia dan Indonesia juga di daerah India. Ras jaringan normal di sekitarnya. Pada radiasi
kulit putih jarang ditemui terkena kanker jenis ini. eksterna salah satunya Intensity Modulated
Selain itu kanker nasofaring juga merupakan jenis Radiotherapy (IMRT), volume radiasi relatif
kanker yang diturunkan secara genetik. Kanker ini besar, dengan distribusi dosis relatif homogen
menyebar paling utama di bagian telinga, hidung berkisar 95% sampai 100% dosis. Berbeda dengan
dan tenggorok (THT). Lebih jauh lagi dapat brakhiterapi, volume radiasi lebih kecil dengan
menyebar ke bagian mata, kelenjar getah bening distribusi dosis yang sangat heterogen. Dosis pada
leher, dan otak. Kelompok beresiko tinggi volume radiasi yang ditentukan, jauh lebih tinggi
sebaiknya rutin memeriksakan diri ke dokter, dari dosis yang diberikan pada referensi isodosis
terutama dokter THT. Resiko tinggi ini biasanya di perifer, sehingga sangat kecil volume jaringan
dimiliki oleh laki-laki atau adanya keluarga yang normal yang mendapatkan dosis yang sangat
menderita kanker ini (Soepardi dkk, 2012). tinggi (Ramli, 2014).
Pada tatalaksana pengobatan kanker Brakhiterapi merupakan komplemen metode
nasofaring diketahui beberapa metode antara lain teleterapi dengan cara memasang sumber radiasi
radioterapi, pembedahan dan kemoterapi. (Cobalt-60) ke dalam tumor. Disebut
Pembedahan sering terkendala oleh lokasi dan komplementari oleh karena brakhiterapi bertujuan
ukuran tumor, sehingga hanya dapat mengambil untuk memberikan dosis terapi tambahan
sebagian dari massa tumor atau tidak dapat (booster) setelah pemberian radiasi eksternal
dilakukan sama sekali. Sedangkan radioterapi sehingga akan tercapai dosis tumoricidal (R.
memiliki peran yang sangat penting dalam Susworo, 2017). Levendag dkk melakukan
tatalaksana kanker nasofaring (R. Susworo, 2017). brakhiterapi sebagai booster pada primer tumor
Radioterapi merupakan modalitas utama diberikan dengan total dosis 6 fraksi x 3 Gy,
dalam tatalaksana kanker nasofaring. Radiasi dengan interval 6 jam dalam 2 fraksi perhari,
dapat diberikan dalam bentuk radiasi eksterna (Setelah 60 Gy radiasi eksterna) pada T1 – 3, dan
pada kanker nasofaring dengan keterlibatan 4 fraksi (setelah 70 Gy radiasi eksterna) pada T4,
kelenjar getah bening leher. Brakiterapi 3 Gy x 4 (Ramli, 2014).
intrakaviter dosis tambahan (booster) untuk residu Pada tahun 2013, Junxin Wu dkk,
tumor, maupun brakiterapi interstisial untuk melaporkan pemberian brakhiterapi intrakaviter
penyakit kambuh lokal (residif) di nasofaring yang diberikan setelah radiasi eksterna
tanpa metastase tumor ke kelenjar getah bening meningkatkan rasio terapeutik pada KNF T1 dan
(Sinambela dan Supriana, 2018). Kanker T2. Dengan rata-rata kesintasan hidup 10 tahun
nasofaring residif merupakan tumor ganas yang pada radiasi eksterna dan brakhiterapi
sering tumbuh kembali setelah diangkat atau dibandingkan dengan radiasi eksternal saja
diberi pengobatan dengan penyinaran. Keadaan ini masing-masing 71,7 % vs 49% dan kontrol lokal
disebabkan adanya sel tumor yang tertinggal, 94,0% vs 85,2%. Pada tahun 2014, Eduardo
kemudian tumbuh dan membesar membentuk Rosenblat dkk, melaporkan pemberian
brakhiterapi setelah radiasi eksterna dan

2
kemoterapi tidak meningkatkan outcome lokal Nasofaring Nasofaring Nasofaring
regional KNF stadium lanjut (Ramli, 2014). Tanggal
Intensity Modulated Radiotherapy (IMRT) Pemeriksaan 05-07-2021 04-01-2021 07-06-2021
adalah metode pemberian radiasi dengan berkas
sinar yang tidak homogen yang bertujuan untuk 1. Persiapan Sebelum (Pra) Brakhiterapi
memperoleh distribusi dosis yang homogen dan a. Perencanaan Brakhiterapi
inhomogen dengan sengaja dan sesuai dengan Setelah melakukan pendaftaran, pasien
bentuk target radiasi. IMRT diharapkan akan berkonsultasi dengan dokter spesialis
diperoleh distribusi dosis yang sesuai dengan onkologi radiasi, yang selanjutnya pasien
Planning Target Volume (PTV). Kondisi ini direncanakan untuk dilakukan penyinaran
memungkinkan diperolehnya tujuan radioterapi brakhiterapi dan dokter menuliskan rencana
yaitu dosis maksimal pada jaringan tumor dan penyinaran pada catatan medis pasien yaitu
minimal pada jaringan sehat (R. Susworo, 2017). dengan dosis total 30Gy dengan 5 x 6Gy
Berdasarkan pengamatan penulis di RSUP Dr per fraksi yang diberikan sehari dua kali,
Kariadi Semarang, semakin majunya teknologi pagi 3Gy sore 3Gy dengan interval 6 Jam
khususnya dalam bidang radioterapi pemeriksaan dengan sumber Cobalt-60. Alat internal
brakhiterapi nasofaring sudah jarang digunakan radiasi yang digunakan yaitu Pesawat
dan untuk kasus nasofaring lebih sering dilakukan Brakiterapi Multisoure HDR After Louder
radioterapi dengan teknik Intensity Modulated (BEBIG).
Radiotherapy (IMRT). Berdasarkan uraian latar b. Persiapan Pasien
belakang tersebut diatas penulis tertarik untuk Persiapan pasien pada pemeriksaan
mengkaji lebih lanjut tentang penyinaran brakhiterapi kanker nasofaring residif di
brakhiterapi pada kanker nasofaring. Sehingga Unit Radioterapi RSUP Dr Kariadi
penulis tertarik mengangkat menjadi sebuah Semarang harus memerlukan persiapan
skripsi dengan judul “Peran Brakhiterapi pada khusus. Mempersiapkan keadaan umum
kasus Kanker Nasofaring Residif Di Unit pasien yang baik, pasien puasa 6 jam,
Radioterapi RSUP Dr Kariadi Semarang”. pasien diharuskan rawat inap Dokter
melakukan skrining dengan anamnesis
METODE PENELITIAN terhadap pasien, setelah sebelumnya sudah
Jenis penelitian ini adalah kualitatif deskriptif menjalani terapi eksternal, mengisi ceklist
dengan pendekatan studi kasus. Pengambilan data prosedur penyinaran brakhiterapi terkait
ini dilakukan di Unit Radioterapi RSUP Dr safety pasien, meminta persetujuan
Kariadi Semarang. Pengambilan data dilakukan penyinaran (informed consent) dan
pada bulan Januari sampai Juli 2021. menjelaskan prosedur penyinaran
Subjek dalam penelitian ini terdiri dari 3 brakhiterapi serta tujuan dilakukannya
Pasien dengan kriteria laki-laki atau perempuan, penyinaran brakhiterapi pada kasus kanker
Dokter Spesialis Onkologi Radiasi, Fisikawan nasofaring residif. Ini dilakukan sebelum
Medis, Radiografer Radioterapi dan Perawat tindakan pemasangan aplikator bersama tim
Radioterapi. dokter anestesi dan perawat
c. Persiapan Alat dan Bahan
HASIL PENELITIAN Aplikator Rotterdam, Nasogastric
Tabel 4.1 Identitas Pasien Tube (NGT) no 5 panjang 100 cm, Tampon
Identitas Tang, Spekulum Hidung, Tongue Spatel,
Pasien 1 Pasien 2 Pasien 3 Gel, xylocaine spray, Monitor workstation
Pasien
Nama Tn. M Ny. T Tn. S brakhiterapi, Pesawat Afterloading
Brakhiterapi, Transfer Tube, Reco box,
Umur 46 th 58 th 51 th Pesawat C-Arm, Monitor pesawat X-ray C-
Arm, dan Monitor konsul TPS HDR Plus
Jenis
Laki-Laki Perempuan Laki-laki Brakhiterapi
Kelamin
Diagnosa Ca Ca Ca 2. Tatalaksana brakhiterapi kanker nasofaring
3
a. Persiapan Pasien box. Mengambil gambar posisi AP dan
Pasien dipersilahkan masuk dengan Lateral
diantar oleh perawat ruangan, diskrining Pasien diatur dengan posisi telentang,
ulang identitasnya, agar sudah benar- benar kedua tangan di samping tubuh dan pasang
sama dengan identitas di lembar safety belt. Sebelumnya pasien di edukasi
pemeriksaan. Pasien dalam keadaan umum agar tidak banyak bergerak guna untuk
yang baik, pasien di rawat inap sehari mendapatkan gambaran yang ideal dan
sebelum tindakan sudah melakukan cek sesuai dengan kebutuhan. Kemudian pasang
laboratorium lengkap, elektrolit, ureum, dummy ke dalam aplikator guna
kreatinin, pemeriksaan penunjang seperti memudahkan fisikawan medis untuk
Ct-Scan atau MRI nasofaring, pasien sudah menentukan titik yang akan terkena sinar
terpasang infus dan menjalani puasa selama radiasi. Pengambilan gambar simulasi AP
6 jam tujuannya agar saat pemasangan dan lateral dengan pesawat C-Arm arah
aplikator pasien tidak muntah dan hasil beam 90° - 270° atau 0° - 180
swab antigen. Sebelum tindakan harus menggunakan reco box / orthogonal sesuai
dilakukan konsul kepada dokter anestesi, objek untuk menghasilkan gambaran yang
dokter penyakit dalam dan dokter onkologi ideal dan posisi aplikator terlihat kemudian
radiasi untuk memungkinkan pasien siap hasil simulasi di transfer ke komputer TPS.
dilakukan penyinaran brakhiterapi.
b. Pemasangan Aplikator
Berdasarkan observasi langsung dan
wawancara mendalam yang dilakukan
peneliti, pasien dipersilahkan masuk
keruang aplikasi brakhiterapi di antar oleh
perawat ruangan untuk pemasangan
aplikator. Dalam pemasangan aplikator ada
3 tim yang berperan, meliputi dokter
onkologi radiasi, dokter anestesi dan
perawat radioterapi. Pasien duduk di kursi
yang sudah disiapkan dan sebelum
pemasangan aplikator pasien di anestesi
lokal oleh dokter anestesi kemudian
dimasukkan selang Nasogastric Tube
Gambar 4.13 Proyeksi AP dan Lateral Pasien 1
(NGT) yang sebelumnya sudah diberikan
(untuk memverifikasi letak aplikator)
gel dan dimasukkan melalui hidung sampai
ke mulut lalu ditarik melalui mulut sampai
keluar mulut kemudian aplikator nasofaring
dimasukkan dengan bantuan selang NGT
yang di tarik dari hidung sampai keluar,
setelah aplikator terpasang kemudian di
kunci.
c. Tatalaksana pesawat X-Ray C-Arm
Pasien tidur supine di meja tindakan
dengan kedua tangan di samping tubuh.
Reco box dipasang dan sesuaikan ketinggian
titik pada A/B/C. Input data pasien yang
akan disinar menggunakan pesawat C-Arm
tersebut. Memposisikan alat C-Arm ke
tubuh pasien yang sudah terpasangan reco
Gambar 4.14 Proyeksi AP dan Lateral Pasien 2
(untuk memverifikasi letak aplikator)
4
brakhiterapi. Pada hasil foto simulasi AP
dan lateral di komputer TPS dapat
ditentukan titik-titik distribusi dosis pada
aplikator nasofaring sesuai perhitungan
TPS untuk mendapatkan dosis penyinaran.
Dosis yang diberikan adalah 5 x 6Gy per
fraksi. Organ sehat merupakan bagian
yang terpenting dalam penyinaran
brakhiterapi, organ yang dilindungi agar
tidak mendapat dosis yang melebihi batas
ketentuan yaitu 60% dari dosis total.
Perencanaan TPS dihitung berdasarkan
hasil dari kedua proyeksi AP dan lateral,
Gambar 4.15 Proyeksi AP dan Lateral Pasien 3 kemudian dilakukan rekonstruksi
(untuk memverifikasi letak aplikator) menggunakan TPS. Perhitungan di TPS
dilakukan dari scan kedua film tersebut
Dari hasil gambaran simulasi dengan cara perhitungan jarak
proyeksi AP dan lateral, kemudian data berdasarkan titik-titik referensi,
dikirim ke TPS untuk diolah agar selanjutnya ditentukan titik jaringan tumor
mendapatkan perhitungan dosis yang dan jaringan normal yang telah digambar
sesuai dengan perencanaan dokter sebelumnya pada hasil scan film,
onkologi radiasi, seperti prinsip kemudian dilakukan simulasi dosis. Dosis
radioterapi adalah memberikan dosis dihitung pada beberapa titik (jaringan
maksimal ke organ tumor dan tumor dan sehat). Titik jaringan tumor
meminimalkan organ sehat yang yaitu nasofaring mendapatkan dosis 100%
disekitarnya. dan titik jaringan normal yaitu (pituitary
d. Tatalaksana Treatment Planning System gland, optic chiasm, retina, basis cranii,
(TPS) nose, cord dan palatum) mendapatkan
Berdasarkan hasil observasi dan dosis sebisa mungkin di bawah 60%,
wawancara peneliti, data yang diperoleh pasien 1 (27,53%), pasien 2 (32,5%), dan
dari hasil foto AP dan lateral yang sudah pasien 3 (35,1%) dari perolehan total
dikirim dari pesawat C-Arm, kemudian dosis 30 Gy, dosis yang diberikan adalah
diolah oleh fisikawan medis di komputer 5 x 6 Gy per fraksi.
TPS. TPS merupakan bagian terpenting
dari perencanaan brakhterapi yang
bertujuan untuk mengukur dosis pada
volume target yaitu 100%, menentukan
waktu lamanya treatment brakhiterapi dan
penyebaran dosis pada organ at risk yaitu
60%. Pada kasus kanker nasofaring residif
yang harus dilalui sebelum penyinaran
yaitu berfungsi merencanakan besaran
dosis yang diterima organ tumor dan Gambar 4.16 Perhitungan Distribusi Dosis
meminimalkan organ sehat disekitarnya. Aplikator Rotterdam atau nasofaring Pasien 1
Toleransi pituitary gland, optic chiasm,
retina, basis cranii, nose, cord dan
palatum mendapat dosis maksimal 60%
dari dosis total yaitu 30Gy.
Dosis yang diterima pasien akan
disesuaikan dengan tujuan dari tindakan
5
sudah ditransfer ke komputer
konsul brakhiterapi.

Gambar 4.17 Perhitungan Distribusi Dosis


Aplikator Rotterdam atau nasofaring Pasien 2 Gambar 4.19 Tindakan Treatment di ruang
brakhiterapi Pasien 1

Gambar 4.18 Perhitungan Distribusi Dosis Gambar 4.20 Tindakan Treatment di ruang
Aplikator Rotterdam atau nasofaring Pasien 3 brakhiterapi Pasien 2
1) Tatalaksana Penyinaran Brakhiterapi
BEBIG Cobalt-60
Berdasarkan hasil observasi dan
wawancara yang peneliti lakukan,
setelah hasil penghitungan waktu dan
distribusi dosis penyinaran di TPS
selesai, maka data yang sudah
dihitung dari TPS dikirim ke
komputer brakhiterapi agar dapat
langsung dilakukan penyinaran
brakhiterapi. Gambar 4.21 Tindakan Treatment di ruang
a) Persiapan Pesawat Brakhiterapi brakhiterapi Pasien 3
BEBIG Cobalt-60 Gambar 4.19 sampai 4.21
Pesawat yang digunakan untuk memperlihatkan posisi pasien
radiasi internal brakhiterapi saat penyinaran berlangsung.
adalah pesawat Multisource Pasien dekat dengan pesawat
HDR Afterloader BEBIG brakhiterapi Multisource HDR
Cobalt-60. Prosedur Penyinaran. Afterloader BEBIG Cobalt-60
Tahapan tatalaksana penyinaran agar saat pemasangan tube lebih
radiasi internal brakhiterapi pada efisien dan tidak mengganggu,
kanker nasofaring residif di Unit dengan pasien diposisikan duduk
Radioterapi RSUP Dr. Kariadi di kursi tindakan dan sudah
Semarang yang dilakukan adalah terpasang aplikator nasofaring,
sudah adanya perhitungan kemudian dipasang transfer tube
penyinaran yang dikerjakan oleh dari channel yang ada di
fisikawan medis, kemudian pesawat brakhiterapi
Multisource HDR Afterloader
6
BEBIG Cobalt-60 dengan Setelah pasien melakukan konsultasi dan
sumber Cobalt-60. Setelah diperiksa oleh dokter onkologi radiasi yang
sudah, pastikan dilakukan sebelumnya sudah melakukan terapi radiasi
pemasangan transfer tube eksternal dengan membawa pemeriksaan
dengan aman, berikan edukasi penunjang, maka dokter menginstruksikan
terlebih dahulu pada pasien agar pasien untuk melakukan penjadwalan
tidak melakukan banyak penyinaran brakhiterapi, salah satunya pasien
pergerakan. harus di rawat inap terlebih dahulu sehari
Petugas keluar dari ruang sebelum dilakukannya penyinaran
penyinaran dan menutup pintu brakhiterapi.
ruang pemeriksaan. Petugas a. Persiapan pasien
segera menginput data yang Persiapan pasien pada penyinaran
sudah ditransfer dari komputer brakhiterapi pada kanker nasofaring
TPS ke komputer brakhiterapi residif di Unit Radioterapi RSUP Dr
dengan software administration Kariadi Semarang harus memerlukan
yang ada di komputer. persiapan khusus. Persiapan yang
Dosis yang diberikan pada dibutuhkan adalah untuk mempersiapkan
pasien brakhiterapi pada kasus keadaan umum serta persiapan untuk
kanker nasofaring residif 30Gy, tindakannya yaitu dengan langkah-
dengan 5 x 6Gy per fraksi langkah yang akan dilakukan dengan
diberikan sehari dua kali, pagi pemeriksaan laboratorium yaitu darah
3Gy sore 3Gy interval 6 Jam, rutin, gula darah, elektrolit, ureum,
dengan batas toleransi pada kreatinin, CT Scan atau MRI. Sehari
organ sehat sebesar 60% seperti sebelum tindakan penyinaran pasien
perencanaan yang diberikan harus rawat inap dengan kondisi puasa
dokter onkologi radiasi. selama 6 jam sebelum tindakan dan
3. Alasan harus menggunakan brakhiterapi dalam kondisi saat ini pasien wajib
pada kanker nasofaring residif melakukan pemeriksaan swab antigen
Di Unit Radioterapi RSUP Dr sebelum penyinaran brakhiterapi.
Kariadi Semarang, penggunaan Menurut Susworo (2017),
brakhiterapi pada kanker nasofaring pemeriksaan penunjang sebelum
residif yaitu menempatkan sumber radiasi dilakukan penyinaran brakhiterapi
sangat dekat dengan target radiasi melalui pertama dilakukan pemeriksaan umum
aplikator nasofaring (Rotterdam). termasuk kelenjar getah bening terutama
Penempatan sumber radiasi tersebut supraklavikula (kiri), biopsi lesi tumor.
memungkinkan kecilnya volume jaringan Pemeriksaan laboratorium yaitu
normal yang akan di radiasi, dengan dosis hematologi rutin, kimia darah, fungsi
yang sangat tinggi pada kanker dan dosis hati dan ginjal. Pemeriksaan radiologi
yang cukup pada batas antara kanker dan foto thorax, CT Scan, MRI dilakukan
jaringan sehat. Dosis yang diberikan pada pada pasien kanker nasofaring.
pasien brakhiterapi 5 x 6Gy per fraksi, Menurut penulis, perencanaan
diberikan sehari 2 kali yaitu 3Gy pagi dan penyinaran brakhiterapi pada kanker
3Gy sore dengan jeda waktu 6 jam dengan nasofaring residif sudah dilakukan
titik target mendapatkan 100% dosis total persiapan khusus pasien dengan baik,
menggunakan sumber Cobalt-60. seperti persiapan pasien menurut teori,
maka perencanaan brakhiterapi sudah
Pembahasan sangat baik, karena sudah sesuai SOP
1. Tatalaksana brakhiterapi pada kasus kanker yang berlaku di RSUP Dr Kariadi
nasofaring residif di Unit Radioterapi RSUP Semarang.
Dr Kariadi Semarang b. Pemasangan Aplikator

7
Pemasangan aplikator penyinaran safety belt. Sebelumnya pasien di
brakhiterapi pada kasus kanker edukasi agar tidak banyak bergerak guna
nasofaring di Unit Radioterapi RSUP Dr untuk mendapatkan gambaran yang ideal
Kariadi Semarang, pasien dipersilahkan dan sesuai dengan kebutuhan. Kemudian
masuk keruang aplikasi brakhiterapi pasang dummy ke dalam aplikator guna
diantar oleh perawat ruangan untuk memudahkan fisikawan medis untuk
pemasangan aplikator. Dalam menentukan titik yang akan terkena sinar
pemasangan aplikator ada 3 tim yang radiasi. Pengambilan gambar simulasi
berperan, meliputi dokter onkologi AP dan lateral dengan pesawat C-Arm
radiasi, dokter anestesi dan 2 perawat arah beam 90°-270° atau 0°-180
radioterapi. Sebelumnya pasien menggunakan reco box / orthogonal
diedukasi tujuan dilakukannya tindakan sesuai objek untuk menghasilkan
dan memberikan inform consent agar gambaran yang ideal.
pasien lebih tenang selama tindakan Menurut Susworo (2017),
dilakukan. Pasien duduk di kursi yang pengambilan foto dibutuhkan pesawat C-
sudah disiapkan dan sebelum Arm serta orthogonal yang berfungsi
pemasangan aplikator pasien di anestesi untuk geometri menentukan posisi ideal
lokal oleh dokter anestesi. Aplikator agar presisi dalam penentuan hasil foto
yang dipakai adalah aplikator AP dan lateral. Dalam pengambilan foto
Rotterdam. AP dan lateral perlu adanya orthogonal
Menurut Ramli (2014), pemasangan yang membantu ketepatan hasil, dengan
aplikator dilakukan dalam anestesi lokal memperhatikan akurasi jarak, faktor
diberikan pada mukosa hidung dan pembesaran, dan mengetahui jarak
nasofaring. Pipa panduan atau yang aplikator ke organ at risk.
biasa disebut nasogastric tube (NGT) Penulis sependapat dengan simulasi
ber diameter luar 2 mm, dimasukkan yang dilakukan yaitu untuk mendapatkan
melalui hidung dan keluar melalui gambaran foto AP dan lateral yang
mulut. Aplikator nasofaring dimasukkan sesuai agar terlihat letak aplikator
melalui mulut dengan bantuan selang dengan baik dan presisi. Tindakan yang
NGT dengan menarik selang pada dilakukan sudah sesuai dengan yang ada
bagian hidung, aplikator lalu di teori. Akan tetapi lebih baik jika
ditempatkan pada posisi nasofaring dan teknik yang digunakan dalam proses
hidung. Untuk memudahkan penyinaran brakhiterapi di Unit
memasukkan aplikator ke dalam Radioterapi RSUP Dr Kariadi
nasofaring, dapat dilakukan dengan cara menggunakan CT Simulator sehingga
mendorong selang NGT pada bagian mampu menampilkan volume tumor dan
mulut. organ sehat yang lebih maksimal untuk
Menurut penulis, pemasangan pemberian fraksinasi dosis.
aplikator di Unit Radioterapi RSUP Dr d. Treatment Planning System (TPS)
Kariadi Semarang sudah sesuai dengan Proses TPS yang dilakukan di Unit
SOP yang berlaku dan dalam pemberian Radioterapi RSUP Dr Kariadi Semarang
anestesi juga hanya menggunakan bertujuan untuk menghitung dosis,
anestesi lokal yaitu dengan anestesi menentukan waktu penyinaran
spray, dan sudah sesuai dengan teori (Treatment Time), menentukan diameter
Ramli (2014). dosis paparan ke tumor dan
c. Simulasi X-Ray C-Arm memperhitungkan cakupan dosis
Simulasi C-Arm di Unit Radioterapi paparan ke organ at risk yaitu 60%.
RSUP Dr Kariadi Semarang Pasien Data yang diperoleh pada TPS
diatur dengan posisi terlentang, kedua berasal dari hasil foto X-Ray C-Arm
tangan di samping tubuh dan pasang proyeksi AP dan lateral. Selanjutnya

8
data yang dikirimkan dari monitor C- tersebut. Setelah itu petugas RTT
Arm yang sudah dilengkapi dengan menginput data yang sudah di transfer
nama pasien dan proyeksi lapangan. dari komputer TPS ke brakhiterapi
Data yang diolah dalam program dengan folder nama pasien tersebut dan
komputer TPS bertujuan untuk dosis yang diberikan pada pasien
mendapatkan dosis dan waktu brakhiterapi (dosis total 30Gy diberikan
penyinaran (treatment time), yang selama 5 hari dengan dosis 6Gy per hari)
selanjutnya dikirimkan ke komputer pada kasus kanker nasofaring penyinaran
brakhiterapi untuk segera dilakukan dilakukan sehari 2 kali yaitu 3Gy pagi
treatment brakhiterapi. dan 3Gy sore dengan jeda waktu 6 jam.
Menurut Rasjidi (2011), target Data yang sudah diinput di komputer
volume radiasi sangat penting ditetapkan brakhiterapi segera dimasukan ke
pada perencanaan radiasi (TPS), untuk software treatment brakhiterapi.
menentukan penyebaran radiasi yang Menurut Sinambela dan Supriana
mencakup seluruh sasaran atau target (2018), indikasi brakhiterapi intrakaviter
radiasi. Data yang dimasukkan di pada kanker nasofaring adalah sebagai
Treatment Planning System (TPS) antara dosis tambahan (booster) untuk residu
lain radiasi yang digunakan, jumlah tumor, maupun untuk penyakit kambuh
fraksinasi serta dosis yang diberikan. lokal atau residif di nasofaring tanpa
Komputer Treatment Planning System metastasis tumor ke kelenjar getah
(TPS) secara otomatis akan menghitung bening. Metode Remot After Louder
dan menghasilkan gambar distribusi System (RALS) membuat brakhiterapi
dosis serta menghitung besarnya dosis lebih aman dan praktis. Dosis radiasi
radiasi terhadap volume organ DVH 3000 cGy dengan penyinaran 0,5–1 cm
(Dose Volume Histogram) yang berguna dari sumbu aplikator (di bawah mukosa
untuk mengevaluasi besarnya dosis pada rongga nasofaring).
volume target atau organ at risk di Berdasarkan hasil observasi dan
sekitarnya. wawancara yang penulis lakukan di Unit
Penulis sependapat dengan proses Radioterapi RSUP Dr Kariadi Semarang,
Treatment Planning System di Unit setelah hasil perhitungan waktu dan
Radioterapi RSUP Dr Kariadi Semarang. distribusi dosis penyinaran dari TPS
Sesuai dengan teori, TPS bermanfaat selesai, maka data yang sudah dihitung
untuk menghitung dosis volume, dari TPS dikirim ke komputer
menentukan distribusi dosis dan brakhiterapi agar bisa langsung
memfokuskan dosis volume ke target dilakukan penyinaran brakhiterapi.
tumor dengan memperhitungkan dosis Metode penentuan target
paparan pada organ at risk. 2. Alasan harus menggunakan brakhiterapi pada
e. Treatment Brakhiterapi kanker nasofaring residif
Tindakan brakhiterapi dengan Penggunaan brakhiterapi pada kanker
pesawat BEBIG Cobalt-60 di Unit nasofaring residif di Unit Radioterapi RSUP
Radioterapi RSUP Dr Kariadi Semarang Dr Kariadi Semarang, yaitu menempatkan
yaitu penyinaran radiasi internal yang sumber radiasi sangat dekat dengan target
dilakukan dengan posisi pasien duduk di radiasi melalui aplikator nasofaring
kursi tindakan yang sudah terpasang (Rotterdam). Penempatan sumber radiasi
aplikator dan sudah tersambung ke tersebut memungkinkan kecilnya volume
transfer tube menuju channel pesawat jaringan normal yang akan di radiasi, dengan
brakhiterapi dengan sumber Cobalt-60. dosis yang sangat tinggi pada kanker dan
Petugas RTT (Radiografer Radioterapi) dosis yang cukup pada batas antara kanker
segera keluar dari ruang treatment dan dan jaringan sehat. Dosis yang diberikan pada
menutup rapat pintu ruang tindakan pasien brakhiterapi 5 x 6Gy per fraksi,

9
diberikan sehari 2 kali yaitu 3Gy pagi dan C-Arm dengan proyeksi AP dan lateral,
3Gy sore dengan jeda waktu 6 jam dengan perencanaan TPS dihitung berdasarkan hasil
titik target mendapatkan 100% dosis total dari kedua film AP dan lateral, kemudian
menggunakan sumber Cobalt-60. dilakukan rekonstruksi menggunakan TPS.
Menurut susworo (2017), pada TPS ditentukan titik jaringan tumor dan
brakhiterapi sumber dipasang pada tumor jaringan normal, yaitu nasofaring
serta jaringan lunak sekitar nasofaring, mendapatkan dosis 100% dan jaringan sehat
sehingga diperoleh radiasi maksimal pada mendapatkan dosis maksimal 60%, pasien 1
tumor tetapi minimal pada organ sehat. Peran (27,53%), pasien 2 (32,5%), dan pasien 3
brakhiterapi pada kanker nasofaring adalah (35,1%) dari perolehan dosis 30Gy, dosis 5 x
untuk lebih mematikan sel-sel tumor pada 6Gy per fraksi diberikan sehari dua kali, pagi
nasofaring tetapi tidak memberikan dosis 3Gy sore 3Gy interval 6 Jam. Selanjutnya
terlalu tinggi pada mukosa mulut atau dilakukan penyinaran brakhiterapi dengan
kelenjar parotis. Namun metode ini hanya sumber Cobalt-60.
dapat dikerjakan pada tumor-tumor kecil (T1 2. Alasan harus menggunakan brakhiterapi pada
atau T2) yang memberikan respons terhadap kanker nasofaring residif di Unit Radioterapi
radiasi eksterna yang diberikan sebelumnya. RSUP Dr Kariadi Semarang, yaitu
Brakhiterapi ini juga dilakukan pada tumor penempatan sumber radiasi sangat dekat
residu atau tumor kambuh lokal. Biasanya dengan target radiasi melalui aplikator
radiasi eksterna tidak dapat diberikan lagi nasofaring (Rotterdam). Penempatan sumber
apabila dosis penuh telah diberikan dan radiasi tersebut memungkinkan kecilnya
jangka waktu pemberian ini belum terlalu volume jaringan normal yang akan di radiasi,
lama. Dosis interna antara 700-3000 cGy dengan dosis yang sangat tinggi pada kanker
dengan patokan 0,5-1 cm dibawah mukosa dan dosis yang cukup pada batas antara
rongga nasofaring. kanker dan jaringan sehat.
Menurut penulis, penggunaan
brakhiterapi pada kanker nasofaring residif di DAFTAR PUSTAKA
Unit Radioterapi RSUP Dr Kariadi
Semarang, sudah sesuai SOP yang berlaku Adham, M. et al. (2012) ‘Nasopharyngeal
dengan menggunakan aplikator rotterdam carcinoma in indonesia: Epidemiology,
sudah bisa mengatasi pada kanker nasofaring incidence, signs, and symptoms at
dengan baik serta memberikan dosis presentation’, Chinese Journal of Cancer,
maksimal pada sel kanker yaitu 100% dan 31(4), pp. 185–196. doi:
meminimalkan organ sehat disekitarnya. 10.5732/cjc.011.10328.
Bacorro, W. R. et al. (2018) ‘A novel applicator
Kesimpulan design for intracavitary brachytherapy of
1. Tatalaksana brakiterapi pada kanker the nasopharynx: Simulated reconstruction,
nasofaring residif di Unit Radioterapi RSUP image-guided adaptive brachytherapy
Dr Kariadi Semarang dilakukan meliputi planning, and dosimetry’, Brachytherapy,
tahapan dari konsultasi dan pemeriksaan oleh 17(4), pp. 709–717. doi:
dokter onkologi radiasi, pemeriksaan keadaan 10.1016/j.brachy.2018.03.004.
umum pasien, laboratorium lengkap, darah Ballenger, J.J, 2010. Penyakit telinga, hidung,
rutin, gula darah sewaktu, fungsi ginjal, tenggorok, kepala, dan leher jilidI. Dialih
elektrolit, ureum, kreatinin, CT-Scan atau bahasakan Oleh Staf Ahli Bagian THT
MRI dan swab antigen atau PCR. Persiapan RSCM-FKUI. Binarupa Aksara.
pasien puasa 6 jam, dilakukan pemasangan Tangerang.
aplikator nasofaring (rotterdam) yang Chao, H. L. et al. (2017) ‘Dose escalation via
dipasang oleh dokter spesialis onkologi brachytherapy boost for nasopharyngeal
radiasi, dokter anestesi dan perawat carcinoma in the era of intensity-modulated
radioterapi. Pengambilan foto simulasi X-Ray radiation therapy and combined

10
chemotherapy’, Journal of Radiation Kepala dan Leher. Vol VI (6). Jakarta:
Research, 58(5), pp. 654–660. doi: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
10.1093/jrr/rrx034. Susworo, R, 2017, Radioterapi, Dasar-Dasar
Chan, A.T.C danFelip, E., 2009. Radioterapi Tata Laksana Radioterapi
Nasopharyngeal cancer: ESMO Clinical Penyakit Kanker, Penerbit Universitas
Recommendations for Diagnosis, Indonesia, Jakarta.
treatment and follow up, J Oncol, 20 Sinambela, A. and Supriana, N. (2018) ‘Revolusi
(Supplement 4): 123-125. Teknik Radioterapi pada Karsinoma
Choi, CP, Kim, YI, Le, JW, & Lee, MH Nasofaring’, Radioterapi & Onkologi
2007, The Effect of Narrowband Indonesia, 9(1), pp. 20–28. doi:
Ultraviolet B on the Expression of 10.32532/jori.v9i1.71.
Matrix Metalloproteinase-1,Transforming Tagliaferri, L. et al. (2015) ‘Endoscopy-guided
Growth Factor-Beta l and Type I brachytherapy for sinonasal and
Collagen in Human Skin Fibroblast: nasopharyngeal recurrences’,
ClinExpDermatol , vol. 32, no.2, Brachytherapy, 14(3), pp. 419–425. doi:
pp.180-5. 10.1016/j.brachy.2014.11.012.
Dr. Jessy Chrestella. (2010). Neoplasma. Toulba, A. et al. (2017) ‘Brachytherapy in
Departemen Patologi Anatomi. reirradiation of locally recurrent
http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/ nasopharyngeal cancer : case report’, 3(6),
123456789/2053/10E00541.pdf.txt? pp. 302–304. doi:
sequence=5 10.15406/ijrrt.2017.03.00080.
Komite Penanggulangan Kanker Nasional
Kemenkes RI. (2015). Panduan
Penatalaksanaan Kanker Nasofaring.
Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia. Komite Penanggulangan Kanker
Nasional., 1–56.
Levendag, P. C. et al. (2013) ‘Local control in
advanced cancer of the nasopharynx: Is a
boost dose by endocavitary brachytherapy
of prognostic significance?’,
Brachytherapy, 12(1), pp. 84–89. doi:
10.1016/j.brachy.2012.06.001.
Ramli, I. H. dan I. (2014) ‘Brakhiterapi
Nasofaring’, Radioterapi & Onkologi
Indonesia, 5(2), pp. 77–84.
Rahman, Sukri.2014. Update Diagnosis dan
Tatalaksana Kasus di Bidang THT-KL.
Padang.
Rasjidi, Imam. Supriana, Nana dan
Cahyono, Kristianus. (2011).Radioterapi
Pada Keganasan. Cetakan 1. Jakarta.
Rosenblatt, E. et al. (2014) ‘Brachytherapy boost
in loco-regionally advanced nasopharyngeal
carcinoma : a prospective randomized trial
of the International Atomic Energy
Agency’.
Soepardi. E. A, N. Iskandar, J. Bashiruddin, R.D.
Restuti, 2012. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok

11
12

Anda mungkin juga menyukai