Anda di halaman 1dari 37

1

TATALAKSANA KEMOTERAPI KARSINOMA NASOFARING


PADA KEHAMILAN

Meilina Wardhani, Denny S. Utama


Bagian IKTHT-KL FK Unsri/Departemen KTHT-KL RSMH Palembang

Abstrak
Karsinoma nasofaring (KNF) adalah keganasan yang berasal dari sel epitel
dinding nasofaring, termasuk 10 besar penyakit keganasan di Indonesia dan
nomor 1 di Asia. Insiden tertinggi pada ras mongoloid yaitu 10-53 kasus per
100.000 penduduk. Karsinoma nasofaring dapat mengenai semua usia dengan
insiden puncak pada usia 30-60 tahun. Seiring memanjangnya usia reproduksi dan
kecenderungan wanita menunda kehamilan sampai dekade 30-40 tahun maka
insiden penyakit keganasan termasuk KNF pada wanita hamil juga meningkat.
Kasus penyakit keganasan pada wanita hamil di Amerika Serikat (AS) mencapai 1
kasus per 1000 kehamilan. Belum didapatkan angka insidensi KNF pada
kehamilan.
Penatalaksanaan KNF pada kehamilan menimbulkan dilema etik dan
terapetik karena harus menyeimbangkan antara penatalaksanaan yang adekuat dan
memastikan keamanan bagi ibu dan janin. Dilaporkan satu kasus KNF dengan
metastasis jauh pada pasien wanita usia 38 tahun yang terdiagnosis pada usia
kehamilan 16 minggu. Pasien ini mendapatkan tatalaksana kemoterapi dengan
regimen cisplatin dan kapesetabin.

Kata kunci : Karsinoma Nasofaring (KNF), kehamilan, kemoterapi


Abstract
Nasopharyngeal carcinoma (NPC) is a malignancy derived from epithelial
cells of nasopharyngeal wall, including 10 major malignant disease in Indonesia
and the number 1 in Asia. The incidence was highest in the Mongoloid race is
about 10-53 cases per 100,000 population. Nasopharyngeal carcinoma can affect
all ages with a peak incidence at the age of 30-60 years. As prolonged
reproductive age and women tend to delay pregnancy until the decade of 30-40
years, the incidence of malignancies including NPC disease in pregnant women
has also increase
Management of NPC in pregnancy raises ethical and therapeutic
dilemmas of having to balance between management and ensure adequate safety
for the mother and fetus. Reported one case of NPC with distant metastases in
female patients aged 46 years who were diagnosed at 16 weeks gestation. These
patients get treatment of chemotherapy with cisplatin and capesetabin regimen.

Keywords: Nasopharyngeal carcinoma (NPC),pregnancy,chemotherapy

1
2

PENDAHULUAN

Karsinoma nasofaring (KNF) di Indonesia merupakan 10 besar dari


seluruh keganasan dan merupakan keganasan nomor satu di bidang Telinga,
Hidung, Tenggorok dan Kepala-Leher. Di Asia, KNF merupakan keganasan
nomor satu di bidang THT, kecuali di Jepang. Pada umumnya keganasan ini
sangat sulit didiagnosis secara dini, mempunyai sifat menyebar secara cepat ke
kelenjar limfe leher dan bermetastasis jauh seperti ke organ paru, hati dan tulang.
Keganasan kepala leher pada perempuan hamil merupakan kasus yang sangat
jarang. Kasus yang paling banyak dilaporkan adalah melanoma dan limfoma,
disusul oleh keganasan laring, tiroid dan nasofaring. Peningkatan insiden KNF
pada pasien-pasien berusia muda juga mengakibatkan peningkatan penderita KNF
pada kelompok perempuan usia produktif, terutama pada usia dekade tiga puluh
dan empat puluhan.1-5
Diperkirakan angka kejadian tumor ganas pada kehamilan mencapai 1 di
antara 1000 kehamilan. Angka tersebut meningkat seiring dengan memanjangnya
usia produktif. Beberapa penulis mengemukakan teori bahwa perubahan fisiologis
pada kehamilan dapat meningkatkan pertumbuhan sekunder neoplastik akibat
status metabolik dan respons hormonal.3,6,7 Penatalaksanaan karsinoma pada
pasien hamil merupakan tantangan karena menimbulkan dilema etik dan terapetik.
Tatalaksana karsinoma pada pasien hamil harus memperhitungkan manfaat dan
risiko yang akan dihadapi. Beberapa penelitian melaporkan tentang kemoterapi
dan radioterapi pada kehamilan, namun masih dibutuhkan penelitian lebih lanjut.
Penatalaksanaan karsinoma pada pasien hamil harus menyeimbangkan antara
penatalaksanaan adekuat namun juga memastikan keamanan pada pasien dan
janin.4,5,8

Kekerapan
Ras mongoloid terutama Mongoloid bagian selatan merupakan faktor
dominan timbulnya karsinoma nasofaring, sehingga kekerapan cukup tinggi
didapatkan pada penduduk Cina bagian selatan, Hongkong, Vietnam, Thailand,

1
3

Malaysia, Singapura dan Taiwan dengan insidens yang tinggi antara 10-53 kasus
per 100.000 penduduk. Insiden tertinggi pada daerah Guangdong (Kwangtung),
Hongkong dan Taiwan. Penduduk Indonesia termasuk kelompok Malayo
polynesia dari ras Mongoloid yang terbagi atas 54 suku bangsa dan 3% dari
seluruh penduduk Indonesia terdiri dari keturunan Cina. Penderita karsinoma
nasofaring juga ditemukan pada ras non-mongoloid seperti Yunani, Afrika bagian
utara seperti Tunisia dan Aljazair dengan insiden 2 sampai 4 per 100.000
penduduk. Orang eskimo di Alaska dan Tanah Hijau relatif cukup tinggi dengan
insiden 15-20 kasus per 100.000 penduduk. Diduga penyebabnya karena mereka
memakan makanan/daging yang diawetkan dengan nitrosamin selama musim
dingin.6-10
Karsinoma nasofaring dapat mengenai semua usia. Insiden puncak terjadi
pada usia 30-40 dan 50-60 tahun. Karsinoma nasofaring lebih sering terjadi pada
laki-laki dibandingkan perempuan dengan rasio 3:1.8,10 Roezin, pada penelitiannya
pada tahun 1993-1997 di Bagian THT-KL FKUI/RSCM mencatat 498 kasus
karsinoma nasofaring dengan perbandingan laki-laki (70,68%) dan perempuan
(29,32%) dan menyatakan bahwa insiden tertinggi adalah antara usia 40-50 tahun
dengan usia termuda 14 tahun dan tertua 78 tahun. Sebanyak 26,71% kasus
terdapat pada stadium III dan 70,80% terdapat pada stadium IV.8,9 Diperkirakan
terdapat 3.500 kasus baru karsinoma pada kehamilan di Amerika Serikat, yang
berarti satu kasus setiap 1000 kehamilan. Peningkatan ini seiring dengan
memanjangnya usia reproduksi. Kasus terbanyak adalah karsinoma payudara,
karsinoma serviks, limfoma Hodgkin, melanoma maligna, leukemia, karsinoma
ovarium dan karsinoma kolorektal. Sedangkan karsinoma nasofaring belum
diketahui datanya.8,11 Pasien KNF dengan metastasis jauh pada kehamilan baru
didapatkan 1 kasus di Sub-departemen Onkologi THT-KL FK Unsri/RSMH dan
tidak pernah ditemukan sebelumnya

ETIOLOGI

Karsinoma nasofaring merupakan penyakit dengan etiologi multifaktorial.


Data epidemiologi menunjukkan keterlibatan viral (Epstein-Barr), faktor genetik

1
4

dan lingkungan. Hubungan antara virus Epstein-barr (EBV) dan KNF tidak
berdiferensiasi dicurigai pertama kali pada tahun 1966 berdasarkan suatu
penelitian yang menunjukkan adanya antibodi terhadap sel yang terinfeksi EBV.
Pada lesi primer KNF, EBV diduga memasuki sel epitel tumor, infiltrasi limfosit
B dan penyebab mononukleosis infeksiosa, telah dibuktikan sebagai penyebab
utama timbulnya KNF. Lebih dari 90% orang dewasa mengandung EBV laten
pada nasofaring dan sumsum tulang.7,8,11
Faktor genetik berpengaruh pula terhadap terjadinya KNF. Ras mongoloid
paling banyak terkena. Hubungan genetik antara HLA (Histocompatibility Locus
Antigen) telah pula menjadi pusat perhatian dengan ditemukannya faktor HLA
yang sama pada penderita KNF, seperti HLA-A2, HLA-B17, HLA-BW16, BW
46, BW58 serta yang melibatkan DR yaitu DR3 dan DR9. Adanya pengaruh
faktor genetik ini terutama genotipe HLA-A2 dan HLA-BSin2 ditemukan pada
penduduk Cina Selatan.5,10,11
Faktor makanan, terutama konsumsi ikan asin dan makanan yang
diawetkan mengandung nitrosamin, merupakan mediator penting yang dapat
menjadi ankylating agent dan diketahui dapat menginduksi terjadinya karsinoma
sel skuamosa, adenokarsinoma dan lainnya pada daerah hidung, sinus paranasal
atau nasofaring. Konsumsi ikan asin sejak disapih ditambah dengan kekurangan
vitamin, buah serta sayuran segar merupakan faktor penyebab tingginya angka
kejadian KNF pada penduduk Hongkong. Keadaan sosial ekonomi yang rendah,
rumah dengan ventilasi yang buruk serta udara yang penuh asap diduga
meningkatkan insiden KNF. 7,8,11 Perokok dengan kebiasaan merokok minimal 10
batang per hari memiliki risiko 2,06 kali lebih besar menderita KNF daripada
bukan perokok. Iritasi bahan kimia, asap jenis kayu tertentu, kebiasaan memasak
dengan bahan atau bumbu masak tertentu serta kebiasaan makan makanan terlalu
panas turut berperan sebagai faktor predisposisi terjadinya KNF. Seringnya
peradangan di daerah nasofaring menyebabkan mukosa nasofaring lebih rentan
terhadap karsinogen lingkungan dan memudahkan perubahan mukosa ke arah
prekanker.7,8,9

1
5

HISTOPATOLOGI
Histopatologik dibuat dengan memeriksa sediaan biopsi tumor di
nasofaring. Secara histopatologik KNF dibagi menjadi 3 tipe berdasarkan
klasifikasi WHO 1991, yaitu tipe 1: karsinoma skuamosa ( dengan pertandukan)
di mana tampak gambaran sekat intraseluler dan gambaran pembentukan keratin
yang menonjol dan gambaran tersebut menyerupai karsinoma sel skuamosa di
daerah lainnya misalnya daerah traktus aerodigestivus; tipe 2: karsinoma sel
skuamosa tidak berkeratin (non-keratinizing) yang memperlihatkan kematangan
epitel skuamosa dan tidak terdapat pembentukan keratin; tipe 3: karsinoma tidak
berdiferensiasi (undifferentiated), sel tumor dengan morfologi terdapat nukleus
bentuk oval atau bundar dengan nukleolus didalamnya, batas tumor tidak jelas,
bisa terdapat bentuk kumparan dengan nukleolus hiperkromatik, sel tumor
tersusun secara tidak teratur dan membentuk suatu massa atau ikatan sel
penghubung yang jarang dalam suatu stroma limfoid. Karsinoma tidak
berdiferensiasi ini merupakan jenis tersering (92-96%) dari karsinoma
nasofaring.9,12-14
Suatu klasifikasi histologik baru yang membagi KNF berdasarkan derajat
anaplasia atau pleomorfik sel tumor, diusulkan sebagai Formulasi Kerja (Working
Formulation) karena menunjukkan korelasi prognostik yang nyata. Dalam
klasifikasi tersebut, KNF dibagi menjadi 3 jenis yaitu karsinoma sel skuamosa
berkeratin derajat keganasan tinggi; karsinoma tipe A: karsinoma dengan
anaplasia/pleomorfi nyata derajat keganasan menengah; karsinoma tipe B:
karsinoma dengan anaplasia/pleomorfi ringan derajat keganasan rendah.
Klasifikasi ini telah diterapkan terhadap sediaan biopsi KNF dengan respons
radiasi tumor metastasisnya di kelenjar leher dan tumor primernya di
nasofaring.13,14

GEJALA DAN TANDA KLINIS


Gejala klinis KNF dapat dibagi dalam empat kelompok yaitu gejala
nasofaring, gejala mata atau saraf dan metastasis regional berupa benjolan di
leher. Gejala nasofaring terbagi atas gejala telinga dan hidung. Adanya keluhan

1
6

rasa penuh di telinga, rasa berdengung, rasa tidak nyaman di telinga hingga rasa
nyeri, otitis media serosa sampai perforasi membran timpani dengan gangguan
pendengaran tipe konduktif, biasanya unilateral. Gejala telinga dapat merupakan
gejala sangat dini dari KNF. Gejala hidung meliputi adanya ingus bercampur
darah, post nasal drip dan epistaksis berulang. Sumbatan hidung dapat terjadi
unilateral atau bilateral, kadang-kadang disertai dengan gangguan penciuman dan
ingus kental.1,15,16
Gejala syaraf dengan keluhan sakit kepala (gejala tersering) atau gejala
saraf kranial, menunjukkan kelainan lokal lanjut. Gejala saraf ini diakibatkan oleh
perluasan tumor ke jaringan sekitar (meluas ke atas melalui foramen laserum dan
foramen ovale sepanjang fossa kranii medial (disebut penjalaran petrosfenoid) dan
mengenai N.II N.VI. Kelainan yang sering ditemukan adalah adanya kelainan
pada N.VI berupa kelumpuhan sehingga timbul keluhan diplopa dan strabismus,
hipestesia pipi atau wajah (bila mengenai N.V1 dan N.V2). Penekanan pada N. III
dapat terjadi dimana tampak adanya fiksasi bola mata, kecuali gerakan ke lateral
dan dapat terjadi ptosis palpebra. Jika seluruh saraf grup anterior terkena dapat
terjadi sindrom petrosfenoid (neuralgia trigeminal unilateral, oftalmoflegia
unilateral, amaurosis dan nyeri kepala hebat) dan bila tumor meluas ke belakang
secara ekstrakranial sepanjang fossa posterior ( penjalaran retroparotidean) serta
mengenai N.VII N. XII dan cabang saraf simpatikus servikalis yang
menimbulkan gejala sindrom Horner (konstriksi pupil, enoftalmus, penyempitan
fisura palpebra, trismus). Bila terjadi kelumpuhan N. IX XII disebut sebagai
sindrom retroparotidean, maka didapatkan keluhan disfagia, gangguan
pengecapan sepertiga belakang lidah, hipestesia atau hipostesia mukosa palatum
molle, faring maupun laring, gangguan respirasi dan salivasi, kelumpuhan atau
atrofi m. trapezius, m. sternokleidomastoid, hemiparesis palatum molle dan
hemiparesis ataupun atrofi sebelah lidah.1,15
Gejala lanjut berupa limfadenopati servikal yang merupakan penyebaran
secara limfogen dapat unilateral atau bilateral. Kelenjar getah bening retrofaring
merupakan tempat penyebaran pertama sel tumor ke kelenjar, tetapi tidak dapat
teraba dari luar. Pembesaran kelenjar yang khas biasanya pada kelenjar jugular

1
7

superior terletak di bawah angulus mandibula di dalam m. sternokleidomastoid,


konsistensi keras, tidak terasa nyeri dan tidak mudah digerakkan, terutama jika sel
tumor sudah menembus kelenjar dan jaringan otot dibawahnya.Metastasis jauh
dari KNF dapat mengenai organ tubuh yang letaknya jauh dari nasofaring dan
biasanya terkena pada paru, tulang (femur dan vertebra torakolumbal) dan hati.
Jika terjadi hal tersebut merupakan stadium akhir dan prognosis buruk.1,15,17

DIAGNOSIS
Gejala KNF sangat beragam. Gejala dini harus diperhatikan. Adanya
keluhan telinga dan hidung seperti penurunan pendengaran, tinitus, sumbatan
hidung dan epistaksis yang tidak diketahui penyebabnya dan biasanya unilateral
harus selalu diwaspadai sebagai gejala KNF atau bukan. Dapat dilakukan
pemeriksaan nasofaringoskopi ataupun endoskop serat optik fleksibel.
Pemeriksaan audiogram dapat dilakukan sebagai pemeriksaan penunjang pada
KNF. Biopsi nasofaring merupakan suatu tindakan diagnostik definitif pada kasus
yang dicurigai KNF. Sebaiknya tidak dilakukan biopsi insisi atau pun eksisi bila
terdapat pembesaran kelenjar getah bening akibat KNF tersebut. Pemeriksaan
biopsi aspirasi jarum halus (Fine Needle Aspiration Biopsy/ FNAB) dapat
dilakukan pada pasien dengan pembesaran kelenjar limfa pada KNF dan dapat
membedakan suatu metastasis ataupun tuberkulosis.9,16,17
Pemeriksaan radiologi dapat dilakukan, di antaranya pemeriksaan foto
polos nasofaring dan dasar tengkorak yang memperlihatkan bayangan jaringan
lunak pada nasofaring atau erosi tulang dasar tengkorak atau vertebra servikal.
Pemeriksaan tomografi komputer potongan aksial dan koronal dengan atau tanpa
kontras dapat tampak gambaran asimetri fossa Rossenmuller kanan maupun kiri.
Bila diinginkan keakuratan pemeriksaan yang lebih tinggi, dapat dilakukan
pemeriksaan MRI dengan gadolinium dan supresi lemak sehingga dapat lebih
mendeteksi adanya keterlibatan perineural, intrakranial termasuk parenkim otak
atau sinus kavernosus dan membedakan jaringan tumor dengan fibrosis akibat
terapi radiasi. Dapat juga digunakan pemeriksaan Tomografi Emisi Positron
(Positron Emission Tomografi/PET) pada kasus rekuren atau residu setelah

1
8

radioterapi.9,16 Pemeriksaan radiologi lain ialah pemeriksaan foto polos dada.


Pemeriksaan tomografi komputer dada diperlukan bila ditemukan abnormalitas
dari ronsen dada. Pemeriksaan tomografi komputer abdomen dilakukan bila hasil
uji fungsi hati (liver function test/ LFT) abnormal. Pemeriksaan bone scan
diperlukan terutama pada kasus KNF stadium IV.9,16
Tindakan biopsi dapat dihubungkan dengan molekul-molekul EBV
spesifik sebagai petanda deteksi KNF pada spesimen biopsi. Salah satu petanda
ini adalah EBV-encoded small RNA (EBER). Hasil studi di Taiwan menunjukkan
bahwa pemeriksaan EBER-1 in situ hybridization (EBER1-ISH) mempunyai daya
sensitivitas 96,4% dalam mendeteksi tumor primer KNF. Pemeriksaan LMP1 dan
pemeriksaan usapan nasofaring dapat dijadikan alat penapisan (screening) untuk
mendeteksi dini KNF pada daerah insidensi tinggi KNF.9,16 Pemeriksaan darah
dilakukan, terutama pemeriksaan darah lengkap dan pemeriksaan LFT untuk
mencari adanya metstasis jauh.9,16

PERLUASAN DAN METASTASIS


Penyebaran atau perluasan KNF adalah melalui 3 cara, yaitu meluas ke
jaringan sekitar, metastasis melalui aliran limfa dan metastasis melalui aliran
darah. Perluasan ke jaringan sekitar dapat ke tiga arah, yaitu meluas ke atas dan
merusak basis kranii, melalui foramen laserum masuk ke fossa kranii media. Saraf
kranial yang terkena biasanya N.III, N.IV, N.V, N.VI sesuai dengan topografi
daerah sekitar foramen laserum. Tumor dapat tumbuh ke depan dan menekan
fasikulo optikus, jaringan tumor akan memasuki orbita lewat fisura orbitalis
sehingga menyebabkan eksoftalmus. Kemudian dapat terjadi perluasan tumor ke
depan dan ke bawah melalui kavum nasi ke sinus paranasalis, orbita dan fossa
kranii anterior. Tumor melalui koana masuk ke kavum nasi dan menyebabkan
obstruksi. Tumor dapat tumbuh ke bawah, di palatum molle dan merusaknya
sehingga menyebabkan kesulitan bicara, bernapas dan kesulitan menelan. Tumor
dapat masuk ke dalam rongga parafaring dimana terdapat N.IX, N.X, N.XI, N.XII
dan ganglion servikalis kranial, sehingga tumor dapat merusak saraf-saraf
tersebut. Tumor dapat masuk ke belakang ke dalam foramen jugularis dan nervus

1
9

hipoglosus sampai ke dalam fossa kranii posterior dan dapat merusak saraf-saraf
tersebut di atas. Tumor dapat juga merusak daerah fossa infra temporal melalui
fisura orbita dan menyebabkan proptosis bulbi. Tumor dapat meluas ke belakang
fasia koli profunda prevertebralis dan menyusup prevertebralis.16,17
Metastasis melalui aliran limfa dari pleksus submukosa nasofaring melalui
kelenjar Rouveire dan ada yang ke profunda dan superfisial. Bila ke arah profunda
menuju kelenjar servikalis profunda, sebagian masuk ke spatium parafaring,
sehingga bermanifestasi adanya benjolan pada leher dan biasanya timbul benjolan
bilateral.16,17 Metastasis melalui aliran darah menyebabkan timbulnya metastasis
jauh yang dapat mengenai spina vertebra torakolumbal, femur, hati, paru, ginjal
dan limpa.16,17

KLASIFIKASI
Klasifikasi klinis TNM menurut American Joint Committee on Cancer
(AJCC) tahun 2010:22
T : Tumor primer
Tx : Tumor primer yang tidak dapat ditemukan
T0 : Tidak ditemukan adanya tumor primer
Tis : Carcinoma in situ
T1 : Tumor terbatas pada daerah nasofaring, atau tumor meluas ke orofaring
dan/atau kavum nasi tanpa perluasan ke parafaring
T2 : Tumor dengan perluasan ke parafaring
T3 : Tumor menyerang struktur tulang dan atau sinus paranasal
T4 : Tumor menyerang sampai daerah intrakranial dan atau penyebaran tumor
di saraf kranial, hipofaring, orbita, atau perluasan ke fossa
infratemporal/rongga mastikator
N : Pembesaran kelenjar getah bening regional (KGB)
Nx : Pembesaran KGB regional tidak dapat ditentukan
N0 : Tidak ada pembesaran KGB regional
N1 : Metastasis unilateral KGB dengan ukuran < 6 cm merupakan ukuran
terbesar, terletak diatas fossa supraklavikula dan atau pembesaran KGB

1
10

retrofaring unilateral atau bilateral, dengan ukuran < 6 cm merupakan


ukuran terbesar.
N2 : Metastasis bilateral KGB dengan ukuran < 6cm merupakan ukuran
terbesar, terletak diatas fossa supraklavikular
N3 : Metastasis pada KGB > 6cm dan atau ke fossa supraklavikula
N3a : Ukuran > 6cm
N3b : Perluasan ke fosa supraklavikula
M : Metastasis jauh
M0 : Tidak ada metastasis jauh
M1 : Terdapat metastasis jauh

GRUP STADIUM/PROGNOSTIK
Stadium T N M

0 Tis N0 M0

I T1 N0 M0

II T1 N1 M0

T2 N0 M0

T2 N1 M0

III T1 N2 M0

T2 N2 M0

T3 N0 M0

T3 N1 M0

T3 N2 M0

IVA T4 N0 M0

T4 N1 M0

T4 N2 M0

IVB Any T N3 M0

IVC Any T Any N M1

1
11

FISIOLOGI SELAMA KEHAMILAN


Selama kehamilan tubuh mengalami perubahan fisiologis yang
diakibatkan perubahan hormonal dan stimulus yang didapatkan oleh janin,
sehingga terjadi perubahan hiperdinamik, hipermetabolik, hipervolemik dan
hiperkoagulasi dengan resistensi vaskuler sistemik, peningkatan resistensi insulin
dan alkalosis respiratori terkompensasi. Perubahan fisiologis ini dapat
mengakibatkan perubahan farmakokinetik obat selama kehamilan. Perubahan
fisiologis pada kehamilan harus dipertimbangkan dalam pemilihan regimen
kemoterapi. Pada kehamilan obat-obatan lebih mudah terabsorbsi dan konsentrasi
albumin serum untuk pengikatan molekul obat lebih rendah dibandingkan pada
wanita yang tidak hamil. Perubahan farmakokinetik pada kehamilan termasuk
volume distribusi yang lebih besar, konsentrasi plasma maksimum yang lebih
rendah, waktu paruh plasma yang lebih cepat dan waktu clearance yang lebih
lama. Obat kemoterapi yang sebagian besar memiliki gugus molekul kecil dan
mudah berikatan dengan lemak memudahkan transfer molekul obat dan
metabolitnya yang tidak diikat untuk masuk kedalam plasenta atau ASI.6,7,18
Sebagian besar obat kemoterapi dapat melalui sawar darah plasenta
sehingga ditemukan konsentrasi obat yang sama atau bahkan lebih tinggi pada
serum janin dan cairan amnion dibandingkan pada serum ibu. Infiltrasi obat
melalui plasenta sebagian besar adalah dengan cara difusi. Sebagian besar obat
kemoterapi memiliki molekul yang kecil, larut dalam lemak, tidak terionisasi dan
mudah ditransfer melalui sirkulasi janin. Peningkatan kebutuhan metabolik janin
pada trimester ketiga menyebabkan peningkatan aliran darah plasenta dan
permukaan plasenta semakin menipis dan meluas sehingga memfasilitasi transfer
obat dari ibu ke sirkulasi janin.6,18
Perkembangan janin dibagi menjadi 3 tahap perkembangan. Pada tahap
pertama merupakan awal embriogenesis dimulai dari pembuahan sampai usia 12
minggu. Bila embrio rusak pada fase ini maka embrio akan mati atau bila
kerusakan tersebut teratasi maka embrio akan berkembang normal. Tahap kedua
adalah tahap organogenesis. Jaringan penghubung, organ dan sistem organ
dibentuk pada periode ini. Kerusakan embrio selama masa organogenesis akan

1
12

memicu kematian embrio atau malformasi berat. Tahap akhir adalah tahap
perkembangan janin termasuk juga periode pertumbuhan. Pada masa ini organ
akan tumbuh dan matang, sehingga gangguan pada janin pada fase ini
mengakibatkan gangguan fungsional, bukan lagi gangguan struktur. Gangguan
yang ditemukan pada tahap ini adalah retardasi mental dan pertumbuhan serta
panjang janin yang tidak sesuai dengan masa gestasi. 6,18,19

PENATALAKSANAAN
Letak karsinoma nasofaring dan kecenderungan timbulnya metastasis
KGB leher mengakibatkan sulitnya melakukan operasi untuk kontrol lokal. Biopsi
KGB merupakan prosedur bedah yang sering dilakukan. Radioterapi sampai saat
ini masih merupakan terapi pilihan utama untuk penderita KNF yang belum ada
metastasis jauh dan terutama bila masih dini (stadium I). 9 Radiasi yang diberikan
diharapkan dapat memperbaiki kualitas hidup dan memperpanjang kelangsungan
hidup penderita. Pertimbangan pemilihan radiasi didasarkan fakta bahwa secara
histopatologis (75%-95%) jenis karsinoma tidak berkeratinisasi dan karsinoma
tidak berdiferensiasi sangat radiosensitif. Pertimbangan lain adalah faktor anatomi
nasofaring yang terletak di dasar tengkorak dengan banyak organ vital
menyebabkan tindakan pembedahan ekstensif untuk memperoleh daerah bebas
tumor sangat sulit dikerjakan.20,21
Secara konvensional, untuk KNF stadium dini (T1,T2) diberikan radiasi
dengan dosis 200-220cGy per fraksi, diberikan 5 kali dalam seminggu tanpa
istirahat sampai mencapai dosis total 6000-7000 cGy dalam 6 minggu. Sedangkan
untuk KNF dengan ukuran tumor yang lebih besar (T3,T4) diberikan dosis total
radiasi pada tumor primer di nasofaring yang lebih tinggi 7000-7500 cGy. Bila
tidak didapatkan metastasis di KGB leher diberikan radiasi profilaksis dengan
dosis sekitar 4000-5000 cGy dalam empat atau empat setengah minggu sedangkan
bila ada pembesaran KGB di leher diberikan radiasi yang dosisnya sama dengan
harus diberikan dosis yang cukup tinggi (sekitar 7000 cGy), ditujukan pada tumor
primer di nasofaring pada daerah perluasan maupun metastasisnya di kelenjar
getah bening leher. Radioterapi tidak dapat mencegah metastasis jauh.20,21

1
13

Pengobatan KNF dengan radioterapi konvensional saja hasilnya kurang


memuaskan. Terdapat beberapa cara meningkatkan kontrol tumor pada penderita
KNF, yaitu radioterapi dengan pemberian radiasi yang dipercepat (accelerated
fractionation radiotherapy), dose escalation, 3-dimensional radiation therapy
atau Intensity Modulated Radiation Therapy (IMRT), kombinasi kemoterapi serta
radioterapi dan pembedahan tumor rekuren. Menurut Brennan, protokol
penanganan KNF adalah sebagai berikut. Stadium 1 dengan radioterapi dosis
tinggi pada tumor primer di nasofaring dan radiasi profilaktik di daerah leher,
stadium II dengan kemoterapi atau radioterapi dosis tinggi pada tumor primer di
nasofaring dan radiasi profilaktik di leher, stadium III dengan kemo-radioterapi
atau radioterapi dosis tinggi/hiperfraksinasi ditujukan pada tumor primer di
nasofaring dan kelenjar leher bilateral (bila ada) atau diseksi leher mungkin dapat
dilakukan pada tumor leher persisten atau rekuren asalkan tumor primer di
nasofaring sudah terkontrol dan tanpa metastasis jauh. Kemoradioterapi atau
radioterapi dosis tinggi/teknik hiperfraksinasi ditujukan pada tumor primer di
nasofaring dan kelenjar leher bilateral, atau diseksi leher dapat dikerjakan bila
tumor leher persisten atau rekuren asalkan tumor primer di nasofaring sudah
terkontrol tanpa metastasis jauh atau kemoterapi untuk KNF stadium IVC.20,21,22
Kemoterapi merupakan terapi adjuvan terbaik. Kemoterapi dapat diberikan
pada KNF dengan penyebaran kelenjar getah bening di leher, adanya infiltrasi
intrakranial, metastasis jauh maupun residif. Penggunaan kemoterapi biasanya
cisplatin atau dikombinasikan dengan 5-Fluorourasil.20,21 Berdasarkan protokol
National Comprehensive Cancer Network (NCCN). Protokol NCCN adalah
sebagai berikut:22
Stadium klinis Terapi
T1, N0, M0 Radioterapi definitif pada nasofaring >
T2a, N0, M0 70Gy (2Gy perhari) dan radioterapi
elektif > 50Gy (2Gy perhari) pada
daerah leher
T1, N1-3 Cisplatin 100mg/m2 pada hari 1,22, 42
T2b-T4, tiap N ditambah radioterapi (> 70Gy) untuk
tumor primer dan daerah KGB leher
bilateral (> 50Gy), dilanjutkan

1
14

pemberian cisplatin 80 mg/m2 pada hari


pertama ditambah 5-FU 1000 mg/m2,
terapi diberikan selama 4 minggu
dalam 3 siklus. Bila terdapat residu
dilakukan diseksi leher sedangkan bila
respon komplit dilanjutkan observasi
Tiap T, tiap N, M1 Cisplatin dengan kombinasi kemoterapi
lain. Bila terdapat respon komplit,
lakukan radioterapi definitif untuk
tumor primer dan leher

Setelah dilakukan terapi dilakukan follow-up pada pasien baik


pemeriksaan fisik dan evaluasi fungsi tiroid karena dapat terjadi peningkatan
aktivitas TSH pada 20%-25% pasien yang mendapatkan radiasi sehingga
dilakukan pemeriksaan TSH tiap 6-12 bulan setelah terapi serta dilakukan
evaluasi bicara, fungsi menelan dan rehabilitasi. Tindakan pembedahan seperti
nasofaringektomi dan diseksi leher radikal (Radical neck Dissection/RND)
merupakan salah satu alternatif menangani tumor persisten atau rekuren di
nasofaring atau kelenjar leher. Hasil operasi nasofaringektomi dengan pendekatan
anterolateral (maxillary swing approach) memberikan hasil cukup baik.20,22
Penatalaksanaan karsinoma pada kehamilan menimbulkan dilema. Pasien
yang memilih mempertahankan kehamilan terpaksa menunda penatalaksanaan
demi melindungi janin. Hanya sedikit penelitian yang melaporkan pemberian
kemoterapi dan radioterapi pada keganasan kepala leher selama kehamilan.
Penanganan kasus seperti ini harus melibatkan tim dari berbagai disiplin ilmu
kedokteran yaitu bedah kepala leher, onkologi medik, onkologi radioterapi dan
fetomaternal. Meskipun belum ada pedoman yang baku untuk penatalaksanaan
karsinoma pada wanita hamil namun prinsip yang harus dipenuhi adalah berusaha
memberi pengobatan yang bermanfaat bagi kehidupan ibu, berusaha mengobati
penyakit/ karsinoma pada ibu, berusaha melindungi janin dan bayi yang akan
dilahirkan dari efek merugikan dari penatalaksanaan karsinoma dan berusaha
mempertahankan kesehatan sistem reproduksi ibu. Meskipun sebagian besar kasus
terdiagnosa pada stadium awal namun direkomendasikan untuk menunda

1
15

penatalaksanaan hingga trimester kedua. Hal ini dilakukan untuk mencapai


maturitas janin terlebih dulu. 3,18,19,21,23,24
Radioterapi sebaiknya ditunda setelah persalinan untuk menghindari efek
merugikan bagi janin. Radioterapi harus dihindarkan secara total untuk
keselamatan janin. Kemoterapi ajuvan juga dihindari pada trimester pertama.
Radioterapi harus dihindarkan secara total untuk keselamatan janin. Kemoterapi
diindikasikan setelah memasuki trimester kedua. Pada penelitian oleh Berry dkk.
seperti dikutip Pavlidis menyatakan bahwa 24 pasien hamil yang menderita
kanker payudara dapat disembuhkan setelah mendapatkan kemoterapi kombinasi.
Kemoterapi tersebut dinyatakan aman karena diberikan setelah pasien melewati
trimester pertama. Pada penelitian oleh Petrek dkk. didapatkan angka ketahanan
hidup 5 tahun pada pasien kanker payudara dengan KGB di aksila mencapai 47%
pada wanita hamil dan 59% pada pasien yang tidak hamil, sedangkan angka
ketahanan hidup 10 tahun pada wanita hamil 28% dan wanita tidak hamil 41%.
Secara analisa statistik tidak ada perbedaan antara pasien hamil dan tidak hamil.
Sedangkan untuk karsinoma nasofaring belum diteliti.11,12
Lin melaporkan sebuah kasus karsinoma nasofaring stadium IV
(T4N2M0) pada wanita Taiwan usia 26 tahun yang hamil 31 minggu. Pasien
mendapatkan kemoterapi cisplatin dan 5-FU dan radioterapi 6 minggu setelah
operasi sesar pada kehamilan 33 minggu. Pasien melahirkan bayi seberat 1790 g
dengan Apgar score 5-8, dan menunjukkan perkembangan psikomotor yang baik
hingga usia 3 tahun 6 bulan. Pasien mendapatkan kemoterapi sebanyak 5 seri
dengan jarak 2 minggu per seri dan radioterapi 7000 Gy dalam dosis terbagi 35
fraksi selama 7 minggu. Tumor mengalami regresi total 3 bulan setelah
radioterapi. Tidak ditemukan rekurensi pada 3 tahun follow-up. Pasien melahirkan
anak kedua pada 3 tahun setelah terapi dan diketahui anak keduanya juga
menunjukkan perkembangan psikomotor yang normal hingga usia 3 tahun.23,24
Yan dkk melaporkan 27 kasus KNF di mana 9 pasien kemudian hamil saat
menjalani terapi, sedangkan 18 pasien hamil setelah selesai radioterapi. Pada
kelompok pertama didapatkan hanya satu pasien yang bertahan hidup lebih dari 5
tahun tanpa tanda-tanda rekurensi, sisanya meninggal dalam kurun waktu satu

1
16

setengah tahun setelah radioterapi. Pada kelompok kedua didapatkan 83% pasien
(15 orang) bertahan hidup lebih dari 5 tahun tanpa tanda-tanda rekurensi. Wong
dkk seperti dikutip oleh Lin melaporkan kasus KNF yang didiagnosis pada
kehamilan 21 minggu dan mendapatkan penatalaksanaan radioterapi.
Perkembangan janin dipantau tiap 2 minggu menggunakan USG. Didapatkan
perkembangan janin normal selama kehamilan dan bayi lahir melalui operasi sesar
pada masa gestasi 38 minggu dengan berat 3700 gram. Sueta melaporkan kasus
karsinoma lidah dan palatum dengan metastasis leher pada wanita hamil berusia
30 tahun. Karsinoma terdiagnosis saat kehamilan 26 minggu. Pasien menjalani
operasi sesar pada usia kehamilan 34 minggu sebelum menjalani radioterapi dan
kemoterapi.5,23,25
Eitan R dkk merekomendasikan batasan kehamilan minimal 24 minggu
untuk dilakukan operasi sesar dan kesiapan unit perawatan intensif neonatus bagi
ibu yang menderita kanker sebelum diberikan tatalaksana.26 Dianjurkan pula
pemberian steroid pada ibu yang menderita kanker dan surfaktan buatan pada
neonatus. Pemberian kemoterapi dan/atau radioterapi pada kehamilan trimester
pertama meningkatkan resiko malformasi janin dan aborsi spontan. Lin dkk.
melaporkan bahwa kemoradioterapi konkuren lebih baik hasilnya dibandingkan
radioterapi saja untuk pasien dengan KNF stadium awal. 10 Cisplatin adalah
antineoplastik yang dipakai pada berbagai karsinoma. Regimen ini menghasilkan
kerusakan kromosom pada sel normal dalam kultur jaringan dan bersifat
teratogenik serta embriotoksik pada tikus. Cisplatin juga diketahui memiliki sifat
karsinogenik transplasenta pada tikus, menghasilkan tumor pada hepar, paru-paru,
susunan saraf pusat dan ginjal pada keturunannya. Hal ini kemungkinan
diakibatkan kerusakan DNA pada jaringan janin tikus. Hanya sedikit penelitian
yang melaporkan mengenai penggunaan cisplatin pada karsinoma dengan
kehamilan. Didapatkan satu kasus tuli sensorineural di antara 7 kasus. Green dkk.
seperti yang dikutip Lin melaporkan tidak ditemukan kelainan kongenital pada 7
bayi yang dilahirkan dari ibu yang mendapat terapi cisplatin dan tidak ditemukan
kelainan pada anak-anak tersebut pada masa kanak-kanak hingga dewasa.
Fluorourasil diketahui bersifat embriotoksik dan teratogenik pada mencit, tikus

1
17

dan hamster saat diberikan fluorourasil intravena dalam dosis ekuivalen pada
manusia. Didapatkan defek multipel pada janin yang mendapatkan terapi
fluorourasil sistemik pada trimester pertama.5,6,10,18,23,26

LAPORAN KASUS
Seorang perempuan, Ny. W, usia 38 tahun datang pada tanggal 18 Januari
2010 dengan keluhan utama terdapat benjolan di leher kanan dan kiri sejak lebih
kurang 1 bulan sebelum masuk rumah sakit. Benjolan pada kedua sisi leher
masing-masing 1 buah dengan ukuran sebesar telur puyuh. Awalnya benjolan
hanya di sebelah kanan sebesar kelereng dan dapat digerakkan. Namun benjolan
semakin membesar dan tumbuh benjolan juga di leher sebelah kiri. Dari
anamnesis didapatkan sejak 6 bulan sebelumnya pasien mengeluh hidung kanan
agak buntu, buntu semakin lama semakin bertambah parah, sejak lebih kurang 1
bulan yang lalu pasien mengeluh hidung kanan dan kiri buntu. Pasien juga
mengeluh sering mimisan sejak lebih kurang 5 bulan sebelum masuk rumah sakit.
Mimisan sedikit-sedikit, biasanya berupa darah bercampur lendir. Riwayat
penurunan pendengaran pada telinga kanan sebelumnya ada dan pasien mengeluh
telinga kanan terasa penuh. Riwayat keluar cairan dari telinga tidak ada. Riwayat
penglihatan ganda tidak ada. Keluhan sakit kepala tidak ada. Pasien makan dan
minum seperti biasa. Riwayat merokok tidak ada. Sebelum timbul benjolan pasien
cukup sering makan makanan yang diawetkan.
Dalam pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit sedang,
kompos mentis, afebris dan tidak ada sesak napas. Pemeriksaan THT didapatkan
kedua telinga tampak liang telinga lapang, tidak ada sekret, membran timpani
utuh, reflek cahaya sebelah kanan suram, sebelah kiri normal. Pada kavum nasi
kanan didapatkan masa berdungkul sampai ke kavum nasi, pada kavum nasi kiri
tidak tampak masa. Pada pemeriksaan tenggorok didapatkan arkus faring simetris,
uvula di tengah. Dilanjutkan dengan pemeriksaan nasoendoskopi didapatkan masa
berdungkul-dungkul pada atap dan dinding lateral nasofaring bilateral.
Pemeriksaan kelenjar getah bening leher kanan didapatkan benjolan berukuran
3x2x2 cm pada level II, konsistensi keras, terfiksasi, nyeri tekan tidak ada dan

1
18

pembesaran kelenjar getah bening leher kiri pada level II berukuran 3x2x2 cm,
konsistensi keras, dapat digerakkan. Pasien didiagnosis dengan tersangka
karsinoma nasofaring stadium III (T2N2Mx) ECOG 1. Pada pasien direncanakan
pemeriksaan CT-scan nasofaring dan Foto Toraks PA. Hasil CT-scan nasofaring
tanggal 2 Februari 2010 kesan masa di nasofaring bilateral terutama kanan. Pasien
kemudian direncanakan untuk biopsi nasofaring. Pasien kemudian tidak kontrol
selama lebih dari 6 bulan.
Pada tanggal 3 Agustus 2010 pasien datang kembali ke poli rawat jalan
dengan keluhan benjolan di leher kanan dan kiri makin membesar. Pasien juga
mengeluh sering sakit kepala. Hidung buntu baik sebelah kanan maupun kiri
disertai sering mimisan. Pendengaran semakin menurun ada terutama telinga
kanan. Pasien juga mengeluh suara yang sengau. Dari pemeriksaan fisik
didapatkan masa pada kavum nasi kanan. Pada pemeriksaan tenggorok didapatkan
arkus faring tidak simetris, sebelah kanan lebih rendah daripada yang kiri, reflek
muntah ada. Pada pemeriksaan nasoendoskopi didapatkan masa berdungkul-
dungkul pada nasofaring kanan dan kiri, disertai jaringan nekrotik. Pada
nasofaring kanan masa sampai ke kavum nasi. Pemeriksaan kelenjar getah bening
leher kanan didapatkan benjolan berukuran 6x6x4 cm pada level II, konsistensi
keras, terfiksasi, nyeri tekan tidak ada dan terdapat 2 benjolan di leher bagian kiri
pada level II masing-masing berukuran 3x3x3 cm, konsistensi keras, dapat
digerakkan.
Pasien didiagnosis dengan tersangka karsinoma nasofaring stadium IV
(T3N3Mx) ECOG 1. Pasien direncanakan untuk biopsi nasofaring dan CT-scan
nasofaring ulang. Hasil laboratorium darah perifer lengkap didapatkan Hb 11,0
g/dL, Ht 32 vol%, eritrosit 3,54 juta/mm3, leukosit 10.000 u/L, trombosit 350
ribu/uL, ureum 19 mg/dL, kreatinin 0,6 mg/dL. Hasil konsul bagian penyakit
dalam cor dan pulmo kompensata dan tidak didapatkan kontraindikasi untuk
dilakukan biopsi nasofaring dalam anestesi lokal. Dilakukan tindakan biopsi
nasofaring pada tanggal 5 Agustus 2010. Hasil biopsi didapatkan kesan non
keratinizing squamous cell carcinoma nasofaring kanan dan kiri. Hasil CT-scan
nasofaring tanggal 9 agustus 2010 didapatkan lesi hiperdens pada nasofaring

1
19

kanan dengan infiltrasi ke sinus sfenoid, belum ada infiltrasi ke sinus maksila
kanan. Tampak pembesaran kelenjar limfe servikal kanan, kesan masa nasofaring
kanan infiltrasi ke sinus sfenoid, dengan pembesaran kelenjar limfe servikal
kanan. Pasien direncanakan untuk USG abdomen.
Hasil USG abdomen tanggal 21 Agustus 2010 didapatkan hepar bentuk
dan ukuran normal, intensitas ekoparenkim homogen, tampak nodul multipel di
lobus kanan, tidak tampak kista, sistem portal dan vaskular tidak melebar, tidak
tampak asites. Uterus membesar, tampak janin tunggal, denyut jantung (+),
pergerakan aktif, usia kehamilan 16 minggu, plasenta letak rendah. Kesimpulan:
proses metastasis di hepar, pasien hamil dengan kehamilan 16 minggu. Pasien
didiagnosis dengan karsinoma nasofaring WHO 2 stadium IV(T4N3M1) ECOG 1
dengan Kehamilan (G5P4A0). Pasien kemudian dikonsulkan ke bagian penyakit
dalam untuk tatalaksana kemoterapi. Pasien kemudian dikirim kembali ke bagian
THT-KL dengan jawaban konsul : penatalaksanaan karsinoma nasofaring dengan
kemoterapi fluorourasil dan cisplatin (adakah kontraindikasi dengan kehamilan?).
Pasien kemudian dikonsulkan ke bagian kebidanan dan penyakit kandungan.
Pada tanggal 4 september 2010 diadakan konfrensi gabungan di
Departemen Obstetri dan Ginekologi RSMH yang dihadiri oleh Divisi Onkologi
THT-KL. Konfrensi gabungan ini membahas rencana penatalaksanaan yang tepat
untuk kasus ini, bagaimana pengaruhnya terhadap kehamilan dan haruskah
kehamilannya diakhiri. Hasil konfrensi gabungan adalah tetap dilaksanakan
kemoterapi pada pasien ini dengan regimen fluorourasil dan cisplatin namun
dengan persetujuan pasien dan keluarga setelah pemberian informed consent dan
persetujuan komite medik RSMH. Kemoterapi akan dilakukan oleh bagian THT-
KL RSMH. Pada tanggal 23 September 2010 terbit surat dari komite medik
bernomor YM.00.02.1179 perihal persetujuan komite medik RSMH. Surat ini
berisikan persetujuan pemberian kemoterapi 5 FU dan cisplatin terhadap pasien
Ny. W dengan diagnosis karsinoma nasofaring stadium IV dengan G5P4A0 hamil
16-17 minggu janin tunggal hidup.
Pada tanggal 7 Oktober 2010 diberikan kemoterapi cisplatin 128 mg
(didapatkan dari 80 mg x indeks luas permukaan tubuh = 80 x 1,6 = 128mg). 5-

1
20

fluorourasil diganti kapesitabin 2 x 2000 mg (2x4 tablet pagi dan sore) selama 14
hari, didapatkan dari 2500 mg/m2/hari dibagi dalam 2 dosis. Diberikan juga
ranitidin 100 mg intravena dan ondansetron 4 mg intravena. Pada tanggal 21
oktober 2010 pasien kontrol. Didapatkan keluhan mual dan muntah, rambut
rontok, kulit kering, sariawan tidak ada, nyeri menelan tidak ada, buang air kecil
biasa. Pemeriksaan fisik didapatkan kavum nasi kanan dan kiri lapang, pasase
udara kanan dan kiri ada. Benjolan di leher menghilang. Berat badan masih sama.
Hasil konsul bagian kebidanan tanggal 27 Oktober didapatkan kesan hamil 24
minggu dengan janin tunggal hidup intrauterin. Pada tanggal 28 Oktober 2010
dilakukan kemoterapi seri kedua. Diberikan cisplatin 128 mg dan kapesitabin 2 x
2000 mg selama 14 hari. Diberikan ranitidin 100 mg intravena dan ondansetron 2
ampul intravena.
Tanggal 12 November 2010 pasien kontrol ke poli rawat jalan. Berat
badan 63 kg. Pasien mengeluh rambut rontok dan kulit kering. Mual dan muntah
tidak ada, sariawan tidak ada, nyeri menelan tidak ada, buang air kecil seperti
biasa. Dilakukan kemoterapi seri ketiga tanggal 19 november 2010 dengan
cisplatin 128 mg dan kapesitabin 2 x 2000 mg selama 14 hari. Diberikan ranitidin
100 mg intravena dan Ondansetron 2 ampul intravena. Tanggal 3 desember 2010
pasien kontrol ke poli THT-KL. Pasien mengeluh ujung-ujung tangan dan kaki
menghitam dan kesemutan/baal, alopesia (+). Dilakukan staging ulang. Hasil
nasoendoskopi didapatkan masa di nasofaring kanan dan kiri mengecil, pasase
kavum nasi kanan dan kiri lancar. Rinoskopi posterior didapatkan masa di koana
mengecil. Tidak didapatkan pembesaran kelenjar getah bening. Direncanakan CT-
scan nasofaring ulang. Pada tanggal 10 Desember 2010 dilakukan kemoterapi seri
keempat dengan regimen cisplatin 124 mg dan kapesitabin 2 x 2000 mg selama
14 hari. Diberikan ranitidin 100 mg intravena dan ondansetron 2 ampul intravena.
Hasil CT-scan tanggal 30 Desember 2012 didapatkan tampak penebalan
pada regio nasofaring kanan, tampak torus tubarius resesus nasofaring kanan
tertutup massa. Regio nasofaring kiri baik. Basis kranii intak, tidak tampak
infiltrasi ke intra kranial. Tak tampak pembesaran KGB pada leher. Kesan
tersangka karsinoma nasofaring kanan (T1N0Mx). USG abdomen dalam batas

1
21

normal. Pasien didiagnosa dengan karsinoma nasofaring WHO II stadium I


(T1N0M0) ECOG 2. Hasil konsul bagian kebidanan didapatkan kesan pasien
hamil 33-34 minggu dengan janin tunggal hidup presentasi kepala belum in partu.
Dilakukan kemoterapi seri kelima tanggal 31 desember 2010 dengan regimen
cisplatin 120 mg dan kapesitabin 2 x 2000 mg selama 14 hari. Diberikan ranitidin
100 mg intravena dan ondansetron 2 ampul intravena. Pasien dikonsulkan kembali
pasca kemoterapi ke bagian kebidanan dan didapatkan kesan hamil 33-34 minggu
janin tunggal hidup presentasi kepala belum inpartu dan disarankan untuk
evaluasi kembali 2 minggu kemudian.
Pasien direncanakan kemoterapi seri keenam tanggal 21 Januari 2011.
Pasien MRS kembali tanggal 14 Januari 2011 dengan keluhan mual, muntah dan
tidak nafsu makan. Pada pemeriksaan telenasoendoskopi didapatkan tidak ada
massa pada nasofaring kanan maupun kiri, namun tampak penebalan fosa
rosenmuller kanan. Pasien didiagnosis dengan karsinoma nasofaring WHO II
stadium 1 (T1N0M0) ECOG I-II pro kemoterapi seri keenam dengan hamil 36
minggu (G5P4A0). Pasien dikonsulkan ke bagian kebidanan dan didapatkan kesan
hamil aterm janin tunggal hidup presentasi kepala belum inpartu.
Pada tanggal 16 Januari 2011 pasien mengeluh keluar air-air. Pasien
dikonsulkan ke bagian kebidanan dan didiagnosis dengan G5P4A0 hamil 32-33
minggu dengan KPSW 2 jam belum inpartu janin tunggal hidup presentasi kepala.
Pasien mendapatkan tatalaksana konservatif yaitu observasi DJJ, antibiotik
sefotaksim 2 x 1 g intravena dan vitamin C 2 x 400mg. Pada tanggal 19 Januari
2011 pasien partus spontan di bagian kebidanan. Berat badan bayi 2000 gram,
Apgar score 8/9. Hasil laboratorium darah rutin Hb 10,7 g/dl, leukosit 2600,
trombosit 92.000/mm. Pasien diberi terapi asam mefenamat 3 x 500mg,
amoksisilin 3 x 500mg, lansoprazol 30mg dan sukralfat 3 x 1 sdm. Pada tanggal
20 januari 2011 pasien alih rawat kembali ke bagian THT-KL. Terapi dari bagian
kebidanan diteruskan dan pasien diberi injeksi filgastrim/G-CSF. Hasil
laboratorium cito tanggal 20 Januari 2011 pasca injeksi Leucogen: Hb 9,1 g/dl,
hematokrit 25 vol%, leukosit 7500/mm3, trombosit 141 000/mm3. Pasien diberi
transfusi PRC 150 cc. Hasil laboratorium pasca transfusi: hemoglobin 10,0 g/dl,

1
22

eritrosit 3.310.000/mm3, hematokrit 30 vol%, leukosit 12.300/mm3, trombosit


223.000/mm3. Pasien menjalani kemoterapi seri keenam tanggal 22 Januari 2011.
Pasien diperbolehkan rawat jalan pada tanggal 24 Januari 2011 dengan diagnosis
karsinoma nasofaring WHO II stadium 1(T1N0M0) pasca kemoterapi seri keenam
dengan post partum hari keenam. Pasien disarankan kontrol ulang tanggal 14
Februari 2011 untuk evaluasi ulang dan pemeriksaan otoacoustic emission (OAE)
pada anak.
Pada tanggal 2 Februari 2011 pasien datang kembali ke Instalasi Rawat
Darurat RSMH dengan keluhan utama badan terasa lemas. Keluhan tambahan
nyeri ulu hati sejak lebih kurang 10 hari SMRS, mual dan muntah ada dengan
frekuensi 10 kali per hari, mencret ada satu kali, demam tidak ada. Pasien
didiagnosis dengan sindroma dispepsia, GE dehidrasi ringan tipe amuba dan ISK
asimtomatik. Pasien ditatalaksana dengan diet lambung III, cairan infus RL 30
tetes/menit, lansoprazol 2 x 30 mg, sukralfat 4 x 1 sdm, domperidon 3 x 1 tablet
dan seftriakson 2 x 1g. Pasien direncanakan endoskopi bila Hb di atas 10 g/dl.
Pada tanggal 8 Februari 2011 pasien meninggal di bagian penyakit dalam. Pada
tanggal 21 Februari dialakukan pemeriksaan pada bayi pasien. Didapatkan hasil
refer pada kedua telinga. Bayi disarankan untuk dibawa kontrol kembali 3 bulan
kemudian.

DISKUSI
Dilaporkan satu kasus karsinoma nasofaring pada wanita usia 38 tahun
yang terdiagnosis pada saat pasien hamil 16 minggu. Karsinoma nasofaring
merupakan penyakit dengan etiologi multifaktorial, antara lain keterlibatan virus
Epstein-Barr (EBV), faktor genetik, makanan dan kebiasaan merokok.1,10 Pasien
ini tidak memiliki kebiasaan merokok namun pasien cukup sering makan
makanan yang diawetkan/diasap. Keterlibatan faktor genetik atau infeksi virus
belum dapat disingkirkan pada pasien ini. Keluhan pada pasien ini sesuai dengan
keluhan khas KNF dimana gejala awalnya adalah penurunan pendengaran dan
terasa penuh pada telinga kanan sejak lebih dari enam bulan yang lalu. Keluhan
kemudian bertambah, yaitu hidung buntu unilateral kanan dan mimisan bercampur

1
23

lendir disertai timbulnya benjolan pada level II. Enam bulan kemudian pasien
mengeluh hidung buntu bilateral, suara sengau dan benjolan makin
membesar.1,15,16,20
Penatalaksanaan karsinoma pada kehamilan merupakan tantangan
tersendiri bagi dokter. Terapi yang diberikan harus adekuat namun tetap
mempertimbangkan risiko pada ibu dan janin.3,11 Pavlidis, Leslie dan Cheung
melaporkan penelitian dan laporan kasus mengenai keamanan penggunaan
regimen kemoterapi pada trimester kedua dan ketiga untuk keganasan kepala dan
leher. Prosedur kemoterapi pada kehamilan dapat menimbulkan perkembangan
abnormal pada janin. Kemoterapi pada trimester pertama dapat menimbulkan efek
yang sangat merugikan. Kasus keganasan yang membutuhkan kemoterapi segera
pada trimester pertama dianjurkan untuk melakukan aborsi terapetik.12 Pemilihan
obat pada pasien yang menolak aborsi harus mempertimbangkan perkembangan
janin dan mempertimbangkan juga untuk memilih kemoterapi dengan regimen
yang tidak standar misalnya kemoterapi dengan regimen tunggal. Kasus
keganasan yang didiagnosis pada trimester kedua dianjurkan untuk segera
ditatalaksana kemoterapi, namun diperbolehkan untuk dilakukan aborsi terapetik.
Kasus keganasan yang didiagnosis pada trimester akhir diperbolehkan menunda
kemoterapi sampai pasca persalinan dan diperbolehkan memberikan steroid atau
surfaktan buatan guna pematangan fungsi paru dan mengurangi risiko pendarahan
intrakranial sehingga terminasi kehamilan bisa dipercepat. 12,19 Leslie dkk.
menganjurkan terminasi sebaiknya dilakukan pada kehamilan usia 34 minggu. 18,19
Lin dkk. menganjurkan untuk menghindari penggunaan cisplatin dan fluorourasil
pada trimester pertama.6,23 Pada laporan kasus ini dilaporkan penatalaksanaan
kemoterapi pada pasien dengan kehamilan di trimester kedua. Pada kasus ini juga
dilakukan konfrensi gabungan antara Divisi Onkologi Departemen THT-KL dan
Departemen Obstetri dan Ginekologi RSMH. Dalam konfrensi gabungan ini
dibahas juga mengenai kemungkinan untuk dilakukan aborsi terapetik. Hal ini
sesuai dengan kepustakaan di mana aborsi terapetik diperbolehkan pada pasien
karsinoma dengan kehamilan.3,11 Cisplatin dan kapesetabin digunakan pada kasus
ini.

1
24

Pasien yang memilih meneruskan kehamilannya dapat mengalami


keterlambatan tatalaksana untuk menghindari kecacatan janin. Risiko malformasi
embrio akibat kemoterapi satu regimen selama trimester pertama berkisar 7,5%
sampai 17%. Meskipun kemoterapi relatif lebih aman pada trimester kedua dan
ketiga, namun janin tetap beresiko mengalami hambatan pertumbuhan dan
abnormalits sistem saraf pusat.3,11,27 Cardonick dan Buekers menganjurkan induksi
atau operasi sesar pada dua sampai tiga minggu setelah kemoterapi selesai dan
sebelum masa gestasi 35 minggu untuk mencegah proses persalinan terjadi disaat
pasien telah mengalami neutropeni dan trombositopeni, dan juga memberi
kesempatan pada janin untuk mengeluarkan obat melalui plasenta. 3,11,28,29 Pavlidis
menyatakan sebanyak sepertiga dari semua bayi yang yang terekspos kemoterapi
ditemukan dalam keadaan pansitopeni saat dilahirkan.
Regimen kemoterapi memiliki mekanisme yang berbeda-beda, namun
sebagian besar menginduksi kematian sel dengan merusak DNA atau RNA atau
menghambat beberapa enzim atau protein penting pada metabolisme sel.
Pemberian kemoterapi selama kehamilan dapat menginduksi timbulnya efek
merugikan pada janin, neonatus maupun ibu. Efek merugikan pada janin adalah
aborsi spontan, malformasi, teratogenesis, mutasi, karsinogenik, mielosupresi,
toksik pada organ dan gangguan perkembangan. Efek pada ibu misalnya aborsi
spontan dan sterilitas.6,11,18 Bayi yang dilahirkan berisiko mengalami gangguan
pembekuan darah, anemia, infeksi, gangguan perkembangan dan dapat terekspos
efek karsinogenik. Toksisitas pada janin berhubungan dengan saat terapi
diberikan. Pada sebagian besar kasus efek toksik didapatkan jika kemoterapi
diberikan pada embriogenesis di trimester pertama, namun toksisitas jarang
ditemukan bila kemoterapi diberikan pada trimester kedua dan ketiga. Pavlidis
melaporkan angka kekerapan malformasi janin akibat kemoterapi adalah 12,7%
hingga 17%, sedangkan kekerapan kejadian BBLR adalah 40%. Sebagai
perbandingan malformasi pada populasi biasa adalah 1-3%.5,6,11
Agen kemoterapi secara primer berefek pada sel-sel tubuh yang bermitosis
cepat, baik sel tubuh yang normal maupun sel tumor. Demikian pula sel-sel janin
yang membelah cepat sangat sensitif terhadap kemoterapi sehingga dapat memicu

1
25

kematian janin, malformasi atau retardasi fisik atau mental. Efek merugikan yang
paling sering ditemukan adalah retardasi pertumbuhan seperti pertumbuhan kepala
dan tubuh. Saat pemberian agen kemoterapi adalah faktor penting yang
menentukan efek merugikan yang muncul pada janin. Faktor lainnya adalah tipe
obat kemoterapi, dosis, saat pemberian obat pada ibu, farmakokinetik obat, fungsi
plasenta, genetik janin dan ibu dan status fisiologis juga memainkan peranan
penting. Antimetabolit dan alkylating agent adalah regimen yang paling banyak
dilaporkan mengakibatkan efek teratogenik. Alkaloid vinka dan antibiotik
dilaporkan tidak menimbulkan efek pada janin. Cisplatin diketahui menimbulkan
gangguan pertumbuhan dan ketulian. Penelitian oleh Doll dkk. terhadap 139 kasus
yang diterapi dengan kemoterapi kombinasi pada kehamilan trimester pertama dan
didapatkan 25% janin mengalami malformasi. Angka ini lebih tinggi
dibandingkan kejadian malformasi pada kemoterapi regimen tunggal yaitu 17%.
Namun harus diingat bahwa data mengenai risiko teratogenik kemoterapi adalah
berdasarkan laporan kasus dan kasus seri. Masih dibutuhkan penelitian jangka
panjang untuk mengevaluasi berbagai efek kemoterapi pada ibu, janin dan
neonatus.6,11,30 Penelitian dan laporan kasus oleh Doll dan Mendez menggunakan
regimen kombinasi, hal ini menyulitkan evaluasi efek tunggal agen kemoterapi.
Efek paling serius termasuk aborsi spontan, kematian intrauterin, malformasi,
kelahiran prematur, BBLR dan keterlambatan perkembangan mental dan
pertumbuhan.6,11
Penggunaan kemoterapi pada trimester kedua dan ketiga setelah
organogenesis komplit dinyatakan relatif aman. Penelitian oleh Doll dkk. terhadap
334 pasien yang mendapatkan kemoterapi selama kehamilan, didapatkan risiko
malformasi janin adalah 17% bila diberikan pada trimester pertama, sedangkan
bila diberikan pada trimester kedua dan ketiga mencapai 1,3%. Kemoterapi tidak
dianjurkan pada wanita dengan masa gestasi 2-3 minggu untuk menghindari
mielosupresi pada bayi baru lahir dan untuk memungkinkan ekskresi obat melalui
plasenta. Studi oleh Aviles terhadap 84 anak yang ibunya mendapatkan berbagai
kombinasi kemoterapi saat hamil dilaporkan bahwa semuanya mengalami
perkembangan normal dan tidak satupun menderita keganasan selama hidupnya.

1
26

Pada studi ini didapatkan 38 anak terekspos obat kemoterapi pada trimester
pertama, kemudian diteliti juga 12 keturunan mereka dan tidak satupun
mengalami keganasan maupun abnormalitas.6,11,24,31
Terdapat kategori faktor risiko obat pada kehamilan, yaitu A, B, C, D dan
X yang mengacu pada Food and Drug Administration (FDA) Amerika Serikat.
Obat kemoterapi sebagian besar termasuk pada kategori C dan D. Kategori C
berarti obat tersebut terbukti menimbulkan efek merugikan pada janin
(teratogenik, embriosidal dan lain-lain) pada studi terhadap hewan percobaan,
namun belum dilakukan studi terkontrol terhadap manusia. Obat kategori D
adalah obat yang terbukti menimbulkan resiko terhadap janin.11,18
Golongan antimetabolit memiliki molekul yang kecil, merupakan asam
lemah dan diyakini bersifat teratogenik. Obat yang memiliki efek teratogenik
tinggi pada suatu penelitian pada hewan percobaan adalah 5-fluorourasil (5-FU).
Efek yang umum didapatkan adalah defisit sistem saraf pusat, palatum dan tulang
rangka. 5-FU diindikasikan untuk karsinoma kolon, karsinoma payudara,
karsinoma kepala-leher, hepatoma dan karsinoma ovarium. Regimen ini
merupakan analog pirimidin yang spesifik bekerja pada fase S pada siklus sel.
Formula metaboliknya bersatu dengan DNA dan RNA sehingga mengacaukan
fungsi sel. Penelitian oleh Ebert U terhadap 217 pasien hamil didapatkan 18 janin
yang dilahirkan mengalami malformasi, di mana 12 di antaranya mendapatkan
regimen antimetabolit.18,24,32 Kapesetabin merupakan prodrug yang secara
enzimatik diubah menjadi 5-FU di tumor sehingga menghambat sintesis DNA dan
memperlambat pertumbuhan jaringan tumor. Kapesitabin mengikuti 3 langkah
jalur enzimatik dan dua perantara metabolik. Regimen ini diberikan secara
intravena dan terdistribusi luas pada jaringan dan cairan tubuh termasuk cairan
amnion. Efek sampingnya meliputi mielosupresi, mukositis, diare dan Hand-foot
syndrome (meliputi kesemutan, perubahan kuku dan kulit, nyeri atau baal pada
tangan dan kaki). Penelitian oleh Stephens seperti dikutip Leslie menyatakan
bahwa pemberian pada trimester awal dapat menimbulkan anomali multipel yang
meliputi radial dysplasia, absent digits, hipoplasia toraks dan organ-organ
abdominal seperti paru, aorta, esofagus, duodenum dan ureter.18,24 Penelitian

1
27

Giacalone dkk terhadap 52 wanita hamil dengan kanker payudara yang


mendapatkan regimen 5-FU dilaporkan 2 pasien mengalami aborsi spontan saat
pemberian pada trimester pertama, janin yang dilahirkan mengalami
perkembangan yang normal tanpa adanya komplikasi mayor.6,11
Obat berbasis platinum yang tersering digunakan adalah cisplatin dan
karboplatin. Cisplatin (Cis-diamminedechloroplatinum, CDDP, Platinol) biasanya
diindikasikan untuk karsinoma ovarium, karsinoma kandung kemih, karsinoma
kepala-leher, karsinoma esofagus, karsinoma paru, limfoma non-hodgkin dan
koriokarsinoma. Cisplatin berikatan dengan DNA biasanya pada posisi N-7
guanin dan adenin sehingga mengakibatkan cross-link. Cisplatin juga berikatan
dengan protein inti dan sitoplasma sehingga timbul efek sitotoksik. Cisplatin
terdistribusi pada semua jaringan, namun konsentrasi tertinggi adalah pada hati
dan ginjal. Cisplatin diberikan secara intravena atau langsung intraperitoneal. Efek
samping terhadap ibu meliputi nefrotoksik dan neurotoksik. Dapat juga
menimbulkan mielosupresi.18,19
Pemberian kemoterapi pada pasien ini pada trimester kedua dan ketiga
relatif aman karena sudah melewati masa organogenesis.6,11 Penelitian pada hewan
percobaan menunjukkan penggunaan cisplatin pada akhir gestasi tidak
menunjukkan efek yang merugikan terhadap janin. Cardonick melaporkan 5 dari
24 kasus penggunaan cisplatin pada pasien hamil mengalami hambatan
pertumbuhan. Mendez dkk. melaporkan kasus wanita hamil dengan karsinoma
ovarium yang ditatalaksana dengan paklitaksel dan karboplatin sebanyak enam
seri. Pasien menjalani operasi sesar 3 minggu setelah menyelesaikan siklus
kemoterapi. Tidak ditemukan kelainan pada bayi yang dilahirkan hingga follow-
up selama 15 bulan.5,6,28,33 Giacalone dkk. melaporkan 20 pasien kanker payudara
yang ditatalaksana dengan cisplatin dan 5-FU. Didapatkan 2 aborsi spontan pada
trimester pertama, 1 kematian intrauterin pada trimester kedua, 17 kelahiran hidup
dengan 1 bayi meninggal pada usia 8 hari. Enam belas anak tersebut berkembang
normal hingga usia 42 bulan.34 Pada sebuah studi analisis in vivo terhadap 7
pasien yang menggunakan cisplatin oleh Marnitz dkk. menyimpulkan bahwa
terdapat konsentrasi cisplatin yang lebih rendah secara bermakna pada darah

1
28

umbilikal dan cairan amnion dibandingkan di dalam darah ibu. 4,19 Pada laporan
kasus ini diberikan kemoterapi pada pasien saat usia gestasi 22 minggu. Regimen
kemoterapi yang dipilih adalah cisplatin dan kapesitabin, sesuai dengan panduan
NCCN dan kepustakaan lainnya yang menganjurkan pemilihan cisplatin dan 5-FU
sebagai regimen pilihan utama untuk KNF.
Ada berbagai pendapat mengenai kapan memulai tatalaksana kanker pada
wanita hamil. Ada yang berpendapat sebaiknya terapi diberikan sesegera
mungkin, menunda tatalaksana hingga post partum dan ada juga yang
menganjurkan aborsi terlebih dulu sebelum tatalaksana kanker. Meskipun
keputusan untuk aborsi terapetik tidak selalu mudah diambil, terutama bila
karsinoma didiagnosis saat trimester pertama kehamilan. Pasien, keluarga dan
dokter yang menangani harus mempertimbangkan dengan seksama keputusan
untuk dilakukan aborsi terapetik. Bila kanker didiagnosis pada trimester pertama
maka parameter yang harus dipertimbangkan adalah derajat/stage penyakit,
seberapa besar kebutuhan akan kemoterapi dan potensi kesembuhan pasien.3,5,11
Meskipun belum ada pedoman khusus namun aborsi terapetik selama
trimester pertama kehamilan dapat direkomendasikan terutama untuk karsinoma
dengan stadium lanjut dan memerlukan kemoterapi sistemik. Setiap tumor padat
yang kemosensitif ataupun nonkemosensitif dapat dimasukkan pada rekomendasi
yang sama. Namun keputusan ini harus diambil setelah diskusi menyeluruh yang
melibatkan pasien, dokter dan keluarga.3,11 Pada tahun 1950-an dan 1960-an aborsi
terapetik dianjurkan karena kekhawatiran akan timbulnya stimulasi hormonal
pertumbuhan tumor atau berkurangnya efektifitas kemoterapi. Pada berbagai
penelitian tahun 1980-an dan 1990-an dinyatakan bahwa aborsi terapetik tidak
meningkatkan angka kelangsungan hidup dan kehamilan tidak berpengaruh pada
perkembangan penyakit. Pasien dengan karsinoma stadium III harus
dipertimbangkan untuk ditunda kehamilannya selama minimal 5 tahun setelah
pengobatan. Pasien dengan karsinoma stadium IV harus dipertimbangkan untuk
tidak hamil lagi.3,11
Penggunaan radioterapi tetap memungkinkan selama diberikan
perlindungan pada daerah abdomen. Namun penelitian jangka panjang masih tetap

1
29

dibutuhkan untuk memahami efek radiasi pada janin. 3,11 Radiasi dapat
menyebabkan kegagalan perkembangan janin, terutama sistem saraf pusat.
Berdasarkan penelitian terhadap embrio tikus dan data dari peristiwa bom di
Hiroshima dan Nagasaki disimpulkan bahwa efek radiasi pada awal konsepsi
dapat menimbulkan efek pada semua atau justru tidak menimbulkan efek
samasekali pada embrio. Bila embrio tidak mengalami aborsi maka biasanya
pertumbuhan janin akan normal.3,5,21,23
Resiko pada janin sangat dipengaruhi oleh usia gestasi. Periode
perkembangan yang paling krusial adalah selama organogenesis (hari ke 9 sampai
dengan minggu ke 8). Radiasi pada periode ini dapat mengakibatkan malformasi
dan gangguan pertumbuhan, namun yang paling sering ditemukan adalah
mikrosefali, retardasi mental, keterlambatan pertumbuhan intrauterin, kelainan
sumsum tulang belakang, kelainan ginjal keganasan dan kematian janin. Pada usia
gestasi lebih dari 20 minggu lebih tahan terhadap efek radiasi ini.3,5,7

Usia gestasi Resiko


<10 minggu Kematian janin (terutama pada usia konsepsi kurang dari 8
hari), malformasi, mikrosefali, sterilitas, katarak, keganasan
10-27 minggu Mikrosefali, retardasi mental, gangguan pertumbuhan,
sterilitas, malformasi, katarak, keganasan
>27 minggu Mikrosefali, gangguan pertumbuhan, sterilitas, katarak,
keganasan

Tabel 3. Resiko radioterapi terhadap janin dihubungkan dengan usia gestasi 7

Pemberian radioterapi pada pasien hamil sebisa mungkin dihindari atau


ditunda sampai kehamilan diterminasi. Tatalaksana radioterapi harus
memperhatikan aspek legal, etik dan berbagai isu moral. Pemberian radioterapi
harus mempertimbangkan derajat dan agresifitas tumor, lokasi tumor, efek
hormonal saat hamil terhadap tumor, efek penundaan radioterapi, efek yang kita
harapkan bagi ibu dan janin serta usia gestasi. Bila radioterapi tidak dapat ditunda
maka harus dilakukan monitoring ketat terhadap janin dan dipertimbangkan kapan
kehamilan dapat diterminasi segera.3,5,23

1
30

Penelitian oleh Luis dkk pada tahun 2009 terhadap 109 pasien hamil yang
ditatalaksana dengan radioterapi didapatkan 13 janin mengalami kelainan.
Sebanyak dua janin mengalami abortus spontan, lima kematian perinatal, satu
kelahiran mati, satu tuli sensorineural, satu mengalami kesulitan belajar dan
skoliosis, satu undescencus testiculorum dan ventricular septal defect, satu
hipospadia dan satu kasus gangguan perkembangan disertai failure tu thrive.
Semua janin pada subjek penelitian ini diperkirakan mendapat radiasi <0,1 Gy .
Penelitian ini menyimpulkan bahwa bila tatalaksana radioterapi tidak bisa
dihindarkan maka pada instalasi radioterapi harus tersedia baju pelindung dan
mesin MLC (multileaf collimators) untuk mengurangi radiasi pada janin. Pasien
dan anak yang dilahirkan harus mendapatkan follow-up jangka panjang. Pada
penelitian ini dilakukan follow-up rata-rata 37 bulan dimana follow-up maksimal
adalah 372 bulan. Penelitian oleh Cheung menyimpulkan bahwa paparan <0,1 Gy
pada janin menimbulkan malformasi berat pada janin, lebih dari 2,5 Gy hampir
selalu menimbulkan malformasi dan lebih dari 3 Gy akan menimbulkan abortus
spontan. Radiasi terhadap janin pada radioterapi untuk keganasan kepala leher
seringkali dibawah 0,1 Gy, karena wilayah sasaran yang sempit dan posisi janin
yang relatif jauh. Penggunaan baju pelindung dapat mengurangi radiasi hingga
0,02 Gy (20-70%).3,7
Secara umum radiasi memiliki efek letal, malformasi, retardasi mental dan
induksi malignansi. Mengacu pada International Commision on Radiological
Protection and The Center for Disease Control and Prevention, dosis responsif
berhubungan dengan retardasi mental bila diberikan pada 8-15 minggu atau 16-25
minggu pasca konsepsi. Didapatkan hubungan antara dosis radiasi dengan
buruknya prestasi di sekolah, di mana yang terpapar radiasi pada usia konsepsi 8-
15 minggu cenderung lebih buruk prestasi sekolahnya. Pada dosis lebih dari 50
cGy pada trimester kedua didapatkan kelainan mikrosefali dan keterbelakangan
mental. Mikrosefali juga didapatkan pada 2 diantara 30 anak yang mendapat dosis
dibawah 10 cGy dan 2 diantara 44 anak yang terpapar dosis 10-50 cGy.5,9
Transmisi karsinoma secara vertikal sangat jarang terjadi meskipun sel-sel
maternal masuk ke janin. Sejak tahun 1866 hingga 1999 terdapat 58 kasus

1
31

keganasan pada ibu yang bermetastasis ke plasenta dan janin yang dilaporkan
pada literatur. Umumnya tumor yang diderita ibu hamil tidak mempengaruhi
plasenta dan janin. Jalur penyebaran yang paling memungkinkan adalah melalui
jalur hematogen. Penyebaran ini dihambat oleh barier pertahanan plasenta dan
sistem imun janin. Tumor yang paling banyak bermetastasis ke plasenta atau janin
adalah melanoma maligna yaitu 30% disusul oleh leukemia, limfoma, kanker
payudara dan paru-paru.5,11
Efek samping yang paling diperhatikan dari penggunaan cisplatin adalah
sifatnya yang nefrotoksik. Pada pasien ini selalu diperiksa fungsi ginjal setiap kali
kontrol. Kapesitabin juga bisa menimbulkan alopesia total. Pasca kemoterapi seri
ketiga pasien mengeluh ujung-ujung jari tangan dan kaki menghitam dan
baal/kesemutan. Hal ini sesuai dengan berbagai kepustakaan mengenai efek
samping hand-foot syndrome pada penggunaan kapesitabin.18,19,21
Pemeriksaan janin dengan USG secara berkala dan teliti sangat dibutuhkan
untuk mengidentifikasi adanya cacat pada janin. Hal tersebut sudah dilakukan
pada pasien ini, dimana pasien selalu dikonsulkan ke bagian kebidanan dan
kandungan secara berkala baik sebelum ataupun setelah pemberian regimen
kemoterapi. Berbagai kepustakaan menganjurkan operasi sesar untuk terminasi
kehamilan minimal pada usia gestasi 24 minggu guna mencegah persalinan dalam
kondisi ibu mengalami anemia maupun trombositopeni. Sebaiknya terminasi
dilakukan pada usia kehamilan 32-34 minggu. Pada pasien ini tidak dilakukan
operasi sesar karena pertimbangan berat badan bayi yang masih rendah, sehingga
bayi dilahirkan setelah kehamilan aterm. Bayi yang dilahirkan mengalami BBLR.
Hal ini sesuai dengan berbagai kepustakaan dimana salah satu efek kemoterapi
pada kehamilan adalah BBLR dengan angka kejadian mencapai 40%.6,11
Pemeriksaan OAE pada bayi yang dilahirkan menunjukkan hasil refer
pada kedua telinga, namun keluarga pasien menolak untuk kontrol kembali.
Pemeriksaan OAE harus dilakukan pada bayi pasien ini karena merupakan bayi
yang beresiko tinggi mengalami ketulian. Berbagai kepustakaan menyatakan
penggunaan cisplatin pada pasien hamil dapat menimbulkan tuli sensorineural
pada janin.4,5,23

1
32

Penanganan karsinoma pada kehamilan merupakan hal yang dilematik di


bidang kesehatan, dimana kita harus mempertimbangkan antara hasil yang
optimal dengan keselamatan ibu dan janin. Kemoterapi memberikan hasil yang
optimal bila menggunakan lebih dari satu regimen. Penggunaan kemoterapi
kombinasi ini menimbulkan efek negatif yang lebih besar pada ibu dan janin.
Konseling mengenai resiko terhadap janin harus diberikan secara jelas dan
informatif kepada pasien. Dibutuhkan tim yang komprehensif untuk menangani
kasus seperti ini yang terdiri dari ahli bedah kepala leher, onkologi medik,
radioterapi dan fetomaternal untuk hasil yang terbaik bagi pasien dan janin.

1
33

DAFTAR PUSTAKA

1 Soetjipto D. Karsinoma nasofaring. Dalam: iskandar N, Munir M,


Soetjipto D. Tumor Telinga Hidung Tenggorok. Balai Penerbit FKUI.
Jakarta, 2000: 71-84.
2 Gibb AG. Anatomy and Development. In: Van Hesselt CA, Gibb AG,
editors. Hongkong, The Chinese University Press, 1999: 13-29.
3 Cheung EJ, Wagner H, Botti JJ, Fedok F, Goldenberg D. Advanced Oral
Tongue Cancer in 22-Year-Old Pregnant Woman. Annals of Otology,
Rhinology & Laryngology. 2009; 118(1):21-6.
4 Calsteren KV. Chemoterapy During Pregnancy: Pharmacokinetics and
Impact on Fetal Neurological Development. F,V&V in Obgyn. 2010;2(4):
278-86.
5 Sueta T dkk. Oral Double Cancer of The Tongue and Soft Palate in a
Pregnant Woman. Med Bull Fukuoka Univ. 2012; 39(1): 23-6.
6 Autio K, Rassnick KM, Bedford-Guaus SJ. Chemoterapy During
Pregnancy : A Review of The Literature. Blackwell Publishing Ltd. 2007;
5(2): 61-75.
7 Luis SA, Christie DRH, Karminski A, Kenny L, Peres MH. Pregnancy and
Radiotherapy: Management Options For Minimizing Risk, Case Series
and Comprehensive Literature Review. Journal of Medical and Radiation
Oncology. 2009; 53: 559-68.
8 Ondrey FG, Wright SK. Neoplasms of The Nasopharynx. Dalam: Dalam:
Ballengers Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery,
Sixteenth edition, BC. Decker, Hamilton, Ontario, 2003 : 1392-
407.
9 Roezin A, Marlinda A. Karsinoma nasofaring. Dalam: Soepardi,
Efianty A, Nurbaiti I, Jenny B. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi ke 6. FKUI. Jakarta. 2010:
182-7.
10 Lin HS. Malignant Nasopharyngeal Tumors Treatment and Management.
Diunduh tanggal : 11 Oktober 2012. Didapat dari:
www.emdicine.medscape.com.
11 Chan ATC, Teo PML, Johnson PJ. Nasopharyngeal Carcinoma. Annals of
Oncology. 2002: 13; 1007-15.

1
34

12 Pavlidis NA. Coexistance of Pregnancy and Malignancy. Diunduh tanggal:


12 oktober 2012. Didapat dari: www.TheOncologist.alphamedpress.org.
13 Gibb AG. Anatomy and development. Dalam: Van Hesselt CA, Gibb AG,
editors. Hongkong, The Chinese University Press. 1999: 13-29.
14 Wei WI. Nasopharyngeal Cancer. Dalam: Bailey BJ. Head and Neck
Surgery-Otolaringology. Edisi ke 4. Lippincot-Williams. 2006: 1657-71.
15 Kurniawan AN. Diagnosis Patologik Karsinoma nasofaring. Dalam:
perhimpunan Onkologi Indonesia pencegahan dan deteksi Dini Kanker. UI
Press. 1996: 289-92.
16 Hasselt CA, Leung SF. Clinical Picture. Dalam: Van Hassselt CA, Gibb
AG eds. Nasopharyngeal carcinoma. Edisi kedua. The Chinese University
Press. Hongkong. 1999: 105-10.
17 Woo JKS. Clinical Diagnosis. Dalam: Van hasselt CA, Gibb AG ed.
Nasopharyngeal Carcinoma. Edisi Kedua. The Chinese University Press.
Hongkong. 1999: 111-25
18 Gibb AG. Anatomy and Development. Dalam: Van Hesselt CA, Gibb AG
ed. Hongkong, The Chinese University Press. 1999: 13-29.
19 Leslie KK, Koil C, Rayburn WF. Chemotherapeutic Drugs in Pregnancy.
Obstet Gynecol Clin N Am. 2005; 32: 627-40.
20 Marnitz S dkk. Cisplatin Application in Pregnancy: First in vivo Analysis
of 7 Patients. Oncology. 2010;79:72-9.
21 Brennan DB. Nasopharyngeal Carcinoma. Orphanet Encyclopedia.
Diunduh tanggal: 20 Oktober 2012. Didapat dari; www.orpha.net.
22 Kentjono WA. Prinsip Dasar Kemoterapi Pada Karsinoma Nasofaring
(Keganasan Kepala dan Leher). Dalam: Kentjono WA, herawati S,
Mengko SK, Wahyuni SS ed. Workshop of Nasopharyngeal Cancer
Chemoterapy. Departemen Kesehatan THT-KL FK Unair-RSUP Dr.
Soetomo. Surabaya. 2011: 1-30.
23 NCCN Clinical Practice Guidelines in Oncology. Head and Neck Cancer.
2011
24 Lin TI, Ho ES, Chou MM. Nasopharyngeal Carcinoma During Pregnancy.
Taiwan J Obstet Gynecol. 2007; 4(46): 423-6.
25 Yan JH, Liao CS, Hu YH. Pregnancy and Nasopharyngeal Carcinoma: A
prognostic Evaluation of 27 patients. Int J Radiat Oncol Biol Phys. 1984;
10: 851-5.

1
35

26 Eitan R, Abu-Rustum NR. Management of cervical Carcinoma Diagnosed


During Pregnancy. Primary Care Update for Ob/Gyns. 2003; 10(4): 196-
200.
27 Abellar SG dkk. Effects of Chemoterapy During Pregnancy on The
Placenta. Pediatric and Developmental Pathology. 2009;12:35-41.
28 Cardonick E, Iacobucci A. Use of Chemotherapy During Human
Pregnancy. Lancet Oncol. 2004; 5: 283-91.
29 Buekers TE, Lallas TA. Chemotherapy in Pregnancy. Obstet Gynecol Clin
North Am. 1998; 25; 323-9.
30 Doll DC, Ringenberg QS, Yarbro JW. Antineoplastic Agents and
Pregnancy. Seminars in Oncology 1989; 16: 337-46.
31 Aviles a, Neri N. Hematological Malignancies and Pregnancy: A Final
Report of 84 Children Who Received Chemotherapy in Utero. Clinical
lymphoma 2001; 2: 173-7.
32 Ebert U, Loffler H, Kirch W. Cytotoxic therapy and Pregnancy.
Pharmacology & Therapeutics 1997; 74: 207-20.
33 Mendez LE, Mueller A, Salom E, Gonzalez-Quintero VH. Paclitaxel and
Carboplatin Chemotherapy administered During Pregnancy. Gynecol
Oncol 2001; 83: 599-600.
34 Giacalone PL, Laffargue F, Benos P. Chemotherapy for Breast Carcinoma
During Pregnancy: A French National Survey. Cancer. 1999; 86: 2266-72.

DAFTAR PUSTAKA

35 Soetjipto D. Karsinoma nasofaring. Dalam: Iskandar N, Munir M,


Soetjipto D. Tumor Telinga Hidung Tenggorok. Balai Penerbit FKUI.
Jakarta, 2000: 71-84.
36 Gibb AG. Anatomy and Development. In: Van Hesselt CA, Gibb AG,
editors. Hongkong, The Chinese University Press, 1999: 13-29.
37 Cheung EJ, Wagner H, Botti JJ, Fedok F, Goldenberg D. Advanced oral
tongue cancer in 22-year-old pregnant woman. Ann of Otol Rhinol &
Laryngol. 2009; 118(1):21-6.

1
36

38 Calsteren KV. Chemoterapy during pregnancy: Pharmacokinetics and


impact on fetal neurological development. F,V&V in Obgyn. 2010;2(4):
278-86
39 Sueta T dkk. Oral double cancer of the tongue and soft palate in a pregnant
woman. Med Bull Fukuoka Univ. 2012; 39(1): 23-6.
40 Autio K, Rassnick KM, Bedford-Guaus SJ. Chemoterapy during
pregnancy: a review of the literature. Blackwell Publishing Ltd. 2007;
5(2): 61-75.
41 Ondrey FG, Wright SK. Neoplasms of the nasopharynx. Dalam:
Ballengers Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery,
Sixteenth edition, BC. Decker, Hamilton, Ontario, 2003 : 1392-
407.
42 Roezin A, Marlinda A. Karsinoma nasofaring. Dalam: Soepardi,
Efianty A, Nurbaiti I, Jenny B. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi ke 6. FKUI. Jakarta. 2010:
182-7.
43 Lin HS. Malignant nasopharyngeal tumors treatment and management.
Diunduh tanggal: 11 Oktober 2012. Didapat dari:
www.emdicine.medscape.com.
44 Chan ATC, Teo PML, Johnson PJ. Nasopharyngeal carcinoma. Ann Oncol.
2002: 13; 1007-15.
45 Pavlidis NA. Coexistance of pregnancy and malignancy. Diunduh tanggal:
12 oktober 2012. Didapat dari: www.TheOncologist.alphamedpress.org.
46 Gibb AG. Anatomy and development. Dalam: Van Hesselt CA, Gibb AG,
editors. Hongkong, The Chinese University Press. 1999: 13-29.
47 Wei WI. Nasopharyngeal cancer. Dalam: Bailey BJ. Head and Neck
Surgery-Otolaringology. Edisi ke 4. Lippincot-Williams. 2006: 1657-71.
48 Kurniawan AN. Diagnosis patologik karsinoma nasofaring. Dalam:
perhimpunan Onkologi Indonesia pencegahan dan deteksi Dini Kanker. UI
Press. 1996: 289-92.
49 Hasselt CA, Leung SF. Clinical picture. Dalam: Van Hassselt CA, Gibb
AG eds. Nasopharyngeal carcinoma. Edisi kedua. The Chinese University
Press. Hongkong. 1999: 105-10.

1
37

50 Woo JKS. Clinical diagnosis. Dalam: Van hasselt CA, Gibb AG ed.
Nasopharyngeal carcinoma. Edisi Kedua. The Chinese University Press.
Hongkong. 1999: 111-25
51 Gibb AG. Anatomy and development. Dalam: Van Hesselt CA, Gibb AG
ed. Hongkong, The Chinese University Press. 1999: 13-29
52 Leslie KK, Koil C, Rayburn WF. Chemotherapeutic drugs in pregnancy.
Obstet Gynecol Clin N Am. 2005; 32: 627-40.
53 Marnitz S dkk. Cisplatin application in pregnancy: first in vivo analysis of
7 patients. Oncology. 2010;79:72-9
54 Brennan DB. Nasopharyngeal carcinoma. Orphanet Encyclopedia.
Diunduh tanggal: 20 Oktober 2012. Didapat dari; www.orpha.net.
55 Kentjono WA. Prinsip Dasar Kemoterapi Pada Karsinoma Nasofaring
(Keganasan Kepala dan Leher). Dalam: Kentjono WA, herawati S,
Mengko SK, Wahyuni SS ed. Workshop of Nasopharyngeal Cancer
Chemoterapy. Departemen Kesehatan THT-KL FK Unair-RSUP Dr.
Soetomo. Surabaya. 2011: 1-30
56 NCCN Clinical Practice Guidelines in Oncology. Head and Neck Cancer.
2011
57 Lin TI, Ho ES, Chou MM. Nasopharyngeal carcinoma during pregnancy.
Taiwan J Obstet Gynecol. 2007; 4(46): 423-6
58 Abellar SG dkk. Effects of chemoterapy during pregnancy on the placenta.
Pediatric and Developmental Pathology. 2009;12:35-41

Anda mungkin juga menyukai