Anda di halaman 1dari 50

Tinjauan Pustaka

PENATALAKSANAAN TULI MENDADAK DENGAN


TERAPI INJEKSI KORTIKOSTEROID INTRATIMPANI

Oleh:
dr. Listya Paramita

Pembimbing:
dr. Hj. Abla Ghanie, Sp.T.H.T.K.L (K), FICS
dr. Fiona Widyasari, Sp. T.H.T.K.L

Bagian Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher


Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya/
KSM Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher
RSUP DR. Mohammad Hoesin Palembang
2021
PENATALAKSANAAN TULI MENDADAK DENGAN
TERAPI INJEKSI KORTIKOSTEROID INTRATIMPANI
Listya Paramita, Fiona Widyasari, Abla Ghanie
Bagian Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher
Universitas Sriwijaya
KSM Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher
RSUP Dr Mohammad Hoesin Palembang

Abstrak
Tuli mendadak merupakan tuli sensorineural yang termasuk dalam kedaruratan
neurotologi. Tuli mendadak adalah penurunan pendengaran sensorineural 30 dB
atau lebih, paling sedikit tiga frekuensi berturut-turut dan berlangsung dalam
waktu kurang dari 72 jam. Diagnosis tuli mendadak ditegakkan berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan fungsi pendengaran dan pemeriksaan
penunjang untuk mencari etiologi yang mendasari terjadinya tuli mendadak.
Penatalaksaan kasus tuli mendadak sebaiknya diterapi berdasarkan etiologi yang
mendasarinya. Namun hampir sebagian kasus tuli mendadak bersifat idiopatik.
Salah satu terapi tuli mendadak adalah dengan pemberian kortikosteroid.
Kortikosteroid dapat diberikan secara sistemik maupun injeksi intratimpani.
Pemberian kortikosteroid melalui intratimpani dapat sebagai terapi awal,
kombinasi dengan terapi lain atau sebagai terapi penyelamatan (salvage therapy).
Injeksi kortikosteroid intratimpani dapat menjadi alternatif pada penanganan tuli
mendadak, khususnya jika terapi sistemik gagal. Injeksi intratimpani juga
memiliki keuntungan yaitu konsentrasi obat yang tinggi bila diberikan langsung
ke telinga yang terkena atau untuk menghindari efek samping steroid sistemik dan
dapat diberikan pada pasien dimana kortikosteroid sistemik kontraindikasi untuk
diberikan
Kata Kunci: tuli mendadak, kortikosteroid, injeksi intratimpani

Abstract
Sudden deafness is sensorineural hearing loss which is included in neurotological
emergencies. Sudden deafness is a sensorineural hearing loss of 30 dB or more,
at least three consecutive frequencies and lasting in less than 72 hours. Diagnosis
of sudden deafness is made based on history, physical examination, auditory
function examination and others examinations to find the underlying etiology of
sudden deafness. Management of sudden deafness should be treated based on the
underlying etiology. Almost all cases of sudden deafness are idiopathic. One of
the therapy for sudden deafness is corticosteroid administration. Corticosteroids
can be given systemically or intratimpani injection. The administration of
corticosteroids via intratimpani can be as initial therapy, in combination with
other therapies or as a salvage therapy. Intratimpani injection of corticosteroids
can be an alternative in the treatment of sudden deafness, especially if systemic
therapy fails. Intratimpani injection also has the advantage of a high
concentration of the drug when given directly into the affected ear or to avoid the
side effects of systemic steroids and can be given to patients where systemic
corticosteroids are contraindicated.
Key Words: sudden deafness, corticosteroid, intratimpani injection

1
BAB I
PENDAHULUAN

Tuli mendadak atau dikenal juga dengan sudden deafness atau sudden
sensorineural hearing loss (SSNHL) adalah penurunan pendengaran sensorineural
30 dB atau lebih, yang terjadi pada paling sedikit tiga frekuensi berturut-turut
pada pemeriksaan audiometri dan berlangsung dalam waktu kurang dari 72 jam.
Tuli mendadak terjadi pada sekitar 1% dari seluruh kasus gangguan pendengaran
sensorineural. Angka kejadian tuli mendadak tidak berbeda antara jenis kelamin
laki-laki dan perempuan dan biasanya terjadi pada usia 50-60 tahun.1,2,3
Etiologi dari tuli mendadak masih belum diketahui secara pasti. Terdapat
beberapa faktor yang berisiko menyebabkan tuli mendadak dengan mekanisme
utama jalur mikroangiopati dan kerusakan organ telinga bagian dalam. Diagnosis
tuli mendadak ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik THT,
pemeriksaan fungsi pendengaran, dan pemeriksaan penunjang lainnya untuk
mengetahui faktor etiologi yang mendasari terjadinya tuli mendadak.
Pemeriksaan pendengaran berperan penting dalam membantu menegakkan
diagnosis dan menyingkirkan kemungkinan gangguan pendengaran konduktif.
Pada kasus tuli mendadak, audiometri nada murni merupakan pemeriksaan
penunjang yang rutin dilakukan untuk menilai derajat gangguan pendengaran
yang terjadi dan untuk menilai efektifitas terapi yang diberikan.2,3,4
Penatalaksaan kasus tuli mendadak sebaiknya diterapi berdasarkan etiologi
yang mendasarinya. Namun hampir sebagian kasus tuli mendadak bersifat
idiopatik, dan terapi empiris dapat diberikan. Dari beberapa literatur sebanyak
32% hingga 65% dari kasus tuli mendadak dapat mengalami perbaikan spontan.
Menurut panduan American Academy of Otolaryngology Head and Neck Surgery
Foundation (AAO-HNSF) mengenai terapi tuli mendadak, salah satu terapi yang
diberikan adalah pemberian kortikosteroid baik kortikosteroid sistemik maupun
injeksi kortikosteroid intratimpani. Terdapat 3 protokol penggunaan injeksi
kortikosteroid intratimpani pada kasus tuli mendadak, yaitu sebagai terapi awal
tanpa terapi steroid sistemik, terapi kombinasi bersamaan dengan steroid sistemik
dan terapi penyelamatan (salvage therapy). Injeksi kortikosteroid intratimpani

2
menjadi pengobatan pilihan untuk kasus dengan kegagalan terapi kortikosteroid
sistemik atau pada kasus dengan adanya efek samping penggunaan kortikosteroid
sistemik. Prognosis tuli mendadak tergantung pada beberapa faktor yaitu adanya
faktor resiko, usia pasien, ada tidaknya keluhan vertigo, derajat gangguan
pendengaran, dan waktu antara onset kejadian tuli mendadak dengan diberikannya
terapi.2,3,4

3
BAB II
ANATOMI DAN FISIOLOGI TELINGA

2.1. Anatomi Telinga


Secara umum telinga terbagi atas telinga luar, telinga tengah dan telinga
dalam. Telinga luar merupakan bagian telinga yang terdapat di sebelah luar
membran timpani, terdiri dari aurikula, kanalis akustikus eksternus dan membran
timpani. Aurikula berfungsi mengumpulkan suara dan menyalurkannya melalui
kanalis akustikus eksternus. Bagian aurikula terdiri dari heliks dan antiheliks,
tragus dan antitragus, konka, dan lobulus. Kanalis akustikus eksternus merupakan
tabung berkelok yang terbentang antara aurikula dan membran timpani. Kanalis
ini berfungsi menghantarkan gelombang suara ke membran timpani. Sepertiga
bagian luar kanalis akustikus eksternus dibentuk oleh perluasan kartilago aurikula
dan dua pertiga bagian dalam dibentuk oleh pars timpani dan pars skuamosa os
temporal.5,6
Telinga tengah atau kavum timpani berisi tulang pendengaran yaitu maleus,
inkus dan stapes, yang menghubungkan dinding lateral ke dinding medial dan
berfungsi untuk menyampaikan getaran dari membran timpani di seluruh rongga
ke telinga dalam. Kavum timpani bagian lateral dibatasi oleh membran timpani,
medial oleh dinding lateral telinga dalam, dari atas ke bawah, kanalis
semisirkularis, kanalis fasialis, oval window, round window dan promontorium.
Batas atas dengan tegmen timpani, batas bawah bulbus jugularis, dan di depan
dengan tuba eustachii. Organ konduksi di dalam telinga tengah ialah membran
timpani, rangkaian tulang pendengaran, ligamentum penunjang, oval window dan
round window. Membran timpani berbentuk bundar dan cekung bila dilihat dari
arah liang telinga dan terlihat oblik terhadap sumbu liang telinga. Bagian atas
disebut pars flaksida (membran Sharpnell) sedangkan bagian bawah pars tensa
(membran propia). Pars flaksida hanya berlapis dua yaitu bagian luar yang
merupakan lanjutan epitel kulit liang telinga dan bagian dalam dilapisi oleh sel
kubus bersilia, seperti epitel mukosa saluran napas. Pars tensa mempunyai satu
lapis lagi ditengah yaitu lapisan yang terdiri dari serat kolagen dan sedikit serat
elastin yang berjalan secara radier dibagian luar dan sirkuler pada bagian dalam.

4
Di membran timpani terdapat 2 macam serabut, sirkuler dan radier. Serabut inilah
yang menyebabkan timbulnya reflek cahaya yang berupa kerucut. Membran
timpani dibagi dalam 4 kuadran dengan menarik garis searah dengan prosesus
longus maleus dan garis yang tegak lurus pada garis itu di umbo, sehingga
didapatkan bagian anterosuperior, anteroinferior, posterosuperior, posteroinferior,
untuk menyatakan letak perforasi membran timpani.5,6

Gambar 1. Anatomi Telinga5

Didalam telinga tengah terdapat tulang-tulang pendengaran yang tersusun


dari luar ke dalam, yaitu maleus, inkus, dan stapes. Tulang pendengaran didalam
telinga tengah saling berhubungan. Prosesus longus maleus melekat pada
membran timpani, maleus melekat pada inkus dan inkus melekat pada stapes.
Stapes terletak pada tingkap lonjong yang berhubungan dengan koklea. Hubungan
antar tulang-tulang pendengaran merupakan persendian. Telinga tengah dibatasi
oleh epitel selapis gepeng yang terletak pada lamina propria yang tipis yang
melekat erat pada periosteum yang berdekatan. Pada telinga tengah juga terdapat
tuba Eustachius. Tuba Eustachius ini berguna untuk menghubungkan ruang
telinga tengah dengan nasofaring. Dua pertiganya yang berada didekat nasofaring
merupakan kartilago dan sepertiga sisanya adalah tulang. Saluran ini dilapisi oleh
epitel saluran pernafasan. Fungsi tuba Eustachius adalah sebagai saluran udara
dari nasofaring ke telinga tengah untuk menyeimbangkan tekanan dari kedua sisi
membran timpani. Organ ini menutup secara pasif pada saat istirahat dan
membuka jika ada kontraksi dari otot tensor veli palatini yang dimana kontraksi
dari otot ini diinervasi oleh nervus trigeminal (N.V), sehingga tuba ini akan

5
terbuka secara singkat pada saat menelan. Organ ini juga dapat dibuka paksa
dengan cara meningkatkan tekanan udara di nasofaring dengan cara melakukan
manuver valsava. Disfungsi dari tuba Eustachius yang pada umumnya disebabkan
karena adanya oklusi di muara tuba ini dapat mengakibatkan timbulnya tekanan
negatif yang akan berujung pada akumulasi cairan serosa diruang telinga
tengah.5,6,7,8

Gambar 2. Anatomi Telinga Tengah5

Pada telinga tengah juga terdapat dua otot kecil, yaitu otot tensor timpani
dan juga otot stapedius yang akan berperan dalam reflek akustik. Pada telinga
tengah juga terdapat korda timpani yang merupakan cabang dari nervus fasialis
yang melewati telinga tengah yang dimana korda timpani ini akan menginervasi
2/3 depan dari lidah. Kontraksi otot tensor timpani akan menarik manubrium
maleus ke arah anteromedial, mengakibatkan membran timpani bergerak ke arah
dalam, sehingga besar energi suara yang masuk dibatasi. Fungsi dari telinga
tengah akan meneruskan energi akustik yang berasal dari telinga luar kedalam
koklea yang berisi cairan. Sebelum memasuki koklea bunyi akan diamplifikasi
melalui perbedaan ukuran membran timpani dan tingkap lonjong, daya ungkit
tulang pendengaran dan bentuk spesifik dari membran timpani. Aktifitas dari otot
stapedius disebut juga reflek stapedius pada manusia akan muncul pada intensitas
bunyi diatas 80 dB (SPL) dalam bentuk reflek bilateral dengan sisi homolateral
lebih kuat. Reflek otot ini berfungsi melindungi koklea.5,6,8
Telinga tengah dibagi menjadi tiga kompartemen yaitu hipotimpanum,
mesotimpanum dan epitimpanum. Yang menjadi batasan dari ketiga kompartemen
ini adalah kanalis auditori eksternal. Epitimpanum sendiri berada superior dan
medial dari kanalis auditori eksternal. Mesotimpanum terletak di medial dari
eksternal auditori kanal. Hipotimpanum terletak inferior dan medial dari kanalis

6
auditori eksternal. Mesotimpanum terdiri dari stapes, prosesus longus dari inkus,
prosesus longus dari maleus, round oval dan round window. Volume telinga
tengah normal berkisar antara 2 hingga 20 ml. Tuba Eustachius juga keluar dari
bagian anterior kompartemen mesotimpanum ini. Terdapat dua resesus yang
mengalami ekstensi ke posterior yaitu resesus fasialis dan juga sinus timpani.
Resesus fasialis dan sinus timpani merupakan lokasi tersering dari kolesteatoma
yang bersifat persisten setelah operasi telinga yang bersifat kronis. Resesus
fasialis berada lateral dari nervus fasialis, dibatasi oleh fossa incudis di superior
dan korda timpani dibagian lateral. Sinus timpani berada diantara nervus fasialis
dan dinding tengah dari mesotimpanum dan lokasi ini sangat sulit diakses ketika
dilakukan operasi.5,6,8
Telinga bagian dalam terdiri dari organ-organ akhir (end organ)
pendengaran (koklea) dan keseimbangan (labirin). Koklea merupakan struktur
tulang berbentuk siput yang mengandung organ sensori pendengaran, yang
bermuara pada bagian anterior dari vestibulum. Koklea mempunyai tiga kanalis
yang berisi cairan yaitu skala vestibuli, timpani dan media. Skala media terletak
di tengah koklea yang dipisahkan dari skala vestibuli oleh membran Reissner dan
dari skala timpani oleh membran basalis. Skala vestibuli dan skala timpani
berhubungan satu sama lain pada apeks koklea yang disebut helikotrema. Skala
media berisi cairan endolimfe mirip cairan intraselular yang kaya potasium dan
rendah sodium. Skala vestibuli dan skala media berisi cairan perilimfe yang mirip
cairan ekstraselular yang kaya sodium dan rendah potasium. Skala vestibuli
berhubungan dengan stapes melalui oval window sedangkan skala timpani
berhubungan dengan telinga tengah melalui round window.5,8

Gambar 3. Anatomi Telinga Dalam5

7
Telinga dalam terdiri dari organ kesimbangan dan organ pendengaran.
Telinga dalam terletak di pars petrosus os temporalis dan disebut labirin karena
bentuknya yang kompleks. Telinga dalam pada waktu lahir bentuknya sudah
sempurna dan hanya mengalami pembesaran seiring dengan pertumbuhan tulang
temporal. Telinga dalam terdiri dari dua bagian yaitu labirin tulang dan labirin
membranosa. Labirin tulang merupakan susunan ruangan yang terdapat dalam
pars petrosa os temporalis (ruang perilimfatik) dan merupakan salah satu tulang
terkeras. Labirin tulang terdiri dari vestibulum, kanalis semisirkularis dan koklea.
Vestibulum merupakan bagian yang membesar dari labirin tulang dengan ukuran
panjang 5 mm, tinggi 5 mm dan dalam 3 mm. Dinding medial menghadap ke
meatus akustikus internus dan ditembus oleh nervus. Pada dinding medial terdapat
dua cekungan yaitu spherical recess untuk sakulus dan eliptical recess untuk
utrikulus. Di bawah eliptical recess terdapat lubang kecil akuaduktus vestibularis
yang menyalurkan duktus endolimfatikus ke fossa kranii posterior diluar
duramater.5,7,8
Di belakang spherical recess terdapat alur yang disebut vestibular crest.
Pada ujung bawah alur ini terpisah untuk mencakup recessus koklearis yang
membawa serabut nervus koklea ke basis koklea. Serabut nervus untuk utrikulus,
kanalis semisirkularis superior dan lateral menembus dinding tulang pada daerah
yang berhubungan dengan N. Vestibularis pada fundus meatus akustikus internus.
Di dinding posterior vestibulum mengandung lubang ke kanalis semisirkularis dan
dinding anterior ada lubang berbentuk elips ke skala vestibuli koklea.5,8

Gambar 4. Anatomi Telinga Dalam5

8
Terdapat tiga buah semisirkularis yaitu kanalis semisirkularis superior,
posterior dan lateral yang terletak di atas dan di belakang vestibulum. Bentuknya
seperti dua pertiga lingkaran dengan panjang yang tidak sama tetapi dengan
diameter yang hampir sama sekitar 0,8 mm. Pada salah satu ujungnya
masing-masing kanalis ini melebar disebut ampulla yang berisi epitel sensoris
vestibular dan terbuka ke vestibulum. Ampulla kanalis superior dan lateral
letaknya bersebelahan pada masing-masing ujung anterolateralnya, sedangkan
ampulla kanalis posterior terletak dibawah dekat lantai vestibulum. Ujung kanalis
superior dan inferior yang tidak mempunyai ampulla bertemu dan bersatu
membentuk crus communis yang masuk vestibulum pada dinding posterior bagian
tengah. Ujung kanalis lateralis yang tidak memiliki ampulla masuk vestibulum
sedikit dibawah cruss communis. Kanalis lateralis kedua telinga terletak pada
bidang yang hampir sama yaitu bidang miring ke bawah dan belakang dengan
sudut 30 derajat terhadap bidang horizontal bila orang berdiri. Kanalis lainnya
letaknya tegak lurus terhadap kanal ini sehingga kanalis superior sisi telinga kiri
letaknya hampir sejajar dengan posterior telinga kanan demikian pula dengan
kanalis posterior telinga kiri sejajar dengan kanalis superior teling kanan.5,6,7
Pembuluh darah yang memberikan vaskularisasi pada kavum timpani
adalah arteri-arteri kecil yang melewati tulang yang tebal. Sebagian besar
pembuluh darah yang menuju kavum timpani berasal dari cabang arteri karotis
eksterna. Pada daerah anterior mendapat vaskularisasi dari a. timpanika anterior,
yang merupakan cabang dari a. maksilaris interna yang masuk ke telinga tengah
melalui fisura petrotimpanika. Daerah posterior mendapat vaskularisasi dari
a.timpanika posterior, yang merupakan cabang dari a. mastoidea yaitu
a.stilomastoidea. Pada daerah superior mendapat perdarahan dari cabang
a.meningea media a. petrosa superior, a. timpanika superior dan ramus
inkudomalei. Vena kavum timpani berjalan bersama-sama dengan arteri menuju
pleksus venosus pterigoid atau sinus petrosus superior. Pembuluh limfe kavum
timpani masuk ke dalam pembuluh getah bening retrofaring atau ke nodulus
limfatikus parotis.5,6,8

9
2.2. Fisiologi Pendengaran
Fisiologi pendengaran diawali di telinga luar, dimana pinna bertindak
sebagai pengumpul suara. Kanalis auditori eksternal mempunyai bentuk yang
dapat mengamplifikasi suara yang berfrekuensi antara 2000 sampai 4000 Hz,
ketika suatu bunyi yang berfrekuensi diantara 2000-4000 Hz masuk ke dalam
kanalis akan mengalami amplifikasi sebanyak 10-15 dB. Oleh karena itu bunyi
dengan frekuensi ini merupakan bunyi yang paling berpotensi untuk
menyebabkan terjadinya trauma akustik. Pada telinga tengah terdapat malleus,
inkus, dan stapes yang saling berhubungan satu dengan lainnya. Dasar dari
malleus menempel pada membran timpani dan pada leher dari malleus terdapat
muskulus tensor timpani. Bagian kepala dari malleus akan berartikulasi dengan
permukaan anterior dari badan inkus didalam epitimpanum. Inkus memiliki
prosesus pendek yang berproyeksi kebelakang dan prosesus longus yang akan
berartikulasi dengan kepala dari stapes. Otot stapedius yang menempel dengan
tulang stapes ini dapat diukur dengan audiometri impedansi, yang akan berguna
sebagai alat bantu klinis.5,8
Skema proses mendengar diawali dengan ditangkapnya energi bunyi oleh
telinga luar. Telinga luar berfungsi untuk mengumpulkan suara dan
mengamplifikasi tekanan suara. Suara akan masuk ke dalam kanalis akustikus
eksternus dan menggetarkan membran timpani. Getaran membran timpani
tersebut akan ditangkap oleh maleus dan mentransmisikannya melalui inkus ke
stapes. Bagian kaki stapes mentransmisikan getaran melalui oval window. Energi
getar yang telah diamplifikasikan akan diteruskan ke telinga dalam. Telinga dalam
berfungsi sebagai transformasi gelombang mekanik ke sinyal elektrik atau sinyal
neural. Basis stapes mendorong masuk perilimfa yang berada dalam skala
vestibuli sehingga akan menyebabkan membran Reissner melengkung masuk ke
skala media. Pemajangan membran Reissner menyebabkan endolimfe bergerak
dalam skala media dan menginduksi bergesernya membran basalis.
Mekanisme transduksi terjadi pada sel rambut audiotorik melalui dua cara
aksi yang berbeda. Pada sel rambut dalam, defleksi stereosilia sel rambut
membuka pintu kanal ion secara mekanik dan memungkinkan ion poasium
muatan positif (K+) masuk ke dalam sel dan menyebabkan depolarisasi sel.

10
Masuknya ion positif dari endolimfe skala media mendepolarisasi sel,
mengakibatkan suatu reseptor potensial. Reseptor potensial membuka pintu aliran
kanal kalsium. Ion kalsium (Ca+) masuk ke dalam sel dan mencetuskan pelepasan
neurotransmiter pada basal sel. Neurotransmiter berikatan dengan reseptor dan
mencetuskan aksi potesial di dalam saraf. Neurotransmiter akan meningkatkan
aliran hantaran dalam n. auditorius dan sinyal mekanik suara diubah menjadi
suatu sinyal listrik saraf. Getaran suara dalam bentuk sinyal listrik berjalan
menuju n. auditorius, berlanjut sebagai nukleus koklearis dan kompleks olivarius
superior di batang otak serta kolikulus inferior di otak tengah. Informasi mencapai
talamus dan menuju ke korteks serebri.5,6
Terdapat kurang lebih 30.000 neuron aferen yang menginervasi 15.000 sel
rambut yang berada pada koklea. Setiap sel rambut ini akan diinervasi oleh
banyak neuron. Terdapat 500 neuron eferen menginervasi setiap koklea, yang
dimana neuron-neuron ini juga akan bercabang, sehingga menyebabkan satu sel
rambut memiliki banyak eferen nerve ending. Serabut nervus dari nervus koklear
akan menuju bagian dorsal dan ventral koklear nuclei, yang dimana hampir semua
serabut yang berasal dari nuklei akan mengalami penyilangan pada midline dan
naik ke kolikulus inferior kontralateral, namun beberapa juga naik ke kolikulus
inferior ipsilateral. Dari kolikulus inferior, jalur dari auditori akan menuju corpus
geniculate medial dan akan diteruskan ke korteks auditori yang berada di lobus
temporal area 4, dan karena banyak neuron yang mengalami persilangan maka
jika terdapat lesi pada bagian sentral dari jalur auditori akan menimbulkan
kehilangan pendengaran pada kedua telinga.6,7,8

11
BAB III
TULI MENDADAK

3.1. Definisi
Tuli mendadak atau sudden deafness atau sudden sensorineural hearing
loss (SSNHL) berdasarkan National Institude on Deafness and Other
Communication Disorders (NIDCD) didefinisikan sebagai penurunan
pendengaran sensorineural yang terjadi lebih dari 30 dB pada 3 frekuensi atau
lebih secara berturut-turut yang terjadi selama 72 jam sejak onset gejala. Terdapat
juga definisi Idiopathic sensorineural hearing loss (ISSNHL) didefinisikan
sebagai kehilangan pendengaran sensorineural tanpa penyebab yang dapat
diidentifikasi, dan terjadi pada hampir 90% kasus tuli mendadak. Tuli mendadak
pertama kali diperkenalkan oleh De Kleyn pada tahun 1944. Tuli mendadak
merupakan kasus kegawatdaruratan neurotologi dimana harus ditatalaksana
dengan jangka waktu tidak melewati dua hingga 4 minggu paska kejadian.2,3,9,10

3.2. Kekerapan
Di Amerika Serikat kejadian kasus tuli mendadak yaitu sekitar 5 hingga 27
per 100.000 penduduk dengan 66.000 kasus baru per tahunnya. Insiden meningkat
seiring bertambahnya usia, mulai dari 11 per 100.000 penduduk untuk pasien
yang berusia di bawah 18 tahun hingga 77 per 100.000 penduduk untuk pasien
berusia 65 tahun ke atas. Distribusi kejadian tuli mendadak untuk jenis kelamin
laki-laki dan perempuan hampir sama, dengan puncak usia antara 30 sampai 60
tahun. Di Jerman didapatkan angka tuli mendadak sebesar 160 per 100.000
penduduk.2,4,10,11,12
Menurut penelitian yang dilakukan Eftekharian dkk dari tahun 2009 hingga
tahun 2013 di Iran didapatkan 60 kasus tuli mendadak dengan 32 kasus dengan
jenis kelamin laki-laki dan 28 kasus dengan jenis kelamin perempuan. Didapatkan
keluhan berupa vertigo pada 38 kasus dan tinitus pada 45 kasus. Sebanyak 4 kasus
mengalami gangguan pendengaran ringan, 9 kasus mengalami gangguan
pendengaran sedang, 24 kasus mengalami gangguan pendengaran berat dan 23
kasus mengalami gangguan pendengaran sangat berat. Sebanyak 13 pasien

12
mengalami perbaikan. Kim dkk di Korea didapatkan 106 kasus tuli mendadak
dengan 47 kasus dengan jenis kelamin laki-laki dan 59 kasus dengan jenis
kelamin perempuan. Didapatkan keluhan berupa tinitus pada 79 kasus dan
keluhan vertigo pada 26 kasus. Sebanyak 26 kasus mengalami gangguan
pendengaran ringan, 25 kasus mengalami gangguan pendengaran sedang, 21
kasus mengalami gangguan pendengaran sedang berat, 19 kasus mengalami
gangguan berat dan 15 kasus mengalami gangguan pendengaran sangat berat.13,14
Hidayat dkk melaporkan di RS M. Djamil Padang dari tahun 2010 sampai
tahun 2013 didapatkan 26 kasus tuli mendadak. Sebaran umur penderita berkisar
dari usia 8 tahun sampai 79 tahun, dengan distribusi terbanyak pada usia 40-60
tahun. Faktor resiko yang ditemukan berupa hipertensi dan diabetes melitus
sebesar 11,54%. Gejala klinis terdiri atas tinitus (76,92%), diikuti vertigo
(38,46%), dan rasa penuh di telinga (15,38%). Didapatkan derajat gangguan
pendengaran sangat berat (38,46%), kemudian derajat sedang berat dan berat
(23,08%), diikuti derajat ringan (11,54%) dan sedang (3,85%). Distribusi onset
terapi dari timbulnya gejala didapatkan paling banyak ditemukan pada 0-7 hari
(50,00%), kemudian onset > 14 hari (30,77%) dan onset 8-14 hari (19,23%).
Perbaikan pendengaran ditemukan sama banyak pada kategori sangat baik dan
baik sebanyak 6 kasus dan diikuti kategori sembuh pada satu kasus. Ghanie dkk
melaporkan di RSUP Dr Mohammad Hoesin Palembang dari tahun 2015 hingga
tahun 2016 terdapat 52 kasus tuli mendadak dengan 33 kasus pada jenis kelamin
laki-laki dan 19 kasus pada jenis kelamin perempuan. Sebanyak 51,9% kasus
terjadi pada usia lebih dari 50 tahun. Pasien yang mengalami gejala vertigo
sebanyak 44,2%dan 77,9% pasien mengalami tinitus. Pasien yang mendapatkan
terapi kurang dari 7 hari memiliki hasil perbaikan 3,8 kali lebih baik dari
pasien-pasien yang mendapatkan terapi pada onset yang lebih dari 7 hari.15,16

3.3. Etiopatogenesis
Etiologi dari tuli mendadak masih belum diketahui secara pasti. Etiologi
idiopatik berkisar antara 85-90% dan mayoritas adalah unilateral (96-99%).
Terdapat beberapa teori mengenai penyebab dari tuli mendadak, yaitu infeksi
(baik infeksi bakteri maupun infeksi virus), ruptur membran timpani, gangguan

13
vaskular (trombosis, oklusi dan emboli a. auditori interna, hipertensi), autoimun
(Cogan’s syndromes, systemic lupus erythematosus, periarteritis nodosa, sklerosis
mutipel), trauma (fraktur tulang temporal, barotrauma, trauma akustik), tumor
(neuroma akustik, tumor cerebellopontine angle, metastasis tulang temporal), obat
ototoksik (aminoglikosida, aspirin), hidrops endolimfa (penyakit Meniere), dan
kebocoran membran intrakoklear (karena Valsava maneuver, bersin). Beberapa
penelitian membagi beberapa faktor resiko yng diduga menjadi penyebab antara
lain infeksi virus (12,8%), autoimun (2,2%), trauma (4,2%), gangguan vaskuler
(2,8%), dan ototoksik (1%). Penyebab pasti tuli mendadak hanya ditemukan pada
10-15% kasus, sebagian besar kasus tetap tidak diketahui penyebabnya (idiopatik).
Penelitian yang dilakukan Ghanie, dkk dari 52 kasus tuli mendadak, didapatkan
sebanyak 23 kasus (44,2%) dengan hipertensi, 10 kasus (19,2%) dengan diabetes
melitus,18 kasus (34,6%) dengan dislipidemia, dan 16 kasus (30,8%) dengan
hiperkoagulasi.2,10,16,17

Tabel 1. Etiologi Tuli Mendadak1


Infeksi Meningitis
Labirinitis (bakteri, jamur, virus, parasit, spirochetal)
Trauma Trauma kepala (dengan/tanpa fraktur)
Barotrauma (dengan/tanpa fistula perilimfa)
Trauma akustik
Trauma iatrogenik
Neoplasma Vestibular schwannoma
Metastasis (ke meningen atau tulang temporal)
Keganasan hematologi (leukemia, myeloma)
Imunologi Penyakit autoimun telinga dalam
Penyakit imun sistemik (Cogan syndrome,
Wegener granulomatosis, polyarteritis, temporal
arteritis)
Ototoksik Aminoglikosida, aspirin
Penyakit vaskuler Hipertensi, Diabetes, dislipidemia
Neurologi Multiple sclerosis
Focal pontine ischemia
Metabolik Gangguan metabolisme besi
Gangguan renal
Miscellaneous Penyakit Meniere
Functional hearing loss

14
Infeksi virus adalah salah satu penyebab terjadinya tuli mendadak, terutama
pada usia di bawah 50 tahun. Infeksi virus yang dapat menjadi penyebab tuli
mendadak meliputi virus herpes (simpleks, varisela zoster), cytomegalovirus
(CMV), mumps, Human Immunodeficiency Virus (HIV), toksoplasmosis dan
rubela. Pada pemeriksaan histopatologi tulang temporal pasien dengan tuli
mendadak, diketahui bahwa infeksi virus dapat menyebabkan kerusakan pada
koklea berupa hilangnya sel-sel rambut dan sel penunjang, atrofi membran
tektorial, atrofi stria vaskuler, dan selubung mielin saraf akustik. Infeksi virus
intrauterin dapat merusak banyak sistem organ. Virus rubela dan cytomegalovirus
(CMV) merupakan penyebab terjadinya tuli kongenital. Penelitian pada hewan
menunjukkan bahwa virus tersebut menyebabkan lesi koklea pada hewan yang
terinfeksi secara eksperimental. Virus mumps (virus parotitis) merupakan salah
satu penyebab gangguan pendengaran unilateral mendadak pada usia anak-anak.
Kejadian tuli mendadak terjadi pada sekitar lima dari setiap 10.000 pasien dengan
gondongan dan biasanya unilateral. Virus rubela merupakan penyebab pada 3
sampai 10% dari ketulian bilateral pada anak-anak. Human immunodeficiency
virus (HIV) dapat menyebabkan gangguan pendengaran secara langsung tetapi
dapat pula menyebabkan penderita lebih rentan terhadap infeksi virus lainnya.
Pasien tuli mendadak dengan infeksi virus HIV menunjukkan terjadinya atrofi
organ korti serta kehilangan membran tektorial dan ganglion spiral.1,4,10,16
Virus memiliki beberapa mekanisme perjalanan untuk dapat sampai ke
telinga dalam yaitu yang paling sering melalui aliran darah. Pada fase awal virus
akan berada pada membran koklea. Selain itu virus dapat masuk ke telinga dalam
dari ruang subaraknoidea melalui akuaduktus koklearis masuk ke dalam ruang
perilimfe. Jalur lain adalah langsung dari telinga tengah masuk ke telinga dalam.
Mula-mula virus akan melekat pada endotel pembuluh darah, terjadi
pembengkakan dan proliferasi endotel sehingga mengakibatkan menyempitnya
lumen pembuluh darah dan berkurangnya aliran darah. Hemaglutinasi dan
penyumbatan akan terjadi apabila partikel virus menempel pada sel-sel darah
merah, selain itu juga akan menyebabkan keadaan hiperkoagulasi dan menyumbat
pembuluh darah kapiler. Apabila terjadi pada arteri yang memperdarahi koklea
akan muncul keluhan tinitus dan gangguan pendengaran. Bila terjadi sumbatan

15
yang lebih proksimal, akan terjadi gangguan pada fungsi vestibuler berupa vertigo.
Ketulian yang terjadi biasanya berat, terutama pada frekuensi sedang dan tinggi.
Partikel virus akan memperbanyak diri dan mempercepat terjadinya
perubahan-perubahan patologis. Gangguan yang diakibatkan oleh virus masih
reversible tapi dapat juga berupa kelainan yang menetap.1,2,10
Penyebab tuli mendadak lainnya adalah penyakit vaskular. Faktor risiko
penyakit vaskular termasuk diabetes, hipertensi, obesitas, dan hiperlipidemia.
Penyakit vaskular dapat menyebabkan iskemia koklea yang merupakan penyebab
utama terjadinya tuli mendadak. Koklea mendapat perdarahan dari arteri labirin
atau arteri auditiva interna yang merupakan cabang dari arteri serebelar inferior
anterior. Pembuluh darah ini merupakan arteri ujung (end artery) yang tidak
memiliki kolateral sehingga bila terjadi gangguan pada pembuluh darah ini koklea
sangat mudah mengalami kerusakan akibat iskemia. Fungsi koklea sangat
dipengaruhi oleh perubahan sirkulasi darah pada koklea. Iskemia mengakibatkan
degenerasi luas pada sel-sel ganglion stria vaskularis dan ligamen spiralis yang
selanjutnya diikuti proses fibrosis dan osifikasi.1,2,4,10
Trauma juga dapat menyebabkan terjadinya tuli mendadak, seperti trauma
akustik, fraktur tulang temporal, maupun barotrauma. Trauma akustik berpotensi
untuk merusak sel rambut luar, organ korti, membran Reissner, membran timpani,
dan rangkaian tulang pendengaran. Barotrauma dapat disebabkan oleh scuba
diving, meniup hidung dengan keras, atau aktivitas selama menahan napas,
misalnya, angkat beban dengan teknik yang tidak tepat. Barotrauma dapat
menyebabkan ruptur pada membran koklea. Membran ini memisahkan telinga
tengah dan telinga dalam. Di dalam koklea juga terdapat membran-membran
halus yang memisahkan ruang perilimfe dan endolimfe. Secara teoritis, ruptur dari
salah satu atau kedua jenis membran ini dapat mengakibatkan tuli mendadak.
Simmons dalam Balengers berhipotesis bahwa ruptur membran intrakoklea akan
menyebabkan terjadinya fistula perilimfatik sehingga menyebabkan
bercampurnya cairan perilimfe dan endolimfe ke telinga tengah melewati jalur
oval window dan round window. Hal tersebut dapat menyebabkan perubahan
potensi endokoklea secara efektif sehingga menyebabkan kejadian vertigo dan tuli
mendadak.1,2,10

16
Pada kasus tuli mendadak yang disebabkan oleh penyakit autoimun,
terbentuk antibodi berupa Anti-endothelial Cell Autoantibodies (AECAs) yang
melawan epitop pada telinga dalam dimana antigen spesifik dan non spesifik pada
sel-sel yang terdapat di telinga dalam antara lain kolagen tipe II dan IX, protein
koklear P30 dan P80, kardiolipin, fosfolipid, dan serotonin, bereaksi dengan
antigen tersebut dan menyebabkan kerusakan sel endotel melalui mekanisme yang
diperantarai komplemen, mekanisme sel sitotoksik atau dengan merangsang
peningkatan molekul adhesi. Penyakit-penyakit autoimun penyebab tuli mendadak
antara lain lupus eritromatosus, poliartritis nodosa, sindrom Cogan,
granulomatosis Wegener, polikondritis, sindrom Bechet, penyakit Kawasaki dan
arteritis temporal (penyakit Horton).1,2
Vestibular scwannoma merupakan tumor jinak pada saraf vestibular yang
dapat menyebabkan penurunan pendengaran yang progresif, gangguan
keseimbangan, dan menyebabkan gangguan neurologik. Sebanyak 10% hingga
20% pasien dengan vestibular schwannoma dilaporkan mengalami tuli mendadak.
Dari beberapa literatur, penyebab tuli mendadak juga dihubungkan dengan otitis
media baik akut maupun kronis. Infeksi telinga tengah menyebabkan terjadinya
infeksi telinga dalam melalui oval window maupun round window. Round window
lebih tipis daripada oval window sehingga memungkinkan untuk lebih mudah
terjadinya suatu infeksi. Pada beberapa literatur, menyatakan bahwa OMA yang
disebabkan steptolisin D akan merusak permeabilitas round window. Molekul dan
mediator inflamasi yang berada pada bakteri dapat menembus membran pada
round window, sehingga membran round window merupakan pintu penyebaran
infeksi ke telinga dalam. Hal tersebut dapat menyebabkan kehilangan sel rambut
luar pada koklea dan menyebabkan tuli mendadak.1,2,4,10

3.4. Diagnosis
Diagnosis tuli mendadak ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
fisik THT, pemeriksaan fungsi pendengaran, dan pemeriksaan penunjang lainnya
untuk mengetahui faktor etiologi yang mendasari terjadinya tuli mendadak. Pada
anamnesis perlu ditanyakan onset dan proses terjadinya ketulian (berlangsung
tiba-tiba, progresif cepat atau lambat, fluktuatif, atau stabil), ketulian yang terjadi

17
apakah hanya satu atau kedua telinga (unilateral atau bilateral), aktivitas saat tuli
mendadak terjadi (apakah saat pasien sedang beristirahat atau beraktivitas). Perlu
ditanyakan juga gejala yang menyertai seperti sensasi penuh pada telinga, tinitus,
vertigo, dizziness, gangguan keseimbangan, nyeri telinga, keluar cairan dari
telinga, nyeri kepala, keluhan neurologis, demam, gejala infeksi saluran nafas atas
dan keluhan sistemik lainnya. Riwayat penurunan pendengaran sebelumnya,
trauma kepala, konsumsi obat-obat ototoksik, riwayat penyakit vaskular (diabetes,
hipertensi, dislipidemia), riwayat operasi dan penyakit sebelumnya, pekerjaan dan
pajanan terhadap kebisingan, trauma akustik, riwayat barotrauma, serta faktor
predisposisi penting lain juga perlu ditanyakan.2,18
Tinitus adalah gejala yang paling sering menyertai tuli mendadak. Menurut
penelitian yang dilakukan oleh Rauch dalam Ballenger, didapatkan 250 kasus tuli
mendadak dengan gejala berupa tinitus pada 84% kasus, rasa penuh pada telinga
pada 69% kasus, dan vertigo pada 44% kasus. Gangguan pendengaran pada
frekuensi rendah memiliki prognosis yang lebih baik daripada gangguan
pendengaran frekuensi tinggi, dan pasien yang memiliki gejala vestibular berupa
vertigo ataupun dizziness menunjukkan kasus yang berat dan memiliki prognosis
perbaikan pendengaran yang jelek. Beberapa literatur mengatakan bahwa adanya
tinitus menunjukkan prognosis yang lebih baik. Hal ini juga serupa dengan
penelitian yang dilakukan oleh Hidayat dkk di Padang, gejala tuli mendadak yang
paling banyak ditemukan adalah tinitus yang ditemukan pada 76,92% kasus.
Vertigo merupakan gejala klinis kedua terbanyak yang ditemukan sebesar 38,46%
dan rasa penuh ditelinga sebesar 15,38%. Menurut penelitian yang dilakukan oleh
Ghanie dkk di RSUP Moh Hoesin Palembang dari tahun 2015-2016 sebanyak
76,9% kasus mengalami gejala tinitus dan 44,2% kasus mengalami vertigo.1,15,16
Menurut panduan American Academy of Otolaryngology - Head and Neck
Surgery Foundation (AAO-HNSF), pasien dengan tuli mendadak harus dibedakan
antara gangguan pendengaran sensorineural dan gangguan pendengaran konduktif.
Pada pemeriksaan fisik, dilakukan pemeriksaan telinga luar. Kondisi telinga yang
dapat menyebabkan tuli konduktif harus disingkirkan. Pemeriksaan fisik
dilakukan untuk menyingkirkan adanya serumen pada liang telinga, benda asing
pada liang telinga, perforasi membran timpani, kolesteatoma, otitis eksterna,

18
otosklerosis, ataupun adanya cairan pada telinga tengah yang dapat
mengakibatkan gangguan pendengaran pada pasien. Pada pasien tuli sensorineural
hampir selalu didapatkan hasil otoskopi yang normal.2,4
Dilakukan pemeriksaan fungsi pendengaran untuk menyingkirkan
kemungkinan tuli konduktif dan menilai derajat gangguan pendengaran.
Pemeriksaan yang dapat dilakukan antara lain tes garputala, audiometri nada
murni, timpanometri, Otoacoustic emission (OAE), Brainstem Evoked-Response
Audiometry (BERA) dan ASSR. Pemeriksaan garpu tala merupakan skrining awal
yang penting untuk membantu membedakan tuli konduktif dan tuli sensorineural.
Menurut panduan AAO-HNSF pemeriksaan audiometri dilakukan sesegera
mungkin dalam 14 hari dari onset serangan pertama untuk membedakan jenis
gangguan pendengaran sensorineural dan konduktif. Audiometri juga digunakan
untuk mengevaluasi derajat gangguan pendengaran yang terjadi, serta dilakukan
pemeriksaan audiometri setelah dilakukan pengobatan untuk menilai derajat
kesembuhan. Pemeriksaan timpanometri dapat membedakan tuli konduktif dan
tuli sensorineural serta memberikan petunjuk tambahan untuk etiologi.
Pemeriksaan OAE digunakan untuk menilai fungsi koklea. OAE menilai suara
yang dihasilkan oleh sel rambut luar koklea. Pada kasus tuli mendadak terjadi
kerusakan pada sel rambut luar, sehingga pemeriksaan OAE dapat digunakan
sebagai indikator untuk menentukan prognosis.1,2,4,10
Pada pemeriksaan pendengaran audiometri nada murni didapatkan hasil tuli
sensorineural ringan sampai berat. Pemeriksaan BERA dapat memberikan
informasi tambahan mengenai sistem auditorik. Pemeriksaan BERA merupakan
suatu pemeriksaan untuk menilai fungsi pendengaran dan fungsi N VIII.
Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengevaluasi kemungkinan etiologi retrokoklea
dan dapat digunakan untuk menetapkan ambang batas pendengaran pada pasien
yang sulit diperiksa, seperti anak-anak, orang tua, intelegensia rendah, dan
kesadaran menurun. Apabila pemeriksaan BERA tidak bisa dilakukan karena
beratnya penurunan pendengaran, atau karena pemeriksaan BERA menunjukkan
hasil patologis, MRI direkomendasikan untuk dilakukan dengan tujuan untuk
mencari adanya tumor pada sudut serebelopontin atau adanya multiple
sclerosis.1,2,4,10

19
Tabel 2. Derajat Gangguan Pendengaran berdasarkan International Standard Organization
(ISO)19

Derajat Gangguan Pendengaran ISO


Pendengaran normal < 25 dB
Ringan 26-40 dB
Sedang 41-55 dB
Sedang Berat 56-70 dB
Berat 71-90 dB
Sangat Berat > 90 dB

Penelitian yang dilakukan oleh Marx dkk menyatakan bahwa gangguan


pendengaran derajat ringan dan sedang memiliki prognosis penyembuhan yang
lebih baik dibandingkan dengan gangguan pendengaran derajat berat. Menurut
penelitian yang dilakukan oleh Sung dkk, derajat gangguan pendengaran yang
paling banyak ditemukan adalah gangguan pendengaran ringan sebanyak 15 kasus,
gangguan pendengaran sedang sebanyak 12 kasus, gangguan pendengaran sedang
berat sebanyak 8 kasus, gangguan pendengaran berat sebanyak 7 kasus dan sangat
berat 9 kasus. Derajat ketulian yang muncul pada penderita tuli mendadak
bervariasi pada masing-masing penderita dan akan menentukan prognosis dari
penyakit ini. Semakin parah kehilangan pendengarannya, semakin rendah
kemungkinan untuk penyembuhan dan kehilangan pendengaran derajat sangat
berat memiliki prognosis yang sangat buruk pula.4,20
Pemeriksaan darah lengkap dapat dilakukan untuk membantu mencari
penyebab terjadinya tuli mendadak, terutama pada pasien dengan penyakit
sistemik. Anak-anak dengan tuli mendadak, meskipun jarang, harus dilakukan
pemeriksaan laboratorium sebagai tes skrining untuk kelainan darah. Pada pasien
diabetes yang diberikan terapi kortikosteroid harus dilakukan tes glukosa darah,
dan dapat dilakukan pemeriksaan profil lipid, seperti kolesterol dan trigliserida
untuk melihat kemungkinan faktor resiko vaskular. Menurut penelitian terbaru
dari panduan AAO-HSNF tahun 2019 pemeriksaan laboratorium tidak
direkomendasikan untuk rutin dilakukan pada pasien tuli mendadak.1,2,4
Pemeriksaan tomografi komputer (CT Scan) dan resonansi magnetik (MRI)
dengan kontras diperlukan sebagai pemeriksaan penunjang untuk mencari etiologi

20
dari tuli mendadak. Pemeriksaan CT Scan dan MRI dengan kontras diperlukan
untuk menyingkirkan diagnosis seperti neuroma akustik, malformasi tulang
temporal, maupun neoplasma. Pemeriksaan CT Scan kepala sebagai pemeriksaan
awal pada pasien tuli mendadak tidak rutin dilakukan. Namun pemeriksaan ini
bisa dilakukan apabila pada pasien terdapat gejala berupa kelainan neurologis
fokal, riwayat trauma, atau penyakit telinga kronik. Salah satu etiologi terjadinya
tuli mendadak adalah vestibular schwannoma pada kurang lebih 1% kasus. Perlu
dilakukan pemeriksaan Magnetic Resonance Imaging (MRI) dengan injeksi
kontras gadolinium untuk mendeteksi atau menyingkirkan tumor. Pemeriksaan
pencitraan resonansi magnetik dengan Gadolinium dinilai memiliki sensitivitas
tinggi dan digunakan untuk menyingkirkan kemungkinan abnormalitas
retrokoklea, seperti neoplasma, penyakit demielinisasi perdarahan intrakoklea,
dan abnormalitas vaskular.1,2,4

3.5. Penatalaksanaan
Penatalaksaan kasus tuli mendadak sebaiknya diterapi berdasarkan etiologi
yang mendasarinya, tetapi hampir sebagian kasus tuli mendadak bersifat idiopatik.
Kasus tuli mendadak yang idiopatik dapat diberikan terapi empiris. Beberapa
literatur menyatakan bahwa 32% hingga 65% dari kasus tuli mendadak dapat
mengalami perbaikan spontan. Menurut panduan American Academy of
Otolaryngology Head and Neck Surgery Foundation (AAO-HNSF) mengenai
terapi tuli mendadak dapat diberikan kortikosteroid sistemik, injeksi
kortikosteroid intratimpani dan terapi oksigen hiperbarik, observasi dan
pembedahan. Penggunaan antivirus, trombolitik, vasodilator, zat vasoaktif, dan
antioksidan tidak rutin diberikan.2,10,13

3.5.1. Kortikosteroid
Kortikosteroid oral merupakan terapi lini pertama untuk pengobatan
tuli mendadak, ditinjau dari keuntungan dan kerugian dalam terapi yang
diberikan. Kortikosteroid bekerja dengan mengurangi inflamasi, edema,
modulasi sistem imun di telinga bagian dalam, meningkatkan
mikrosirkulasi telinga bagian dalam, memiliki efek antioksidan dan

21
berperan dalam ion dan homeostasis air. Kortikosteroid juga bertujuan
untuk perbaikan fungsi saraf. Glukokortikoid menggunakan berbagai efek
imunosupresif, antiinflamasi, dan anti alergi pada sel dan jaringan imun
primer dan sekunder. Kortikosteroid dapat diberikan secara sistemik
maupun injeksi intratimpani. Pemberian kortikosteroid sistemik dapat
berupa pemberian secara oral maupun intravena. Penggunaan kortikosteroid
sistemik dapat digunakan sebagai terapi awal. Kortikosteroid digunakan
sebagai terapi awal selama 2 minggu dari onset kejadian tuli mendadak.
Kortikosteroid sistemik dapat diberikan prednison dengan dosis 1 mg/kg
berat badan (maksimal 60 mg/hari) selama 7-14 hari dan dilakukan
tappering off. Dapat juga digunakan metilpredisolon 48 mg per hari atau
deksametason 10 mg per hari. Jika steroid sistemik diberikan pada pasien
diabetes melitus maka perlu dilakukan pengawasan terhadap kadar gula
darah. Menurut penelitian yang dilakukan Eftekharian dkk, yang
membandingkan antara penggunaan metilprednisolon 500 mg sehari
intravena selama 3 hari dilanjutkan dengan prednison 1 mg/kg (maksimal
60 mg) selama 11 hari dibandingkan dengan penggunaan prednison 1
mg/kg (maksimal 60 mg) selama 14 hari, didapatkan hasil perbaikan
gangguan pendengaran yang tidak berbeda secara signifikan.2,4,13,19,21
Pemberian kortikosteroid melalui injeksi intratimpani dapat
digunakan sebagai terapi awal, kombinasi dengan terapi lain atau sebagai
terapi penyelamatan (salvage therapy) yang merupakan terapi yang
dilakukan setelah terjadi kegagalan dari terapi awal (terapi sistemik). Injeksi
kortikosteroid intratimpani diberikan pada pasien paska terapi sistemik
dengan perbaikan tidak komplit selama 2 hingga 6 minggu setelah onset
terjadinya gejala. Menurut hasil meta analisis yang dilakukan oleh Crane
dkk, menyatakan bahwa tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara
penggunaan kortikosteroid sistemik dan penggunaan kortikosteroid
intratimpani dalam tatalaksana tuli mendadak ketika digunakan sebagai
terapi primer.1,2,22
Penelitian yang dilakukan oleh Rauch dkk dalam Ballenger yang
melakukan perbandingan pengobatan kortikosteroid oral dibandingkan

22
dengan injeksi kortikosteroid intratimpani untuk tatalaksana tuli mendadak
berupa pemberian prednison oral selama 14 hari 60 mg/hari dengan
pengurangan dosis selama lima hari, dibandingkan dengan pemberian
kortikosteroid intratimpani dengan metilprednisolon 10 mg/ml diberikan
selama 14 hari. Didapatkan hasil kedua terapi kortikosteroid menunjukkan
hasil pengobatan yang sama. Berdasarkan penelitian meta analisis yang
dilakukan oleh Qiang dkk, dari enam artikel yang ditinjau, menyatakan
bahwa penggunaan injeksi kortikosteroid intratimpani memiliki hasil terapi
yang lebih baik dibandingkan dengan penggunaan kortikosteroid
sistemik.1,23

3.5.2. Terapi Oksigen Hiperbarik


Terapi oksigen hiperbarik adalah terapi dengan memberikan oksigen
100% dengan tekanan lebih dari 1 ATA (atmosphere absolute). Terapi ini
bertujuan untuk meningkatkan aliran oksigenasi koklea dan perilimfe,
sehingga diharapkan dapat menghantarkan oksigen dengan tekanan parsial
yang lebih tinggi ke jaringan, terutama koklea yang sangat peka terhadap
keadaan iskemik. Terapi oksigen hiperbarik diperkirakan memiliki efek
yang kompleks pada imunitas tubuh, transpor oksigen dan hemodinamik,
peningkatkan respons normal pejamu terhadap infeksi dan iskemia, serta
mengurangi hipoksia dan edema.1,2,24
Menurut panduan AAO-HNSF, penggunaan terapi oksigen hiperbarik
dikombinasikan dengan penggunaan kortikosteroid dapat digunakan sebagai
terapi inisial dan salvage therapy. Terapi oksigen hiperbarik digunakan
sebagai terapi inisial dalam 2 minggu dari onset kejadian tuli mendadak,
sedangkan terapi oksigen hiperbarik sebagai salvage therapy jika digunakan
dalam 1 bulan dari onset kejadian tuli mendadak. Terapi ini memiliki efek
samping berupa kerusakan pada telinga, sinus, dan paru akibat perubahan
tekanan, klaustrofobia, dan keracunan oksigen.2,24
Dari penelitian yang ada, disebutkan bahwa penggunaan terapi
oksigen hiperbarik menunjukkan manfaat yang signifikan dengan
peningkatan pendengaran sebanyak 50%, dan hasilnya akan lebih baik pada

23
pasien yang dirawat dalam waktu dua minggu setelah onset gangguan
pendengaran. Sebuah studi acak penggunaan terapi oksigen hiperbarik
ditambah prednisolon pada 36 pasien dibandingkan dengan prednisolon saja
pada 21 pasien tidak menunjukkan manfaat yang signifikan dari terapi
kombinasi dibandingkan dengan kortikosteroid saja. Meskipun bukti
kemanjuran klinis agak lemah, Pedoman Praktek Klinis AAO-HNSF
tentang tuli mendadak mencantumkan terapi oksigen hiperbarik sebagai
pilihan pengobatan yang dapat diberikan pada pasien tuli mendadak.1,2,4

3.5.3. Antivirus
Pemberian antivirus dalam terapi tuli mendadak masih menjadi
kontroversi. Dari sebuah penelitian uji klinis prospektif, yang
membandingkan penggunaan asiklovir yang dikombinasikan dengan
prednisolon oral atau valasiklovir yang dikombinasikan dengan prednison
dibandingkan dengan plasebo yang dikombinasikan dengan kortikosteroid,
didapatkan hasil bahwa penambahan antivirus dalam tatalaksana tuli
mendadak tidak menunjukkan hasil peningkatan pendengaran. Antiviral
tidak menjadi pengobatan yang wajib diberikan kecuali jika penyebabnya
diketahui adalah virus.1,2

3.5.4. Vasodilator
Vasodilator telah banyak digunakan dalam terapi tuli mendadak.
Obat-obat vasodilator dapat menembus sawar darah otak dan meningkatkan
sirkulasi intrakranial, sehingga dapat meningkatkan aliran darah ke koklea
dan dapat mengatasi hipoksia. Obat-obat vasodilator yang digunakan
diantaranya papaverin (untuk melebarkan pembuluh darah), histamin,
asam nikotinat, prokain, niasin, dan inhalasi karbogen. Inhalasi karbogen
(5% karbon dioksida dan 95% oksigen) sebagai terapi tuli mendadak
dikenalkan oleh Fisch dkk dimana karbogen memiliki efek vasodilatasi
terhadap pembuluh darah di intrakranial. Tetapi dari penelitian yang ada,
penggunaan vasodilator tidak terbukti lebih unggul dari plasebo.1,2

24
Agen vasoaktif seperti prostaglandin E1 menunjukkan efektivitas
sebagai vasodilator dan penghambat agregasi trombosit. Naftidrofuril
berperan sebagai vasodilator dengan efek antagonis terhadap serotonin dan
tromboksan A2. Kalsium antagonis berperan sebagai vasodilator dengan
melawan kontraksi sel-sel otot polos pada dinding pembuluh darah. Ekstrak
Ginko biloba mengandung zat flavones dan terpenes yang dapat mencegah
perkembangan zat radikal bebas pada kasus iskemia yang berhubungan
dengan gangguan metabolik. Pentoksifilin meningkatkan fleksibilitas
eritrosit dan leukosit serta menghambat agregasi trombosit sehingga
memperbaiki viskositas darah, terutama pembuluh kapiler. Menurut
panduan terbaru AAO-HNSF pemberian antivirus, trombolitik, vasodilator,
atau substansi vasoaktif pada pasien dengan tuli mendadak tidak diberikan
secara rutin.1,2,10,13

3.5.5. Pembedahan
Tindakan pembedahan pada kasus tuli mendadak dilakukan pada
kasus dengan tes fistula positif atau adanya riwayat trauma kepala atau
barotrauma berupa terjadinya fistula perilimfe pada round window dan oval
window. Kebocoran cairan perilimfe menyebabkan tuli mendadak
dihubungkan dengan teori ruptur membran intrakoklear. Tekanan rendah
perilimfe disebabkan fistula menyebabkan hidrops endolimfatik koklear.
Tindakan pembedahan dalam memperbaiki fistula perilimfatik ini masih
menjadi kontroversi. Bila gangguan pendengaran tidak sembuh dengan
penatalaksanaan tersebut, alat bantu dengar (hearing aid) dapat menjadi
pertimbangan pengobatan. Rehabilitasi pendengaran dimaksudkan agar sisa
pendengaran yang ada dapat digunakan secara maksimal.1,2,25

25
Pasien tuli mendadak

CHL
Gangguan pendengaran konduktif disingkirkan Keluar dari panduan

Ya
Penilaian faktor: bilateral, rekuren, penilaian
Keluar dari panduan
neurologis

Tidak

Pemeriksaan CT scan (tidak rutin


dilakukan)

Pemeriksaan laboratorium (tidak rutin


dilakukan)

Penegakan gangguan pendengaran SNHL Penilaian patologi retrokoklear dengan Auditory


sensorineural berdasarkan hasil Brainstem Responses (ABR) atau Magnetik
audiogram Resonance Imaging (MRI)

CHL
Edukasi pasien
Keluar dari panduan

Tidak meresepkan antibiotik

Pemberian: Ya Apakah pasien mengalami onset tuli mendadak


Kortikosteroid selama 2 minggu?
Terapi oksigen hiperbarik
Tidak
Tidak
Penilaian ulang derajat gangguan Apakah pasien mengalami onset tuli mendadak Konsul rehabilitasi
pendengaran 2 hingga 6 minggu dari selama 2-6 minggu? pendengaran
onset tuli mendadak
Ya
Tidak Ya
Perbaikan Apakah pasien mengalami onset tuli mendadak
selama 1 bulan?
Ya Tidak

Penggunaan oksigen
Keluar dari panduan Injeksi Kortikostreoid Intratimpani sebagai
hiperbarik sebagai
salvage theraphy
salvage theraphy

Penilaian perbaikan

Ya Tidak
Konsul rehabilitasi
Keluar dari panduan Perbaikan total pendengaran

Gambar 5. Alur Panduan Praktek Klinis Tuli Mendadak Menurut AAO-HNSF2

26
3.6. Prognosis
Evaluasi audiometri penting untuk menilai efektifitas pengobatan pada tuli
mendadak. Evaluasi dilakukan dengan membandingkan hasil audiometri awal dan
sesudah dilakukan terapi. Kriteria yang digunakan untuk evaluasi fungsi
pendengaran adalah kriteria Siegel, yaitu pulih total (ambang dengar kurang dari
25 dB), pulih sebagian (ambang dengar 25-45 dB, atau terjadi kenaikan ambang
dengar lebih dari 25 dB), pulih minimal (kenaikan ambang dengar lebih dari 15
dB, atau terdapat ambang dengar lebih dari 45 dB) dan tidak ada pemulihan
(perbaikan ambang dengar kurang dari 15 dB, atau ambang dengar lebih buruk
dari 75 dB). Xie dkk melakukan evaluasi pada 129 pasien dengan tuli mendadak,
dan didapatkan hasil sebanyak 56,4% pasien mengalami perbaikan fungsi
pendengaran ketika mendapat terapi kurang dari 10 hari dari onset kejadian,
sebanyak 7,3% pada onset 10-21 hari, dan sebanyak 1,8% pada onset 22-30
hari.13,20,26
Prognosis tuli mendadak tergantung pada beberapa faktor yaitu adanya
faktor resiko, usia pasien, ada tidaknya keluhan vertigo, derajat gangguan
pendengaran, dan waktu antara onset kejadian tuli mendadak dengan diberikannya
terapi. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Hidayat dkk, pasien dengan onset
0-7 hari dapat terjadi peningkatan jumlah pasien yang mengalami perbaikan
pendengaran dari 30,76% (4 kasus) pada minggu pertama, sebanyak 61,54% (8
kasus) pada minggu kedua, sedangkan pada pasien dengan onset 8-14 dan >14
hari tidak menunjukkan adanya perbaikan pendengaran.2,15,21
Perbaikan spontan tanpa pengobatan pada kasus tuli mendadak berkisar
32% sampai 65%, dan umumnya terjadi dalam 2 minggu pertama setelah onset
penurunan pendengaran. Edizer dkk dalam penelitiannya menunjukkan perbaikan
spontan tanpa pengobatan pada 59 % (121 pasien) kasus tuli mendadak idiopatik.
Selain itu Edizer dkk juga menyatakan pendengaran derajat sangat berat, usia
diatas 60 tahun, keterlambatan pengobatan (lebih dari 10 hari) dan hipertensi
merupakan prognosis buruk kesembuhan pada kasus tuli mendadak. Terdapat
beberapa literatur yang menyatakan bahwa pasien tuli mendadak dengan adanya
keluhan berupa tinitus memiliki prognosis yang lebih baik daripada pasien dengan
keluhan vertigo. Adanya vertigo mempunyai prognosis yang lebih buruk

27
dibandingkan tidak disertai vertigo, karena adanya vertigo menandakan adanya
kerusakan yang sudah mengenai sistem keseimbangan.1,2,10,27
Beberapa penelitian menyebutkan bahwa adanya tinitus pada pasien tuli
mendadak memiliki angka kesembuhan yang lebih tinggi secara signifikan bila
dibandingkan dengan kelompok tanpa tinitus. Hal ini menyatakan bahwa adanya
keluhan tinitus setelah kerusakan koklea mengindikasikan sel rambut getar masih
dapat diselamatkan dan menandakan masih adanya fungsi pendengaran. Pada
penelitian yang dilakukan Ghanie dkk, menyimpulkan bahwa terdapat
faktor-faktor prediktor yang membuat kegagalan dari terapi tuli mendadak, seperti
penurunan pendengaran pada kedua telinga, onset saat mendapatkan terapi lebih
dari 7 hari, dan derajat gangguan pendengaran yang berat berdasarkan audiometri.
Adanya vertigo pada saat onset terjadinya tuli mendadak dihubungkan dengan
kasus yang berat dan berhubungan dengan prognosis yang buruk untuk perbaikan
dari pendengarannya.2,16,25
Evaluasi pendengaran pada pasien dengan tuli mendadak harus dilakukan
secara jangka panjang. Pasien dengan perbaikan parsial atau tidak adanya
perbaikan gangguan pendengaran dengan atau tanpa adanya tinitus membutuhkan
tatalaksana berkelanjutan dari bidang otologi, audiologi dan psikologi.
Rehabilitasi pendengaran dilakukan pada pasien dengan keluhan gangguan
pendengaran dan tinitus yang masih dialami pasien setelah dilakukan terapi.
Follow up audiometri pasien dilakukan selama 6 bulan paska terapi.1,2,10

28
BAB IV
INJEKSI INTRATIMPANI

4.1. Mekanisme Penghantaran Obat pada Telinga Dalam


Obat dapat masuk ke telinga bagian dalam melalui aliran darah atau secara
lokal. Telinga bagian dalam dapat diakses melalui oval window dan round window
dengan cara difusi atau injeksi obat ke dalam perilimfe. Telinga bagian dalam juga
berhubungan dengan ruang serebrospinal melalui saluran koklea. Suplai darah ke
bagian telinga dalam berasal dari cabang arteri serebelar anterior inferior. Jalur
obat ke telinga bagian dalam dapat melalui telinga tengah, dengan injeksi
langsung ke telinga bagian dalam atau distribusi melalui sirkulasi sistemik.
Telinga bagian dalam dipisahkan dari sirkulasi sistemik oleh sawar darah koklea
yang membatasi penetrasi molekul yang lebih besar. Pendekatan yang dapat
dilakukan untuk meningkatkan ketersediaan obat yang diberikan secara sistemik
adalah dengan mengubah permeabilitas sawar darah koklea. Dikarenakan efek
samping obat yang digunakan untuk telinga bagian dalam, baik efek samping
sistemik dan saraf pusat, maka dikembangkan pemberian obat secara lokal dengan
metode injeksi intratimpani.28,29,30

Gambar 6. Transportasi Obat ke Telinga Tengah29

Telinga tengah dapat digunakan sebagai jalur masuk untuk obat-obatan


yang kemudian dapat berdifusi melalui round window. Round window merupakan
membran tiga lapis yang memisahkan skala timpani dengan ruang telinga tengah,
dan bersifat semipermeabel. Round window terdiri dari lapisan epitel luar yang
menghadap telinga tengah, inti pusat jaringan ikat dan epitel dalam yang
menghadap ke skala timpani. Epitel luar terdiri dari satu lapisan sel dengan

29
mikrovili yang jarang. Lapisan jaringan ikat terdiri dari fibroblas, kolagen, mielin
dan serabut saraf tak bermielin, pembuluh darah dan pembuluh limfatik. Epitel
bagian dalam terdiri dari epitel skuamosa dengan ekstensi lateral yang tumpang
tindih. Terdapat ruang ekstraseluler yang luas yang memungkinkan sekuestrasi
dan transportasi substansi obat.18,28,30

Gambar 7. Transportasi Obat Injeksi Intratimpani31

Distribusi molekul melalui koklea bergantung pada ukuran koklea dan


koefisien difusi zat yang ditempatkan pada round window. Salah satu masalah
mendasar dalam pemberian obat ke telinga bagian dalam melalui round window
adalah jika dalam posisi duduk atau berdiri obat dapat keluar dari round window
oleh gaya gravitasi. Untuk meningkatkan efektivitas pemberian obat, obat harus
dimodifikasi misalnya dengan langsung menyuntikkan obat ke telinga bagian
dalam untuk mencegah masalah kontak dan difusi. Pengiriman obat ke telinga
tengah masuk ke telinga bagian dalam terjadi melalui membran round window
dan selanjutnya dipengaruhi oleh kandungan larutan pada obat. Terdapat
penelitian mengenai absorpsi obat melalui ligamentum stapedio-vestibular yang
memungkinkan distribusi ke skala vestibuli. Distribusi obat pada skala timpani
bersifat pasif dan didistribusikan ke telinga bagian dalam melalui proses difusi.
Eliminasi obat dari koklea tergantung pada metabolisme atau eliminasi ke dalam
darah. Perbaikan dalam transportasi dapat dicapai dengan meningkatkan
permeabilitas membran round window atau formulasi obat yang kontak dengan
membran round window untuk periode waktu yang lebih lama.28,29,30

30
Gambar 8. Skema Absorbsi Obat secara sistemik, intrakoklear, dan intratimpani18

4.2. Kortikosteroid
Kortikosteroid terbagi menjadi dua golongan utama, yaitu glukokortikoid
dan mineralokortikoid. Golongan glukokortikoid adalah kortikosteroid yang efek
utamanya menyimpan glikogen hepar dan inflamasi, sedangkan golongan
mineralokortikoid memiliki efek utama pada keseimbangan air dan elektrolit.
Glukokortikoid sintetik yaitu deksametason, prednison, metilprednisolon,
triamsinolon dan betametason. Kortikosteroid mempercepat retensi natrium dan
ekskresi kalium. Ion natrium direabsorbsi dari tubulus ginjal sebagai ganti dari ion
kalium. Glukokortikoid mempunyai efek mengurangi manifestasi peradangan dan
memiliki efek terhadap konsentrasi, distribusi dan fungsi leukosit perifer serta
penghambatan aktivitas fosfolipase A2.9,18,28,32
Pemberian dosis tunggal glukokortikoid kerja singkat, konsentrasi neutrofil
meningkat sedangkan jumlah limfosit (sel T dan B), monosit, eosinofil, dan
basofil dalam sirkulasi menurun. Peningkatan neutrofil disebabkan oleh
peningkatan influks dari sumsum tulang dan penurunan migrasi dari pembuluh
darah, yang menyebabkan pengurangan jumlah sel pada daerah peradangan.
Glukokortikoid menghambat fungsi leukosit dan jaringan makrofag. Efek
makrofag membatasi kemampuan memfagositosis dan membunuh
mikroorganisme dan memproduksi interleukin-1, pirogen, kolagenase, elastase,
faktor nekrosis tumor, dan aktivator plasminogen. Dosis besar glukokortikoid
menstabilkan membran lisosom, sehingga mengurangi konsentrasi enzim
proteolitik pada tempat peradangan. Agen yang dipakai untuk mengobati
insufisiensi adrenokortikal terdiri dari glukokortikoid dan mineralokortikoid,
sedangkan obat yang dipakai untuk antiinflamasi atau imunosupresif terutama
mengandung glukokortikoid.9,18,28,32

31
Glukokortikoid adalah sebagai anti radang setempat, antiproliferatif dan
imunosupresif. Melalui proses penetrasi, glukokortikoid masuk ke dalam inti
sel-sel lesi, berikatan dengan kromatin gen tertentu, sehingga aktivitas sel-sel
tersebut mengalami perubahan. Sel-sel ini dapat menghasikan protein baru yang
dapat membentuk atau menggantikan sel-sel yang tidak berfungsi, mengambat
mitosis (anti proliferatif), bergantung pada jenis dan stadium proses radang.
Glukokortikoid juga dapat mengadakan stabilisasi membran lisosom, sehingga
enzim-enzim yang dapat merusak jaringan tidak dikeluarkan. Efek samping
glukokortikoid akibat penggunaan dosis tinggi dan pemakaian yang lama adalah
peningkatan gula darah, deposit lemak yang abnormal di wajah dan tubuh (moon
face, buffalo hump), pengecilan ukuran ekstremitas, edema, retensi natrium dan air,
hipertensi, euforia atau psikosis, glaukoma, tukak peptik, retardasi pertumbuhan.
Terapi kortikosteroid harus diturunkan perlahan untuk memberikan kesempatan
bagi korteks adrenal memproduksi kortisol dan kortikosteroid lain. Penghentian
obat secara mendadak dapat menyebabkan insufisiensi adrenokortikal
berat.18,28,32,33

Tabel 3. Jenis-jenis Kortikosteroid32

Obat yang menginduksi enzim-enzim hepatik, seperti fenobarbital, fenitoin,


dan rifampisin dapat meningkatkan klirens kortikosteroid. Terapi kortikostreoid

32
jika diberikan bersama-sama obat-obat tersebut, maka dosis kortikosteroid harus
ditingkatkan untuk mendapatkan hasil sebagaimana yang diharapkan. Obat seperti
troleandomisin dan ketokonazol dapat menghambat metabolisme kortikosteroid,
dan akibatnya akan menurunkan klirens atau ekskresi kortikosteroid, dan jika
diberikan bersamaan, maka dosis kortikosteroid harus disesuaikan untuk
menghindari toksisitas steroid. Kortikosteroid dapat meningkatkan klirens aspirin
dosis tinggi yang diberikan secara kronis.22,29,32,33

4.2.1. Deksametason
Deksametason merupakan kortikosteroid adrenal sintetis.
Deksametason memiliki efek glukokortikoid yang poten, namun efek
mineralokortikoid minimal. Secara farmakodinamik deksametason dapat
melewati membran sel dan berikatan dengan reseptor glukokortikoid di
sitoplasma. Kerja utama deksametason adalah untuk menekan proses
peradangan akut. Aktivitas anti-inflamasi deksametason dengan jalan
menekan atau mencegah respon jaringan terhadap proses inflamasi dan
menghambat akumulasi sel yang mengalami inflamasi, termasuk makrofag
dan leukosit pada tempat inflamasi.2,19,32,34
Pemberian deksametason secara oral maupun intramuskular memiliki
lama kerja yang panjang. Kompleks antara deksametason dan reseptor
glukokortikoid dapat berikatan dengan DNA sehingga terjadi modifikasi
transkripsi dan sintesis protein, dan menyebabkan infiltrasi leukosit
terhambat, mediator inflamasi terganggu, dan edema jaringan berkurang.
Selain itu, deksametason juga menghambat phospholipase A2,
menyebabkan tidak terbentuk prostaglandin dan leukotrien yang merupakan
mediator inflamasi kuat. Secara farmakokinetik deksametason cukup baik,
dengan onset kerja obat bergantung pada rute pemberian. Durasi kerja
deksametason sekitar 72 jam. Absorpsi deksametason secara oral mencapai
61–86%. Onset tergantung rute pemberian. Peak serum time oral tercapai
dalam 1-2 jam, intramuskular 30-120 menit, dan intravena 5-10 menit.
Deksametason yang disuntikan secara intratimpani mencapai puncak dalam
30 menit dan bertahan selama 60 menit.2,19,21,32

33
Deksametason didistribusikan dengan berikatan dengan protein
sebanyak 70%. Deksametason dapat melewati sawar plasenta.
Deksametason dimetabolisme di hati oleh enzim CYP3A4. Waktu paruh
deksametason sekitar 190 menit. Ekskresi sebagian besar melalui urine
(65%), sebagian kecil melalui feses. Pada penelitian yang dilakukan
Chandrasekhar dkk, pemberian deksametason intratimpani memiliki
konsentrasi yang lebih tinggi pada perilimfa dibandingkan dengan
pemberian deksametason secara intravena. Dosis pemberian deksametason
secara intratimpani yaitu 4 mg/mL, 10 mg/mL, 24 mg/mL. Deksametason
berinteraksi dengan beberapa obat, yaitu fenitoin, teofilin, rifampin,
barbiturat dan antasid megurangi kerja deksametason, sedangkan aspirin,
NSAID, dan estrogen mengingkatkan kerja deksametason. Deksametason
mengurangi efek antikoagulan oral dan antidiabetik oral. Dosis insulin atau
antidiabetik oral perlu ditingkatkan karena deksametason dapat
meningkatkan kadar gula darah.2,19,21,32

4.2.2. Metilprednisolon
Metilprednisolon adalah suatu glukokortikoid sintetik dan diabsorpsi
secara cepat melalui saluran pencernaan. Glukokortikoid menghambat
fungsi makrofag jaringan dan sel penyebab antigen lainnya. Kemampuan
sel untuk bereaksi terhadap antigen dan mitogen diturunkan. Efek terhadap
makrofag terutama menandai dan membatasi kemampuannya untuk
memfagosit dan membunuh mikroorganisme serta menghasilkan tumor
nekrosis factor-a, interleukin-1, metalloproteinase dan activator
plasminogen. Selain efeknya terhadap fungsi leukosit, glukokortikoid
mempengaruhi reaksi inflamasi dengan cara menurunkan sintesis
prostaglandin, leukotrien dan platelet activating factor.2,11,32,35
Glukokortikoid menurunkan atau mencegah respon jaringan terhadap
proses inflamasi, karena itu menurunkan gejala inflamasi tanpa dipengaruhi
penyebabnya. Glukokortikoid menghambat akumulasi sel inflamasi,
termasuk makrofag dan leukosit pada lokasi inflamasi. Metilprednisolon
juga menghambat fagositosis, pelepasan enzim lisosomal, sintesis dan atau

34
pelepasan beberapa mediator kimia inflamasi. Meskipun mekanisme yang
pasti belum diketahui secara lengkap, kemungkinan efeknya melalui
blokade faktor penghambat makrofag (MIF), menghambat lokalisasi
makrofag: reduksi atau dilatasi permeabilitas kapiler yang terinflamasi dan
mengurangi lekatan leukosit pada endotelium kapiler, menghambat
pembentukan edema dan migrasi leukosit; dan meningkatkan sintesis
lipomodulin (macrocortin), suatu inhibitor fosfolipase A2-mediasi
pelepasan asam arakhidonat dari membran fosfolipid, dan hambatan
selanjutnya terhadap sintesis asam arakhidonat-mediator inflamasi derivat
(prostaglandin, tromboksan dan leukotrien). Kerja immunosupresan juga
dapat mempengaruhi efek antiinflamasi.1,2,11,32,35
Metilprednisolon merupakan kortikosteroid dengan kerja
intermediate yang termasuk kategori adrenokortikoid, antiinflamasi dan
imunosupresan. Secara farmakodinamik metilprednisolon menghambat
respon imun awal dalam respon inflamasi serta menginisiasi resolusi dari
proses inflamasi. Dalam fase akut, metilprednisolon menginhibisi
vasodilatasi dan permeabilitas vaskular sehingga menurunkan emigrasi
leukosit ke jaringan. Metilprednisolon juga mengubah distribusi leukosit
dan program diferensiasi selular lewat inhibisi transkripsi reseptor
glukokortikoid (GR) secara langsung maupun tidak langsung.
Metilprednisolon menekan transkripsi gen sitokin proinflamasi dan
kemokin, molekul adhesi, dan enzim yang berperan dalam inisiasi respon
inflamasi.1,2,11,32,35
Metilprednisolon oral diabsorpsi dengan cepat, dalam onset 1-2 jam
sudah mencapai puncak, dan bertahan selama 30-36 jam. Pemberian secara
intramuskular mencapai puncak dalam 4-8 hari dan bertahan selama 1-4
minggu. Pemberian intraartikular mencapai puncak dalam 1 minggu dan
bertahan selama 1-5 minggu. Metilprednisolon dimetabolisme secara
ekstensif di liver menjadi glukuronida inaktif dan metabolit sulfat.
Metabolit inaktif dan sebagian kecil obat dalam bentuk tidak diubah
diekskresikan melalui ginjal. Sebagian kecil diekskresikan dalam feses.

35
Waktu paruh metilprednisolon adalah 3-3,5 jam. Dosis pemberian
metilprednisolon secara intratimpani yaitu 30 mg/mL, 40 mg/mL.1,2,11,32,35

4.3. Injeksi Kortikosteroid Intratimpani


Injeksi intratimpani adalah suatu prosedur dimana konsentrasi tinggi obat
mencapai koklea dan efek samping sistemik diminimalkan. Obat yang
dimasukkan secara sistemik cenderung mencapai target yang tidak diinginkan dan
kemungkinan memiliki efek samping. Oleh karena itu dikembangkan senyawa
yang mampu mengobati penyakit telinga bagian dalam termasuk gangguan
pendengaran, gangguan keseimbangan dan tinitus. Telinga bagian dalam
merupakan salah satu organ target untuk pemberian obat. Akses obat dibatasi oleh
sawar darah koklea, yang secara anatomis dan secara fungsional mirip dengan
sawar darah otak. Koklea dikelilingi oleh tulang keras. Struktur pendengaran di
dalam koklea sangat halus, terutama sel-sel rambut yang melapisi membran
basilar di dalam organ korti. Organ Corti di dalam koklea sangat sensitif terhadap
tegangan, kerusakan mekanis dan kerusakan kimiawi. Selain sensitif terhadap
perubahan cairan, volume cairan koklea hanya sebanyak 80 μl, dan karena itu
rentan terhadap perubahan yang sangat kecil dalam volume cairan total.9,28,36,37,38
Membran round window merupakan jalur masuk dari obat kortikosteroid
intratimpani menuju skala timpani yang merupakan membran semipermeabel
yang terdiri dari epitel kubus dengan jaringan ikat. Pada lapisan ini, terdapat serat
kolagen dan elastik, fibrosit, fibroblas, pembuluh darah dan serabut saraf.
Obat-obatan dapat masuk dari lapisan ini masuk menuju telinga bagian dalam.
Beberapa faktor yang mempengaruhi penyebaran obat ke perilimfe yaitu,
permeabilitas dan ketebalan dari round window. Adanya jaringan fibrosa, waktu
paparan obat, dosis, konsentrasi obat, ukuran partikel obat, farmakokinetik dari
obat, metode pemberian, sensitivitas individu terhadap obat, dan farmakodinamik
di telinga dalam.9,28,39
Jenis obat yang paling banyak digunakan saat ini untuk injeksi intratimpani
adalah kortikosteroid. Kortikosteroid digunakan untuk pengobatan tuli mendadak.
Kortikosteroid memiliki efek dengan memodulasi jalur proinflamatori di bagian
telinga dalam. Imunosupresi mengurangi kerusakan struktur telinga bagian dalam

36
yang disebabkan oleh peradangan. Peradangan dapat disebabkan oleh infeksi,
hipoksia, iskemik, mekanis dan autoimun. Kortikosteroid juga mempengaruhi
retensi natrium dan kadar glukosa darah. Deksametason memiliki efek
anti-inflamasi yang tinggi dan retensi natrium yang rendah serta efek
hiperglikemik dibandingkan ke kortikosteroid lain. Kortikosteroid mengikat
reseptor membran pada sel telinga bagian dalam dan melintasi membran sel dan
membran inti untuk mempengaruhi transkripsi gen dan terbukti memberikan efek
pada epitel telinga bagian dalam dengan memodulasi pengangkut ion membran
tersebut sebagai natrium-kalium ATPase dan kanal natrium epitelial (ENaC).
Kortikostreoid juga melindungi terhadap kerusakan inflamasi dimediasi oleh
sitokin seperti TNF-α. Kortikosteroid mencapai konsentrasi pada perilimfe yang
lebih tinggi ketika diberikan melalui jalur intratimpani daripada secara
intravena.1,2,28,38,40
Injeksi kortikosteroid intratimpani ke telinga tengah telah menjadi alternatif
dalam penatalaksaan tuli mendadak atau sebagai terapi tambahan untuk perawatan
sistemik. Terdapat 3 protokol penggunaan kortikosteroid intratimpani pada kasus
tuli mendadak, yaitu sebagai terapi awal dan terapi utama tanpa terapi steroid
sistemik, terapi kombinasi bersamaan dengan steroid sistemik dan terapi
penyelamatan (salvage therapy) setelah terapi kortikosteroid sistemik gagal.
Injeksi kortikosteroid intratimpani dapat mencapai dosis yang lebih tinggi pada
organ target sekaligus mengurangi risiko efek samping sistemik. Injeksi
kortikosteroid intratimpani digunakan sebagai terapi primer pada pasien yang
tidak dapat menggunakan steroid sistemik, seperti pasien hipertensi dan diabetes
melitus tidak terkontrol.2,9,20,39
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Baretto dkk, penggunaan injeksi
kortikosteroid intratimpani sebanyak 23,3% digunakan sebagai terapi awal.
Menurut panduan AAO-HNSF, terapi injeksi intratimpani digunakan sebagai
salvage therapy pada kasus pasien tuli mendadak yang mengalami perbaikan
inkomplit setelah terapi awal dan diberikan pada 2 hingga 6 minggu dari onset
kejadian tuli mendadak. Kortikosteroid yang umumnya digunakan untuk injeksi
intratimpani adalah deksametason dan metilprednisolon. Dosis deksametason
bervariasi antara 4-25 mg/ml sedangkan dosis metilprednisolon antara 32-62.5

37
mg/ml. Dimana konsentrasi yang lebih tinggi memiliki hasil yang lebih baik.
Menurut panduan AAO-HNSF, injeksi steroid intratimpani diberikan 0.3 - 0.8 ml
setiap 3 sampai 7 hari sebanyak 3 sampai 4 kali injeksi dan beberapa ahli
merekomendasikan injeksi dapat diberhentikan ketika pendengaran membaik atau
setelah 4 kali suntikan, dan beberapa penelitian menyebutkan setelah 6 kali
suntikan. Kortikosteroid yang disuntikkan harus didiamkan pada telinga selama
15-30 menit setelah disuntikkan. Sampai saai ini belum ada konsensus yang
menyatakan bagaimana kortikosteroid intratimpani harus diberikan ke telinga
tengah. Kortikosteroid bisa diberikan melalui suntikan, miringotomi atau dengan
pemasangan grommet.2,9,21,26

Gambar 9. Metode Pemberian Obat Intratimpani


(a) Injeksi intratimpani (b) Timpanostomi tube (c) Silverstain Microwick
(d) Kateter yang ditanamkan dalam round window 28,36

Dari beberapa penelitian, penggunaan deksametason sebagai kortikosteroid


intratimpani lebih sering digunakan karena penyerapan yang lebih cepat ke dalam
sel-sel pembuluh darah dan jaringan sekitarnya, dan ada pendapat bahwa
deksametason menunjukkan efektifitas yang lebih baik. Hasil meta analisis yang
dilakukan oleh Hui dkk pada 5 jurnal, menunjukkan bahwa deksametason lebih
efektif daripada metilprednisolon. Penggunaan deksametason sebagai salvage
therapy setelah kegagalan pengobatan menggunakan kortikosteroid sistemik
sebagai terapi awal menunjukkan hasil perbaikan yang signifikan. Penelitian yang
dilakukan Shewel dkk, menyatakan bahwa pemberian injeksi deksametason 10
mg/ml sebanyak 2 kali penyuntikan per minggu dengan total 4 kali penyuntikan
memiliki efektifitas perbaikan pendengaran yang lebih baik dibandingkan dengan
pemberian deksametason 4 mg/ml. Menurut penelitian Kim dkk, yang
membandingkan penggunaan kortikosteroid deksametason dibandingkan dengan

38
metilprednisolon, tidak ada perbedaan bermakna antara keduanya dalam
penyembuhan tuli mendadak menurut kriteria Siegl. Deksametason lebih sering
digunakan karena metilprednisolon sering menyebabkan efek samping nyeri dan
rasa terbakar pada telinga saat diberikan untuk terapi tuli mendadak.14,21,40,41
Penelitian yang dilakukan Sung dkk, sebanyak 51 pasien dilakukan injeksi
kortikosteroid intratimpani dengan 0,4-0,6 ml deksametason. Dilakukan penelitian
dengan membandingkan pemberian injeksi kortikosteroid setiap hari selama 4 hari
pada 27 kasus dan penyuntikan dengan interval 2 hingga 3 hari sebanyak 4 kali
pada 24 kasus. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan
bermakna antara injeksi kortikosteroid dengan interval 1 hari dibandingkan
dengan interval penyuntikan 2 hingga 3 hari. Hal ini juga sama dengan penelitian
yang dilakuan Sugihara dkk yang melakukan penelitian mengenai interval
pemberian injeksi intratimpani. Dilakukan penelitian pada 70 pasien dengan
pemberian injeksi kortikosteroid dengan interval 1-4 hari pada 21 kasus, 5-10 hari
pada 29 kasus dan 11-30 hari pada 20 kasus. Penyuntikan kortikosteroid 0,4 ml
deksametason 10 mg/ml diberikan minimal 2 kali. Dari hasil penelitian injeksi
yang dilakukan setiap beberapa hari dan beberapa minggu memiliki hasil
perbaikan pendengaran yang tidak terlalu bermakna. Hasil penelitian yang
dilakukan oleh Suzuki dkk, juga menyatakan bahwa tidak ada perbedaan
bermakna antara rasio penyembuhan dan perbaikan pendengaran dihubungkan
dengan interval pemberian injeksi kortikosteroid intratimpani.20,25,38
Penggunaan kortikosteroid sistemik memiliki tingkat efek samping yang
lebih tinggi bila dibandingkan dengan kortikosteroid intratimpani. Penggunaan
kortikosteroid sistemik dapat menyebabkan peningkatan kadar gula darah,
osteoporosis, penambahan berat badan, penekanan adrenal, nekrosis avaskular
femur, penyakit tukak lambung, pembentukan katarak, hipertensi, nekrosis
avaskular, miopati, psikosis, dan imunosupresi yang menyebabkan infeksi atau
keganasan. Kortikosteroid intratimpani tidak memiliki efek ini. Efek samping
lokal termasuk nyeri dan tekanan. Pada beberapa kasus, injeksi intratimpani dapat
menyebabkan perforasi membran timpani kronis atau otitis media. Tingkat
perforasi lebih tinggi untuk pasien yang menggunakan tabung timpanostomi yang
dipasangkan dengan microwick.1,23,41,42,43

39
Beberapa penelitian mencari metode untuk meningkatkan efektifitas dan
meningkatkan sediaan obat pada round window dalam pemberian kortikosteroid
intratimpani yaitu berupa penggunaan mikrokateter, microwick, maupun tuba
timpanostomi. Modifikasi kortikosteroid juga telah dicoba untuk meningkatkan
waktu kontak dengan round window. Dikembangkan penggunaan polimer yang
dikombinasikan dengan kortikosteroid. Polimer ini berbentuk cair pada suhu
kamar, dan bila dipanaskan pada suhu tubuh menjadi bentuk gel. Oleh karena itu
ketika disuntikkan ke dalam round window, sediaan tersebut akan menjadi
reservoir untuk pelepasan kortikosteroid yang berkelanjutan dalam waktu yang
lama.1,34,35,37,42

Gambar 10. Injeksi Intratimpani30

4.4. Prosedur Injeksi Intratimpani


Sebelum melakukan injeksi intratimpani, pasien harus diposisikan agar obat
yang disuntikkan dapat terserap secara maksimal. Pasien ditempatkan dalam
posisi terlentang. Kepala pasien ditolehkan sebesar 45-53o dari sumbu kepala dan
kepala ditinggikan kurang lebih 30o-45o. Kotoran dan serumen dibersihkan dari
liang telinga. Diberikan anastesi lokal dengan menggunakan lidokain spray 0,1
gr/ml yang dapat diletakkan pada kapas dan diletakkan hati-hati pada membran
timpani. Dilakukan penyuntikan kortikosteroid baik menggunakan 0,4-0,6 ml
deksametason 5 mg/ml atau 0,3-0,5 ml metilprednisolon 40 mg/ml yang telah
dipanaskan sesuai temperatur tubuh ke daerah postero inferior membran timpani.
Dilakukan penyuntikan kortikosteroid dengan menggunakan spuit 1 ml dengan
jarum spinal ukuran 23 atau 25 dibawah mikroskop. Obat dipertahankan pada
round window selama mungkin. Pasien dipertahankan dalam posisi terlentang
dengan telinga yang sakit menghadap ke atas selama 10 hingga 30 menit. Selama

40
penyuntikan, pasien diinstruksikan untuk tidak menelan atau berbicara agar
penyerapan obat ke daerah round window dapat maksimal dan menjaga agar obat
tidak keluar melalui tuba eustachius.11,19,34,37,38,43

Gambar 10. Posisi Pasien Injeksi Intratimpani43

4.5. Komplikasi Injeksi Intratimpani


Injeksi intratimpani memiliki keuntungan berupa injeksi intratimpani
kortikosteroid dapat dilakukan melalui prosedur rawat jalan, dapat dikelola
dengan mudah, dapat diberikan langsung setelah diagnosis, dapat diberikan pada
pasien dimana kortikosteroid sistemik kontraindikasi untuk diberikan (seperti
imunodefisiensi, HIV, tuberkulosis, diabetes), dan merupakan konsentrasi obat
yang tinggi bila diberikan langsung ke telinga yang terkena. Injeksi intratimpani
merupakan prosedur invasif dan dapat menyebabkan komplikasi berupa nyeri saat
dilakukan tindakan, vertigo, dizziness, perforasi membran timpani, otitis media,
dan gangguan pendengaran. Perforasi membran timpani dapat terjadi pada daerah
injeksi, tetapi komplikasi ini jarang dan biasanya perforasi dapat resolusi
sendiri.2,9,34,38,40
Dari penelitian yang dilakukan Hui dkk, injeksi intratimpani memiliki
komplikasi saat dilakukan tindakan berupa dizziness, nyeri telinga, tinitus, dan
perforasi membran timpani. Dari 203 kasus tuli mendadak, didapatkan 3 kasus
yang mengalami komplikasi berupa perforasi membran timpani saat dilakukan
tindakan. Satu kasus sembuh spontan, satu kasus ditatalaksana dengan paper
patch, dan satu kasus dilakukan tindakan miringoplasti (pada pasien yang
dilakukan pemasangan kateter pada round window). Tidak dilaporkan komplikasi
berupa infeksi yang terjadi setelah dilakukan tindakan injeksi intratimpani.

41
Penelitian yang dilakukan Patar dkk, dari 22 pasien yang dilakukan injeksi
intratimpani, didapatkan sebanyak 72,72% pasien mengalami nyeri saat
penyuntikan yang hilang dalam menit hingga jam, sebanyak 27,27% pasien
mengalami komplikasi berupa dizziness, sebanyak 18,18% mengalami komplikasi
berupa tinitus dan hilang dalam beberapa jam. Pada beberapa pasien didapatkan
rasa nyeri dan rasa terbakar pada daerah telinga akibat efek samping penggunaan
metilprednisolone, dan membaik sekitar 10 hingga 20 menit setelah dilakukan
injeksi. Tidak ada komplikasi serius saat dilakukan terapi.11,40

42
BAB V
KESIMPULAN

Tuli mendadak merupakan salah satu kegawatdaruratan neurotologi dan


harus ditatalaksana secepatnya. Tuli mendadak atau sudden deafness atau sudden
sensorineural hearing loss (SSNHL) berdasarkan National Institude on Deafness
and Other Communication Disorders (NIDCD) didefinisikan sebagai penurunan
pendengaran sensorineural yang terjadi lebih dari 30 dB pada 3 frekuensi atau
lebih secara berturut-turut yang terjadi selama 72 jam sejak onset gejala. Sudden
deafness disebut juga sudden sensorineural hearing loss (SSNHL), sering bersifat
unilateral, dan idiopatik.
Penyebab tuli mendadak masih belum diketahui secara pasti. Beberapa teori
mengenai penyebab dari tuli mendadak, yaitu infeksi (baik infeksi bakteri maupun
infeksi virus), ruptur membran timpani, gangguan vaskular (trombosis, diabetes,
dislipidemia, hipertensi), autoimun (Cogan’s syndromes, systemic lupus
erythematosus, periarteritis nodosa, sklerosis mutipel), trauma (fraktur tulang
temporal, barotrauma, trauma akustik), tumor (neuroma akustik, vestibular
schwannoma, metastasis tulang temporal), obat ototoksik (aminoglikosida,
aspirin), hidrops endolimfa (penyakit Meniere), dan kebocoran membran
intrakoklear (karena Valsava maneuver, bersin).
Diagnosis tuli mendadak ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
fisik THT, pemeriksaan fungsi pendengaran, dan pemeriksaan penunjang lainnya
untuk mengetahui faktor etiologi yang mendasari terjadinya tuli mendadak.
Menurut panduan AAO-HNSF (American Academy of Otolaryngology-Head and
Neck Surgery Foundation) langkah pertama diagnosis tuli mendadak adalah
membedakan tuli sensorineural dan tuli konduktif. Audiometri sebagai
pemeriksaan pendengaran memegang peranan penting dalam membantu
menegakkan diagnosis, menilai derajat gangguan, serta untuk menilai derajat
kesembuhan setelah dilakukan pengobatan.
Penatalaksaan kasus tuli mendadak sebaiknya diterapi berdasarkan etiologi
yang mendasarinya. Menurut panduan AAO-HNSF salah satu terapi tuli
mendadak adalah pemberian kortikosteroid baik kortikosteroid sistemik maupun

43
injeksi intratimpani. Pemberian kortikosteroid melalui injeksi intratimpani dapat
digunakan sebagai terapi awal, kombinasi dengan terapi lain atau sebagai terapi
penyelamatan (salvage therapy) yang merupakan terapi yang dilakukan setelah
terjadi kegagalan dari terapi awal (terapi sistemik). Injeksi kortikosteroid
intratimpani dapat mencapai dosis yang lebih tinggi pada organ target sekaligus
mengurangi risiko efek samping sistemik. Injeksi kortikosteroid intratimpani
digunakan sebagai terapi primer pada pasien yang tidak dapat menggunakan
steroid sistemik, seperti pasien hipertensi dan diabetes melitus tidak terkontrol.
Perbaikan pendengaran pada tuli mendadak tergantung pada beberapa
faktor, yaitu kecepatan pemberian obat, respon 2 minggu pengobatan pertama,
usia, derajat ketulian saraf dan adanya faktor predisposisi. Pada umumnya makin
cepat diberikan pengobatan makin besar kemungkinan untuk sembuh. Evaluasi
pendengaran pada pasien dengan tuli mendadak harus dilakukan secara jangka
panjang. Pasien dengan perbaikan parsial atau tidak adanya perbaikan gangguan
pendengaran membutuhkan tatalaksana berkelanjutan dari bidang otologi,
audiologi dan psikologi.

44
DAFTAR PUSTAKA

1. Rauch SD, Dobie R, Doyle KJ. Idiopathic Sudden Sensorineural Hearing


Loss. Dalam: Ballenger’s Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery. 18th
Ed. 2016. hlm.317-321.
2. Chandrasekhar SS, et all. Clinical Practice Guideline: Sudden Hearing Loss
(Update). Otolaryngology - Head and Neck Surgery. American Academy of
Otolaryngology - Head and Neck Surgery Foundation. 2019; (161): 1-45.
3. Adunka OF, Sudden Sensorineural Hearing Loss and Presbyacusis. Dalam:
Thieme Otology, Neurotology, and Lateral Skull Base Surgery. 2011.
hlm.255-8.
4. Marx M, Younes E, Chandrasekhar SS, Ito J, Plontke S, O’Leary S, Sterkers
O. International Consensus (ICON) on Treatment of Sudden Sensorineural
Hearing Loss. European Annals of Otorhinolaryngology Head and Neck
Disease. 2018; (135): 23-28.
5. Gacek RR, Gacek MR. Anatomy of the Auditory and Vestibular Systems.
Dalam : Snow JB, Ballenger JJ. Ballenger’s Manual of Otorhinolaryngology
Head and Neck Surgery. 16th Edition. London: BC Dekker Inc
2003.hlm.1-23.
6. Oghalal SJ, Brownell EW. Anatomy and Physiology of The Ear In Lalwani
KA. Current & Treatment Otolaryngology Head and Neck Surgery.3rd ed.
New York: Mc Graw Hill Companies Inc. 2012. hlm.599-616.
7. Lee KJ. Anatomy of The Ear. Dalam: Chan Y, Goddard J, editor. Essential
Otolaryngology: Head and Neck Surgery. 12th. New York: The McGraw-Hill,
2019. hlm.234-256.
8. Weber PC, Kharriwala SS, Mills JH. Anatomy and Physiology of hearing. In:
Bailey BJ, Johnson JT, Newlands SD, editors. Head and neck surgery-
Otolaryngology. 5th ed. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins, 2014.
hlm. 2253-2273.
9. Barreto MA, Ledesma AL, Oliveira CA, Bahmad F. Intratympanic
Corticosteroid for Sudden Hearing Loss: Does It Really Work. Braz J
Otorhinolaryngol. 2016; 82(3): 353-364.

45
10. Oliver ER, Hashisaki GT. Sudden Sensory Hearing Loss. In Bailey’s Head &
Neck Surgery Otolaryngology 5th ed. Philadelpia: Lippincott Williams &
WilkinsMosby Elseviere. 2014: 2589-2595.
11. Patar M, Sangma R. Intratimpanic Metylprednisolone In as First Line
Therapy for Idiopatic Sudden Sensorineural Hearing Loss. Bengal Journal of
Otoryngology and Head Neck SUrgery. 2017; 25 (2): 69-74.
12. Attanasio G, Russo FY, Porto E, Cagnoni L, Masci E, Ralli M, Greco A,
Vincentiis M. Prediction of Hearing Recovery in Sudden Deafness Treated
with Intratympanic Steroids. Acta Otorhinolaryngologica Italica. 2018; (38):
453-459.
13. Eftekharian A, Amizadeh M. Pulse Steroid Therapy in Idiopathic Sudden
Sensorineural Hearing Loss: A Randomized Controlled Clinical Trial.
Laryngoscope. 2016; 126 (1): 150-5.
14. Kim YJ, Jang SU, Lee HH, Kwon JH. Comparison of the Effect of
Intratympanic Steroid Injection Medications in Patients with Idiopathic
Sudden Sensorineural Hearing Loss. Korean J Otorhinolaryngol-Head Neck
Surg. 2017; (60): 441-8.
15. Hidayat H, Edward Y, Hilbertina N. Gambaran Pasien Tuli Mendadak di
Bagian THT-KL RSUP Dr. M. Djamil Padang. Jurnal Kesehatan Andalas.
2016; 5(2). 416-420
16. Ghanie A, Bahar E, Adiarti W. Predictor Factors that Influence the Result of
Sudden Deafness Therapy. JRMDS. 2017;5(6):107-112.
17. Lyu Y, Zeng F, Yan M, Zhou Z, Zhang W, Liu M, Ke C. Comparison of 2
Different Intratympanic Methylprednisolone Injection Schedules in
Combination With Intravenous Dexamethasone for Unilateral Sudden
Sensorineural Hearing Loss. Sage Ear, Nose & Throat Journal. 2020. 1-8.
18. Piu F, Bishop KM. Local Drug Delivery for the Treatment of Neurotology
Disorders. Frontiers in Cellular Neuroscience. 2019; 13(238): 1-11.
19. Swamy KM, Ganiger A. Effect of Intratympanic Dexamethasone Injection in
Sudden Idiopathic Sensorineural Hearing Loss. International Journal of
Otorhinolaryngology and Head and Neck Surgery. 2016; 2(4): 258-262.

46
20. Sung HK, Kang JC, Shin KH, An YS. Comparison of the Effects of
Intratympanic Steroid Injection at Different Intervals in Sudden Sensorineural
Hearing Loss. J Audiol Otol. 2020; 24(1): 24-28.
21. Shewel Y, Asal SI. Intratympanic Injection of Dexamethasone 4 mg/mL
versus 10 mg/mL for Management of Idiopathic Sudden Sensorineural
Hearing Loss. The Egyptian Journal of Otolaryngology. The Egyptian Journal
of Otolaryngology. 2020; 36 (3): 1-6.
22. Crane R, Camilon M, Nguyen S, Meyer T. Steroids for Treatment of Sudden
Sensorineural Hearing Loss: A Meta-Analysis of Randomized Controlled
Trials. Laryngoscope. 2015; 125 (1): 209-17.
23. Qiang Q, Wua X, Yangc T, Yanga C, Sun H. A Comparison Between
Systemic and Intratympanic Steroid Therapies as Initial Therapy for
Idiopathic Sudden Sensorineural Hearing Loss: a meta-analysis. Acta
Otolaryngologica. 2017; (137): 598-605.
24. Solihoglu M, Memis A, Mutluoglu M, Uzun G, Ay H. Successful Treatment
of Acute Sensorineural Hearing Loss with Hyperbaric Oxygen Therapy.
Journal of acute disease. 2016; 5(4): 340-342.
25. Suzuki H, Koizumi H, Ohkubo J, et al. Hearing Outcome Does not Depend
on the Interval of Intratympanic Steroid Administration in Idiopathic Sudden
Sensorineural Hearing Loss. Eur Arch Otorhinolaryngol
2016;273(10):3101–7.
26. Xie Y, Orabi NA, Zwolan TA, Basura GJ. Outcomes of Unilateral Idiopathic
Sudden Sensorineural Hearing Loss: Two decades of experience.
Laryngoscope Investigative Otolaryngology. 2019; 4: 693–702.
27. Edizer DT, Celebi O, Hamit B, Baki A, Yigit O. Recovery of Idiopathic
Sudden Sensorineural Hearing Loss. The Journal of International Advanced
Otology. 2015; 11(2): 122-6.
28. Staecker H, Rodgers B. Gene Therapy and Inner-Ear Drug Delivery. Dalam:
Ballenger’s Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery. 18th Ed. 2016.
hlm.81-88.

47
29. Kechai NE, Agnely F, Mamelle E, Nguyen Y, Ferrary E, Bochot A. Recent
Advances in Local Drug Delivery to the Inner Ear. International Journal of
Pharmaceutics. 2015; (494): 83-101.
30. Nyberg S, Abbott NJ, Shi X, Steyger PS, Dabdoub A. Delivery of
Therapeutics to the Inner Ear: The Challenge of the Blood-labyrinth Barrier.
Science Translational Medicine. 2019; (11): 1-11.
31. Meyer T. Intratympanic Treatment for Tinnitus: A review. 2013; (15): 83-90.
32. Chrousos GP. Adrenocorticosteroids and Adrenocortical Antagonists. Dalam:
Bertram G. Katzung, editor. Basic Clinical and Pharmacology. 14 th edition.
2018. hlm.703-719.
33. Salt AN and Plontke SK. Pharmacokinetic Principles in the Inner Ear:
Influence of Drug Properties on Intratympanic Applications. Hear Res. 2018 ;
368: 28–40.
34. Baki FA, Omran AA, Asal SI, Hassan KM. The effect of Direct Application
of Dexamethasone on the Round Window Membrane in Patients with Sudden
Sensorineural Hearing Loss. Egyptian Journal of Otolaryngology. 2017 (33):
631-636.
35. Lian HH, Idrus R, Saim L, Saim A. Intratimpanic Metylprednisolone
Injection in Idiopatic Sudden Sensorineural Hearing Loss After Failure of
Systemic Corticosteroid Therapy. Sains Malaysiana. 2018. 47(11):
2777-2782.
36. Putra RM, Munilson J, Edward Y, Warto N, Rosalinda R. Injeksi
Kortikosteroid Intratimpani Sebagai Salvage Therapy pada Pasien Tuli
Mendadak. Jurnal Kesehatan Andalas. 2018; 7: 96-103.
37. Hara JH, Zhang JA, Gandhi KR, Flaherty A, Barber W, Leung MA, Burgess
LP. Oral and Intratympanic Steroid Therapy for Idiopathic Sudden
Sensorineural Hearing Loss. Laryngoscope Investigative Otolaryngology.
2018; (3): 73-77.
38. Sugihara EM, Evans MA, Neumann M, Babu SC. The Effect of
Intratympanic Steroid Injection Frequency in Idiopathic Sudden
Sensorineural Hearing Loss. Am J Otolaryngol. 2018; (39): 688-92.

48
39. Zhao D, Tong B, Wang Q, Hellstrom S, Duan M. A Comparison of Effect of
Systemic and Intratympanic Steroid Therapies for Sudden Sensorineural
Hearing Loss: A meta-analysis. Journal of Otology. 2016; (11): 18-23.
40. Hui J, Ho RC, Cheong CS, Ng A, Yuen HW, Ngo RY. Intratympanic
Steroids as a Salvage Treatment for Sudden Sensorineural Hearing Loss? A
meta-analysis. Eur Arch Otorhinolaryngology. 2014; 272 (10): 2777-82.
41. Yang HC, Cho YB, Jang CH, Cho HH. Efficacy of Concomitant
Intratimpanic Steroid Injection for Sudden Deafness According to Initial
Hearing Loss. Otology and Neurotology. 2015. 10(36): 1604-1609.
42. Liu YC, Chi FH, Yang TH, Liu TC. Assessment of Complication Due to
Intratympanic Injections. Chinese Medical Association. 2015; (2): 13-16.
43. Ungar OJ, Handzel O, Haviv L, Dadia S, Cavel O, Fliss M, Oron Y. Optimal
Head Position Following Intratympanic Injections of Steroids, As Determined
by Virtual Reality. American Academy of Otolaryngology–Head and Neck
Surgery Foundation. 2019. 1-6.

49

Anda mungkin juga menyukai