Pembimbing:
Disusun Oleh:
A. Definisi
B. Patofisiologi
Pada orang normal, sfingter esophagus atas (UES) dan sfingter esophagus bawah
(LES) bekerja secara bersama untuk mencegah terjadinya refluks ini. Karenanya patologi
utama penyebab LPR berhubungan dengan disfungsi sfingter esophagus terutama UES.
Sfingter esophagus atas (UES) terdiri dari cricopharingeus, thyropharyngeus dan proximal
cervical esophagus dan menempel pada kartilago tiroid dan krikoid yang membentuk seperti
huruf C (C-shape), yang membungkus daerah sekitar esophagus servikal dan
mendapat persarafan dari pleksus faringeal.
Disfungsi UES bukan merupakan penyebab satu – satunya LPR, karena menurut
beberapa studi ditemukan bahwa terdapat peran dari aspek biokimia. Didapatkan bahwa
terdapat hubungan antara LPR dan penurunan isonenzim karbonik anhidrase III (CA-III).
Penurunan kadar CA-III, yang dihubungkan dengan peningkatan konsentrasi pepsin,
merupakan hal yang penting untuk dipertimbangkan karena pada kondisi ini menyebabkan
penurunan jumlah anion bikarbonat yang ada dan berguna untuk menetralisir isi lambung dan
akibatnya lebih sedikit buffer kimia yang memproteksi mukosa faring.
Secara singkat terdapat dua mekanisme yang dianggap sebagai penyebab REE akibat
PGRE ialah:
1. Kontak langsung refluks asam lambung dan pepsin ke esofagus proksimal dan
Sfingter Esofagus Atas (SEA) yang berlanjut dengan kerusakan mukosa faring, laring,
dan paru.
2. Pajanan asam esofagus distal akan merangsang refleks vagal yang menyebabkan
terjadinya spasme bronkus, batuk, sering meludah, menyebabkan perubahan inflamasi
pada laring dan faring.
Pasien REE akibat PRGE (Penyakit Refluks Gastro Esofagus) sering datang ke ahli
THT dengan keluhan tenggorokan rasa nyeri dan kering, rasa panas di pipi, sensasi ada yang
menyumbat (globus sensation), kelainan laring dengan suara serak, batuk kronik, asma.
Individu dengan LPR biasanya mengeluhkan gejala yang tidak spesifik, namun
terdapat beberapa gejala yang umumnya ditemukan oleh dokter pada pasien – pasien LPR,
yaitu :
cervical disphagia
chronic cough
dysphonia
globus sensation
hoarseness
sore throat
throat clearing
upright reflux
Hal ini tidak berarti bahwa gejala – gejala tersebut di atas merupakan suatu gejala
eksklusif pada LPR. Karena LPR dapat juga bermanifestasi dengan gejala lain seperti asma
eksaserbasi, otalgia, mucus tenggorok yang eksesif, halitosis, nyeri leher, odinofagia, post
nasal drip, dan gangguan suara. Sebaliknya, gejala – gejala yang di atas juga tidak dapat
dijadikan suatu hal yang inklusif karena tidak semua pasien LPR menderita semua gejala
seperti yang tercantum di atas.
Salah satu hal yang paling penting untuk memastikan apakah etiologi dari keluhan
pasien tersebut berhubungan dengan LPR adalah membedakannya dengan gejala klasik yang
dialami oleh penderita GERD (gastroesophageal reflux disease). GERD bermanifestasi
dengan gejala heartburn, regurgitasi dan refluks ketika terlentang. Akibatnya insidens
esofagitis, dan barret’s dysplasia lebih tinggi pada kondisi ini dibandingkan pada LPR.
Disfagia mungkin terjadi, namun gangguan suara dan pernapasan lebih jarang terjadi
dibandingkan dengan LPR.
D. Diagnosis
Karena berdasarkan patofisiologinya LPR terjadi akibat adanya refluks dari isi
lambung ke daerah laringofaringeal, maka salah satu tindakan diagnosis yang dapat dilakukan
pada LPR adalah pemeriksaan pH. Karena seperti diketahui bahwa pH lambung lebih rendah
dibanding dengan pH di daerah laringofaring. Caranya adalah dengan memasukan smalltube
(kateter) melalui hidung dan mencapai esophagus. Kateter ini digunakan selama 24 jam dan
mengukurjumlah asam yang refluks ke tenggorokan. Tes ini tidak sering dilakukan namun
dapat memberikan informasi yang penting pada kasus – kasus tertentu.
Sebagian besar dokter mendiagnosis LPR melalui pemeriksaan tenggorokan dan pita
suara dengan teleskop rigid atau fleksibel. Pita suara biasanya hiperemis, teriritasi, dan
bengkak akibat asam lambung. Bengkak dan inflamasi yang terjadi ini dapat sembuh dengan
tatalaksan medis, namun butuh waktu beberapa bulan.
Pada tahun 2001 Belafsky et al mengembangkan alat uji diagnostik objektif yang
disebut sebagai reflux finding score (RFS). RFS merupakan media yang digunakan untuk
menentukan skor gejala LPR. RFS terdiri dari 8 komponen pemeriksaan spesifik yang
mungkin ditemui pada LPR yang masing – masing memiliki skor. Jika skor total lebih dari 7
maka hal tersebut mengindikasikan pasien akan positif pada pemeriksaan pH indikasi LPR.
Diagnosis banding LPR salah satunya adalah GERD. Karenanya perlu dibedakan
apakah gejala yang dialami pasien tersebut adalah GERD atau LPR. Berikut beberapa
perbedaan antara GERD dan LPR:
E. Tatalaksana
Tatalaksana LPR terdiri dari 3 komponen penting yaitu modifikasi gaya hidup
(lifestyle), famakologi dan pembedahan.
Modifikasi lifestyle
Farmakologi
F. Komplikasi
Pada orang dewasa, LPR dapat menimbulkan komplikasi berupa scar di tenggorokan dan pita
suara, ia juga dapat meningkatkan risiko terjadinya kanker di daerah tersebut, LPR juga dapat
mempengaruhi paru – paru dan dapat meniduksi timbulnya kondisi asma, emfisema atau
bronchitis.
Kelainan laringofaring akibat GERD, antara lain laringitis (refluks) posterior, globus
faringeus, stenosis laring atau trakea, spasme laring, nyeri tenggorok.
DAFTAR PUSTAKA
Belafsky PC, Rees CJ. Identifying and managinglaryngopharyngeal reflux. July 2007.
Available at http://www.turner-
white.com/memberfile.php?PubCode=hp_jul07_reflux.pdf