Arbi Ardiani Hamzah, Dwi Ayu Indaswary NHB, Daud Rante Tasak
I. PENDAHULUAN
Tuli mendadak atau sudden deafness merupakan pengalaman yang
menakutkan, menyebabkan pasien segera mengunjungi dokter. Di Amerika
Serikat, kejadian tuli mendadak ditemukan pada 5-20 tiap 100.000 orang per
tahun dengan 4000 kasus baru tiap tahunnya. Distribusi laki-laki dan
perempuan hampir sama. Tuli mendadak dapat ditemukan pada semua
kelompok usia, umumnya pada rentang usia 40-50 tahun, dengan puncak
insidensi pada dekade keenam.1
Tuli mendadak dapat disebabkan oleh berbagai hal, antara lain oleh
iskemia koklea, infeksi virus, trauma kepala, trauma bising yang keras,
perubahan tekanan atmosfir, autoimun, obat ototoksik, penyakit Meniere
dan neuroma akustik.2
Tuli mendadak merupakan salah satu kasus kegawatdaruratan yang
memerlukan penanganan segera, walaupun beberapa kepustakaan
menyatakan bahwa tuli mendadak dapat pulih spontan, angka pemulihan
pasien yang tidak mendapat pengobatan adalah 28-65%, sebagian besar
dalam 2 minggu setelah munculnya gejala. Masalah yang umum ditemukan
pada kasus tuli mendadak adalah keterlambatan diagnosis, sehingga
pengobatan tertunda yang akhirnya menyebabkan kehilangan pendengaran
permanent.1
Ketulian dapat ringan atau berat, sementara atau permanen. Gangguan
ini hanyalah suatu kompleks gejala dan tidak terlalu sering ditemukan. Oleh
sebab itu, penting untuk mengenali dan mendeteksi kelainan ini sejak dini
agar dapat menunjang pemulihan fungsi pendengaran dan meningkatkan
kualitas hidup pasien.1,3
II. DEFINISI
Tuli mendadak adalah tuli yang terjadi secara tiba-tiba. Jenis ketuliannya
adalah sensorineural, penyebabnya tidak dapat langsung diketahui, biasanya
1
terjadi pada satu telinga. Beberapa ahli mendefinisikan tuli mendadak
sebagai penurunan pendengaran sensorineural 30 dB atau lebih, paling
sedikit tiga frekuensi berturut-turut pada pemeriksaan audiometric dan
berlangsung dalam waktu kurang dari tiga hari.2
Tuli mendadak atau sudden sensorineural hearing loss (SSHL)
didefinisikan sebagai bentuk sensasi subjektif kehilangan pendengaran
sensorineural pada satu atau kedua telinga yang berlangsung secara cepat
dalam periode 72 jam, dengan kriteria audiometri berupa penurunan
pendengaran 30 dB sekurang-kurangnya pada 3 frekuensi berturut-turut,
yang menunjukkan adanya abnormalitas pada koklea, saraf auditorik, atau
pusat persepsi dan pengolahan impuls pada korteks auditorik di otak.
Kerusakan terutama di koklea dan biasanya bersifat permanen, kelainan ini
dimasukkan ke dalam keadaan darurat neurotologi. Tuli mendadak juga
biasa disebut sudden deafness atau sudden sensorineural hearing loss.1
III. ANATOMI TELINGA
Teliga dibagi atas telinga luar, telinga tengah dan telinga dalam.
Telinga luar terdiri dari daun telinga dan liang telinga sampai membran
timpani. Daun telinga merupakan tulang rawan yang berlekuk-lekuk
ditutupi oleh kulit dan dipertahankan pada tempatnya oleh otot dan
ligamentum. Sepertiga liang telinga luar dibentuk oleh perluasan tulang
rawan daun telinga, dan 2/3 bagian dalam dibentuk oleh pars timpani dan
pars skuamosa os temporal. Membran timpani terdiri dari pars flaksid pada
bagian atas dan pars tensa pada bagian bawah. Pars tensa memiliki tiga
lapisan, lapisan skuamosa membatasi telinga luar sebelah medial, lapisan
mukosa membatasi telinga tengah sebelah lateral, dan jaringan fibrosa
diantara kedua lapisan tersebut, sedangkan pars flaksid hanya memiliki
lapisan skuamosa dan lapisan mukosa.4
2
membagi kavum timpani menjadi epitimpanum atau atik, mesotimpanum
dan hipotimpanum. Tulang-tulang pendengaran yaitu maleus, inkus dan
stapes membentuk suatu sistem pengungkit dan batang yang meneruskan
suatu energi mekanis getar ke cairan periotik. Di dalam telinga tengah
terdapat dua buah otot yaitu m.tensor timpani dan m. Stapedius. Tuba
auditorius Eustachius memanjang dari dinding anterior superior
mesotimpanum ke nasofaring.4
3
Gambar 1. Potongan Frontal Teling (Dikutip dari Kepustakaan).2
4
buntu duktus koklearis melalui suatu celah yang dikenal sebagai
helikotrema. Membrana basilaris sempit pada basisnya (nada tinggi) dan
melebar pada apeks (nada rendah).3
5
Gambar 2. Potongan Koklea
6
Gelombang suara adalah getaran udara yang merambat yang terdiri
dari daerah-daerah bertekanan tinggi akibat kompresi (pemadatan) molekul
udara bergantian dengan daerah-daerah bertekanan rendah akibat
penjarangan (peregangan) molekul udara. Setiap alat yang mampu
menghasilkan gangguan pola molekul udara seperti itu adalah sumber suara.
Contoh sederhana adalah garpu tala. Ketika garpu tala dipukulkan, bilahnya
akan bergetar. Sewaktu bilah garpu tala bergerak ke satu arah, molekul-
molekul udara di depannya terdorong saling merapat, atau memadat
(terkompresi), dan meningkatkan tekanan di daerah ini. Energ i suara secara
bertahap melemah sewaktu gelombang suara berjalan jauh dari sumbernya.
Intensitas gelombang suara berkurang sampai hilang ketika gelombang
suara terakhir terlalu lemah untuk mengganggu molekul-molekul udara
disekitarnya.5
Pendengaran bergantung pada kemampuan telinga mengubah
gelombang suara di udara menjadi deformasi mekaniss el-sel rambut
reseptif, yang kemudian memicu sinyal saraf. Gelombang suara terdiri dari
daerah penekanan molekul udara bertekanan tinggi yang berselang-seling
dengan daerah peregangan bertekanan rendah. Nada suara ditentukan oleh
frekuensi gelombangnya, kekuatan (intensitas) oleh amplitudo gelombang,
dan warna suara (kualitas) oleh nada tambahan khasnya.5
Gelombang suara disalurkan melalui saluran telinga luar ke membran
timpani, yang bergetar sinkron dengan gelombang tersebut.Tulang-tulang
telinga tengah yang menjembatani celah antara membran rimpani dan
telinga dalam memperkuat getaran membran timpani dan menyalurkannya
ke jendelaova1, yang getarannya menimbulkan perambatan gelombang di
cairan koklea. Gelombang ini, yang frekuensinya sama dengan gelombang
suara semula, menyebabkan membran basilaris bergerak.Berbagai bagian
dari membran ini secara selektif bergetar lebih kuat sebagai respons
terhadap berbagai frekuensi suara. Di atas membran basilaris terdapat sel
rambut dalam organ Corti, yang rambut-rambutnya menekuk ketika
membran basilaris bergerak naik-turun relatif terhadap membran tektorium
di atasnya tempat rambut tersebut berkontak. Deformasi mekanis sel rambut
7
spesifik di daerah membran basilaris yang bergetar maksimal ini diubah
menjadi sinyal saraf yang ditransmisikan ke korteks pendengaran di lobus
temporalis otak untuk persepsi suara.5
Getaran
Gelombang Getaran tulang
Membran
Suara telinga tengah
Timpani
Perambatan
Perubahan potensial aksi ke
Gambar 3. Skema frekuensi korteks
fisiologi pendengaran potensial aksi auditorius di
(Dikutip dari yang dihasilkan lobus temporalis
Kepustakaan)5 saraf auditorius otak untuk
(N.VIII) persepsi suara
V. EPIDEMIOLOGI
8
Insiden tuli mendadak diperkirakan 5-30 kasus per 100.000 orang per
tahun. Di seluruh dunia penderita tuli mendadak mencapai 1% dari seluruh
penderita ketulian, dengan 15.000 kasus baru setiap tahun. Di Amerika
Serikat, kejadian tuli mendadak ditemukan pada 5-20 tiap 100.000 orang per
tahun dengan 4000 kasus baru tiap tahunnya. Distribusi laki-laki dan
perempuan hampir sama, dengan puncak usia 50-60 tahun.1,6,7
Secara global WHO memperkirakan pada tahun 2000 terdapat 250
juta (4,2%) penduduk dunia menderita gangguan pendengaran, 75 sampai
140 juta diantaranya terdapat di Asia Tenggara, 50% dari gangguan
pendengaran ini sebenarnya dapat dicegah dengan penatalaksanaan yang
benar dan deteksi dini dari penyakit (Kementrian Kesehatan Republik
Indonesia).8
Berdasarkan hasil WHO Multi Center Study pada tahun 1998,
Indonesia termasuk empat negara di Asi Tenggara dengan prevalensi
ketulian yang cukup tinggi (4,6%), tiga negara lainnya adalah Sri Lanka
(8,8%), Myanmar (8,4%), dan India (6,3%). Walaupun bukan yang tertinggi,
tetapi prevalensi 4,6% dapat menimbulkan masalah sosial di masyarakat.
Hasil survei kesehatan indra penglihatan dan pendengaran yang
dilaksanakan pada 7 propinsi di Indonesia (1994-1996) menunjukkan
prevalensi tuli mendadak sebesar 0,2%.6,8
9
ototoksik. Dalam penelitian hewan dan dalam laporan kasus manusia,
biasanya kehilangan pendengaran setelah terapi dihentikan.9
Penyebab Etiologi
10
Ada empat teori utama yang mencoba menjelaskan penyebab tuli
mendadak, yakni infeksi virus, kelainan vaskular, kerusakan membran
intrakoklea, dan kelainan imunologi.1,8
Infeksi virus
Meskipun sampai saat ini masih belum ditemukan bukti kuat,
infeksi virus dianggap sebagai salah satu penyebab tuli mendadak.Sebuah
studi oleh Wilson (1986) menunjukkan adanya hubungan antara infeksi
virus dengan kejadian tuli mendadak. Dalam studi ini,ditemukan tingkat
serokonversi untuk virus herpes secara signifikan lebih tinggi pada
populasi pasien tuli mendadak. Pada studi lain, dilakukan pemeriksaan
histopatologi tulang temporal dan ditemukan kerusakan pada koklea yang
konsisten dengan infeksi virus. Terdapat pula temuan lain, seperti
hilangnya sel rambut dan sel penyokong, atrofi membran tektoria, atrofi
stria vaskularis, dan hilangnya sel neuron, yang berhubungan dengan
mumps virus, maternal rubella, dan virus campak.
Kelainan vaskular
Iskemia koklea merupakan penyebab utama tuli mendadak. Koklea
memperoleh asupan darah dari arteri labirintin atau arteri auditiva
interna. Pembuluh darah ini merupakan end artery yang tidak memiliki
vaskularisasi kolateral, sehingga jika terganggu dapat mengakibatkan
kerusakan koklea. Kelainan yang menyebabkan iskemia koklea atau
oklusi pembuluh darah seperti trombosis atau embolus, vasopasme, atau
berkurangnya aliran darah dapat mengakibatkan degenerasi luas sel
ganglion stria vaskularis dan ligamen spiralis yang diikuti pembentukan
jaringan ikat dan penulangan.
11
membran tersebut secara teoritis dapat menyebabkan tuli sensorineural.
Kebocoran cairan perilimfe ke dalam telinga tengah melalui tingkap
bundar dan tingkap lonjong didalilkan sebagai penyebab ketulian dengan
membentuk hidrops endolimfe relatif atau menyebabkan robeknya
membran intrakoklea. Robekan membran intrakoklea memungkinkan
terjadinya percampuran perilimfe dan endolimfe sehingga mengubah
potensial endokoklea. Teori ini diakui oleh Simmons, Goodhill, dan
Harris, dengan pembuktian histologi yang didokumentasikan oleh
Gussen.
Kelainan imunologi
Tuli sensorineural yang disebabkan oleh proses autoimun
diperkenalkan oleh Mc Cabe pada tahun 1979. Pada kondisi ini,
ditemukan adanya kehilangan pendengaran progresif. Adanya aktivitas
imun pada koklea mendukung konsep teori ini. Gangguan pendengaran
pada sindrom Cogan, SLE, dan kelainan reumatik autoimun lainnya telah
lama diketahui. Sebagai pendukung lain teori ini, terdapat sebuah studi
prospektif pada 51 pasien tuli mendadak dan ditemukan beberapa
kelainan yang berkaitan dengan sistem imun (multiple immune-mediated
disorders).
VII. DIAGNOSIS
Diagnosis tuli mendadak ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan THT, audiologi, dan laboratorium serta pemeriksaan
penunjang lainnya.11
1. Anamnesis
Pada anamnesis ditanyakan onset dan proses terjadinya ketulian
(berlangsung tiba-tiba, progresif cepat atau lambat, fluktuatif, atau
stabil), persepsi subjektif pasien mengenai derajat ketulian, serta sifat
ketulian (unilateral atau bilateral). Selain itu, ditanyakan juga gejala
yang menyertai seperti sensasi penuh pada telinga, tinitus, vertigo,
12
disequilibrium, otalgia, otorea, nyeri kepala, keluhan neurologis, dan
keluhan sistemik lainnya. Riwayat trauma, konsumsi obat-obat
ototoksik, operasi dan penyakit sebelumnya, pekerjaan dan pajanan
terhadap kebisingan, serta faktor predisposisi lain yang penting juga
perlu ditanyakan.1
Keluhan pasien pada umumnya berupa hilangnya pendengaran
pada satu sisi telinga saat bangun tidur. Sebagian besar kasus bersifat
unilateral, hanya 1-2% kasus bilateral. Kejadian hilangnya pendengaran
dapat bersifat tiba-tiba, berangsur-angsur hilang secara stabil atau
terjadi secara cepat dan progresif. Kehilangan pendengaran bisa bersifat
fluktuatif, tetapi sebagian besar bersifat stabil. Tuli mendadak ini sering
disertai dengan keluhan sensasi penuh pada telinga dengan atau tanpa
tinitus; terkadang didahului oleh timbulnya tinitus. Selain itu, pada 28-
57% pasien dapat ditemukan gangguan vestibular, seperti vertigo atau
disequilibrium.11
13
tuli sensorineural hampir selalu mendapatkan hasil normal.
Pemeriksaan fisik umum dan pemeriksaan neurologis juga dilakukan,
terutama pada pasien dengan tuli mendadak bilateral, tuli mendadak
dengan episode rekuren, dan tuli mendadak dengan defisit neurologis
fokal, untuk mencari kelainan serta penyakit penyerta lainnya.1
Selain itu, dapat dilakukan pemeriksaan hum test dan tes penala
untuk membantu klinisi membedakan tuli konduktif dan tuli
sensorineural sebelum dilakukan pemeriksaan audiometri. Pada hum
test, pasien diminta bersenandung dan kemudian memberitahu apakah
suara didengar lebih keras di satu telinga atau sama di keduanya. Pada
tuli konduktif, suara akan terdengar lebih keras pada telinga yang sakit,
sebaliknya pada tuli sensorineural suara akan terdengar lebih keras pada
telinga yang sehat. Menurut AAO-HNS guideline, tes penala dapat
digunakan untuk konfirmasi temuan audiometri. Tes penala berupa tes
Weber dan tes Rinne dilakukan dengan alat bantu garpu tala 256 Hz
atau 512 Hz juga melihat ada tidaknya lateralisasi ke salah satu sisi
telinga. Selain tes Weber dan tes Rinne, tes Schwabach juga dapat
dilakukan. Hasil yang diharapkan pada tes penala: Rinne positif, Weber
lateralisasi ke telinga yang sehat, Schwabach memendek. Sehingga
kesan yang didapatkan berupa tuli sensorineural.1,2
14
Gambar 4. Tes Weber dan tes Rinne (Dikutip dari Kepustakaan).1
Pemeriksaan audiometri lengkap, termasuk audiometri nada
murni, audiometri tutur (speech audiometry) dan audiometri impedans
(timpanometri dan pemeriksaan refleks akustik), merupakan pemeriksaan
yang wajib dilakukan dalam mendiagnosis tuli mendadak. Pemeriksaan
audiometri diperlukan untuk membuktikan ketulian dan menentukan
derajat penurunan pendengaran. Hantaran tulang dan hantaran udara
dalam audiometri nada murni membantu menentukan jenis ketulian, baik
tuli konduktif, tuli sensorineural, maupun tuli campuran. Audiometri
tutur dapat digunakan untuk memverifikasi hasil audiometri nada murni.
Timpanometri dan pemeriksaan refleks akustik juga dapat membedakan
tuli konduktif dan tuli sensorineural serta memberikan petunjuk
tambahan untuk etiologi. Timpanometri dapat membantu dalam
mengeksklusi kemungkinan adanya komponen konduktif pada pasien
15
dengan penurunan pendengaran sangat berat. Interpretasi yang
diharapkan dari pemeriksaan pendengaran adalah:1,11
a. Tes Penala: Rinne positif, Weber lateralisasi ke telinga yang sehat,
Schwabach memendek. Kesan tuli sensorineural.
b. Audiometri nada murni: Tuli sensorineural ringan sampai berat.
c. Tes Tone Decay atau reflex kelelahan negatif. Kesan bukan tuli
retrokoklea.
d. Audiometri tutur: SDS (Speech Discrimination Score) kurang dari
100%. Kesan tuli sensorineural.
e. Audiometri impedans: Timpanometri Tipe A (normal). Refleks
stapedius ipsilateral negatif atau positif, sedangkan kontralateral
positif. Kesan tuli sensorineural.
f. BERA (pada anak) menunjukkan tuli sensorineural ringan sampai
berat. Pemeriksaan ENG (elektronistagmografi) mungkin terdapat
paresis kanal.
16
biasa dalam jarak 1
meter.
3 Penurunan 61-80 dB Hanya mampu
pendengaran berat mendengar beberapa
kata pada suara teriakan
di telinga yang lebih
baik (sehat)
4 Penurunan 81dB atau lebih Tidak mampu
pendengaran sangat mendengar dan
berat termasuk ketulian mengerti kata-kata pada
suara teriakan keras.
3. PemeriksaanPenunjang
17
resonansi magnetik (MRI) dengan kontras diperlukan untuk menyingkirkan
diagnosis seperti neuroma akustik dan malformasi tulang temporal.
Pemeriksaan MRI merupakan baku emas diagnosis vestibular schwannoma.
Pemeriksaan MRI dengan Gadolinium dinilai memiliki sensitivitas tinggi
dan digunakan untuk menyingkirkan kemungkinan abnormalitas
retrokoklea, seperti neoplasma, stroke, atau penyakit demielinisasi. Pada
pasien dengan alat pacu jantung, implan logam, dan klaustrofobia, yang
menjadi kontraindikasi pemeriksaan MRI, dapat dilakukan alternatif lain
berupa pemeriksaan tomografi komputer (CT Scan), pemeriksaan ABR, atau
keduanya; kedua pemeriksaan ini memiliki sensitivitas lebih rendah
dibandingkan MRI dalam mendeteksi kelainan retrokoklea.1,2
18
Virus Varicella
Zoster
Arenavirus
Toksin Tumor Vaskular Idiopatik
Aminoglikosida Cerebellopontine Tromboembolisme
angle tumor
Aspirin Vestibular Makroglobulinemi
schwannoma
Metastasis tulang Sickle-cell disease
temporal
Meningitis
karsinomatous
IX. TATALAKSANA
Pengobatan diarahkan pada beberapa penyebab idiopatik ketulian
mendadak yang potensial. Suatu tesis mengemukakan penyebab
tromboemboli pada pembuluh darah kecil telinga. Pendukung dari teori ini
mengobati pasien dengan vasodilator, plasma ekspander, antikoagulan.
Tesis lain mengusulkan suatu virus yang tidak diketahui atau suatu
peristiwa imunologik sebagai penyebab ketulian mendadak. Pendukung
teori ini mengusulkan pemberian steroid dosis tinggi untuk mengurangi
produk radang. Obat digunakan untuk waktu singkat. Namun secara
keseluruhan, angka kesembuhan tampaknya lebih tinggi pada pasien-
pasien yang diharuskan tirah baring dan mendapat pengobatan daripada
yang tidak diobati.3
Kortikosteroid sistemik
Berbagai penelitian, penggunaan kortikosteroid pada pasien tuli
mendadak telah dipublikasikan. Terdapat bukti laboratorium yang
menunjukkan adanya cascade inflamasi kematian sel pada pasien tuli
mendadak, yang dimodifikasi oleh terapi steroid. Kortikosteroid yang
diberikan adalah glukokortikoid sintetik oral, intravena, dan/atau
intratimpani, meliputi prednison, metilprednisolon, dan deksametason.
19
Kortikosteroid diperkirakan memiliki efek antiinflamasi dan kemampuan
dalam meningkatkan aliran darah koklea. Dewasa ini, standar pengobatan
tuli mendadak adalah dengan tapering off kortikosteroid oral.1
Untuk hasil pengobatan yang maksimal, dosis terapi prednison
oral yang direkomendasikan adalah 1 mg/kg/hari dosis tunggal dengan
dosis maksimum 60 mg/hari selama 10- 14 hari. Dosis ekuivalen
prednison 60 mg setara dengan metilprednisolon 48 mg dan
deksametason 10 mg. Sebuah data yang representatif menggunakan
regimen pengobatan dengan dosis maksimum selama 4 hari diikuti
tapering off 10 mg setiap dua hari.1
Menurut penelitian Maqbool et al (2017), bahwa manfaat
maksimal yang dicapai tergantung pada waktu pemberian steroid, dan
makin cepat pasien ditangani oleh dokter maka lebih banyak manfaatnya.
Sekitar 68% pasien yang datang dalam 1-3 hari mencapai hasil
pengobatan secara klinis, sementara 24% pada pasien yang mengalami
penurunan antara 4 - 7 hari, manfaat minimum yaitu sekitar 16,6%
terlihat pada pasien yang mengalami gangguan pendengaran selama 7
hari.12
Efek samping prednison meliputi insomnia, dizziness, kenaikan
berat badan, berkeringat, gastritis, perubahan mood, fotosensitif, dan
hiperglikemia. Efek samping lain yang cukup berat, tetapi jarang
ditemukan, yakni pankreatitis, perdarahan, hipertensi, katarak miopati,
infeksi oportunistik, osteoporosis, dan osteonekrosis. Oleh sebab itu,
untuk meminimalkan risiko, pasien dengan kondisi medis sistemik,
seperti insulin-dependent diabetes mellitus (IDDM), diabetes tidak
terkontrol, hipertensi labil, tuberkulosis, dan ulkus peptikum tidak
disarankan diberi terapi kortikosteroid sistemik.1
Kortikosteroid intratimpani
Beberapa ahli THT merekomendasikan terapi kortikosteroid
intratimpani sebagai pengganti terapi kortikosteroid sistemik atau
20
salvage therapy pada pasien yang tidak mengalami perbaikan dengan
kortikosteroid sistemik. Terapi kortikosteroid intratimpani dapat menjadi
alternatif untuk pasien diabetes yang tidak bisa mengonsumsi
kortikosteroid sistemik. Steroid diberikan dengan sebuah jarum melalui
membran timpani atau ditempatkan di telinga tengah melalui tabung
timpanostomi atau miringotomi yang kemudian diserap dan menyebar
melalui membran tingkap bundar ke telinga dalam.1
Baru-baru ini beberapa publikasi telah melaporkan kasus SSNHL
dimana pengobatan kortikosteroid intratimpani mencapai keberhasilan
50% pada kasus kegagalan steroid oral primer yang menunjukkan bahwa
kortikosteroid intratimpani mungkin sama baiknya atau lebih baik
daripada steroid oral tetapi uji klinis acak prospektif tidak ada. Pemberian
obat intratimpani menghasilkan kadar tertinggi obat dalam telinga dalam,
sama pada perilimfe dan endolimfe. Metilprednisolon mencapai
konsentrasi tertinggi di telinga bagian dalam untuk waktu yang lama
sehingga dianggap sebagai obat dengan potensi terbesar untuk diberikan
pada SSNHL.13
Deksametason intratimpani diberikan dengan dosis 0,3-1 mg
sebagai dosis tunggal yang diberikan 3 kali berturut-turut. Sedangkan
prednisolon intratimpani diberikan dengan dosis 62,5 mg/ml dosis
tunggal diberikan selama 3 hari berturut-turut. Battaglia menyatakan
teknik intratimpani ini berhasil menaikkan ambang dengar secara
signifikan jika dikombinasikan dengan steroid sistemik dosis tinggi.7
Mekanisme kerja steroid pada telinga dalam diperkirakan
meningkatkan mikrovaskulerisasi koklea dan menghalangi respons
inflamasi di telinga dalam. Penelitian Kakehata, dkk. (2010)
menunjukkan injeksi setiap hari selama 8 hari lebih efektif dibandingkan
pemberian setiap minggu. Hamid, dkk menunjukkan dexamethasone
lebih efektif dibandingkan dengan metilprednisolon. Hal ini karena
absorpsi dexamethasone ke dalam stria dan jaringan sekitar lebih cepat
dibandingkan metilprednisolon yang lebih lama bertahan di endolimfe
21
sekitar 4-6 jam. Steroid bekerja intraseluler pada stria dan jaringan
sekitarnya setelah diendositosis secara aktif atau pasif. Kadar
metilprednisolon yang tinggi dalam endolimfe menunjukkan hubungan
terbalik dengan efektivitas intraselulernya, sehingga dexamethasone lebih
efektif untuk perfusi intratimpani.6
Beberapa keuntungan menggunakan steroid intratimpani, yaitu
dapat dilakukan pada pasien rawat jalan, prosedur dapat ditoleransi
dengan baik dan relatif mudah, menggunakan anestesi lokal, relatif tidak
nyeri, dapat digunakan pada pasien yang kontraindikasi terhadap
pemberian steroid (diabetes, supresi imun, HIV, TBC, dll), mencapai
konsentrasi tinggi di telinga yang sakit, dan efek sampingnya jarang.6
Efek samping terapi intratimpani yang harus diantisipasi adalah
efek lokal, seperti otalgia, dizziness, vertigo, perforasi membran timpani,
atau infeksi (otitis media).1
22
sepenuhnya hipoksia. Ini juga meningkatkan sirkulasi darah dengan
mengurangi viskositas plasma, mengurangi agregasi trombosit,
mempercepat neokapilarisasi, pembentukan pembuluh darah baru dan
meningkat fleksibilitas sel darah merah.14
Menurut guideline AAO-HNS, terapi oksigen hiperbarik
sebaiknya dilakukan dalam 2 minggu hingga 3 bulan dari saat diagnosis
tuli mendadak. Pasien usia muda memberikan respons lebih baik
dibandingkan pasien yang lebih tua (usia bervariasi antara 50-60 tahun).
Hal penting yang perlu dipertimbangkan dalam terapi oksigen hiperbarik
ini adalah manfaat dan risiko efek samping. Terapi ini memiliki efek
samping berupa kerusakan pada telinga, sinus, dan paru akibat perubahan
tekanan, miopia yang memburuk sementara, klaustrofobia, dan
keracunan oksigen. Dalam sebuah studi terhadap 80 pasien yang
menjalani terapi oksigen hiperbarik, 5 pasien (6,25%) mengalami
barotrauma pada telinga atau sinus.1
Pada penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa pasien yang
lebih muda respon setelah terapi oksigen hiperbarik lebih baik, sementara
dalam penelitian Ajduk et al (2017), tidak menemukan perbaikan
pendengaran terkait usia. Namun, menunjukkan bahwa terapi oksigen
hiperbarik sebagai terapi penyelamatan secara signifikan memperbaiki
hasil pada pasien dengan gangguan pendengaran > 61 dB, sementara
beberapa penelitian sebelumnya telah menemukan manfaat terapi oksigen
hiperbarik hanya di antara pasien dengan gangguan pendengaran > 80 dB
atau > 90 dB. Di kelompok pasien dengan gangguan pendengaran 60
dB, perbaikan hanya diperhatikan pada frekuensi rendah (0,25 dan 0,5
kHz).15
23
menghindari pengobatan yang tidak perlu, efek samping pengobatan,dan
alasan biaya. Selain itu, belum ada bukti keberhasilan terapi dengan obat-
obat tersebut.1
Salah satu penyebab tuli mendadak adalah inflamasi oleh infeksi
virus. Mekanisme inflamasi berupa invasi virus secara langsung pada
koklea atau saraf koklea, reaktivasi virus laten dalam ganglion spirale,
dan infeksi yang dimediasi imun. Secara teoritis, inisiasi pemberian
antivirus disinyalir dapat membantu pemulihan fungsi pendengaran.
Beberapa percobaan yang telah dilakukan masih belum mengungkap
adanya manfaat penambahan terapi antivirus. Conlin dan Parnes
melakukan systematic review dan meta-analisis terhadap empat studi
RCT (randomized controlled trial) yang membandingkan terapi antivirus
dan steroid dengan plasebo dan steroid, tidak satupun yang melaporkan
hasil signifikan secara statistik. Selain itu, penggunaan antivirus memiliki
efek samping berupa mual, muntah, fotosensitif, serta (jarang) perubahan
status mental, dizziness, dan kejang.1
Agen vasoaktif, trombolitik, vasodilator, atau antioksidan telah
dicoba untuk meningkatkan aliran darah koklea, tetapi belum ada bukti
keberhasilan terapi. Prostaglandin E1 telah menunjukkan manfaat
sebagai vasodilator dan penghambat agregasi trombosit. Naftidrofuril
juga dapat menjadi vasodilator dengan efek antagonis terhadap erotonin
dan tromboksan A2. Pentoksifilin menghambat agregasi trombosit dan
meningkatkan fleksibilitas eritrosit dan leukosit sehingga memperbaiki
viskositas darah, terutama pembuluh kapiler. Dekstran dapat
memperbaiki mikrosirkulasi karena memiliki efek antitrombotik. HES
(hydroxyethyl starch) mengurangi hematokrit dan agregasi platelet.
Klinisi harus waspada akan risiko efek samping berupa reaksi alergi,
perdarahan, hipotensi, aritmia, kejang, dan interaksi obat.1
Vasodilator pada tuli mendadak bertujuan meningkatkan aliran
darah ke koklea dan mencegah hipoksia. Salah satu jenis vasodilator
adalah terapi inhalasi karbogen yaitu oksigen 95% dan karbon dioksida
24
5%. Teknik ini telah diperkenalkan sejak tahun 2000, dimana kombinasi
terapi klasik dengan teknik inhalasi karbogen akan memberikan
peningkatan pendengaran lebih baik pada tuli mendadak. Teknik ini lebih
diindikasikan untuk tuli mendadak yang gagal dengan terapi konservatif.1
Vitamin B kompleks (B1, B6, B12), Vitamin C, dan mineral serta
preparat herbal adalah sebagai adjuvan. Gingko biloba merupakan
preparat herbal gingkoflavon glikosida yang berperan sebagai vasodilator
sentral dan perifer. Dosis gingko biloba 120-480 mg perhari, dapat
diberikan selama 2 sampai 3 bulan. Beberapa literatur juga ada yang
memberikan vitamin E yang berfungsi sebagai antioksidan terhadap
radikal bebas sehingga mencegah kerusakan koklea lebih lanjut. Vitamin
E dapat diberikan dengan dosis 2 x 600 mg perhari selama 1 sampai 2
bulan. Sedangkan pemberian diuretik diindikasikan untuk tuli mendadak
yang dicurigai akibat ruptur membran koklea.7
Bila ganguan pendengaran tidak sembuh dengan pengobatan
tersebut, dapat dipertimbangkan pemasangan alat bantu dengar (hearing
aid). Apabila dengan alat bantu dengar juga masih belum dapat
berkomunikasi secara adekuat perlu dilakukan psikoterapi denga tujuan
agar pasien dapat menerima keadaan. Rehabilitasi pendengaran agar
dengan sisa pendengaran yang ada dapat digunakan secara maksimal bila
memakai alat bantu dengar dan rehabilitasi suara agar dapat
mengendalikan volume, nada, dan intonasi oleh karena pendengarannya
tidak cukup untuk mengontrol hal tersebut.2
X. PROGNOSIS
Prognosis tuli mendadak tergantung pada beberapa faktor, yaitu
usia, derajat gangguan pendengaran, metode pengobatan yang digunakan,
saat memulai pengobatan, ada tidaknya gejala vestibular, dan faktor
predisposisi lainnya. Usia lanjut, gangguan pendengaran sangat berat, dan
adanya gejala vestibular subjektif dikaitkan dengan rendahnya tingkat
kesembuhan. Usia lanjut, hipertensi, diabetes, dan hiperlipidemia
25
berkaitan dengan disfungsi mikrovaskuler di koklea, yang merupakan
faktor prognosis buruk. Prognosis juga dipengaruhi oleh derajat ketulian,
Semakin besar derajat ketuliannya, semakin kecil kemungkinan
pendengarannya dapat kembali ke keadaan normal. Pasien tuli mendadak
yang diberi pengobatan dalam 10 hari sejak onset tampaknya lebih sering
pulih dibandingkan pasien tuli mendadak yang terlambat diberi
pengobatan.11,16
Suatu penelitian di Iran pada tahun 2015 melaporkan bahwa
prognosis pada penderita tuli mendadak akan lebih buruk jika disertai
dengan gejala awal tinitus. Keberhasilan tatalaksana juga dipengaruhi usia,
diabetes dan hipertensi. Penelitian ini juga menjelaskan bahwa tidak ada
hubungan perburukan prognosis dengan gejala vertigo.17
DAFTAR PUSTAKA
1. Novita, Stevani dan Natalia Yuwono. Diagnosis dan Tata Laksana Tuli
Mendadak. Continuing Medical Education, 2013. 40 (11)
26
6. Fedriani, Jessica. Steroid Intratimpani untuk Penanganan Tuli Mendadak.
Continuing Medical Education, 2015. 42 (2)
7. Munilson, Jacky dan Yurni. 2012. Diagnosis dan Penatalaksanaan Tuli
Mendadak. Laporan Kasus. Padang: Fakultas Kedokteran Universitas
Andalas
8. Tari, Novila. 2015. Pengaruh Terapi Oksigen Hiperbarik terhadap Pasien
Tuli Mendadak (Sudden Deafness) Di Rumah Sakit Angkatan Laut Dr.
Mintohardjo Jakarta Pusat Periode 2014. Skripsi. Jakarta: FKIK UIN
Syarif Hidayatullah
27