Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

Tuli mendadak atau sudden deafness atau sudden sensorineural hearing loss
(SSNHL) didefenisikan sebagai kehilangan pendengaran sensorineural yang lebih
dari 30 dB pada 3 frekuensi berturut turut dalam onset 3 hari, sering unilateral dan
bersifat idiopatik. Penyebab tuli mendadak tidak dapat langsung diketahui, biasanya
terjadi pada satu telinga. Kerusakan terutama di koklea dan biasanya bersifat
permanen, kelainan ini dimasukkan ke dalam keadaan darurat neurotologi. Diagnosis
tuli mendadak ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan audiometri.
Tuli mendadak mempunyai tiga karakteristik yaitu bersifat akut, tuli sensorineural
dan etiologi tidak diketahui. Karakteristik tambahan dapat berupa vertigo, tinitus dan
tidak adanya keterlibatan saraf kranialis. Penatalaksanaan tuli mendadak meliputi
terapi konservatif dengan beberapa modalitas. Penanganan harus dilakukan sedini
mungkin karena penanganan yang terlambat akan menyebabkan tuli yang
permanen.1,2
Di Amerika Serikat, kejadian tuli mendadak ditemukan pada 27 per 100.000
orang per tahun dengan rata-rata 66.594 kasus baru per tahun. Distribusi laki-laki dan
perempuan hampir sama. Tuli mendadak dapat ditemukan pada semua kelompok
usia, umumnya pada rentang usia 40-20 tahun, dengan puncak insidensi pada dekade
keenam. Insiden tuli mendadak di poli THT-KL RS. M. Djamil Padang pada satu
tahun terakhir periode Agustus 2010 sampai Agustus 2011 berkisar 37 orang pasien.
Diagnosis tuli mendadak ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
audiometri. Karakteristik tambahan dapat berupa vertigo, tinitus dan tidak adanya
keterlibatan saraf kranialis.3,4
Tuli mendadak merupakan salah satu kasus kegawatdaruratan yang
memerlukan penanganan segera, walaupun beberapa kepustakaan menyatakan bahwa
tuli mendadak dapat pulih spontan.Angka pemulihan pasien yang tidak mendapat
pengobatan adalah 32-64%, dalam 2 minggu setelah munculnya gejala. Masalah yang

1
umum ditemukan pada kasus tuli mendadak adalah keterlambatan diagnosis, sehingga
pengobatan tertunda yang akhirnya menyebabkan kehilangan pendengaran permanen.
Berdasarkan Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI), kompetensi dokter
umum untuk tuli mendadak adalah 2, artinya lulusan dokter harus mampu membuat
diagnosis klinik dan menentukan rujukan yang paling tepat bagi penanganan pasien
selanjutnya. Lulusan dokter juga mampu menindaklanjuti sesudah kembali dari
rujukan. Referat ini akan membahas mengenai tuli mendadak sehingga dapat
ditatalaksana dengan tepat.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Telinga


2.1.1. Telinga Luar
Terdiri dari pinna, meautus, dan membrana timpani. Telinga luar atau pinna
(aurikula = daun telinga) merupakan gabungan dari rawan yang diliputi kulit
(Gambar 1)7. Liang telinga memiliki tulang rawan (pars cartilago) pada bagian
lateral namun bertulang keras (pars osseus) di sebelah medial. Seringkali ada
penyempitan liang telinga pada perbatasan tulang rawan dan tulang keras ini
(Gambar 2)7

Gambar 1. Aurikula8

3
Gambar 2. Sistem auditori periferal dapat dibagi menjadi 3 bagian: telinga luar (biru); telinga
tengah (hijau); telinga dalam (merah). Dan nervus vestibulaokoklearis diwarnai dengan warna
kuning9

2.1.2 Telinga Tengah


Telinga tengah yang terisi udara dapat dibayangkan sebagai suatu
kotak dengan enam sisi. Dinding posteriornya lebih luas daripada dinding
anterior sehingga kotak tersebut berbentuk baji. Promontorium pada dinding
medial meluas ke lateral ke arah umbo dari membran timpani sehingga kotak
tersebut lebih sempit pada bagian tengah. Membran timpani atau gendang
telinga adalah suatu bangunan berbentuk kerucut dengan puncaknya, umbo,
mengarah ke medial. Membran timpani umumnya bulat. Pada rongga telinga
tengah yaitu epitimpanum yang terdapat korpus maleus dan inkus, meluas
melampaui batas atas membrane timpani, dan bahwa ada bagian
hipotimpanum yang meluas melalui batas bawah membrane timpani. 1,2,4
Membran timpani berbentuk oval dan tipis, tingginya sekitar 2 mm
dari apex sampai ke bawah, luas permukaannya sekitar 85 mm. Membran
timpani tersusun oleh suatu lapisan epidermis di bagian luar, lapisan fibrosa di
bagian tengah dimana tangkai maleus dilekatkan, dan lapisan mukosa bagian

4
dalam. Lapisan fibrosa tidak terdapat di atas prosessus lateralis maleus dan ini
menyebabkan bagian membrane timpani yang disebut membrane Shrapnell
menjadi lemas (flaksid) (Gambar 3).2,5.

Gambar 3. Membran Timpani1.

Tuba eustakius menghubungkan rongga telinga tengah dengan


nasofaring. Bagian lateral tuba eustakius adalah yang bertulang, sementara
duapertiga bagian medial bersifat kartilaginosa. Origo otot tensor timpani
terletak di sebelah atas bagian bertulang sementara kanalis karotikus terletak
di bagian bawahnya. Bagian bertulang rawan berjalan melintasi dasar
tengkorak untuk masuk ke faring di atas otot konstriktor superior. Bagian ini
biasanya tertutup tapi dapat dibuka melalui kontraksi otot levator palatinum
dan tensor palatinum yang masing-masing disarafi pleksus faringealis dan
saraf mandibularis. Tuba eustacius berfungsi untuk menyeimbangkan tekanan
udara pada kedua sisi membran timpani. 1,2,5.

5
2.1.3 Telinga Dalam
Bentuk telinga dalam sedemikian kompleksnya sehingga disebut
sebagai labirin. Terdiri dari labirin membrane dan labirin tulang, labirin
membrane yang terisi endolimfe, satu-satunya cairan ekstraseluler dalam
tubuh yang tinggi kalium dan rendah natrium. Labirin membrane dikelilingi
oleh cairan perilimfe (tinggi natrium, rendah kalium) yang terdapat dalam
kapsula otika bertulang. Labirin tulang dan membrane memiliki bagian
vestibular dan bagian koklear. Bagian vestibular (pars superior) berhubungan
dengan keseimbangan, sementara bagian koklearis (pars inferior) merupakan
organ pendengaran (Gambar 4).1,2,4
Koklea melingkar seperti rumah siput dengan dua dan satu-setengah
putaran. Aksis dari spiral tersebut dikenal sebagai modiolus, berisi berkas
saraf dan suplai arteri dari arteri vertebralis. Serabut saraf kemudian berjalan
menerobos suatu lamina tulang yaitu lamina spiralis oseus untuk mencapai
sel-sel sensorik organ Corti. Rongga koklea bertulang dibagi menjadi tiga
bagian oleh duktus koklearis yang panjangnya 35 mm dan berisi endolimfe.
Bagian atas adalah skala vestibule, berisi perilimfe dan dipisahkan dari duktus
koklearis oleh mebran Reissner yang tipis. Bagian bawah adalah skala timpani
juga mengandung perilimfe dan dipisahkan dari duktus koklearis oleh lamina
spiralis oseus dan membrane basilaris. Perilimfe pada kedua skala
berhubungan apeks koklea spiralis tepat setelah ujung buntu duktus koklearis
melalui suatu celah yang dikenal sebagai helikotrema. Membrane basilaris
sempit pada basisnya (nada tinggi) dan melebar pada apeks (nada rendah).2,5

6
Gambar 4. Gambaran skematik dari (a) Sel rambut koklea; (b) Organ korti9

2.2 Fisiologi Telinga


Ada lima langkah dalam proses mendengar, yaitu hantaran udara sepanjang
telinga luar sampai membrane timpani, hantaran tulang sepanjang telinga tengah
sampai telinga dalam, hantaran air sampai Organ Corti, hantaran saraf menuju otak
dan interpretasi oleh otak. Proses mendengar diawali dengan ditangkapnya energi
bunyi oleh daun telinga dalam bentuk gelombang yang dialirkan melalui udara atau
tulang ke koklea. Getaran tersebut menggetarkan membran timpani diteruskan ke
telinga tengah melalui rangkaian tulang pendengaran yang akan mengamplifikasi
getaran melalui daya ungkit tulang pendengaran dan perkalian perbandingan luas
membran timpani dan tingkap lonjong. Energi getar yang telah diamplifikasi ini akan
diteruskan ke stapes yang menggerakkan tingkap lonjong sehingga perilimfa pada
skala vestibuli bergerak. Getaran diteruskan melalui membrana Reissner yang
mendorong endolimfa, sehingga akan menimbulkan gerak relatif antara membran
basilaris dan membran tektoria. Proses ini merupakan rangsang mekanik yang
menyebabkan terjadinya defleksi stereosilia sel-sel rambut, sehingga kanal ion
terbuka dan terjadi penglepasan ion bermuatan listrik dari badan sel. Keadaan ini
menimbulkan proses depolarisasi sel rambut, sehingga melepaskan neurotransmitter
ke dalam sinapsis yang akan menimbulkan potensial aksi pada saraf auditorius, lalu

7
dilanjutkan ke nukleus auditorius sampai ke korteks pendengaran (area 39-40) di
lobus temporalis1

2.3 Definisi
Tuli mendadak (sudden deafnesss) adalah bentuk sensasi subjektif berupa
adanya penurunan pendengaran pada satu atau kedua telinga yang berlangsung secara
cepat dalam periode 72 jam, dengan kriteria audiometri berupa penurunan
pendengaran ≥30 dB sekurang kurangnya pada 3 frekuensi berturut-turut, yang
menunjukkan adanya abnormalitas pada koklea, saraf auditorik, atau pusat persepsi
dan pengolahan impuls pada korteks auditorik di otak1.

2.4. Epidemiologi
Gangguan tuli mendadak terjadi pada 8:100,000 orang pertahunnya di taiwan,
sedangkan di USA terjadi sebanyak 5-20:100.000 orang pertahunnya. Di Indonesia,
Insiden tuli mendadak di poli THT-KL RS. M. Djamil Padang pada satu tahun
terakhir periode Agustus 2010 sampai Agustus 2011 berkisar 37 orang
pasien.xx,1,medscape
Tuli mendadak dapat mengenai semua golongan usia, walaupun pada beberapa
penelitian, hanya sedikit ditemukan pada anak-anak dan lansia. Puncak insidensi
muncul pada usia 50-an, paling muda pada usia 20-30 tahun, dengan usia rata-rata
sekitar 40-54 tahun. Distribusi antara pria dan wanita terlihat hampir sama.
Berdasarkan data dari beberapa penelitian, menyimpulkan bahwa sekitar 53% pria
terkena tuli mendadak dibandingkan wanita. Namun pada penelitian lain didapatkan
wanita lebih banyak mengalami tuli mendadak. Sehingga diduga jenis kelamin bukan
merupakan suatu faktor risiko yang mempengaruhi kejadian kasus ini. Frekusensi tuli
bilateral adalah 1-2% dari keseluruhan kasus.medscape

2.5 Etiologi

8
Etiologi pasti tuli mendadak sampai saat ini masih belum diketahui secara
pasti (sebanyak 90% dari kejadian ini idiopatik). Mekanisme tersering tuli mendadak
adalah akibat adanya iskemik koklea, infeksi virus, robeknya membran timpani, dan
beberapa etiologi lainnya.xx, yy
Etiologi non idiopatik yang terkadan terjadi pada tuli mendadak adalah:
adanya schwannoma vestibular, neoplasma Beberapa faktor risiko tuli mendadak
diantaranya penyakit metabolik (Diabetes), penyakit kardiovaskuler Dislipidemia;
hiperkolesterol, hipertrigliserida dan hiperfibrinogenemia), adanya schwannoma
vestibular, infeksi virus (Varicela/ Herpes simpleks), psikosoial (Stress), neoplasma
(Neuroma akustik, Cerebellopontin angle tumor), autoimun (Sindroma Wagener),
kelelahan dan sebagainya8,10

2.6 Patofisiologi
Ada beberapa teori utama yang mencoba menjelaskan penyebab tuli
mendadak, yakni infeksi virus, kel ainan vaskular, kerusakan membran intrakoklea,
anemia defisiensibesi, dan kelainan imunologi. Meskipun sampai saat ini masih
belum ditemukan bukti kuat, infeksi virus dianggap sebagai salah satu penyebab tuli
mendadak. Sebuah studi oleh Wilson (1986) menunjukkan adanya hubungan antara
infeksi virus dengan kejadian tuli mendadak. Dalam studi ini,ditemukan tingkat
serokonversi untuk virus herpes secara signifi kan lebih tinggi pada populasi pasien
tuli mendadak. Pada studi lain, dilakukan pemeriksaan histopatologi tulang temporal
dan ditemukan kerusakan pada koklea yang konsisten dengan infeksi virus. Terdapat
pula temuan lain, seperti hilangnya sel rambut dan sel penyokong, atrofi membran
tektoria, atrofi stria vaskularis, dan hilangnya sel neuron, yang berhubungan dengan
mumps virus, maternal rubella, dan virus campak.1,9
Iskemia koklea merupakan penyebab utama tuli mendadak. Koklea
memperoleh asupan darah dari arteri labirintin atau arteri auditiva interna. Pembuluh
darah ini merupakan end artery yang tidak memiliki vaskularisasi kolateral, sehingga
jika terganggu dapat mengakibatkan kerusakan koklea. Kelainan yang menyebabkan

9
iskemia koklea atau oklusi pembuluh darah—seperti trombosis atau embolus,
vasospasme, atau berkurangnya aliran darah—dapat mengakibatkan degenerasi luas
sel ganglion stria vaskularis dan ligamen spiralis yang diikuti pembentukan jaringan
ikat dan penulangan.7,15
Teori kerusakan membran intrakoklea menyebutkan terdapat membran tipis
yang memisahkan telinga dalam dari telinga tengah dan ada membran halus yang
memisahkan ruang perilimfe dengan endolimfe dalam koklea. Robekan salah satu
atau kedua membran tersebut secara teoretis dapat menyebabkan tuli sensorineural.
Kebocoran cairan perilimfe ke dalam telinga tengah melalui tingkap bundar dan
tingkap lonjongdapatmenyebabkan ketulian dengan membentuk hidrops endolimfe
relatif atau menyebabkan robeknya membran intrakoklea. Robekan membran
intrakoklea memungkinkan terjadinya percampuran perilimfe dan endolimfe sehingga
mengubah potensial endokoklea. Teori ini diakui oleh Simmons, Goodhill, dan
Harris, dengan pembuktian histologi yang didokumentasikan oleh Gussen.7,8
Sebuah studi oleh Chung menunjukkan bahwa anemia defisiensi besi
meningkatkan risiko gangguan pendengaran sensorineural mendadak. Pada
penelitiannya, yang melibatkan sekitar 4000 orang dengan gangguan pendengaran
sensorineural mendadak dan sekitar 12.000 kontrol, ditemukan bahwa 4,3% dari
kelompok dengan gangguan pendengaran, sebelumnya telah didiagnosis dengan
anemia defisiensi besi, dibandingkan dengan 3,0% dari kelompok kontrol. Hubungan
antara gangguan pendengaran dan anemia tampaknya tertinggi pada usia 44 tahun
atau lebih muda.8
Tuli sensorineural yang disebabkan oleh proses autoimun diperkenalkan oleh
McCabe pada tahun 1979. Pada kondisi ini, ditemukan adanya kehilangan
pendengaran progresif. Adanya aktivitas imun pada koklea mendukung konsep teori
ini. Gangguan pendengaran pada sindrom Cogan, SLE, dan kelainan reumatik
autoimun lainnya telah lama diketahui. Sebagai pendukung lain teori ini, terdapat
sebuah studi prospektif pada 51 pasien tuli mendadak dan ditemukan beberapa

10
kelainan yang berkaitan dengan sistem imun (multiple immune-mediated
disorders).8,12

2.7 Manifestasi Klinis


Pasien biasanya datang dengan eluhan menurunnya pendengarah pada salah
satu atau kedua telinga (kebanyakan kasus yang ada biasanya unilateral). Hilangnya
pendengaran dapat tejadi tiba-tiba, berangsur-angsur hilang secara stabil atau terjadi
secara cepat dan progresif. Hilangnya pendengaran bersifat fluktuatif tetapi sebagian
besar bersifat stabil. Terkadang pasien juga mengeluhkan adanya rasa yang penuh
pada telinga, tinnitus, dan adanya gangguan vestibular.1

2.8 Diagnosis
Menurut AAO-HNS (American Academy of Otolaryngology-Head and Neck
Surgery) langkah pertama diagnosis tuli mendadak adalah membedakan tuli
sensorineural dan tuli konduktif melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, tes penala, tes
audiometri, dan penunjang lainnya.
Pada anamnesis ditanyakan onset dan proses terjadinya ketulian (berlangsung
tiba-tiba, progresif cepat atau lambat, fluktuatif, atau stabil), serta persepsi pasien
mengenai derajat ketulian (unilateral atau bilateral). Kebanyakan kasus melaporkan
penurunan pendengaran disadari saat bangun tidur pada pagi hari. Sebagian kecil
kasus disadari pada saat akan menggunakan telinga yang terkena untuk menelpon.
Keluhan riwayat penurunan pendengaran sebelumnya, keluar cairan dari telinga,
demam, gejala infeksi saluran nafas atas, dan sakit kepala perlu ditanyakan untuk
menyingkirkan diagnosis banding ataupun untuk mencari tahu penyebab. Tuli
mendadak juga dapat diikuti oleh beberapa gejala penyerta meliputi tinitus, vertigo
atau dizziness, dan rasa penuh di telinga. Gejala tersebut dapat timbul baik pada kasus
tuli mendadak yang disebabkan oleh iskemia koklea dan infeksi virus. Tetapi pada
infeksi virus tuli mendadak terjadi pada satu telinga dan terdapat tanda-tanda infeksi
ataupun dari anamnesis didapatkan riwayat baru sembuh infeksi sebelumnya. Tinitus

11
dilaporkan terjadi pada 70% kasus, sedangkan vertigo ditemukan pada 40% kasus tuli
mendadak. Kedekatan letak koklea dan organ vestibuler secara anatomi menyebabkan
lesi di koklea dapat mengakibatkan kerusakan pada vestibuler melalui perubahan
endolimfatik. Menurut Zhang dkk dalam penelitiannya pada 418 kasus tuli
mendadak, keluhan telinga penuh didapatkan pada 33,3% kasus dan tinitus pada
83,3% kasus baik sebelum maupun setelah pendengaran berkurang. Berdasarkan
gejalanya Zhang dkk membagi tuli mendadak menjadi tiga tipe yaitu tipe sederhana
(hanya penurunan pendengaran), tipe dizziness (penurunan pendengaran yang disertai
dizziness juga kadang disertai dengan mual dan muntah), dan tipe vertigo (penurunan
pendengaran disertai vertigo, mual dan muntah). 1,2,10
Pada pemeriksaan fisik otoskopi membran timpani harus dapat terlihat
dengan jelas. Kondisi telinga yang dapat menyebabkan tuli konduktif harus
disingkirkan sehingga impaksi serumen jika ada dibersihkan terlebih dahulu. Hasil
pemeriksaan otoskopi biasanya normal. Pemeriksaan fisik umum dan pemeriksaan
neurologis juga dilakukan terutama pada pasien dengan tuli mendadak bilateral dan
tuli mendadak dengan defisit neurologis untuk mencari kelainan serta penyakit
penyerta lainnya.1,12,13
Pemeriksaan fungsi pendengaran akan dapat menyingkirkan kemungkinan
tuli konduktif. Pemeriksaan yang dapat dilakukan antara lain tes garputala,
audiometri nada murni, tes SISI, tes Tone decay atau refleks kelelahan negatif,
audiometri tutur (speech audiometry), audiometri impedans, Brainstem Evoked-
Response Audiometry (BERA) dan ASSR. Hasil pemeriksaan pendengaran berupa
tuli sensorineural dengan derajat bervariasi mulai dari ringan sampai dengan sangat
berat dan mengenai sebagian atau seluruh frekuensi, dapat ditemukan rekrutmen, dan
bukan tuli retrokoklea. Pemeriksaan timpanometri dapat membedakan tuli konduktif
dan tuli sensorineural serta memberikan petunjuk tambahan untuk etiologi.
Pemeriksaan darah lengkap dapat dilakukan untuk membantu mencari penyebab
terjadinya tuli mendadak. Terdapat beberapa pemeriksaan darah yang tidak selalu
menjadi pemeriksaan penunjang rutin kecuali jika terdapat kecurigaan dari anamnesis

12
antara lain pemeriksaan darah lengkap yang juga meliputi fungsi hematologi dan
profil lipid, pemeriksaan fungsi tiroid, fluorescent treponemal antibody-absorbtion
test, erythrocyt sedimentation rate, dan microhemagglutination-Treponema
pallidum.1,13
Pemeriksaan tomografi komputer dan pencitraan resonansi magnetik dengan
kontras diperlukan sebagai pemeriksaan penunjang yang mengevaluasi patologi
retrokoklea, lesi struktural seperti pada nervus vestibulokoklear, batang otak, maupun
otak, serta untuk menyingkirkan diagnosis seperti neuroma akustik dan malformasi
tulang temporal. Ruang retrokoklea tidak terlalu jelas terlihat pada tomografi
komputer. Pemeriksaan pencitraan resonansi magnetik dengan Gadolinium dinilai
memiliki sensitivitas tinggi dan digunakan untuk menyingkirkan kemungkinan
abnormalitas retrokoklea, seperti neoplasma, stroke, atau penyakit demielinisasi.
Pemeriksaan pencitraan resonansi magnetik merupakan baku emas diagnosis
vestibular schwannoma. Pencitraan resonansi magnetik juga dapat menunjukkan
labirinitis viral. 2,8
Dalam penelitian Antti dkk menemukan terdapat satu kasus tumor pada
kanalis akustikus internus yang terlihat dari pemeriksaan pencitraan resonansi
magnetik tetapi tidak terlihat dari pemeriksaan tomografi komputer. Tumor tersebut
kemudian ditemukan sebagai neuroma akustik setelah dilakukan tindakan
pembedahan. Hal ini kemudian menjadikan pencitraan resonansi magnetik sebagai
pemeriksaan rutin di beberapa pusat pelayanan kesehatan untuk menyingkirkan
diagnosis banding penyebab tuli mendadak. Pada kasus yang dicurigai disebabkan
oleh virus dapat dilakukan pemeriksaan imunologis dan serologis. Identifikasi antigen
virus pada perilimfe dengan prosedur invasif tidak disarankan karena dapat
menyebabkan resiko rusaknya telinga dalam.2,10

 Audiometri

13
Audiometri adalah alat elektronik yang menghasilkan nada murni, dimana
intensitasnya dapat ditambah atau dikurangi tiap 5 dB per langkah. Ambang hantaran
udara diperiksa pada frekuensi 250, 500, 1000, 2000, 4000, 6000, dan 8000 Hz.
Ambang hantaran tulang diperiksa pada frekuensi 250, 500, 1000, 2000, dan 4000
Hz. Jumlah intensitas yang dicapai adalah derajat kelainan pendengaran pada
frekuensi tersebut. Ambang hantaran tulang adalah gambaran fungsi koklea.
Perbedaan ambang hantaran udara dan tulang (A-B gap) adalah tanpa adanya tuli
konduktif. Telinga normal memiliki ambang hantaran udara dan tulang 25 dB tanpa
gap. Penggunaannya berdasarkan acuan dari American Society for Speech and
hearing Association (ASHA) tahun 1978 mengenai penggunaan audiometri nada
murni manual. Pemeriksaan audiometri pada tuli mendadak terbagi menjadi tiga tipe
yaitu upsloping, flat, dan downsloping. Gambaran upsloping (Rising configuration)
jika pendengaran lebih baik pada frekuensi tinggi dan memburuk pada frekuensi
rendah. Gambaran flat jika penurunan pendengaran terjadi pada semua frekuensi.
Gambaran downsloping jika pendengaran lebih baik pada frekuensi rendah dan
memburuk pada frekuensi tinggi.2,3

Derajat Penurunan Pendengaran1


Normal < 25 dB
Tuli Sensorineural Ringan 26-40 dB
Tuli Sensorineural Sedang 41-55 dB
Tuli Sensorineural Sedang Berat 56-70 dB
Tuli Sensorineural Berat 71-90 dB
Tuli Sensorineural Sangat Berat > 90 dB

2.9 Tatalaksana
Penatalaksanaan dilakukan secara konservatif ataupun tindakan
pembedahan. Penatalaksanaan secara konservatif dengan beberapa modalitas
meliputi:

14
 tirah baring total selama 2 minggu,
 medikamentosa,
o steroid oral
Prednison merupakan kortikosteroid oral yang direkomendasikan
dengan dosis 1 mg/kg berat badan (maksimal 60 mg/hari) selama 7-14
hari dalam dosis penuh lalu dan dilakukan tappering off. Sebagai
alternatif 10 mg deksametason per hari atau 48 mg metilprednisolon
per hari. Perlu adanya pengawasan pada pasien dengan diabetes
melitus.1,9
o steroid intratimpani
Preparat yang dapat diberikan adalah deksametason atau solumedrol.
Steroid intratimpani biasanya dipilih jika pasien memiliki
kontraindikasi relatif terhadap steroid oral seperti pada pasien
diabetes melitus, miastenia gravis, katarak, dan glaukoma.
Komplikasi penggunaan steroid intratimpani adalah perforasi
membran timpani pada daerah injeks (jarang terjadi).1,10
Steroid intratimpani dapat diberikan melalui penyuntikan,
timpanostomi tube, miringotomi, dan mikrokateter. Penyuntikan dan
timpanostomi tube merupakan metode yang paling sering
digunakan.1,6,12
o terapi antivirus
apabila diduga etiologi kejadian merupakan etiologi yang disebabkan
oleh virus
o Terapi oksigen
Inhalasi 4x15 menit (2L/menit).
o Medikamentosa lainnya meliputi antiinflamasi, dan vasodilator.
Antikoagulan dan vasodilator juga digunakan dalam pengobatan tuli
mendadak. Meningkatnya aliran darah ke koklea akan mengubah

15
keadaan hipoksia. Histamin, asam nikotinat, papaverin, dan niasin
prokain dapat meningkatkan aliran darah koklea. Penggunaan
vasodilator dan zat vasoaktif dalam terapi tuli mendadak terutama
kasus idiopatik telah diteliti oleh cochrene collaborative pada tahun
2009. Salah satu vasodilator yang dapat digunakan sebagai terapi tuli
mendadak adalah betahistin. Betahistin bekerja pada reseptor H1 di
pembuluh darah telinga dalam dan mengatur permeabilias kapiler
sehingga dapat mengembalikan hidrops endolimfatik. Selain itu
betahistin juga berperan sebagai antagonis terhadap reseptor H3 yang
dapat meningkatkan kadar histamin neurotransmiter seperti
asetilkolin, norepinefrin, dan serotonin yang dilepaskan ujung
saraf.1,13
Agen vasoaktif seperti prostaglandin E1 menunjukkan
efektivitas sebagai vasodilator dan penghambat agregasi trombosit.
Naftidrofuril berperan sebagai vasodilator dengan efek antagonis
terhadap serotonin dan tromboksan A2. Kalsium antagonis berperan
sebagai vasodilator dengan melawan kontraksi sel-sel otot polos pada
dinding pembuluh darah. Ekstrak Ginko biloba mengandung zat
flavones dan terpenes yang dapat mencegah perkembangan zat radikal
bebas pada kasus iskemia yang berhubungan dengan gangguan
metabolik. Pentoksifilin meningkatkan fleksibilitas eritrosit dan
leukosit serta menghambat agregasi trombosit sehingga memperbaiki
viskositas darah, terutama pembuluh kapiler. Dekstran dapat
memperbaiki mikrosirkulasi karena memiliki efek antitrombotik. HES
(hydroxyethyl starch) memiliki efek mengurangi hematokrit dan
agregasi trombosit.1,18
Inhalasi karbogen (5% karbon dioksida dan 95% oksigen)
sebagai terapi tuli mendadak dikenalkan oleh Fisch dkk dimana
karbogen memiliki efek vasodilatasi terhadap pembuluh darah di

16
intrakranial. Terapi oksigen hiperbarik juga telah diterapkan sebagai
terapi tambahan dalam kasus tuli mendadak. Terapi ini memberikan
oksigen 100% dengan tekanan lebih dari 1 ATA (atmosphere
absolute). Tujuannya untuk meningkatkan oksigenasi koklea dan
perilimfe, sehingga diharapkan dapat menghantarkan oksigen dengan
tekanan parsial yang lebih tinggi ke jaringan, terutama koklea yang
sangat peka terhadap keadaan iskemik. Terapi oksigen hiperbarik
diperkirakan memiliki efek yang kompleks pada imunitas tubuh,
transpor oksigen dan hemodinamik, peningkatkan respons normal
pejamu terhadap infeksi dan iskemia, serta mengurangi hipoksia dan
edema. Menurut guideline AAO-HNS, terapi oksigen hiperbarik
sebaiknya dilakukan dalam 2 minggu sampai 3 bulan dari saat
diagnosis tuli mendadak. Pasien usia muda memberikan respon lebih
baik dibandingkan pasien yang lebih tua (usia bervariasi antara 50-60
tahun). Hal penting yang perlu dipertimbangkan dalam terapi oksigen
hiperbarik ini adalah manfaat dan risiko efek samping. Terapi ini
memiliki efek samping berupa kerusakan pada telinga, sinus, dan paru
akibat perubahan tekanan, miopia yang memburuk sementara,
klaustrofobia, dan keracunan oksigen. Dalam sebuah studi terhadap
80 pasien yang menjalani terapi oksigen hiperbarik, 5 pasien (6,25%)
mengalami barotrauma.4,6

Tindakan pembedahan berupa repair tingkap bundar dan tingkap lonjong


fistula perilimfe pada kasus tuli mendadak idiopatik yang dihubungkan dengan tes
fistula. Kebocoran cairan perilimfe menyebabkan tuli mendadak dihubungkan dengan
teori ruptur membran intrakoklear. Tekanan rendah perilimfe disebabkan fistula
menyebabkan hidrops endolimfatik koklear. Tetapi tindakan pembedahan dalam
memperbaiki fistula perilimfatik ini masih menjadi kontroversi. Bila gangguan
pendengaran tidak sembuh dengan penatalaksanaan tersebut, alat bantu dengar

17
(hearing aid) dapat menjadi pertimbangan pengobatan. Rehabilitasi pendengaran
dimaksudkan agar sisa pendengaran yang ada dapat digunakan secara maksimal.
Pasien juga perlu dikonsulkan ke Sub-Bagian Hematologi Penyakit Dalam dan
Bagian Kardiologi untuk mengetahui adanya kelainan darah dan hal-hal yang
mengakibatkan penyumbatan pembuluh darah.3,12
Evaluasi kemudian dilakukan setiap minggunya selama 1 bulan, kalinen
mengklasifikasikan perbaikan dalam tuli mendadak yaitu:
1. Sangat baik (bila perbaikan lebih dari 30 dB pada 5 frekuensi)
2. Sembuh ( bila perbaikan ambang pendengaran kurang dari 30dB pada
frekuensi 250Hz, 500Hz, 1000Hz, 2000Hz, dan dibawah 25dB pada frekuensi
4000Hz
3. Baik (rereta perbaikan 10-30dB pada 5 frekuensi)
4. Tidak ada perbaikan ( perbaikan kurang dari 10 dB pada 5 frekuenso).
Apabila gangguan pendengaran tidak sembuh dapat dipertimbangkan penggunaan
alat bantu dengar, rehabilitasi pendengaran.

2.9 Prognosis
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi prognosis meliputi usia, lama
mulainya pengobatan, frekuensi turunnya pendengaran, derajat gangguan
pendengaran, faktor resiko gangguan vaskuler dan ada tidaknya gejala vestibular.
Mattox dan Simmons dalam penelitiannya menunjukkan perbaikan spontan tanpa
pengobatan pada 65% kasus tuli mendadak idiopatik dalam dua minggu.1,2,3
Perbaikan biasanya dimulai dari hari ke-3 sampai ke-7 setelah pengobatan, dan
setelah hari ke-24 proses peningkatan pendengaran akan berlangsung lebih lambat.
Prognosis jelek pada pasien dengan faktor resiko usia tua, gejala penyerta vertigo,
tinitus, pola penurunan pendengaran pada semua frekuensi (flat) dan hanya frekuensi
tinggi (downslopping) dibandingkan dengan hanya frekuensi rendah (upslopping) dan
profound serta tuli sensorineural dengan derajat berat dan sangat berat. 3,13

18
Megighian dkk menyatakan usia sebagai faktor penentu prognosis.42
Semakin muda usia maka prognosis semakin bagus karena aliran darah ke perifer
lebih bagus. Aliran darah ke koklea semakin berkurang dengan meningkatnya usia.
Selain itu peningkatan usia juga dihubungkan dengan peningkatan terjadinya resiko
mikroangiopati.6,13
Saat mulai pengobatan lebih dini berhubungan dengan prognosis baik untuk
pemulihan fungsi pendengaran. Narozny dkk dalam penelitiannya menemukan
keterlambatan mulainya pengobatan berpengaruh terhadap tidak adanya perbaikan
pendengaran.43 Bullo dkk menemukan perbaikan pendengaran didapatkan pada waktu
mulai terapi kurang dari 2 minggu, dimana waktu terbaik adalah 7 hari.42 Hal ini
dihubungkan dengan semakin luasnya sel rambut yang rusak akibat inflamasi apabila
penundaan terapi semakin lama. Byl juga mendukung perbaikan pendengaran
didapatkan jika waktu mulainya terapi adalah kurang dari satu minggu, dengan
persentase perbaikan pendengaran sebanyak 56% kasus.2,4
Adanya gejala vestibuler sebagai gejala penyerta juga menentukan prognosis
tuli mendadak. Vertigo dan tinitus dapat menjadi indikator prognosis yang buruk,
baik secara tunggal maupun bersamaan3. Gambaran audiometri juga memegang
peranan sebagai faktor yang menentukan prognosis. Audiometri dengan gambaran
upsloping memiliki prognosis yang lebih baik dibandingkan dengan gambaran flat,
downsloping, dan profound dimana gangguan pendengaran terjadi pada semua
frekuensi, pada hanya frekuensi yang tinggi (terutama 4000 dan 8000 Hz), atau pada
batas alat. Beberapa penelitian melaporkan perbaikan pendengaran hanya sebanyak
40-66% pada kasus tuli mendadak dengan kedua gambaran audiometri tersebut.
Derajat penurunan pendengaran juga ikut berperan menentukan prognosis.

BAB III
KESIMPULAN

19
Tuli mendadak (sudden hearing loss) didefiniskan sebagai tuli yang terjadi
secara tiba-tiba, berlangsung selama lebih dari 72 jam, biasanya terjadi pada satu
telinga, dengan penyebabnya tidak dapat langsung diketahui. Tuli mendadak
dimasukkan ke dalam keadaan darurat otologi, oleh karena kerusakannya terutama di
daerah koklea dan biasanya bersifat permanen walaupun bisa kembali normal atau
mendekati normal.
Etiologi pasti tuli mendadak sampai saat ini masih belum diketahui
(idiopatik). Beberapa kepustakaan menyatakan bahwa mekanisme tersering tuli
mendadak adalah akibat iskemik koklea, infeksi virus dan ruptur membran koklea.
Terdapat beberapa faktor risiko tuli mendadak diantaranya penyakit metabolik
(Diabetes), penyakit kardiovaskuler, dislipidemia, hiperkolesterol, hipertrigliserida
dan hiperfibrinogenemia, infeksi virus (Varicela/ Herpes simpleks), psikosoial
(Stress), neoplasma (Neuroma akustik, Cerebellopontin angle tumor), autoimun
(Sindroma Wagener), kelelahan dan sebagainya.
Gejala klinis tuli mendadak berupa hilangnya pendengaran pada satu sisi
telinga saat bangun tidur, dapat unilateral atau bilateral. Kejadian dapat bersifat tiba-
tiba, berangsur-angsur hilang secara stabil atau terjadi secara cepat dan progresif.
Penyakit ini sering disertai dengan keluhan sensasi penuh pada telinga dengan atau
tanpa tinitus.Pada infeksi virus, timbulnya tuli mendadak biasanya pada satu telinga,
dapat disertai dengan tinnitus dan vertigo.Pada iskemia koklea, tuli dapat bersifat
mendadak atau menahun secara tidak jelas. Selain itu, pada 28-57% pasien dapat
ditemukan gangguan vestibular, seperti vertigo atau disequilibrium.
Diagnosis tuli mendadak ditegakkan berdasarkan anamnesis mengenai proses
terjadinya ketulian, gejala yang menyertai, serta faktor predisposisi penting untuk
mengarahkan diagnosis, pemeriksaan fisik, audiometri, laboratorium serta pemeriksaan
penunjang lainnya. Karakteristik tambahan dapat berupa vertigo, tinitus dan tidak
adanya keterlibatan saraf kranialis.
Terapi yang dilakukan antara lain pemberian kortikosteroid sistemik,
kortikosteroid intratimpani, terapi oksigen hiperbarik, terapi hemodilusi, vasodilator

20
dan pemberian vitamin. Kemudian dilakukan evaluasi fungsi pendengaran setiap satu
minggu selama satu bulan.
Prognosis tuli mendadak tergantung pada beberapa faktor, yaitu usia, derajat
gangguan pendengaran, metode pengobatan yang digunakan, saat memulai
pengobatan, ada tidaknya gejala vestibular, dan faktor predisposisi lainnya. Usia
lanjut, gangguan pendengaran sangat berat, dan adanya gejala vestibular subjektif
dikaitkan dengan rendahnya tingkat kesembuhan. Usia lanjut, hipertensi, diabetes,
dan hiperlipidemia berkaitan dengan disfungsi mikrovaskuler di koklea, yang
merupakan faktor prognosis buruk.

DAFTAR PUSTAKA

21
1. Soetirto I, Bashiruddin J. Tuli Mendadak. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga-
Hidung-Tenggorok Kepala Leher .Ed:6. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2007. Hal.
46-48
2. Stachler RJ, Chandrasekhar SS, Archer SM, Rosenfeld RM, Schwartz SR, Barrs
DM, Brown SR, Fife TD, Ford P, Ganiats TG, Hollingsworth DB. Clinical
practice guideline sudden hearing loss. Otolaryngology-Head and Neck Surgery.
2012 Mar 1;146(3 suppl):S1-35.
3. Egli Gallo D, Khojasteh E, Gloor M, Hegemann SC. Effectiveness of systemic
high-dose dexamethasone therapy for idiopathic sudden sensorineural hearing
loss. Audiology and Neurotology. 2013 Feb 27;18(3):p161-70.
4. Hidayat H, Edward Y, Hilbertina N. Gambaran Pasien Tuli Mendadak di Bagian
THT-KL RSUP Dr. M. Djamil Padang. Jurnal Kesehatan Andalas. 2016 Aug
11;p1-12.\
5. Alexander TH, Harris JP. Incidence of sudden sensorineural hearing loss.
Otology & Neurotology. 2013 Dec 1;34(9): p.1586-9.
6. Handzel O, Ben-Ari O, Damian D, Priel MM, Cohen J, Himmelfarb M.
Smartphone-based hearing test as an aid in the initial evaluation of unilateral
sudden sensorineural hearing loss. Audiology and Neurotology. 2013 May
14;18(4):p201-7.
7. Moller AR. Hearing Impairment. Hearing: Anatomy, Physiology, and Disorders
of The Auditory System. 2nd Ed. Texas: Elsevier; 2000. p 234-5
8. Netter H.F, Craig A.J, Perkins J. Atlas of Neuroanatomy and Neurophysiology.
USA: Icon Custom Communications. 2002.
9. Probst R. Ear: Anatomy and physiology of the ear, Anatomy and function of the
cochlea. In: Probs R, Grevers G, Iro H, editors. Basic Otorhino-laryngology. New
York: Thieme; 2006. p 153, 160-1
10. Schreiber, Benjamin E., et al. Sudden sensorineural hearing loss. The Lancet
2010;375: p.1203-11.

22
11. Salahaldin, A. H., et al. Management of idiopathic sudden sensorineural hearing
loss: experience in newly developing Qatar. The international tinnitus
journal.10.2; 2004: p165-9.
12. Cummings CW, Flint PW, Harker LA, Haughey BH, Richardson MA, Robbins
KT, et al. Cummings otolaryngology head and neck surgery. 4th Ed. Philadelphia:
Elsevier Mosby; 2005.
13. Egli Gallo D, Khojasteh E, Gloor M, Hegemann SC. Effectiveness of systemic
high-dose dexamethasone therapy for idiopathic sudden sensorineural hearing
loss. Audiology and Neurotology. 2013 Feb 27;18(3):p161-70.
14. World Health Organization. WHO Grades of Hearing Impairment in Global
Burden of Hearing Loss in the Year. 2000. Diakses pada 13 Januari 2019 dalam
http://www.who.int/healthinfo/statistics/bod_hearingloss.pdf.
15. Bailey BJ, Johnson JT. Head and neck surgery-otolaryngology. 4th ed.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2006.

23

Anda mungkin juga menyukai