Anda di halaman 1dari 64

1

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang.
Kanker adalah proses penyakit yang bermula ketika sel abnormal dirubah oleh
mutasi genetik dari DNA selular. Sel abnormal ini membentuk klon dan mulai
berpoliferasi secara abnormal, mengabaikan sinyal mengatur pertumbuhan dalam
lingkungan sekitar sel tersebut. Sehingga dicapai suatu tahap dimana sel mendapatkan ciri
– ciri invasif dan terjadi perubahan pada jaringan sekitarnya (Smeltzer & Brenda, 2002 :
317). Kanker Nasofaring (KNF) merupakan tumor ganas yang paling banyak dijumpai
diantara tumor ganas THT di Indonesia, dimana KNF termasuk dalam lima besar tumor
ganas, dengan frekuensi tertinggi (bersama tumor ganas serviks uteri, tumor payudara,
tumor getah bening dan tumor kulit) (Melani, 2011).
Distribusi penyakit ini paling banyak dijumpai pada ras Mongol, di samping
Mediteranian, dan beberapa ras di Afrika di bagian Utara. Di Hongkong tercatat sebanyak
24 pasien kanker nasofaring per tahun per 100.000 penduduk, sedangkan angka rata-rata
di Cina bagian selatan berkisar antara 20 per 100.000 penduduk, dibandingkan dengan
negara Eropa atau Amerika Utara yang mempunyai angka kejadian hanya 1 per 100.000
penduduk per tahun. Angka kejadian KNF di Indonesia cukup tinggi, yaitu sekitar 4,7
kasus baru per tahun per 100.000 penduduk atau diperkirakan sekitar 7000-8000 kasus
per tahun di seluruh Indonesia (Melani, 2011). Berdasarkan data pasien KNF di RSHS
(Hasan Sadikin) Bandung sebanyak 60 kasus baru/tahun, di Palembang sebanyak 25
kasus baru/tahun, di Denpasar dan Padang masing – masing 15 dan 11 kasus baru/tahun,
di RSCM Jakarta yaitu 100 kasus baru/tahun, sedangkan di RS Kanker Dharmais rata –
rata terdapat 70 kasus baru/tahun (deteksi dini RSKD, 2013).
Menurut (Nuryadin, 2012) KNF merupakan penyakit multifaktorial dan belum
diketahui secara pasti penyebabnya. Karsinoma nasofaring merupakan munculnya
keganasan berupa tumor yang berasal dari sel-sel epitel yang menutupi permukaan
nasofaring. Tumbuhnya tumor akan dimulai pada salah satu dinding nasofaring yang
kemudian akan menginfiltrasi kelenjar dan jaringan sekitarnya. Lokasi yang paling sering
menjadi awal terbentuknya KNF adalah pada Fossa Rossenmuller. Penyebaran ke
jaringan dan kjelenjar limfa sekitarnya kemudian terjadi perlahan, seperti layaknya

1
2

metastasis lesi karsinoma lainnya. Selanjutnya sel-sel kanker dapat berkembang terus,
menembus kelenjar dan mengenai otot dibawahnya. Keadaan ini merupakan gejala yang
lebih lanjut lagi dan biasanya prognosis yang jelek sehingga menimbulkan kematian.
Memilih obat kanker tidaklah mudah, banyak faktor yang perlu diperhatikan yakni
jenis kanker, kemosensitivitas atau resisten, populasi sel kanker, persentasi sel kanker
yang terbunuh, siklus pertumbuhan kanker, imunitas tubuh dan efek samping terapi yang
diberikan (Sukardja, 2000).Terapi medik yang dapat digunakan untuk mengobati
karsinoma nasofaring ialah : radioterapi, kemoterapi, terapi kombinasi, operasi. Salah satu
modalitas pengobatan pada pasien KNF adalah kemoterapi. Kemoterapi merupakan
pengobatan kanker dengan obat – obatan . Kemoterapi dapat menjalar melalui tubuh dan
dapat membunuh sel kanker dimanapun di dalam tubuh. Kemoterapi juga dapat merusak
sel normal dan sehat, terutama sel sehat dalam lapisan mulut dan sistem gastrointestinal,
sumsung tulang serta kantung rambut (Kelvin dan Tyson, 2011).
Melihat efek dari kemoterapi yang ditimbulkan seperti mual dan muntah,
myelosupresi yang ditandai dengan menurunnya jumlah sel darah merah (Anemia), sel
darah putih (leukopeni), dan trombosit (trombositopeni), selain itu kemoterapi dapat
menimbulkan efek seperti nyeri ekstrimitas (seperti kesemutan), fungsi testiskular dan
ovarium yang berakibat kemungkinan terjadi sterilitas.
Berdasarkan uraian diatas dan data yang ditemukan penulis, maka penulis tertarik
untuk melakukan asuhan Keperawatan Kanker Nasofaring pada Tn.Y dengan kemoterapi
di ruang Anggrek 2 Rs Kanker Dharmais. Memberikan asuhan keperawatan merupakan
salah satu tugas yang harus dilakukan oleh perawat yang meliputi aspek bio-psiko-sosio
dan spiritual terhadap pasien dan keluarga yang diberikan secara maximal.
B. Tujuan
1. Tujuan umum.
Untuk memenuhi tugas makalah sebagai salah satu syarat kenaikan PKK 2.
2. Tujuan khusus.
a. Mampu melakukan pengkajian pada pasien kanker nasofaring di ruang Anggrek 2
Rs Kanker Dharmais
b. Mampu merumuskan diagnosa keperawatan pada pasien kanker nasofaring di
ruang Anggrek 2 Rs Kanker Dharmais
c. Mampu menyusun intervensi keperawatan pada pasien kanker nasofaring di ruang
Anggrek 2 Rs Kanker Dharmais
3

d. Mampu melaksanakan tindakan keperawatan pada pasien kanker nasofaring di


ruang Anggrek 2 Rs Kanker Dharmais
e. Mampu melakukan evaluasi keperawatan pada pasien kanker nasofaring di ruang
Anggrek 2 Rs Kanker Dharmais
C. Metode Penulisan.
Dalam penulisan makalah ini penulis menggunakan metode dengan cara
pengumpulan data, menganalisa dan menarik kesimpulan. Sebagai bahan penyusunan
makalah ini data diperoleh dengan cara :
1. Studi kepustakaan yaitu memperoleh data ilmiah yang berhubungan dengan judul
makalah ini.
2. Melakukan observasi dan wawancara pada pasien serta keluarga.
3. Melakukan pemeriksaan fisik pada pasien dengan cara inpeksi, palpasi, perkusi dan
auskultasi.
4. Studi dokumentasi dengan mempelajari catatan keperawatan dan catatan medis.
5. Melakukan kolaborasi dengan tim kesehatan lainnya untuk melengkapi data yang
sudah diperoleh.
D. Manfaat.
1. Bagi penulis.
Penulis mampu meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan wawasan dalam
memberikan asuhan keperawatan pada kanker nasofaring.
2. Bagi Perawat.
Sebagai pedoman dalam memberikan asuhan keprawatan kepada pasien KNF secara
menyeluruh baik bio-psiko-sosio dan spiritual dengan pelayanan yang maximal di Rs
Kanker Dharmais.
3. Bagi Rumah Sakit.
Sebagai literature atau rujukan dalam memberikan dan meningkatkan pelayanan
kesehatan di Rs Kanker Dharmis.
4

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kanker Nasofaring.
1. Pengertian.
Kanker adalah proses penyakit yang bermula ketika sel abnormal dirubah oleh
mutasi genetik dari DNA selular. Sel abnormal ini membentuk klon dan mulai
berpoliferasi secara abnormal, mengabaikan sinyal mengatur pertumbuhan dalam
lingkungan sekitar sel tersebut. Sehingga dicapai suatu tahap dimana sel mendapatkan
cirri – cirri invasife dan terjadi perubahan pada jaringan sekitarnya (Smeltzer &
Brenda, 2002 : 317).
Karsinoma nasofaring merupakan salah satu bentuk keganasan kepala dan
leher yang mempunyai karakteristik yang khas baik secara histologi, epidemiologi
dan biologi. Hal ini yang menentukan gejala klinis dan pendekatan terapinya. Kanker
nasofaring adalah tumor yang berasal dari sel epitel yang menutupi permukaan
nasofaring (Widodo, 2003).
Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas yang tumbuh pada ephitalial
pelapis ruangan dibelakang hidung (nasofaring) dan belakang langit-langit rongga
mulut dengan predileksi di fossa Rossenmuller dan atap nasofaring. Karsinoma
nasofaring merupakan tumor ganas daerah kepala dan leher yang terbanyak
ditemukan di Indonesia. Hampir 60 % tumor ganas daerah kepala dan leher
merupakan kanker nasofaring (Huda Nurarif & Kusuma, 2013).
Kanker Nasofaring merupakan keganasan yang muncul pada daerah
nasofaring (area di atas tenggorok dan di belakang hidung). Kanker ini terbanyak
merupakan keganasan tipe sel skuamosa ( PNPKKNF, 2007). Kanker Nasofaring
(KNF) merupakan tumor ganas yang paling banyak dijumpai diantara tumor ganas
THT di Indonesia, dimana KNF termasuk dalam lima besar tumor ganas, dengan
frekuensi tertinggi (bersama tumor ganas serviks uteri, tumor payudara, tumor getah
bening dan tumor kulit), sedangkan didaerah kepala dan leher menduduki tempat
pertama (kanker nasofaring mendapat persentase hampir 60% dari tumor di daerah
kepala dan leher, diikuti tumor ganas hidung dan sinus paranasal 18%, laring 16%,
dan tumor ganas rongga mulut, tonsil, hipofaring dalam persentase rendah (Melani,
2011).

4
5

2. Epidemologi.
Distribusi penyakit ini paling banyak dijumpai pada ras Mongol, di samping
Mediteranian, dan beberapa ras di Afrika di bagian Utara. Di Hongkong tercatat
sebanyak 24 pasien kanker nasofaring per tahun per 100.000 penduduk, sedangkan
angka rata-rata di Cina bagian selatan berkisar antara 20 per 100.000 penduduk,
dibandingkan dengan negara Eropa atau Amerika Utara yang mempunyai angka
kejadian hanya 1 per 100.000 penduduk per tahun. Angka kejadian KNF di Indonesia
cukup tinggi, yaitu sekitar 4,7 kasus baru per tahun per 100.000 penduduk atau
diperkirakan sekitar 7000-8000 kasus per tahun di seluruh Indonesi. Indonesia,
menempati urutan ke-4 diantara keganasan yang terdapat di seluruh tubuh. Santosa
(1988) mendapatkan jumlah 716 (8,46%) penderita KNF berdasarkan data patologi
yang diperoleh di Laboratorium Patologi anatomi FK Unair Surabaya (1973–1976)
diantara 8463 kasus keganasan di tubuh (Melani, 2011). Berdasarkan data pasien
KNF di RSHS (Hasan Sadikin) Bandung sebanyak 60 kasus baru/tahun, di Palembang
sebanyak 25 kasus baru/tahun, di Denpasar dan Padang masing – masing 15 dan 11
kasus baru/tahun, di RSCM Jakarta yaitu 100 kasus baru/tahun, sedangkan di RS
Kanker Dharmais rata – rata terdapat 70 kasus baru/tahun (deteksi dini RSKD, 2013).
3. Anatomi dan Fisiologi Nasofaring.
Nasofaring adalah bagian atas tenggorokan (faring) yang terletak di
belakangan hidung.Nasofaring berbentuk seperti sebuah kotak berongga. Dan terletak
di bagian lunak atap mulut (soft palate) dan terletak di belakang hidung. Nasofaring
berfungsi untuk melewatkan udara dari hidung menuju ke tenggorokan yang akhirnya
ke paru-paru (American Cancer Society, 2013). Bagian atas nasofaring dibentuk oleh
korpus sfenoid dan prosesus basilar os oksipital. Sebelah anterior oleh koana dan
pallatum mole, dan sebelah posterior dibentuk oleh vertebra vertikalis, sebelah
inferior nasofaring dilanjutkan oleh orofaring. Orificium tuba eustachius terletak pada
dinding lateral dari nasofaring, dibelakang ujung konka inferior. Di sebelah atas dan
belakang dari orifisium tuba eustachius terdapat penonjolan yang dibentuk oleh
kartilago eustachius. Dibawah dari ujung posterior penonjolan tersebut terdapat suatu
lipatan yang kuat yaitu membran salpingofaringeal. Lipatan membran mukosa yang
tidak terlalu menonjol yaitu membran salpingopalatina, meluas ke bagian bawah di
depan orifisium eustachius. Kantung disudut faring diantara tepi posterior kartilago
eustachius dan dinding posterior dikenal sebagai fosa rosenmuller. Jaringan adenoid
juga sering kali ditemukan disekitar orifisium tuba. Atap serta dinding posterior
6

nasofaring merupakan tempat kedudukan jaringan limfoid. Nasofaring sendiri diliputi


oleh epitel torak bersilia berlapis semu.

Jaringan adeniod di nasofaring terutama ditemukan pada dinding atas dan


posterior, walaupun dapat meluas ke fosa rossenmuller dan orifisium tuba eustachius.
Adenoid terdiri dari jaringan limfoid, yang termasuk dalam retikulum jaringan ikat
fibrosa yang kuat walaupun lunak. Keadan patologi pada adenoid ditandai oleh
adanya hiperplasia jaringan limfoid nasofaring. Epitel yang menutupi permukaan
adenoid yang terbuka dan masuk ke dalam resesus dan kripta adalah lapisan epitel
torak bersilia berlapis semu, yang merupakan lanjutan dari epitel pernapasan dari
dalam hidung dan mukosa sekitar nasofaring (Ballenger JJ, 1994) Nasofaring
diperdarahi melalu cabang arteri karotis eksterna, yaitu faringeal desenden dan
asenden serta cabang faringeal arteri sfenopalatina. Darah vena keluar dari pembuluh
darah balik faring di permukaan luar dari dinding muskuler yang menuju pleksus
pterigoid dan vena jugularis interna (Ballenger JJ, 1994). Daerah nasofaring mendapat
persarafan dari saraf sensorik yang terdiri dari saraf glossofaringeus (N.IX) serta
cabang maxilla dari nervus trigeminus (N.V), yang menuju kebagian anterior
nasofaring (Ballenger JJ, 1994) Sistem limfatik nasofaring tersusun atas pembuluh
getah bening yang saling bersilangan dibagian tengah dan menuju ke kelenjar
rouviere yang terletak dibagian ujung dari retrofaring, seterusnya akan menuju ke
kelenjar limfa disepannjang vena jugularis dan kelenjar limfa yang terletak
dipermukaan supraficial (Ballenger JJ, 1994).
7

4. Etiologi.
Menurut (Nuryadin, 2012) KNF merupakan penyakit multifaktorial dan belum
diketahui secara pasti penyebabnya. Beberapa faktor risiko yang kini masih diteliti di
antaranya: faktor genetik, infeksi Epstein-Barr virus, diet, dan lingkungan.
a. Genetik
KNF tercatat sebagai keganasan yang jarang terjadi di sebagian besar populasi
dunia. Namun, keganasan ini tercatat sering terjadi di Cina selatan, Asia
Tenggara, Kutub Utara, dan Timur Tengah / Afrika Utara. Distribusi ras / etnis
dan geografis khas pada KNF di seluruh dunia menunjukkan bahwa faktor
lingkungan dan sifat-sifat genetik berkontribusi untuk perkembangan keganasan
ini.
b. Infeksi Virus Epstein-Barr (EBV)
EBV merupakan virus dsDNA yang memiliki kapsid icosahedral dan termasuk
dalam famili Herpesviridae. Infeksi EBV dapat berasosiasi dengan beberapa
penyakit seperti limfoma Burkitt, limfoma sel T, mononukleosis dan KNF. KNF
tidak berdiferensiasi atau WHO tipe III 100% terkait dengan EBV. Hal ini
didukung oleh temuan bahwa reseptor EBV terdapat pada sel epitel di faring, dan
bahwa virus mampu menginfeksi sel epitel nasofaring in vivo.KNF adalah
penyakit yang konsisten dengan infeksi EBV sehingga eksistensi DNAEBV di
dalam cairan tubuh dapat dipakai sebagai penanda status patologi KNF dan/atau
progresivitas tumor. Dalam penelitian ini penulis akan mengaitkan serologi EBV
yang ditunjukan dengan ekspresi protein EBV dengan faktor risiko lain yang
terdapat pada individu berisiko.
c. Diet.
Beberapa penelitian menyajikan hubungan antara diet tertentu dengan risiko KNF.
Analisis sampel makanan yang menunjukkan adanya nitrosamin dan prekursor
nitrosamine dalam ikan asin, menunjukan hubungan antara konsumsi ikan asin
dengan KNF. Konsumsi banyak makanan olahan dan diawetkan pada usia muda
dikaitkan dengan KNF. Penelitian lain menunjukan bahwa konsumsi mentega
tengik, lemak dan daging domba tengik yang diawetkan di Afrika, dikaitkan
dengan peningkatan risiko KNF yang signifikan, sementara konsumsi sayuran
matang dan ikan yang diawetkan secara industry dikaitkan dengan penurunan
risiko.
8

d. Lingkungan.
Konsumsi alkohol, merokok, penggunaan tembakau, paparan zat kimia memiliki
keterkaitan dengan risiko KNF. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa alkohol
atau shisha (pipa air) dikaitkan dengan risiko. Tembakau, ganja dan asap kayu
bakar adalah faktor risiko untuk KNF di barat Afrika Utara. Penelitian lainnya
menyatakan keterkaitan antara merokok dan KNF, semakin lama dan lebih berat
kebiasaan merokok, semakin tinggi adalah risiko KNF.
5. Patofisiologi.
Karsinoma nasofaring merupakan munculnya keganasan berupa tumor yang
berasal dari sel-sel epitel yang menutupi permukaan nasofaring. Tumbuhnya tumor
akan dimulai pada salah satu dinding nasofaring yang kemudian akan menginfiltrasi
kelenjar dan jaringan sekitarnya. Lokasi yang paling sering menjadi awal
terbentuknya KNF adalah pada Fossa Rossenmuller.
Karsinoma nasofaring umumnya disebabkan oleh multifaktor. Sampai
sekarang penyebab pastinya belum jelas. Faktor yang berperan untuk terjadinya
karsinoma nasofaring ini adalah faktor makanan seperti mengkonsumsi ikan asin,
sedikit memakan sayur dan buah segar. Faktor lain adalah non makanan seperti debu,
asap rokok, uap zat kimia, asap kayu Faktor genetik juga dapat mempengaruhi
terjadinya karsinoma nasofaring. Selain itu terbukti juga infeksi virus Epstein Barr
juga dihubungkan dengan terjadinya karsinoma nasofaring terutama pada tipe
karsinoma nasofaring non-keratinisasi. Hal ini dibuktikan dengan adanya kenaikan
titer antigen EBV dalam tubuh penderita kanker nasofaring non keratinisasi dan
kenaikan titer ini pun berbanding lurus dengan stadium kanker nasofaring di mana
semakin berat stadium kanker nasofaring, ditemukan titer antibodi EBV yang semakin
tinggi. Hal ini dapat dibuktikan dengan dijumpai adanya keberadaan protein-protein
laten pada penderita karsinoma nasofaring. Pada penderita ini sel yang terinfeksi oleh
EBV akan menghasilkan protein tertentu yang berfungsi untuk proses proliferasi dan
mempertahankan kelangsungan virus di dalam sel host. Protein laten ini dapat dipakai
sebagai petanda (marker) dalam mendiagnosa karsinoma nasofaring, yaitu EBNA-1
dan LMP-1, LMP- 2A dan LMP-2B. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya pada
50% serum penderita karsinoma nasofaring LMP-1 sedangkan EBNA-1 dijumpai di
dalam serum semua pasien karsinoma nasofaring. Selain itu dibuktikan oleh hasil
penelitian Khrisna dkk (2004) terhadap suku Indian asli bahwa EBV DNA di dalam
serum penderita karsinoma nasofaring dapat dipakai sebagai biomarker pada
9

karsinoma nasofaring primer. Hubungan antara karsinoma nasofaring dan infeksi


virus Epstein-Barr juga dinyatakan oleh berbagai peneliti dari bagian yang berbeda di
dunia ini. Pada pasien karsinoma nasofaring dijumpai peninggian titer antibodi anti
EBV (EBNA-1) di dalam serum plasma.EBNA-1 adalah protein nuklear yang
berperan dalam mempertahankan genom virus. Huang dalam penelitiannya,
mengemukakan keberadaan EBV DNA dan EBNA di dalam sel penderita karsinoma
nasofaring.
Karsinoma nasofaring sangat sulit didiagnosa, hal ini mungkin disebabkan
karena letaknya sangat tersembunyi dan juga pada keadaan dini pasien tidak datang
untuk berobat. Biasanya pasien baru datang berobat, bila gejala telah mengganggu
dan tumor tersebut telah mengadakan infiltrasi serta metastase pada pembuluh limfe
sevikal. Hal ini merupakan keadaan lanjut dan biasanya prognosis yang jelek.
Pemeriksaan terhadap karsinoma nasofaring dilakukan dengan cara anamnesa
penderita dan disertai dengan pemeriksaan nasofaringoskopi, radiologi, histopatologi,
immunohistokimia, dan juga pemeriksaan serologi dengan menggunakan tehnik
Enzyme Linked Immunosorbent Assay atau disingkat dengan ELISA. Karena
beberapa penelitian telah membuktikan bahwa di dalam serum penderita karsinoma
nasofaring dijumpai EBNA-1 maka sebaiknya pasien yang mempunyai gejala yang
mengarah ke karsinoma nasofaring dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan serologi
yaitu antibodi anti EBV (EBNA-1). Tentang pengaruh EBV yang sebagian besar
hanya ditemukan pada kankr nasofaring tipe non-keratinisasi belum dapat dijelaskan
hingga saat ini. Infeksi virus epstein-barr terjadi pada dua tempat utama yaitu sel
epitel kelenjar saliva dan sel limfosit. EBV memulai infeksi pada limfosit B dengan
cara berikatan dengan reseptor virus, yaitu komponen komplemen C3d (CD21 atau
CR2). Glikoprotein (gp350/220) pada kapsul EBV berikatan dengan protein CD21
dipermukaan limfosit B3. Aktivitas ini merupakan rangkaian yang berantai dimulai
dari masuknya EBV ke dalam DNA limfosit B dan selanjutnya menyebabkan limfosit
B menjadi immortal. Sementara itu, sampai saat ini mekanisme masuknya EBV ke
dalam sel epitel nasofaring belum dapat dijelaskan dengan pasti. Namun demikian,
ada dua reseptor yang diduga berperan dalam masuknya EBV ke dalam sel epitel
nasofaring yaitu CR2 dan PIGR (Polimeric Immunogloblin Receptor).
Sel yang terinfeksi oleh virus epstein-barr dapat menimbulkan beberapa
kemungkinan yaitu : sel menjadi mati bila terinfeksi dengan virus epstein-barr dan
virus mengadakan replikasi, atau virus epstein- barr yang menginfeksi sel dapat
10

mengakibatkan kematian virus sehingga sel kembali menjadi normal atau dapat terjadi
transformasi sel yaitu interaksi antara sel dan virus sehingga mengakibatkan
terjadinya perubahan sifat sel sehingga terjadi transformsi sel menjadi ganas sehingga
terbentuk sel kanker. Gen EBV yang diekspresikan pada penderita KNF adalah gen
laten, yaitu EBERs, EBNA1, LMP1, LMP2A dan LMP2B. Protein EBNA1 berperan
dalam mempertahankan virus pada infeksi laten. Protein transmembran LMP2A dan
LMP2B menghambat sinyal tyrosine kinase yang dipercaya dapat menghambat siklus
litik virus. Diantara gen-gen tersebut, gen yang paling berperan dalam transformasi
sel adalah gen LMP1. Struktur protein LMP1 terdiri atas 368 asam amino yang
terbagi menjadi 20 asam amino pada ujung N, 6 segmen protein transmembran (166
asam amino) dan 200 asam amino pada ujung karboksi (C). Protein transmembran
LMP1 menjadi perantara untuk sinyal TNF (tumor necrosis factor) dan meningkatkan
regulasi sitokin IL-10 yang memproliferasi sel B dan menghambatrespon imun lokal.
Walaupun karsinoma nasofaring tidak termasuk tumor genetik, tetapi
kerentanan terhadap karsinoma nasofaring pada kelompok masyarakat tertentu
relative menonjol dan memiliki agregasi familial. Analisis korelasi menunjukkan gen
HLA (human leukocyte antigen) dan gen pengode enzim sitokrom p450 2E1
(CYP2E1) kemungkinan adalah gen kerentanan terhadap karsinoma nasofaring.
Sitokrom p450 2E1 bertanggung jawab atas aktivasi metabolik yang terkait
nitrosamine dan karsinogen. Analisa genetik pada populasi endemik berhubungan
dengan HLA-A2, HLAB17 dan HLA-B2. Dimana orang dengan yang memiliki gen
ini memiliki resiko dua kali lebih besar menderita karsinoma nasofaring.
Faktor lingkungan Sejumlah besar studi kasus yang dilakukan pada populasi
yang berada di berbagai daerah di asia dan america utara, telah dikonfirmasikan
bahwa ikan asin dan makanan lain yang awetkan mengandung sejumlah besar
nitrosodimethyamine (NDMA), nitrospurrolidene (NPYR) dan nitrospiperidine
(NPIP) yang mungkin merupakan factor karsinogenik karsinoma nasofaring. Selain
itu alkohol dan asap rokok ditemukan mengadung formaldehyde yang diteliti
merupakan faktor risiko karsinoma nasofaring dengan cara mengaktifkan kembali
infeksi dari EBV (Anonim, 2015).
11

6. Pathway

Genteik Diet Virus EBV lingkungan

Mempunyai gen HLA Konsumsi ikan asin dan Titer antigen EBV naik Minum alkohol,
& enzim sitokrom makanan berpengawet dalam darah perokok, paparan zat
kimia
Aktivasi metabolic Mengandung NDMA, EBV menginfeksi sel
nitrosmino dan NDNR, NPIP normal Mengandung
karsinogenik formadelhyde

Faktor merubah sel Transformasi sel


Mengaktifkan virus
normal menjadi ganas normal
EBV

Pertumbumhan kanker Penyebaran ke


Metastasi kelenjar getah Menembus faring
pada nasofaring (KNF) ekstracranial
bening
Metastasis jauh Mengenai nervus
mengenai paru Mnembus kelenjar dan Indikasi kemoterapi Merangsang
IX -XII
Pada nodus limfatik sel mengenai otot kemoreseptor
kanker berubah menjadi dibawahnya
Sel diparu lebih besar. Merusak sel – Gangguan
bertransformasi sel epitel kulit Mual dan menelan
Melekat pada otot muntah
Tampak benjolan
didaerah leher Kerusakan pada
Fungsi paru terganggu Nyeri imunosupresi kulit kepala Gangguang keb.
nutrisi
Ketidakefektifan jalan
Pola nafas tidak efektif nafas Resiko Infeksi Alopesia

11
Ansietas Kurangnya pengetahuan Harga diri
rendah
12

7. Manifestasi Klinis.
Gejala dan tanda kanker nasofaring dapat dibagi dalam 4 kelompok yaitu :
a. Gejala nasofaring Dapat berupa epistaksis ringan atau sumbatan hidung dan pilek.
Pada keadaan lanjut tumor masuk ke dalam rongga hidung dan sinus paranasal
b. Gangguan pada telinga merupakan gejala dini yang timbul karena tempat asal
tumor. Gangguan dapat berupa tinitus, rasa penuh di telinga, berdengung sampai
rasa nyeri di telinga
c. Gangguan penglihatan sehingga penglihatan menjadi diplopia (penglihatan
ganda). Gejala dimata terjadi karena tumor berinfiltrasi ke rongga tengkorak, dan
yang pertama terkena ialah saraf otak ke 3, 4 dan 6, yaitu yang mempersarafi otot-
otot mata, sehingga menimbulkan gejala diplopia. Gejala yang lebih lanjut ialah
gejala neurologik, karena infiltrasi tumor ke intrakranial melalui foramen laserum,
dapat mengenai saraf otak ke 3, sehingga mengenai saraf otak ke 9, 10, 11 dan 12,
dan bila keadaan ini terjadi prognosisnya buruk.
d. Metastasis ke kelenjar leher dalam bentuk benjolan di leher.
8. Pemeriksaan Penunjang.
Ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.
a. Anamnesis
Terdiri dari gejala hidung, gejala telinga, gejala mata dan saraf, serta gejala
metastasis / leher. Gejala tersebut mencakup hidung tersumbat, lender bercampur
darah, tinitus, telinga terasa penuh, otalgia, diplopia dan neuralgia trigeminal
(saraf III, IV, V, VI), dan muncul benjolan pada leher.
b. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan status generalis dan status lokalis.Pemeriksaan nasofaring secara
konvensional adalah dengan menggunakan kaca rinoskopi posterior, dengan atau
tanpa menggunakan kateter. Pemeriksaan yang lebih sempurna adalah dengan
menggunakan nasofaringoskopi baik yang fleksibel maupun yang kaku (Wei &
Sham, 1996).
c. Pemeriksaan Diagnostik
1) Pemeriksaan Radiologi.
Pemeriksaan radiologik berupa CT scan/MRI nasofaring potongan koronal,
aksial, dan sagital, tanpa dan dengan kontras berguna untuk melihat tumor
primer dan penyebaran ke jaringan sekitar dan penyebaran kelenjar getah
13

bening. Untuk metastasis jauh dilakukan pemeriksaan foto toraks, bonescan,


dan USG abdomen.
2) Pemeriksaan nasoendoskopi dengan NBI (Narrow Band Imaging)
Merupakan pemeriksaan radiologik yang sangat baik digunakan untuk follow
up terapi pada kasus-kasus dengan dugaan residu dan residif.
d. Pemeriksaan Patologi Anatomi.
Karsinoma nasofaring dibuktikan melalui pemeriksaan patologi anatomi dengan
spesimen berasal dari biopsi nasofaring. Hasil biopsy menunjukkan jenis
keganasan dan derajat diferensiasi. Pengambilan spesimen biopsi dari nasofaring
dapat dikerjakan dengan bantuan anestesi lokal ataupun dengan anestesi umum.
1) Biopsi Nasofaring.
Diagnosis pasti berdasarkan pemeriksaan PA dari biopsi nasofaring bukan dari
Biopsi Aspirasi Jarum Halus (BAJH) atau biopsy insisional/eksisional kelenjar
getah bening leher. Biopsi dilakukan dengan menggunakan tang biopsi yang
dimasukkan melalui hidung atau mulut dengan tuntunan rinoskopi posterior
atau tuntunan
2) Eksplorasi nasofaring dengan anestesi umum
Dilakukan jika Dari biopsi dengan anestesi lokal tidak didapatkan hasil yang
positif sedangkan gejala dan tanda yang ditemukan menunjukkan ciri
karsinoma nasofaring.
e. Pemeriksaan Serologi
Pemeriksaan serologi dilakukan untuk mendeteksi antibodi yang terbentuk yaitu
IgA anti EBV-VCA, IgA anti EBV-EA, antibodi terhadap antigen membran,
antibodi terhadap inti virus (Epstein Barr Nuclear Antigen/EBNA), antibodi
terhadap EBV-Dnase dan antibody dependent cellular cytotoxicity (ADCC). Titer
antibodi spesifik ini dapat ditemukan dengan pemeriksaan imunofluoresensi (IF),
enzyme linked immunosorbent assay (ELISA) dan radio-immuno assay. IgA
VCA/IgA Anti EBV-EA sebagai tumor marker (penanda tumor) diambil dari
darah tepi dan/atau Brushing Nasofaring (DNA Load Viral). Pemeriksaan ini tidak
berperan dalam penegakkan diagnosis tetapi dilakukan sebagai skrining dan data
dasar untuk evaluasi pengobatan.Dapat juga menggunakan teknik PCR pada
material yang diperoleh dari aspirasi biopsi jarum halus pada metastase kelenjar
getah bening leher. Virus Epstein Barr biasanya ditemukan pada undifferentiated
carcinoma dan nonkeratinizing squamous cell carcinoma.
14

9. Jenis dan Stadium Kanker Nasofaring.


Secara histologi garis besar KNF di bagi menjadi 2 kelompok yaitu:
karsinoma sel skuamosa dengan beberapa tingkat diferensiasi dan karsinoma tidak
berdiferensiasi dengan beberapa variasi sel limfoepithelioma (Cottrill & Nutting ,
2003).
Klasifikasi menurut WHO sejak tahun 1978 ada tiga tipe histologik karsinoma
nasofaring (Chew, 1997; Licitra et al 2003) :
a. Karsinoma sel skuamosa keratinisasi (keratinizing).
Tampilannya mirip dengan karsinoma sel skuamosa pada traktus aerodigestif.
Ditandai dengan adanya bentuk kromatin di dalam mutiara skuamosa atau
sebagian sel mengalami keratinisasi (diskeratosis), adanya stratifikasi dari sel
terutama pada sel yang terletak di permukaan atau suatu rongga kistik, dan adanya
jembatan intersel (intercellular bridges). Jembatan intersel ini mungkin
disebabkan karena sel mengalami pengkerutan akibat dehidrasi pada waktu
membuat sediaan.
b. Karsinoma sel skuamosa tanpa keratinisasi (non-keratinizing).
Menunjukkan sekuensi maturasi yang karakteristik untuk epitel skuamosa, namun
secara mikroskopis tidak terdapat pembentukan keratin. Ditandai dengan masing-
masing sel tumor mempunyai batas yang jelas dan terlihat tersusun
teratur/berjajar, dan sering terlihat bentuk pleksiform yang mungkin terlihat
sebagai sel tumor yang jernih/terang yang disebabkan adanya glikogen dalam
sitoplasma sel, serta tidak terdapat musin atau diferensiasi dari kelenjar
c. Karsinoma sel tidak berdiferensiasi (undifferentiated).
Sesuai pada reklasifikasi WHO (1991). Ditandai dengan susunan sel tumor yang
berbentuk sinsitial, batas sel yang satu dan lainnya sulit dibedakan, sel tumor
berbentuk spindel dan beberapa sel mempunyai nukleolus (inti) yang
hiperkromatik dan sel ini sering bersifat dominan, sel tumor tidak memproduksi
musin. KNF WHO tipe 3 ditemukan sebanyak 95% pada semua kasus di daerah
endemik, namun di populasi risiko rendah seperti pada populasi kulit putih
Amerika Utara hanya ditemukan sebanyak 60% (Armiyanto, 1993; Witte & Neel,
1998; Lin et al, 2003; Zimmermann et al, 2006).

Menurut ( PNPKKNF, 2007) penentuan stadium dilakukan berdasarkan klasifikasi


TNM dalam AJCC (American Joint Committee on Cancer) tahun 2008 sebagai berikut :
15

T Tumor primer
Tx Tumor primer tidak dapat ditentukan
T0 Tidak ditemukan adanya tumor primer
Tis Karsinoma insitu
T1 Tumor terbatas di nasofaring atau tumor meluas ke orofaring dan atau kavum
nasi tanpa perluasan ke parafaring.
T2 Tumor meluas sampai pada jaringan lunak
T2a Tumor meluas sampai daerah orofaring dan atau rongga hidung tanpa
Perluasan ke parafaring
T2b Dengan perluasan ke parafaring
T3 Tumor melibatkan struktur tulang dasar tengkorak dan atau sinus paranasal.
T4 Tumor dengan perluasan intrakranial dan atau mengenai saraf kranial,
hipofaring, orbita atau dengan perluasan ke fossa infratemporal.

N Pembesaran kelenjar getah bening regional


Nx Pembesaran kelenjar getah bening regional tidak dapat ditentukan
N0 Tidak ada pembesaran kelenjar getah bening regional
N1 Metastasis kelenjar getah bening leher unilateral dengan diameter terbesar
6 cm atau kurang, diatas fossa supraklavikula dan atau unilateral atau bilateral
kelenjar getah bening retrofaring dengan diameter terbesar 6 cm atau kurang.
N2 Metastase kelenjar getah bening bilateral dengan diameter terbesar 6 cm atau
kurang, di atas fossa supraklavikula.
N3 Metastasis pada kelenjar getah bening di atas 6 cm dan atau pada
supraklavikula
N3a Ukuran kelenjar getah bening > 6 cm
N3b Kelenjar getah bening meluas ke fossa supraklavikula

M Metastase jauh
Mx Adanya metastasis jauh tidak dapat ditentukan
M0 Tidak ada metastasis jauh
M1 Terdapat metastasis jauh

Stadium T N M
Stadium 0 Tis N0 M0
Stadium I T1 N0 M0
Stadium II T1 N1 M0
T2 N0-N1 M0
Stadium III T1-T2 N2 M0
T3 N0-N2 M0
Stadium IVA T4 N0-N2 M0
Stadium IVB T1-T4 N3 M0
Stadium IVC T1-T4 N0-N3 M1
10. Penatalaksanaan.
16

Memilih obat kanker tidaklah mudah, banyak faktor yang perlu diperhatikan
yakni jenis kanker, kemosensitivitas atau resisten, populasi sel kanker, persentasi sel
kanker yang terbunuh, siklus pertumbuhan kanker, imunitas tubuh dan efek samping
terapi yang diberikan (Sukardja, 2000).Terapi medik yang dapat digunakan untuk
mengobati karsinoma nasofaring ialah :
a. Radioterapi.
Terapi radiasi adalah mengobati penyakit dengan menggunakan gelombang
atau partikel energi radiasi tinggi yang dapat menembus jaringan untuk
menghancurkan sel kanker (Kelvin dan Tyson, 2011). Radio terapi masih
memegang peranan terpenting dalam pengobatan karsinoma nasofaring (Soejipto
cit Iskandar et al, 1989). Radioterapi merupakan pengobatan utama,sedangkan
pengobatan tambahan yang diberikan dapat berupa diseksi leher, pemberian tetra
siklin, faktor transfer, interferon,kemoterapi, seroterapi, vaksin dan anti virus
(Soepardi et al,2012).
Dosis yang diberikan 200 rad / hari sampai mencapai 6000-6600 rad untuk
tumor primer, untuk kelenjar leher yang membesar diberikan 6000 rad. Jika tidak
ada pembesaran diberikan juga radiasi elektif sebesar 4000 rad (Soejipto cit
Iskandar et al, 1989). Kesulitan-kesulitan yang dihubungkan dengan pemberian
terapi radiasi dapat dibagi menjadi komplikasi dini dan lanjut. Kompilikasi dini
dan lanjut tersebut dapat berupa mukositis dengan disertai rasa tidak enak pada
faring, hilangnya nafsu makan (anoreksia), nausea (mual) dan membran mukosa
yang kering (Adams, 1994).
b. Kemoterapi
Kemoterapi merupakan pengobatan kanker dengan obat - obatan. Kemoterapi
dapat menjalar melalui tubuh dan dapat membunuh sel kanker dimanapun di
dalam tubuh. Kemoterapi juga dapat merusak sel normal dan sehat, terutama sel
sehat dalam lapisan mulut dan sistem gastrointestinal, sumsung tulang serta
kantung rambut (Kelvin dan Tyson, 2011).
c. Terapi kombinasi.
Merupakan terapi kombinasi dari beberapa terapi. Seperti kombinasi antara kemo-
radioterapi dengan motomycin C dan 5-fluorouracil memberikan hasil yang cukup
memuaskan dan memperlihatkan hasil yang memberi harapan kesembuhan total
pasien karsinoma nasofaring (Soetjipto cit Iskandar et al, 1989).
d. Operasi.
17

Tindakan operasi berupa diseksi leher radikal, dilakukan jika masih ada sisa
kelenjar pasca radiasi atau adanya kekambuhan kelenjar, dengan syarat bahwa
tumor primer sudah dinyatakan bersih (Soetjipto cit Iskandar et al, 1989). Operasi
tumor induk sisa (residu) atau kambuh (residif) diindikasikan, tetapi sering timbul
komplikasi yang berat akibat operasi (Soeperdi et al, 2012).
Penatalaksanaan Metode Pengobatan Pada Kanker Nasofaring

Stadium Penatalaksanaan
Stadium I Radioterapi
Stadium II & III Kemoradiasi
Stadium IV dengan N < 6 cm Kemoradiasi
Stadium IV dengan N > 6 cm Kemoterapi dosis penuh dilanjutkan
dengan kemoradiasi
11. Komplikasi.
Menurut (Ninda, 2016) metastasis ke kelenjar limfa dan jaringan sekitar merupakan
suatu komplikasi yang selalu terjadi. Pada KNF, sering kali terjadi komplikasi ke arah
nervus kranialis yang bermanifestasi dalam bentuk (Pratiwi, 2012) :
a. Petrosphenoid sindrom.
Tumor tumbuh ke atas tengkorak lewat foramen laserum sampai sinus kavernosus
menekan saraf N. III. N. IV, N.VI juga menekan N.II yang menimbulkan kelainan
Neuralgia trigeminus (N.V) : Trigeminal neuralgia meupakan suatu nyeri pada
wajah sesisi yang ditandai dengan rasa seperti terkena aliran listrik yang terbatas
pada daerah disribusi dari nervus trigeminus.
b. Retropariden sindrom
Tumor tumbuh ke depan kearah rongga hidung kemudian dapat menginfiltrasi ke
sekitarnya. Tumor ke samping dan belakang menuju ke arah daerah retropharing
dimana ada kelenjar getah bening. Tumor ini menekan saraf N. IX, N. X, N. XI,
N. XII dengan manifestasi gejala.
1) N. IX : kesulitan menelan karena hemiparesis otot konstriktor superior serta
gangguan pada sepertiga belakang lidah.
2) N. X : hiper/hipoanestesi mukosa palatum mole, faring dan laring, disertai
gangguan respirasi dan saliva.
3) N. XI : kelumpuhan/atrofi oto trapezius, otot SCM serta hemiparese palatum
mole.
4) N. XII : hemiparalisis dan atrofi sebelah lidah.
18

5) Sindrom horner : kelumpuhan N, simpaticus servicalis, berupa penyempitan


disura palpebralis, Onoftalmus dan miosis.
Sel-sel kanker dapat mengalir bersama getah bening atau darah, mengenai organ
tubuh yang letaknya jauh dari nasofaring. Yang sering adalah tulang, hati, dan paru.
Hal ini merupakan hasil akhir dan prognosis yang buruk. Dalam penelitian lain
ditemukan bahwa karsinoma nasofaring dapat mengadakan metastase jauh, ke paru-
paru dan tulang, masing-masing 20% sedangkan ke hati 10%, ginjal 0,4%, dan tiroid
0,4%.
12. Prognosis.
Menurut (Ninda, 2016) ditemukan bahwa karsinoma nasofaring tipe 1
(karsinoma sel skuamosa) memiliki prognosis yang lebih buruk dibandingkan dengan
karsinoma nasofaring tipe 2 dan 3. Hal ini terjadi karena pada karsinoma nasofaring
tipe 1, metastasis lebih mudah terjadi (Pratiwi, 2012). Secara keseluruhan, angka
bertahan hidup 5 tahun adalah 45%, tetapi pada stadium lanjut kurang dari 3 tahun.
Prognosis diperburuk oleh beberapa faktor, seperti:
a. Stadium yang lebih lanjut.
b. Usia lebih dari 40 tahun.
c. Laki-laki dari pada perempuan.
d. Ras Cina dari ras kulit putih.
e. Adanya pembesaran kelenjar leher.
f. Adanya kelumpuhan saraf otak adanya kerusakan tulang tengkorak.
g. Adanya metastasis jauh.
B. Kemoterapi pada Kanker Nasofaring
1. Pengertian.
Menurut (Febriani, 2014) Terapi kemoterapi menggunakan obat-obatan dari
berbagai kelas berbeda untuk menghancurkan sel-sel yang berada di stadium S, M,
atau G pada awal siklus sel (Corwin, J Elizabeth 2009). Tujuan penggunaan terapi ini
terhadap kanker adalah untuk mencegah multiplikasi sel kanker dan menghambat
invasi dan metastase pada sel kanker. Jadi terapi ini cenderung diberikan bila sel
kanker sudah bermetastase luas sehingga menimbulkan efek sistemik
(Prawirodihardjo, 2006).
2. Klasifikasi Kemoterapi.
Menurut (Firdaus dan Prijadi, 2015)Pemberian kemoterapi terbagi dalam 3 kategori :
a. Kemoterapi adjuvant.
19

Pemberian kemoterapi diberikan setelah pasien dilakukan radioterapi. Tujuannya


untuk mengatasi kemungkinan metastasis jauh dan meningkatkan kontrol lokal.
Terapi adjuvan tidak dapat diberikan begitu saja tetapi memiliki indikasi yaitu bila
setelah mendapat terapi utamanya yang maksimal ternyata:
1) Kanker masih ada, dimana biopsi masihpositif.
2) Kemungkinan besar kanker masih ada, meskipun tidak ada bukti secara
makroskopis.
3) Pada tumor dengan derajat keganasan tinggi. oleh karena tingginya resiko
kekambuhan dan metastasis jauh).
b. Kemoterapi neoadjuvan.
Pemberian kemoterapi adjuvant yang dimaksud adalah pemberian sitostatika
lebih awal yang dilanjutkan pemberian radiasi. Maksud dan tujuan pemberian
kemoterapi neoadjuvan untuk mengecilkan tumor yang sensitif sehingga setelah
tumor mengecil akan lebih mudah ditangani dengan radiasi. Kemoterapi
neoadjuvan telah banyak dipakai dalam penatalaksanaan kanker kepala dan leher.
Alasan utama penggunaan kemoterapi neoadjuvan pada awal perjalanan penyakit
adalah untuk menurunkan beban sel tumor sistemik pada saat terdapat sel tumor
yang resisten.

Regimen kemoterapi yang diberikan cisplatin 100 mg/m2 dengan kecepatan


infus 15–20 menit perhari yang diberikan dalam 1 hari dan 5-FU 1000 mg/m2/hari
secara intra vena, diulang setiap 21 hari. Sebelum pemberian Cisplatin diawali
dengan hidrasi berupa 1.000 mL saline 0,9% natrium. Manitol 40 g diberikan
bersamaan dengan cisplatin infus. Setelah pemberian cisplatin, dilakukan
pemberian 2.000 mL 0,9% natrium garam mengandung 40 mEq kalium klorida.
Pasien diberikan antimuntah sebagai profilaksis yang terdiri dari 5-
hydroxytryptamine-3 reseptor antagonis ditambah 20 mg deksametason.
Berdasarkan penelitian pemberian neoadjuvan kemoterapi dalam 2-3 siklus yang
diberikan setiap 3 minggu dengan syarat bila adanya respon terhadap kemoterapi.
c. Kemoterapi Corcurrent.
Kemoterapi diberikan bersamaan dengan radiasi. Umumnya dosis kemoterapi
yang diberikan lebih rendah. Biasanya sebagai radiosensitizer. Kemoterapi
sebagai terapi tambahan pada KNF ternyata dapat meningkatkan hasil terapi
terutama pada stadium lanjut atau pada keadaan relaps. Agen kemoterapi telah
20

digunakan pada pasien dengan rekarens lokal dan metastatik jauh. Agen yang
telah dipakai yaitu metothrexat, bleomycin, 5 FU, cisplatin dan carboplatin
merupakan agen yang paling efektif dengan respon berkisar 15-31%. Agen aktif
yang lebih baru meliputi paklitaxel dan gemcitibine.
3. Tujuan Kemoterapi.
Menurut (Febriani, 2014) penggunaan kemoterapi dapat melalui empat cara yaitu
antara lain :
a. Terapi adjuvant adalah suatu sesi kemoterapi yang digunakan sebagai modalitas
atau terapi tambahan untuk terapi lainnya misalnya pembedahan dan radiasi yang
bertujuan untuk mengobati mikrometastasis.
b. Kemoterapi neo adjuvan yaitu pemberian kemoterapi yang bertujuan untuk
mengecilkan tumor sebelum dilakukan pengangkatan tumor melalui pembedahan.
c. Terapi primer yaitu terapi pada pasien dengan kanker lokal dikarenakan
alternative terapi lain tidak terlalu efektif.
d. Kemoterapi induksi yaitu terapi primer pada pasien kanker karena tidak memilki
alternative terapi lain.
e. Kemoterapi kombinasi yaitu pemberian dua atau lebih obat kemoterapi dalam
terapi kanker yan obat tersebut bersifat sinergis atau saling memperkuat aksi obat
lainnya.
4. Syarat Pemberian Kemoterapi.
Menurut (Kartikawati,2014) pasien dengan keganasan memiki kondisi dan
kelemahan kelemahan, yang apabila diberikan kemoterapi dapat terjadi untolerable
side effect. Sebelum memberikan kemoterapi perlu pertimbangan sbb :
a. Menggunakan kriteria Eastern Cooperative Oncology Group (ECOG) yaitu status
penampilan <= 2.
b. Jumlah lekosit >=3000/ml.
c. Jumlah trombosit>=120.0000/ul.
d. Cadangan sumsum tulang masih adekuat misal Hb > 10
e. Creatinin Clearence diatas 60 ml/menit (dalam 24 jam) ( Tes Faal Ginjal )
f. Bilirubin <2 mg/dl. , SGOT dan SGPT dalam batas normal ( Tes Faal Hepar ).
g. Elektrolit dalam batas normal.
h. Mengingat toksisitas obat-obat sitostatika sebaiknya tidak diberikan pada usia
diatas 70 tahun.
21

Indikator status penampilan dan kemampuan pasien ini diambil, dimana penyait
kanker semakin berat pasti akan mempengaruhi penampilan pasien. Hal ini juga
menjadi faktor prognostik dan faktor yang menentukan pilihan terapi yang tepat pada
pasien dengan sesuai status penampilannya. Skala status penampilan menurut ECOG (
Eastern Cooperative Oncology Group) adalah sbb :
a. Grade 0 : masih sepenuhnya aktif, tanpa hambatan untuk mengerjakan tugas dan
pekerjaan sehari-hari.
b. Grade 1 : hambatan pada perkerjaan berat, namun masih mampu bekerja kantor
ataupun pekerjaan rumah yang ringan.
c. Grade 2 : hambatan melakukan banyak pekerjaan, 50 % waktunya untuk tiduran
dan hanya bisa mengurus perawatan dirinya sendiri, tidak dapat melakukan
pekerjaan lain.
d. Grade 3 : Hanya mampu melakukan perawatan diri tertentu, lebih dari 50%
waktunya untuk tiduran.
e. Grade 4 : Sepenuhnya tidak bisa melakukan aktifitas apapun, betul-betul hanya di
kursi atau tiduran terus.
5. Prinsip Pemilihan Obat Kemoterapi.
a. Obat yang digunakan diketahui aktivitasnya sebagai single agent, terutama obat
yang mempunyai complete remission.
b. Obat dengan mekanisme kerja yang berbeda untuk menghindari efek aditif atau
sinergis.
c. Obat dengan toksisitas yang berbeda untuk mendapatkan dosis yang maksimal
atau mendekati maksimal.
d. Obat harus digunakan pada dosis optimal dan sesuai schedule.
e. Obat harus diberikan pada interval yang konsisten.
f. Obat mempunyai pola resistensi yang berbeda harus dikombinasi untuk
meminimalkan resistensi silang.
6. Regimen Obat Kemoterapi Kanker Nasofaring.
Menurut (Kentjono, 2003) Beberapa sitostatika telah mendapat rekomendasi dari
FDA (Amerika) untuk digunakan pada keganasan didaerah kepala dan leher termasuk
karsinoma nasofaring yaitu Cisplatin, Carboplatin, Methotrexate, 5-Fluorouracil,
Bleomycin, Hydroxyurea, Doxorubicin, Cyclophosphamide, Docetaxel, Mitomycin-
C, Vincristine dan Paclitaxel.
22

Berikut ini beberapa contoh regimen kemoterapi (cisplatin base chemotherapy) yang
dapat digunakan untuk keganasan didaerah kepala leher :
a. Bleomycin / Methotrexate / Cisplatin (BMC).
Bleomycin 10 units, IM, hari ke 1,8 dan 15.
MTX 40 mg/m2, IM, hari ke 1 dan 15.
Cisplatin 50 mg/m2 intravenous pada hari ke 4. Diulang tiap 21 hari.
b. Cisplatin / Mcthotrexate / Blcoraycin / Vincristine (CMBV)
Cisplatin SO mg/m2, IV, hari ke 4.
MTX40 mg/m2, IV, hari 1 dan 15.
Bleomycin 10 units, IV hari ke 1, 6 dan 15.
Vincristine 2 mg, IV, hari 1, 8 dan 15.
Diulang tiap 3 minggu.
c. Carboplatine / Fluorouracil.
Carboplatin 300 mg/m2, IV, hari ke 1.
5-Fluorouracil 1000 mg/m2/hari, diberikan melalui infus kontinu sampai 96 jam
Diulang tiap 28 hari.
d. Cisplatin / Fluorouracil.
Cisplatin 100 mg/m2, IV, hari ke 1.
5-FIuorouracil 1000 mg/m2 /hari, diberikan melalui infus kontinu sampai 96 jam.
Diulang tiap 3 minggu.
e. Cisplatin / Fluorouracil / Bleomycin / Mcthotrexate (CFBM)
Cisplatin 80 mg/m2 yang diberikan melalui infus kontinu pada hari ke 1.
5-Fluorouracil 1000 mg/m2 /hari, diberikan melalui infus kontinu sampai 96 jam.
Bleomycyn 15 unit, IV, hari ke 1.
MTX 100 mg/m2, IV, diberikan pada hari ke 16.
Leucovorin 15 mg peroral tiap 6 jam yang diberikan scbanyak 6 kali, dimulai 24
jam setelah pemberian MTX.
Diulang tiap 3-4 minggu.
f. Cisplatin / Bleomycin / Fluorouracil (PBF).
Cisplatin 100 mg/m2, IV, hari ke 1.
Bleomycin 15 unit bolus IV hari ke 1, dan 16 unit/m2/hari melalui infus kontinu
yang diberikan pada hari ke 1 sampai hari ke 5.
5-Fluorouracil 650 mg/m2/hari, diberikan melalui infus kontinu hari ke 1-5.
Diberikan sebanyak 3 siklus dengan interval 1 bulan.
23

g. Paclitaxel / Cisplatin
Paclitaxel 200 mg/m2, diberikan IV lebih dari 3 jam pada hari ke 1.
Cisplatin 75 atau 100 mg/m2, diberikan IV lebih dari 1 jam pada hari ke 1.
Untuk mencegah kemungkinan terjadinya neutropenia dan neurotoksik, diberikan
G-CSF 5 mg/kg, subkutan pada hari ke 4 sampai 12.
Diulang tiap 3 minggu.
h. Cisplatin / Fluorouracil / Lcucovorin (PFL)
Cispiatin 25 mg/m2/hari, IV kontinus, hari ke 1 sampai 5.
5-Fluorouracil 800 mg/m2/hari, IV kontinus, hari ke 2 - 6.
Leucovorin 500 mg/m2/hari, IV kontinus, hari ke 1 - 6.
Diulang tiap 28hari
i. Vinorelibine / Cisplatin
Cisplatin 80 mg/m2, IV, hari ke 1.
Vinorelbine 25 mg/m2, IV, hari ke 1 dan hari ke 8.
Cisplatin diberikan dalam waktu lebih dari 90 menit. Sebelum penyuntikan
Cisplatin dilakukan prehydration, posthydration dan pemberian antiemetik.
j. Simultaneous Fluorouracil / Cisplatin / Radiation.
5-FIuorouracil 1000 rag/m2/hari, diberikan melalui infus selama 96 jam.
Cisplatin 75 mg/m2, IV hari 1. Bersamaan dengan radiasi sebanyak 3000 cGy
dibagi dalam 15 fraksi antara hari 1 dan 19 sebagai bagian dari regimen ini
Diulang setiap 4 sampai 6 minggu. Regimen kemoterapi lainnya adalah kombinasi
Gemcitabine/Cisplatin. Gemcitabine 800 mg/m2 diberikan hari 1, 8 dan 15.
Sedangkan Cisplatin 50
7. Mekanisme Kerja Obat Kemoterapi.
Menurut (Kartikawati, 2014) kebanyakan obat anti neoplasma yang secara klinis
bermanfaat, agaknya bekerja dengan menghambat sintesis enzim maupun bahan
esensial untuk sintesis dan atau fungsi asam nukleat. Berdasarkan mekanisme cara
kerja obat , zat yang berguna pada tumor kepala leher dibagi sebagai berikut :
a. Antimetabolit, Obat ini menghambat biosintesis purin atau pirimidin. Sebagai
contoh MTX, menghambat pembentukan folat tereduksi, yang dibutuhkan untuk
sintesis timidin.
b. Obat yang mengganggu struktur atau fungsi molekul DNA. Zat pengalkil seperti
CTX ( Cyclophosphamide) mengubah struktur DNA, dengan demikian menahan
replikasi sel.
24

Di lain pihak, antibiotika seperti dactinomycin dan doxorubicin mengikat dan


menyelip diantara rangkaian nukleotid molekul DNA dan dengan demikian
menghambat produksi mRNA.
c. Inhibitor mitosis seperti alkaloid vinka contohnya vincristine dan vinblastine,
menahan pembelahan sel dengan mengganggu filamen mikro pada kumparan
mitosis.
8. Efek Samping Kemoterapi.
a. Efek samping pada saluran gastrointestinal.
Efek samping pada saluran gastrointestinal yang sering diderita oleh pasien adalah
mual dan muntah yang dapat menetap hingga 1 hari setelah pemberian obat
kemoterapi. Sel-sel epitelium yang melapisi rongga mulut dapat dengan cepat
memperbaharui diri sehingga membuatnya rentan terhadap efek obat kemoterapi.
Akibat yang umum terjadi pada pasien adalah diare. Mual, muntah, dan diare yang
berat dapat mengakibatkan pasien mengalami dehidrasi. Berbagai keluhan yang
menjadi tanda dehidrasi pada pasien adalah kekeringan pada membran mukosa
(mulut kering), merasa haus, dan urin yang keluar sedikit.
b. Efek samping pada sistem Hematopoitic.
Myelosupresi ditandai dengan menurunnya jumlah sel-sel darah merah (anemia),
sel darah putih (leukopenia), dan trombosit (trombositopenia). Berbagai keluhan
yang berhubungan dengan anemia, yaitu pasien mudah mengalami kelemahan
atau lelah, peningkatan denyut jantung, merasa pusing jika melakukan perubahan
posisi dengan cepat. Bila bertambah parah maka kulitnya akan sering tampak
pucat. Leukopenia dapat menyebabkan pasien mengalami infeksi. Beberapa tanda
infeksi diantaranya adalah adanya kemerahan pada kulit. Infeksi harus segera
ditangani bila didapati berbagai keluhan, yaitu: demam, menggigil, sakit pada
tenggorokan, luka pada mulut, adanya infeksi pada saluran kemih yang ditandai
dengan merasa panas ketika berkemih atau adanya darah dalam urin. Tanda jika
pasien megalami trombositopenia adalah mudah memar, adanya petekie (bintik-
bintik merah dibawah kulit), mudah berdarah biasanya dari hidung, gusi, atau
rectum.
c. Efek samping pada sistem neurologis.
Golongan obat kemoterapi yang sering menyebabkan gangguan pada sistem
neurologis adalah alkaloid tumbuhan, terutama vinkristin. Efek samping ini
biasanya reversibel dan dapat menghilang setelah selesainya kemoterapi.
25

Beberapa gejala dari neuropati perifer yaitu numbness dan tingling (merasa seperti
tertusuk peniti atau kesemutan) pada tangan dan kaki, nyeri pada ekstremitas, mati
rasa, dan bisa juga menyebabkan ileus paralitik seperti kesulitan dalam menelan.
d. Efek samping pada sistem Kardiopulmonal.
Beberapa obat kemoterapi seperti daunorubicin dan doxorubicin diketahui dapat
menyebabkan penumpukan cardiac toxicity yang bersifat irreversible, terutama
ketika total dosis mencapai 550mg/m2. Cardiac ejection fraction (volume darah
yang dikeluarkan oleh jantung setiap satu detakan) dan tanda dari CHF harus
diobservasi secara mendalam. Bleomycin, carmustin (BCNU) dan busulfan
diketahui dapat berefek racun pada paru-paru jika terakumulasi. Pulmonary
fibrosis dapat terjadi karena efek jangka panjang dari agen ini. Oleh karena itu
pasien harus dimonitor perubahan fungsi paru-paru, termasuk hasil fungsi paru-
paru. Total kumulatif dosis dari bleomycin tidak lebih dari 400 unit.
e. Efek samping lainnya.
Obat kemoterapi juga berpengaruh terhadap sistem reproduksi, yaitu fungsi
testiskular dan ovarium yang berakibat kemungkinan terjadi sterilitas. Pada pasien
wanita akan mengalami menopause dini, sedangkan pada pasien pria akan
mengalami azoosperma (tidak adanya spermatozoa) terjadi secara temporer atau
permanen. Obat kemoterapi juga dapat merusak ginjal karena mempunyai efek
langsung terhadap sistem ekskresi. Oleh sebab itu, diperlukan pemeriksaan fungsi
ginjal secara rutin untuk menghindari adanya kerusakan pada ginjal (Febriani,
2014).
C. Teori Asuhan Keperawatan Kanker Nasofaring
Menurut (Manurung, 2011) proses keperawatan teridiri dari lima tahap, yaitu :
1. Pengkajian
a. Identitas klien
Kaji identitas klien, nama, umur, jenis kelamin, pekerjaan, agama, tanggal masuk
rumah sakit, diagnosa medis tentang penyakit yang diderita serta alamat klien.
b. Riwayat kesehatan.
1) Alasan datang ke rumah sakit
Klien datang dengan rencana operasi, kemoterapi, radiasi, atau perbaikan
kondisi umum.
2) Keluhan utama.
Terdapatnya benjolan berupa tumor ganas daerah kepala dan leher.
26

3) Riwayat kesehatan sekarang.


Klien sering mengalami pembengkakan atau benjolan pada leher berupa tumor
ganas yang terasa nyeri dan sulit untuk digerakkan.
4) Riwayat kesehatan dahulu.
Kaji riwayat kesehatan yang dapat memperparah penyakit seperti lingkungan
yang berpengaruh seperti iritasi bahan kimia, asap sejenis kayu tertentu.
Kebiasaan memasak dengan bahan atau bumbu masak tertentu dan kebiasaan
makan makanan yang terlalu panas serta makanan yang diawetkan ( daging
dan ikan). Penyakit yang pernah di derita klien pada masa lalu.
5) Riwayat kesehatan keluarga.
Kaji riwayat penyakit keturunan, seperti faktor herediter atau riwayat kanker
pada keluarga misal ibu atau nenek dengan riwayat kanker.
6) Riwayat kesehatan lingkungan.
Kaji kondsi tempat tingggal, kebersihan, sumber air dan polusi.
7) Riwayat kebidanan.
Menstruasi, seksualitas, reproduksi, kehamilan dan persalinan yang
sebelumnya.
8) Status psikologi/emosional.
Suanan hati, karakteristik, dan kecemasannya.

9) Sosialisasi.
Komunikasi antar dan inter keluarga, kegiatan di dalam masyarakat.
c. Pemeriksaan Fisik
1) Inspeksi : Wajah, mata, rongga mulut dan leher.
2) Pemeriksaan THT:
a) Otoskopi : Liang telinga, membran timpani.
b) Rinoskopia anterior :
 Pada tumor endofilik tak jelas kelainan di rongga hidung, mungkin
hanya banyak sekret.
 Pada tumor eksofilik, tampak tumor di bagian belakang rongga hidung,
tertutup sekret mukopurulen, fenomena palatum mole negatif.
c) Rinoskopia posterior :
27

 Pada tumor indofilik tak terlihat masa, mukosa nasofaring tampak agak
menonjol, tak rata dan paskularisasi meningkat.
 Pada tumor eksofilik tampak masa kemerahan.
d) Faringoskopi dan laringoskopi.
Kadang faring menyempit karena penebalan jaringan retrofaring; reflek
muntah dapat menghilang.
X – foto : tengkorak lateral, dasar tengkorak, CT Scan.
d. Pola kebiasaan kegiatan hidup
1) Pola Persepsi Kesehatan manajemen Kesehatan.
Tanyakan pada klien bagaimana pandangannya tentang penyakit yang
dideritanya dan pentingnya kesehatan bagi klien? Biasanya klien yang datang
ke rumah sakit sudah mengalami gejala pada stadium lanjut, klien biasanya
kurang mengetahui penyebab terjadinya serta penanganannya dengan cepat.
2) Pola Nutrisi Metabolik.
Kaji kebiasaan diit buruk ( rendah serat, aditif, bahan pengawet), anoreksia,
mual/muntah, mulut rasa kering, intoleransi makanan,perubahan berat badan,
perubahan kelembaban/turgor kulit. Biasanya klien akan mengalami
penurunan berat badan akibat inflamasi penyakit dan proses pengobatan
kanker.

3) Pola Eliminasi
Kaji bagaimana pola defekasi konstipasi atau diare, perubahan eliminasi urin,
perubahan bising usus, distensi abdomen. Biasanya klien tidak mengalami
gangguan eliminasi.
4) Pola aktivas latihan.
Kaji bagaimana klien menjalani aktivitas sehari-hari. Biasanya klien
mengalami kelemahan atau keletihan akibat inflamasi penyakit.
5) Pola istirahat tidur
Kaji perubahan pola tidur klien selama sehat dan sakit, berapa lama klien tidur
dalam sehari? Biasanya klien mengalami perubahan pada pola istirahat;
adanya faktor-faktor yang mempengaruhi tidur seperti nyeri, ansietas.
6) Pola kognitif persepsi.
28

Kaji tingkat kesadaran klien, apakah klien mengalami gangguan


penglihatan,pendengaran, perabaan, penciuman,perabaan dan kaji bagaimana
klien dalam berkomunikasi? Biasanya klien mengalami gangguan pada indra
penciuman.
7) Pola persepsi diri dan konsep diri.
Kaji bagaimana klien memandang dirinya dengan penyakit yang dideritanya?
Apakah klien merasa rendah diri? Biasanya klien akan merasa sedih dan
rendah diri karena penyakit yang dideritanya.
8) Pola peran hubungan.
Kaji bagaimana peran fungsi klien dalam keluarga sebelum dan selama
dirawat di Rumah Sakit? Dan bagaimana hubungan social klien dengan
masyarakat sekitarnya? Biasanya klien lebih sering tidak mau berinteraksi
dengan orang lain.
9) Pola reproduksi dan seksualitas.
Kaji apakah ada masalah hubungan dengan pasangan? Apakah ada perubahan
kepuasan pada klien?. Biasanya klien akan mengalami gangguan pada
hubungan dengan pasangan karena sakit yang diderita.
10) Pola koping dan toleransi stress.
Kaji apa yang biasa dilakukan klien saat ada masalah? Apakah klien
menggunakan obat-obatan untuk menghilangkan stres?. Biasanya klien akan
sering bertanya tentang pengobatan.

11) Pola nilai dan kepercayaan.


Kaji bagaimana pengaruh agama terhadap klien menghadapi penyakitnya?
Apakah ada pantangan agama dalam proses penyembuhan klien? Biasanya
klien lebih mendekatkan diri pada Tuhan Yang Maha Kuasa.
2. Diagnosa keperawatan.
a. Ketidakefektifan Bersihan jalan nafas berhubungan dengan adanya benda asing
(tumor ganas).
b. Nyeri akut berhubungan dengan metastase sel kanker.
c. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
intake makanan yang kurang.
d. Harga diri Rendah berhubungan dengan perubahan perkembangan penyakit.
e. Ansietas berhubungan dengan kurangnya pengetahuan
29

f. Resiko infeksi berhubungan dengan ketidakadekuatan pertahanan sekunder


imunosupresi.
3. Intervensi keperewatan.
a. Ketidakefektifan Bersihan jalan nafas berhubungan dengan adanya benda asing
(tumor ganas).
Kriteria hasil :
1) Melaporkan sesak berkurang/hilang.
2) Bunyi ronchi/weazing tidak terdengar.
3) Mampu melakukan batuk efektif.
4) Pernafasan dalam batas normal RR : 16-24
Intervensi :
1) Kaji frekuensi pernafasan.
Rasional : pernafasan dapat melambat dan frekuensi ekspirasi memanjang
disbanding inspirasi.
2) Berikan posisi semifowler/fowler
Rasional : meningkatkan ekspansi paru dalam memenuhi oksigen.
3) Ajarkan untuk melakukan batuk efektif.
Rasional : mengeluarkan produksi secret secara manual
4) Kolaborasi dalam pemberian bronkodilator dan antimicrobial.
Rasional : merilekskan otot halus pernafasan dan mengontrol infeksi
pernafasan.

b. Nyeri akut berhubungan dengan metastase sel kanker.


Kriteria hasil :
1) Melaporkan nyeri minimal/hilang.
2) Mengikuti anjuran anturan farmakologis.
3) Mampu mendemontrasikan keterampilan relaksasi dan refleksi.
Intervensi :
1) Kaji tingkat nyeri
Rasional : memberikan data dasar untuk mengevaluasi kebutuhan intervensi.
2) Berikan posisi yang nyaman
Rasional : meningkatkan relaksasi
3) Ajarkan tehnik relaksasi.
Rasional : mengalihkan focus pasien terhadap nyeri
30

4) Kolaborasi dalam pemberian anlgetik.


Rasional : mencegah meningkatnya skala nyeri.
c. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
intake makanan yang kurang.
Kriteria hasil :
1) Nafsu makan meningkat
2) Berat badan naik
3) Hasil lab dalam batas normal
Intervensi :
1) Pantau diet makanan setiap hari.
Rasional : mengidentifikasi komsumsi nutrisi tiap hari.
2) Pantau berat badan dan hasil lab.
Rasional : mengidentifikasi rencana tindakan selanjutnya
3) Anjurkan makan sedikit tapi sering.
Rasional : memenuhi kebutuhan nutrisi
4) Berikan makan yang disuka
Rasional : meningkatkan nafsu makan.
5) Kolaborasi dalam pemberian obat antiemetik dan infuse TPN.
Rasional : membantu meningkatkan jumlah kalori yang dibutuhkan.

d. Ansietas berhubungan dengan kurangnya pengetahuan


Kriteria hasil :
1) Mampu mengungkapkan perasaannya
2) Menunjukkan antusiasnya dalam melakukan pengobatan
Intervensi :
1) Berikan pedoman antisipasi pada pasien
Rasional : pasien berhak untuk mengetahui tentang program pengobatannya
2) Beritahu kebutuhan yang sesuai di rumah
Rasional : membantu adaptasi setelah perawatan
3) Anjurkan pasien untuk menjaga kebersihan ketika sudah dirumah.
Rasional : meminimalkan komplikasi dan mengurangi terjadinya infeksi.
31

e. Resiko infeksi berhubungan dengan ketidakadekuatan pertahanan sekunder


imunosupresi.
Kriteria hasil :
Tidak menunjukkan adanya tanda infeksi (rubor, dolor, kalor, tumor)
Intervensi :
1) Pantau tanda dan gejala infeksi.
Rasional : mengidentifikasi tanda infeksi lebih awal
2) Amati higine personal.
Rasional : kebersihan yang baik menimilkan terjadinya inflamasi
3) Pertahankan lingkungan tetap bersih.
Rasional : menghambat terjadinya kontak silang
4) Lakukan perawatan area pemasangan alat invasive.
Rasional : meminimalkan terjadinya infeksi lewat alat.
5) Kolaborasi dalam pemberian antibiotic.
Rasional : Mengendalikan dan meminimalkan terjadinya infeksi.
4. Implementasi.
Menurut (Manurung, 2011) pada tahap ini dilakukan untuk melaksanakan intervensi
keperawatan dan aktivitas keperewatan yang telah dituliskan dalam rencana
keperawatan.

5. Evaluasi.
Menurut (Suara, 2011) evaluasi adalah tahap akhir dari proses keperawatan. Namun,
evaluasi dapat dilakukan pada setiap tahap dari proses keperawatan. Evaluasi
mengacu pada penilaian, tahapan, dan perbaikan. Pada tahap ini perawat menemukan
penyebab mengapa suatu proses keperawatan dapat berhasil atau gagal.
D. Teori Asuhan Kepereawatan dengan kemoterapi.
Menurut (Faoji, 2015) teori asuhan keperawatan dengan kemoterapi.
1. Perawatan pra kemo.
a. Persiapan pasien.
1) Diagnosa keganasan telah ditegakkan oleh dokter onkologi.
2) Sudah ada hasil PA yang menunjukkan keganasan.
32

3) Keadaan Umum pasien baik demam? hipertensi?.


4) Hasil pemeriksaan laboratorium darah ; Hb, Leukosit, Trombosit, gula darah,
albumin, faal ginjal, faal hati serta EKG dalam batas normal.
5) BB & TB.
b. Persiapan Berkas2.
1) Informed Consent.
2) Resep Obat Sitostatika.
3) Jadwal Pemberian Kemoterapi.
4) Protokol Pencampuran Obat Sitostatika.
5) Protokol Pemberian Obat Sitostatika.
6) Hasil Histopatologi (PA).
2. Perawatan intra kemo.
a. Fokus Pengkajian.
1) Pemeriksaan fisik secara umum, mengukur TTV.
2) Lakukan identifikasi secara benar.
3) Pastikan pasien sudah menandatangani InformedConsent.
4) Anamnesa riwayat alergi obat.
5) Kaji aspek psikososial pasien.
b. Masalah yang mungkin timbul.
1) Peningkatan resiko jatuh.
2) Resiko terjadinya ekstravasasi.
3) Resiko terjadi alergi.
4) Rasa mual, muntah.
5) Peningkatan produksi urine, pasien sering ke kamar mandi.
6) Rasa nyeri pada jalur intra vena pada beberapa jenis obat.
c. Menurut hano dan taoka (2005) diagnosa keperawatan yang timbul pada pasien
kanker nasofaring dengan kemoterapi adalah :
1) Resiko kekurangan cairan berhubungan dengan mual dan muntah.
2) Gangguan pada selaput lendir mulut.
3) Resiko infeksi berhubungan dengan neutropenia.
4) Resiko nyeri berhubungan dengan kemoterapi cisplatin.
5) Kurangnya pengetahuan tentang kemoterapi berhubungan dengan kurangnya
informasi mengenai kemoterapi.
d. Intervensi
33

1) Memasang infus menggunakan IV cath besar untuk memastikan kelancaran


tetesan infus
2) Memberikan obat premedikasi. Adapun obat-obat yang biasa digunakan
adalah dexamethason inj 3 amp, diphenhidramine inj 3 amp, ondansentron inj
2 amp, ranitidine inj 2 amp dan furosemide inj 1 amp.
3) Memasukkan obat sitostatika sesuai protocol baik dari jenis obat maupun lama
pemberiannya
4) Setiap sebelum dan sesudah memasukkan obat sitostatika harus diberikan
infuse Nacl 0,9 % minimal 100 ml
5) Mengawasi setiap keluhan pasien
6) Saat pasien ke kamar mandi harus ada yang mendampingi
3. Perawatan post kemo
a. Fokus pengkajian
1) Kaji keluhan yang timbul setelah menjalani kemoterapi ; mual, muntah, tidak
nafsu makan, sariawan, diare, mudah lelah, rambut rontok dll
2) Cek darah rutin 2 minggu setelah kemo untuk mengetahui terjadinya anemia,
leucopenia, tombositopenia
3) Adakah nyeri atau luka di bekas tusukan infuse
4) Hiperpigmentasi pada ujung-ujung jari tangan dan sepanjang jalur vena di
tangan.

b. Masalah yang mungkin timbul


1) Berbagai macam keluhan setelah kemoterapi, namun setiap pasien bisa
berbeda-beda ; mual, muntah, tidak nafsu makan, sariawan, diare, mudah
lelah, rambut rontok dll
2) Terjadi anemia, leucopenia, tombositopenia
3) Penurunan berat badan
c. Intervensi
1) Kolaborasi dokter untuk pemberian obat anti emetik dan meningkatkan nafsu
makan
2) Bila terjadi anemia, leucopenia atau trombositopenia harus segera
dikonsultasikan ke DPJP untuk diberikan terapi
34

3) Selama 2x24 jam setelah kemo, semua sekresi dari tubuh pasien masih
mengandung obat, karena itu perlu diingatkan orang disekitarnya, saat BAK
harus diguyur sampai bersih min 2x
4) Ingatkan pasien untuk jadwal kemoterapi selanjutnya dan beri motivasi agar
pasien tetap semangat.

BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN TN.Y

A. Pengkajian Awal.
1. Data Pasien
a. Nama pasien : Tn.Y
b. No. MR : 223892
c. Tanggal Lahir : 13-03-1970
d. Ruangan : Anggrek 2/lantai 7
e. Tanggal pengkajian : 28-07-2017
35

f. Tanggal masuk rawat : 28-07-2017


g. TB/BB : 162 cm/75 kg
h. Gol. Darah :O
2. Status Kesehatan Saat Ini
a. Alasan kunjungan : kemoterapi IV.
b. Keluhan utama : pasien mengakatan takut efek kemoterapi yang ke IV sama
dengan kemoterapi yang ketiga yaitu muntah, diare, sariawan.
c. Lama keluhan : tidak ada, karena sekarang tidak ada keluhan.
d. Upaya yang telah dilakukan : sebelumnya sudah dilakukan kemoterapi ke I-III
e. Diagnosa medis : KNF.
3. Riwayat Kesehatan
a. Penyakit yang pernah dialami :
Dilakukan kemoterapi III pada tanggal 07-07-2017 di RS Kanker Dharmais
b. Alergi : tidak ada
c. Riwayat transfusi darah : tidak pernah
d. Kebiasaan :
1) Merokok : Iya, 1 bungkus/ hari
2) Minum alkohol : tidak
3) Obat-obatan : tidak
4) Lain-lain : tidak ada

e. Genogram 35

+ + + +

X Di dalam keluarga tidak


ada riwayat penyakit
Pasien belum punya anak
kaker

4. Pemeriksaan.
Tanda-tanda vital: TD: 130/80 mmHG N: 98 x/menit S: 36° C P: 20 x/menit
36

Tingkat kesadaran: compos mentis.


5. Pola kebiasaan.
a. Nutrisi
1) Keluhan : tidak ada keluhan
2) Kebiasaan :
a) Pola makan : teratur 3 x/hari
b) Jenis makanan dan minuman
Disukai : sayur-sayuran
Tidak disukai : tidak ada
Diit saat ini : nasi tinggi kalori tinggi protein.
c) Apakah mengalami penurunan BB yang tidak diinginkan dalam 3 bulan
terakhir : tidak ada penurunan berat badan .
d) Apakah asupan makan berkurang karena tidak nafsu makan?
Nafsu makan masih baik
3) Perubahan gastro intestinal
a) Mulut : normal
b) Gigi : lengkap
c) Lidah : bersih
d) Esophagus : reflek menelan ada
e) Tenggorokan : normal
f) Abdomen.
Inspeksi : tidak ada luka, asites, stoma dan fistula.
Auskultasi : bising usus normal.
Perkusi : tymphani
Palpasi : tidak ada distensi
4) Gangguan saluran cerna : tidak ada gangguan saluran cerna.
5) Asupan nutrisi : oral.
6) Penyakit lainnya: tidak ada riwayat DM dan hipertensi.
7) Pemeriksaan penunjang.
Hasil usg abdomen pada tanggal 27-03-2017 (kesan : tak tampak kelainan
pada organ intraabdominal.
b. Eliminasi
1) Keluhan : tidak ada keluhan
2) Kebiasaan.
37

a) Frekuensi buang air besar (BAB) : 1 x/hari.


b) Frekuensi buang air kecil (BAK) : 5-6 x/hari
3) Pengkangjian eliminasi.
a) BAB : spontan, berwarna kuning, konsistensi lunak.
b) BAK : spontan, normal, berwarna kuning jernih
4) Pemeriksaaan penunjang.
Hasil laboratorium pada tanggal 26-07-2017 (kreatinin: 1,27 mg/dL; eGFR:
64,61 mL/menit/1,73 m2)
c. Aktivitas/Istirahat
1) Keluhan : tidak ada keluhan.
2) Kebiasaan.
a) Mandi : 2 x/hari
b) Cuci rambut : 1 x/2hari
c) Sikat gigi : 2 x/hari
d) Tidur : 6-8 jam/hari
3) Pengkajian sistem musculoskeletal.
a) Mobilisasi : tidak ada kesulitan.
b) Aktivitas dan mobilisasi : mandiri
c) Pemeriksaan penunjang .
Hasil bone scan pada tanggal 27-03-2017 (kesan : tak tampak kelainan
pada bone scan.

d. Sirkulasi.
1) Keluhan : tidak ada keluhan.
2) Pengkajian sirkulasi.
a) Hidung : normal, tidak ada secret.
b) Dada : normal; tidak ada benjolan/tumor; tidak ada luka, krepitasi sub
kutis, pelebaran vena kolateral, dan retraksi dada.
c) Jantung : irama nadi teratur.
d) Paru : vesikuler; tidak ada ronkhi dan wheezing.
e) Perdarahan : tidak ada perdarahan.
f) Turgor : turgor kulit baik.
g) Oedema : tidak ada oedema pada ekstremitas atas dan bawah.
38

h) Lympha edema : tidak ada.


i) Capillary refill : < 2-3 detik.
j) Pemeriksaan penunjang.
 Hasil laboratorium pada tanggal 26-07-2017 (hb : 10,5 g/dL,
trombosit : 359 103/µL)
 Hasil msct nasofaring pada tanggal 10-03-2017 (kesan : neoplasma
maligna palatum mole berukuran 3,6 x 3,3 x 3,4 cm meluas keposterior
menyempitkan lumen orofaring, meluas kelateral, menginfiltrasi
m.tensor dan levator velli palatine kanan kiri, fosa pterygopalatina
kanan, mendetruksi basis crania/ basal sinus sphenoid sisi kanan,
meluas kesinus sphenoid kanan kiri disertai limfadenopati jugularis
kanan kiri dengan ukuran terbesar 1,77x1,39 cm di jugular kanan).
 Hasil PA pada tanggal 23-03-2017 (kesimpulan : karsinoma
undifferenti).
e. Kenyamanan.
1) Keluhan : tidak ada keluhan.
2) Nyeri : tidak.
3) Integritas kulit : tidak ada petechie, hematoma, pruritus dan urtikaria.
4) Luka : tidak ada luka.
5) Dekubitus : tidak ada dekubitus.
6) Tanda-tanda infeksi : tidak ada, pasien terpasang infus di tangan kanan pada
tanggal 28-07-2017..
7) Pemeriksaan penunjang.
Hasil laboratorium 26-07-2017 (leukosit : 20,8 103/µL)
f. Seksual/Reproduksi.
1) Riwayat reproduksi.
a) Keluhan : tidak ada keluhan.
b) Usia pertama kali berhubungan seksual : 29 tahun.
c) Pernikahan ke : 1
d) Jumlah anak : belum punya keturunan
e) Pola seksualitas : tidak terganggu.
2) Pemeriksaan Fisik.
a) Penis : tidak ada benjolan, luka, oedema, nyeri, dan bau.
39

b) Scrotum : tidak tampak membesar dan tidak ada tanda hernia


b) Penggunaan alat kontrasepsi : tidak ada
c) Pemeriksaan penunjang : tidak ada pemeriksaan.
g. Psikososial.
1) Suasana hati : baik.
2) Emosi : stabil.
3) Kepribadian : terbuka.
4) Komunikasi : relevan.
5) Pertahanan koping.
a) Pengambilan keputusan : sendiri, tapi terkadang butuh bantuan keluarga.
b) Cara untuk mengatasi kecemasan : sendiri.
c) Mekanisme koping yang digunakan : konstruktif
6) Sistem nilai kepercayaan.
a) Agama yang dianut pasien : Katholik.
b) Agama/Kepercayaan : penting dalam menjalani proses pengobatan.
c) Adakah program pengobatan yang bertentangan dengan keyainan : tidak
ada
d) Respon terhadap penyakit : menerima
e) Informasi yang dibutuhkan : tindakan, pengobatan, dan perawatan yang
diberikan.
f) Dukungan keluarga : ada, pasien selalu ditemani oleh istri.

h. Keselamatan & proteksi.


1) Status mental : orientasi orang, waktu, dan tempat.
2) Gangguan panca indra.
a) Gangguan penglihatan : tidak ada gangguan.
b) Gangguan pendengaran : tidak ada gangguan.
c) Gangguan pengecapan : tidak ada gangguan.
d) Gangguan penghidu : tidak ada gangguan.
e) Gangguan perabaan : tidak ada gangguan.
3) Pengkajian restrain : tidak ada masalah.
4) Skrening resiko cedera/jatuh : tidak beresiko.
5) Pemeriksaan penunjang : tidak ada pemeriksaan penunjang
40

i. Kebutuhan komunikasi/pendidikan dan pengajaran


1) Tingkat pendidikan pasien : DIII
2) Bahasa sehari-hari : Indonesia
3) Perlu penerjemah : tidak
4) Hambatan belajar : tidak ada
5) Kesediaan pasien menerima informasi : bersedia
6) Cara belajar yang disukai : demonstrasi, diskusi
7) Kebutuhan pembelajaran pasien (pilih topik pembelajaran) : kemoterapi.
B. Pengkajian Kemoterapi.
1. Data pasien.
a. Nama pasien : Tn.Y
b. No. MR : 223892
c. Tanggal lahir : 13-03-1970
d. Tanggal / jam pengkajian : 29-07-2017
e. TB/BB/LPB : 162 cm/75 kg/1,81m2
f. Gol. Darah :O
g. Diagnosis medis : KNF
2. Status kesehatan saat ini
a. Keluhan saat ini : terasa sedikit mual tapi tidak ada muntah sejak mulai masuk
obat yang waktunya habis 22 jam.

b. Protokol kemoterapi.
- Kemoterapi yang diberikan cisplatin 75mg/m2 (1 hari), doxetaxel 75mg/m 2 (1
hari), 5-FU 1000mg/m2 (4 hari berturut – turut).
- Merupakan kemoterapi siklus ke IV.
c. Tanda – tanda vital.
TD: 130/80 mmHG N: 98 x/menit S: 36° C P: 20 x/menit dan tidak ada
nyeri.
d. Pemeriksaan penunjang.
Hasil laboratorium pada tanggal 26-07-2017 (hb : 10,5 g/dL, leukosit : 20,8
103/µL, trombosit : 359 103/µL, kreatinin: 1,27 mg/dL; eGFR: 64,61
41

mL/menit/1,73 m2) dan Hasil PA pada tanggal 23-03-2017 (kesimpulan :


karsinoma undifferenti).
e. Sakala aktifitas (ECOG).
Nilai (0) yang artinya aktif penuh, melakukan semua kegiatan tanpa hambatan
f. Pengkajian symptom (Edmonton Symptom Assessment Scale =ESAS).
1) Nyeri : nilai 0 (tidak nyeri)
2) Lelah : nilai 2 (tingkat lelah ringan).
3) Mual : nilai 4-5 ( mual sedang)
4) Depresi : nilai 0 (tidak depresi)
5) Cemas : nilai 3-4 (cemas antara ringan dan sedang).
6) Mengantuk : nilai 3 (ngantuk ringan)
7) Nafsu makan : nilai 1(nafsu makan baik)
8) Kesehatan dan kebugaran : nilai 2 (merasa sehat dan bugar)
9) Sesak nafas : nilai 1 (tidak sesak)
10) Masalah : nilai 1 (tidak ada).
3. Riwayat kesehatan lalu.
a. Tindakan perawatan terakhir : dilakukan kemoterapi yang ketiga
b. Keluhan yang dialami : mual pada saat kemoterapi, nafsu makan berkurang
setelah 3 hari kemoterapi, sariawan timbul dan berkurang setelang minggu ke 3
post kemoterapi.
c. Riwayat ekstravasasi : tidak ada

4. Pemeriksaan fisik.
a. Mata : tidak ada kelainan.
b. Mulut dan gigi : tidak ada kelainan.
c. Leher : tidak ada kelainan
d. Dada : tidak ada kelainan
e. Abdomen : tidak ada kelainan
f. Ekstrimitas : tidak ada kelainan
g. Kulit : tidak ada kelainan
h. Insersi vena : vena perifer pada daerah tangan kanan
C. Penatalaksanaan Medis
42

1. Pasang infus Nacl 500/6 jam (untuk hidrasi)


2. Injeksi Dexamethason 2@ (10 mg) 2 kali pmeberian sebelum kemoterapi
3. Injeksi ondansetron 4x8mg (diberikan setelah kemoterapi dimulai)
4. Kemoterapi yang diberikan cisplatin 75mg/m2 (1 hari), doxetaxel 75mg/m2 (1 hari), 5-
FU 1000mg/m2 (4 hari berturut – turut).
D. Resume Pengkajian
Pada pengkajian yang diakukan pada tanggal 28-07-2017 pasien atas nama Tn.Y,
jenis kelamin laki – laki, umur 47 dengan diagnosa KNF datang ke Rs Kanker Dharmais
pada tanggal 28-07-2017untuk melakukan pengobatan kemoterapi yang ke IV.
Pasien datang kerumah sakit dengan keluhan pasien takut efek kemoterapi yang ke IV
sama dengan kemoterapi yang ketiga yaitu muntah, diare, dan sariawan. Sebelumnya
pasien pernah dirawat untuk pengobatan kemoterapi yang pertama sampai dengan ketiga.
Pasien juga memiliki kebiasaan merokok 1 bungkus/ hari.
Hasil laboratorium pada tanggal 26-07-2017 (hb : 10,5 g/dL, leukosit : 20,8 10 3/µL,
trombosit : 359 103/µL, kreatinin: 1,27 mg/dL; eGFR: 64,61 mL/menit/1,73 m2). Hasil
msct nasofaring pada tanggal 10-03-2017 (kesan : neoplasma maligna palatum mole
berukuran 3,6 x 3,3 x 3,4 cm meluas keposterior menyempitkan lumen orofaring, meluas
kelateral, menginfiltrasi m.tensor dan levator velli palatine kanan kiri, fosa
pterygopalatina kanan, mendetruksi basis crania/ basal sinus sphenoid sisi kanan, meluas
kesinus sphenoid kanan kiri disertai limfadenopati jugularis kanan kiri dengan ukuran
terbesar 1,77x1,39 cm di jugular kanan).

Pada tanggal 28-07-2017 pasien dilakukan pemasangan infus untuk persiapan IV line
kemoterapi dan untuk hidrasi sebelum kemoterapi. Pada tanggal 29-07-2017 pasien
dilakukan kemoterapi dengan protokol kemoterapi yang diberikan cisplatin 75mg/m 2 (1
hari), doxetaxel 75mg/m2 (1 hari), 5-FU 1000mg/m2 (4 hari berturut – turut). Line infuse
kemoterapi tidak ada masalah seperti kemrahan, nyeri, extravasasi, infuse rembes, dan
cek blood return ada. Pasien mulai mengeluh rasa mual setelah diberikan obat 5-FU
1000mg/m2 untuk diberikan selama 22 jam.
E. Data Fokus
No Data Subjektif Data Objektif
1. Pasien mengatakan ini kemo keempat, dan takut efek 1. TTV: TD 130 mmHG,
43

kemoterapi yang sekarang sama dengan kemoterapi yang Nadi 98 x/menit


ketiga. 2. Raut wajah pasien
terlihat cemas
2. Pasien mengakatan tidak terasa nyeri pada daerah 1. Terpasang infus
penusukan infuse. ditangan kanan.
2. Leukosit : 20,8 103/µL.
3. Mampu melakukan
hygiene personal secara
mandiri.
4. Tidak ada tanda infeksi
3. Pasien mengatakan ada sedikit mual setelah kemoterapi 1. Pasien tampak tidak
sejak mulai masuk obat yang waktunya habis 22 jam napsu makan.
2. Makan yang diberikan
hanya dihabiskan ½
porsi dan minum
sedikit.
3. Pasien tampak sedikit
lelah.
4. Pasien mengatakan infuse tidak terasa sakit atau terasa 1. Terpasang kemoterapi
seperti terbakar. lewat infuse.
2. Blood return ada.
3. Tanda kemerahan tidak
ada.
4. Infus tidak bengkak

F. Analisa Data
No. Data Masalah Keperawatan Etiologi
1. DS : Cemas Pertumbuhan kanker
Pasien mengatakan ini kemo pada nasofaring
keempat, dan takut efek
kemoterapi yang sekarang sama Tampak benjolan dileher
dengan kemoterapi yang ketiga.
DO : Perasaan tidak nyaman
- TTV: TD 130 mmHG, Nadi 98 terhadap perubahan
x/menit kesehatan
- Raut wajah pasien terlihat
cemas Ansietas/cemas

2. DS : Resiko Infeksi Kanker nasofaring


Pasien mengakatan tidak terasa
44

nyeri pada daerah penusukan Pengobatan kemoterapi


infus
DO : Imunoupresi,
- Terpasang infus ditangan neutropenia, agen
kanan. farmaseutika
- Leukosit : 20,8 103/µL.
- Mampu melakukan hygiene Resiko infeksi
personal secara mandiri.
- Tidak ada tanda infeksi
3. DS : Mual Kanker nasofaring
Pasien mengatakan ada sedikit
mual setelah kemoterapi sejak Pemberian obat
mulai masuk obat yang waktunya kemoterapi
habis 22 jam
DO : Merangsang
- Pasien tampak tidak napsu kemoreseptor
makan
- Makan yang diberikan hanya Mual
dihabiskan ½ porsi dan minum
sedikit
- Pasien tampak sedikit lelah.
4 DS : Resiko ekstravasasi Kanker nasofaring
Pasien mengatakan infuse tidak
terasa sakit atau terasa seperti Kemoterapi
terbakar.
DO : Resiko kerusakan
- Terpasang kemoterapi lewat integritas kulit/
infus extravasasi
- Blood return ada.
- Tanda kemerahan tidak ada
- Infus tidak bengkak
45

G. Diagnosa dan Perencanaan Asuhan Keperawatan.


Hari/ tanggal : Jum’at, 28-07-2017 Ruang : Anggrek 2
Diagnosa keperawatan Kriteria Hasil (NOC) Intervensi (NIC)
Cemas berhubungan dengan perubahan Tujuan : 1. Kaji tingkat kecemaasan dan reaksi
status peran, status kesehatan, pola Setelah dilakukan tindakan keperawatan fisik terhadap kecemasan ( takikardi,
interaksi selama 1x24 jam diharapkan pasien tidak non verbal menunjukkan cemas)
DS : cemas dengan kriteria hasil : 2. Motivasi pasien untuk ungkapkan
Pasien mengatakan ini kemo keempat, 1. Cemas tidak ada perasaan identifikasi kebutuhan,
dan takut efek kemoterapi yang sekarang 2. Ekspresi wajah menunjukkan penuruna ketidaktahuan dan pertanyaan
sama dengan kemoterapi yang ketiga. cemas. 3. Bantu pasien untuk menfokuskan
3. Mampu mendemonstrasikan tehnik pada situasi saat ini.
DO :
mengontrol cemas. 4. Berikan penguatan positif
- TTV: TD 130 mmHG, Nadi 98 x/menit
4. Tanda vital menunjukkan penurunan 5. Ciptakan lingkungan yang tenang.
- Raut wajah pasien terlihat cemas
cemas. 6. Kolaborasi dalam pemberian terapi
TD : 100/60-140/90 mmHg untuk menurunkan cemas
N : 60-100x/menit
RR : 16-24x/menit

45
Hari/ tanggal : Jum’at, 28-07-2017 Ruang : Anggrek 2
46

Diagnosa keperawatan Kriteria Hasil (NOC) Intervensi (NIC)


Resiko infeksi berhubungan dengan Tujuan : 1. Monitor tanda dan gejala infeksi.
penyakit kronis dan prosedur invasife. Setelah dilakukan tindakan 2. Amati hygiene personal.
DS : kepereawatan selama 4x24 jam 3. Jelaskan tentang tanda dan gejala
Pasien mengakatan tidak terasa nyeri diharapkan pasien tidak cemas dengan infeksi.
pada daerah penusukan infus kriteria hasil : 4. Pertahankan lingkungan yang bersih
1. Tidak terjadi tanda dan gejala infeksi dan aman dari infeksi.
DO :
(rubor, dolor, kalor, tumor). 5. Perhatikan tehnik aseptik.
- Terpasang infus ditangan kanan.
2. Memperlihatkan hygiene personal 6. Lakukan perawatan area pemasangan
- Leukosit : 20,8 103/µL.
adekuat alat invasive tiap 3 hari.
- Mampu melakukan hygiene personal
3. Hasil laboratorium dalam batas 7. Kolaborasi dalam pemberian therapy
secara mandiri.
normal antibiotic dan pemeriksaan
- Tidak ada tanda infeksi
(leukosit : 5-10 103/µL). laboratorium.

46
Hari/ tanggal : Jum’at, 29-07-2017 Ruang : Anggrek 2
Diagnosa keperawatan Kriteria Hasil (NOC) Intervensi (NIC)
47

Mual berhubungan dengan efek terapi Tujuan : 1. Pantau nutrisi dan cairan yang di
kemoterapi Setelah dilakukan tindakan keperawatan konsumsi
DS : selama 4x24 jam pasien tidak mual 2. Jelaskan penyebab mual
Pasien mengatakan ada sedikit mual dengan criteria hasil : 3. Ajarkan untuk makan secara perlahan
setelah kemoterapi sejak mulai masuk 1. Mual tidak ada 4. Ajarkan untuk melakukan perawatan
obat yang waktunya habis 22 jam 2. Nafsu makan membaik. mulut.
3. Status nutrisi membaik. 5. Pimdahkan benda yang menimbulkan
DO :
bau.
- Pasien tampak tidak napsu makan
6. Tinggikan bagian kepala saat makan
- Makan yang diberikan hanya
dan setelah makan.
dihabiskan ½ porsi dan minum sedikit
7. Berikan makanan yang disukai
- Pasien tampak sedikit lelah.
8. Kolaborasi dalam pemberian terapi
antiemetic (ondan 4x8mg) dan therapi
cairan nacl 500/ 6 jam.

47
Hari/ tanggal : Sabtu, 29-07-2017 Ruang : Anggrek 2
Diagnosa keperawatan Kriteria Hasil (NOC) Intervensi (NIC)
Resiko gangguan integritas kulit Tujuan : 1. Monitor kelancaran infus.
48

berhubungan dengan ekstravasasi. Setelah dilakukan tindakan keperawatan 2. Jelaskan tanda ekstravasasi.
DS : selama 4x24 tidak terjadi extravasasi 3. Lakukan aspirasi.
Pasien mengatakan infuse tidak terasa dengan criteria hasil : 4. Lakukan pengecekan vena “blood
sakit atau terasa seperti terbakar. 1. Tidak ada tanda kemerahan. return).
2. Tidak mengeluh nyeri, panas di 5. Lakukan manajemen penanganan
DO :
daerah penusukan infus. ekstravasasi.
- Terpasang kemoterapi lewat infus
6. Kolaborasi pemberian terapi analgetik
- Blood return ada.
dan perawatan luka oleh tim luka.
- Tanda kemerahan tidak ada
- Infus tidak bengkak

48
H. Implementasi dan Evaluasi
Diagnosa Keperawatan Tanggal/Jam Implementasi Evaluasi
49

Cemas berhubungan dengan 28-07-2017


perubahan status peran, status 11.00 1. Mengkaji tingkat kecemasan S :Pasien mengatakan kapan mulai bisa
kesehatan, pola interaksi 2. Memotivasi pasien untuk dikemoterapi.
mengungkapkan perasaan. O : Ekspresi wajah tampak tenang.,
11.15 3. Membantu pasien untuk fokus pada mampu adaptasi dengan ruangan
situasi saat ini pengobatan, tersenyum terhadap
11.25 4. Melakukan pemeriksaan tanda – perawat, TTV (TD : 120/80 mmHg, N :
tanda vital. 84, RR :20)
11.35 5. Menciptakan lingkungan yang A : Masalah teratasi.
tenang. P : intervensi dipertahankan.
Resiko infeksi berhubungan dengan 28-07-2017
penyakit kronis dan prosedur 11.00 1. Memonitor tanda dan gejala infeksi. S : pasien mengatakan infusnya diplester
invasif. 2. Mengamati hygiene personal. yang rekat, biar tidak lepas jiak
3. Memperhatikan tehnik aspetik. bergerak.
11.35 4. Melakukan pemasangan infus. O : infus terpasang, tidak ada tanda
5. Menjelaskan tanda dan gejala infeksi. gejala infeksi, suhu : 36,4
6. Mempertahankan lingkungan yang A : masalah tidak terjadi.
bersih P : intervensi lanjutkan (1,4,5,6, dan 7)

49
Diagnosa Keperawatan Tanggal/Jam Implementasi Evaluasi
Resiko infeksi berhubungan dengan 29-07-2017
penyakit kronis dan prosedur 14.15 1. Memonitor tanda dan gejala infeksi. S : pasien mengatakan infus tidak ada
50

invasife. 15.30 2. Melakukan pemeriksaan tanda – kemerahan.


tanda vital O : infus terpasang, tidak ada tanda
gejala infeksi, suhu : 36,3
A : masalah tidak terjadi.
P : intervensi lanjutkan (1,4,5,6, dan 7)
Resiko gangguan integritas kulit 29-07-2017
berhubungan dengan ekstravasasi. 14.15 1. Memonitor kelancaran infus. S : pasien mengatakan infus tidak terasa
2. Melakukan aspirasi dan cek vena nyeri dan mulai terasa mual.
dengan blood return . O : tidak tampak kemerahan, tidak nyeri
14.30 3. Menjelaskan tanda ekstravasasi. pada daerah penusukan infus, terpasang
4. Memberikan obat kemoterapi. kemoterapi sampai jam 16.30
(30/07/2017)
A : ektravasasi tidak terjadi.
P : lanjutkan intervensi (1,3,4,5,6)
laksanakan rencana intervensi masalah
mual untuk shif malam.

50
Diagnosa Keperawatan Tanggal/Jam Implementasi Evaluasi
Resiko infeksi berhubungan dengan 30-07-2017
penyakit kronis dan prosedur 14.30 1. Memonitor tanda dan gejala infeksi. S : pasien mengatakan infus tidak ada
51

invasife. 16.00 2. Melakukan pemeriksaan tanda – keluhan


tanda vital O : infus terpasang, tidak ada tanda
gejala infeksi, suhu : 36,3
A : masalah tidak terjadi.
P : intervensi lanjutkan (1,4,5,6, dan 7)
Resiko gangguan integritas kulit 30-07-2017
berhubungan dengan ekstravasasi. 14.30 1. Memonitor kelancaran infus. S : pasien mengatakan infus tidak terasa
2. Melakukan aspirasi dan cek vena nyeri.
dengan blood return . O : tidak tampak kemerahan, tidak nyeri
16.30 3. Memberikan kemoterapi hari kedua. pada daerah penusukan infus, terpasang
kemoterapi sampai jam 14.30
(31/07/2017)
A : ektravasasi tidak terjadi.
P : lanjutkan intervensi (1,3,4,5,6)

51
Mual berhubungan dengan efek 30-07-2017 S : pasien mengatakan mual berkurang.
terapi kemoterapi. 14.30 1. Memantau nutrisi dan cairan yang O : minum kurang lebih 500 cc,
dikonsumsi. makanan dihabiskan ½ porsi, posisi
52

18.00 2. Kolaborasi dalam pemberian therapy duduk fowler, hipersaliva berkurang.


anti emetik ( injeksi ondan 4 x 8 mg ). A : masalah teratasi sebagian.
P : intervensi dilanjutkan (1,8).

Diagnosa Keperawatan Tanggal/Jam Implementasi Evaluasi


Resiko infeksi berhubungan dengan 31-07-2017
penyakit kronis dan prosedur 14.30 1. Memonitor tanda dan gejala infeksi. S : pasien mengatakan infus tidak ada
invasife. 16.00 2. Melakukan pemeriksaan tanda – keluhan
tanda vital O : infus terpasang, tidak ada tanda
gejala infeksi, suhu : 36,3
A : masalah tidak terjadi.
P : intervensi lanjutkan (1,4,5,6, dan 7)
Resiko gangguan integritas kulit 31-07-2017
berhubungan dengan ekstravasasi. 14.30 1. Memonitor kelancaran infus. S : pasien mengatakan infus tidak terasa
2. Melakukan aspirasi dan cek vena nyeri.
dengan blood return . O : tidak tampak kemerahan, tidak nyeri
14.30 3. Memberikan kemoterapi hari kedua. pada daerah penusukan infus, terpasang

52
kemoterapi sampai jam 12.30
(01/08/2017)
A : ektravasasi tidak terjadi.
P : lanjutkan intervensi (1,3,4,5,6)
Mual berhubungan dengan efek 31-07-2017
53

terapi kemoterapi. 14.30 1. Memantau nutrisi dan cairan yang S : pasien mengatakan mual sudah
dikonsumsi. berkurang.
18.00 2. Kolaborasi dalam pemberian therapy O : minum kurang lebih 500 cc,
anti emetik ( injeksi ondan 4 x 8 mg ). makanan dihabiskan ½ porsi, posisi
duduk fowler, hipersaliva berkurang .
A : masalah teratasi sebagian.
P : intervensi dilanjutkan (1,8).

Diagnosa Keperawatan Tanggal/Jam Implementasi Evaluasi


Resiko infeksi berhubungan dengan 01-08-2017
penyakit kronis dan prosedur 09.15 1. Memonitor tanda dan gejala infeksi. S : pasien mengatakan infus tidak ada
invasife. 2. Menurunkan protokol keluhan
Kemoterapi hari ketiga ke produksi. O : infus terpasang, tidak ada tanda
10.00 3. Melakukan pemeriksaan tanda – gejala infeksi, suhu : 36,4
tanda vital A : masalah tidak terjadi.
P : intervensi lanjutkan (1,4,5,6, dan 7)
Resiko gangguan integritas kulit 01-08-2017

53
berhubungan dengan ekstravasasi. 09.15 1. Memonitor kelancaran infus. S : pasien mengatakan infus tidak terasa
2. Melakukan aspirasi dan cek vena nyeri.
dengan blood return . O : tidak tampak kemerahan, tidak nyeri
12.30 3. Memberikan kemoterapi hari keempat pada daerah penusukan infus, terpasang
kemoterapi sampai jam 10.30
54

(02/08/2017)
A : ektravasasi tidak terjadi.
P : lanjutkan intervensi (1,3,4,5,6)

Mual berhubungan dengan efek 01-08-2017


terapi kemoterapi. 09.15 1. Memantau nutrisi dan cairan yang S : pasien mengatakan mual hilang
dikonsumsi. timbul.
12.00 2. Kolaborasi dalam pemberian therapy O : minum kurang lebih 450 cc,
anti emetik ( injeksi ondan 4 x 8 mg ). makanan dihabiskan 1 porsi, hipersaliva
12.30 3. Memberikan makanan sesuai menu minimal.
yang disukai. A : masalah teratasi sebagian.
P : intervensi dilanjutkan (1,8).

54
Diagnosa Keperawatan Tanggal/Jam Implementasi Evaluasi
Resiko infeksi berhubungan dengan 02-08-2017
penyakit kronis dan prosedur 09.15 1. Memonitor tanda dan gejala infeksi. S : pasien mengatakan infus dilepas
invasife. 10.00 2. Melakukan pemeriksaan tanda – sekarang.
tanda vital. O : infus dilepas, tidak ada tanda gejala
10.30 3. Membilas kemoterapi. infeksi, suhu : 36,4
55

12.00 4. Menyiapkan pasien untuk pulang. A : masalah tidak terjadi.


13.30 5. Melepas infus. P : intervensi dihentikan, pasien pulang
Resiko gangguan integritas kulit 02-08-2017
berhubungan dengan ekstravasasi. 09.15 1. Memonitor kelancaran infus. S : pasien mengatakan bekas tusukan
2. Melakukan aspirasi dan cek vena infuse tidak terasa sakit.
dengan blood return . O : tidak tampak kemerahan, tidak nyeri
pada daerah bekas tusukan infuse, post
kemoterapi
A : ektravasasi tidak terjadi.
P : intervensi dihentikan, pasien pulang.

55
Mual berhubungan dengan efek 02-08-2017
terapi kemoterapi. 09.15 1. Memantau nutrisi dan cairan yang S : pasien mengatakan mual hilang
dikonsumsi. timbul..
12.00 2. Kolaborasi dalam pemberian therapy O : minum kurang lebih 450 cc,
anti emetik ( injeksi ondan 4 x 8 mg ). makanan dihabiskan 1 porsi, hipersaliva
56

minimal.
A : masalah teratasi sebagian.
P : intervensi dihentikan, pasien pulang.

56
57

I. Discharge Planning
Nama pasien : Tn.Y Tanggal masuk : 28-07-2017
No. MR : 223892 Tanggal Keluar : 02-08-217
Jenis Kelamin : Laki - laki Ruangan : Anggrek 2
Tanggal Lahir : 13-03-1970 Diagnosis : KNF

Kegiatan Uraian
1. Aktivitas
a. Jenis aktivitas yang boleh a. Kurangi aktivitas yang berat dan perbanyak
dilakukan. istirhat.
b. Alat bantu yang digunakan. b. Tidak ada.
2. Edukasi Kesehatan
a. Jadwal control a. Selasa (11-08-2017)
b. Pemeriksaan laboratorium lanjutan b. Diberikan setelah kntrol hari selasa (11-08-
2017)
c. Pencegahan terhadap kekambuhan c. Minum obat secara teratur
1. Perawatan Dirumah
a. Kenali tanda dan gejala yang perlu a. Muntah, diare dan nafsu makan yang
dilaporkan berkurang
b. Pengobatan/ tindakan yang dapat b. Minum air puith yang cukup, makan sedikit
dilakukan dirumah sebelum ke tapi sering, hindari makanan yang berbau
rumah sakit. menyengat.
c. Rencana tindakan/ pengobatan c. Minum secara teratur yang didapat dari dokter
yang dilanjutkan dirumah dan control sesuai jadwal yang sudah
ditentukan
2. Diet Hindari makanan yang pedas dan bahan
berpengawet
3. Rincian pemulangan
a. Tanggal pemulangan a. Minggu (02-08-2017)
b. Pendamping/ care giver b. Pendamping istri pasien
c. Tempat pemulangan/tujukan c. Rumah pribadi
d. Transportasi yang digunakan d. Kendaraan pribadi
e. Keadaan umum saat pemulangan e. Keadaan umum baik
4. Obat –obatan yang dibawa pulang Ondansetron tablet 4x8mg dan lansoprazol 2x1
BAB 4
PEMBAHASAN
58

Setelah penulis melakukan asuhan keprawatan pada Tn. Y dengan diagnosa medis
KNF dengan program kemoterapi diruang Anggrek 2 Rs Kanker Dharmasi pada tanggal 28-
07-2017 sampai dengan tanggal 02-08-2017 maka penulis akan membahas kesenjangan
antara teori dan kasus berdasarkan proses keperawatan yaitu pengkajian, diagnosa
keperawatan, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi.
A. Pengkajian
Pada teori, kanker nasofaring merupakan keganasan yang muncul pada daerah
nasofaring yang ditandai dengan gejala epsitaksi ringan, sumbatan hidung dan pilek. Pada
daerah telinga timbul gejala berupa tinnitus, berdenging sampai rasa nyeri ditelinga. Pada
daerah mata penglihatan terjadi gejala diplopia yaitu penglihatan ganda. Kemudian
metastasis ke kelnjar leher dalam bentuk benjolan dileher. Tetapi pada kasus Tn.Y pada
saat pengkajian tidak ditemukan tanda dan gejala seperti epistaksis, hidung tersumbat,
pilek, telinga berdenging, benjolan dileher, nyeri, penglihatn diplopia. Kesenjangan teori
dan kasu tn.Y ini terjadi karena pada saat pengkajian pasien sudah dilakukan pengobatan
kemoterapi sebanyak 3 kali sehingga tanda dan gejala yang disebutkan diatas tidak
muncul.
Pada tahap pengkajian penulis tidak mengalami kendala atau hambatan yang
berarti. Dan faktor pendukung penulis dalam pengkajian adalah pasien dan keluarga
sangat kooperatif dalam menjawab dan menjelaskan keterangan yang dibutuhkan oleh
penulis. Alat untuk melakukan pemriksaan fisik terhadap pasien sudah cukup memadai.
B. Diagnosa Keperawatan
Pada pengkajian kasus Tn.Y didapatkan 4 diagnosa keperawatan berdasarkan
prioritas maslah yang diurutkan oleh penulis. diagnosa yang pertama adalah cemas
berhubungan dengan perubahan status peran, status kesehatan, pola interaksi. Yang kedua
adalah resiko infeksi berhubungan dengan penyakit kronis dan prosedur invasife. Untuk
diagnosa ketiga dan keempat dirumuskan setelah pasien diberikan kemoteapi yaitu mual
berhubungan dengan efek terapi kemoterapi dan resiko gangguan integritas kulit
berhubungan dengan ekstravasasi.
Diagnosa pertama cemas berhubungan dengan perubahan status peran, status
kesehatan, pola interaksi. Pengertian cemas adalah perasaan tidak nyaman atau
kekhawatiran yang samar disertai respon autonom (sumber sering kali tidak spesifik atau
tidak diketahui oleh individu) (Wilkinson, 2012). Data subjektif yang diperoleh yaitu :
58
59

pasien mengatakan ini kemo keempat, dan takut efek kemoterapi yang sekarang sama
dengan kemoterapi yang ketiga. Data objektif yang diperoleh yaitu : TTV: TD 130
mmHG, Nadi 98 x/menit, Raut wajah pasien terlihat cemas.
Diagnosa kedua resiko infeksi berhubungan dengan penyakit kronis dan prosedur
invasife. Pengertian resiko infeksi adalah sesuatu yang beresiko terhadap invasi organime
pathogen (Wilkinson, 2012). Data subjektif yang diperoleh : pasien mengakatan tidak
terasa nyeri pada daerah penusukan infuse. Data objektif yang diperoleh : terpasang infus
ditangan kanan, Leukosit : 20,8 103/µL, mampu melakukan hygiene personal secara
mandiri, tidak ada tanda infeksi.
Diagnosa ketiga mual berhubungan dengan efek terapi kemoterapi. Pengertian
mual adalah perasaan subjektif seperti gelombang yang tidak menyenangkan dibelakang
tenggorok, epigastrium, atau abdomen yang dapat mendorong keinginan untuk muntah
(Wlkinson, 2012). Data subjektif yang diperoleh adalah : pasien mengatakan ada sedikit
mual setelah kemoterapi sejak mulai masuk obat yang waktunya habis 22 jam. Data
objektif yang diperoleh : pasien tampak tidak napsu makan, makan yang diberikan hanya
dihabiskan ½ porsi dan minum sedikit, pasien tampak sedikit lelah.
Diagnosa keempat Resiko gangguan integritas kulit berhubungan dengan
ekstravasasi. Resiko kerusakan integritas kulit adalah kulit yang beresiko terhadap
kerusakan (Wilkinson, 2012). Data subjektif yang diperoleh yaitu : pasien mengatakan
infuse tidak terasa sakit atau terasa seperti terbakar. Data objektif yang diperoleh yaitu :
terpasang kemoterapi lewat infuse, blood return ada, tanda kemerahan tidak ada, infus
tidak bengkak
Dalam perumusan diagnosa penulis tidak menemukan hambatan yang berarti.
Dikarenakan pasien dan keluarga sangat kooperatif dan menggerti tentang penyakit serta
pengobatan yang akan dilakukan.
C. Perencanaan Keperawatan.
Intervensi utama NIC merupakan intervensi yang dijumpai dalam nursing
diagnosa, outcome, intervention. Sedangkan intervensi prioritas NIC merupakan prioritas
merupakan intervensi yang dikembangkan berdasarkan penetitian yang dilakukan oleh
tim lowa intervention project sebagai penanganan pilihan untuk diagnosis keperawatan
tertentu (Wilkinson, 2012).
Rencana keperawatan pada diagnosa yang pertama (cemas) adalah kaji tingkat
kecemaasan dan reaksi fisik terhadap kecemasan ( takikardi, non verbal menunjukkan
cemas), motivasi pasien untuk ungkapkan perasaan identifikasi kebutuhan, ketidaktahuan
60

dan pertanyaan, bantu pasien untuk menfokuskan pada situasi saat ini, berikan penguatan
positif, ciptakan lingkungan yang tenang, kolaborasi dalam pemberian terapi untuk
menurunkan cemas.
Rencana keperawatan pada diagnosa yang kedua (resiko infeksi) adalah monitor
tanda dan gejala infeksi, amati hygiene personal, jelaskan tentang tanda dan gejala
infeksi, pertahankan lingkungan yang bersih dan aman dari infeksi, perhatikan tehnik
aseptic, lakukan perawatan area pemasangan alat invasive tiap 3 hari, kolaborasi dalam
pemberian therapy antibiotic dan pemeriksaan laboratorium.
Rencana keperawatan pada diagnosa yang ketiga (mual) pantau nutrisi dan cairan
yang di konsumsi, ajarkan untuk makan secara perlahan, ajarkan untuk melakukan
perawatan mulut, pindahkan benda yang menimbulkan bau, tinggikan bagian kepala saat
makan dan setelah makan, berikan makanan yang disukai, kolaborasi dalam pemberian
terapi antiemetic (ondan 4x8mg) dan therapi cairan nacl 500/ 6 jam.
Rencana keperawatan pada diagnosa yang keempat (resiko ekstravasasi) monitor
kelancaran infuse, jelaskan tanda ekstravasasi, lakukan aspirasi, lakukan pengecekan vena
“blood return), lakukan manajemen penanganan ekstravasasi, kolaborasi pemberian terapi
analgetik dan perawatan luka oleh tim luka.
adalah Pada penyusuna perencanaan keperawatan tidak ada hambatan. Faktor
pendukung dalam penyusunan perencanaan adalah penulis dapat bekerja sama dengan
perawat lain. Pasien dan keluarga kooperatif dengan penulis. Selain itu dalam penyusunan
perencanaan keperawatan sudah disediakan form perencanaan keperawatan sesuai dengan
diganosa keprawatan sehingga penulis atau perawat tinggal mengisi atau memilih sesuai
dengan kolom yang sudah ada pada form tersebut.
D. Implementasi.
Implementasi adalah melaksanakan intervensi keperawatan dan aktivitas
keperewatan yang telah dituliskan dalam rencana keperawatan (Manurung, 2011).
Implementasi diagnosa yang pertama (cemas) mengkaji tingkat kecemasan,
memotivasi pasien untuk mengungkapkan perasaan, membantu pasien untuk fokus pada
situasi saat ini, melakukan pemeriksaan tanda – tanda vital, menciptakan lingkungan yang
tenang.
Implemnatasi diagnosa yang kedua (resiko infeksi) memonitor tanda dan gejala
infeksi, mengamati hygiene personal, memperhatikan tehnik aspetik, melakukan
pemasangan infuse, menjelaskan tanda dan gejala infeksi, mempertahankan lingkungan
yang bersih.
61

Implemnatasi diagnosa yang ketiga (mual) memantau nutrisi dan cairan yang
dikonsumsi, menjelaskan penyebab mual, melakukan kolaborasi dalam pemberian
therapy anti emetik ( injeksi ondan 4 x 8 mg ), mengajarkan untuk melakukan perawatn
mulut, mengajarkan untuk makan sedikit tapi sering, memindahkan benda yang
menimbulkan bau, meninggikan bagian kepala saat makan dan setelah makan.
Implemnatasi diagnosa yang keempat (resiko ekstaravasasi) memonitor
kelancaran infuse, melakukan aspirasi dan cek vena dengan blood return, menjelaskan
tanda ekstravasasi, memberikan obat kemoterapi.
Faktor penghambat dalam implementasi adalah pada saat melakukan kolaborasi
dokter dalam pemberian obat kemoterapi, obat kemoterapi datang dari ruang produksi ke
ruang rawat terlalu lama, sehingga kemungkinan pemberian obat kemoterapi diberikan
malam hari yang beresiko tinggi terjadi kesalahan. Petugas atau perawat yang meberikan
obat kemoterapi masih banyak yang belum mendapatkan pelatihan kemoterapi.
Faktor pendukung pencampuran obat kemoterapi ada ruang tersendiri. Mampu
bekerja sama dengan sesame perawat dan unit lainnya. Peralatan yang cukup memadai.
Pasien dan keluarga sangat kooperatif dan patuh terhadap instruksi perawat dan dokter.
E. Evaluasi.
Evaluasi mengacu pada penilaian, tahapan, dan perbaikan. Pada tahap ini perawat
menemukan penyebab mengapa suatu proses keperawatan dapat berhasil atau gagal
(Manurung, 2011).
Evaluasi pada diagnosa cemas yang dilakukan pada tanggal 28-07-2017
didapatkan bahwa masalah dapat teratasi. Untuk evaluasi diagnosa resiko infeksi dan
resiko ekstravasasi yang dilakukan pada tanggal 28-07-2017 sampai dengan 02-08-2017
didapatkan bahwa masalah teratasi dan masalah tidak menjadi actual. Sedangkan untuk
evaluasi diagnosa mual yang dilakukan pada tanggal 28-07-2017 sampai dengan 02-08-
2017 didapatkan bahwa masalah belum teratasi sehingga untuk diagnosa mual dilakukan
edukasi pada saat pasien pulang. Faktor penghambat pada evaluasi yang belum teratasi
dikarenakan efek kemoterapi yang sedang terjadi pasien. Faktor pendukung pada evaluasi
yang teratsi adalah kerjasama yang baik antara penulis dengan perawat lain, keterampilan
perawat yang mumpuni dan sarana dan prasana yang cukup memadai.
BAB 5
PENUTUP
62

A. Kesimpulan.
Setelah penulis melakukan asuhan keperawatan kepada tn.Y dengan kanker
nasofaring di ruang Anggrek 2 Rs Kanker Dharmais yang dilakukan pada tanggal 28-07-
2017 sampai dengan 02-08-2017 maka penulis menarik kesimpulan
1. Pengkajian.
Pada pengkajian pasien tn.Y diperoleh data pasien datang kerumah sakit rencana
kemoterapi yang ke IV. Pasien tidak menglami keluhan, keluhan seperti muntah,
diare, sariawan terjadi setelah dilakukan kemoterapi yang ketiga. Pasien dalam
melakukan aktifitas tidak ada hambatan. Pemeriksaan penunjang pasien adalah
sebagai berikut :
a. Hasil laboratorium pada tanggal 26-07-2017 (hb : 10,5 g/dL, leukosit : 20,8
103/µL, trombosit : 359 103/µL, kreatinin: 1,27 mg/dL; eGFR: 64,61
mL/menit/1,73 m2) .
b. Hasil msct nasofaring pada tanggal 10-03-2017 (kesan : neoplasma maligna
palatum mole berukuran 3,6 x 3,3 x 3,4 cm meluas keposterior menyempitkan
lumen orofaring, meluas kelateral, menginfiltrasi m.tensor dan levator velli
palatine kanan kiri, fosa pterygopalatina kanan, mendetruksi basis crania/ basal
sinus sphenoid sisi kanan, meluas kesinus sphenoid kanan kiri disertai
limfadenopati jugularis kanan kiri dengan ukuran terbesar 1,77x1,39 cm di jugular
kanan).
2. Diagnosa keperawatan.
Ada kesenjangan antara teori dan kasus tetapi pada tinjaun kasus diperoleh 4 diagnosa
keperawatan berdasarkan prioritas masalah yaitu :
a. Cemas berhubungan dengan perubahan status peran, status kesehatan, pola
interaksi.
b. Resiko infeksi berhubungan dengan penyakit kronis dan prosedur invasife.
c. Mual berhubungan dengan efek terapi kemoterapi.
d. Resiko gangguan integritas kulit berhubungan dengan ekstravasasi.

3. Perencanaan Keperawatan
Perencanaan keperawatan yang disusun62meliputi pantau tanda – tanda vital, ciptakan
lingkungan yang nyaman, pantau hygine personal, pertahankan tehnik aseptic, pantau
blood return, lakukan aspirasi, anjurkan makan secara perlahan, tinggikan kepala
63

sebelum dan sesudah makan, berikan makanan yang disukai, kolaborasi dalam
pemberian terapi antiemetic (ondan 4x8mg) dan cairan infuse (nacl 500cc/ 6 jam).
4. Implementasi.
Implementasi yang dilakukan sesuai dengan perencanaan keperawatan yang sudah
dibuat berdasarkan prioritas masalah pada tinjauan kasus.
5. Evaluasi.
Evaluasi pada tanggal 28-07-2017 sampai dengan 02-08-2017 diperoleh :
Masalah yang teratasi sebanyak 3 diagnosa keperawatan dan masalah yang belum
teratasi sebanyak 1 diagnosa keperawatan.
B. Saran.
1. Bagi perawat
a. Meningkat kualitas dan kuantitas dalam meberikan asuhan keprawatan pada
pasien dengan membaca buku, mengikuti seminar atau pelatihan.
b. Melakukan perawatn sesuai SOP yang berlaku.
c. Selalu melibatkan keluarga dalam proses memberikan asuhan keperawatan.
2. Bagi Institusi Bidang/ Komite keperawatan
a. Mengadakan penyegaran materi seperti FIG persiapan pengobatan kanker
nasofaring (radioterapi, kemoterapi, operasi) secara rutin untuk perawat.
b. Mengadakan pelatihan kemoterapi terhadap perawat agar lebih kompeten dalam
memberikan kemoterapi terhadap pasien kanker nasofaring.
3. Bagi Rumah Sakit
a. Melengkapi sarana dan prasarana dalam memberikan kemoterapi agar disediakan
dalam satu tempat agar dalam memberikan kemoterapi lebih aman dan waktunya
lebih efisien.
b. Memperbaiki system manajemen rumah sakit, sehingga mempermudah proses
keperawatan.

DAFTAR PUSTAKA

Doenges, Marilyn E. (2000). Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman Untuk


Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta : EGC
64

Manurung, Santa. (2011). Keperawatan Profesional. Jakarta : Trans Info Media.

Smeltzer, Suzanne C & Brenda. (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Brunner
& Suddarth. Jakarta : EGC

Suara, mayhyar, Ermawati, Rochimah, Een, dan Rusmiyati. (2010). Konsep Dasar
Keperawatan. Jakarta : Trans Info Media

Wilkinson, Judith M. (2012). Diagnosis Keperawatan Nanda NIC NOC. Jakarta : EGC

Ario K, Widodo. (2003). Perkembangan Terkini Penatalaksanaan Karsinoma


Nasofaring. SMF Ilmu Penyakit THT Fakultas Kedokteran UNAIR RSUD dr.
Soetomo Surabaya : Jurnal Majalah Kedokteran Tropis Indonesia. Vol. 14,
No.2 : 17-23

Firdaus dan Prijadi. (2015). Kemoterapi Neoadjuvan pada Karsinoma Nasofaring.


Padang : Fakultas Kedokteran Universitas Andalas

Melani, Wulan. (2011). Karakteristik Penderita Kanker Nasofaring di Rumah Sakit


H.Adam Malik. Medan : Fakultas Kedokteran USU

Nuryadin, Irwan. (2012). Profil Imunopositivitas Protein EBV pada Penderita Karsinoma
Nasofaring dan Individu Sehat Beresiko.Laporan Akhir Hasil Penelitian Karya
Tulis Ilmiah. Semarang : Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro

PNPKKNF. (2007).Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Kanker Nasofaring.


Jakarta: Komite Penanggulangan Kanker Nasofaring KEMENKES

Ninda. (2016). Asuhan Keperawatan Pada Klien Karsinoma Nasofaring.


http://nindajunita.blogspot.co.id/. Diakses pada tgl 02-08-2017 jam 11.19

Anonym. (2015). Patofisiologi Karsinoma Nasofaring.


http://dokumen.tips/documents/patofisiologi-karsinoma-nasofaring.html.
Diakses pada tgl 02-08-2017 jam 11.30

Cicilia. (2011). Asuhan Keperawatan Ca Nasofaring.


http://bangeud.blogspot.co.id/2011/11/asuhan-keperawatan-ca-nasofaring.html
cicilia,2011. Diakses pada tgl 02-08-2017 jam 11.25

Faoji, Ali. (2015). Perawatan Pada Pasien Yang Menjalani Kemoterapi.


http://perawatkemo.blogspot.co.id/2015/04/v-behaviorurldefaultvmlo.html.
Dikses pada tgl 02-08-2017 jam 11.40

Anda mungkin juga menyukai