Anda di halaman 1dari 15

LEMBAR TUGAS MANDIRI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA


Jalan Jenderal Sudirman Km 3 Cilegon
Oleh : HANI HALIMATUS S (8881190006)

Nama : Hani Halimatus Sadiah


NIM : 8881190006
KEL : A
Modul : Hemato-Onkologi

TATALAKSANA FARMAKOLOGI DAN

EDUKASI PENCEGAHAN KARSINOMA NASOFARING

PEMICU

Seorang laki-laki usia 42 tahun, datang ke poliklinik dengan keluhan benjolan di leher kanan
sejak 3 bulan yang lalu. Benjolan awalnya sebesar kacang tanah lalu bertambah besar, tidak
nyeri dan tidak merah. Gangguan menelan, penglihatan tidak ada, namun telinga kanan
kadang-kadang terasa tertutup dan pernah mimisan. Pasien riwayat merokok 1 bungkus
per hari sejak usia 20 tahun.

Pada pemeriksaan fisik, pasien compos mentis. Tekanan darah 110/70 mmHg, frekuensi nadi
87x/menit, kuat, isi cukup, frekuensi nafas 18x/menit, regular, suhu 37 C. Konjungtiva tidak
pucat, sklera tidak ikterik. Limfadenopati colli dextra, soliter, ukuran 4x3x2 cm, keras,
terfiksir, tidak ada tanda radang. Tidak ditemukan limfadneopati di tempat lain.
Pemeriksaan jantung dan paru dalam batas normal. Tidak ditemukan pembesaran hati dan limpa.
Ekstremitas akral hangat, tidak ada edema.

Hasil Pemeriksaan Fisik


Didapatkan adanya limfadenopati colli dextra, soliter, ukuran 4x3x2 cm, keras, terfiksir, tidak
ada tanda radang. Tidak ada limfadenopati di area lain. Berdasarkan klasifikasi ukuran

Hasil Pemeriksaan Laboratorium


Ditemukan hasil yang abnormal eusinofil dan neutrofil batang rendah, dan LED meningkat.
A. Pendahuluan
Kanker nasofaring merupakan tumor ganas yang berasal dari sel epitel nasofaring. Kanker
nasofaring stadium awal (stadium I dan II) bersifat radioresponsif sehingga radioterapi sering
dipakai untuk terapi kanker nasofaring karena menunjukkan keefektifan yang tinggi terhadap
kematian sel kanker nasofaring.1 Berdasarkan data GLOBOCAN (Global Burden Cancer) tahun
2014 yaitu sebanyak 87.000 kasus baru. Karsinoma Nasofaring muncul setiap tahunnya (dengan
61.000 kasus baru terjadi pada laki-laki dan 26.000 kasus baru pada perempuan) dan terdapat
51.000 kematian akibat KNF (36.000 pada laki-laki, dan 15.000 pada perempuan).2

Etiologi NPC hingga saat ini masih belum dapat ditentukan dan dianggap sebagai penyakit
herediter poligenik (diwariskan atau didapat) yang melibatkan interaksi antara banyak gen
dan/atau antara gen dan lingkungan, yaitu infeksi virus Epstein-Barr (EBV) dan karsinogen
kimia. Variasi genomik juga telah terbukti berkontribusi pada perkembangan NPC: beberapa
mutasi kehilangan fungsi pada regulator negatif faktor nuklir kappa beta (NF-kB), lesi genetik
berulang (termasuk hilangnya inhibitor kinase yang bergantung pada cyclin 2A/ Lokus 2B
(CDKN2A/CDKN2B), amplifikasi cyclin D1 (CCND1), mutasi protein tumor 53 (TP53), dan
mutasi pada jalur pensinyalan phosphatidylinositol 3-kinase (PI3K)/MAPK (mitogen-activated
protein kinase), modifikasi kromatin, dan perbaikan asam deoksiribonukleat (DNA).3

B. Pembahasan
TERAPI FARMAKO
Terapi kanker nasofaring dapat meliputi radiasi, kemoterapi, kombinasi antar keduanya, dan
didukung dengan terapi simptomatik sesuai dengan gejala. Perlu adanya koordinasi antara bagian
THT, onkologi medik dan onkologi radiasi yang merupakan hal penting yang harus dilakukan
sejak awal. Sebelum dilakukan terapi radiasi dan kemoterapi dilakukan persiapan pemeriksaan
gigi, mata, neurologi, audiometri, dan timpanometri. Penderita yang memiliki status performa
kurang baik atau penderita dengan status performanya yang menurun selama pengobatan,
disarankan untuk dilakukan rawat inap agar dapat dilakukan pemantauan yang ketat untuk
mencegah timbulnya efek samping yang berat.4
Terdapat berbagai cara pemberian dan jenis obat kemoterapi yang tersedia, agar hasil terapi
optimal. Kemoterapi neoadjuvan merupakan pernberian terapi sebelum, konkuren diberikan
bersamaan, sedangkan adjuvan diberikan setelah terapi standart bedah atau radiasi. Kemoterapi
lini pertama adalah platinum base yang terdiri dari cisplatin atau karboplatin. Jenis terapi baru
yang sedang berkembang adalah terapi target. Salah satu yang sudah mulai digunakan adalah
targeting epidermal growth factor receptor (EGFR), terutama untuk tumor persisten atau rekuren.
Pemberian terapi ini disesuaikan dengan stadium kanker yang dimiliki oleh pasien, seperti pada
tabel 1.5
Tabel 1. Penatalaksanaan Sesuai Stadium6
Stadium Penatalaksanaan
Stadium I Radioterapi
Stadium II & III Kemoradiasi
Stadium IV dengan N<6 cm Kemoradiasi
Stadium IV dengan N>6 cm Kemoterapi dosis penuh dilanjutkan dengan
kemoradiasi

Secara garis besar berdasarkan prioritasnya, terdapat dua macam cara pemberian kemoterapi
yaitu, sebagai terapi utama atau mandiri dan adjuvan. Sebagai terapi utama artinya tidak ada
terapi lain yang ditambahkan. Sedangkan terapi adjuvan berarti pemberiannya menyertai terapi
utama (bedah atau radiasi). Menurut cara pemberian bisa dengan cara neoadjuvan (induksi),
konkuren (konkomiurn) dan adjuvan. Cara pemberian kemoterapi tergantung pada tujuannya,
dengan mempertimbangkan risiko dan keuntungannya.5

Karsinoma nasofaring bersifat radioresponsif sehingga radioterapi merupakan terapi


terpenting. Radioterapi menggunakan sinar peng-ion untuk mematikan sel-sel tumor dan
memelihara jaringan sehat di sekitar tumor agar tidak menderita kerusakan terlalu berat.
Dosis radiasi perfraksi yang diberikan adalah 200 Gy DT (dosis tumor) diberikan 5 kali
seminggu untuk tumor primer maupun kelenjar. Terapi radiasi biasanya dilakukan selama 3
minggu dengan menggunakan cisplatinum 100 mg/m². Hasil pengobatan yang dinyatakan
dalam angka respons terhadap penyinaran sangat tergantung pada stadium tumor. Makin
lanjut stadium tumor, makin berkurang responsnya. Angka ketahanan hidup penderita karsinoma
nasofaring tergantung stadium penyakit.6
1. Kemoterapi
Kemoterapi adalah terapi dengan menggunakan obat yang dapat menghentikan siklus hidup sel,
sehingga sel kanker tidak dapat membentuk sel yang baru. Kemoterapi juga dapat menyebabkan
kerusakan pada sel itu sendiri.7

1.1 Cara pemberian


a) Kemoterapi neoadjuvan
Pemberian kemoterapi yang dilakukan sebelum terapi definitif baik pembedahan atau radiasi.
Modalitas kemoterapi ini bertujuan untuk preservasi organ pada inoperable SCCHN
(unrasactable).5

Keuntungan dari kemoterapi metode ini adalah; rnenurunkan risiko metastasis dcengan cara
eradikasi mikromestastasis dan mikroskopik lokoregional. Preservasi organ lebih baik,
pembedahan lebih mudah, tidak radikal, mengurangi masa tumor, memperkuat efek radiasi,
vaskulaisasi masih baik dan menjadi indikator keberhasilanpenyakit lain. Kerugiannya
adalah menurunkan kondisi pasien, ukuran tumor membesar, waktu, toksisitas dan biaya
yang meningkat, serta menunda jadwal terapi definitif.5

b) Konkuren (Konkomitan)
Kemoterapi konkuran adalah kemoterapi yang diberikan bersamaan dengan radiasi
(kemoradiasi). Kelebihan cara ini adalah meningkatkan survival, kontrol lokal meningkat,
preservasi organ meningkat dan waktu terapi menjadi lebih pendek. Kekurangannya adalah
terjadinya peningaktan toksisitas dan efek samping.5

c) Adjuvan (Post operatif)


Kemoterapi adjuvan adalah pemberian kernoterapi setelah terapi definitif pembedahan atau
radiasi. Terapi tambahan ini diperlukan untuk mencegah terjadinya rekurensi. Keuntungan
dari kemoterapi ini antara lain; meningkatkan kontrol lokoregional, memberantas residu
tumor, eradikasi metastasis jauh. Tetapi, terdapat pula kerugian berupa vascular bed yang
buruk, toksisitas meningkat dan waktu terapi lebih lama.5
d) Sekuensial
Terapi sekuensial adalah cara pemberian kombinasi kemoterapi neoajuvan dilanjutkan
dengan konkruen kemoradiasi. Terdapat kelebihan berdasarkan penggunannya, seperti pada
metastasis jauh tujuannya untuk eradikasi mikromestastasis, sedangkan pada locoregional
berfungsi untuk mengurangi massa tumor sebelum mulai radiasi. Namun, cara ini tidak
efektif karena terdapat peningkatan toksisitas lokal dan sistemik yang signifikan.5

Kombinasi kemoradiasi sebagai radiosensitizer terutama diberikan pada pasien dengan T2-T4
dan N1-N3. Kemoterapi sebagai radiosensitizer diberikan preparat platinum based 30-40 mg/m2
sebanyak 6 kali, setiap minggu sekali 2,5 sampai 3 jam sebelum dilakukan radiasi. Pada kasus
N3 > 6 cm, diberikan kemoterapi dosis penuh neoadjuvant atau adjuvan. Terapi sistemik pada
kanker nasofaring adalah dengan kemoradiasi dilanjutkan dengan kemoterapi adjuvant, yaitu
cisplatin + RT diikuti dengan cisplatin/5-FU atau carboplatin/5-FU. Dosis preparat platinum
based 30-40 mg/m2 sebanyak 6 kali, setiap seminggu sekali. Pada kasus N3 > 6 cm, diberikan
kemoterapi dosis penuh neo adjuvant atau adjuvant.4

Respon tumor terhadap kemoterapi kombinasi (multiple agents) lebih tinggi daripada kemoterapi
tunggal (single agent). Meskipun respon lebih meningkat, efek samping akibat pemberian multi
modalitas terapi kanker ini juga semakin meningkat. Indikasi pemberian kemoterapi pada
karsinoma nasofaring adalah stadium lanjut lokoregional, disertai atau dicurigai adanya
metastasis jauh, tumor persisten dan rekuren. Kemoterapi biasanya diberikan pada kasus rekuren
atau yang telah mengalami metastasis jauh sebagai alternatif terapi terakhir yang sudah diakui
sebagai indikasi standar. Obat anti kanker yang paling sering digunakan dan diteliti adalah
kombinasi Cisplatin dan 5-Fluorouracil. Pemberian bersama kedua obat ini dengan radioterapi
pada kanker nasofaring loko-regional lanjut didapatkan peluang yang tinggi yaitu 80% - 93%.
Meskipun tingkat respon carboplatin sedikit lebih rendah (tidak signifikan), tetapi carboplatin
mempunyai beberapa kelebihan yaitu tidak perlu harus masuk rumah sakit, mual-muntah derajat
ringan dan efek samping terhadap ginjal lebih kecil.4
Tabel 2. Pemberian obat kemoterapi8
2. Obat-obatan simptomatik
Keluhan utama yang biasa timbul saat sedang menjalani terapi radiasi akibat reaksi akut pada
mukosa mulut, berupa nyeri untuk mengunyah dan menelan. Keluhan ini bisa dikurangi dengan
obat kumur yang mengandung antiseptik dan adstringent (diberikan 3 – 4x sehari). Bila ada
tanda-tanda moniliasis, dapat diberikan antimikotik. Pemberian obat-obat yang mengandung
anestesi lokal juga dapat mengurangi keluhan nyeri menelan. Sedangkan untuk keluhan umum,
seperti anoreksia, nausea dan lainnya dapat diberikan terapi simptomatik.4

Setelah dilakukan proses pengobatan kanker dengan kemoterapi, biasanya pasien memiliki
permasalahan nutrisi yang sering dijumpai yakni malnutrisi dan kaheksia. Hal tersebut bisa
dikarenakan oleh ketidaknyamanan pada area mulut dan sekitarnya, sehingga berakibat pada
penurunan nafsu makan pasien. Secara umum, World Health Organization (WHO)
mendefinisikan malnutrisi berdasarkan IMT <18,5 kg/m2, namun diagnosis malnutrisi menurut
ESPEN 2015 dapat ditegakkan berdasarkan kriteria :8
1) Pilihan 1 : IMT <18,5 kg/m2
2) Pilihan 2 : Penurunan BB yang tidak direncanakan >10% dalam kurun waktu tertentu
atau penurunan berat badan >5% dalam waktu 3 bulan, disertai dengan salah satu pilihan
berikut :
a. IMT <20 kg/m2 pada usia <70 tahun atau IMT <22 kg/m2 pada usia ≥70 tahun
b. Fat free mass index (FFMI) <15 kg/m2 untuk perempuan atau FFMI <17
kg/m2 untuk laki-laki

Selain diagnosis malnutrisi, terdapat juga diagnosis kaheksia jika memungkinkannya tersedia
sarana dan prasarana. Kaheksia merupakan suatu sindrom kehilangan massa otot, dengan
ataupun tanpa lipolisis, yang tidak dapat dipulihkan dengan dukungan nutrisi konvensional, serta
dapat menyebabkan gangguan fungsional progresif.8

Diagnosis kaheksia ditegakkan jika terdapat penurunan BB ≥5% dalam waktu ≤12 bulan atau
IMT<20 kg/m2 disertai dengan 3 dari 5 kriteria ini: (1) penurunan kekuatan otot, (2) fatigue atau
kelelahan, (3) anoreksia, (4) massa lemak tubuh rendah, dan (5) abnormalitas biokimiawi, yang
ditandai dengan adanya peningkatan petanda inflamasi (C Reactive Protein (CRP) >5 mg/L atau
IL-6 >4pg/dL), anemia (Hb <12 g/dL), penurunan albumin serum (<3,2 g/dL).8

Gambar 1. Kriteria diagnosis sindrom kaheksia7


a) Obat penambah nafsu makan
Pasien kanker dengan anoreksia selain memerlukan terapi nutrisi yang baik, diperlukan juga
terapi multimodal yang meliputi pemberian obat-obatan sesuai dengan kondisi pasien (untuk
meningkatkan nafsu makan) :8

a. Progestin
Menurut studi meta-analisis, progestin bermanfaat dalam meningkatkan selera makan dan
meningkatkan BB pada kanker kaheksia, namun tidak memberikan efek dalam
peningkatan massa otot dan kualitas hidup pasien. Dosis optimalnya adalah sebesar 480–
800 mg/hari. Penggunaan dimulai dari dosis kecil, dan ditingkatkan secara bertahap jika
selama dua minggu tidak memberikan efek optimal. Disarankan untuk
mempertimbangkan menggunakan progestin untuk meningkatkan selera makan pasien
kanker anorektik untuk jangka pendek, tetapi dengan mempertimbangkan potensi efek
samping yang serius.8
b. Kortikosteroid
Kortikosteroid merupakan zat oreksigenik yang paling banyak digunakan. Pemberian
kortikosteroid pada pasien kaheksia dapat meningkatkan selera makan dan kualitas hidup
pasien. Penggunaan kortikosteroid ini perlu dipertimbangkan dalam penggunaannya,
karena memiliki potensi efek samping (misalnya muscle wasting).8
c. Siproheptadin
Siproheptadin merupakan antagonis reseptor 5-HT3, yang dapat memperbaiki selera
makan dan meningkatkan BB pasien dengan tumor karsinoid. Efek samping yang sering
timbul adalah mengantuk dan pusing. Umumnya digunakan pada pasien anak dengan
kaheksia kanker, dan tidak direkomendasikan pada pasien dewasa.8

b) Obat gangguan pencernaan


Pasien kanker nasofaring juga bisa mengalami gangguan saluran cerna, berupa mukositis oral,
diare, konstipasi, atau mual-muntah akibat tindakan pembedahan serta kemo- dan /atau radio-
terapi.8
1. Mukositis oral
Pada mukositis oral, selain dilakukan edukasi dan terapi. Pemberian medikamentosa yang
dapat dipertimbangkan adalah; antinyeri topical, analgesic, pembersih mulut, obat kumur
dapat digunakan untuk mengurangi rasa nyeri pada mulut, seperti chlorhexidine 0,2%,
dan pada kasus yang berat, perlu dipertimbangkan pemasangan pipa makanan untuk
menjamin asupan nutrisi.8

2. Nausea dan vomitus


Untuk mengatasi mual dan muntah selain edukasi, pemberian medikamentosa berupa
antiemetik. Antiemetik digunakan sebagai anti mual dan muntah pada pasien kanker,
tergantung sediaan yang digunakan, seperti golongan antagonis reseptor serotonin
(5HT3), antihistamin, kortikosteroid, antagonis reseptor neurokinin-1 (NK1), antagonis
reseptor dopamin, dan benzodiazepin. Pemberian anti emetik 5- HT3 antagonis
(ondansetron) 8 mg atau 0,15 mg/kg BB (i.v) atau 16 mg (p.o) dapat diberikan pada kasus
berat. Jika keluhan menetap dapat ditambahkan deksametason. Pertimbangkan pemberian
antiemetik IV secara kontinyu jika keluhan masih berlanjut.8

Tabel 2. Pemberian antiemetik berdasarkan penyebabnya8

3. Diare
Pada kondisi diare pemberian edukasi dan terapi gizi merupakan hal penting.
Medikamentosa berupa; hidrasi melalui oral dan intravena (IV) dilakukan untuk
mengganti kehilangan cairan dan elektrolit, obat antidiare, dan suplementasi serat.8
4. Xerostomia
Pemberian edukasi, terapi gizi, serta medikamentosa berupa Moisturising
spray/moisturizing gel, untuk membantu keseimbangan cairan oral dan memberikan
sensasi basah pada mukosa mulut, dapat dipertimbangkan.8

5. Kembung
Apabila memungkinkan, pasien dapat diberikan simetikon.8

6. Konstipasi
Pada konstipasi edukasi dan terapi gizi dapat diberikan bersama suplementasi dan
medikamentosa seperti suplemen serat dan laksatif, terdiri atas golongan surfaktan (stool
softener), lubrikan, salin, stimulan, hiperosmotik, prokinetik, dan antagonis reseptor
opioid.8

7. Disgeusia
Pasien diberikan edukasi dan terapi gizi.8

8. Fatigue
Pasien diberikan edukasi dan terapi gizi.8

EDUKASI DAN PENCEGAHAN


Pasien endemik daerah prevalen harus lebih waspada terhadap gejala penyakit. Selain itu,
demografi penduduk barat yang memiliki faktor lingkungan (merokok, dll) yang terkait dengan
NPC juga harus menerima pendidikan mengenai efek berbahayanya. Juga, sebagian orang yang
memiliki kerentanan genetik bersama dengan infeksi EBV berulang harus memiliki indeks
kecurigaan yang lebih tinggi untuk penyakit tersebut.9,10

Antibodi terkait EBV memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi pada NPC dan dapat
digunakan untuk diagnosis NPC dan sebagai prediktor skrining. Misalnya, antibodi IgA terhadap
antigen kapsid EBV (VCA/IgA) memberikan sensitivitas dan spesifisitas hingga 90% dalam
diagnosis NPC, dan beberapa indikator memiliki hasil yang lebih baik. Evaluasi terbaru dari
biomarker anti-EBV dari antibodi VCA/IgA dan IgA dengan antigen nuklir 1 EBV berbasis
ELISA (EBNA1/IgA) mengkonfirmasi nilai tes diagnostik kombinasi yang digunakan dalam
studi kinerja retrospektif kami sebelumnya, dengan sensitivitas 95,29% dan spesifisitas 94,07%.
NPC memiliki fase pra-klinis yang panjang, dengan waktu rata-rata 38 bulan dari antibodi
VCA/IgA EBV positif hingga deteksi NPC.11
Tabel 3. Edukasi pada pasien kanker8

Gambar 2. Algoritma tatalaksana pada kanker nasofaring8


C. Analisis Kasus
Dari kasus pemicu, diperoleh adanya hasil pemeriksaan fisik pasien yang abnormal yaitu
limfadenopati colli dextra, soliter, ukuran 4x3x2 cm, keras, terfiksir, tidak ada tanda radang,
tidak ada limfadenopati di area lain. Selain itu, diperoleh hasil data pemeriksaan laboratorium
yang abnormal yakni kadar eusinofil dan neutrofil batang rendah, dan LED meningkat (tanda
inflamasi).

Berdasarkan klasifikasi stadium kanker, pasien pada kasus ini termasuk kanker stadium II
(T1N1M0). T1 yaitu terbatas pada nasofaring, atau tumor meluas ke orofaring dan atau rongga
hidung tanpa perluasan ke parafaringeal (dibuktikan dengan tidak adanya kesulitan menelan); N1
yaitu metastasis unilateral di KGB, 6 cm atau kurang di atas fossa supraklavikula (soliter, ukuran
4x3x2 cm, keras, terfiksir); dan M0 yaitu tidak terdapat metastasis jauh (tidak ada limfadenopati
di area lain). Sehingga, tatalaksana yang diberikan untuk pasien ini adalah kemoradiasi, yakni
platinum based (cisplatin atau carboplatin) 30-40 mg/m2 sebanyak 6 kali, setiap minggu sekali
2,5 sampai 3 jam sebelum dilakukan radiasi karena belum terjadinya metastasis jauh.
DAFTAR PUSTAKA

1. Rahayu S. Asuhan Keperawatan Kanker Nasofaring dengan Fokus Studi Penatalaksanaan


Nyeri di RSUD Tidar Kota Magelang. JK Mesencephalon. 2019;5(1):1 p
2. Pratiwi A, Imanto M. Karsinoma Nasofaring dengan Multiple Cranial Nerve Palsy Pada
Pasien Wanita Usia 52 Tahun. J Medula. 2020;9(4): 609,612 p
3. Wang R, Kang M. Guidelines for Radiotherapy of Nasopharyngeal Carcinoma. Wiley. 2021;
122,129 p
4. KEMENKES RI. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia [Internet]. MENKES RI.
2019 [cited 31 August 2022]. Available from :
https://yankes.kemkes.go.id/unduhan/fileunduhan_1610414081_863291.pdf
5. -. Chemotherapy Workshop, Oncology Head and Neck Surgery. Permana DA, editor.
Bandung: Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran; 2017. 55,56,58,61 p
6. Ariani S, Saputra RB, Sudiasa IP. Diagnosa dan Penatalaksanaan Karsinoma Nasofaring. J
Kedokteran. 2019;3(2): 595-6 P
7. NCCN. Guidelines for Patients: Nasopharyngeal Cancer. 2019. 10 p
8. KEMENKES RI. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Kanker Nasofaring. Jakarta:
KEMENKES RI. 2017. 10,11,21, 22-43,45 p
9. -. Head and Neck Treatment Regimens [Internet]. Haymarket Media. 2020 [cited 31 August
2022]. Available from: https://www.cancertherapyadvisor.com/home/cancer-topics/head-and-
neck-cancer/head-and-neck-cancer-treatment-regimens/head-and-neck-cancers-treatment-
regimens/
10. Shah AB, Zulfiqar H, Nagalli S. Nasopharyngeal Carcinoma [Internet]. StatPearls. 2022
[cited 1 September 2022]. Available from : https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK554588/
11. Cao S, Simons MJ, Qian C. The Prevalence and Prevention of Nasopharyngeal Carcinoma in
China. Chin J Cancer. 2011;30(2): 117-18 p

Anda mungkin juga menyukai