Anda di halaman 1dari 41

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tuli mendadak (sudden deafness) adalah gejala menakutkan yang
terjadi secara tibatiba (Bashiruddin J, 2007) dan disarankan langsung
melakukan pengobatan (Stachler RJ et al., 2012). Walaupun beberapa
kepustakaan menyatakan bahwa tuli mendadak dapat pulih spontan (Arslan N
et al., 2011). Biasanya tuli mendadak bersifat unilateral dan kurang dari 2%
bersifat bilateral (Topuz, 2010). Kehilangan pendengaran sensorineural secara
tiba-tiba mempengaruhi 5 sampai 20 per 100.000 penduduk dengan sekitar
4000 kasus baru per tahun di Amerika Serikat (Stachler RJ et al., 2012).
Berdasarkan hasil WHO Multi Center Study pada tahun 1998,
Indonesia termasuk empat negara di Asia Tenggara dengan prevalensi ketulian
yang cukup tinggi (4,6%), tiga negara lainnya adalah Sri Lanka (8,8%),
Myanmar (8,4%) dan India (6,3%). Walaupun bukan yang tertinggi tetapi
prevalensi 4,6% dapat menimbulkan masalah sosial di tengah masyarakat.
Hasil Survei Kesehatan Indera Penglihatan dan Pendengaran tahun 1994-1996
yang dilaksanakan di tujuh provinsi di Indonesia menunjukan prevalensi dari
tuli mendadak sebanyak 0,2% (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia,
2006).
Secara global WHO memperkirakan bahwa pada tahun 2000 terdapat
250 juta (4,2%) penduduk dunia menderita gangguan pendengaran, 75 sampai
140 juta diantaranya terdapat di Asia Tenggara, 50% dari gangguan
pendengaran ini sebenarnya dapat dicegah dengan penatalaksanaan yang benar
dan deteksi dini dari penyakit (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia,
2006).
Menurut Chin-Saeng Cho et al. (2013), 32% sampai 65% dari kasus
tuli mendadak dapat sembuh spontan. Prognosis untuk pemulihan tergantung
pada sejumlah faktor, termasuk usia pasien, adanya vertigo saat onset, tingkat
gangguan pendengaran, konfigurasi audiometri, dan waktu antara onset
gangguan pendengaran dan pengobatan (Chin-Saeng Cho et al., 2013).
Penyebab pasti tuli mendadak hanya ditemukan pada 10-15% kasus
(Rauch, 2008) sebagian besar kasus tetap tidak diketahui penyebab terjadinya

1
tuli mendadak yang disebut juga dengan idiopatik (Stachler RJ et al., 2012).
Terapi yang diberikan untuk pasien tuli mendadak dengan pengobatan
konvensional berupa vasodilasator, kortikosteroid, vitamin c dan neurobion.
Sejalan dengan perkembangan teknologi, terapi untuk mencapai kesembuhan
tuli mendadak pun mengalami perkembangan. Salah satu teknologi yang
digunakan untuk membantu mempercepat penyembuhan tuli mendadak adalah
terapi oksigen hiperbarik (Bashiruddin J, dkk., 2007).
Terapi oksigen hiperbarik didefinisikan oleh Undersea and Hyperbaric
Medical Society (UHMS) sebagai pengobatan dimana pasien bernafas dengan
oksigen 100% di dalam ruang yang bertekanan tinggi dari tekanan atmosfir
normal, yaitu 1 ATA (Atmosfir Absolut). Peningkatan tekanan harus sistemik
dan dapat diterapkan dalam monoplace atau multiplace. Ruang multiplace
bertekanan udara dengan oksigen diberikan melalui topeng wajah dan tabung
endotrakeal, sedangkan ruang monoplace bertekanan oksigen (Gill A.L, 2004).
Terapi oksigen hiperbarik ini bersifat terapi tambahan untuk tuli mendadak
(Bashiruddin J, dkk., 2007).
Sejak tahun 1960, terapi oksigen hiperbarik digunakan untuk
perawatan tuli mendadak di Perancis dan German. Terapi oksigen hiperbarik
untuk pasien tuli mendadak atau sudden deafness bermanfaat untuk
meningkatkan pengiriman oksigen ke dalam jaringan koklea yang sangat
sensitif terhadap iskemia. Terapi oksigen hiperbarik diperkirakan memiliki
efek yang kompleks pada imunitas, transportasi oksigen, hemodinamik,
mengurangi hipoksia dan edema (Stachler RJ, 2012). Persentasi tingkat
pemulihan pada anak-anak 72,4% dan orang dewasa 70,6%. Baik pada anak-
anak dan orang dewasa menunjukkan tingkat pemulihan pendengaran secara
signifikan. (Na, 2014).
Studi penelitian lain dilakukan pada 17 pasien tuli mendadak dengan
jumlah peserta laki-laki 12 orang dan perempuan 5 orang dengan usia rata-rata
adalah 35,3 tahun (rentang: 18-68). Dalam ruang hiperbarik, semua pasien
bernapas 100% oksigen selama 60 menit dua kali sehari, baik sampai sembuh
atau maksimal 30 sesi dimana sebelum dilakukan penelitian peserta diperiksa
dengan lima frekuensi. Ditemukan pendengaran pasien di kisaran 61-93 dB
pada 12 pasien, sementara 5 pasien di kisaran 41-60 dB. Setelah terapi oksigen

2
hiperbarik, tingkat pendengaran dari 14 pasien berada dalam kisaran 0-26 dB,
tingkat pendengaran 2 pasien meningkat menjadi 27-40 dB dan 1 pasien
dengan tingkat pendengaran tetap di kisaran 41-60 dB. Tingkat pendengaran
rata-rata untuk semua pasien dan untuk semua lima frekuensi dasar adalah
67,8 dB sebelum terapi, dibandingkan dengan 21,6 dB setelah terapi oksigen
(Racic G., 2001). Hal ini menunjukkan bahwa terapi oksigen hiperbarik dapat
meningkatkan kemampuan pendengaran pasien tuli mendadak.
Di Indonesia, salah satu rumah sakit yang memiliki fasilitas terapi
oksigen hiperbarik adalah Rumah Sakit Angkatan Laut Dr. Mintohardjo
Jakarta Pusat. Tahun 2014 pasien tuli mendadak (sudden deafness) di Rumah
Sakit Angkatan Laut Dr. Mintohardjo sebanyak 123 pasien, jumlah ini
meningkat dari 106 pasien pada tahun 2013. Pada tahun 2002 dilakukan
penelitian tentang terapi oksigen hiperbarik terhadap penderita dengan
diagnosa tuli mendadak di Rumah Sakit Angkatan Laut Dr. Mintohardjo. Pada
34 pasien yang diteliti terdapat 25 pasien yang mengalami perbaikan
pendengaran. Penelitian tersebut hanya dilakukan pada frekuensi 500 Hz,
1000 Hz dan 4000 Hz dengan perbaikan pendengaran sebesar 13,723,1 dB,
14,121,9 dB dan 13,820,0 dB (wulandari, 2002). Oleh karena itu, dilakukan
penelitian mengenai Pengaruh Penggunaan Terapi Oksigen Hiperbarik pada
Pasien Tuli Mendadak (Sudden Deafness) di Rumah Sakit Angkatan Laut Dr.
Mintohardjo Periode 2014 dengan frekuensi tambahan 250 Hz, 2000 Hz dan
8000 Hz.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan sudden deafness?
2. Faktor apa saja yang dapat menyebabkan terjadinya sudden deafness?
3. Bagaimana perjalanan penyakit sudden deafness?
4. Bagaimana penatalaksanaan penyakit sudden deafness?

C. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan dari penulisan referat ini yaitu untuk memahami


definisi, etiologi, insidensi, patogenesis, manifestasi klinis, diagnosis, dan
penatalaksanaan dari Tuli Mendadak.

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

4
A. Anatomi Telinga
Telinga manusia terdiri atas tiga bagian, yaitu telinga luar (auris
eksterna), telinga tengah (auris media) dan telinga bagian dalam (auris
interna/labirin).

Gambar II.1 Telinga Manusia

Telinga luar dan tengah menghantarkan suara ke koklea, yang


memisahkan suara sesuai frekuensi sebelum suara di transduksi oleh sel
rambut menjadi kode neural dalam serat saraf pendengaran. Pada telinga luar
terdapat konka yang paling penting secara akustik (Moller, 2006).

1. Telinga Luar (Auris Eksterna / Outer Ear)

Telinga bagian luar terdiri dari 3 bagian yaitu :

a. Aurikula atau pina (daun telinga). Pada aurikula ada bagian yang
bertulang rawan dan ada bagian yang tidak bertulang rawan.

1) Bagian yang bertulang rawan:

Heliks dan anti heliks

Tragus dan anti tragus

5
Konka

Sulkus retroaurikuler

2) Bagian yang tidak bertulang rawan:

Lobules

Gambar II.2 Aurikula

Rangka daun telinga ini terdiri dari tulang rawan elastik dan
kulit yang berfungsi untuk mengumpulkan getaran suara menuju
MAE.

b. MAE (Meatus Akustikus Eksternus) atau liang telinga luar.

6
MAE merupakan saluran yang tidak lurus, tapi berbelok dari
arah postero-superior di bagian luar ke arah antero-inferior. MAE
terdiri dari 2 bagian yaitu :

1) Bagian lateral atau 1/3 bagian luar dengan rangkanya tulang


rawan (pars cartilagenous) :

Merupakan lanjutan dari aurikulum

Mempunyai rambut, kelenjar sebasea dan kelenjar


serumenalis

Kulit melekat erat dengan perikondrium

2) Bagian medial atau 2/3 bagian dalam dengan rangkanya terdiri


dari tulang (pars osseus) :

Merupakan bagian dari os temporale

Tidak berambut

Ada penyempitan yaitu ismus MAE

Tidak mobil terhadap sekitarnya

Panjang MAE ini 2,5-3 cm. Saluran ini memiliki sejenis


kelenjar sebaceae (sejenis minyak) yang menghasilkan kotoran teling
(cerumen). Cerumen dan rambut telinga ini dapat mencegah masuknya
benda asing ke dalam telinga (Soetirto I., Hendarmin H., dan
Bashiruddin J., 2007).

c. Membran Timpani

7
Gambar II.3 Struktur Membran Timpani

Membran timpani memisahkan kavum timpani dengan MAE.


Bentuknya seperti kerucut dengan basis oval dan puncak kerucut
cekung kea rah medial. Tepi membrane timpani disebut margo timpani.
Membrane timpani terpasang miring dengan melekat pada suatu
lekukan tulang yang disebut sulkus timpanikus dengan perantaraan
jaringan ikat (annulus timpanicus). Membran timpani terbagi menjadi
2 bagian yaitu :

1) Pars Tensa

Pars tensa merupakan bagian terbesar dari membrane


timpani dan merupakan selaput lebih tebal. Pars tensa
berbentuk oval dengan warna putih seperti mutiara. Pada pars
tensa terdapat beberapa bagian seperti :

8
Manubrium mallei

Umbo

Prosesus brevis

Reflex cahaya

Plika anterior

Plika posterior

Secara histologis pars tensa membrane timpani terdiri


atas 3 lapisan yaitu :

Lapisan luar (Epitel kulit)

Merupakan lanjutan epitel kulit meatus akustikus


eksternus.

Lapisan tengah (lamina propia)

Lamina propia ini terdiri dari lapisan jaringan ikat


tersusun sirkular dan radial.

Lapisan dalam (mukosa)

Lapisan dalam dari membrane timpani dibentuk oleh


mukosa kavum timpani.

Refleks cahaya dari membrane timpani berbentuk


segitiga dan terbentuk akibat dari posisi membrane timpani
yang terpasang miring (45o) pada sulkus timpanikus.

2) Pars Flacida

9
Juga disebut membrane Shrapnelli. Merupakan bagian
atas membrane tumpani yang berbentuk bulan sabit.

Berdasarkan posisinya, membrane timpani dapat dibagi


menjadi 4 kuadran. Kuadran tersebut didapatkan dengan menarik garis
vertikal melalui manubrium mallei dan menarik garis horizontal
melalui umbo yang tegak lurus pada garis pertama, sehingga
didapatkan bagian :

1) Kuadran Anterior Superior

2) Kuadran Anterior Inferior

3) Kuadran Posterior Superior

4) Kuadran Posterior Inferior

10
Gambar II.4 Kuadran Membran Timpani

2. Telinga Tengah (Auris Media / Middle Ear)

11
Gambar II.5 Telinga Tengah (Auris Media / Middle Ear)

Telinga tengah merupakan ruangan yang berisi udara dan terletak


di dalam tulang temporal dan dibatasi oleh (Soetirto I., Hendarmin H., dan
Bashiruddin J., 2007) :

a. Lateral : Membran Timpani

b. Anterior : Tuba Eustachius

c. Inferior : Vena Jugularis (bulbus jugularis)

d. Posterior : Aditus ad Antrum, kanalis fasialis pars vertikalis.

e. Superior : Tegmen Timpani (meningen/otak)

f.
Medial : Berturut-turut dari atas ke bawah kanalis semi
sirkularis horizontal, kanalis fasialis, tingkap lonjong (oval window),
tingkap bundar (round window) dan promontorium.

Telinga tengah (middle ear) atau auris media tersusun dari


beberapa bagian yaitu :

a. Kavum Timpani

Kavum timpani merupakan bagian terpenting dari auris media,


mengingat banyaknya struktur yang ada di dalamnya yaitu tulang, otot,
ligament, saraf, dan pembuluh darah. Kavum timpani dapat
dibayangkan sebagai kotak dengan dinding enam, dan dindingnya
berbatasan dengan organ-organ penting. Jarak anterior sampai
posteriornya adalah 15 mm, jarak superior sampai inferiornya adalah

12
15 mm dan jarak lateral sampai medialnya adalah 6 mm, tempat ada
bagian tersempit yang hanya berjarak 2 mm.

Kavum timpani dibagi menjadi 3 bagian yaitu epitimpanum,


mesotimpanum, dan hipotimpanum. Pada kavum timpani terdapat :

1) Osikula

Osikula pada kavum timpani terdiri atas :

Maleus

Dengan bagian-bagiannya yaitu kaput, kolum, prosesus


brevis, prosesus longus, dan manubrium malei. Kaput
malei mengisi epitimpanum, sedangkan bagian yang
lain mengisi mesotimpanum.

Inkus

Terdiri atas kaput, prosesus brevis, dan prosesus longus.


Sebagian besar bagian inkus mengisi epitimpanum dan
hanya sebagian dari prosesus longus yang mengisi
mesotimpanum.

Stapes

Terdiri atas kaput, kolum, krus anterior, krus posterior


dan basis.

Ketiga tulang pendengaran tersebut satu dengan yang


lain dihubungkan dengan suatu persendian, sehingga
merupakan suatu rangkaian yang disebut rantai osikula. Basis
stapes menutup foramen ovale dengan perantaraan jaringan ikat
yang disebut ligament anulare. Rantai osikula dan gerakan

13
basis stapes sangat penting artinya bagi system konduksi pada
fungsi pernafasan.

2) Muskuli

Terdiri atas m. Tensor timpani yang mempunyai fungsi


meregangkan membrane timpani dan m. stapedius yang
mempunyai fungsi mengatur gerakan stapes.

3) Ligamen

Mempunyai fungsi mempertahankan posisi osikula di dalam


kavum timpani.

4) Saraf

Saraf yang berada dalam kavum timpani adalah N. Korda


timpani. Saraf ini merupakan cabang dari pars vertikalis N.VII
(N. Fasialis).

b. Tuba Eustachius

Tuba eustachius merupakan saluran yang menghubungkan


kavum timpani dengan nasofaring, berbentuk terompet, panjang 37
mm. tuba eustachius dari kavum timpani menuju nasofaring terletak
dengan posisi infero-antero-medial sehingga ada perbedaan ketinggian
antara muara pada kavum timpani dengan muara pada nasofaring
sekitar 15 mm.

Pada bayi, tuba eustachius terletak lebih horizontal, lebih


pendek dan lumen lebih lebar sehingga mudah terjadi keradangan
telinga tengah.

14
Muara pada kavum timpani selalu terbuka, sedangkan muara
pada nasofaring selalu tertutup dan baru terbuka bila ada kontraksi M.
levator dan M. tensor veli palatine yaitu pada waktu menguap atau
menelan.

c. Mastoid yang terdiri dari antrum dan selula mastoid

Dalam kaitan dengan penyakit telinga tengah, terdapat 2 hal


penting yang perlu dipelajari tentang mastoid, yaitu topografi dan
pneumatisasi mastoid.

1) Topografi Mastoid

Dinding anterior mastoid merupakan dinding posterior


kavum timpani dan MAE. Antrum mastoid dan kavum timpani
dihubungkan lewat aditus ad antrum.

Dinding atas antrum mastoid tersebut disebut tegmen


antri, merupakan dinding tipis seperti juga pada tegmen
timpani dan merupakan batas antara mastoid dengan fosa kranii
media. Dinding posterior dan medial merupakan dinding tulang
tipis membatasi mastoid dengan sinus sigmoid.

Keadaan ini menyebabkan suatu keradangan dalam


mastoid dapat meluas ke endokranium dan ke sinus sigmoid
sehingga dapat menimbulkan keradangan di otak maupun
tromboplebitis.

2) Pneumatisasi Mastoid

Proses pneumatisasi mastoid di dalam prosesus mastoid terjadi


setelah bayi lahir. Berdasarkan pertumbuhan dan bentuknya
dikenal 4 jenis pneumatisasi, yaitu :

15
Infantil

Selula yang terjadi akibat proses pneumatisasi sangat


sedikit jumlahnya. Akibatnya bagian korteks di
prosesus mastoid menjadi sangat tebal sehingga jika
terjadi perluasan abses lebih mudah ke arah
endokranium.

Normal

Selula yang terjadi meluas sedemikian rupa sehingga


hampir meliputi seluruh prosesus mastoid. Akibatnya
bagian korteks di prosesus mastoid menjadi sangat tipis
dan abses mudah pecah keluar sehingga timbul fistel
retroaurikuler.

Hiperpneumatisasi

Selula yang terjadi tidak hanya terbatas pada prosesus


mastoid saja, akan tetapi juga meluas sampai os
zigomatikum dan bahkan sampai pada apeks
piramidalis. Akibatnya, keradangan pada mastoid dapat
meluas sampai menimbulkan abses preaurikularis dan
bahkan sampai abses supraaurikularis.

Sklerotik

Berbentuk seperti pneumatisasi tipe infantile. Tipe


sklerotik ini terjadi akibat adanya keradangan kronik
dalam kavum timpani dan kavum mastoid (otitis media
kronika dan mastoiditis). Akibatnya keradangan lebih
mudah meluas ke arah tegmen antri, masuk ke fosa
kranii media dan timbul meningitis atau abses otak.

16
Semua ruangan yang membentuk auris media dilapisi oleh mukosa
dengan epitel selapis kubis yang sama dengan mukosa kavum nasi dan
nasofaring. Selain itu, mukosa auris media merupakan kelanjutan mukosa
nasofaring dan mukosa tuba eustachius. Secara klinis hal ini
mempermudah keradangan pada nasofaring meluas ke kavum timpani dan
menimbulkan keradangan pada kavum timpani.

2. Telinga Dalam (Auris Interna / Inner Ear)

Telinga dalam atau auris interna ini disebut juga labirin. Bagian
dalam telinga ini terdapat organ pendengaran yang terdiri atas koklea
(rumah siput) dan organ keseimbangan (vestibuler) yang terdiri atas
kanalis semi sirkularis, sakulus dan ultrikulus (Soetirto I., Hendarmin H.,
dan Bashiruddin J., 2007).

Gambar II.6 Telinga Dalam (Auris Interna/Inner Ear)

Keduanya berbentuk tabung yang masing-masing berisi endolimf


dan perilimf. Cairan endolimf keluar melalui ductus endolimfatikus
sedangkan cairan perilimf berhubungan dengan likuor serebrospinalis

17
melalui ductus perilimfatikus. Hal ini mengakibatkan keradangan dalam
kavum timpani dapat menjalar ke dalam endokranium.

a. Organ Pendengaran/Auditu (Koklea)


Koklea ini terdiri atas dua ruangan atau saluran, canal
vestibulat bagian atas dan canal timpanik pada bagian bawah. Kedua
ruangan tersebut berisikan cairan perilimfe dan dibatasi oleh duktus
koklea. Sedangkan duktus koklea berisikan cairan endolimfe. Pada
bagian dasar duktus koklea ini lah terdapat reseptor pendengaran yang
disebut dengan organ corti (Soetirto I., Hendarmin H., dan Bashiruddin J.,
2007).

Gambar II.7 Organ Corti

b. Organ Keseimbangan (Vestibuler)


Bagian vestibulum telinga dalam dibentuk oleh sakulus,
utrikulus, dan kanalis semisirkularis.

18
Gambar II.8 Organ Keseimbangan

Utrikulus dan sakulus mengandung macula yang diliputi oleh


sel-sel rambut. Menutupi sel-sel rambut ini adalah suatu lapisan
gelatinosa yang ditembus oleh silia, dan pada lapisan ini terdapat pula
otolit yang mengandung kalsium dan dengan berat jenis yang lebih
besar daripada endolimfe. Karena pengaruh gravitasi, maka gaya dari
otolit akan membengkokkan silia sel-sel rambut dan menimbulkan
rangsangan pada reseptor. Sakulus berhubungan dengan utrikulus
melalui suatu duktus sempit yang juga merupakan saluran menuju
sakus endolimfatikus. Makula utrikulus terletak pada bidang yang
tegak lurus terhadap makula sakulus.
Ketiga kanalis semisirkularis bermuara pada utrikulus. Masing-
masing kanalis mempunyaiseatu ujung yang melebar membentuk
ampula dan mengandung sel-sel rambut Krista. Sel-sel rambut
menonjol pada suatu kupula gelatinosa. Gerakan endolimfe dalam
kanalis semisirkularis akan menggerakkan kupula yang selanjutnya
akan membengkokkan silia sel-sel rambut Krista dan merangsang sel
reseptor (Higler, Boies dan Adams, 1997).

B. Fisiologi Pendengaran
Proses mendengar diawali dengan ditangkapnya energi bunyi oleh
daun telinga dalam bentuk gelombang yang dialirkan melalui udara atau
tulang ke koklea. Getaran tersebut menggetarkan membran timpani diteruskan
ke telinga tengah melalui rangkaian tulang pendengaran yang akan
mengamplifikasi getaran melalui daya ungkit tulang pendengaran dan
perkalian perbandingan luas membran timpani dan tingkap lonjong. Energi
getar yang telah diamplifikasi ini akan diteruskan ke stapes yang
menggerakkan tingkap lonjong sehingga perilimfa pada skala vestibuli
bergerak.
Getaran diteruskan melalui membrana Reissner yang mendorong
endolimfa, sehingga akan menimbulkan gerak relatif antara membran basilaris
dan membran tektoria. Proses ini merupakan rangsang mekanik yang
menyebabkan terjadinya defleksi stereosilia sel-sel rambut, sehingga kanal ion

19
terbuka dan terjadi penglepasan ion bermuatan listrik dari badan sel. Keadaan
ini menimbulkan proses depolarisasi sel rambut, sehingga melepaskan
neurotransmitter ke dalam sinapsis yang akan menimbulkan potensial aksi
pada saraf auditorius, lalu dilanjutkan ke nukleus auditorius sampai ke korteks
pendengaran (area 39-40) di lobus temporalis (Soetirto I., Hendarmin H., dan
Bashiruddin J., 2007).

Gambar II.9 Fisiologi Pendengaran

Ada lima langkah dalam proses mendengar, yaitu :

1. Hantaran udara : sepanjang telinga luar sampai membrane timpani


2. Hantaran tulang : sepanjang telinga tengah sampai telinga dalam
3. Hantaran air : sampai Organ Corti
4. Hantaran saraf : menuju otak
5. Interpretasi : oleh otak

C. Mekanisme Pendengaran

Gambar II.10 Mekanisme Pendengaran

D. Gangguan Pendengaran

20
1. Gangguan pendengaran Konduktif
Pada gangguan pendengaran jenis ini, transmisi gelombang tidak
dapat mencapai telinga dalam secara efektif. Ini disebabkan karena
beberapa gangguan atau lesi pada kanal telinga luar, rantai tulang
pendengaran, ruang telinga tengah, fenestra ovalis, fenestra rotunda dan
tuba auditiva. Gejala yang dialami pada gangguan pendengaran konduktif
biasanya berupa adanya cairan yang keluar dari telinga (Bashiruddin J,
2007).
2. Gangguan pendengaran Sensorineural
Gangguan pendengaran sensorineural kelainan teradpat pada
koklea (telinga dalam), nervus VIII atau di pusat pendengaran
(Bashiruddin J, 2007).
3. Gangguan pendengaran Campuran
Bila gangguan pendengaran atau ketulian konduktif dan
sensorineural terjadi bersamaan. Misalnya, radang telinga tengah dengan
komplikasi ke telinga dalam atau merupakan dua penyakit yang berlainan,
misalnya tumor nervus VIII (tuli saraf) dengan radang telinga tengah (tuli
kenduktif) (Bashiruddin J, 2007).

E. Pemeriksaan Pendengaran
Untuk memeriksa pendengaran diperlukan pemeriksaan hantaran
melalui udara dan melalui tulang dengan memakai garpu tala atau audiometer
nada murni. Kelainan hantaran melalui udara menyebabkan tuli konduktif,
berarti ada kelainan di telinga luar dan telinga tengah, seperti atresia liang
telinga, eksostosis liang telinga, serumen, sumbatan tuba eusachius serta
radang telinga tengah. Kelainan di telinga tengah menyebabkan tuli
sensorineural koklea atau retrokoklea (Bashiruddin J, 2007).
Secara fisiologik telinga dapat mendengar nada antara 20-18.000 Hz.
Untuk pendengaran sehari-hari yang paling efektif antara 500-2000 Hz. Oleh
karena itu untuk memeriksa pendengaran dipakai garpu tala 512, 1024 dan
2048 Hz. Penggunaan ketiga garpu tala ini penting untuk pemeriksaan
kualitatif. Bila salah saut frekuensi ini tergangu penderita akan sadar adanya
gangguan pendengaran. Bila tidak mungkin menggunakan ketiga garpu tala
itu, maka diambil 512 Hz karena penggunaan garpu tala ini tidak terlalu
dipengaruhi suara bising di sekitarnya (Bashiruddin J, 2007). Untuk

21
mempermudah interpretasi secara klinik, dipakai tes Rinne, tes Weber dan tes
Schwabach secara bersamaan. Cara pemeriksaan :
1. Tes Rinne: tes ini membandingkan antara konduksi melalui tulang dan
udara. Garputala digetarkan kemudian diletakkan pada prosesus
mastoideus (dibelakang telinga), setelah tidak mendengar getaran lagi
garputala dipindahkan di depan liang telinga, tanyakan penderita apakah
masih mendengarnya (J.F Gabriel, 1996).
2. Tes Weber: penala digetarkan dan tangkai penala diletakkan di garis
tengah kepala (di verteks, dahi, pangkal hidung, di tengahtengah gigi seri
atau dagu). Apabila bunyi penala terdengar lebih keras pada salah satu
telinga disebut Weber lateralisasi ke telinga tersebut. Bila tidak dapat
dibedakan ke arah telinga mana bunyi terdengar lebih keras disebut Weber
tidak ada lateralisasi (Bashiruddin J, 2007).
3. Tes Schwabach: tes ini membandingkan jangka waktu konduksi tulang
melalui verteks atau prosesus mastoideus penderita dengan konduksi
tulang sipemeriksa (J.F Gabriel, 1996).

Tabel II.1 Diagnosa Tes Rinne, Tes Weber dan Tes Schwabach
(Bashiruddin J, 2007).
Tes Rinne Tes Weber Tes Diagnosis
Schwabach
Positif Tidak ada lateralisasi Sama dengan Normal
pemeriksa
Negatif Lateralisasi ke telinga Memanjang Tuli Konduktif
yang sakit
Positif Lateralisasi ke telinga Memendek Tuli
yang sehat Sensorineural

4. Tes berbisik
Pemeriksaan ini bersifat semi-kuantitatif, menentukan derajat
ketulian secara kasar. Hal yang perlu diperhatikan adalah ruangan cukup
tenang, dengan panjang minimal 6 meter. Pada nilai normal tes berbisik
adalah 5/6-6/6 (Bashiruddin J, 2007).
5. Audiometri nada murni
Untuk membuat audiogram diperlukan alat audiometer. Bagian dari
audiometer tombol pengatur intensitas bunyi, tombol pengatur frekuensi,
headphone untuk memeriksa AC (hantaran udara), bone conductor untuk
memeriksa BC (hantaran tulang).

22
a. Frekuensi adalah nada murni yang dihasilkan oleh getaran suatu benda
yang sifatnya harmonis sederhana (simple harmonic motion). Jumlah
getaran per detik dinyatakan dalam Hertz.
b. Intesitas bunyi dinyatakan dalan dB (decibell). Dikenal dengan dB HL
(hearing level), dB SL (sensation level), dB SPL (sound pressure
level). dB HL dan dB SL dasarnya adalah subyektif, dan inilah yang
biasanya digunakan pada audiometer, sedang dB SPL digunakan
apabila ingin mngetahui intensitas bunyi yang sesungguhnya secara
fisika.
c. Ambang dengar ialah bunyi nada murni yang terlemah pada frekuensi
tertentu yang masih dapat didengar oleh telinga seseorang. Terdapat
ambang dengar menurut konduksi udara (AC) dan menurut konduksi
tulang (BC). Bila ambang dengar ini dihubungkan dengan garis baik
AC maupun BC, maka akan didapatkan audiogram. Dari audiogram
dapat diketahui jenis dan derajat ketulian (Bashiruddin J, 2007).
6. Notasi pada audiogram
Untuk pemeriksaan audiogram, dipakai grafik AC yang dibuat
dengan garis lurus penuh (intensitas yang diperiksa antara 125-8000 Hz)
dan grafik BC yaitu dibuat dengan garis putus-putus (intensitas yang
diperiksa 250-4000 Hz). Untuk telinga kiri dipakai warna biru sedangkan
telinga kanan warna merah (Bashiruddin J, 2007).

Nilai nol audiometrik (audiometric zero) dalam dB HL dan dB SL,


yaitu intensitas nada murni yang terkecil pada suatu frekuensi tertentu yang
masih dapat didengar oleh telinga rata-rata orang dewasa muda yang normal
(18-30 tahun). Pada tiap frekuensi intensitas nol audiometrik tidak sama.
(Bashiruddin J, 2007).

Telinga manusia paling sensitif terhadap bunyi dengan frekuensi 1000


Hz yang besar nilai audiometrik kira-kira 0,0002 dyne/cm2 . Pada frekuensi
2000 Hz nilai audiometriknya lebih besar dari 0,0002 dyne/cm2 . Pada
audiogram angka-angka intensitas dalam dB bukan menyatakan liniar, tetapi
merupakan kenaikan logaritmik secara perbandingan (Bashiruddin J, 2007).

23
BAB III

PEMBAHASAN

A. Definisi
Sudden Deafness atau tuli mendadak adalah tuli yang terjadi secara
tiba-tiba. Jenis ketuliannya adalah sensorineural, penyebabnya tidak langsung
dapat diketahui, biasanya terjadi pada satu telinga. Sebuah kriteria yang umum
digunakan untuk memenuhi syarat untuk diagnosis tuli mendadak ini adalah
gangguan pendengaran sensorineural yang lebih besar dari 30 dB lebih dari 3
frekuensi yang berdekatan yang terjadi dalam periode 3 hari. Sebagian besar
kasus kehilangan pendengaran mendadak unilateral dan prognosis untuk
pemulihan pendengaran cukup baik. Tuli mendadak dimasukkan ke dalam
keadaan darurat otologi, oleh karena kerusakannya terutama di daerah koklea
dan biasanya bersifat permanen walaupun bisa kembali normal atau mendekati
normal (Neeraj N Mathur, 2011).

B. Epidemiologi
Ketulian pada tuli mendadak sebagian besar kasus terjadi pada satu
telinga (unilateral) dan hanya 1,7% - 2% kasus terjadi pada dua telinga
(bilateral). Di Amerika Serikat terjadi 5-20 kasus tuli mendadak per 100.000
penduduk pertahun. Hadjar E melaporkan di sub bagian Neurotologi THT
FKUI/ RS Cipto Mangunkusumo Jakarta pada tahun 1999 sampai dengan
tahun 2001 terdapat 262 pasien tuli mendadak yang merupakan 6,24 % dari
seluruh penderita ketulian dan10% dari tuli sensorineural dan 36% dari
penderita tuli akibat kelainan vaskuler (Abdilah F., 2004).
Diperkirakan sekitar 4000 kasus sudden sensorineural hearing loss
(SSNHL) terjadi di USA setiap tahunnya. Insidens kejadian di US ini berkisar
antara 5-20 kasus per 100.000 orang. Banyak kasus yang tidak dilaporkan,
sehingga sangat besar kemungkinan angka tersebut bisa lebih tinggi. Hal ini

24
dikarenakan tuli mendadak dapat teratasi sebelum pasien tersebut
mengunjungi tempat pelayanan kesehatan (Abdilah F., 2004).
Distribusi antara pria dan wanita terlihat hampir sama. Berdasarkan
data dari beberapa penelitian, menyimpulkan bahwa sekitar 53% pria terkena
tuli mendadak dibandingkan wanita. Jenis kelamin bukan merupakan suatu
faktor risiko yang mempengaruhi kejadian kasus ini (Abdilah F., 2004).
Tuli mendadak dapat mengenai semua golongan usia, walaupun pada
beberapa penelitian, hanya sedikit ditemukan pada anak-anak dan lansia.
Puncak insidensi muncul pada usia 50an. Dewasa muda memiliki angka
kejadian yang hampir sama dengan dewasa pertengahan-tua. Usia rata-rata
sekitar 40-54 tahun (Abdilah F., 2004).

C. Etiologi
Penyebab pasti kadang sulit untuk diketahui, umumnya diakibatkan
gangguan pada saraf telinga ( pada rumah siput / koklea ) oleh berbagai hal
seperti trauma kepala, bising yang keras, infeksi virus, perubahan tekanan
atmosfir dan adanya kelainan darah., autoimun, obat ototoksik, sindroma
Meniere dan neroma akustik. Tetapi yang biasanya dianggap sebagai etiologi
adalah iskemia koklea dan infeksi virus (Soetirto I., Hendarmin H., dan
Bashiruddin J., 2007).

25
Gambar II.12 Etiologi Terjadinya Sudden Deafness (Tuli Mendadak)

1. Etiologi Virus
Ketulian mendadak sensorineural ditemukan pada kasus-kasus
penyakit MUMPS, measles, rubella, dan influenza yang disebabkan oleh
infeksi adenovirus dan sitomegalovirus (CMV). Pemeriksaan serologis
terhadap pasien dengan ketulian sensorineural idiopatik menunjukkan
adanya peningkatan titer antibody terhadap sejumlah virus. Antara 25-30
% pasien dilaporkan dengan riwayat infeksi saluran nafas atas dengan
kurang satu bulan onset kehilangan pendengaran.

Pemeriksaan histopatologi tulang temporal pasien yan mengalami


ketulian mendadak menunjukkan adanya atrofi organ corti, atrofi stria
vaskularis dan membran tektorial serta hilangnya sel rambut dan sel
penyokong dari koklea. Contoh Infeksi yang dapat menyebabkan tuli
mendadak :
a. meningokokus meningitis
b. Herpesvirus (simpleks, zoster, varisela, cytomegalovirus
c. Penyakit gondok
d. Human immunodeficiency virus
e. Demam Lassa
f. Mycoplasma
g. Meningitis kriptokokal
h. Toksoplasmosis
i. Sipilis
j. Rubeola
k. Rubella
l. Manusia spumaretrovirus

26
2. Etiologi Vaskuler (Iskemia Koklea)
Iskemia koklea merupakan penyebab utama tuli mendadak.
Pembuluh darah koklea merupakan ujung arteri (end artery), sehingga bila
terjadi gangguan pada pembuluh darah ini koklea sangat mudah
mengalami kerusakan, Pada kasus emboli, trombosis, vasospasme, dan
hiperkoagulasi atau viskositas yang meningkat.terjadi iskemia yang
berakibat degenerasi luas pada sel-sel ganglion stria vaskularis dan
ligament spiralis. Kemudian diikuti oleh pembentukan jaringan ikat dan
penulangan (Soetirto I., Hendarmin H., dan Bashiruddin J., 2007). Contoh
penyakit Vaskular yang dapat menyebabkan tuli mendadak :
a. Vascular penyakit / perubahan mikrosirkulasi
b. Vascular penyakit yang berhubungan dengan mitochondriopathy
c. Vertebrobasilar insufisiensi
d. Deformabilitas sel darah merah
e. Penyakit sel sabit
f. Penyakit Cardiopulmonary

3. Ruptur Membran Labirin


Ruptur membran labirin berpotensial menyebabkan kehilangan
pendengaran sensorineural yang tiba-tiba, membran basalis dan membran
reissner merupakan selaput tipis yang membatasi endolimfe dan perilimfe.
Ruptur salah satu dari membran atau keduanya dapat menyebabkan
ketulian mendadak.

4. Penyakit Autoimun pada Telinga Dalam


Ketulian sensorineural yang disebabkan oleh proses autoimun
telinga dalam masih belum jelas, tapi aktivitas imunologik koklea
menunjukkan fakta yang tinggi.
Contoh penyakit Autoimmune yang dapat menyebabkan tuli mendadak :
penyakit autoimun telinga bagian dalam (AIED)
a. Kolitis ulserativa
b. Kambuh polychondritis
c. Lupus eritematosus
d. Poliarteritis nodosa
e. Sindrom Cogan
f. Wegener Granulomatosis

27
5. Obat-obat Ototoksik
Tuli mendadak juga dapat disebabkan oleh obat-obat ototoksik.
Tuli ini biasanya didahului oleh tinitus. Sebagai aturan umum, setiap obat
atau zat kimia yang menimbulkan efek toksik terhadap ginjal dapat dan
biasanya juga bersifat ototoksik (Higler, Boies dan Adams, 1997).

Tabel II.2 Golongan dan Contoh Obat

Golongan obat & zat Contoh Obat & zat

Antibiotik - Aminoglikosida
Streptomisin
Dihidrostreptomisin
Neomisin
Gentamisin
Tobramisin
Amikasin
- Antibiotik lain
Vankomisin
Eritromisin
Kloramfenikol
Ristosetin
Polimiksin B
Viomisin
Farmasetin
Kolistin
Furosemid
Diuretik
Asam etakrinat
Bumetanid
Asetazolamid
Manitol
Salisilat
Analgetik dan Antipiretik

28
Kinin
Klorokuin

Golongan obat & zat Contoh Obat & zat


Bleomisin
Antineoplastik
Nitrogen mustard
Cis-platinum
Pentobarbital
Lain-lain
Heksadin
Mandelamin
Praktolol
Karbon monoksida
Zat kimia
Minyak chenopodium
Nikotin
Zat warna anilin
Alkohol
Kalium bromat
Air raksa
Logam berat
Emas
Timbale
Arsen

6. Faktor Predisposisi
Terdapat faktor predisposisi pada kasus-kasus tuli mendadak saat
ini masih banyak diperdebatkan. Penggunaan alkohol yang berlebihan,
kondisi emosional penderita, kelelahan, penyakit metabolik (diabetes
melitus, hiperlipidemia), penyakit kardiovaskuler, stres, umur dan
kehamilan sering dianggap sebagai faktor predisposisi terjadinya tuli
mendadak. Banyak ahli berpendapat bahwakeadaan kardiovaskuler sangat
berpengaruh terhadap kejadian tuli mendadak (Alviandi W, Soetirto I.
2006).

D. Patogenesis

29
Ada 4 teori postulasi terjadinya tuli mendadak yaitu infeksi viral
labirin, gangguan vaskular labirin, ruptur membran intrakoklear dan penyakit
telinga dalam yang berhubungan dengan autoimun. Namun setiap jalur teori
ini belum tentu terjadi pada setiap kasus tuli mendadak atau suden deafness.
1. Infeksi viral labirin
Prevalensi menunjukan 7 -13% pasien yang menderita tuli
mendadak sebelumnya menderita infeksi virus (mumps, herpes).
Terkadang dapat ditemukannya histopatologi pada telinga bagian dalam
yang menunjukan adanya infeksi oleh virus. Gambaran histopatologi
ditemukan adanya kerusakan di koklea berupa hilangnya selsel rambut
dan sel penyokongnya, atrofi membrane tectorial, atrofi stria vascularis,
dan hilangnya neuron (Marthur, 2015).
2. Gangguan vaskular labirin
Koklea diperdarahi oleh arteri auditiva interna, dimana pembuluh
darah ini merupakan arteri ujung atau end-artery, sehingga bila terjadi
gangguan pada pembuluh darah ini koklea sangat mudah mengalami
kerusakan. Gangguan vaskular labirin bisa disebabkan oleh adanya
trombus, emboli dan vasospasme yang dapat menyebabkan penurunan
suplai darah ke koklea sehingga perfusi dan oksigenasi jaringan terganggu
(iskemia koklea) yang menyebabkan perubahan tekanan oksigen perilimfe
(Marthur, 2015).
3. Ruptur membran intrakoklear
Membran ini memisahakan telinga tengah dan telinga dalam. Pada
koklea membran ini juga memisahkan ruang perilimfe dan endolimfe.
Ruptur dari salah satu atau kedua membran ini dapat menyebabkan tuli
mendadak. Kebocoran cairan perilimfe ke telinga tengah melalui tingkap
lonjong dapat menyebabkan terjadinya tuli mendadak. Ruptur membran
intrakoklear menyebabkan bercampurnya cairan perilimfe dan endolimfe
sehingga terjadi perubahan potensial endokoklea (Marthur, 2015).

4. Penyakit telinga dalam yang berhubungan dengan autoimun


Pada sebuah studi terhadap 51 pasien yang mengalami tuli
mendadak, ditemukan adanya keterlibatan penyakit autoimun dan tuli
mendadak (Marthur, 2015).

30
E. Gejala Klinis
Tuli dapat unilateral atau bilateral, dapat disertai dengan tinitus atau
vertigo. Pada infeksi virus, timbulnya tuli mendadak biasanya pada satu
telinga, dapat disertai dengan tinnitus dan vertigo. Kemungkinan ada gejala
dan tanda penyakit virus seperti parotis varisela, variola atau pada anamnesis
baru sembuh dari penyakit virus tersebut. Pada pemeriksaan klinis/otoskopis
tidak terdapat kelainan telinga (Soetirto I., Hendarmin H., dan Bashiruddin J.,
2007).
Pada iskemia koklea, tuli dapat bersifat mendadak atau menahun
secara tidak jelas. Kadang-kadang bersifat sementara atau berulang dalam
serangan, tetapi biasanya menetap. Tuli yang bersifat sementara biasanya tidak
berat dan tidak berlangsung lama. Kemungkinan sebagai pegangan harus
diingat bahwa perubahan yang menetap akan terjadi sangat cepat. Tuli dapat
unilateral atau bilateral, dapat disertai dengan tinitus dan vertigo (Soetirto I.,
Hendarmin H., dan Bashiruddin J., 2007).

F. Klasifikasi
Klasifikasi derajat gangguan pendengaran menurut International
Standard Organization (ISO) dan American Standard Association (ASA).
Tabel II.3 Klasifikasi Derajat Gangguan Pendengaran

Derajat Gangguan
ISO ASA
Pendengaran
Normal 10-25 dB 10-19 dB
Ringan 26-40 dB 16-29 dB
Sedang 41-55 dB 30-44 dB
Sedang-Berat 56-70 dB 45-59 dB
Berat 71-90 dB 60-79 dB
Sangat Berat >90 dB >80 dB
G. Diagnosis
Menurut Guidline American Academy of Otolaryngology-Head and
Neck Surgery, langkah pertama diagnosis tuli mendadak adalah membedakan
tuli sensorineural dan tuli konduktif melalui :
1. Anamnesis
a. Kehilangan pendengaran tiba-tiba biasanya satu telinga yang
tidak jelas penyebabnya berlangsung dalam waktu kurang dari 3 hari
(Anias CR, 2007).

31
b. Pasien biasanya mengingat dengan jelas kapan tepatnya mereka
kehilangan pendengaran, pasien seperti mendengar bunyi klik
atau pop kemudian pasien kehilangan pendengaran (Danesh AA
and Andreasen WD., 2007).
c. Gejala pertama adalah berupa tinitus, beberapa jam bahkan
beberapahari sebelumnya bisa didahului oleh infeksi virus, trauma
kepala, obat-obat ototoksik, dan neuroma akustik
d. Pusing mendadak (vertigo) merupakan gejala awal terbanyak dari
tulimendadak yang disebabkan oleh iskemik koklear dan
infeksi virus,dan vertigo akan lebih hebat pada penyakit meniere,
tapi vertigo tidak ditemukan atau jarang pada tuli mendadak
akibat neuroma akustik,obat ototoksik (Griffith RW., 2004).
e. Mual dan muntah (Betesda, 2003).
f. Demam tinggi dan kejang.
g. Riwayat infeksi virus seperti mumps, campak, herpes zooster,
CMV,influenza B (Griffith RW., 2004).
h. Riwayat hipertensi (Anias CR, 2007).
i. Riwayat penyakit metabolik seperti DM.
j. Telinga terasa penuh, biasanya pada penyakit Meniere
(Betesda, 2003).
k. Riwayat berpergian dengan pesawat atau menyelam ke dasar
laut (Griffith RW., 2004).
l. Riwayat trauma kepala dan bising keras (Griffith RW., 2004).

2. Pemeriksaan Fisik (Soetirto I., Hendarmin H., dan Bashiruddin J., 2007).
Pada pemeriksaan fisik dengan otoskop, tidak ditemukan kelainan
pada telinga yang sakit. Sementara dengan pemeriksaan pendengaran
didapatkan hasil sebagai berikut:
a. Tes penala :
1) Rinne positif
2) Weber lateralisasi ke telinga yang sehat
3) Schwabach memendek

Kesan : Tuli sensorieural

b. Audiometri nada murni :


Tuli sensorineural ringan sampai berat.

3. Pemeriksaan Penunjang (Soetirto I., Hendarmin H., dan Bashiruddin J.,


2007).

32
a. Audiometri khusus
1) Tes SISI (Short Increment Sensitivity Index) dengan skor :
100% atau kurang dari 70%, kesan :dapat ditemukan
rekrutmen.
2) Tes Tone decay atau reflek kelelahan negatif. Kesan : Bukan
tuli retrokoklea.
b. Audiometri tutur (speech audiometry) : SDS ( speech discrimination
score): kurang dari 100% Kesan : Tuli sensorineural.
c. Audiometri impedans : Timpanogram tipe A (normal) reflek stapedius
ipsilateral negative atau positif sedangkan kolateral positif. Kesan :
Tuli sensorineural Koklea.
d. BERA (Brainstem Evolved Responce Audiometry) Menunjukkan tuli
sensori neural ringan sampai berat.
e. Pemeriksaan Laboratorium dapat digunakan untuk memeriksa
kemungkinan infeksi virus, bakteri, hiperlipidemia, hiperfibrinogen,
hipotiroid, penyakit autoimun, dan faal hemostasis.
f. Tes Keseimbangan ENG (electro nystagmography) mungkin terdapat
paresis kanal.
g. Pemeriksaan tomografi computer (CT-scan) dan pencitraan resonansi
magnetic (MRI) dengan kontras diperlukan untuk menyingkirkan
diagnosis seperti neuroma akustik dan malformasi tulang temporal.
Bila diduga kemungkinan adanya neuroma akustik, pasien dikonsulkan
ke bagian Saraf. Pemeriksaan arteriografi diperlukan untuk kasus yang
diduga akibat thrombosis.
Ketulian atau hearing loss diklasifikasikan menjadi tuli konduktif, tuli
sensorineural, atau campuran.
Tuli konduktif disebabkan oleh abnormalitas telinga luar, membran
timpani, rongga udara telinga tengah, atau tulang pendengaran, struktur yang
menghantarkan gelombang suara ke koklea.
Sementara itu, tuli sensorineural disebabkan oleh adanya abnormalitas
koklea, saraf auditorik, dan struktur lain yang mengolah impuls neural ke
korteks auditorik di otak (Stachler R.J et al, 2012).

H. Penatalaksanaan
Pengobatan untuk tuli mendadak sampai saat ini merupakan suatu hal
yang kontroversi, tingginya angka perbaikan secara spontan ke arah normal
maupun mendekati normal menyulitkan evaluasi pengobatan untuk tuli

33
mendadak. Tak ada studi terkontrol yang dilakukan yang dapat membuktikan
bahwa suatu obatsecara bermakna menyembuhkan tuli mendadak. Seperti
diketahui angka penyembuhan secara spontan tuli mendadak terjadi antara 40-
70% kasus. Ada pendapat ahli menyatakan bahwa sebagian besar kasus tuli
mendadak mengalami proses penyembuhan secara partial terutama selama 14
hari pertama setelah onset penyakit. Terapi untuk tuli mendadak adalah
(Soetirto I., Hendarmin H., dan Bashiruddin J., 2007) :
1. Tirah baring sempurna (total bed rest) istirahat fisik dan mental selama 2
minggu untuk menghilangkan atau mengurangi stress yang besar
pengaruhnya pada keadaan kegagalan neovaskular.
2. Vasodilatansia yang cukup kuat misalnya dengan pemberian Complamin
injeksi.
a. 3x 1200 mg (4 ampul) selama 3 hari
b. 3x 900 mg (3 ampul) selama 3 hari
c. 3x 600 mg (2 ampul) selama 3 hari
d. 3x 300 mg (1 ampul) selama 3 hari
Disertai dengan pemberian tablet vasodilator oral tiap hari. Perlu
dipertimbangkan pemberian vasodilator jenis lain mengingat Complamin
sudah kurang diproduksi
3. Prednison 4 x 10 mg (2 tablet), tappering off tiap 3 hari (hati hati pada
penderita DM).
4. Vitamin C 500 mg 1x1 tablet/hari
5. Neurobion 3x1 tablet /hari
6. Diit rendah garam dan rendah kolesterol
7. Inhalasi oksigen 4x15 menit (2 liter/menit),
8. Obat antivirus sesuai dengan virus penyebab.
9. Hiperbarik oksigen terapi (OHB)

Gambar II.13 Terapi OHB


OHB dapat memperbaiki kondisi iskemia koklea pada kasus tuli
sensorineural mendadak. Iskemia/hipoksia mengakibatkan terbentuknya

34
asam laktat sebagai hasil respirasi anaerob. Penurunan pH intraseluler
mengganggu proses metabolisme sel sehingga terjadi kerusakan sel. Efek
hiperoksigenasi dapat memperbaiki kerusakan sel akibat iskemia. Oksigen
yang cukup dapat menstimulasi respirasi aerob sehingga proses
metabolisme sel dapat kembali normal.
Iskemia mengkibatkan vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas
kapiler sebagai respon inflamasi. Penumpukan cairan di intersisial
menghasilkan edema jaringan. OHB mengakibatkan vasokontriksi
sehingga mengurangi edema akibat proses iskemia. OHB meningkatkan
kemampuan difusi O2. Pada tekanan 3 atmosfer absolut (ATA),
kemampuan difusi O2 mencapai 4 kali dibandingkan tekanan 1 atm.
Meskipun terjadi edema, O2 mampu mencapai sel-sel.
Hipoksia menginduksi ekspresi intercellular adhesion molecule-1
(ICAM-1) sehingga terjadi adesi lekosit pada endotel. Pemberian OHB
dapat mengurangi ekspresi ICAM-1 ini. Mekanisme penghambatan
ICAM-1 adalah melalui induksi eNOS. OHB menginduksi sintesis
endothelial nitric oxide synthase (eNOS). Ekspresi ICAM-1 dihambat oleh
eNOS. Batas ambang PO2 untuk penghambatan ICAM-1 adalah 2-2,5
ATA. O2 normobarik tidak mempengaruhi ICAM-1. OHB mempunyai
manfaat menghambat proses inflamasi.

Pada pasien diabetes perlu diperhatikan, sebaiknya diberikan


kortikosteroid injeksi dan bila perlu dilakukan pemeriksaan gula darah secara
rutin setiap hari serta konsultasi ahli penyakit dalam. Apabila hasil konsultasi
dengan Sub Bagian hematologi Penyakit Dalam dan Bagian kardiologi
ditemukan kelainan, terapi ditambah sesuai dengan nasehat bagian tersebut
(Soetirto I., Hendarmin H., dan Bashiruddin J., 2007).

Tuli mendadak akibat infeksi virus dapat diterapi OHB. Mekanisme


pertahanan tubuh terhadap infeksi virus lebih banyak melibatkan imunitas
seluler yaitu lekosit. OHB dapat meningkatkan fungsi fagositosis lekosit
sehingga meningkatkan imunitas.

Trauma mengakibatkan kerusakan sel. OHB dapat menghasilkan efek


hiperoksigenasi dan menghambat inflamasi sehingga kerusakan sel dihambat.

35
Kerusakan jaringan dapat diperbaiki melalui proses angiogenesis. Efek OHB
adalah meningkatkan angiogenesis sehingga memperbaiki vaskularisasi area
trauma.

I. Evaluasi Sudden Deafness (Tuli Mendadak)


Evaluasi fungsi pendengaran dilakukan setiap minggu selama 1 bulan.
Kallinen et al (1997) mendefinisikan perbaikan pendengaran pada tuli
mendadak adalah sebagai berikut : (Soetirto I., Hendarmin H., dan Bashiruddin J.,
2007).
1. Sangat baik, apabila perbaikan >30 dB pada 5 frekuensi.
2. Sembuh, apabila perbaikan ambang pendengaran <30 dB pada frekuensi
250 Hz, 500 Hz, 1000 Hz, 2000 Hz dan dibawah 25 dB pada
frekuensi4000 Hz.
3. Baik, apabila rerata perbaikan 10- 30 dB pada 5 frekuensi.
4. Tidak ada perbaikan, apabila terdapat perbaikan <10 dB pada 5 frekuensi.

Bila gangguan pendengaran tidak sembuh dengan pengobatan di


atas,dapat dipertimbangkan pemasangan alat bantu dengar (hearing aid).
Apabila dengan alat bantu dengar juga masih belum dapat berkomunikasi
secara adekuat perlu dilakukan psikoterapi dengan tujuan agar pasien dapat
menerima keadaan. Rehabilitasi pendengaran agar dengan sisa pendengaran
yang ada dapat digunakan secara maksimal bila memakai alat bantu dengar
dan rehabilitasi suara agar dapat mengendalikan volume, nada dan intonasi
oleh karena pendengarannya tidak cukup untuk mengontrol hal tersebut.

J. Prognosis
Prognosis tuli mendadak tergantung pada beberapa faktor, yaitu:
kecepatan pemberian obat, respon 2 minggu pengobatan pertama, usia, derajat
tuli saraf dan adanya faktor- faktor predisposisi. Pada umumnya makin cepat
diberikan pengobatan makin besar kemungkinan untuk sembuh, bila telah
lebih dari 2 minggu kemungkinan sembuh menjadi lebih kecil.

Penyembuhan dapat sebagian atau lengkap, tetapi dapat juga tidak


sembuh. Prognosis tergantung dari (Bashiruddin, 2007) :
1. Waktu onset

36
Penelitian menunjukkan bahwa semakin cepat pasien diobati maka
semakin baik pula pemulihan yang dicapai. Bila lebih 2 minggu
kemungkinan sembuh kecil.
2. Usia rata-rata
Rata-rata usia yang mengalami pemulihan sempurna adalah 41, 8 tahun.
Usia kurang dari 15 tahun dan lebih dari 60 tahun memiliki masa
pemulihan yang buruk.
3. Vertigo
Penderita dengan vertigo berat menunjukkan prognosis buruk dibanding
pasien tanpa gejala vertigo.
4. Pasien dengan kondisi yang memperberat penyembuhan al DM, riwayat
minum obat ototoksik lama, viskositas darah yang tinggi. Prognosis lebih
buruk.

Pasien yang cepat mendapat pemberian kortikosteroid atau vasodilator


mempunyai angka kesembuhan yang lebih tinggi, demikian pula dengan
kombinasi pemberian steroid dengan heparinisasi dan karbogen serta steroid
dengan obat fibrinolitik. Usia muda mempunyai angka perbaikan yang lebih besar
dibandingkan usia tua (Bashiruddin J, 2007).

BAB III

KESIMPULAN

37
Tuli mendadak adalah tuli yang terjadi secara tiba-tiba. Jenis
ketuliannya adalah sensorineural, penyebabnya tidak langsung dapat
diketahui, biasanya terjadi pada satu telinga. Tuli mendadak dimasukkan ke
dalam keadaan darurat otologi, oleh karena kerusakannya terutama di daerah
koklea dan biasanya bersifat permanen walaupun bisa kembali normal atau
mendekati normal.
Penyebab pasti kadang sulit untuk diketahui, umumnya diakibatkan
gangguan pada saraf telinga ( pada rumah siput / koklea ) oleh berbagai hal
seperti trauma kepala, bising yang keras, infeksi virus, perubahan tekanan
atmosfir dan adanya kelainan darah., autoimun, obat ototoksik, sindroma
Meniere dan neroma akustik. Tetapi yang biasanya dianggap sebagai etiologi
adalah iskemia koklea dan infeksi virus.
Terdapat faktor predisposisi pada kasus-kasus tuli mendadak saat ini
masih banyak diperdebatkan. Penggunaan alkohol yang berlebihan, kondisi
emosional penderita, kelelahan, penyakit metabolik (diabetes melitus,
hiperlipidemia), penyakit kardiovaskuler, stres, umur dan kehamilan sering
dianggap sebagai faktor predisposisi terjadinya tuli mendadak. Terdapat 4
teori yang dipostulasikan bagi terjadinya tuli mendadak yaitu
1. Infeksi viral labirin,
2. Gangguan vaskuler labirin,
3. Ruptur membran intrakoklear dan
4. Penyakit telinga dalam yang berhubungan dengan imun.

Gejala klinis tuli mendadak berupa tuli dapat unilateral atau bilateral,
dapat disertai dengan tinitus atau vertigo. Pada infeksi virus, timbulnya tuli
mendadak biasanya pada satu telinga, dapat disertai dengan tinnitus dan
vertigo. Pada iskemia koklea, tuli dapat bersifat mendadak atau menahun
secara tidak jelas. Kadang-kadang bersifat sementara atau berulang dalam
serangan, tetapi biasanya menetap.
Diagnosis tuli mendadak ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan THT, audiologi dan laboratorium serta pemeriksaan
penunjang lainnya.
Terapi untuk tuli mendadak adalah tirah baring sempurna (total bed
rest) istirahat fisik dan mental selama 2 minggu, Vasodilatansia yang cukup
kuat, Prednison, Vitamin C, Neurobion, Diit rendah garam dan rendah

38
kolesterol, Inhalasi oksigen, Obat antivirus sesuai dengan virus penyebab,
Hiperbarik oksigen terapi (OHB). Prognosis tuli mendadak tergantung pada
beberapa faktor, yaitu :
1. Kecepatan pemberian obat.
2. Respon 2 minggu pengobatan pertama.
3. Usia.
4. Derajat tuli saraf.
5. Adanya faktor- faktor predisposisi.

Pada umumnya makin cepat diberikan pengobatan makin


besar kemungkinan untuk sembuh, bila telah lebih dari 2 minggu
kemungkinan sembuh menjadi lebih kecil. Penyembuhan dapat sebagian atau
lengkap, tetapi dapat juga tidak sembuh.

DAFTAR PUSTAKA

Abdilah F. 2004. Penatalaksanaan Satu Kasus Tuli Mendadak Unilateral dengan


Sindrom Anti Phospholipid. Jakarta. Bagian THT FK-UI RSUPN
Dr.CiptoMangunkusumo.
Alviandi W, Soetirto I. 2006. Tuli Mendadak dan Implikasinya. Jakarta. Bagian
THTFK-UI RSUPN Dr.Cipto Mangunkusumo.
Anias CR. 2007. Otorhinolaryngology. Sudden Deafness. University of RioDe
janeiro. Diakses dari: http://www.medstudents.com.br/otor/otor4.htm.

39
Bashiruddin, J., Soetirto I. (2007). Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung
tenggorok kepala dan leher. Ed 6. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. hal.46.
Betesda, 2003. Sudden Deafness. Diakses dari:
http://www.asha.org/public/hearing/disorders/prevalence_adults.htm
Boies: Buku Ajar Penyakit THT (Boies Fundamentals of Otolaryngology). Alih
Bahasa: Caroline Wijaya. Editor: Harjanto Effendi. Edisi 6. Jakarta: EGC.
1997.
Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher. Editor:
Afiaty AS,Iskandar N,Bashiruddin J, Restuti RD. Edisi ke-7. Jakarta: Badan
Penerbit FK UI. 2012.
Chin-Saeng, Cho, Young-Jin Choi. (2013). Prognostic factor in sudden
sensorineural hearing loss; a retrospective study using interaction effects.
Braz J Otorhinolaryngol.;79(4):466-70.
Danesh AA and Andreasen WD. 2007. Sudden hearing loss.
Audilogical diagnosis and management. Denver, colorado: prepared for
American academyof audiology convention. Diakses dari:
www.coe.fau.edu/csd/SSHLPresAAA.pdf.
Deafness Research. 1999. Sudden sensorineural hearing loss. UK.
Diaksesdari:http://www.deafnessresearch.org.uk/Sudden%20sensorineural
%20hearing%20loss+1627.twl
Devaraj, Divya. D., Srisakthi. (2014). Hyperbaric oxygen therapy-can it be the
new era in denstistry?. Department of Public Health Dentistry, Saveetha
Dental College: India.
Gale Encyclopedia of Medicine. 2008 The Gale Group, Inc. diunduh dari
http://medical-dictionary.thefreedictionary.com/hearing+loss.
Griffith RW. 2004. Sudden Deafness On One Side Is It Diabetes. Diakses
dari:http://www.healthandage.com/public/health-center/16/article-
home/2926/Sudden-Deafness-on-One-Side-Is-It-Diabetes.html.
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia No. 879. (2006). Rencana strategi
nasional untuk mencapai sound hearing 2030. Jakarta: Kemenkes.

40
Lin, Frank L., Roland Thorpe, Sandra Gordon-Salan, Luigi Ferrucci. (2011).
Hearing loss prevalence and risk factos among older adults in the United
States. J Gerontol A Biol Sci Med Sci; 66A(5):582590.
Neeraj N Mathur. 2011. Sudden Deafness. Diakses dari
http://emedicine.medscape.com/article/856313-overview.
Pedoman Diagnosis dan Terapi SMF Ilmu Penyakit Telinga, Hidung, dan
Tenggorok. Edisi III. 2005. RSU Sutomo Surabaya.
Soetirto Indro, Bashiruddin Jenny. 2007. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorokan Kepala dan Leher Ed 6 Tuli Mendadak hal: 46-48:
Jakarta: FK UI.
Stachler R. J., Chandrasekhar S. S., Archer S. M., Rosenfeld R. M., Schwartz S.
R., Barrs DM. (2012). Clinical practice guideline sudden hearing loss.
American Academy of Otolaryngology-Head and Neck Surgery.
Otolaryngol Head Neck Surg. 146:S1.
Yan, Ling. Ting Liang. Oumei Cheng. (2015). Hyperbaric oxygen therapy in
China. Medical Gas Research: China. DOI 10.1186/s13618-015-0024-4.

41

Anda mungkin juga menyukai