Anda di halaman 1dari 11

REFERAT

Carcinoma Nasofaring

Pembimbing:
dr. Arroyan Wardhana Sp. THT-KL

Disusun oleh:
Ayu Suci Nurmalasari (1102015041)
Zahra Aruma Puspita (1102016233)

KEPANITERAAN KLINIK ILMU TELINGA HIDUNG TENGGOROK


PERIODE 2-28 NOVEMBER 2020
FAKULTAS KEDOKTERAN UMUM
UNIVERSITAS YARSI
BAB I
PENDAHULUAN

Keganasan yang dalam istilah medis disebut kanker merupakan salah satu kasus kematian
utama di dunia, termasuk di negara berkembang. Kanker juga merupakan hal yang paling
dicemaskan oleh masyarakat saat ini. Dalam lingkupan medis, kanker menjadi kajian menarik
karena masih banyak yang belum terungkap tentang penyakit ini. Berbagai teori telah
dimunculkan untuk mekanisme terjadinya kanker, begitu juga dengan pengobatan serta
prognosis yang belum memuaskan. Berdasarkan data WHO, di dunia terdapat 13% kematian
disebabkan oleh kanker dan ada 100 jenis kanker yang bisa menyerang tubuh manusia. Sekitar
70% kematian oleh kanker berasal dari populasi negara dengan pendapatan rendah dan
menengah.

Karsinoma nasofaring (KNF) adalah tumor ganas epitel nasofaringyang merupakan suatu
tumor ganas utama di nasofaring pada daerah endemis. Karsinoma nasofaring adalah tipe tumor
dengan distribusi endemis yang unik. Karsinoma nasofaring ini dapat ditemukan diseluruh
negara dari lima benua tetapi insiden tertinggi terdapat di Cina bagian selatan khususnya di
provinsi Guangdong dan jarang ditemukan di Eropa dan Amerika Utara. Insiden di provinsi
Guangdong pada pria mencapai 20- 50/100000.1 Insiden kejadian kanker nasofaring
dihubungkan dengan faktor geografi dan latar belakang etnik.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi
Nasofaring adalah celah sempit berbentuk tabung yang dilapisi mukosa dan
berfungsi untuk menghubungkan rongga hidung ke orofaring. Sisi anterior dibatasi
oleh koana posterior dan septum hidung, pada bagian dasar dibentuk oleh permukaan
atas dari palatum mole dan berhubungan dengan orofaring di setinggi uvula. Dinding
posterior nasofaring terbentang di anterior vertebra servikal I-II, pre vertebra dan
fasia bukofaringeal, superior dari otot konstriktor faringeus serta aponeurosis
faringeal. Atap dari nasofaring dibentuk oleh tulang basis-sfenoid dan basis-oksipital
dari basis kranii. Pada sisi lateral terdapat ruang maksilofaringeal dan parafaring.
Tuba eustachius juga berada pada sisi lateral nasofaring yang masing-masingnya
terlindungi oleh torus tubarius. Tepat di atas dan belakang torus tubarius terdapat
resesus faringeus yang dinamakan Fossa Rossenmuller dan merupakan daerah yang
paling sering menjadi lokasi tumbuhnya kanker.
Nasofaring merupakan bagian dari histologi diliputi oleh epitel bersilia saluran
napas. Variasi epitel skuamosa juga sering ditemui pada nasofaring. Kanker
nasofaring memiliki beberapa jalur penyebaran lokal dengan perluasan yang paling
sering adalah rongga hidung, sinus, orofaring, ruang parafaring, dan basis kranii.
Struktur orbita, vertebra servikal, dan struktur pterygoid pada stadium lanjut dapat
terlibat. Tumor dapat meluas melalui foramen laserum, ovale, atau spinosum yang
berpotensial melibatkan saraf kranial II hingga VI. Tumor dapat mencapai cranium
melalui kanalis karotikus, foramen jugularis atau kanalis hipoglosus pada kasus yang
lebih jarang.
Nasofaring mendapat suplai darah dari cabang eksternal arteri karotis dengan
drainase vena menuju pleksus faringeal menuju vena jugularis interna. Persarafan
nasofaring diperoleh dari cabang saraf kranial V2, IX, dan X serta saraf simpatis.
Nasofaring kaya akan jaringan limfatik dengan beberapa jalur drainase. Level
pertama adalah Kelenjar Getah Bening (KGB) yang berada di ruang parafaring dan
retrofaring. Pasangan kelenjar yang paling tinggi dari rantai tersebut dinamakan
nodes of Rouvière. Drainase menuju rantai jugular dapat melalui kelenjar parafaring
atau melalui jalur langsung yang terpisah menuju rantai spinal aksesorius di segitiga
posterior. Sementara itu drainase dapat menuju ke sisi kontralateral dan bagian bawah
rantai servikal menuju kelenjar supralavikula.

Gambar 1. Potongan midsagital nasofaring


2.2 Definisi
Karsinoma Nasofaring (KNF) merupakan karsinoma yang muncul pada daerah
nasofaring (area di atas tenggorok dan di belakang hidung), yang menunjukkan bukti
adanya diferensiasi skuamosa mikroskopik ringan atau ultrastruktur.
2.3 Epidemiologi
Di Indonesia, KNF merupakan keganasan terbanyak ke-4 setelah kanker
payudara, kanker leher rahim, dan kanker paru. Berdasarkan GLOBOCAN 201
terdapat 87.000 kasus baru nasofaring muncul setiap tahunnya (dengan 61.000 kasus
baru terjadi pada laki-laki dan 26.000 kasus baru pada perempuan). Angka kematian
akibat KNF sebanyak 51.000 kematian (36.000 pada laki-laki, dan 15.000 pada
perempuan). KNF terutama ditemukan pada pria usia produktif (perbandingan pasien
pria dan wanita adalah 18:1) dan 60% pasien berusia antara 25 hingga 60 tahun.
Angka kejadian tertinggi di dunia terdapat di propinsi Cina Tenggara yakni sebesar
40 - 50 kasus kanker nasofaring diantara 100.000 penduduk. Kanker nasofaring
sangat jarang ditemukan di daerah Eropa dan Amerika Utara dengan angka kejadian
sekitar <1/100.000 penduduk.
Hampir 60% tumor ganas kepala dan leher merupakan karsinoma nasofaring,
kemudian diikuti oleh tumor ganas hidung dan sinus paranasal (18%), laring (16%)
dan tumor ganas mulut, tonsil,, dan hipofaring. Berdasarkan tumor ganas nasofaring
sendiri selalu berada dalam kedudukan lima besar dari tumor ganas tubuh manusia
bersama tumor ganas serviks, payudara, tumor getah bening dan tumor kulit.

2.4 Etiologi
1. Epstein Bar Virus
Sudah hampir dipastikan bahwa penyebab karsinoma nasofaring adalah Epstein
bar virus, karena pada semua orang dengan KNF didapatkan titer antivirus EB
yang cukup tinggi. Titer ini lebih tinggi dari titer orang sehat, pasien tumor ganas
leher dan kepala lainnya. Virus ini merupakan virus DNA yang diklasifikasi
sebagai anggota famili virus Herpes yang saat ini telah diyakini sebagai agen
penyebab beberapa penyakit yaitu, mononucleosis infeksiosa, penyakit Hodgkin,
limfoma-Burkitt dan kanker nasofaring. Virus ini seringkali dijumpai pada
beberapa penyakit keganasan lainnya tetapi juga dapat dijumpai menginfeksi
orang normal tanpa menimbulkan manifestasi penyakit.Virus tersebut masuk ke
dalam tubuh dan tetap tinggal di sana tanpa menyebabkan suatu kelainan dalam
jangka waktu yang lama. Untuk mengaktifkan virus ini dibutuhkan suatu
mediator. Jadi, adanya virus ini tanpa faktor pemicu lain tidak cukup untuk
menimbulkan proses keganasan.
2. Jenis Kelamin
Karsinoma nasofaring lebih sering terjadi pada pria daripada wanita. Apa
sebabnya belum dapat diketahui dengan pasti, mungkin ada hubungannya dengan
genetik, kebiasaan, pekerjaan, dll.
3. Genetik
Perubahan genetik mengakibatkan proliferasi sel-sel kanker secara tidak
terkontrol. Beberapa perubahan genetik ini sebagian besar akibat mutasi, putusnya
kromosom, dan kehilangan sel-sel somatik.Sejumlah laporan menyebutkan bahwa
HLA (Human Leucocyte Antigen) berperan penting dalam kejadian KNF. Teori
tersebut didukung dengan adanya studi epidemiologik mengenai angka kejadian
dari kanker . Kanker nasofaring dapat terjadi pada semua usia, tetapi paling sering
didiagnosis pada orang dewasa antara usia 30 tahun dan 50 tahun.
4. Lingkungan
Faktor lingkungan yang berpengaruh adalah iritasi oleh bahan kimia, asap sejenis
kayu, kebiasaan memasak dengan bahan atau bumbu tertentu, kebiasaan makan
makanan terlalu panas.
5. Makanan yang diawetkan
Bahan kimia yang dilepaskan dalam uap saat memasak makanan, seperti ikan dan
sayuran diawetkan, dapat masuk ke rongga hidung, meningkatkan risiko
karsinoma nasofaring. Paparan bahan kimia ini pada usia dini, lebih dapat
meningkatkan risiko.
2.5 Klasifikasi
Klasifikasi WHO tahun 1978 membagi KNF menjadi squamous cell carcinoma
(WHO tipe 1), nonkeratinizing carcinoma (WHO tipe 2) dan undifferentiated carcinoma
(WHO tipe 3). Klasifikasi yang saat ini digunakan adalah WHO tahun 1991 yang
membagi tumor ganas ini menjadi squamous cell carcinoma (keratinizing SCC),
nonkeratinizing carcinoma yang terdiri atas differentiated dan undifferentiated, dan
basaloid SCC. Batasan antara subtipe ini terkadang tidak jelas, bahkan beberapa peneliti
melaporkan bahwa SCC dan nonkeratinizing carcinoma sebenarnya adalah varian dari
satu kelompok tumor yang homogen. Berdasarkan laporan dari berbagai negara, KNF
subtipe undifferentiated carcinoma (termasuk nonkeratinizing carcinoma) adalah subtipe
yang terbanyak ditemukan yaitu, Hong Kong (99%), Singapore (83%), Tunisia (92%),
Jepang (87%) dan Amerika Serikat (75%).10,11 Penelitian yang dilakukan Piasiska
(2010) di Medan tahun 2009 didapatkan subtipe terbanyak adalah WHO - 3
(Undifferentiated subtype ) sebesar 51,63%.12 Data dari bagian Patologi Anatomi
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas tahun 2006-2008 didapatkan sebanyak 45
kasus KNF di Sumatera Barat, dengan subtipe terbanyak adalah subtipe WHO 2
(Nonkeratinizing Carcinoma) dan WHO-3 (Undifferentiated subtype).
Tipe histologis KNF WHO tipe II dan WHO tipe III memiliki kecenderungan
untuk metastasis lebih tinggi daripada WHO tipe I. Di sisi lain, WHO tipe II dan WHO
tipe III memiliki derajat radiosensitivitas lebih tinggi sehingga mempunyai prognosis
yang lebih baik.
 Klasifikasi Stadium Berdasarkan TNM (AJCC, Edisi 7, 2010)

 Pengelompokkan Stadium
2.6 Patogenesis
Epstein-Barr Virus
Meskipun terdapat hubungan erat antara infeksi EBV dengan KNF, peran infeksi
EBV pada pathogenesis tetap membingungkan. Secara in vitro, infeksi EBV siap
mendorong proliferasi dan mematikan peran limfosit B. Infeksi EBV menyumbang 90%
dari mononucleosis, mengambil alih proliferasi limfosit B yang terinfeksi secara in vivo.
Hubungan infeksi EBV dan KNF pertama kali diindikasikan berdasarkan bukti serologis
bahwa pasien KNF memiliki titer antibodi lebih tinggi terhadap antigen kapsid virus dan
antigen awal dibandingkan dengan control pasien sehat. Peningkatan antibody IgA dan
anti-DNase terhadap EBV terbukti memiliki hubungan yang kuat dengan perkembangan
kanker selanjutnya. Infeksi EBV jarang terdeteksi secara invivo pada epitel nasofaring
kecuali pada lesi displastik nasofraing premaligna dan KNF non-keratinisasi.

Faktor Lingkungan
Sejumlah agen berupa faktor lingkungan telah dikaitkan dengan resiko KNF. Makanan
asin dan diawetkan dapat mencetuskan terjadinya KNF. Karena sebagian makanan
tersebut mengandung seyawa Volatile nitrosamine yang berperan sebagai zat karsinogen
dan diduga sebagai awal berkembangnya KNF. Metabolit karsinogenik aktif ini yaitu
nitrosamine dapat menyebabkan kerusakan DNA dan peradangan kronis dimukosa
nasofaring individu yang secara genentik rentan. Mengkonsumsi makanan karsinogen
seperti ini selama masa kanak-kanak dapat menyebabkan akumulasi lesi genetik yang
menyimpang dan pengembangan kanker nasofaring pada usia dini, dan ini merupakan
predisposisi infeksi EBV sehingga dengan demikian meningkatkan resiko KNF.
Konsumsi buah segar dan sayuran berdaun, terutama jika dikonsumsi sejak anak-anak
telah dilaporkan sebagai faktor protektif terhadap KNF. Faktor resiko non diet yang
terkait dengan peningkatan resiko KNF juga telah di laporkan seperti paparan
formaldehyde, debu kayu, asap dan bahan kimia telah diakui sebagai faktor resiko KNF
dengan menyebabkan peradangan kronis.

Asap Rokok
Pda banyak penelitian dikaitkan bahwa merokok berhubungan dengan KNF. Merokok
dapat meningkatkan serum anti-EBV. Serum anti-EBV merupakan petanda tumor yang
digunakan untuk menilai adanya proses keganasan pada nasofaring, anti-EBV ini terbagi
dua yaitu serum antiEBV viral capsid antigen immunoglobulin A dan anti EBV DNase.
Peningkatan marker anti-EBV positif dapat dimiliki pada orang-orang yang memiliki
kebiasaan merokok aktif selama lebih dari 20 tahun.

Asap Kayu Bakar dan Debu Kayu


Resiko terjadinya kanker nasofaring meningkat terhadap paparan debu kayu yang
terakumulasi dalam jangka waktu yang lama. Debu kayu menyebabkan iritasi dan
inflamasi pada epitel nasofaring sehingga mengurangi bersihan mukosiliar dan perubahan
sel epitel nasofaring. Partikel debu berukuran sedang (5-10 mikrometer) mudah diserap
di daerah faring. Beberapa penelitian epidemiologi menemukan bahwa faktor resiko
timbulnya karsinoma nasofaring meningkat pada orang-orang yang terpapar dengan debu
kayu dan semua hal tersebut tergantung dari lama dan dosis paparan. Selain itu salah satu
faktor resiko lainnya dalah orang-orang yang bekerja pada suhu tinggi dan lingkungan
kerja yang mudah terbakar. Nasofaring merupakan daerah utama terperangkapnya
partikel berukuran menengah dari partikel-partikel inhalasi sehingga memudahkan
penyerapan zat kimia kedalam epitel nasofaring dan zat inhalasi ini bersifat karsinogen
sebagai faktor resiko timbulnya karsinoma nasofaring.

DAFTAR PUSTAKA

Iskandar, N., Soepardi, E., & Bashiruddin, J., et al (ed). 2007. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Kepala dan Leher. Edisi ke6. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI.

Kementerian Kesehatan RI, 2015, Panduan Nasional Penanganan Kanker Nasofaring,


Komite Nasional Penanggulangan Kanker (KNPK), Jakarta.

Primadina M& Imanto M. 2017. Tumor Nasofaring dengan Diplopia Pada Pasien
Usia 44 Tahun. Jurnal Medula 7(4): 181-186

Fazia S et al.2016. Karakteristik Klinis dan Patologis Karsinoma Nasofaring di


Bagian THT-KL RSUP DR. M.Djamil Padang. Jurnal Kesehatan Andalas 5(1) : 90-
96
Muhlis M& Imanto M. 2017. Peran Latent Membrane Protein (LMP) dan MicroRNA
dalam Patogenesis Karsinoma Nasofaring yangdisebabkan oleh Virus Epstein-
Barr.Jurnal Majority 7(1) : 147-151
Amanah N. 2020. Faktor-faktor penyebab terjadinya karsinoma nasofaring (KNF).
Jurnal Unila 2(1): 112-120.
Wolden SL. Cancer of the Nasopharynx. In: Jatin P. Shah, ed. Atlas of Clinical
Oncology - Cancer of the Head and Neck. Vol London: BC Decker Inc; 2001:146-
155.

Anda mungkin juga menyukai