Anda di halaman 1dari 24

Referat

KARSINOMA NASOFARING

Oleh :
Khairunisa Firdani, S.Ked
M. Ridho Noverliansyah, S.Ked
Muhammad Fadillah, S.Ked
Putri Melinda, S.Ked

PRESEPTOR:
dr. Hadjiman Yotosudarmo, Sp.THT-KL

SMF. ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK


BEDAH KEPALA LEHER
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH JENDERAL AHMAD YANI METRO
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MALAHAYATI
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala limpahan Rahmat dan Hidayah-

Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas referat ini dalam rangka memenuhi

salah satu persyaratan Kepaniteraan Klinik Departemen ilmu Kesehatan THT-KL.

Kami menyadari bahwa penulisan referat ini tidak akan selesai tanpa adanya

bantuan dan dukungan dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak

langsung. Oleh karena itu, kami menyampaikan ucapan terimakasih yang sebesar –

besarnya dan penghargaan kepada dr. H a d j i m a n Y o t o s u d a r m o ,Sp.THT-

KL selaku pembimbing referat dalam stase Ilmu Kesehatan THT-KL yang telah

memberikan ilmu pengetahuan dan arahan selama proses pembelajaran di RSUD

Ahmad Yani Metro.

Metro, Desember 2022


BAB 1

PENDAHULUAN

Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan salah satu bentuk keganasan pada

daerah kepala dan leher dimana tumor ini berasal dari sel epitel mukosa atau kelenjar

yang terdapat pada nasofaring. KNF pertama kali dilaporkan oleh Regaud dan

Schmincke pada tahun 1921. Penyakit ini seringkali ditemukan pada orang dewasa,

namun jarang dijumpai pada anak dan remaja. Karsinoma nasofaring memiliki

karakteristik yang khas baik secara histologi, epidemiologi dan biologi, hal ini yang

akan menentukan gejala klinis dan pendekatan terapinya.

KNF adalah penyakit keganasan yang dapat menyebabkan kematian, di

beberapa negara bagian Cina selatan sangat tinggi. Prevalensi KNF semakin

meningkat pada Negara bagian lain di Asia Tenggara. KNF di Indonesia menduduki

urutan ke empat sebagai penyakit keganasan yang paling sering terjadi setelah kanker

servik, kanker payudara dan kanker kulit. KNF paling sering ditemukan pada

keganasan kepala dan leher.

Secara epidemiologi KNF merupakan keganasan yang sangat menarik oleh

karena penyebarannya berdasarkan geografi dan ras. Faktor genetik, sosial dan

lingkungan sebagai etiologinya. Angka kejadian KNF di beberapa negara dapat

sangat rendah dan bahkan menjadi suatu keganasan yang langka pada populasi

penduduk di Amerika, Jepang, Korea dan Eropa.


KNF hingga saat ini masih merupakan suatu masalah. Hal ini disebabkan

karena gejala dini yang tidak khas serta letak nasofaring yang tersembunyi sehingga

diagnosis dini sering terlambat. Sebagian besar penderita datang pada stadium lanjut

bahkan sebagian lagi datang dengan keadaan umum yang jelek. Kemoradiasi konkuren

menjadi terapi utama pada pasien dengan KNF oleh karena sifat tumor yang sensitif

terhadap radiasi dan kemoterapi. Akan tetapi, KNF masih memiliki angka kekambuhan

lokoregional dan metastasis jauh yang cukup banyak. Faktor prognosis pada pasien KNF

ini merupakan hal yang sangat penting dalam hal optimalisasi rencana pengobatan

sehingga dengan identifikasi terhadap faktor- faktor tersebut dapat berperan dalam

meningkatkan prognosis pasien dengan KNF.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi

Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan salah satu bentuk keganasan pada

daerah kepala dan leher dimana tumor ini berasal dari sel epitel mukosa atau kelenjar

yang terdapat pada nasofaring

2.2. Anatomi Nasofaring

Nasofaring merupakan celah sempit berbentuk tabung yang terletak di

bagian bawah dasar tengkorak pada bagianfossa nasalis posterior. Bagian

anteriornya berbatasan dengan nares posterior, dimana terletak di bagian ujung

posterior konka media dan inferior. Bagian atapnya cenderung membentuk

permukaan yang konkaf dan dibentuk oleh bagian posterior tulang sphenoid,

komponen basilar tulang occipital dan cabang anterior dari atlas. Otot konstriktor

faringeal superior dan fasia terletak di dinding posterior. Atap nasofaring terdiri dari

palatum yang lunak. Dinding lateral terdiri dari struktur yang penting seperti tuba

faringotimpanikum, yang terletak 10-12 mm di belakang dan sedikit ke arah bawah

bagian posterior konka inferior.

Dinding lateral terdiri dari dua lapis yaitu membran mukosa dan aponeurosis

faringeal. Kartilago tuba Eustachius melewati aponeurosis ini, membuka hingga ke

dalam fossa Rosenmuller. Bagian lateral hingga dinding lateral, n. mandibular

keluar dari foramen ovale masuk ke fossa infratemporal. Posterior tuba Eustachius

merupakan daerah retroparotid, dimana terdiri dari nodus lifatikus faringeal, arteri

karotis interna, vena jugularis interna, glossofaringeal, vagus, spinal accesorius dan
nervus hipoglosus sebagai nervus simpatis. Mengerti dan memahami lokasi

foramina yang melingkupi nasofaring dapat memberikan klinisi gambaran tentang

penyebaran tumor berdasarkan pemeriksaan saraf kranialis.Enam foramina yang

berbatasan dengan dinding nasofaring yaitu, foramen laserum, foramen ovale,

foramen spongiosum, carotid canal, foramen jugular dan hypoglossal canal.

Foramen laserum dan foramen ovale dapat memberikan sedikit tahanan untuk

penyebaran tumor ke cranium dan foramen tersebut dekat dengan sinus kavernosus

dan saraf kranialis II, III, IV dan VI yang dapat menjelaskan kekerapan terjadinya

kelumpuhan pada saraf cranial tersebut pada diagnosis KNF. Aliran limfatik

nasofaring salah satunya melewati secara langsung saluran efferent ke nodus

limfatikus bagian dalam di segitiga posterior atau pertama kali melewati dinding

lateral faringeal ke retroparotid atau nodus limfatikus lateral faringeal dan kemudian

ke arah atas ke rantai jugular. Beberapa saluran dapat melewati secara langsung ke

rantai jugulodigastrikus. Saluran limfatik selalu menyebrangi bagian tengah dan siap

memberikan akses ke dua bagian leher.

2.3. Epidemiologi

KNF merupakan salah satu keganasan yang menyebabkan kematian terbanyak

pada sebagian populasi di Asia. Insiden KNF jarang ditemukan di Jepang, Eropa dan

Amerika Utara. Distribusi KNF memiliki kemajuan yang luar biasa berdasarkan

geografis dan ras dengan interaksi yang kompleks dengan faktor genetik, virus,

lingkungan dan makanan.

Insiden KNF pada tahun 2008 diperkirakan sekitar 84.400 kasus dengan angka

kematian 51.600 kasus, mewakili sekitar 0,7% beban kanker secara global. KNF dapat

merupakan suatu kenagasan yang langka pada beberapa negara bagian di dunia dengan

prevalensi kurang dari 1/100.000. Angka kejadian KNF di wilayah Cina selatan, tepatnya
di propinsi Guangdong memiliki prevalensi tertinggi di dunia sekitar 20 hingga 40 kasus

per 100.000 penduduk. Data terbaru juga mendapatkan adanya prevalensi yang tinggi

untuk KNF ini yaitu pada suku Bidayuh di Serawak, Malaysia sekitar 23,1/100.000

penduduk.

Adham,dkk pada penelitiannya tahun 1995-2005 di RSUPN Dr. Cipto

Mangunkusumo, angka kejadian KNF lebih banyak dijumpai pada pasien dengan jenis

kelamin laki-laki yaitu sekitar 789 orang (70,4%) dari 1121 kasus dan rasio antara laki-

laki dan perempuan yaitu 2,4:1. Distribusi KNF berdasarkan usia dari beberapa negara

berkisar pada usia antara 4 hingga 91 tahun dengan puncak tertinggi pada usia 50 hingga

60 tahun pada populasi Cina. Secara umum, KNF jarang terjadi pada usia dibawah 20

tahun, mengingat distribusi usia bimodal telah digambarkan di Afrika utara dengan 20%

pasien berusia dibawah 30 tahun.

2.4. Etiologi

Penyebab KNF masih belum diketahui secara pasti. Studi epidemiologi

menduga karsinoma nasofaring terkait dengan faktor lingkungan dan kerentanan genetik

serta infeksi, namun hal ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut. Di daerah

endemik, KNF merupakan penyakit yang komplek yang disebabkan oleh interaksi faktor

onkogenik akibat infeksi kronis virus EBV, faktor lingkungan dan faktor genetik. Berikut

adalah beberapa faktor risiko karsinoma nasofaring antara lain:

1. Infeksi Virus Epstein barr (EBV)

Keterkaitan antara karsinoma nasofaring dan EBV untuk pertama kali telah

diketahui pada tahun 1966. EBV merupakan faktor risiko mayor karsinoma nasofaring.

Sebagian besar infeksi EBV tidak menimbulkan gejala. EBV dapat memasuki sel-sel

epitel orofaring dengan jalur yang masih belum jelas, bersifat menetap dan tersembunyi.
EBV dapat ditransmisikan melalui saliva dan infeksi primer terjadi selama masa anak-

anak dengan replikasi virus di sel-sel epitel orofaring diikuti dengan infeksi laten pada

limfosit B ( target primer EBV).

Infeksi EBV pada permulaannya bersifat aktif kemudian virus tersebut menetap

dalam tubuh tanpa menimbulkan gejala sampai virus tersebut aktif kembali oleh karena

kondisi tertentu seperti penurunan daya tahan tubuh. Pada pasien KNF ditemukan adanya

peningkatan antibodi IgG dan IgA yang dapat digunakan sebagai pedoman tes skrining

KNF pada kelompok risiko tinggi

2. Lingkungan

Konsumsi ikan asin sangat erat hubungannya dengan kejadian KNF, dimana

konsumsi ikan asin lebih dari tiga kali sebulan dapat meningkatkan risiko KNF. Potensi

karsinogenik ikan asin ini didukung oleh penelitian dengan menggunakan hewan coba

dimana ditemukan bahwa proses pengawetan dengan garam dapat menimbulkan

akumulasi nitrosamine yang bersifat karsinogenik. Konsumsi ikan asin pada anak-anak

dari usia dini merupakan faktor risiko yang sangat substansial untuk terjadinya KNF, hal

ini telah dilaporkan melalui penelitian pada orang Cina di Malaysia

Merokok dapat meningkatkan kejadian KNF sebanyak 2 sampai 6 kali, oleh

karena kandungan nitrosamine yang terdapat dalam rokok.Sekitar 60% KNF tipe I

berhubungan dengan merokok, sedangkan tipe II dan tipe III tidak berhubungan. Perokok

berisiko untuk terkena KNF sebesar 30%-100% dibandingkan dengan bukan perokok.

Beberapa peneliti juga menemukan bahwa pajanan asap pembakaran kayu bakar dapat

meningkatkan resiko kejadian KNF. Sebanyak 93% dari penderita KNF tinggal di rumah

dengan ventilasi yang buruk dan terpapar oleh asap pembakaran kayu bakar.
Pajanan pekerjaan seperti debu kayu, debu katun, bahan kimia lainnya, pajanan

tempat kerja yang panas atau produk bakaran dapat meningkatkan kejadian KNF. Adanya

iritasi dan inflamasi kronik nasofaring, penghambatan transport mukosilier dan

perubahan sel epitel akibat paparan tersebut dapat pula memicu KNF

3. Genetik

Pada familial clustering biasanya terjadi pada karsinoma nasofaring tipe II dan 1

Kerabat pertama, kedua dan ketiga pasien karsinoma nasofaring lebih berisiko untuk terkena

KNF.

Genetik juga memegang peranan penting dalam risiko KNF, dimana human

leucocyte antigens (HLA), termasuk didalamnya HLA-A2, HLA-B46 dan HLA-B58

memiliki hubungan dengan kejadian KNF,5,8. Pada kasus familial yang jarang, pewarisan

perubahan genetik dapat menjadi penyebab utama dan infeksi EBV yang ke dua. Oleh

sebab itu kasus pewarisan genetik ini biasanya terjadi pada pasien KNF dengan usia

muda. Translokasi, amplifikasi dan delesi pada 3p,5p dan 3q menunjukkan suatu

kerusakan genetik yang sangat memungkinkan timbulnya suatu KNF pada seseorang.

2.5. Patogenesis

erdapat tiga kelompok utama gen pada regulasi pertumbuhan sel normal yaitu

protoonkogen, gen penekan tumor dan gen gatekeeper. Protoonkogen berperan dalam

stimulasi, regulasi pertumbuhan dan pembelahan sel. Gen penekan tumor bekerja sebagai

penghambat pertumbuhan sel atau menginduksi apoptosis. Gen gatekeeper memiliki fungsi

untuk mempertahankan integritas genomik dengan mendeteksi kesalahan pada genom dan
memperbaikinya. Gen-gen ini dikenal sebagai gen antionkogen karena berfungsi melakukan

kontrol negatif atau menekan pertumbuhan sel. Adanya mutasi pada gen-gen ini

mengakibatkan terbukanya peluang terbentuknya suatu kanker.

Jika terjadi ketidakseimbangan dari ketiga gen-gen tersebut akan mencetuskan suatu

penyimpangan dari siklus sel. Pada umumnya proses keganasan dapat terjadi melalui dua

mekanisme yaitu pemendekan waktu siklus sel sehingga akan lebih banyak sel yang

diproduksi dalam satuan waktu dan penurunan jumlah kematian sel akibat gangguan dalam

proses apoptosis. Jika proses ini terjadi dalam suatu sel yang dicetuskan oleh karena mutasi

dari ketiga gen tersebut, maka siklus sel tidak akan berjalan semestinya dan

terjadi pertumbuhan sel tidak terkendali dan proses karsinogenesis dimulai.

Gambar 2. Skema patofisiologi terjadinya keganasan


Seperti yang telah dijelaskan diatas bahwa faktor risiko penyebab KNF bersifat

multifaktorial, akan tetapi virus Epstein Barr yang paling sering dikaitkandengan kejadian

KNF disamping faktor-faktor predisposisi lainnya yaitu genetik, nitrosamine yang terdapat

pada ikan asin dan makanan yang diawetkan, paparan asap, dan lain-lain. Infeksi yang

disebabkan oleh EBV seringkali bersifat asimptomatis. EBV masuk ke dalam tubuh dan

dapat bersifat laten sehingga tidak menimbulkan gejala dalam jangka waktu lama. Untuk

mengaktifkan virus EBV diperlukan mediator tertentu seperti kebiasaan konsumsi ikan asin

dan paparan kondisi lingkungan tertentu

sehinggamenimbulkan KNF.

2.6. Gejala Klinis

Pasien karsinoma nasofaring jarang datang dengan keluhan yang berarti

kecuali bila telah ada penyebaran ke kelenjar getah bening regional. Pembesaran dan

ekstensi tumor pada nasofaring dapat menimbulkan adanya keluhan seperti hidung

tersumbat, sekret pada hidung, perdarahan pada hidung, gangguan pendengaran biasanya

dihubungkan dengan adanya sumbatan pada tuba Eustachius seperti otitis media efusi

dan tinnitus. Kelumpuhan saraf kranial biasanya dihubungkan dengan adanya penyebaran

tumor ke dalam dasar tengkorak, seperti gejala pada mata berupa diplopia. Massa atau

benjolan di leher seringkali menjadi alasan pasien KNF melakukan pemeriksaan. Sekitar

60-90% pasien KNF memiliki metastasis kelenjar leher pada evaluasi menggunakan

modalitas pencitraan.

Adanya keluhan berupa nyeri pada kepala dan keluhan lain yang berhubungan

dengan keterlibatan saraf intrakranial merupakan tanda bahwa KNF telah mencapai

stadium lanjut. Keterlibatan saraf kranialis yang paling sering adalah saraf V dan VI

dimana akan menimbulkan keluhan berupa baal pada wajah dan diplopia. Pada KNF

stadium lanjut dapat muncul keterlibatan saraf kranialis IX, X, XI dan XII. Dapat pula
ditemukan adanya keluhan berupa trismus yang terjadi akibat infiltrasi pada otot

pterygoid. Gejala lainnya yaitu disfagia dan proptosis.

a. Gejala Hidung :

1. Epistaksis: rapuhnya mukosa hidung sehingga mudah terjadi perdarahan.

2. Sumbatan hidung. Sumbatan menetap karena pertumbuhan tumor kedalam rongga

nasofaring dan menutupi koana, gejalanya : pilek kronis, ingus kental, gangguan penciuman.

b. Gejala telinga

1. Kataralis/ oklusi tuba Eustachii : tumor mula-mula di fosa Rosen Muler, pertumbuhan

tumor dapat menyebabkan penyumbatan muara tuba (berdengung, rasa penuh, kadang

gangguan pendengaran)

2. Otitis Media Serosa sampai perforasi dan gangguan pendengaran

c. Gejala lanjut

Limfadenopati servikal : melalui pembuluh limfe, sel-sel kanker dapat mencapai kelenjar

limfe dan bertahan disana. Dalam kelenjar ini sel tumbuh dan berkembang biak hingga

kelenjar membesar dan tampak benjolan dileher bagian samping, lama kelamaan karena tidak

dirasakan kelenjar akan berkembang dan melekat pada otot sehingga sulit digerakkan.

d. Gejala mata dan saraf

1. Gangguan beberapa saraf otak dapat terjadi sebagai gejala lanjut karsinoma ini

dikarenakan posisi anatomi nasofaring yang berhubungan dekat dengan rongga tengkorak

melalui beberapa lubang/foramen. Penjalaran melalui foramen laserum akan mengenai saraf

otak ke II, IV, VI dan dapat pula ke V, sehingga tidak jarang gejala diplopia lah yang

membawa pasien lebih dahulu ke dokter mata. Neuralgia trigeminal merupakan gejala yang

sering ditemukan oleh ahli saraf jika belum terdapat keluhan lain yang berarti.

2. Sebelum terjadi kelumpuhan saraf kranial, didahului oleh gejala subyektif dari penderita

seperti : kepala sakit atau pusing, hipestesia daerah pipi dan hidung, kadang sulit menelan
atau disfagia. Perluasan kanker primer ke dalam kavum kranii akan menyebabkan

kelumpuhan N. II, III, IV, V dan VI akibat kompresi maupun infiltrasi atau perluasan tumor

menembus jaringan sekitar atau juga secara hematogen dengan manifestasinya adalah

diplopia.

2.7. Diagnosis

Diagnosis KNF ditegakkan berdasarkan anamnesis yang cermat tentang

keluhan yang dirasakan oleh pasien, gejala klinis yang nampak pada pasien

pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Oleh karena nasofaring merupakan

tempat yang tersembunyi dan sulit dilihat, maka diperlukan teknik khusus untuk dapat

melihat kondisi nasofaring, yaitu dengan menggunakan alat endoskopi atau kaca

laring apabila fasilitas tersebut tidak tersedia.

Pemeriksaan penunjang radiologis berupa computed tomography (CT) dan

magnetic resonance imaging (MRI) dapat digunakan untuk melihat adanya pertumbuhan

tumor yang bersifat lokal dan perluasan intrakranial. MRI lebih sensitif daripada CT

untuk mendeteksi tumor primer dan adanya metastasis ke kelenjar getah bening dan

perineural sehingga mejadi pilihan dalam mengevaluasi penyebab lokoregional. CT lebih

baik daripada MRI dalam hal mengidentifikasi adanya erosi tulang. Untuk menentukan

diagnosis pasti dilakukan dengan pemeriksaan penunjang yaitu histopatologi yang diperoleh

dari hasil biopsi nasofaring. Biopsi nasofaring dikerjakan di ruang tindakan dengan atau

tanpa bantuan alat endoskopi, kemudian sampel hasil biopsi tersebut di kirim ke

laboratorium patologi anatomi guna dilakukan pemeriksaan histopatologi di bawah

mikroskop untuk melihat sel kanker. Biopsi merupakan gold standard untuk menegakkan

diagnosis KNF.
Untuk penentuan stadium KNF digunakan American Joint Committee on Cancer

(AJCC) 2010/TNM edisi 7 seperti yang dijelaskan pada tabel berikut,

Tabel 1. Sistem klasifikasi TNM edisi 7/ AJCC 2010 Tumor

TX : Primary tumor cannot be assessed T0 :

No evidence of primary tumor

T1: Tumor confined to nasopharynx or tumor extends to oropharynx and or nasal cavity
without parapharyngeal extension
T2 : Tumor with paapharyngeal extension

T3 : Tumor involves bony structures of skull base and or paranasal sinuses T4:Tumor
with intracranial extension and or involvement of cranial nerves,
hypopharynx, orbit or with extension to infratemporal fossa/masyicator space Nodal

NX : Regional lymph nodes cannot be assessed


N0 : No regional lymph nodes metastasis
N1 : Unilateral metastasis in cervical lymph node (s), 6 cm or less in greatest dimenson,
above the supraclavicula fossa, and/or unilateral bilateral, retropharyngeal lymph
nodes, 6 cm or less, in greatest dimension
N2 : Bilateral metastasis in cervical lymph node(s), 6 cm or less in greatest
dimension,above supraclavicular fossa
N3 : Metastasis in a lymph node (s) > 6 cm and or to supraclavicular fossa
N3a: More than 6 cm in dimension
N3b: Extension to the supraclavicular fossa
Metastasis
MX : Metastasis cannot be assessed
M0 : No evidence of metastasis present
M1: Distant metastasis present

Stage grouping
0 : TisN0M0
I : T1N0M0
II : T1N1M0, T2N0M0, T2N1M0
III : T1-2N0M0, T3N0-2M0
IVA: T4N0-2M0
IVB : AnyTN3M0
IVC : AnyTAnyNM1

2.8. Histopatologi

Klasifikasi histopatologi pada KNF menurut WHO ada tiga bentuk yaitu tipe I

karsinoma sel skuamosa, berkeratin dengan diferensiasi sedang-baik, terdapat jembatan

intersel, tipe II karsinoma tidak berkeratin, ditemukan sel matur hingga anaplastik dengan

keratin minimal, tipe III sel tidak berdiferensiasi (termasuk limfoepitelioma, anaplastik,

clear cell, dan varian sel spindel). WHO tipe I ini sekitar 25% dari semua KNF di

Amerika Utara, tapi hanya 1% didaerah endemis. Gambaran histopatologi WHO tipe III

adalah yang paling sering ditemukan pada daerah dengan prevalensi KNF yang tinggi.

Negara di Asia Tenggara termasuk Indonesia merupakan

daerah endemik KNF.

Pada orang dewasa, gambaran histopatologi yang tersering adalah tipe I dan

dikaitkan dengan pajanan terhadap tembakau/rokok dan faktor lingkungan lainnya,

sedangkan pada anak lebih sering ditemukan tipe III, yang berhubungan dengan infeksi

EBV dan predisposisi genetik. Berbagai literatur juga menghubungkan gambaran tumor

tipe III ini dengan kombinasi antara infeksi EBV dan paparan diet yang mengandung

nitrosamin.
Gambar 3.Klasifikasi histopatologi menurut WHO, (A).Keratinizing

Squamous Cell Carcinoma, (B). Non-Keratinizing carcinoma,

(C). Undifferentiated Carcinoma.

2.9.Penatalaksanaan

Radioterapi

Radioterapi merupakan terapi utama untuk KNF oleh karena sangat

radiosensitif.KNF stadium I-II dapat diterapi dengan menggunakan radioterapi saja,

sedangkan stadium III-IV dapat diberikan kemoterapi dan radioterapi. Untuk radioterapi,

sebagian besar pasien menjalani fraksi radioterapi konvensional dengan energi tinggi 6-8

MV X-ray dengan percepatan linear. Terdapat empat teknologi radioterapi yang dapat

digunakan yaitu, (1).Radioterapi konvensional dua dimensi (2D- RT), (2).CT simulation

treatment planning radiotherapy, (3). Radioterapi konformal tiga dimensi (3D-CRT) dan

(4).Intensity-modulated radiotherapy (IMRT). Akumulasi dosis yang digunakan untuk

tumor primer yang besar termasuk pembesaran kelenjar getah bening di leher adalah

sebesar 66-70 Gy dan daerah sekitar yang benjolan sebesar 50-60 Gy.
Penatalaksanaan KNF dengan IMRT dinilai lebih baik dibandingkan dengan

teknik 2D-RT oleh karena IMRT merupakan teknik konformal radioterapi yang dapat

memberikan dosis yang cukup pada target tumor dan dosis yang rendah untuk daerah

disekitarnya dan dapat meningkatkan kualitas hidup pasien. Pemilihan teknik radioterapi

ini ditentukan berdasarkan pada indikasi klinis dan modalitas yang dimiliki oleh masing-

masing institusi kesehatan.

Kemoterapi

Kemoterapi diberikan pada pasien KNF stadium III-IV dan biasanya

dikombinasikan dengan radioterapi. Kemoterapi dapat diberikan melalui beberapa cara

yaitu neoadjuvant, adjuvant dan concomitant kemoterapi. Kemoterapi neoadjuvant

diberikan sebelum tindakan definitif dan diberikan pada kanker stadium lanjut dengan

maksud mengecilkan volume kanker dan mengurangi mikrometastasis. Kemoterapi

neoadjuvant ini biasanya menggunakan cisplatin atau karboplatin ditambahkan docetaxel.

Adjuvant chemotherapy diberikan pada pasien KNF oleh karena ukuran tumor yang

terlampau besar atau respon terhadap radioterapi sangat rendah. Kemoradiasi yang diikuti

adjuvant kemotrapi dapat digunakan cisplatin + radioterapi diikuti cisplatin/5-FU atau

karboplatin/5-FU. Pasien KNF dengan ukuran tumor yang sangat besar dapat diberikan

pula concomitnant chemotherapy dengan cisplatin tiap minggu (40 mg/m2) selama

radioterapi dan dosis radioterapi yang diberikan > 64,5 Gy. Pada KNF non keratin

didapatkan komplit respon 70-90%.

Operasi

Pilihan operasi pada KNF jarang dilakukan, hal ini disebabkan oleh karena

lokasinya yang rumit disertai letaknya yang sangat berdekatan dengan organ penting

sekitarnya hampir tidak memungkinkan untuk tepi sayatan bebas tumor. Tindakan
operatif dapat dilakukan teutama pada kasus yang rekuren lokal atau regional yang masih

dapat dieksisi dengan tepi sayatan bebas kanker. Adapun beberapa pendekatan operasinya

yaitu transnasal, palatal split, transpalatal flap, trascervico-mandibulo-palatal,

infratemporal, maxillary swing.

2.10. Prognosis KNF

Prognosis pasien dengan kanker daerah kepala dan leher yang utama adalah

tergatung pada keagresifan tumor yang dikaitkan dengan karakteristik penjamu dan terapi

atau penatalaksanaan yang diberikan. Stadium klinis, keterlibatan kelenjar limfatik

regional dan tatalaksana serta adanya metastasis jauh merupakan faktor penting dalam

penentuan prognosis yang berkaitan dengan angka harapan hidup secara keseluruhan. Pada

beberapa studi menggambarkan bahwa faktor yang terkait dengan karakteristik pasien

seperti usia, jenis kelamin dan ras merupakan faktor yang signifikan dapat mempengaruhi

prognosis pasien dengan kanker dan sangat berkaitan dengan stadium klinis dan

histologi. Distribusi pasien KNF di Indonesia berdasarkan usia yaitu sekitar 40-49 tahun

dan lebih dari 80% pasien telah terdiagnosis pada rentang usia 30 dan 59 tahun. Selain itu

didapatkan pula data bahwa KNF pada usia kurang dari 30 tahun sebesar 20% walaupun hal

ini jarang terjadi. Pada beberapa penelitian menyebutkan bahwa usia dapat mempengaruhi

prognosis pada pasien KNF dimana pasien dengan usia muda memiliki angka harapan

hidup yang lebih baik. Beberapa studi juga menunjukkan

hal tersebut dikaitkan dengan kontrol lokal dan metastasis jauh. Akan tetapi penelitian

yang dilakukan oleh Ma seperti yang dikutip Xiao,dkk melaporkan bahwa pasien dengan

usia muda (< 40 tahun) memiliki angka harapan hidup dan kontrol lokal yang lebih baik

dengan analisis multivariat.


2.11. Pembahasan

KNF merupakan karsinoma sel skuamosa nonlimfomatosa yang terjadi pada sel

epitelial di nasofaring. KNF memiliki karakteristik yang khas baik secara histologi,

epidemiologi dan biologi. Hal ini yang akan menentukan gejala klinis dan pendekatan

Terapi. Angka kejadian KNF di wilayah Cina selatan, tepatnya di propinsi Guangdong

memiliki prevalensi tertinggi di dunia sekitar 20 hingga 40 kasus per 100.000 penduduk.

Data terbaru juga mendapatkan adanya prevalensi yang tinggi untuk KNF ini yaitu pada

suku Bidayuh di Serawak, Malaysia sekitar 23,1/100.000 penduduk. Ho melaporkan

bahwa KNF menempati urutan ke tiga keganasan pada pada laki-laki dengan insiden 50

kasus per 100.000 di propinsi Guangdong, Cina selatan. KNF merupakan penyakit yang

komplek yang disebabkan oleh adanya interaksi antara infeksi kronis dengan onkogenik

gamma herpesvirus EBV dan faktor lingkungan serta genetik termasuk proses

karsinogenik multistep. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis yang cermat,

pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Anamnesis berkaitan dengan keluhan

utama pasien dan gejala klinis yang menyertai yang merupakan tanda khas pada pasien

KNF. Pemeriksaan fisik dapat dilakukan dengan endoskopi fiber optik untuk melihat

adanya massa tumor di fossa Rosenmuller atau peninggian di atap nasofaring.

Pemeriksaan penunjang radiologis berupa computed tomography (CT) dan magnetic

resonance imaging (MRI) dapat digunakan untuk melihat adanya pertumbuhan tumor

yang bersifat lokal dan perluasan intrakranial. MRI lebih sensitif daripada CT untuk

mendeteksi tumor primer dan adanya metastasis ke kelenjar getah bening dan perineural

sehingga menjadi pilihan dalam mengevaluasi penyebaran lokoregional.

Selain itu, dilakukan pula pemeriksaan biopsi yang merupakan gold standard untuk

menegakkan diagnosis KNF. Untuk penentuan stadium KNF digunakan American Joint
Committee on Cancer (AJCC) 2010/TNM edisi 7. Klasifikasi histopatologi pada KNF

menurut WHO ada tiga bentuk yaitu tipe I karsinoma sel skuamosa, berkeratin dengan

diferensiasi sedang-baik, terdapat jembatan intersel, tipe II karsinoma tidak berkeratin,

ditemukan sel matur hingga anaplastik dengan keratin minimal, tipe III sel tidak

berdiferensiasi (termasuk limfoepitelioma, anaplastik, clear cell, dan varian sel spindel).

Untuk penatalaksanaan KNF dapat dilakukan dengan radioterapi, kemoterapi dan

operasi. Radioterapi merupakan terapi utama untuk KNF oleh karena sangat radiosensitif.

KNF stadium I-II dapat diterapi dengan menggunakan radioterapi saja, sedangkan

stadium III-IV dapat diberikan kemoterapi dan radioterapi. Penatalaksanaan KNF dengan

IMRT dinilai lebih baik dibandingkan dengan teknik 2D-RT. Berdasarkan penelitian yang

dilakukan oleh Sheng Fa Su,dkk yang dikutip oleh Hamida menunjukkan bahwa IMRT

memberikan angka kesintasan hidup selama 5 tahun yang cukup baik pada pasien KNF

stadium dini

Kemoterapi diberikan pada pasien KNF stadium III-IV dan biasanya

dikombinasikan dengan radioterapi. Kemoterapi dapat diberikan melalui beberapa cara

yaitu neoadjuvant, adjuvant dan concomitant kemoterapi. Pada stadium III-IV walaupun

pencapaian kontrol lokoregional tinggi, tapi risiko metastasis jauh masih sangat tinggi

sekitar 25% pada 5 tahun pertama. Pemberian neoadjuvant kemoterapi cisplatin dan 5 FU

didapatkan hasil pengecilan volume tumor > 50% dari 70% pasien. Kemoradiasi yang

diikuti adjuvant kemotrapi dapat digunakan cisplatin + radioterapi diikuti cisplatin/5-FU

atau karboplatin/5-FU. Pasien KNF dengan ukuran tumor yang sangat besar dapat

diberikan pula concomitnant chemotherapy dengan cisplatin tiap minggu (40 mg/m2)

selama radioterapi dan dosis radioterapi yang diberikan > 64,5 Gy. Suatu studi

membandingkan antara konkomitan kemoterapi dengan radioterapi saja pada pasien KNF
stadium lokoregional lanjut diperoleh angka kesintasan hidup 5 tahun untuk yang

mendapat terapi radiasi saja sebesar 58,6% dan untuk yang mendapat konkomitan

kemoterapi sebesar 70,3%.

Selain kemoterapi dan radiasi, operasi juga merupakan pilihan terapi pada pasien

dengan KNF. Pilihan operasi pada KNF jarang dilakukan, hal ini disebabkan oleh karena

lokasinya yang rumit disertai letaknya yang sangat berdekatan dengan organ penting

sekitarnya, hampir tidak memungkinkan untuk tepi sayatan bebas tumor.

Prognosis KNF telah menjadi salah satu fokus penelitian yang sangat penting.

Stadium klinis, keterlibatan kelenjar limfatik regional dan tatalaksana serta adanya

metastasis jauh merupakan faktor penting dalam penentuan prognosis yang berkaitan

dengan angka harapan hidup secara keseluruhan. Pada beberapa studi menggambarkan

bahwa faktor yang terkait dengan karakteristik pasien seperti usia, jenis kelamin dan ras

merupakan faktor yang signifikan dapat mempengaruhi prognosis pasien dengan kanker

dan sangat berkaitan dengan stadium klinis dan histologi.


BAB III

KESIMPULAN

KNF merupakan salah satu jenis keganasan pada daerah kepala dan leher dimana

tumor ini berasal dari sel epitel mukosa atau kelenjar yang terdapat pada nasofaring. KNF

ini memiliki karakteristik yang unik dengan angka kejadian yang sangat tinggi di Asia

Tenggara. Diagnosis KNF ditegakkan berdasarkan pada anamnesis yang cermat meliputi

keluhan utama pasien dan gejala klinis yang menyertai, pemeriksaan fisik dan

pemeriksaan penunjang. Penatalaksanaan pasien KNF dapat dilakukan dengan

kemoterapi, radioterapi dan operatif. Akan tetapi radioterapi merupakan penatalaksanaan

yang utama pada KNF karena sifatnya yang radiosensitif. Faktor utama yang

mempengaruhi prognosis pasien dengan KNF yaitu meliputi keagresifan tumor yang

dikaitkan dengan karakteristik pejamu dan terapi atau penatalaksanaan yang diberikan.

Stadium klinis, keterlibatan kelenjar limfatik regional dan tatalaksana serta adanya

metastasis jauh merupakan faktor penting dalam penentuan prognosis yang berkaitan

dengan angka harapan hidup secara keseluruhan.


DAFTAR PUSTAKA

1. William I. Wei. Nasopharyngeal Cancer. In : Bailey Byron J, Johnson Jonas T,

Newlands Shawn D, editors. Head & Neck Surgery-Otolaryngology.

Lippincott Williams & Wilkins, 4thEdition 2006 ; 7 : 117.

2. Adham M,dkk. Nasophayngeal carcinoma in Indonesia: Epodemiology, incidence,

signs, and symptoms at presentation. In : Chinese Journal of Cancer. 2012.p. 61-80

3. Ondrey FG, Simon K, K.Wright. Neoplasm of the Nasopharynx.In :

Ballanger’s Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery. Sixteenth Edition.

2003.p. 1392-1407

4. Maulana AS, dkk.Kasus Karsinoma Nasofaring di RSUD dr. Soebandi Jember Periode

2009-2010.2010; diunduh tanggal 8 Mei

2016.http://mylifeismypride.files.wordpress.com

5. Faisal HH. Gambaran Karakteristik Karsinoma Nasofaring Dan Faktor-Faktor Yang

Mempengaruhi Prognosis. Di Bagian Telinga Hidung Tenggorok Universitas

Indonesia.2014: diunduh tanggal 8 Mei 2016.http://www.rscm.quality-journey.com

6. Zeng MS &Yi Xin Zeng. Pathogenesis and Etiology of Nasopharyngeal Carcinoma.In

: Cancer Center of Sun Yat-sen University. Diunduh tanggal Mei 2016,

http://www.cancer.org Tabuchi K, dkk. Early Detection of Nasofaringeal Carcinoma.

In: International Journal of Otolaryngology. 2011; diunduh tanggal 8 Mei

2016,http://www.researchgate.net

7. Li Guo, dkk. Increased Pretreatment levels of serum LDH and ALP as Poor Prognostic
Factors For Nasopharyngeal Carcinoma.In :Chinese Journal of Cancer.2012. Diunduh

tanggal 8 Mei 2016, http://www.cjcsysu.com

8. Wang W, dkk. Clinical Outcomes and Prognostic Factors of 695 Nasopharyngeal

Carcinoma Patients Treated with Intensity-Modulated Radiotherapy. In : BioMed

Research International. 2014. Diunduh tanggal 8 Mei 2016.

http://www.dx.doi.org/10.1155/2014/814948

9. Xiao G, dkk. Influence of gender and age on the survival of patients with

nasopharyngeal carcinomaIn :BMC Cancer.2013. Diunduh tanggal 8 Mei

2016.http://www.biomedcentral.com

10. Raissouni S, dkk. Clinical prognostic factors in locally advanced nasopharyngeal

carcinoma in Moroccan population .Department Oncology Morocco. 2013. Diunduh

tanggal 8 Mei 2016. http://www.applications.emro.who.int

Anda mungkin juga menyukai