Anda di halaman 1dari 9

Laringo Faring Refluks (LFR)

Pembimbing:

dr. Hj. Mariana H. Yunizaf, Sp. THT-KL (K)

Disusun Oleh:

Indah Nur Mariani - 2013730052

KEPANITERAAN KLINIK STASE THT-KL


RUMAH SAKIT ISLAM JAKARTA CEMPAKA PUTIH
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2017
LARINGO FARING REFLUKS (LFR)

A. Definisi

Manifestasi klinis Penyakit Refluks Gastro Esofagus di luar esofagus didefinisikan


sebagai Refluks Ekstra Esofagus (REE). Laringo Faring Refluks (LFR) adalah REE yang
menimbulkan manifestasi penyakit-penyakit oral, faring, laring, dan paru. REE telah
dianggap berperan penting pada banyak penyakit saluran napas atas dan paru. Singkatnya,
LFR merupakan kondisi terjadinya aliran balik dari isi lambung ke laring, faring dan traktus
aerodigestive atas.

B. Patofisiologi

Pada orang normal, sfingter esophagus atas (UES) dan sfingter esophagus bawah
(LES) bekerja secara bersama untuk mencegah terjadinya refluks ini. Karenanya patologi
utama penyebab LPR berhubungan dengan disfungsi sfingter esophagus terutama UES.
Sfingter esophagus atas (UES) terdiri dari cricopharingeus, thyropharyngeus dan proximal
cervical esophagus dan menempel pada kartilago tiroid dan krikoid yang membentuk seperti
huruf C (C-shape), yang membungkus daerah sekitar esophagus servikal dan
mendapat persarafan dari pleksus faringeal.

Ketika UES memungkinkan terjadinya refluks dan menyebabkannya kontak dengan


segmen laringofaringeal, Asam lambung dan pepsin yang teraktivasi dapat menyebabkan
kerusakan langsung pada mukosa laring. Hal ini mengakibatkan gangguan klirens mukosilier
yang menyebabkan stasis lendir yang dapat memperburuk terjadinya iritasi mukosa dan
berkontribusi terhadap gejala yang dialami pasien misalnya postnasal drip, throat clearing
dan globus sensation.

Disfungsi UES bukan merupakan penyebab satu – satunya LPR, karena menurut
beberapa studi ditemukan bahwa terdapat peran dari aspek biokimia. Didapatkan bahwa
terdapat hubungan antara LPR dan penurunan isonenzim karbonik anhidrase III (CA-III).
Penurunan kadar CA-III, yang dihubungkan dengan peningkatan konsentrasi pepsin,
merupakan hal yang penting untuk dipertimbangkan karena pada kondisi ini menyebabkan
penurunan jumlah anion bikarbonat yang ada dan berguna untuk menetralisir isi lambung dan
akibatnya lebih sedikit buffer kimia yang memproteksi mukosa faring.
Secara singkat terdapat dua mekanisme yang dianggap sebagai penyebab REE akibat
PGRE ialah:

1. Kontak langsung refluks asam lambung dan pepsin ke esofagus proksimal dan
Sfingter Esofagus Atas (SEA) yang berlanjut dengan kerusakan mukosa faring, laring,
dan paru.
2. Pajanan asam esofagus distal akan merangsang refleks vagal yang menyebabkan
terjadinya spasme bronkus, batuk, sering meludah, menyebabkan perubahan inflamasi
pada laring dan faring.

C. Tanda dan Gejala

Pasien REE akibat PRGE (Penyakit Refluks Gastro Esofagus) sering datang ke ahli
THT dengan keluhan tenggorokan rasa nyeri dan kering, rasa panas di pipi, sensasi ada yang
menyumbat (globus sensation), kelainan laring dengan suara serak, batuk kronik, asma.

Individu dengan LPR biasanya mengeluhkan gejala yang tidak spesifik, namun
terdapat beberapa gejala yang umumnya ditemukan oleh dokter pada pasien – pasien LPR,
yaitu :

 cervical disphagia
 chronic cough
 dysphonia
 globus sensation
 hoarseness
 sore throat
 throat clearing
 upright reflux

Hal ini tidak berarti bahwa gejala – gejala tersebut di atas merupakan suatu gejala
eksklusif pada LPR. Karena LPR dapat juga bermanifestasi dengan gejala lain seperti asma
eksaserbasi, otalgia, mucus tenggorok yang eksesif, halitosis, nyeri leher, odinofagia, post
nasal drip, dan gangguan suara. Sebaliknya, gejala – gejala yang di atas juga tidak dapat
dijadikan suatu hal yang inklusif karena tidak semua pasien LPR menderita semua gejala
seperti yang tercantum di atas.
Salah satu hal yang paling penting untuk memastikan apakah etiologi dari keluhan
pasien tersebut berhubungan dengan LPR adalah membedakannya dengan gejala klasik yang
dialami oleh penderita GERD (gastroesophageal reflux disease). GERD bermanifestasi
dengan gejala heartburn, regurgitasi dan refluks ketika terlentang. Akibatnya insidens
esofagitis, dan barret’s dysplasia lebih tinggi pada kondisi ini dibandingkan pada LPR.
Disfagia mungkin terjadi, namun gangguan suara dan pernapasan lebih jarang terjadi
dibandingkan dengan LPR.

D. Diagnosis

Cara menegakkan diagnosis refluks ekstra esofagus atau refluks laringofaring


didasarkan atas riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, pemeriksaan hipofaring, laring, dan tes
diagnosis. Memonitor pH 24 jam dengan pemeriksaan 24 hour ph monitoring dengan
double/triple probe, minimal menggunakan 1 ajuk (probe) di atas sfringter esofagus atas.
Pemeriksaan laringoskopi fleksibel fiberoptik, videolaringoskopi, video stroboskopi dan
laringoskopi kaku merupakan pemeriksaan yang sensitif terhadap refluks laringofaring.

LPR meliputi segenap temuan pemeriksaan nonspesifik yang khususnya berhubungan


dengan eritema dan edema. Tanda Hallmark termasuk eritema dan edema interaritenoid,
edema infraglotis, dan ventricular effacement. Karena pita suara sejati dan palsu bengkak
akibat respons terhadap pajanan refluks, batas yang jelas dari ventrikel menjadi tidak jelas,
hal itulah yang disebut ventricular effacement.

Karena berdasarkan patofisiologinya LPR terjadi akibat adanya refluks dari isi
lambung ke daerah laringofaringeal, maka salah satu tindakan diagnosis yang dapat dilakukan
pada LPR adalah pemeriksaan pH. Karena seperti diketahui bahwa pH lambung lebih rendah
dibanding dengan pH di daerah laringofaring. Caranya adalah dengan memasukan smalltube
(kateter) melalui hidung dan mencapai esophagus. Kateter ini digunakan selama 24 jam dan
mengukurjumlah asam yang refluks ke tenggorokan. Tes ini tidak sering dilakukan namun
dapat memberikan informasi yang penting pada kasus – kasus tertentu.

Sebagian besar dokter mendiagnosis LPR melalui pemeriksaan tenggorokan dan pita
suara dengan teleskop rigid atau fleksibel. Pita suara biasanya hiperemis, teriritasi, dan
bengkak akibat asam lambung. Bengkak dan inflamasi yang terjadi ini dapat sembuh dengan
tatalaksan medis, namun butuh waktu beberapa bulan.
Pada tahun 2001 Belafsky et al mengembangkan alat uji diagnostik objektif yang
disebut sebagai reflux finding score (RFS). RFS merupakan media yang digunakan untuk
menentukan skor gejala LPR. RFS terdiri dari 8 komponen pemeriksaan spesifik yang
mungkin ditemui pada LPR yang masing – masing memiliki skor. Jika skor total lebih dari 7
maka hal tersebut mengindikasikan pasien akan positif pada pemeriksaan pH indikasi LPR.

Untuk menunjang RFS/RSS, pada tahun 2002 Belafsky et al mengembangkan Reflux


Symptom Index (RSI). RSI merupakan pertanyaan survey tervalidasi kepada pasien yang
berisi 9 pertanyaan yang berhubungan dengan gejala spesifik LPR. Masing – masing
pertanyaan terdapat skor 1-5 bergantung derajat berat ringannya gejala yang dialami pasien.
Jika skor total lebih dari 13 maka hal tersebut mengindikasikan pasien tersebut positif pada
pada pemeriksaan pH indikasi LPR.
Terdapat beberapa tes lain yang dianjurkan untuk evaluasi LPR. Namun, studi untuk
beberapa tes tersebut masih sedikit dan tidak direkomendasikan secara rutin untuk dilakukan
pada pemeriksaan inisial.

Diagnosis banding LPR salah satunya adalah GERD. Karenanya perlu dibedakan
apakah gejala yang dialami pasien tersebut adalah GERD atau LPR. Berikut beberapa
perbedaan antara GERD dan LPR:
E. Tatalaksana

Tatalaksana LPR terdiri dari 3 komponen penting yaitu modifikasi gaya hidup
(lifestyle), famakologi dan pembedahan.

 Modifikasi lifestyle

1. Hindari kafein, coklat, mint, alcohol, berhenti merokok;


2. Membatasi makan makanan gorengan, berlemak dan pedas;
3. Berhenti makan paling tidak 3 jam sebelum tidur;
4. Meninggikan kepala pada saat tidur.

 Farmakologi

1. PPI. Saat ini PPI (omeprazol, lanzoprazol) dipertimbangkan sebagai pengobatan


utama LPR, PPI optimal diminum 30-60 menit sebelum makan. PPI mengurangi
produksi asam lambung dengan menghambat pompa proton. Belafsky et al melakukan
studi dan mengemukakan bahwa setelah pengobatan PPI 2 x per hari selama 4 bulan,
pasien LPR mengalami perbaikan yang pesat.
2. Antasid dan antagonis reseptor H2.
3. Sukralfat. Untuk melindungi mukosa yang injuri.
 Pembedahan

Nissen fundoplication merupakan tindakan pembedahan yang dianjurkan pada pasien


LPR jika tatalaksana medis tidak memberikan perubahan. Berdasarkan literatur nissen
fundoplication dapat memperbaiki tanda dan gejala LPR sebesar 73-86%.

Fundoplikasi adalah jenis pembedahan yang membungkus bagian atas lambung


(fundus) di sekitar esophagus bagian bawah untuk membuat katup antara kerongkongan dan
lambung. Hal ini biasanya dilakukan secara laparoskopi sayatan kecil namun dapat juga
dilakukan dengan pembedahan tradisional dengan sayatan yang luas.

F. Komplikasi

Pada bayi dan anak – anak LPR dapat menyebabkan:

1. Penyempitan daerah di bawah pita suara


2. Ulkus kontak
3. Infeksi telinga rekuren
4. Penumpukan cairan di telinga tengah yang persisten

Pada orang dewasa, LPR dapat menimbulkan komplikasi berupa scar di tenggorokan dan pita
suara, ia juga dapat meningkatkan risiko terjadinya kanker di daerah tersebut, LPR juga dapat
mempengaruhi paru – paru dan dapat meniduksi timbulnya kondisi asma, emfisema atau
bronchitis.

Kelainan laringofaring akibat GERD, antara lain laringitis (refluks) posterior, globus
faringeus, stenosis laring atau trakea, spasme laring, nyeri tenggorok.
DAFTAR PUSTAKA

Yunizaf M, Iskandar N. 2014. Penyakit Refluks Gastroesogus dengan Manifestasi


Otolaringologi dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala
dan Leher Ed.7. Jakarta: FKUI. Hlm. 270-273.

Underbrink M, Quinn FB. Laryngopharyngeal reflux with an emphasis on diagnostic and


theurapeutic considerations. Updated august 25th 2009. Available at
http://www.utmb.edu/otoref/grnds/Laryng-reflux-090825/laryng-reflux-090825.pdf

Belafsky PC, Rees CJ. Identifying and managinglaryngopharyngeal reflux. July 2007.
Available at http://www.turner-
white.com/memberfile.php?PubCode=hp_jul07_reflux.pdf

Anda mungkin juga menyukai