Anda di halaman 1dari 8

2.

1 Definisi
Laryngopharyngeal reflux (LPR) atau refluks laring faring adalah pergerakan
retrograde dari isi lambung (asam dan enzim-enzim) ke laringofaring. LPR adalah refluks
Ekstra Esofagus (REE) yang merupakan manifestasi klinis PRGE (Penyakit Refluks Gastro
Esofagus) di luar esophagus. Gastro Esofageal Refluks adalah aliran retrograde isi lambung ke
dalam esophagus, di luar spingter esophageal atas. 1,2

2.3.1 Epidemiologi

Kasus LPR 4-10% terdapat pada pasien dengan PRGE.Pria, wanita, bayi, anak-anak
hingga dewasa bisa mengalami LPR. LPR pada bayi dan anak sering terlewatkan.

2.3.2 Patofisiologi

REE merupakan manifestasi klinis PRGE. LPR merupakan refluks Ekstra Esofagus
(REE) yang menimbulkan manifestasi penyakit-penyakit oral, faring, laring dan paru. Pasien
REE akibat PRGE sering dating ke ahli THT dengan keluhan tenggorok rasa nyeri dan kering,
rasa panas di pipi, sensasi ada yang menyumbat (globus sensatin), kelaian laring dengan suara
serak, batuk kronik dan asma. 1.

2.3.3 Patofisiologi PRGE

PRGE dapat berupa gangguan fungsional (90% kasus), atau gangguan struktural (10%
kasus). PRGE akibat gangguan struktural menimbulkan gejala refluks yang disebabkan oleh
disfungsi sfingter esophagus bawah (SEB), PRGE structural ini menyebabkan kerusakan
mukosa esophagus. SEB berperan penting dalam patofisiologi refluks. Pada orang normal atau
sehat SEB mencegah aliran retrograde refluks dari lambung ke dalam esophagus dengan
mempertahankan sawar (barier), yang berupa perbedaan tekanan antara esophagus dan
lambung. Tekanan intra abdomen lebih tinggi dari pada tekanan intratoraks. Tekanan SEB
pada individu normal 25-35 mmHg. 1

Patogenesis PRGE merupakan peristiwa multifaktor yang dipengaruhi oleh: . 1


 Perubahan anatomi dari sawar refluks, antara lain struktur diafragma, ukuran
diafragmatika, ligament frenoesofagus, sudut gastroesofagus, panjang esofagus
intraabdominal, hiatus hernia dan hernia paraesofagus.
 Komponen fisiologi antara lain sfingter esophagus bawah (SEB), perbedaan tekanan
abdominotoraks, pembersihan asam esophagus, resistensi epitel Sfingter Esofagus atas
(SEA).
 Faktor esophagus; yaitu gerakan badan esophagus, efisiensi pembersihan badan
esophagus dan pengosongan esophagus.
 Faktor lambung; seperti volume dan sekresi asam lambung, sifat dan materi refluks,
pengosongan lambung, distensi gaster, dan refluks duodenogaster. Perlambatan
pengosongan gaster menyebabkan tekanan dan volum intragaster meninggi.
 Relaksasi sementara sfingter esophagus bawah (RSSEB) memegang peranan penting
dalam patogenesis PRGE. RSSEB adalah relaksasi SEB yang terjadi pada saat tidak
ada peristaltik, periode hipotonus.
 Peristiwa menelan memegang peranan penting dalam pembersihan asam esophagus.
Karena dapat menimbulkan gelombang peristaltic esophagus primer.
 SEA merupakan sawar terakhir untuk mencegah refluksat masuk ke laringofaring.
Studi menyatakan bahwa tonus SEA yang tinggi sebagai reaksi terhadap refluksat
menimbulkan distensi esophagus, relaksasi SEA sehingga terjadi pajanan asam ke
faring atau laring.
 Faktor lain yang banyak berperan dalam PRGE ialah peristaltik esophagus yang
menurun.

Dua mekanisme yang dianggap sebagai penyebab REE akibat PRGE adalah3:

1. kontak langsung refluks asam lambung dan pepsin ke esophagus proksimal dan SEA
yang berlanjut dengan kerusakan mukosa faring, laring dan paru.

2. Pajanan asam esophagus distal akan merangsang reflex vagal yang menyebabkan
terjadinya spasme bronkus, batu, sering meludah, menyebabkan inflamasi pada laring
dan faring.

LPR muncul bila reflux isi lambung mencapai laring. Hampir semua orang bisa
mengalami refluks. Bila refluks asam tersebut sering terjadi, laring dapat teriritasi,karena
permukaan laring dan faring tidak memiliki pertahanan terhadap asam seperti esophagus. Lebih
lanjut,LPR dapat menyebabkan timbulnya lesi non kanker pada pita suara yang disebut
granuloma.4

Gambar 13 : skema perjalanan refluks laringofaring

2.3.4 Gejala klinis

Banyak pasien yang tidak menyadari gejala LPR, hanya 35 % pasien yang datang dengan
gejala heartburn. Pasien REE akibat PRGE sering datang ke ahli THT dengan keluhan
tenggorok rasa nyeri dan kering, rasa panas di pipi, sensasi ada yang menyumbat (globus
sensatin), kelainan laring dengan suara serak, batuk kronik dan asma. 3

Mungkin beberapa pasien salah didiagnosis dengan LPR, dan pencarian penyebab lain
dari gejala laring (alergi, sinus, atau penyakit paru) harus dipertimbangkan untuk pasien yang
tidak respon terhadap pengobatan LPR 3.

Selama refluks gastroesofageal, isi perut yang asam dapat refluks ke atas sepanjang
esophagus, di luar sfingter atas esophageal dan masuk ke belakang tenggorok dan mungkin ke
belakang saluran napas. Ini dikenali sebagai refluks laringofaringeal, dimana bisa mengenai
siapa pun. Orang dewasa dengan LPR biasanya mengeluhkan belakang tenggorok mereka
terasa pahit, sensasi terbakar, atau ada sesuatu yang tersumbat. Beberapa juga dapat memiliki
kesulitan dalam bernafas jika pangkal tenggorok terpengaruh. 3
LPR GERD
Simptom Respiratori Ada Tidak ada
Heartburn Jarang ada Ada
Disfonia Ada Tidak ada
Klirens Asam Esofagus Normal Terlambat
Proteksi Mukosa yang baik Tidak ada Ada
Refluks ketika berdiri Sering Kadang-kadang
Refluks ketika berbaring Kadang-kadang Sering

Tabel 2 : Perbedaan LPR dan GERD 5

Gejala umum LPR berdasarkan insidennya. 5

 Disfonia
 Vocal fatigue
 Voice breaks
 Post nasal drip
 Batuk kronik
 Disfagia
 Globus faringeus
 Heartburn
 Regurgitasi
 Paroksismal laringospasme
 Wheezing

2.3.5 Diagnosis

Untuk diagnosis suatu disfonia akibat LPR diperlukan :

2.3.5.1 Anamnesis

Anamnesis harus lengkap dan terarah meliputi jenis keluhan gangguan suara, lama
keluhan progresifitas, keluhan yang menyertai,kebiasaan merokok, minum kopi atau alcohol,
hobi atau aktivitas diluar pekerjaan, penyakit yang pernah atau sedang diderita,alergi,
lingkungan tempat tinggal dan bekerja dan lain-lain. Pada anamnesis untuk laringofaringeal
refluks pasien sering kali datang tidak disertai dengan gejala refluks. 1

2.3.5.2 Manifestasi klinik 5

a. Laringitis posterior dengan ciri khas aritenoid kemerahan dan piled-up interarytenoid
mucosa. Tetapi menurut Koufman, penemuan yang sering adalah edema dan bukan
eritema.
b. Edema difus/Reinke’s edema
c. Eritema difus dengan mukosa granular
d. Pembengkakan mukosa tanpa eritema
e. Granuloma prosesus vokalis aritenoid, unilateral atau bilateral

2.3.5.3 Pemeriksaan klinik dan pemeriksaan penunjang

Gold standard diagnosa LPR adalah penggunaan monitor pH double-probe selama 24


jam. Probe distal diletakkan 5 cm di atas sfingter esophagus bawah dan probe proksimal di atas
sfingter esophagus atas. 4

Pemeriksaan klinik meliputi pemeriksaan umum (status generalis), pemeriksaan THT


termasuk pemeriksaan laringoskopi tak langsung untuk melihat laring melalui kaca laring atau
dengan menggunakan teleskop laring baik yang kaku (rigid telescop) atau serat saraf optik
(fibrotic telescope). Penggunaan teleskope ini dapat dihubungkan dengan alat video
(videolaringoskop) sehingga akan memberikan visualisasi laring (pita suara ) yang lebih jelas
baik dalam keadaan diam (statis) maupun pada saat bergerak (dinamis). Selain itu juga dapat
dilakukan dokumentasi hasil pemeriksaan untuk tindak lanjut hasil pengobatan. Visualisasi
laring dan pita suara secara dinamis akan lebih jelas dengan menggunakan stroboskop (video
stroboskop ) dimana gerakan pita suara dan gelombang mukosanya terlihat jelas. . 1

Beberapa temuan klinis pada laring yang dapat ditemukan pada kasus LPR antara lain
: (1) pseudosulcus vocalis/ edema subglotis (2) ventricular oblterasi, (3) eritema, (4) edema
pita suara, (5) edema laring difus, (6) hipertrofi comissura posterior, (7) granuloma, (8) mukus
endolaringeal yang tebal.6
Gambar 14 Laryngopharyngeal Reflux: LPR menyebabkan inflamasi laring. Mukosa pita
suara teriritasi dan secret tebal menutupi pita suara. Ini menyebabkan ketidaknyamanan dan
mukosa pita suara yang irregular menyebabkan terjadinya perubahan suara. 6

2.3.6 Penatalaksanaan

Tidak seperti penyakit gastroesofagus, refluks pada LPR penyembuhan tidaklah cepat
karena laring lebih mudah terluka daripada esofagus. Untuk pengobatan LPR dibagi atas 3
yaitu minor, mayor, life threatening. Pada terapi pada LPR minor yaitu dengan gejala disfonia
intermiten,disfagia, globos pharyngeus dan disfagia disarankan dengan modifikasi diet dan
gaya hidup dapat juga diberikan antagonis receptor atau antasid.

Modifikasi diet dan gaya hidup. 3 :

 Berhenti merokok dan alkohol


 Hindari makanan berlemak,makanan yang bersifat refluxgenic,citrus,caffeine, pemanis
makanan
 Meninggikan kepala ketika tidur dan hindari makan 3 jam sebelum tidur dilakukan jika
pada penderita dengan refluks nocturnal pada posisi berbaring
Jika terapi diatas gagal maka sebaiknya terapi ditambahkan dengan pemberian PPI dengan
dosis 2 kali sehari. Pemberian PPI dilanjutkan sampai minimum 6 bulan karena seringnya
timbul relaps, setelah 6 bulan apabila gejala telah berkurang atau hilang maka dosis PPI dapat
dikurangi atau diberhentikan.2
Pada mayor LPR terapi yang diberikan tidak berbeda jauh dengan minor LPR namun pada
mayor terapi langsung dengan pemberian PPI dengan dosis dua kali sehari pada pagi hari
sebelum sarapan dan sebelum tidur. 2

Pengobatan medis antara lain. 5

1. Proton pump inhibitor : H+-K+ ATPase

2. Dosis pemberian PPI 2 kali sehari selama 3-6 bulan

3. H2-blocker pada malam hari

4. Bila gagal dosis dan jenis PPI ditukar dan apabila berat dianjurkan untuk operasi

Pada pasien dengan pengobatan life threatening yaitu dengan obstruksi,stenosis glotic
dan subglotic, asma dan laryngospasme maka pemberian PPI 3-4 kali sehari pada pasien diatas
umur 60 tahun pemberian PPI 2 kali sehari dalam jangka waktu lama.

Tindakan Operasi

1. Laparoscopic Nissen fundoplication

2. Radiofrequency energy untuk pengobatan spingter esophagus bawah. 5

Bagan 1. Alur penatalaksanaan LPR 8


1. Aldiano, RD, dkk. Penatalaksanaan Suara Serak. Diakses dari www.scribd.com.
Tanggal 5 Desember 2010.
2. Bailey BJ and Pillsburry III HC. Head and Neck Surgery-Otolaryngology. JB
Lippincott Co: Philadelphia. 1993.
3. Andrianto, Petrus. Penuntun Untuk Diagnosis dan Penatalaksanaan Penyakit Telinga
Hidung dan Tenggorokan. EGC. 1993.

4. Probst R, Grevers G, Iro H. Basic Otorhinolaryngology: A Step-by-Step Learning


Guide. Thieme: New York. 2006.
5. Anonim. Normal Laryng (online) Diakses dari www.Voiceandswallowing.com.
6. Hermani, Bambang, dkk. Kelainan Laring. Dalam Buku Ajar Ilmu kesehatan THT-KL.
Ed.6 Jakarta : FKUI.2007.

Anda mungkin juga menyukai