BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.
Kanker adalah proses penyakit yang bermula ketika sel abnormal dirubah oleh
mutasi genetik dari DNA selular. Sel abnormal ini membentuk klon dan mulai
berpoliferasi secara abnormal, mengabaikan sinyal mengatur pertumbuhan dalam
lingkungan sekitar sel tersebut. Sehingga dicapai suatu tahap dimana sel mendapatkan ciri
– ciri invasif dan terjadi perubahan pada jaringan sekitarnya (Smeltzer & Brenda, 2002 :
317). Kanker Nasofaring (KNF) merupakan tumor ganas yang paling banyak dijumpai
diantara tumor ganas THT di Indonesia, dimana KNF termasuk dalam lima besar tumor
ganas, dengan frekuensi tertinggi (bersama tumor ganas serviks uteri, tumor payudara,
tumor getah bening dan tumor kulit) (Melani, 2011).
Distribusi penyakit ini paling banyak dijumpai pada ras Mongol, di samping
Mediteranian, dan beberapa ras di Afrika di bagian Utara. Di Hongkong tercatat sebanyak
24 pasien kanker nasofaring per tahun per 100.000 penduduk, sedangkan angka rata-rata
di Cina bagian selatan berkisar antara 20 per 100.000 penduduk, dibandingkan dengan
negara Eropa atau Amerika Utara yang mempunyai angka kejadian hanya 1 per 100.000
penduduk per tahun. Angka kejadian KNF di Indonesia cukup tinggi, yaitu sekitar 4,7
kasus baru per tahun per 100.000 penduduk atau diperkirakan sekitar 7000-8000 kasus
per tahun di seluruh Indonesia (Melani, 2011). Berdasarkan data pasien KNF di RSHS
(Hasan Sadikin) Bandung sebanyak 60 kasus baru/tahun, di Palembang sebanyak 25
kasus baru/tahun, di Denpasar dan Padang masing – masing 15 dan 11 kasus baru/tahun,
di RSCM Jakarta yaitu 100 kasus baru/tahun, sedangkan di RS Kanker Dharmais rata –
rata terdapat 70 kasus baru/tahun (deteksi dini RSKD, 2013).
Menurut (Nuryadin, 2012) KNF merupakan penyakit multifaktorial dan belum
diketahui secara pasti penyebabnya. Karsinoma nasofaring merupakan munculnya
keganasan berupa tumor yang berasal dari sel-sel epitel yang menutupi permukaan
nasofaring. Tumbuhnya tumor akan dimulai pada salah satu dinding nasofaring yang
kemudian akan menginfiltrasi kelenjar dan jaringan sekitarnya. Lokasi yang paling sering
menjadi awal terbentuknya KNF adalah pada Fossa Rossenmuller. Penyebaran ke
jaringan dan kjelenjar limfa sekitarnya kemudian terjadi perlahan, seperti layaknya
1
2
metastasis lesi karsinoma lainnya. Selanjutnya sel-sel kanker dapat berkembang terus,
menembus kelenjar dan mengenai otot dibawahnya. Keadaan ini merupakan gejala yang
lebih lanjut lagi dan biasanya prognosis yang jelek sehingga menimbulkan kematian.
Memilih obat kanker tidaklah mudah, banyak faktor yang perlu diperhatikan yakni
jenis kanker, kemosensitivitas atau resisten, populasi sel kanker, persentasi sel kanker
yang terbunuh, siklus pertumbuhan kanker, imunitas tubuh dan efek samping terapi yang
diberikan (Sukardja, 2000).Terapi medik yang dapat digunakan untuk mengobati
karsinoma nasofaring ialah : radioterapi, kemoterapi, terapi kombinasi, operasi. Salah satu
modalitas pengobatan pada pasien KNF adalah kemoterapi. Kemoterapi merupakan
pengobatan kanker dengan obat – obatan . Kemoterapi dapat menjalar melalui tubuh dan
dapat membunuh sel kanker dimanapun di dalam tubuh. Kemoterapi juga dapat merusak
sel normal dan sehat, terutama sel sehat dalam lapisan mulut dan sistem gastrointestinal,
sumsung tulang serta kantung rambut (Kelvin dan Tyson, 2011).
Melihat efek dari kemoterapi yang ditimbulkan seperti mual dan muntah,
myelosupresi yang ditandai dengan menurunnya jumlah sel darah merah (Anemia), sel
darah putih (leukopeni), dan trombosit (trombositopeni), selain itu kemoterapi dapat
menimbulkan efek seperti nyeri ekstrimitas (seperti kesemutan), fungsi testiskular dan
ovarium yang berakibat kemungkinan terjadi sterilitas.
Berdasarkan uraian diatas dan data yang ditemukan penulis, maka penulis tertarik
untuk melakukan asuhan Keperawatan Kanker Nasofaring pada Tn.Y dengan kemoterapi
di ruang Anggrek 2 Rs Kanker Dharmais. Memberikan asuhan keperawatan merupakan
salah satu tugas yang harus dilakukan oleh perawat yang meliputi aspek bio-psiko-sosio
dan spiritual terhadap pasien dan keluarga yang diberikan secara maximal.
B. Tujuan
1. Tujuan umum.
Untuk memenuhi tugas makalah sebagai salah satu syarat kenaikan PKK 2.
2. Tujuan khusus.
a. Mampu melakukan pengkajian pada pasien kanker nasofaring di ruang Anggrek 2
Rs Kanker Dharmais
b. Mampu merumuskan diagnosa keperawatan pada pasien kanker nasofaring di
ruang Anggrek 2 Rs Kanker Dharmais
c. Mampu menyusun intervensi keperawatan pada pasien kanker nasofaring di ruang
Anggrek 2 Rs Kanker Dharmais
3
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kanker Nasofaring.
1. Pengertian.
Kanker adalah proses penyakit yang bermula ketika sel abnormal dirubah oleh
mutasi genetik dari DNA selular. Sel abnormal ini membentuk klon dan mulai
berpoliferasi secara abnormal, mengabaikan sinyal mengatur pertumbuhan dalam
lingkungan sekitar sel tersebut. Sehingga dicapai suatu tahap dimana sel mendapatkan
cirri – cirri invasife dan terjadi perubahan pada jaringan sekitarnya (Smeltzer &
Brenda, 2002 : 317).
Karsinoma nasofaring merupakan salah satu bentuk keganasan kepala dan
leher yang mempunyai karakteristik yang khas baik secara histologi, epidemiologi
dan biologi. Hal ini yang menentukan gejala klinis dan pendekatan terapinya. Kanker
nasofaring adalah tumor yang berasal dari sel epitel yang menutupi permukaan
nasofaring (Widodo, 2003).
Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas yang tumbuh pada ephitalial
pelapis ruangan dibelakang hidung (nasofaring) dan belakang langit-langit rongga
mulut dengan predileksi di fossa Rossenmuller dan atap nasofaring. Karsinoma
nasofaring merupakan tumor ganas daerah kepala dan leher yang terbanyak
ditemukan di Indonesia. Hampir 60 % tumor ganas daerah kepala dan leher
merupakan kanker nasofaring (Huda Nurarif & Kusuma, 2013).
Kanker Nasofaring merupakan keganasan yang muncul pada daerah
nasofaring (area di atas tenggorok dan di belakang hidung). Kanker ini terbanyak
merupakan keganasan tipe sel skuamosa ( PNPKKNF, 2007). Kanker Nasofaring
(KNF) merupakan tumor ganas yang paling banyak dijumpai diantara tumor ganas
THT di Indonesia, dimana KNF termasuk dalam lima besar tumor ganas, dengan
frekuensi tertinggi (bersama tumor ganas serviks uteri, tumor payudara, tumor getah
bening dan tumor kulit), sedangkan didaerah kepala dan leher menduduki tempat
pertama (kanker nasofaring mendapat persentase hampir 60% dari tumor di daerah
kepala dan leher, diikuti tumor ganas hidung dan sinus paranasal 18%, laring 16%,
dan tumor ganas rongga mulut, tonsil, hipofaring dalam persentase rendah (Melani,
2011).
4
5
2. Epidemologi.
Distribusi penyakit ini paling banyak dijumpai pada ras Mongol, di samping
Mediteranian, dan beberapa ras di Afrika di bagian Utara. Di Hongkong tercatat
sebanyak 24 pasien kanker nasofaring per tahun per 100.000 penduduk, sedangkan
angka rata-rata di Cina bagian selatan berkisar antara 20 per 100.000 penduduk,
dibandingkan dengan negara Eropa atau Amerika Utara yang mempunyai angka
kejadian hanya 1 per 100.000 penduduk per tahun. Angka kejadian KNF di Indonesia
cukup tinggi, yaitu sekitar 4,7 kasus baru per tahun per 100.000 penduduk atau
diperkirakan sekitar 7000-8000 kasus per tahun di seluruh Indonesi. Indonesia,
menempati urutan ke-4 diantara keganasan yang terdapat di seluruh tubuh. Santosa
(1988) mendapatkan jumlah 716 (8,46%) penderita KNF berdasarkan data patologi
yang diperoleh di Laboratorium Patologi anatomi FK Unair Surabaya (1973–1976)
diantara 8463 kasus keganasan di tubuh (Melani, 2011). Berdasarkan data pasien
KNF di RSHS (Hasan Sadikin) Bandung sebanyak 60 kasus baru/tahun, di Palembang
sebanyak 25 kasus baru/tahun, di Denpasar dan Padang masing – masing 15 dan 11
kasus baru/tahun, di RSCM Jakarta yaitu 100 kasus baru/tahun, sedangkan di RS
Kanker Dharmais rata – rata terdapat 70 kasus baru/tahun (deteksi dini RSKD, 2013).
3. Anatomi dan Fisiologi Nasofaring.
Nasofaring adalah bagian atas tenggorokan (faring) yang terletak di
belakangan hidung.Nasofaring berbentuk seperti sebuah kotak berongga. Dan terletak
di bagian lunak atap mulut (soft palate) dan terletak di belakang hidung. Nasofaring
berfungsi untuk melewatkan udara dari hidung menuju ke tenggorokan yang akhirnya
ke paru-paru (American Cancer Society, 2013). Bagian atas nasofaring dibentuk oleh
korpus sfenoid dan prosesus basilar os oksipital. Sebelah anterior oleh koana dan
pallatum mole, dan sebelah posterior dibentuk oleh vertebra vertikalis, sebelah
inferior nasofaring dilanjutkan oleh orofaring. Orificium tuba eustachius terletak pada
dinding lateral dari nasofaring, dibelakang ujung konka inferior. Di sebelah atas dan
belakang dari orifisium tuba eustachius terdapat penonjolan yang dibentuk oleh
kartilago eustachius. Dibawah dari ujung posterior penonjolan tersebut terdapat suatu
lipatan yang kuat yaitu membran salpingofaringeal. Lipatan membran mukosa yang
tidak terlalu menonjol yaitu membran salpingopalatina, meluas ke bagian bawah di
depan orifisium eustachius. Kantung disudut faring diantara tepi posterior kartilago
eustachius dan dinding posterior dikenal sebagai fosa rosenmuller. Jaringan adenoid
juga sering kali ditemukan disekitar orifisium tuba. Atap serta dinding posterior
6
4. Etiologi.
Menurut (Nuryadin, 2012) KNF merupakan penyakit multifaktorial dan belum
diketahui secara pasti penyebabnya. Beberapa faktor risiko yang kini masih diteliti di
antaranya: faktor genetik, infeksi Epstein-Barr virus, diet, dan lingkungan.
a. Genetik
KNF tercatat sebagai keganasan yang jarang terjadi di sebagian besar populasi
dunia. Namun, keganasan ini tercatat sering terjadi di Cina selatan, Asia
Tenggara, Kutub Utara, dan Timur Tengah / Afrika Utara. Distribusi ras / etnis
dan geografis khas pada KNF di seluruh dunia menunjukkan bahwa faktor
lingkungan dan sifat-sifat genetik berkontribusi untuk perkembangan keganasan
ini.
b. Infeksi Virus Epstein-Barr (EBV)
EBV merupakan virus dsDNA yang memiliki kapsid icosahedral dan termasuk
dalam famili Herpesviridae. Infeksi EBV dapat berasosiasi dengan beberapa
penyakit seperti limfoma Burkitt, limfoma sel T, mononukleosis dan KNF. KNF
tidak berdiferensiasi atau WHO tipe III 100% terkait dengan EBV. Hal ini
didukung oleh temuan bahwa reseptor EBV terdapat pada sel epitel di faring, dan
bahwa virus mampu menginfeksi sel epitel nasofaring in vivo.KNF adalah
penyakit yang konsisten dengan infeksi EBV sehingga eksistensi DNAEBV di
dalam cairan tubuh dapat dipakai sebagai penanda status patologi KNF dan/atau
progresivitas tumor. Dalam penelitian ini penulis akan mengaitkan serologi EBV
yang ditunjukan dengan ekspresi protein EBV dengan faktor risiko lain yang
terdapat pada individu berisiko.
c. Diet.
Beberapa penelitian menyajikan hubungan antara diet tertentu dengan risiko KNF.
Analisis sampel makanan yang menunjukkan adanya nitrosamin dan prekursor
nitrosamine dalam ikan asin, menunjukan hubungan antara konsumsi ikan asin
dengan KNF. Konsumsi banyak makanan olahan dan diawetkan pada usia muda
dikaitkan dengan KNF. Penelitian lain menunjukan bahwa konsumsi mentega
tengik, lemak dan daging domba tengik yang diawetkan di Afrika, dikaitkan
dengan peningkatan risiko KNF yang signifikan, sementara konsumsi sayuran
matang dan ikan yang diawetkan secara industry dikaitkan dengan penurunan
risiko.
8
d. Lingkungan.
Konsumsi alkohol, merokok, penggunaan tembakau, paparan zat kimia memiliki
keterkaitan dengan risiko KNF. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa alkohol
atau shisha (pipa air) dikaitkan dengan risiko. Tembakau, ganja dan asap kayu
bakar adalah faktor risiko untuk KNF di barat Afrika Utara. Penelitian lainnya
menyatakan keterkaitan antara merokok dan KNF, semakin lama dan lebih berat
kebiasaan merokok, semakin tinggi adalah risiko KNF.
5. Patofisiologi.
Karsinoma nasofaring merupakan munculnya keganasan berupa tumor yang
berasal dari sel-sel epitel yang menutupi permukaan nasofaring. Tumbuhnya tumor
akan dimulai pada salah satu dinding nasofaring yang kemudian akan menginfiltrasi
kelenjar dan jaringan sekitarnya. Lokasi yang paling sering menjadi awal
terbentuknya KNF adalah pada Fossa Rossenmuller.
Karsinoma nasofaring umumnya disebabkan oleh multifaktor. Sampai
sekarang penyebab pastinya belum jelas. Faktor yang berperan untuk terjadinya
karsinoma nasofaring ini adalah faktor makanan seperti mengkonsumsi ikan asin,
sedikit memakan sayur dan buah segar. Faktor lain adalah non makanan seperti debu,
asap rokok, uap zat kimia, asap kayu Faktor genetik juga dapat mempengaruhi
terjadinya karsinoma nasofaring. Selain itu terbukti juga infeksi virus Epstein Barr
juga dihubungkan dengan terjadinya karsinoma nasofaring terutama pada tipe
karsinoma nasofaring non-keratinisasi. Hal ini dibuktikan dengan adanya kenaikan
titer antigen EBV dalam tubuh penderita kanker nasofaring non keratinisasi dan
kenaikan titer ini pun berbanding lurus dengan stadium kanker nasofaring di mana
semakin berat stadium kanker nasofaring, ditemukan titer antibodi EBV yang semakin
tinggi. Hal ini dapat dibuktikan dengan dijumpai adanya keberadaan protein-protein
laten pada penderita karsinoma nasofaring. Pada penderita ini sel yang terinfeksi oleh
EBV akan menghasilkan protein tertentu yang berfungsi untuk proses proliferasi dan
mempertahankan kelangsungan virus di dalam sel host. Protein laten ini dapat dipakai
sebagai petanda (marker) dalam mendiagnosa karsinoma nasofaring, yaitu EBNA-1
dan LMP-1, LMP- 2A dan LMP-2B. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya pada
50% serum penderita karsinoma nasofaring LMP-1 sedangkan EBNA-1 dijumpai di
dalam serum semua pasien karsinoma nasofaring. Selain itu dibuktikan oleh hasil
penelitian Khrisna dkk (2004) terhadap suku Indian asli bahwa EBV DNA di dalam
serum penderita karsinoma nasofaring dapat dipakai sebagai biomarker pada
9
mengakibatkan kematian virus sehingga sel kembali menjadi normal atau dapat terjadi
transformasi sel yaitu interaksi antara sel dan virus sehingga mengakibatkan
terjadinya perubahan sifat sel sehingga terjadi transformsi sel menjadi ganas sehingga
terbentuk sel kanker. Gen EBV yang diekspresikan pada penderita KNF adalah gen
laten, yaitu EBERs, EBNA1, LMP1, LMP2A dan LMP2B. Protein EBNA1 berperan
dalam mempertahankan virus pada infeksi laten. Protein transmembran LMP2A dan
LMP2B menghambat sinyal tyrosine kinase yang dipercaya dapat menghambat siklus
litik virus. Diantara gen-gen tersebut, gen yang paling berperan dalam transformasi
sel adalah gen LMP1. Struktur protein LMP1 terdiri atas 368 asam amino yang
terbagi menjadi 20 asam amino pada ujung N, 6 segmen protein transmembran (166
asam amino) dan 200 asam amino pada ujung karboksi (C). Protein transmembran
LMP1 menjadi perantara untuk sinyal TNF (tumor necrosis factor) dan meningkatkan
regulasi sitokin IL-10 yang memproliferasi sel B dan menghambatrespon imun lokal.
Walaupun karsinoma nasofaring tidak termasuk tumor genetik, tetapi
kerentanan terhadap karsinoma nasofaring pada kelompok masyarakat tertentu
relative menonjol dan memiliki agregasi familial. Analisis korelasi menunjukkan gen
HLA (human leukocyte antigen) dan gen pengode enzim sitokrom p450 2E1
(CYP2E1) kemungkinan adalah gen kerentanan terhadap karsinoma nasofaring.
Sitokrom p450 2E1 bertanggung jawab atas aktivasi metabolik yang terkait
nitrosamine dan karsinogen. Analisa genetik pada populasi endemik berhubungan
dengan HLA-A2, HLAB17 dan HLA-B2. Dimana orang dengan yang memiliki gen
ini memiliki resiko dua kali lebih besar menderita karsinoma nasofaring.
Faktor lingkungan Sejumlah besar studi kasus yang dilakukan pada populasi
yang berada di berbagai daerah di asia dan america utara, telah dikonfirmasikan
bahwa ikan asin dan makanan lain yang awetkan mengandung sejumlah besar
nitrosodimethyamine (NDMA), nitrospurrolidene (NPYR) dan nitrospiperidine
(NPIP) yang mungkin merupakan factor karsinogenik karsinoma nasofaring. Selain
itu alkohol dan asap rokok ditemukan mengadung formaldehyde yang diteliti
merupakan faktor risiko karsinoma nasofaring dengan cara mengaktifkan kembali
infeksi dari EBV (Anonim, 2015).
11
6. Pathway
Mempunyai gen HLA Konsumsi ikan asin dan Titer antigen EBV naik Minum alkohol,
& enzim sitokrom makanan berpengawet dalam darah perokok, paparan zat
kimia
Aktivasi metabolic Mengandung NDMA, EBV menginfeksi sel
nitrosmino dan NDNR, NPIP normal Mengandung
karsinogenik formadelhyde
11
Ansietas Kurangnya pengetahuan Harga diri
rendah
12
7. Manifestasi Klinis.
Gejala dan tanda kanker nasofaring dapat dibagi dalam 4 kelompok yaitu :
a. Gejala nasofaring Dapat berupa epistaksis ringan atau sumbatan hidung dan pilek.
Pada keadaan lanjut tumor masuk ke dalam rongga hidung dan sinus paranasal
b. Gangguan pada telinga merupakan gejala dini yang timbul karena tempat asal
tumor. Gangguan dapat berupa tinitus, rasa penuh di telinga, berdengung sampai
rasa nyeri di telinga
c. Gangguan penglihatan sehingga penglihatan menjadi diplopia (penglihatan
ganda). Gejala dimata terjadi karena tumor berinfiltrasi ke rongga tengkorak, dan
yang pertama terkena ialah saraf otak ke 3, 4 dan 6, yaitu yang mempersarafi otot-
otot mata, sehingga menimbulkan gejala diplopia. Gejala yang lebih lanjut ialah
gejala neurologik, karena infiltrasi tumor ke intrakranial melalui foramen laserum,
dapat mengenai saraf otak ke 3, sehingga mengenai saraf otak ke 9, 10, 11 dan 12,
dan bila keadaan ini terjadi prognosisnya buruk.
d. Metastasis ke kelenjar leher dalam bentuk benjolan di leher.
8. Pemeriksaan Penunjang.
Ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.
a. Anamnesis
Terdiri dari gejala hidung, gejala telinga, gejala mata dan saraf, serta gejala
metastasis / leher. Gejala tersebut mencakup hidung tersumbat, lender bercampur
darah, tinitus, telinga terasa penuh, otalgia, diplopia dan neuralgia trigeminal
(saraf III, IV, V, VI), dan muncul benjolan pada leher.
b. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan status generalis dan status lokalis.Pemeriksaan nasofaring secara
konvensional adalah dengan menggunakan kaca rinoskopi posterior, dengan atau
tanpa menggunakan kateter. Pemeriksaan yang lebih sempurna adalah dengan
menggunakan nasofaringoskopi baik yang fleksibel maupun yang kaku (Wei &
Sham, 1996).
c. Pemeriksaan Diagnostik
1) Pemeriksaan Radiologi.
Pemeriksaan radiologik berupa CT scan/MRI nasofaring potongan koronal,
aksial, dan sagital, tanpa dan dengan kontras berguna untuk melihat tumor
primer dan penyebaran ke jaringan sekitar dan penyebaran kelenjar getah
13
T Tumor primer
Tx Tumor primer tidak dapat ditentukan
T0 Tidak ditemukan adanya tumor primer
Tis Karsinoma insitu
T1 Tumor terbatas di nasofaring atau tumor meluas ke orofaring dan atau kavum
nasi tanpa perluasan ke parafaring.
T2 Tumor meluas sampai pada jaringan lunak
T2a Tumor meluas sampai daerah orofaring dan atau rongga hidung tanpa
Perluasan ke parafaring
T2b Dengan perluasan ke parafaring
T3 Tumor melibatkan struktur tulang dasar tengkorak dan atau sinus paranasal.
T4 Tumor dengan perluasan intrakranial dan atau mengenai saraf kranial,
hipofaring, orbita atau dengan perluasan ke fossa infratemporal.
M Metastase jauh
Mx Adanya metastasis jauh tidak dapat ditentukan
M0 Tidak ada metastasis jauh
M1 Terdapat metastasis jauh
Stadium T N M
Stadium 0 Tis N0 M0
Stadium I T1 N0 M0
Stadium II T1 N1 M0
T2 N0-N1 M0
Stadium III T1-T2 N2 M0
T3 N0-N2 M0
Stadium IVA T4 N0-N2 M0
Stadium IVB T1-T4 N3 M0
Stadium IVC T1-T4 N0-N3 M1
10. Penatalaksanaan.
16
Memilih obat kanker tidaklah mudah, banyak faktor yang perlu diperhatikan
yakni jenis kanker, kemosensitivitas atau resisten, populasi sel kanker, persentasi sel
kanker yang terbunuh, siklus pertumbuhan kanker, imunitas tubuh dan efek samping
terapi yang diberikan (Sukardja, 2000).Terapi medik yang dapat digunakan untuk
mengobati karsinoma nasofaring ialah :
a. Radioterapi.
Terapi radiasi adalah mengobati penyakit dengan menggunakan gelombang
atau partikel energi radiasi tinggi yang dapat menembus jaringan untuk
menghancurkan sel kanker (Kelvin dan Tyson, 2011). Radio terapi masih
memegang peranan terpenting dalam pengobatan karsinoma nasofaring (Soejipto
cit Iskandar et al, 1989). Radioterapi merupakan pengobatan utama,sedangkan
pengobatan tambahan yang diberikan dapat berupa diseksi leher, pemberian tetra
siklin, faktor transfer, interferon,kemoterapi, seroterapi, vaksin dan anti virus
(Soepardi et al,2012).
Dosis yang diberikan 200 rad / hari sampai mencapai 6000-6600 rad untuk
tumor primer, untuk kelenjar leher yang membesar diberikan 6000 rad. Jika tidak
ada pembesaran diberikan juga radiasi elektif sebesar 4000 rad (Soejipto cit
Iskandar et al, 1989). Kesulitan-kesulitan yang dihubungkan dengan pemberian
terapi radiasi dapat dibagi menjadi komplikasi dini dan lanjut. Kompilikasi dini
dan lanjut tersebut dapat berupa mukositis dengan disertai rasa tidak enak pada
faring, hilangnya nafsu makan (anoreksia), nausea (mual) dan membran mukosa
yang kering (Adams, 1994).
b. Kemoterapi
Kemoterapi merupakan pengobatan kanker dengan obat - obatan. Kemoterapi
dapat menjalar melalui tubuh dan dapat membunuh sel kanker dimanapun di
dalam tubuh. Kemoterapi juga dapat merusak sel normal dan sehat, terutama sel
sehat dalam lapisan mulut dan sistem gastrointestinal, sumsung tulang serta
kantung rambut (Kelvin dan Tyson, 2011).
c. Terapi kombinasi.
Merupakan terapi kombinasi dari beberapa terapi. Seperti kombinasi antara kemo-
radioterapi dengan motomycin C dan 5-fluorouracil memberikan hasil yang cukup
memuaskan dan memperlihatkan hasil yang memberi harapan kesembuhan total
pasien karsinoma nasofaring (Soetjipto cit Iskandar et al, 1989).
d. Operasi.
17
Tindakan operasi berupa diseksi leher radikal, dilakukan jika masih ada sisa
kelenjar pasca radiasi atau adanya kekambuhan kelenjar, dengan syarat bahwa
tumor primer sudah dinyatakan bersih (Soetjipto cit Iskandar et al, 1989). Operasi
tumor induk sisa (residu) atau kambuh (residif) diindikasikan, tetapi sering timbul
komplikasi yang berat akibat operasi (Soeperdi et al, 2012).
Penatalaksanaan Metode Pengobatan Pada Kanker Nasofaring
Stadium Penatalaksanaan
Stadium I Radioterapi
Stadium II & III Kemoradiasi
Stadium IV dengan N < 6 cm Kemoradiasi
Stadium IV dengan N > 6 cm Kemoterapi dosis penuh dilanjutkan
dengan kemoradiasi
11. Komplikasi.
Menurut (Ninda, 2016) metastasis ke kelenjar limfa dan jaringan sekitar merupakan
suatu komplikasi yang selalu terjadi. Pada KNF, sering kali terjadi komplikasi ke arah
nervus kranialis yang bermanifestasi dalam bentuk (Pratiwi, 2012) :
a. Petrosphenoid sindrom.
Tumor tumbuh ke atas tengkorak lewat foramen laserum sampai sinus kavernosus
menekan saraf N. III. N. IV, N.VI juga menekan N.II yang menimbulkan kelainan
Neuralgia trigeminus (N.V) : Trigeminal neuralgia meupakan suatu nyeri pada
wajah sesisi yang ditandai dengan rasa seperti terkena aliran listrik yang terbatas
pada daerah disribusi dari nervus trigeminus.
b. Retropariden sindrom
Tumor tumbuh ke depan kearah rongga hidung kemudian dapat menginfiltrasi ke
sekitarnya. Tumor ke samping dan belakang menuju ke arah daerah retropharing
dimana ada kelenjar getah bening. Tumor ini menekan saraf N. IX, N. X, N. XI,
N. XII dengan manifestasi gejala.
1) N. IX : kesulitan menelan karena hemiparesis otot konstriktor superior serta
gangguan pada sepertiga belakang lidah.
2) N. X : hiper/hipoanestesi mukosa palatum mole, faring dan laring, disertai
gangguan respirasi dan saliva.
3) N. XI : kelumpuhan/atrofi oto trapezius, otot SCM serta hemiparese palatum
mole.
4) N. XII : hemiparalisis dan atrofi sebelah lidah.
18
digunakan pada pasien dengan rekarens lokal dan metastatik jauh. Agen yang
telah dipakai yaitu metothrexat, bleomycin, 5 FU, cisplatin dan carboplatin
merupakan agen yang paling efektif dengan respon berkisar 15-31%. Agen aktif
yang lebih baru meliputi paklitaxel dan gemcitibine.
3. Tujuan Kemoterapi.
Menurut (Febriani, 2014) penggunaan kemoterapi dapat melalui empat cara yaitu
antara lain :
a. Terapi adjuvant adalah suatu sesi kemoterapi yang digunakan sebagai modalitas
atau terapi tambahan untuk terapi lainnya misalnya pembedahan dan radiasi yang
bertujuan untuk mengobati mikrometastasis.
b. Kemoterapi neo adjuvan yaitu pemberian kemoterapi yang bertujuan untuk
mengecilkan tumor sebelum dilakukan pengangkatan tumor melalui pembedahan.
c. Terapi primer yaitu terapi pada pasien dengan kanker lokal dikarenakan
alternative terapi lain tidak terlalu efektif.
d. Kemoterapi induksi yaitu terapi primer pada pasien kanker karena tidak memilki
alternative terapi lain.
e. Kemoterapi kombinasi yaitu pemberian dua atau lebih obat kemoterapi dalam
terapi kanker yan obat tersebut bersifat sinergis atau saling memperkuat aksi obat
lainnya.
4. Syarat Pemberian Kemoterapi.
Menurut (Kartikawati,2014) pasien dengan keganasan memiki kondisi dan
kelemahan kelemahan, yang apabila diberikan kemoterapi dapat terjadi untolerable
side effect. Sebelum memberikan kemoterapi perlu pertimbangan sbb :
a. Menggunakan kriteria Eastern Cooperative Oncology Group (ECOG) yaitu status
penampilan <= 2.
b. Jumlah lekosit >=3000/ml.
c. Jumlah trombosit>=120.0000/ul.
d. Cadangan sumsum tulang masih adekuat misal Hb > 10
e. Creatinin Clearence diatas 60 ml/menit (dalam 24 jam) ( Tes Faal Ginjal )
f. Bilirubin <2 mg/dl. , SGOT dan SGPT dalam batas normal ( Tes Faal Hepar ).
g. Elektrolit dalam batas normal.
h. Mengingat toksisitas obat-obat sitostatika sebaiknya tidak diberikan pada usia
diatas 70 tahun.
21
Indikator status penampilan dan kemampuan pasien ini diambil, dimana penyait
kanker semakin berat pasti akan mempengaruhi penampilan pasien. Hal ini juga
menjadi faktor prognostik dan faktor yang menentukan pilihan terapi yang tepat pada
pasien dengan sesuai status penampilannya. Skala status penampilan menurut ECOG (
Eastern Cooperative Oncology Group) adalah sbb :
a. Grade 0 : masih sepenuhnya aktif, tanpa hambatan untuk mengerjakan tugas dan
pekerjaan sehari-hari.
b. Grade 1 : hambatan pada perkerjaan berat, namun masih mampu bekerja kantor
ataupun pekerjaan rumah yang ringan.
c. Grade 2 : hambatan melakukan banyak pekerjaan, 50 % waktunya untuk tiduran
dan hanya bisa mengurus perawatan dirinya sendiri, tidak dapat melakukan
pekerjaan lain.
d. Grade 3 : Hanya mampu melakukan perawatan diri tertentu, lebih dari 50%
waktunya untuk tiduran.
e. Grade 4 : Sepenuhnya tidak bisa melakukan aktifitas apapun, betul-betul hanya di
kursi atau tiduran terus.
5. Prinsip Pemilihan Obat Kemoterapi.
a. Obat yang digunakan diketahui aktivitasnya sebagai single agent, terutama obat
yang mempunyai complete remission.
b. Obat dengan mekanisme kerja yang berbeda untuk menghindari efek aditif atau
sinergis.
c. Obat dengan toksisitas yang berbeda untuk mendapatkan dosis yang maksimal
atau mendekati maksimal.
d. Obat harus digunakan pada dosis optimal dan sesuai schedule.
e. Obat harus diberikan pada interval yang konsisten.
f. Obat mempunyai pola resistensi yang berbeda harus dikombinasi untuk
meminimalkan resistensi silang.
6. Regimen Obat Kemoterapi Kanker Nasofaring.
Menurut (Kentjono, 2003) Beberapa sitostatika telah mendapat rekomendasi dari
FDA (Amerika) untuk digunakan pada keganasan didaerah kepala dan leher termasuk
karsinoma nasofaring yaitu Cisplatin, Carboplatin, Methotrexate, 5-Fluorouracil,
Bleomycin, Hydroxyurea, Doxorubicin, Cyclophosphamide, Docetaxel, Mitomycin-
C, Vincristine dan Paclitaxel.
22
Berikut ini beberapa contoh regimen kemoterapi (cisplatin base chemotherapy) yang
dapat digunakan untuk keganasan didaerah kepala leher :
a. Bleomycin / Methotrexate / Cisplatin (BMC).
Bleomycin 10 units, IM, hari ke 1,8 dan 15.
MTX 40 mg/m2, IM, hari ke 1 dan 15.
Cisplatin 50 mg/m2 intravenous pada hari ke 4. Diulang tiap 21 hari.
b. Cisplatin / Mcthotrexate / Blcoraycin / Vincristine (CMBV)
Cisplatin SO mg/m2, IV, hari ke 4.
MTX40 mg/m2, IV, hari 1 dan 15.
Bleomycin 10 units, IV hari ke 1, 6 dan 15.
Vincristine 2 mg, IV, hari 1, 8 dan 15.
Diulang tiap 3 minggu.
c. Carboplatine / Fluorouracil.
Carboplatin 300 mg/m2, IV, hari ke 1.
5-Fluorouracil 1000 mg/m2/hari, diberikan melalui infus kontinu sampai 96 jam
Diulang tiap 28 hari.
d. Cisplatin / Fluorouracil.
Cisplatin 100 mg/m2, IV, hari ke 1.
5-FIuorouracil 1000 mg/m2 /hari, diberikan melalui infus kontinu sampai 96 jam.
Diulang tiap 3 minggu.
e. Cisplatin / Fluorouracil / Bleomycin / Mcthotrexate (CFBM)
Cisplatin 80 mg/m2 yang diberikan melalui infus kontinu pada hari ke 1.
5-Fluorouracil 1000 mg/m2 /hari, diberikan melalui infus kontinu sampai 96 jam.
Bleomycyn 15 unit, IV, hari ke 1.
MTX 100 mg/m2, IV, diberikan pada hari ke 16.
Leucovorin 15 mg peroral tiap 6 jam yang diberikan scbanyak 6 kali, dimulai 24
jam setelah pemberian MTX.
Diulang tiap 3-4 minggu.
f. Cisplatin / Bleomycin / Fluorouracil (PBF).
Cisplatin 100 mg/m2, IV, hari ke 1.
Bleomycin 15 unit bolus IV hari ke 1, dan 16 unit/m2/hari melalui infus kontinu
yang diberikan pada hari ke 1 sampai hari ke 5.
5-Fluorouracil 650 mg/m2/hari, diberikan melalui infus kontinu hari ke 1-5.
Diberikan sebanyak 3 siklus dengan interval 1 bulan.
23
g. Paclitaxel / Cisplatin
Paclitaxel 200 mg/m2, diberikan IV lebih dari 3 jam pada hari ke 1.
Cisplatin 75 atau 100 mg/m2, diberikan IV lebih dari 1 jam pada hari ke 1.
Untuk mencegah kemungkinan terjadinya neutropenia dan neurotoksik, diberikan
G-CSF 5 mg/kg, subkutan pada hari ke 4 sampai 12.
Diulang tiap 3 minggu.
h. Cisplatin / Fluorouracil / Lcucovorin (PFL)
Cispiatin 25 mg/m2/hari, IV kontinus, hari ke 1 sampai 5.
5-Fluorouracil 800 mg/m2/hari, IV kontinus, hari ke 2 - 6.
Leucovorin 500 mg/m2/hari, IV kontinus, hari ke 1 - 6.
Diulang tiap 28hari
i. Vinorelibine / Cisplatin
Cisplatin 80 mg/m2, IV, hari ke 1.
Vinorelbine 25 mg/m2, IV, hari ke 1 dan hari ke 8.
Cisplatin diberikan dalam waktu lebih dari 90 menit. Sebelum penyuntikan
Cisplatin dilakukan prehydration, posthydration dan pemberian antiemetik.
j. Simultaneous Fluorouracil / Cisplatin / Radiation.
5-FIuorouracil 1000 rag/m2/hari, diberikan melalui infus selama 96 jam.
Cisplatin 75 mg/m2, IV hari 1. Bersamaan dengan radiasi sebanyak 3000 cGy
dibagi dalam 15 fraksi antara hari 1 dan 19 sebagai bagian dari regimen ini
Diulang setiap 4 sampai 6 minggu. Regimen kemoterapi lainnya adalah kombinasi
Gemcitabine/Cisplatin. Gemcitabine 800 mg/m2 diberikan hari 1, 8 dan 15.
Sedangkan Cisplatin 50
7. Mekanisme Kerja Obat Kemoterapi.
Menurut (Kartikawati, 2014) kebanyakan obat anti neoplasma yang secara klinis
bermanfaat, agaknya bekerja dengan menghambat sintesis enzim maupun bahan
esensial untuk sintesis dan atau fungsi asam nukleat. Berdasarkan mekanisme cara
kerja obat , zat yang berguna pada tumor kepala leher dibagi sebagai berikut :
a. Antimetabolit, Obat ini menghambat biosintesis purin atau pirimidin. Sebagai
contoh MTX, menghambat pembentukan folat tereduksi, yang dibutuhkan untuk
sintesis timidin.
b. Obat yang mengganggu struktur atau fungsi molekul DNA. Zat pengalkil seperti
CTX ( Cyclophosphamide) mengubah struktur DNA, dengan demikian menahan
replikasi sel.
24
Beberapa gejala dari neuropati perifer yaitu numbness dan tingling (merasa seperti
tertusuk peniti atau kesemutan) pada tangan dan kaki, nyeri pada ekstremitas, mati
rasa, dan bisa juga menyebabkan ileus paralitik seperti kesulitan dalam menelan.
d. Efek samping pada sistem Kardiopulmonal.
Beberapa obat kemoterapi seperti daunorubicin dan doxorubicin diketahui dapat
menyebabkan penumpukan cardiac toxicity yang bersifat irreversible, terutama
ketika total dosis mencapai 550mg/m2. Cardiac ejection fraction (volume darah
yang dikeluarkan oleh jantung setiap satu detakan) dan tanda dari CHF harus
diobservasi secara mendalam. Bleomycin, carmustin (BCNU) dan busulfan
diketahui dapat berefek racun pada paru-paru jika terakumulasi. Pulmonary
fibrosis dapat terjadi karena efek jangka panjang dari agen ini. Oleh karena itu
pasien harus dimonitor perubahan fungsi paru-paru, termasuk hasil fungsi paru-
paru. Total kumulatif dosis dari bleomycin tidak lebih dari 400 unit.
e. Efek samping lainnya.
Obat kemoterapi juga berpengaruh terhadap sistem reproduksi, yaitu fungsi
testiskular dan ovarium yang berakibat kemungkinan terjadi sterilitas. Pada pasien
wanita akan mengalami menopause dini, sedangkan pada pasien pria akan
mengalami azoosperma (tidak adanya spermatozoa) terjadi secara temporer atau
permanen. Obat kemoterapi juga dapat merusak ginjal karena mempunyai efek
langsung terhadap sistem ekskresi. Oleh sebab itu, diperlukan pemeriksaan fungsi
ginjal secara rutin untuk menghindari adanya kerusakan pada ginjal (Febriani,
2014).
C. Teori Asuhan Keperawatan Kanker Nasofaring
Menurut (Manurung, 2011) proses keperawatan teridiri dari lima tahap, yaitu :
1. Pengkajian
a. Identitas klien
Kaji identitas klien, nama, umur, jenis kelamin, pekerjaan, agama, tanggal masuk
rumah sakit, diagnosa medis tentang penyakit yang diderita serta alamat klien.
b. Riwayat kesehatan.
1) Alasan datang ke rumah sakit
Klien datang dengan rencana operasi, kemoterapi, radiasi, atau perbaikan
kondisi umum.
2) Keluhan utama.
Terdapatnya benjolan berupa tumor ganas daerah kepala dan leher.
26
9) Sosialisasi.
Komunikasi antar dan inter keluarga, kegiatan di dalam masyarakat.
c. Pemeriksaan Fisik
1) Inspeksi : Wajah, mata, rongga mulut dan leher.
2) Pemeriksaan THT:
a) Otoskopi : Liang telinga, membran timpani.
b) Rinoskopia anterior :
Pada tumor endofilik tak jelas kelainan di rongga hidung, mungkin
hanya banyak sekret.
Pada tumor eksofilik, tampak tumor di bagian belakang rongga hidung,
tertutup sekret mukopurulen, fenomena palatum mole negatif.
c) Rinoskopia posterior :
27
Pada tumor indofilik tak terlihat masa, mukosa nasofaring tampak agak
menonjol, tak rata dan paskularisasi meningkat.
Pada tumor eksofilik tampak masa kemerahan.
d) Faringoskopi dan laringoskopi.
Kadang faring menyempit karena penebalan jaringan retrofaring; reflek
muntah dapat menghilang.
X – foto : tengkorak lateral, dasar tengkorak, CT Scan.
d. Pola kebiasaan kegiatan hidup
1) Pola Persepsi Kesehatan manajemen Kesehatan.
Tanyakan pada klien bagaimana pandangannya tentang penyakit yang
dideritanya dan pentingnya kesehatan bagi klien? Biasanya klien yang datang
ke rumah sakit sudah mengalami gejala pada stadium lanjut, klien biasanya
kurang mengetahui penyebab terjadinya serta penanganannya dengan cepat.
2) Pola Nutrisi Metabolik.
Kaji kebiasaan diit buruk ( rendah serat, aditif, bahan pengawet), anoreksia,
mual/muntah, mulut rasa kering, intoleransi makanan,perubahan berat badan,
perubahan kelembaban/turgor kulit. Biasanya klien akan mengalami
penurunan berat badan akibat inflamasi penyakit dan proses pengobatan
kanker.
3) Pola Eliminasi
Kaji bagaimana pola defekasi konstipasi atau diare, perubahan eliminasi urin,
perubahan bising usus, distensi abdomen. Biasanya klien tidak mengalami
gangguan eliminasi.
4) Pola aktivas latihan.
Kaji bagaimana klien menjalani aktivitas sehari-hari. Biasanya klien
mengalami kelemahan atau keletihan akibat inflamasi penyakit.
5) Pola istirahat tidur
Kaji perubahan pola tidur klien selama sehat dan sakit, berapa lama klien tidur
dalam sehari? Biasanya klien mengalami perubahan pada pola istirahat;
adanya faktor-faktor yang mempengaruhi tidur seperti nyeri, ansietas.
6) Pola kognitif persepsi.
28
5. Evaluasi.
Menurut (Suara, 2011) evaluasi adalah tahap akhir dari proses keperawatan. Namun,
evaluasi dapat dilakukan pada setiap tahap dari proses keperawatan. Evaluasi
mengacu pada penilaian, tahapan, dan perbaikan. Pada tahap ini perawat menemukan
penyebab mengapa suatu proses keperawatan dapat berhasil atau gagal.
D. Teori Asuhan Kepereawatan dengan kemoterapi.
Menurut (Faoji, 2015) teori asuhan keperawatan dengan kemoterapi.
1. Perawatan pra kemo.
a. Persiapan pasien.
1) Diagnosa keganasan telah ditegakkan oleh dokter onkologi.
2) Sudah ada hasil PA yang menunjukkan keganasan.
32
3) Selama 2x24 jam setelah kemo, semua sekresi dari tubuh pasien masih
mengandung obat, karena itu perlu diingatkan orang disekitarnya, saat BAK
harus diguyur sampai bersih min 2x
4) Ingatkan pasien untuk jadwal kemoterapi selanjutnya dan beri motivasi agar
pasien tetap semangat.
BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN TN.Y
A. Pengkajian Awal.
1. Data Pasien
a. Nama pasien : Tn.Y
b. No. MR : 223892
c. Tanggal Lahir : 13-03-1970
d. Ruangan : Anggrek 2/lantai 7
e. Tanggal pengkajian : 28-07-2017
35
e. Genogram 35
+ + + +
4. Pemeriksaan.
Tanda-tanda vital: TD: 130/80 mmHG N: 98 x/menit S: 36° C P: 20 x/menit
36
d. Sirkulasi.
1) Keluhan : tidak ada keluhan.
2) Pengkajian sirkulasi.
a) Hidung : normal, tidak ada secret.
b) Dada : normal; tidak ada benjolan/tumor; tidak ada luka, krepitasi sub
kutis, pelebaran vena kolateral, dan retraksi dada.
c) Jantung : irama nadi teratur.
d) Paru : vesikuler; tidak ada ronkhi dan wheezing.
e) Perdarahan : tidak ada perdarahan.
f) Turgor : turgor kulit baik.
g) Oedema : tidak ada oedema pada ekstremitas atas dan bawah.
38
b. Protokol kemoterapi.
- Kemoterapi yang diberikan cisplatin 75mg/m2 (1 hari), doxetaxel 75mg/m 2 (1
hari), 5-FU 1000mg/m2 (4 hari berturut – turut).
- Merupakan kemoterapi siklus ke IV.
c. Tanda – tanda vital.
TD: 130/80 mmHG N: 98 x/menit S: 36° C P: 20 x/menit dan tidak ada
nyeri.
d. Pemeriksaan penunjang.
Hasil laboratorium pada tanggal 26-07-2017 (hb : 10,5 g/dL, leukosit : 20,8
103/µL, trombosit : 359 103/µL, kreatinin: 1,27 mg/dL; eGFR: 64,61
41
4. Pemeriksaan fisik.
a. Mata : tidak ada kelainan.
b. Mulut dan gigi : tidak ada kelainan.
c. Leher : tidak ada kelainan
d. Dada : tidak ada kelainan
e. Abdomen : tidak ada kelainan
f. Ekstrimitas : tidak ada kelainan
g. Kulit : tidak ada kelainan
h. Insersi vena : vena perifer pada daerah tangan kanan
C. Penatalaksanaan Medis
42
Pada tanggal 28-07-2017 pasien dilakukan pemasangan infus untuk persiapan IV line
kemoterapi dan untuk hidrasi sebelum kemoterapi. Pada tanggal 29-07-2017 pasien
dilakukan kemoterapi dengan protokol kemoterapi yang diberikan cisplatin 75mg/m 2 (1
hari), doxetaxel 75mg/m2 (1 hari), 5-FU 1000mg/m2 (4 hari berturut – turut). Line infuse
kemoterapi tidak ada masalah seperti kemrahan, nyeri, extravasasi, infuse rembes, dan
cek blood return ada. Pasien mulai mengeluh rasa mual setelah diberikan obat 5-FU
1000mg/m2 untuk diberikan selama 22 jam.
E. Data Fokus
No Data Subjektif Data Objektif
1. Pasien mengatakan ini kemo keempat, dan takut efek 1. TTV: TD 130 mmHG,
43
F. Analisa Data
No. Data Masalah Keperawatan Etiologi
1. DS : Cemas Pertumbuhan kanker
Pasien mengatakan ini kemo pada nasofaring
keempat, dan takut efek
kemoterapi yang sekarang sama Tampak benjolan dileher
dengan kemoterapi yang ketiga.
DO : Perasaan tidak nyaman
- TTV: TD 130 mmHG, Nadi 98 terhadap perubahan
x/menit kesehatan
- Raut wajah pasien terlihat
cemas Ansietas/cemas
45
Hari/ tanggal : Jum’at, 28-07-2017 Ruang : Anggrek 2
46
46
Hari/ tanggal : Jum’at, 29-07-2017 Ruang : Anggrek 2
Diagnosa keperawatan Kriteria Hasil (NOC) Intervensi (NIC)
47
Mual berhubungan dengan efek terapi Tujuan : 1. Pantau nutrisi dan cairan yang di
kemoterapi Setelah dilakukan tindakan keperawatan konsumsi
DS : selama 4x24 jam pasien tidak mual 2. Jelaskan penyebab mual
Pasien mengatakan ada sedikit mual dengan criteria hasil : 3. Ajarkan untuk makan secara perlahan
setelah kemoterapi sejak mulai masuk 1. Mual tidak ada 4. Ajarkan untuk melakukan perawatan
obat yang waktunya habis 22 jam 2. Nafsu makan membaik. mulut.
3. Status nutrisi membaik. 5. Pimdahkan benda yang menimbulkan
DO :
bau.
- Pasien tampak tidak napsu makan
6. Tinggikan bagian kepala saat makan
- Makan yang diberikan hanya
dan setelah makan.
dihabiskan ½ porsi dan minum sedikit
7. Berikan makanan yang disukai
- Pasien tampak sedikit lelah.
8. Kolaborasi dalam pemberian terapi
antiemetic (ondan 4x8mg) dan therapi
cairan nacl 500/ 6 jam.
47
Hari/ tanggal : Sabtu, 29-07-2017 Ruang : Anggrek 2
Diagnosa keperawatan Kriteria Hasil (NOC) Intervensi (NIC)
Resiko gangguan integritas kulit Tujuan : 1. Monitor kelancaran infus.
48
berhubungan dengan ekstravasasi. Setelah dilakukan tindakan keperawatan 2. Jelaskan tanda ekstravasasi.
DS : selama 4x24 tidak terjadi extravasasi 3. Lakukan aspirasi.
Pasien mengatakan infuse tidak terasa dengan criteria hasil : 4. Lakukan pengecekan vena “blood
sakit atau terasa seperti terbakar. 1. Tidak ada tanda kemerahan. return).
2. Tidak mengeluh nyeri, panas di 5. Lakukan manajemen penanganan
DO :
daerah penusukan infus. ekstravasasi.
- Terpasang kemoterapi lewat infus
6. Kolaborasi pemberian terapi analgetik
- Blood return ada.
dan perawatan luka oleh tim luka.
- Tanda kemerahan tidak ada
- Infus tidak bengkak
48
H. Implementasi dan Evaluasi
Diagnosa Keperawatan Tanggal/Jam Implementasi Evaluasi
49
49
Diagnosa Keperawatan Tanggal/Jam Implementasi Evaluasi
Resiko infeksi berhubungan dengan 29-07-2017
penyakit kronis dan prosedur 14.15 1. Memonitor tanda dan gejala infeksi. S : pasien mengatakan infus tidak ada
50
50
Diagnosa Keperawatan Tanggal/Jam Implementasi Evaluasi
Resiko infeksi berhubungan dengan 30-07-2017
penyakit kronis dan prosedur 14.30 1. Memonitor tanda dan gejala infeksi. S : pasien mengatakan infus tidak ada
51
51
Mual berhubungan dengan efek 30-07-2017 S : pasien mengatakan mual berkurang.
terapi kemoterapi. 14.30 1. Memantau nutrisi dan cairan yang O : minum kurang lebih 500 cc,
dikonsumsi. makanan dihabiskan ½ porsi, posisi
52
52
kemoterapi sampai jam 12.30
(01/08/2017)
A : ektravasasi tidak terjadi.
P : lanjutkan intervensi (1,3,4,5,6)
Mual berhubungan dengan efek 31-07-2017
53
terapi kemoterapi. 14.30 1. Memantau nutrisi dan cairan yang S : pasien mengatakan mual sudah
dikonsumsi. berkurang.
18.00 2. Kolaborasi dalam pemberian therapy O : minum kurang lebih 500 cc,
anti emetik ( injeksi ondan 4 x 8 mg ). makanan dihabiskan ½ porsi, posisi
duduk fowler, hipersaliva berkurang .
A : masalah teratasi sebagian.
P : intervensi dilanjutkan (1,8).
53
berhubungan dengan ekstravasasi. 09.15 1. Memonitor kelancaran infus. S : pasien mengatakan infus tidak terasa
2. Melakukan aspirasi dan cek vena nyeri.
dengan blood return . O : tidak tampak kemerahan, tidak nyeri
12.30 3. Memberikan kemoterapi hari keempat pada daerah penusukan infus, terpasang
kemoterapi sampai jam 10.30
54
(02/08/2017)
A : ektravasasi tidak terjadi.
P : lanjutkan intervensi (1,3,4,5,6)
54
Diagnosa Keperawatan Tanggal/Jam Implementasi Evaluasi
Resiko infeksi berhubungan dengan 02-08-2017
penyakit kronis dan prosedur 09.15 1. Memonitor tanda dan gejala infeksi. S : pasien mengatakan infus dilepas
invasife. 10.00 2. Melakukan pemeriksaan tanda – sekarang.
tanda vital. O : infus dilepas, tidak ada tanda gejala
10.30 3. Membilas kemoterapi. infeksi, suhu : 36,4
55
55
Mual berhubungan dengan efek 02-08-2017
terapi kemoterapi. 09.15 1. Memantau nutrisi dan cairan yang S : pasien mengatakan mual hilang
dikonsumsi. timbul..
12.00 2. Kolaborasi dalam pemberian therapy O : minum kurang lebih 450 cc,
anti emetik ( injeksi ondan 4 x 8 mg ). makanan dihabiskan 1 porsi, hipersaliva
56
minimal.
A : masalah teratasi sebagian.
P : intervensi dihentikan, pasien pulang.
56
57
I. Discharge Planning
Nama pasien : Tn.Y Tanggal masuk : 28-07-2017
No. MR : 223892 Tanggal Keluar : 02-08-217
Jenis Kelamin : Laki - laki Ruangan : Anggrek 2
Tanggal Lahir : 13-03-1970 Diagnosis : KNF
Kegiatan Uraian
1. Aktivitas
a. Jenis aktivitas yang boleh a. Kurangi aktivitas yang berat dan perbanyak
dilakukan. istirhat.
b. Alat bantu yang digunakan. b. Tidak ada.
2. Edukasi Kesehatan
a. Jadwal control a. Selasa (11-08-2017)
b. Pemeriksaan laboratorium lanjutan b. Diberikan setelah kntrol hari selasa (11-08-
2017)
c. Pencegahan terhadap kekambuhan c. Minum obat secara teratur
1. Perawatan Dirumah
a. Kenali tanda dan gejala yang perlu a. Muntah, diare dan nafsu makan yang
dilaporkan berkurang
b. Pengobatan/ tindakan yang dapat b. Minum air puith yang cukup, makan sedikit
dilakukan dirumah sebelum ke tapi sering, hindari makanan yang berbau
rumah sakit. menyengat.
c. Rencana tindakan/ pengobatan c. Minum secara teratur yang didapat dari dokter
yang dilanjutkan dirumah dan control sesuai jadwal yang sudah
ditentukan
2. Diet Hindari makanan yang pedas dan bahan
berpengawet
3. Rincian pemulangan
a. Tanggal pemulangan a. Minggu (02-08-2017)
b. Pendamping/ care giver b. Pendamping istri pasien
c. Tempat pemulangan/tujukan c. Rumah pribadi
d. Transportasi yang digunakan d. Kendaraan pribadi
e. Keadaan umum saat pemulangan e. Keadaan umum baik
4. Obat –obatan yang dibawa pulang Ondansetron tablet 4x8mg dan lansoprazol 2x1
BAB 4
PEMBAHASAN
58
Setelah penulis melakukan asuhan keprawatan pada Tn. Y dengan diagnosa medis
KNF dengan program kemoterapi diruang Anggrek 2 Rs Kanker Dharmasi pada tanggal 28-
07-2017 sampai dengan tanggal 02-08-2017 maka penulis akan membahas kesenjangan
antara teori dan kasus berdasarkan proses keperawatan yaitu pengkajian, diagnosa
keperawatan, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi.
A. Pengkajian
Pada teori, kanker nasofaring merupakan keganasan yang muncul pada daerah
nasofaring yang ditandai dengan gejala epsitaksi ringan, sumbatan hidung dan pilek. Pada
daerah telinga timbul gejala berupa tinnitus, berdenging sampai rasa nyeri ditelinga. Pada
daerah mata penglihatan terjadi gejala diplopia yaitu penglihatan ganda. Kemudian
metastasis ke kelnjar leher dalam bentuk benjolan dileher. Tetapi pada kasus Tn.Y pada
saat pengkajian tidak ditemukan tanda dan gejala seperti epistaksis, hidung tersumbat,
pilek, telinga berdenging, benjolan dileher, nyeri, penglihatn diplopia. Kesenjangan teori
dan kasu tn.Y ini terjadi karena pada saat pengkajian pasien sudah dilakukan pengobatan
kemoterapi sebanyak 3 kali sehingga tanda dan gejala yang disebutkan diatas tidak
muncul.
Pada tahap pengkajian penulis tidak mengalami kendala atau hambatan yang
berarti. Dan faktor pendukung penulis dalam pengkajian adalah pasien dan keluarga
sangat kooperatif dalam menjawab dan menjelaskan keterangan yang dibutuhkan oleh
penulis. Alat untuk melakukan pemriksaan fisik terhadap pasien sudah cukup memadai.
B. Diagnosa Keperawatan
Pada pengkajian kasus Tn.Y didapatkan 4 diagnosa keperawatan berdasarkan
prioritas maslah yang diurutkan oleh penulis. diagnosa yang pertama adalah cemas
berhubungan dengan perubahan status peran, status kesehatan, pola interaksi. Yang kedua
adalah resiko infeksi berhubungan dengan penyakit kronis dan prosedur invasife. Untuk
diagnosa ketiga dan keempat dirumuskan setelah pasien diberikan kemoteapi yaitu mual
berhubungan dengan efek terapi kemoterapi dan resiko gangguan integritas kulit
berhubungan dengan ekstravasasi.
Diagnosa pertama cemas berhubungan dengan perubahan status peran, status
kesehatan, pola interaksi. Pengertian cemas adalah perasaan tidak nyaman atau
kekhawatiran yang samar disertai respon autonom (sumber sering kali tidak spesifik atau
tidak diketahui oleh individu) (Wilkinson, 2012). Data subjektif yang diperoleh yaitu :
58
59
pasien mengatakan ini kemo keempat, dan takut efek kemoterapi yang sekarang sama
dengan kemoterapi yang ketiga. Data objektif yang diperoleh yaitu : TTV: TD 130
mmHG, Nadi 98 x/menit, Raut wajah pasien terlihat cemas.
Diagnosa kedua resiko infeksi berhubungan dengan penyakit kronis dan prosedur
invasife. Pengertian resiko infeksi adalah sesuatu yang beresiko terhadap invasi organime
pathogen (Wilkinson, 2012). Data subjektif yang diperoleh : pasien mengakatan tidak
terasa nyeri pada daerah penusukan infuse. Data objektif yang diperoleh : terpasang infus
ditangan kanan, Leukosit : 20,8 103/µL, mampu melakukan hygiene personal secara
mandiri, tidak ada tanda infeksi.
Diagnosa ketiga mual berhubungan dengan efek terapi kemoterapi. Pengertian
mual adalah perasaan subjektif seperti gelombang yang tidak menyenangkan dibelakang
tenggorok, epigastrium, atau abdomen yang dapat mendorong keinginan untuk muntah
(Wlkinson, 2012). Data subjektif yang diperoleh adalah : pasien mengatakan ada sedikit
mual setelah kemoterapi sejak mulai masuk obat yang waktunya habis 22 jam. Data
objektif yang diperoleh : pasien tampak tidak napsu makan, makan yang diberikan hanya
dihabiskan ½ porsi dan minum sedikit, pasien tampak sedikit lelah.
Diagnosa keempat Resiko gangguan integritas kulit berhubungan dengan
ekstravasasi. Resiko kerusakan integritas kulit adalah kulit yang beresiko terhadap
kerusakan (Wilkinson, 2012). Data subjektif yang diperoleh yaitu : pasien mengatakan
infuse tidak terasa sakit atau terasa seperti terbakar. Data objektif yang diperoleh yaitu :
terpasang kemoterapi lewat infuse, blood return ada, tanda kemerahan tidak ada, infus
tidak bengkak
Dalam perumusan diagnosa penulis tidak menemukan hambatan yang berarti.
Dikarenakan pasien dan keluarga sangat kooperatif dan menggerti tentang penyakit serta
pengobatan yang akan dilakukan.
C. Perencanaan Keperawatan.
Intervensi utama NIC merupakan intervensi yang dijumpai dalam nursing
diagnosa, outcome, intervention. Sedangkan intervensi prioritas NIC merupakan prioritas
merupakan intervensi yang dikembangkan berdasarkan penetitian yang dilakukan oleh
tim lowa intervention project sebagai penanganan pilihan untuk diagnosis keperawatan
tertentu (Wilkinson, 2012).
Rencana keperawatan pada diagnosa yang pertama (cemas) adalah kaji tingkat
kecemaasan dan reaksi fisik terhadap kecemasan ( takikardi, non verbal menunjukkan
cemas), motivasi pasien untuk ungkapkan perasaan identifikasi kebutuhan, ketidaktahuan
60
dan pertanyaan, bantu pasien untuk menfokuskan pada situasi saat ini, berikan penguatan
positif, ciptakan lingkungan yang tenang, kolaborasi dalam pemberian terapi untuk
menurunkan cemas.
Rencana keperawatan pada diagnosa yang kedua (resiko infeksi) adalah monitor
tanda dan gejala infeksi, amati hygiene personal, jelaskan tentang tanda dan gejala
infeksi, pertahankan lingkungan yang bersih dan aman dari infeksi, perhatikan tehnik
aseptic, lakukan perawatan area pemasangan alat invasive tiap 3 hari, kolaborasi dalam
pemberian therapy antibiotic dan pemeriksaan laboratorium.
Rencana keperawatan pada diagnosa yang ketiga (mual) pantau nutrisi dan cairan
yang di konsumsi, ajarkan untuk makan secara perlahan, ajarkan untuk melakukan
perawatan mulut, pindahkan benda yang menimbulkan bau, tinggikan bagian kepala saat
makan dan setelah makan, berikan makanan yang disukai, kolaborasi dalam pemberian
terapi antiemetic (ondan 4x8mg) dan therapi cairan nacl 500/ 6 jam.
Rencana keperawatan pada diagnosa yang keempat (resiko ekstravasasi) monitor
kelancaran infuse, jelaskan tanda ekstravasasi, lakukan aspirasi, lakukan pengecekan vena
“blood return), lakukan manajemen penanganan ekstravasasi, kolaborasi pemberian terapi
analgetik dan perawatan luka oleh tim luka.
adalah Pada penyusuna perencanaan keperawatan tidak ada hambatan. Faktor
pendukung dalam penyusunan perencanaan adalah penulis dapat bekerja sama dengan
perawat lain. Pasien dan keluarga kooperatif dengan penulis. Selain itu dalam penyusunan
perencanaan keperawatan sudah disediakan form perencanaan keperawatan sesuai dengan
diganosa keprawatan sehingga penulis atau perawat tinggal mengisi atau memilih sesuai
dengan kolom yang sudah ada pada form tersebut.
D. Implementasi.
Implementasi adalah melaksanakan intervensi keperawatan dan aktivitas
keperewatan yang telah dituliskan dalam rencana keperawatan (Manurung, 2011).
Implementasi diagnosa yang pertama (cemas) mengkaji tingkat kecemasan,
memotivasi pasien untuk mengungkapkan perasaan, membantu pasien untuk fokus pada
situasi saat ini, melakukan pemeriksaan tanda – tanda vital, menciptakan lingkungan yang
tenang.
Implemnatasi diagnosa yang kedua (resiko infeksi) memonitor tanda dan gejala
infeksi, mengamati hygiene personal, memperhatikan tehnik aspetik, melakukan
pemasangan infuse, menjelaskan tanda dan gejala infeksi, mempertahankan lingkungan
yang bersih.
61
Implemnatasi diagnosa yang ketiga (mual) memantau nutrisi dan cairan yang
dikonsumsi, menjelaskan penyebab mual, melakukan kolaborasi dalam pemberian
therapy anti emetik ( injeksi ondan 4 x 8 mg ), mengajarkan untuk melakukan perawatn
mulut, mengajarkan untuk makan sedikit tapi sering, memindahkan benda yang
menimbulkan bau, meninggikan bagian kepala saat makan dan setelah makan.
Implemnatasi diagnosa yang keempat (resiko ekstaravasasi) memonitor
kelancaran infuse, melakukan aspirasi dan cek vena dengan blood return, menjelaskan
tanda ekstravasasi, memberikan obat kemoterapi.
Faktor penghambat dalam implementasi adalah pada saat melakukan kolaborasi
dokter dalam pemberian obat kemoterapi, obat kemoterapi datang dari ruang produksi ke
ruang rawat terlalu lama, sehingga kemungkinan pemberian obat kemoterapi diberikan
malam hari yang beresiko tinggi terjadi kesalahan. Petugas atau perawat yang meberikan
obat kemoterapi masih banyak yang belum mendapatkan pelatihan kemoterapi.
Faktor pendukung pencampuran obat kemoterapi ada ruang tersendiri. Mampu
bekerja sama dengan sesame perawat dan unit lainnya. Peralatan yang cukup memadai.
Pasien dan keluarga sangat kooperatif dan patuh terhadap instruksi perawat dan dokter.
E. Evaluasi.
Evaluasi mengacu pada penilaian, tahapan, dan perbaikan. Pada tahap ini perawat
menemukan penyebab mengapa suatu proses keperawatan dapat berhasil atau gagal
(Manurung, 2011).
Evaluasi pada diagnosa cemas yang dilakukan pada tanggal 28-07-2017
didapatkan bahwa masalah dapat teratasi. Untuk evaluasi diagnosa resiko infeksi dan
resiko ekstravasasi yang dilakukan pada tanggal 28-07-2017 sampai dengan 02-08-2017
didapatkan bahwa masalah teratasi dan masalah tidak menjadi actual. Sedangkan untuk
evaluasi diagnosa mual yang dilakukan pada tanggal 28-07-2017 sampai dengan 02-08-
2017 didapatkan bahwa masalah belum teratasi sehingga untuk diagnosa mual dilakukan
edukasi pada saat pasien pulang. Faktor penghambat pada evaluasi yang belum teratasi
dikarenakan efek kemoterapi yang sedang terjadi pasien. Faktor pendukung pada evaluasi
yang teratsi adalah kerjasama yang baik antara penulis dengan perawat lain, keterampilan
perawat yang mumpuni dan sarana dan prasana yang cukup memadai.
BAB 5
PENUTUP
62
A. Kesimpulan.
Setelah penulis melakukan asuhan keperawatan kepada tn.Y dengan kanker
nasofaring di ruang Anggrek 2 Rs Kanker Dharmais yang dilakukan pada tanggal 28-07-
2017 sampai dengan 02-08-2017 maka penulis menarik kesimpulan
1. Pengkajian.
Pada pengkajian pasien tn.Y diperoleh data pasien datang kerumah sakit rencana
kemoterapi yang ke IV. Pasien tidak menglami keluhan, keluhan seperti muntah,
diare, sariawan terjadi setelah dilakukan kemoterapi yang ketiga. Pasien dalam
melakukan aktifitas tidak ada hambatan. Pemeriksaan penunjang pasien adalah
sebagai berikut :
a. Hasil laboratorium pada tanggal 26-07-2017 (hb : 10,5 g/dL, leukosit : 20,8
103/µL, trombosit : 359 103/µL, kreatinin: 1,27 mg/dL; eGFR: 64,61
mL/menit/1,73 m2) .
b. Hasil msct nasofaring pada tanggal 10-03-2017 (kesan : neoplasma maligna
palatum mole berukuran 3,6 x 3,3 x 3,4 cm meluas keposterior menyempitkan
lumen orofaring, meluas kelateral, menginfiltrasi m.tensor dan levator velli
palatine kanan kiri, fosa pterygopalatina kanan, mendetruksi basis crania/ basal
sinus sphenoid sisi kanan, meluas kesinus sphenoid kanan kiri disertai
limfadenopati jugularis kanan kiri dengan ukuran terbesar 1,77x1,39 cm di jugular
kanan).
2. Diagnosa keperawatan.
Ada kesenjangan antara teori dan kasus tetapi pada tinjaun kasus diperoleh 4 diagnosa
keperawatan berdasarkan prioritas masalah yaitu :
a. Cemas berhubungan dengan perubahan status peran, status kesehatan, pola
interaksi.
b. Resiko infeksi berhubungan dengan penyakit kronis dan prosedur invasife.
c. Mual berhubungan dengan efek terapi kemoterapi.
d. Resiko gangguan integritas kulit berhubungan dengan ekstravasasi.
3. Perencanaan Keperawatan
Perencanaan keperawatan yang disusun62meliputi pantau tanda – tanda vital, ciptakan
lingkungan yang nyaman, pantau hygine personal, pertahankan tehnik aseptic, pantau
blood return, lakukan aspirasi, anjurkan makan secara perlahan, tinggikan kepala
63
sebelum dan sesudah makan, berikan makanan yang disukai, kolaborasi dalam
pemberian terapi antiemetic (ondan 4x8mg) dan cairan infuse (nacl 500cc/ 6 jam).
4. Implementasi.
Implementasi yang dilakukan sesuai dengan perencanaan keperawatan yang sudah
dibuat berdasarkan prioritas masalah pada tinjauan kasus.
5. Evaluasi.
Evaluasi pada tanggal 28-07-2017 sampai dengan 02-08-2017 diperoleh :
Masalah yang teratasi sebanyak 3 diagnosa keperawatan dan masalah yang belum
teratasi sebanyak 1 diagnosa keperawatan.
B. Saran.
1. Bagi perawat
a. Meningkat kualitas dan kuantitas dalam meberikan asuhan keprawatan pada
pasien dengan membaca buku, mengikuti seminar atau pelatihan.
b. Melakukan perawatn sesuai SOP yang berlaku.
c. Selalu melibatkan keluarga dalam proses memberikan asuhan keperawatan.
2. Bagi Institusi Bidang/ Komite keperawatan
a. Mengadakan penyegaran materi seperti FIG persiapan pengobatan kanker
nasofaring (radioterapi, kemoterapi, operasi) secara rutin untuk perawat.
b. Mengadakan pelatihan kemoterapi terhadap perawat agar lebih kompeten dalam
memberikan kemoterapi terhadap pasien kanker nasofaring.
3. Bagi Rumah Sakit
a. Melengkapi sarana dan prasarana dalam memberikan kemoterapi agar disediakan
dalam satu tempat agar dalam memberikan kemoterapi lebih aman dan waktunya
lebih efisien.
b. Memperbaiki system manajemen rumah sakit, sehingga mempermudah proses
keperawatan.
DAFTAR PUSTAKA
Smeltzer, Suzanne C & Brenda. (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Brunner
& Suddarth. Jakarta : EGC
Suara, mayhyar, Ermawati, Rochimah, Een, dan Rusmiyati. (2010). Konsep Dasar
Keperawatan. Jakarta : Trans Info Media
Wilkinson, Judith M. (2012). Diagnosis Keperawatan Nanda NIC NOC. Jakarta : EGC
Nuryadin, Irwan. (2012). Profil Imunopositivitas Protein EBV pada Penderita Karsinoma
Nasofaring dan Individu Sehat Beresiko.Laporan Akhir Hasil Penelitian Karya
Tulis Ilmiah. Semarang : Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro